—the worst
“Almira, kok matanya sembab nak?” Tanya bundanya Haechan kaget ketika membukakan pintu, mendapati Almira di muka rumahnya dengan mata sembab.
“Bunda, Haechan ada di dalem?”
Bunda Haechan mengangguk cepat, mempersilahkan Almira, juga Jeno untuk masuk.
Almira memerhatikan Haechan sedang tiduran di sofa sambil memejamkan mata menikmati musik dari ponselnya, menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama musik yang di dengarnya. Sama sekali tak menyadari kehadiran dua sahabatnya.
“Chan, eta aya temen kamu.” Ujar bunda sambil menepuk bahu Haechan.
Haechan membuka mata, mematikan musik yang sedang ia dengarkan dan beringsut duduk. Melihat ke arah Almira dan Jeno yang berdiri tak jauh dari sofa tengah. Menyadari itu, ia rentangkan kedua tangannya dan tersenyum manis. Almira langsung menghampiri Haechan dan memeluk tubuhnya. Tanpa pertahanan, gadis itu pun menangis lagi. Haechan membalas pelukannya.
“Gue gagal jagain lo, maaf ya Al.”
Almira menggeleng-gelengkan kepalanya. Semakin mengeratkan pelukannya.
“Al, Jeno gak lo peluk?” Bisik Haechan. “Eta si cimeng nontonin kita pelukan.”
“Gue denger ya sincan! Ini menurut lo baju depan gue basah karena saha?” Jeno menunjuk bajunya yang basah, bekas air mata. Ya, ia sudah lebih dulu memberi pelukan kepada sahabatnya, saat gadis itu menjemputnya di rumah. Tentu saja Almira menangis, terharu katanya.
“Oh.. Air mata lo stock nya banyak juga ya Al.” Haechan pun tertawa dan Almira bisa merasakan tangannya membelai kepalanya lembut. Semoga saja usapan seperti ini akan dirasakan Almira seterusnya.
“ECHAN GAK BOLEH CURANG!!” Protes Almira.
“GILA YA LO PADA? GUE MASIH NORMAL! GAK MAU!!” Ujar Haechan menolak.
Di jam 10 malam, ruang tengah Haechan semakin berisik. Almira yang kejar-kejar an dengan Haechan, suara tawa Jeno yang nyaring memekik gendang telinga, dan Jaemin yang hanya mengekspos jajaran gigi rapinya melihat tiga serangkai yang heboh.
Itu sudah biasa bagi keluarga Haechan untuk memaklumi anak-anak yang sedari kecil hingga sekarang tak kunjung berubah. Mereka tetaplah anak-anak yang berisik dengan tingkah laku menyerupai anak TK. Bedanya, dulu di Bandung, dan hampir setiap hari mereka bertiga bermain bersama. Sekarang, mereka bertiga pindah di Jakarta dan juga jarang memiliki waktu untuk bermain, karena tumpukan tugas dan soal perkuliahan yang semakin hectic.
“It's just a dare, Haechan!!!!” Almira menarik tangan Haechan. “Ayo ah buru orang tinggal cium Jaemin bentar! Dia aja gak keberatan tuh!”
“Waaaaa gelo maneh! Ngadi-ngadi itu dare nyuruh aing nyium nyium! Mana lakik yang gue cium.” Haechan manyun, pasrah karena tarikan Almira. Ia dekatkan wajahnya pada pipi Jaemin. “AAAAAAAA SERIUS INI GAK BISA DIWAKILIN AJA? AL! LO AJA KALI YANG NYIUM DAH.”
Almira menjitak kepala Haechan. “Ngawur! Dia gak bisa kena sentuh cewe!”
Tiga pasang bola mata membulat tersentak mengarahkan pandangan pada Almira.
“Al?” Ketiganya memanggil serentak.
“Wah? Bisa barengan lu bertiga manggil gue?” Almira tertawa kecil, tertawa saja. Lantas berdecak heran. “Kompakan gini aya naon?”
Gadis itu belum menyadari perkataan yang baru saja ia ucapkan, membuat Jeno, Haechan, dan Jaemin kini memandang Almira heran.
“Lo barusan bilang apa Al?” Tanya Jaemin.
“G-gue?” Almira menunjuk dirinya sendiri.
Almira memandangi mereka bertiga bergantian. Ia sedang mencernanya pelan-pelan untuk mengetahui maksud pertanyaan Jaemin. Sedetik Almira tersadar.
Mampus! batin Almira.
Ruangan kini senyap, mereka menunggu jawaban dari Almira. Rasanya hanya terdengar suara napas yang naik-turun. Almira menunduk, tidak menoleh sama sekali. Menghindari tatapan mata Jaemin.
“Al?! bilang sama gue kalo ingatan tentang gue gak hilang. Lo masih inget gue kan Al?!”
Itu bentakan, bukan pertanyaan.
Almira masih tekun menunduk. Pikirannya yang gundah sudah berlari entah kemana.
“Almira jawab gue!” Suaranya menaik. Jaemin terus saja mendesak.
Gadis itu mengembus napas berat. Cukup. Ia mendongak. Menatap rona hitam Jaemin. Mata Almira membasah lagi, ia menggigit bibir bawahnya, menahan diri agar tak ada lagi air mata untuk membasah.
Haechan membantu menyapu pipinya yang basah karena sebulir air mata yang sebelumnya mengembang di kelopak mata kini meliuk turun.
Almira mengangguk.
“Al? Kenapa lo pura-pura?” Tatapan mata Haechan kini beradu dengan mata Almira.
Jeno, Haechan, dan juga Jaemin memberi ruang bagi Almira untuk menenangkan dirinya. Bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis itu. Jeno dan Haechan yang hanya mengikuti alur merasa sangat bingung, apalagi Jaemin? Yang berkaitan langsung dengan Almira.
Malam itu rasanya ada yang berbeda. Almira seperti melihat siluet perempuan di setiap sudut ruangan kamar. Perempuan yang selalu muncul di mimpinya akhir-akhir ini. Ia yakin dan percaya bahwa perempuan itu selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Malam itu, setelah hampir 9 tahun lamanya, Almira meminta abangnya untuk menemani dirinya tidur.
Pada keesokan malam yang lain, malam dimana Jaemin dan ketiga saudaranya berada di rumah sakit. Bahkan sebelum Jaemin membawanya kembali, Almira sudah lebih dulu tersadarkan diri.
Almira membuka matanya yang terasa berat. Telinganya mendengar dengung monoton lampu kuning redup dan hembusan AC. Ia merasa bahwa masih ada di dalam kamarnya. Namun, langit-langit dan bau yang khas itu menyadarkannya bahwa ia sekarang ada di rumah sakit.
Ingin tau, Almira mengangkat kepalanya. Namun kabut mendera pandangannya dan tubuhnya terasa berputar-putar tak karuan. Ia menyerah, kembali meletakkan kepalanya di atas bantal. Masih berusaha mendudukkan dirinya meski harus bersandar.
Bola mata Almira bergerak, ia melihat Jaemin dan ketiga saudaranya tanpa suara. Ada banyak pertanyaan besar yang muncul di dalam hatinya, tentang mimpi yang terasa nyata, mengapa ia berada di rumah sakit, dan mengapa Jaemin juga ketiga saudaranya ada di hadapannya.
Jantung Almira rasanya seperti berhenti berdetak. Darahnya berhenti mengalir. Terasa dingin. Mengingat mimpi itu, lantas melihat ke arah Jaemin yang berada di samping ranjangnya, duduk di kursi, mencondongkan tubuhnya dengan melipat kedua tangan untuk menopang kepalanya dengan mata terpejam. Nampaknya ia sudah berada di alam mimpi.
Perasaan sedihnya meruap memenuhi setiap ruang kosong di hatinya. Almira menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang masih saja terasa dingin. Kelopak matanya terasa berat, sudut matanya membasah. Air matanya tidak mampu berhenti.
Lucas mendekat menghampiri. Meraih kepala Almira, ia sandarkan pada dada bidangnya. Menepuk pelan bahu Almira. Berusaha menenangkan.
“Almira, look at me.” Suara lembut Taeyong.
Almira menggeleng. “Mimpi itu nyata?” Suara rapuh Almira terdengar, parau karena sedih menggumpal di tenggorokan.
Taeyong mengiyakan. Ia memberitahu pada Almira segalanya, tentang kebenaran mimpi itu, tentang siapa perempuan yang selalu ia lihat dalam mimpinya, dan tentang Jaemin yang ingin menukar ingatannya demi melindungi Almira. Juga memberitahu tentang perasaan Jaemin padanya dan segala konsekuensinya. Gadis itu tentu semakin terisak mendengarnya.
“Al, gue tau lo gak bakal mau kalo gue ngambil ingatan lo tentang Jaemin. Tapi, gue minta lo buat pura-pura lupa. Sementara aja, atau lebih baik selamanya. Lo tau kan Davina pasti bakal terus ngawasin lo. Because her first love has put a heart in you.” Suara Taeyong menipis.
Malam itu hening. Mata Almira basah sekali oleh air mata. Hanya suara emas Doyoung yang ia dengar. Hingga gadis itu bertemu dengan Jaemin di alam mimpi.
“Na, sorry. I have to do this, for me and also you.”
Jaemin memijat pelipisnya. Sedangkan Jeno dan Haechan hanya saling pandang tak percaya.
“Aing udah kayak main sinetron anjir. Meng kita di badutin meng!” Ujar Haechan.
“Davina right?” Jaemin mendesak Almira lagi. “Tell me now. Ceritain semua mimpi lo, semua yang lo lihat.”

Almira membungkam, ia menolak. Membuat Jaemin kesal hingga mengepalkan tangannya.
“AL! TELL ME!”
“GAK!”
“AL PLEASE!”
“IT'S BAD FOR YOU, NA!”
“WHICH ONE IS WORSE? THAT DREAM OR ME THINKING THAT YOUR MEMORIES OF ME ARE GONE?! GUE DESPERATE KARENA NGIRA INGATAN LO BENERAN HILANG!”
“THAT DREAM NA! MIMPI ITU LEBIH BURUK DARI PADA GUE YANG KEHILANGAN INGATAN TENTANG LO!”
“Your memories of me are gone, is the worst for me, Almira.”
Jaemin menyerah berdebat dengan Almira, lebih tepatnya mereka berdua bertengkar hebat. Lelaki itu menghembus napas. Pelipisnya berdenyut. Kalimat yang berulang kali diucapkan Jaemin, semoga saja Almira mengerti. Tentang kalimat yang berusaha ia tekankan atas perasaan yang tak bisa diungkapkan.