Figura Renata.
Gadis bernama Apsarini itu manggut-manggut memandangi L-Banner yang ada di depan venue. Ia membulatkan bibirnya, kala kedua bola mata menyusuri abjad-abjad guna mengetahui jajaran guest star yang meramaikan festival musik.
“Nggak ada yang kenal.” Ucapnya setelah beberapa saat berdiam di sana. Bagaimana bisa ia kenal? Musik-musik indie saja tidak pernah masuk ke dalam telinganya.
Riri berpisah dengan Elvan dan Melvan. Lebih tepatnya gadis itu yang memilih untuk tidak bergabung ke tengah-tengah kerumunan orang yang tengah menikmati acara itu.
Berjalan melewati beberapa stand, tak jarang ia disapa oleh mahasiswa se-angkatan. Rupanya banyak teman-temannya yang datang ke acara tersebut—ah ralat memang Riri yang tak pernah menghadiri acara semacam ini, itu sebabnya ia baru mengetahui bila banyak dari mereka yang memiliki afinitas terhadap musik indie.
“Woy!!”
“Anj—“ hampir saja ia mengumpat. “Woy lo anjing banget ya!” Ah maaf Riri baru saja mengumpat.
Zavier hanya cengengesan. Ya, lelaki itu mendapat umpatan dari Riri karena berhasil membuat merosotnya jantung si gadis yang tengah fokus pada menu makanan di salah satu stand.
“Lo mimpi apaan anjir dateng kemari?” Ejek Zavier sembari menangkup kedua pipi Riri dengan satu tangan.
“Ck! Elvan noh! Ini lepas dulu nggak?!” Ujarnya menunjuk-nunjuk pipinya. “Hhh. Orang dia ngajakin Mel, padahal bisa aja gue diwakilin Melvan kan?”
“Ya elah padahal nggak hadir juga nggak papa.” Jawab Zavier santai.
Riri melotot. “SUMPAH?”
Nampaknya ia keceplosan. “Yaaaaa kan itu undangan, nggak hadir juga nggak papa kali. Emang ada tulisan wajibnya? Enggak kan?”
“Itu mata lo biasa aja, copot ntar.” Imbuhnya mengusapi wajah Riri. “Akal-akalan Elvan aja itu mah buat jahilin lo. Toh lo juga nggak nolak?”
Gadis itu mendengkus. Percuma saja ia kesal, tak akan merubah atau memutar waktu berharganya untuk tidak keluar dari rumah. Beruntung ada Zavier yang bisa menemaninya berkuliner. Namun tak lama lelaki itu pamit untuk masuk ke dalam gedung acara karena ingin ikut bersenang ria. Dan tinggal lah Riri sendiri disana. Duduk seraya mengaduk minuman bobanya, sekali lalu melihat orang-orang berdatangan.
“Mbak, satu ya.”
Sial!
Mengapa dari padatnya manusia yang berdatangan di acara ini, Semesta mempertemukan gadis itu dengan lelaki yang sempat ia hindari mati-matian? Dan mengapa kedua pupil mereka harus saling menyorot tanpa perintah? Bertemu tatap seperkian detik membuat hati sang dara berkecamuk.
“Ri? Sendiri?” Sapa lelaki itu.
Sudah berapa lama Riri tak bersua? Sudah berapa lama Riri tak bertegur sapa? Sudah berapa lama hubungan yang awalnya baik-baik saja menjadi runyam karena egonya sendiri? Sudah berapa lama?
We meet again.
“Lo sendirian?” Tanyanya lagi.
Menggeleng. “Enggak, gue sama Elvan, Melvan juga.”
Lelaki itu manggut-manggut dan semakin mendekat. “Gue boleh duduk sini?” Tunjuknya.
“Duduk aja.”
Danu tersenyum. “Gue kira lo masih takut buat duduk bareng gue.”
Jleb! Sungguh kalimat itu melukai sang dara.
“Lah si El kemana?” Imbuhnya.
“Di dalem lah.”
Raut wajah Danu berubah. Bola matanya membulat, kedua alisnya sedikit menukik. “Lo ditinggal sendiri? Wah parah ba—“
“Enggak. Gue yang mau di luar.” Potong Riri sebelum Danu melayangkan protesnya. “Guenya males mau masuk.”
Setelah itu keheningan sengaja datang, membuat masing-masing otak mereka bekerja dalam menemukan obrolan ringan lainnya. Canggung. Mungkin setelah pertemuan terakhir mereka di Pujas, Danu mulai menjaga jaraknya pula. Terlihat dari bagaimana lelaki itu saat ini—dalam mencairkan suasana. Jika hari-hari lampau Danu selalu memiliki topik obrolan untuk mengusir hening, berbeda dengan saat ini. Ia hanya terus menyeruput minuman meski sesekali melirik gadis di depannya yang tak kalah sibuk bermain dengan sedotan.
“Bentar lagi puncak acara, masuk yuk?”
Danu berhasil membuat Riri mendongak. “Tadi kan gue bilang males masuk malah lo ajakin. Lagian gue sama sekali nggak pernah dengerin lagu-lagu yang dibawain. Bahkan musisinya aja gue nggak tau. Terus apa serunya di dalem?”
“Nggak papa. Emang harus? Orang dateng ke festival musik gini hafalin semua lagu? Ngenalin semua musisinya?”
“Ya kan orang dateng pasti karena ada musisi yang dia pengen lihat. Kayak lo deh, lo kesini mau ngapain? Pasti ada yang pengen lo lihat karena lo tau juga lagu-lagunya.” Riri terus mengeluarkan argumennya. “Kalo gue mah kesininya karena dipaksa sama Elvan.”
Lelaki itu tersenyum. Lantas menghabiskan minumannya, dan berdiri dari tempat duduknya.
“Yuk masuk.” Danu mengulurkan tangan. “Let the music heal you. Let the lyrics soothe you.”
“Music is simply magic. Masuk ke dalem sama gue. Nggak usah fokus sama ramenya orang di dalem, kita diem di tribun aja it’s okay. Percaya sama gue, it can heal you in all the places it hurts.”
Jemari sang dara memainkan beberapa air yang menetes di gelas cup, meski manik hitam memandangi sang lawan. Ia tengah berfikir, mungkin juga tersihir. Dengan kalimat yang Danu rangkai sebegitu indahnya menyita kepercayaan Riri.
Meski tak banyak orang mengerti tentang luka yang ada pada diri Riri, entah mengapa Danu selalu berhasil meyakinkannya. Entah mengapa untuk kesekian kalinya Danu membuat hatinya sedikit lega.
Gadis itu beranjak—tentu dengan menerima uluran tangan dari sang kawan.
—
Danu tak melepaskan genggamannya, Riri pun masih nyaman-nyaman saja mengaitkan kelima jarinya di antara jari lawannya. Benar apa yang dikatakan Danu tentang bagaimana musik dapat mendatangkan keajaiban pengusir lara. Terlebih kala musik dari Figura Renata mengalun indah.
“Musisi favorite gue, Ri.” Ujar Danu tepat di telinga Riri, takut-takut gadis itu tak mendengar.
Riri menoleh dan mendekatkan bibirnya pada telinga Danu. “Will be my favorite too soalnya sopan bener masuk di kuping gue.” Disertai senyum yang mengembang.
Tolong tahan Danu untuk fokus saja pada puncak acara festival musik. Karena saat ini ada yang lebih menarik atensinya, ada sesuatu yang mampu membuat benih hitamnya melebar. Rekahan senyum Riri, adalah alasan Danu mengalihkan seluruh pandangnya. Tanpa sadar pula ia menyunggingkan bibirnya, mengusapi punggung tangan Riri dengan ibu jarinya.
Mampukah ku berjalan…
Sejauh ini… Tanpamu kini…
Aku masih menerka apa yang akan hilang, dan hari yang akan berbeda dengan dan tanpamu…
Riri menolehkan diri pada sisi kanannya. Ia tertawa karena suara Danu yang lebih nyaring dari pada musisi itu sendiri.
“Ngegas bener pak?”
“Semua yang terutarakan takkan mampu ku ucapkan~” Kini Danu menarik genggamannya, menjadikan itu sebagai pengganti mic. Benar-benar menyanyikan lagu berjudul Prarasa dengan nikmatnya.
Gejolak tawa semakin terukir. Rasanya Riri ingin mengubur diri karena malu dengan tingkah Danu.
“Heh anjir sadar lu sadar!” Menepuki bahu Danu yang hanya dibalas tawa renyah.
Beragam potongan kertas, milar, mulai berjatuhan sebagai tanda berakhirnya acara. Danu menemani Riri di tempat dimana gadis itu berjanjian dengan Elvan, meski awalnya ia sudah memberi tawaran untuk pulang bersama namun Riri menolak karena tak enak hati dengan Elvan juga.
“Lah dimari lu Dan? Si Amar sama Topan nyariin lu dari tadi ama gua dah akhirnya di dalem.” Tukas Elvan kala sampai di hadapan mereka.
Riri menoleh. “Lo tadi sama temen-temen lo?”
Danu mengangguk.
“Ngapa nemenin gue jadinya?!” Protes Riri. “Kasian anjir temen lu.”
“Orang mereka ninggalin gue, makanya gue pergi aja dulu beli minum.”
Riri berdecak. Elvan dan Melvan hanya diam sebab tak mengetahui huru hara mereka berdua.
“Ya udah yuk balik keburu Abang lo neror gue mulu ini dari tadi nelponin gue.” Elvan menunjukkan layar ponselnya.
“Gue duluan ya Danu! Thank you!” Riri melambai.
“Bro balik duluan.” Elvan menepuk bahu Danu.
“Duluan bang!” Melvan tak kalah.
Danu menghela nafas panjang. Memandangi punggung Riri yang semakin mengecil dan sekejap menghilang. Ia memijati pelipisnya sembari membalas sebuah pesan. Tak lama kedua temannya menghampiri.
“Anjingggg anjingggg Lutvan anjingggg.” Umpatan itu keluar dari mulut Amar. “Udah kata gue mah lu pepet aja bocahnye Dan, Dan…”
Danu berdecak. “Balik balik lah puyeng gue.”
Taufan menahan lengan Danu yang hampir membalikkan badan. “Lu oke nggak?”
Danu mengernyit. “Maksud lo apaan Pan?”
“Itu—“
“Oh, aman.”