souljaehyunn

Figura Renata.

Gadis bernama Apsarini itu manggut-manggut memandangi L-Banner yang ada di depan venue. Ia membulatkan bibirnya, kala kedua bola mata menyusuri abjad-abjad guna mengetahui jajaran guest star yang meramaikan festival musik.

“Nggak ada yang kenal.” Ucapnya setelah beberapa saat berdiam di sana. Bagaimana bisa ia kenal? Musik-musik indie saja tidak pernah masuk ke dalam telinganya.

Riri berpisah dengan Elvan dan Melvan. Lebih tepatnya gadis itu yang memilih untuk tidak bergabung ke tengah-tengah kerumunan orang yang tengah menikmati acara itu.

Berjalan melewati beberapa stand, tak jarang ia disapa oleh mahasiswa se-angkatan. Rupanya banyak teman-temannya yang datang ke acara tersebut—ah ralat memang Riri yang tak pernah menghadiri acara semacam ini, itu sebabnya ia baru mengetahui bila banyak dari mereka yang memiliki afinitas terhadap musik indie.

“Woy!!”

“Anj—“ hampir saja ia mengumpat. “Woy lo anjing banget ya!” Ah maaf Riri baru saja mengumpat.

Zavier hanya cengengesan. Ya, lelaki itu mendapat umpatan dari Riri karena berhasil membuat merosotnya jantung si gadis yang tengah fokus pada menu makanan di salah satu stand.

“Lo mimpi apaan anjir dateng kemari?” Ejek Zavier sembari menangkup kedua pipi Riri dengan satu tangan.

“Ck! Elvan noh! Ini lepas dulu nggak?!” Ujarnya menunjuk-nunjuk pipinya. “Hhh. Orang dia ngajakin Mel, padahal bisa aja gue diwakilin Melvan kan?”

“Ya elah padahal nggak hadir juga nggak papa.” Jawab Zavier santai.

Riri melotot. “SUMPAH?”

Nampaknya ia keceplosan. “Yaaaaa kan itu undangan, nggak hadir juga nggak papa kali. Emang ada tulisan wajibnya? Enggak kan?”

“Itu mata lo biasa aja, copot ntar.” Imbuhnya mengusapi wajah Riri. “Akal-akalan Elvan aja itu mah buat jahilin lo. Toh lo juga nggak nolak?”

Gadis itu mendengkus. Percuma saja ia kesal, tak akan merubah atau memutar waktu berharganya untuk tidak keluar dari rumah. Beruntung ada Zavier yang bisa menemaninya berkuliner. Namun tak lama lelaki itu pamit untuk masuk ke dalam gedung acara karena ingin ikut bersenang ria. Dan tinggal lah Riri sendiri disana. Duduk seraya mengaduk minuman bobanya, sekali lalu melihat orang-orang berdatangan.

“Mbak, satu ya.”

Sial!

Mengapa dari padatnya manusia yang berdatangan di acara ini, Semesta mempertemukan gadis itu dengan lelaki yang sempat ia hindari mati-matian? Dan mengapa kedua pupil mereka harus saling menyorot tanpa perintah? Bertemu tatap seperkian detik membuat hati sang dara berkecamuk.

“Ri? Sendiri?” Sapa lelaki itu.

Sudah berapa lama Riri tak bersua? Sudah berapa lama Riri tak bertegur sapa? Sudah berapa lama hubungan yang awalnya baik-baik saja menjadi runyam karena egonya sendiri? Sudah berapa lama?

We meet again.

“Lo sendirian?” Tanyanya lagi.

Menggeleng. “Enggak, gue sama Elvan, Melvan juga.”

Lelaki itu manggut-manggut dan semakin mendekat. “Gue boleh duduk sini?” Tunjuknya.

“Duduk aja.”

Danu tersenyum. “Gue kira lo masih takut buat duduk bareng gue.”

Jleb! Sungguh kalimat itu melukai sang dara.

“Lah si El kemana?” Imbuhnya.

“Di dalem lah.”

Raut wajah Danu berubah. Bola matanya membulat, kedua alisnya sedikit menukik. “Lo ditinggal sendiri? Wah parah ba—“

“Enggak. Gue yang mau di luar.” Potong Riri sebelum Danu melayangkan protesnya. “Guenya males mau masuk.”

Setelah itu keheningan sengaja datang, membuat masing-masing otak mereka bekerja dalam menemukan obrolan ringan lainnya. Canggung. Mungkin setelah pertemuan terakhir mereka di Pujas, Danu mulai menjaga jaraknya pula. Terlihat dari bagaimana lelaki itu saat ini—dalam mencairkan suasana. Jika hari-hari lampau Danu selalu memiliki topik obrolan untuk mengusir hening, berbeda dengan saat ini. Ia hanya terus menyeruput minuman meski sesekali melirik gadis di depannya yang tak kalah sibuk bermain dengan sedotan.

“Bentar lagi puncak acara, masuk yuk?”

Danu berhasil membuat Riri mendongak. “Tadi kan gue bilang males masuk malah lo ajakin. Lagian gue sama sekali nggak pernah dengerin lagu-lagu yang dibawain. Bahkan musisinya aja gue nggak tau. Terus apa serunya di dalem?”

“Nggak papa. Emang harus? Orang dateng ke festival musik gini hafalin semua lagu? Ngenalin semua musisinya?”

“Ya kan orang dateng pasti karena ada musisi yang dia pengen lihat. Kayak lo deh, lo kesini mau ngapain? Pasti ada yang pengen lo lihat karena lo tau juga lagu-lagunya.” Riri terus mengeluarkan argumennya. “Kalo gue mah kesininya karena dipaksa sama Elvan.”

Lelaki itu tersenyum. Lantas menghabiskan minumannya, dan berdiri dari tempat duduknya.

“Yuk masuk.” Danu mengulurkan tangan. “Let the music heal you. Let the lyrics soothe you.

Music is simply magic. Masuk ke dalem sama gue. Nggak usah fokus sama ramenya orang di dalem, kita diem di tribun aja it’s okay. Percaya sama gue, it can heal you in all the places it hurts.

Jemari sang dara memainkan beberapa air yang menetes di gelas cup, meski manik hitam memandangi sang lawan. Ia tengah berfikir, mungkin juga tersihir. Dengan kalimat yang Danu rangkai sebegitu indahnya menyita kepercayaan Riri.

Meski tak banyak orang mengerti tentang luka yang ada pada diri Riri, entah mengapa Danu selalu berhasil meyakinkannya. Entah mengapa untuk kesekian kalinya Danu membuat hatinya sedikit lega.

Gadis itu beranjak—tentu dengan menerima uluran tangan dari sang kawan.

Danu tak melepaskan genggamannya, Riri pun masih nyaman-nyaman saja mengaitkan kelima jarinya di antara jari lawannya. Benar apa yang dikatakan Danu tentang bagaimana musik dapat mendatangkan keajaiban pengusir lara. Terlebih kala musik dari Figura Renata mengalun indah.

“Musisi favorite gue, Ri.” Ujar Danu tepat di telinga Riri, takut-takut gadis itu tak mendengar.

Riri menoleh dan mendekatkan bibirnya pada telinga Danu. “Will be my favorite too soalnya sopan bener masuk di kuping gue.” Disertai senyum yang mengembang.

Tolong tahan Danu untuk fokus saja pada puncak acara festival musik. Karena saat ini ada yang lebih menarik atensinya, ada sesuatu yang mampu membuat benih hitamnya melebar. Rekahan senyum Riri, adalah alasan Danu mengalihkan seluruh pandangnya. Tanpa sadar pula ia menyunggingkan bibirnya, mengusapi punggung tangan Riri dengan ibu jarinya.

Mampukah ku berjalan…

Sejauh ini… Tanpamu kini…

Aku masih menerka apa yang akan hilang, dan hari yang akan berbeda dengan dan tanpamu…

Riri menolehkan diri pada sisi kanannya. Ia tertawa karena suara Danu yang lebih nyaring dari pada musisi itu sendiri.

“Ngegas bener pak?”

“Semua yang terutarakan takkan mampu ku ucapkan~” Kini Danu menarik genggamannya, menjadikan itu sebagai pengganti mic. Benar-benar menyanyikan lagu berjudul Prarasa dengan nikmatnya.

Gejolak tawa semakin terukir. Rasanya Riri ingin mengubur diri karena malu dengan tingkah Danu.

“Heh anjir sadar lu sadar!” Menepuki bahu Danu yang hanya dibalas tawa renyah.

Beragam potongan kertas, milar, mulai berjatuhan sebagai tanda berakhirnya acara. Danu menemani Riri di tempat dimana gadis itu berjanjian dengan Elvan, meski awalnya ia sudah memberi tawaran untuk pulang bersama namun Riri menolak karena tak enak hati dengan Elvan juga.

“Lah dimari lu Dan? Si Amar sama Topan nyariin lu dari tadi ama gua dah akhirnya di dalem.” Tukas Elvan kala sampai di hadapan mereka.

Riri menoleh. “Lo tadi sama temen-temen lo?”

Danu mengangguk.

“Ngapa nemenin gue jadinya?!” Protes Riri. “Kasian anjir temen lu.”

“Orang mereka ninggalin gue, makanya gue pergi aja dulu beli minum.”

Riri berdecak. Elvan dan Melvan hanya diam sebab tak mengetahui huru hara mereka berdua.

“Ya udah yuk balik keburu Abang lo neror gue mulu ini dari tadi nelponin gue.” Elvan menunjukkan layar ponselnya.

“Gue duluan ya Danu! Thank you!” Riri melambai.

“Bro balik duluan.” Elvan menepuk bahu Danu.

“Duluan bang!” Melvan tak kalah.

Danu menghela nafas panjang. Memandangi punggung Riri yang semakin mengecil dan sekejap menghilang. Ia memijati pelipisnya sembari membalas sebuah pesan. Tak lama kedua temannya menghampiri.

“Anjingggg anjingggg Lutvan anjingggg.” Umpatan itu keluar dari mulut Amar. “Udah kata gue mah lu pepet aja bocahnye Dan, Dan…”

Danu berdecak. “Balik balik lah puyeng gue.”

Taufan menahan lengan Danu yang hampir membalikkan badan. “Lu oke nggak?”

Danu mengernyit. “Maksud lo apaan Pan?”

“Itu—“

“Oh, aman.”

“There are many interesting things that u should know.”

Kalau saja Rio tak mengatakan itu mungkin Arthfel juga malas menemui mereka di basecamp. Dan lagi tempat yang mereka sebut basecamp itu bukan seperti tempat berkumpul pada umumnya, like a place of torture other than Narnia menurut penilaian Arthfel.

Letaknya di sebuah gedung yang tidak lebih besar dari gedung asramanya. Bedanya, gedung itu sudah tak terpakai dan sama sekali tidak dirawat. Tempat kosong yang dibiarkan begitu saja dengan banyak pecahan kaca jendela also a distinctive fishy blood smell. Tak dapat dipungkiri Arthfel nyaris merasa takut.

Lelaki dengan cerutu yang diapit diantara bibirnya itu tanpa mengetuk pintu (the rules), langsung membuka akses jalannya memasuki basecamp.

Benar saja hanya ada empat orang di sana tapi tunggu—orang keempatnya adalah Arthfel. Yang ia lihat saat ini hanya ada Rio, Samuel, dan Aristaeus. Atau sebenarnya ada Eris but she cloak herself invisible from him?

“Mana Eris?” Tanya Arthfel tanpa basa basi.

Tidak ada yang menjawab pertanyaan Arthfel. Yang lelaki itu dapat hanyalah sebuah tatapan dari keenam bola mata, dengan salah satu dari mereka mendengkus. Seperti telah menjadi pemenang, Samuel bertepuk tangan sembari berdiri dari kursinya.

Well. Sesuai dugaan gue kan?” Ungkap Samuel membanggakan dirinya dihadapan Rio dan Aris. “Dia itu sebelas dua belas kayak Leo.”

W-wait what do you mean?” Sela Arthfel.

Samuel berjalan mendekat dan tersenyum remeh.

Prarasa.

Mampukah ku berjalan…

Sejauh ini… Tanpamu kini…

Aku masih menerka apa yang akan hilang, dan hari yang akan berbeda dengan dan tanpamu…

Perempuan dengan simple dress warna coklat beraksen tali hitam di pundak baru saja menghapus air mata yang tak sengaja jatuh. Lamunannya buyar kala seseorang menjatuhkan kain untuk menutupi pundaknya yang terbuka.

Mengerjap. Tersenyum getir.

“Eh? Mata kamu basah abis nangis ya?” Tanya lelakinya dengan nada khawatir. “Kenapa sayang? Kamu kangen aku? Baru sebentar ngambilin outer kamu di mobil udah kangen aja sih?”

Riri berdesis. “Ishhhh bukannn, abis kelilipan nih.”

Bohong.

Elvan tertawa renyah kemudian membawa gadisnya untuk direngkuh seperkian detik. Sesekali mengecupi puncak kepala.

Lelaki itu tau Riri menangis karena apa. Lelaki itu tau, namun lebih memilih untuk tidak membahasnya. Karena akan ada banyak luka yang terbuka, karena akan ada dua manusia yang sama sakitnya.

“Maaf….” Suara parau Riri terdengar, hingga kemudian Elvan menjauhkan diri dan memberi senyum pengobat lara.

“Mau lanjutin belanja? Apa diem di foodcurt aja gini?” Dihiraukannya kata maaf Riri, yang Elvan tau mengarahnya kemana.

“Jajan aja deh aku tiba-tiba laper.”

Elvan mengangguk. “Mau jajan apa?”

“Samain aja, lagi nggak pengen apa-apa.”

“Ya udah aku muter dulu ya? Diem di sini, itu outernya dipake yanggg.” Ujar Elvan seraya beranjak.

Aku masih menerka apa yang akan hilang… apa yang akan hilang…

Dengan berakhirnya lagu Figura Renata-Prarasa dan menghilangnya diri Elvan, Riri bukannya diam. Tapi tangis itu makin menjadi. Ia menenggelamkan wajahnya pada lipatan kedua tangan di atas meja. Membiarkan air matanya keluar hingga habis jika bisa.

Raga Riri telah hidup di masa depan, namun jiwanya masih tertinggal pada beberapa tahun terbelakang. Bukan ini yang ia harapkan, namun mengapa Tuhan selalu memaksakan.

Malang, 2022

Prarasa.

Mampukah ku berjalan…

Sejauh ini… Tanpamu kini…

Aku masih menerka apa yang akan hilang, dan hari yang akan berbeda dengan dan tanpamu…

Perempuan dengan simple dress warna coklat beraksen tali hitam di pundak baru saja menghapus air mata yang tak sengaja jatuh. Lamunannya buyar kala seseorang menjatuhkan kain untuk menutupi pundaknya yang terbuka.

Mengerjap. Tersenyum getir.

“Eh? Mata kamu basah abis nangis ya?” Tanya lelakinya dengan nada khawatir. “Kenapa sayang? Kamu kangen aku? Baru sebentar ngambilin outer kamu di mobil udah kangen aja sih?”

Riri berdesis. “Ishhhh bukannn, abis kelilipan nih.”

Bohong.

Elvan tertawa renyah kemudian membawa gadisnya untuk direngkuh seperkian detik. Sesekali mengecupi puncak kepala.

Lelaki itu tau Riri menangis karena apa. Lelaki itu tau, namun lebih memilih untuk tidak membahasnya. Karena akan ada banyak luka yang terbuka, karena akan ada dua manusia yang sama sakitnya.

“Maaf….” Suara parau Riri terdengar, hingga kemudian Elvan menjauhkan diri dan memberi senyum pengobat lara.

“Mau lanjutin belanja? Apa diem di foodcurt aja gini?” Dihiraukannya kata maaf Riri, yang Elvan tau mengarahnya kemana.

“Jajan aja deh aku tiba-tiba laper.”

Elvan mengangguk. “Mau jajan apa?”

“Samain aja, lagi nggak pengen apa-apa.”

“Ya udah aku muter dulu ya? Diem di sini, itu outernya dipake yanggg.” Ujar Elvan seraya beranjak.

Aku masih menerka apa yang akan hilang… apa yang akan hilang…

Dengan berakhirnya lagu Figura Renata-Prarasa dan menghilangnya diri Elvan, Riri bukannya diam. Tapi tangis itu makin menjadi. Ia menenggelamkan wajahnya pada lipatan kedua tangan di atas meja. Membiarkan air matanya keluar hingga habis jika bisa.

Raga Riri telah hidup di masa depan, namun jiwanya masih tertinggal pada beberapa tahun terbelakang. Bukan ini yang ia harapkan, namun mengapa Tuhan selalu memaksakan.

Malang, 2022

🛵

“Lo udah jarang barengan Riri nih bos?” Taufan sembari meniup-niup kuah mie ayam yang masih panas.

Danu manggut-manggut. “Kayak ngehindar gitu.”

“Kagak percayaan sih lu kalo gue bilangin.” Ungkap Amar. “Tapi seinget gue si Lutvan baru putus sama cewenya, ini gue awalnya ngebatin set dah cepet bener ni bocah kalo move on.”

Seperti biasa, Danu dan kedua temannya tengah berada di tempat tongkrongan seusai kelas berakhir.

Tak banyak yang tau tentang hubungan Riri dengan Lutvan. Entah mereka berdua sengaja menyembunyikannya dari publik, atau ada alasan lain dibaliknya. Yang jelas, sudah beberapa hari ini Riri terkesan menjaga jarak dengan Danu. Hari-hari menyenangkan yang biasanya Danu lewati bersama Riri pun sirna. Jangankan mengajak perempuan itu pulang bersama, membalas pesan pun Riri enggan.

“Lahh panjang umur—broo!” Taufan melambaikan tangan pada dua insan yang menyoroti sudut untuk mencari meja yang kosong.

Danu yang duduk sendiri di depan Taufan dan Amar, membalikkan tubuhnya untuk mengarahkan pandang pada orang yang Taufan sapa itu.

Riri dan Zavier.

“Gue duduk sini ya sama Riri?” Tanya Zavier sembari meletakkan tas ranselnya.

“Ya duduk bae dah dari pada nunggu meja kosong.” Ujar Taufan.

Danu menggeser tubuhnya, memindahkan tas ransel di sebelahnya agar bisa ditempati oleh Riri maupun Zavier. Lelaki itu menangkap raut wajah canggung pada Riri.

“Sini Ri.” Titah Danu—tangannya menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya yang hanya dijawab dengan anggukan.

“Lo jadinya pesen apa? Gue beli bakso ae dah biar cepet.”

“Samain lo aja Zav.”

Zavier mengangguk dan segera pergi untuk memesankan makanan. Sedang Riri masih berdiri dengan memainkan totebagnya sendiri.

“Ya udah lo duduk ngapa Ri? Gue ngeliat lu aja pegel.”

“Nggak usah diliat repot amat.” Riri merolling eyes menjawab apa yang Amar nyatakan.

Melihat itu Danu menghela nafas. Jika itu karena hanya ada tempat kosong di sampingnya, maka dirinya yang harus mengalah. Ia beranjak, kemudian memakai tas ranselnya.

“Duduk situ Ri, gue udah kelar makan.” Ucap Danu kala berdiri di hadapan gadis itu. “Nggak mungkin kan lo makan sambil berdiri?”

Usai mengatakan itu, lantas Danu berpamitan dengan dua temannya—juga Zavier yang baru saja datang membawa nampan makanan.

Ada rasa sedih kala Danu bertemu Riri dengan perubahan sikap yang signifikan. Tak dapat dipungkiri pula jika ia merasa sakit hati mengetahui perempuan itu telah memiliki seorang kekasih. Bukan Danu yang tak ingin gerak cepat, hanya saja ia ingin menikmati hari-harinya lebih lama sebagai teman dekat Riri. Semua kenyamanan yang ia dapat itu akan berubah pula jika ia mengubah status hubungan.

Danu bersama motornya sudah hampir keluar dari parkiran, namun getar ponsel di saku menghentikan dirinya. Ia membuka layar ponsel, menunjukkan sebuah pesan dari Taufan. Dua ibu jarinya bergantian menekan abjad-abjad pada keyboardnya, lantas Danu masukkan lagi ponsel itu.

Dirinya yang masih terhenti di tengah-tengah pintu parkiran itu akhirnya menepikan diri. Danu turunkan jagang motor, pelindung kepalanya pun ia lepas—masih berada di atas motornya.

Tak lama seorang gadis keluar dari tempat tongkrongannya tadi. Ia sibuk menggulir layar ponsel sembari berjalan, sesekali menengok ke kanan dan ke kiri. Ia bahkan tak sadar bila fokusnya terhadap ponsel dapat membahayakan dirinya sendiri.

Bukan Danu namanya jika ia hanya berdiam diri melihat seorang gadis akan menyeberangi jalan dengan kedua bola mata yang tak berkutat dari layar ponsel.

“Mau balik nggak?”

Pertanyaan dari Danu akhirnya mampu membuat gadis itu mendongakkan kepalanya. Ia nampak sedikit terkejut karena Danu tiba-tiba berada di hadapannya.

“Lah malah diem? Balik nggak Ri?” Ah sial mengapa Danu harus menatap manik legam gadis dihadapannya? Itu semakin membuat Danu jatuh cinta.

Riri manggut-manggut. “Iya ini mau balik. Lo ngapain disini?”

“Nungguin lo.”

Gadis itu nampak bingung dengan pernyataan Danu. Perasaan dirinya tak meminta Danu untuk menunggunya?

“Gue nggak minta lo—“

“Ya emang nggak minta, tapi Zavier ada kelas lagi kan? Terus cowok lo ada futsal. Lo balik sama siapa?”

“Ini gue bisa balik naik ojol.” Jawabnya cepat.

Danu menghela nafas. “Ri, lo lagi ngejauhin gue ya? Gue tau lo udah punya cowok, kalo lo mau jaga jarak sama gue nggak gini caranya. Tanpa lo minta juga gue udah tau batesan kok.”

Entah mengapa Danu tiba-tiba mengatakan hal itu. Padahal berhari-hari ia telah berhasil mengurungkan niat untuk mengungkapkannya.

Terdapat kerutan halus di dahi Riri. Gadis itu merasa sedikit bersalah mendengar apa yang Danu nyatakan.

Sorry, Danu.” Hanya itu yang terucap dari bibir cerinya.

It’s okay, lo udah pesen ojol? Kalo udah gue cabut.”

Riri menggeleng. “Bareng lo dehhhh.” Sesalnya. “Tapi gue nggak bawa helm Dan.”

“Gampang lah pake helm gue juga bisa.”

“Lo bawa helm dua?”

“Satu lahhh, ngapain bawa dua orang kagak ada yang gue boncengin.” Ujarnya seraya membalikkan badan, bersiap untuk menyebrangi jalan.

“Lah kalo gue pake helm lo, lo pake apa dong?”

“Ssstt diem dulu Ri, ayo ini nyebrang dulu.” Danu menarik pergelangan tangan Riri—ini adalah tindakan reflek yang tidak bisa dihindari oleh siapapun.

“Danu!! Serius ah ini terus lo nggak pake helm gitu?” Protes Riri kala Danu memberikan helmnya.

“Iya yang penting lo pake helm. Gue tau jalan tikus, tenang aja—udah ayo buruan naik.”

Danu sudah bersiap menyalakan motornya. “Ayo Ri buruan dipake helmnya.”

“Iya iya.” Riri berdecak sembari menaiki motor. “Lo nya nggak pake helm beneran? Bukan gue takut polisi, tapi kan safety first gitu.”

“Yaaaaa safety first.” Ucap Danu dengan sedikit tawa.

Safety first. But Riri's safety comes first.

Tiga orang lelaki dengan misi yang berbeda tengah jalan bersama. Mereka lebih memilih berjalan kaki dari pada harus mengendari satu-satunya kendaraan yang ada di Golgotha.

Bukan tanpa alasan Zion mengajak Arthfel dan Nolan. Lelaki itu sengaja agar mereka berdua kembali bertemu dan meluruskan kesalahpahaman yang ada. Dan lagi hanya mereka berdua yang Zion percaya meski berkali-kali Arthfel mengingatkan untuk jangan mempercayai dirinya.

Pulau mati yang hanya dikelilingi hutan rimbun terasa menyejukkan di pagi hari. Membuat ketiganya berjalan dengan saling berdiam tanpa obrolan. Zion yang asyik bersiul sembari memperhatikan sekitar, Nolan berjalan menunduk, dan Arthfel yang setia dengan benda kecil menyala yang tengah diapit diantara ruas jarinya.

Ini masih siang hari, namun terdengar suara teriakan menggema. Bias suara yang menggambarkan rasa sakit luar biasa, mampu menyita atensi Arthfel seketika.

“Lo denger?” Tanyanya pada Zion dan Nolan yang mendadak menghentikan langkahnya pula.

Raut wajah penuh keraguan muncul pada Nolan saat ini.

“Ck lo tuli kan? Lupa gue.” Cibir Arthfel. Mengingat perkataan Eris kala itu. “Nggak cuma tuli, lo juga buta.” Imbuhnya.

Rolling eyes yang dilemparkan Arthfel—tanda malas dengan diamnya Nolan. Pemuda itu sudah bosan karena lawannya tak akan mau menjawab segala tanya yang ia lontarkan.

“Iya gue denger.” Lirih Nolan ketika Arthfel melanjutkan jalannya yang terhenti.

“Gue juga denger bang. Padahal gue mau jawab, keburu lo emosi ngapa dah.” Sahut Zion.

Arthfel membalikkan badan. “Noh ask him kenapa gua emosi.” Mengendikkan dagunya. “Kagak ada kontribusinya buat ngasih info yang gue cari. Terus ngapain dah lu bisa disuruh Thana buat ngebantuin gue as a new student? Hah enggak gue nggak sudi jadi murid. Nevermind lanjut jalan aja.”

Nolan hanya mendengkus mendapat kalimat pedas dari Arthfel. Sebenarnya ia ingin menceritakan semua, tentang apa yang Arthfel cari, tentang Leo, bahkan tentang semua hal yang ada di Golgotha. Namun jika Nolan melakukan itu, akan ada banyak hal lain yang menjadi taruhannya.

Seperti prinsip hukum karma. Apa yang kamu tanam itulah yang akan kamu petik. Kamu tanam perbuatan baik, kamu pun pasti akan memetik buah kebaikan. Begitulah sebaliknya. Kamu tanam perbuatan buruk dan jahat, pasti akan datang kepadamu kejahatan dan keburukan dan musibah pula.

Satu dari ribuan pertanyaan yang bersarang di benak Arthfel tiba-tiba mengudara. Nolan sibuk mengenalkan berbagai tempat pada Zion, sedang Arthfel berjalan mendekati salah satu rumah yang kerap kali ingin ia kunjungi. Berjajar di tepi jalan dengan jarak antar rumah, cukup membuat Arthfel tak mempercayai bila masing-masing rumah memiliki penghuni. Terlebih tak pernah terlihat aktivitas di lingkungan sekitar.

Di kesempatan ini, pemuda itu nekat memangkas jarak dengan bangunan yang katanya memiliki penghuni.

Why is this smell so familiar? Does it smell of blood?” lirih Arthfel sembari langkahnya terus mendekat.

Tangannya hampir meraih knop pintu bila Nolan tak segera menarik lengannya.

Fuck! Lo ngapain anjir?!” Desis Nolan mengeratkan genggamannya pada lengan Arthfel.

Di tepisnya tangan Nolan. “None of your business. Lo mending lanjutin jadi tour guide.” Tukas Arthfel tanpa rasa takut.

“Kalo lo cari petaka nggak gini caranya. Just break all the rules here tapi jangan sekali-kali lo ngelewatin bates kayak gini.”

You said to break all the rules here right? Ya ini mau gue langgar anjing lo nggak udah ikut campur!” Arthfel mendorong tubuh Nolan dengan lengannya.

Zion tercekat melihat dua pemuda itu. Pasalnya Nolan dengan cepat berhasil mendaratkan pukulan pada Arthfel hingga lawannya tersungkur. Dan tanpa banyak bicara pula Arthfel memberikan jenis pukulan yang sama.

Terjadilah perkelahian yang tak dapat Zion hentikan. Kala lelaki itu berusaha menghentikan keduanya, tubuhnya malah terdorong ke belakang—tepat pada pintu rumah yang hampir Arthfel buka.

Bruakkk!!!

image

Bunyi gebrakan pintu kayu rupanya mampu membuat Nolan dan Arthfel berhenti.

Zion masih belum bangun dari jatuhnya akibat dorongan kuat dari perkelahian kedua pemuda. Sedang Arthfel dengan cepat berjalan melangkahi Zion untuk masuk ke dalam rumah. Wajah yang babak belur hingga mengeluarkan cairan kental, tak membuat Arthfel tunduk oleh perintah Nolan untuk tidak masuk ke dalam bangunan.

Desiran darah Arthfel naik ke atas permukaan kala melihat seseorang terbaring di atas ranjang putih. Mengenaskannya lagi, manusia itu masih menghembuskan nafas meski sekujur tubuhnya full of disfigured wounds from attempted murder.

Arthfel mengenali wajah itu meski hampir seluruh wajahnya rusak. Arthfel mengenali bucket hat yang ada di bawah ranjangnya, sebab ia pernah melihat pada foto yang dikirimkan sang Ayah.

Leo. Sepupunya yang selama ini ia cari keberadaannya. Lelaki yang sampai saat ini masih menjadi tanya yang tak memiliki jawaban.

Nafas Arthfel memburu. Kedua tangannya kembali mengepal hingga timbul getaran pada lengan.

“Nolan.” Panggil Arthfel. “Can you fucking explain what i see? Atau lo mau ngelanjutin adu gampar sama gue?”

Tak ada jawaban.

“Zion, can you check if he is still alive or not?”

Si empunya nama segera beranjak untuk mendekat ke ranjang. Ibu jarinya mengusap pergelangan tangan Leo dan merasakan denyut nadi lelaki itu.

Still alive. Bang tapi gue rasa udah lemah.” Ungkap Zion tak berani menatap kedua mata Arthfel yang nampak membara.

“Nolan i give you five seconds to start explaining.”

Sungguh suara Arthfel saat ini sangat kentara bila ia tengah menahan emosi yang siap meledak.

One.”

Two.”

Three.”

“Bang?!” Seru Zion menatap keterdiaman Nolan di ambang pintu.

Four.”

Arthfel tertawa sarkas. “You have chosen.”

Five.” Bersamaan dengan hitungan kelima, Arthfel membalikkan badan lantas menyerang Nolan.

Lelaki itu tanpa hentinya mendaratkan pukulan tak berbelas kasih. Emosi meluap akibat sesuatu yang sengaja Nolan sembunyikan. Emosi meluap akibat rasa tak terima sebab kondisi sepupunya yang mengenaskan. Dan emosi meluap sebab pernyataan bahwa Leo sudah lulus sejak lama, namun nyatanya terbaring sendiri dalam gelapnya bangunan ini.

“BANG ARTHFEL LO BISA NGEBUNUH BANG NOLAN ANJIR UDAH!!” Seru Zion yang tak kalah kerasnya dengan suara pukulan yang Arthfel hasilnya.

STOP!! BANG SUMPAH BERHENTI NGGAK?!”

Usaha Zion kembali sia-sia. Jika sudah begitu lelaki itu berani berbuat nekat. Potongan kayu tajam yang banyak berserakan di lantai ia ambil dan ia ayunkan pada tubuh Leo.

“BANG ARTHFEL DO YOU WANNA STOP OR NOT?!!” Ancam Zion.

YOU!” Tunjuk Arthfel sembari beranjak menuju Zion. “GO TO THE HELL!!”

Bak dikuasai oleh iblis, lelaki bernama Arthfel itu tak peduli bila ia akan menghabisi kedua pemuda yang sedang bersamanya.

Stop.” Cegah Nolan sembari berusaha mendudukkan diri.

“Gue, Gideon, Leo, adalah penganut life without circle. Maksud gue….” Nolan menjelaskan dengan terbata. Berhenti sejenak karena cairan merah keluar dari mulutnya.

“Kita bertiga nggak masuk dalam circle manapun. There are some things you should know, Fel.”

“Gue sama Gideon yang berusaha ngerawat dia.” Nolan mengendikkan dagu kearah Leo.

Be careful with your circle.”

“Dan…”

Nolan tengah kesulitan berbicara lagi. Namun setengah kesadarannya masih mampu untuk mengucapkan kalimat-kalimat terakhir.

I’m neither deaf nor blind. Gue tau Eris, tapi gue lebih milih untuk nggak berurusan lagi sama dia.”

Again.”

Be careful…. With your circle.”

Nolan kehilangan kesadaran.

Hanya dalam waktu beberapa bulan saja pemuda itu mampu menjalin hubungan baik dengan perempuan yang bisa dibilang cukup dekat sekarang. Hanya dalam waktu sesingkat itu pula perempuan bernama Apsarini merasa nyaman meski statusnya ‘masih’ sebagai seorang teman.

Danu benar-benar merealisasikan ucapannya tentang bunga edelweis yang kemarin mereka bicarakan. Ia datang membawa buah tangan yang ia bawa dari Bromo. Tanpa mengatakan apapun—memberikan begitu saja, dan dengan senang hati pula Riri terima.

Bicara tentang cuaca hari ini, pagi beranjak siang awan kelabu mulai datang berbondong-bondong tanpa diminta. Gumpalan kapas itu bisa jadi mendatangkan hujan yang identik dengan sesuatu yang melankolis—sering mencerminkan sisi kerinduan. Saat hujan datang bertamu, hanya ada dua pilihan. Bergelimang rindu atau mengenang sendu. Seperti semua kenangan bisa secara otomatis terputar dalam benak semua insan. Kita kan menikmatinya dalam senja-senja beranjak pulang.

Kepada hujan yang akan menjamah bumi, janganlah datang lebih dulu kala kedua insan bertemu. Harap seorang pemuda dengan pakaian monokromnya.

“Udah musim penghujan, makam Mama pinggirannya nggak ada batunya.” Danu bermonolog. “Biar nggak longsor, soalnya makamnya agak miring.”

“Jadi tiap musim hujan gue selalu ngasih batu bata gini.”

Apsarini kehilangan kata-kata semenjak dirinya memijakkan kaki di pemakaman. Dalam diamnya, gadis itu hanya membantu membersihkan rumput-rumput yang mulai tumbuh di atas gundukan tanah milik cinta pertama Danu.

“Ri?”

Riri menoleh.

“Ini Mama gue.” Danu mengusap batu nisan sembari tersenyum ke arah Riri. “Diem mulu lo kenapa dah? Gue takut lo kesambet.”

Riri berdecak dan akhirnya bersuara juga. “Gue speechless karena lo tiba-tiba ngajak gue ke makam nyokap lo. Kayak gue mau bilang random lo keterlaluan tapi gimana ya?”

“Random ya?” Danu tertawa. “Lah lo kenapa nggak nolak aja sama kerandoman gue sih?”

Riri hanya bisa mengernyitkan alis. Tak menemukan sebuah jawab atas pertanyaan yang dilontarkan Danu.

“Nggak usah kayak gitu, jelek.” Ledeknya. “Yuk balik aja, mendung bentar lagi hujan.” Ajak Danu setelah menyelesaikan urusannya.

Mereka berdua tak lama berada disana. Danu hanya memastikan bahwa makam sang Mama dalam keadaan yang baik, dengan begitu, baik ia maupun Abangnya tak akan khawatir kala hujan datang mengguyur seluruh kota.

“Mendung belum tentu hujan, Dan.” Jawab Riri yang kini berjalan mengikuti langkah si pemuda, meninggalkan pemakaman.

“Terus kalo nyatanya hujan?” Danu menghentikan langkah dan berjajar di samping Riri.

“Ya udah diem di rumah bikin mi rebus.”

“Di rumah gue ya?”

“Ha?”

“Bikin mi rebus di rumah gue nanti kalo hujan.”


Bak cenayang yang bisa mendapatkan informasi, energi, atau kekuatan di dalam kesadaran kosmik. Apa yang Danu katakan benar. Setetes demi setetes air dari langit turun. Beruntungnya mereka berdua telah sampai di kediaman Danu sebelum gerombolan air bening datang menyerbu.

Hari ini, semua serba pertama kali bagi Riri.

Pertama kali ada seorang lelaki mengajaknya pergi ke makam. Pertama kali ia berkunjung ke rumah lelaki selain Zavier, dalam maksud lain seperti sekarang ini. Dan pertama kali pula ia memasak mi rebus berdua dengan lelaki selain Mas Jovannya atau Zaviernya.

Ada rasa ‘aneh’ yang muncul pada diri Riri. Namun ia tutup rapat dalam diamnya saat ini.

“Abang lo belum pulang?” Riri menginterupsi Danu yang tengah beranjak mengambil air minum.

“Ada kok, lagi di kamar mandi. Bentar lagi juga keluar—nah tuh panjang umur.”

Danu mengendikkan dagunya ke arah lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dengan kaos hitam polos dan senyum yang terukir di wajahnya. Sontak Riri berdiri kala tatapan mereka bertemu.

“Pasti Riri?” Tunjuk pemuda itu.

Wah beneran keluarga cenayang? batin Riri. Gadis itu meraih tangan lawannya yang mengudara.

“Gue Kenzie, panggil Ken aja.” Menahan tangan Riri. “Ini beneran Riri kan?”

“Yailah kagak percayaan amat itu bocahnya udah ngangguk tadi.” Sela Danu sembari mendudukkan diri lagi di kursi.

“Lah gue memastikan apa bener ini cewek yang sering lo ceritain.”

Danu sering nyeritain gue ke Abangnya?

Santai sekali Kenzie mengatakan hal itu di depan Danu dan Riri. Lelaki itu juga tak sadar dengan Riri yang menuntut kejelasan tentang maksud pernyataan yang ia lontarkan.

“Gue sering cerita kalo lo sumber gosipnya anak-anak kampus.”

Riri yang tengah memakan sesuap mienya itu lantas mengarahkan pandangnya pada Danu.

“Ah iya yang itu juga.” Sahut Kenzie.

Kedua mata Riri sudah meruncing, bisa-bisanya Danu menceritakan tentang hal itu pada saudara kandungnya. Seperti tidak ada hal baik yang dapat Danu ceritakan dari dirinya—ah lagi-lagi Riri berharap lebih. Namun tak dapat dipungkiri jika ia sempat berpikir macam-macam kala Kenzie mengatakan Danu sering menceritakan tentang dirinya.

Hujan yang tak kunjung reda membuat Riri harus lebih lama berada di rumah Danu. Gadis itu sudah memberitahu si sulung agar Jovan mau menjemputnya saat jam kantor berakhir. Tentu saja Riri tak ingin merepotkan Danu untuk mengantarkan dirinya pulang. Terlebih berkendara dengan motor.

Setelah memasak dan memakan mie bersama, mereka berdua duduk di kursi teras sembari memandangi air yang tengah berlomba-lomba jatuh menentukan pemenang siapa yang paling cepat sampai di tanah bumi.

“Masih deres Ri, kalo udah nggak deres gue anter.” Ungkap Danu.

Riri menggeleng. “Nggak usah gue dijemput mas Jovan sekalian dia balik kantor.”

“Nggak gue anter aja? Padahal gue juga bisa anter lo balik.”

“Jangan lah. Kalo sama lo kan pake motor, lo nya kehujanan 2x lipat dari gue.” Tolak Riri. “Meskipun pake jas hujan.” Jelasnya lagi.

Danu tertawa, kemudian mengangkat kedua kakinya ke atas kursi untuk ia dekap.

“Jiahh khawatir khawatir amat sih cewek.” Goda Danu. “Gue juga ada mobil tuh punya si Kenzie. Gue setirin juga bisa kali.”

Riri sontak menghadap ke arah Danu. “Ya ngapain nggak dari tadi aja lo anterin gue Dan?!”

“Yailaaa sekarang minta dianterinnnn.”

Bugh!

“Sumpah nggak sakit Ri.” Pukulan yang Riri daratkan pada lengan Danu rupanya malah membuat lelaki itu tertawa semakin lebar.

“Ish! Gue belum bikin laporan elah Danu bercanda lo jelek banget.”

“Haha. Gimana jadinya minta dianterin apa enggak?”

“Ya menurut ngana????”

Tak kuasa dengan raut wajah Riri yang mulai kusut dan tetap saja lucu dimata Danu, lelaki itu putuskan untuk berjalan ke dalam rumah mengambil kunci mobil.

Hampir lima menit berlalu, namun Danu tak kunjung keluar dari rumah. Jujur saja Riri rasanya ingin memarahinya berkali-kali lipat. Gadis itu ikut menyusul Danu ke dalam rumah, mencari keberadaannya. Dipanggilnya si tuan rumah, tapi tak ada jawaban mungkin karena suara hujan lebih dominan sehingga indera pendengarannya tak dapat menangkap suara lain.

Riri memutar tubuhnya untuk memutuskan menunggu Danu di teras, tetapi suara nyaring benda jatuh ke lantai menjadi alasan langkahnya terhenti di sana. Mungkin ini terlihat sangat lancang ketika ia berani berjalan mendekati salah satu ruang yang pintunya sedikit terbuka. Ia melihat Danu dan Kenzie di dalam ruang kamar itu.

Raut wajah Danu yang ia lihat seperti bukan Danu lima menit yang lalu. Entah apa yang sedang terjadi, meski Riri tak ingin ikut campur, namun kekuatan hatinya menahan diri untuk mengetahui apa yang tengah terjadi.

“Kalo lo maksain diri bawa mobil, terserah!”

Hanya kalimat itu yang bisa Riri dengar. Seakan bisa menyimpulkan perdebatan Kakak-Adik itu, ia lebih memilih menelpon si sulung untuk segera menjemputnya di rumah Danu. Meski tak tau akar permasalahannya, Riri sadar jika ada sesuatu di balik mengapa Danu tak diperbolehkan untuk mengendarai mobil.

Jika dipikir lagi, Danu yang ia kenal selama ini tak pernah sekali pun terlihat mengendarai mobil. Atau bahkan tak pernah menawarkan diri untuk mengantar Riri dengan mobil. Hanya saja mungkin karena tadi gadis itu berkata ngasal, jadilah Danu mengusahakan diri untuk mengantarnya pulang menaiki mobil milik Kenzie—dan sebuah perdebatan itu terjadi.

“Ayo Ri, sorry lama.” Danu datang dari dalam rumah memecahkan lamunan Riri. “Lah ngelamun bocahnya.”

Riri yang terhenyak sontak menoleh ke arah sumber suara. Ia menatap lamat Danu yang tengah berdiri di depan pintu sembari mengendarkan pandangan menelisik air hujan yang masih saja deras beraturan.

Danu berdecak. “Ck ck ck iya tau gue ganteng nggak usah ditatap segitunya juga elah.” Ujarnya dengan kedua tangan ia lipat di depan dada.

Raut wajahnya kembali menjadi Danu yang selalu Riri lihat. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ia merubah raut wajahnya secepat itu? Riri berani bertaruh bila sebenarnya dalam diri Danu berusaha mati-matian untuk menghilangkan aura perdebatan yang telah terjadi.

Tinn tinn!

Suara klakson berhasil merebut atensi mereka berdua. Sebuah mobil baru saja tiba dan terparkir di depan pagar rumah. Tak lama seorang lelaki dengan pakaian kantornya keluar. Tentu saja ia melindungi dirinya dengan payung biru yang ia bawa.

“Mas Jovan!” Riri melambai dari teras.

Untung aja mas Jovan dateng tepat waktu. batin Riri.

“Lah nggak jadi dianterin gue dehhh.” Sesal Danu yang dibuat-buat.

Dipukulnya lagi lelaki itu dan hanya dibalas dengan kekehan.

“Makasih ya Danu, Riri nggak ngerepotin kan?” Ujar Jovan yang baru saja berada di teras.

“Mas Jo kayak lagi ngejemput anaknya. Kalimatnya itu loh ya mbok di ubah dikit.” Protes Riri.

“Haha enggak Bang, Riri baik-baik disini nggak nakal.”

“Ututu anak pinter.” Jovan mengusak kepala Riri.

“Mas?!”

Baiklah sepertinya memang mereka berdua ini layak untuk berada di panggung drama.

“Ya udah Riri mau balik sekarang?” Tanya Jovan yang dibalas dengan anggukan. “By the way orang tua lo mana Dan? Mau pamit.”

Mas Jovan anjir gue dari tadi nggak mau nyinggung ini. batin Riri mengarahkan kode tatapan pada Jovan yang rupanya tak sampai.

“Waduh nggak ada orang tua di sini Bang. Bentar gue panggilin si Ken.” Santai Danu—masuk ke dalam rumah.

Riri menepuk pelan lengan Jovan. “Ih massss.”

“Apa?”

“Nyokapnya Danu udah meninggal.” Bisik Riri.

“Lah mas kan nggak tau. Terus bokapnya?” Jovan tak kalah berbisik.

Menggeleng. “Riri nggak berani nanya dari tadi.”

“Nggak di rumah?”

“Enggak ada mas, makanya—”

Belum selesai sesi bisik-berbisik mereka, Danu sudah datang bersama Kenzie—dengan senyum seperti tak terjadi apa-apa.

“Oy bro!” Tak tanggung-tanggung Kenzie langsung membaurkan diri pada Jovan. Ya bisa dibilang ini pertemuan kedua mereka setelah pertemuan yang memalukan di Panderman. “Gimana-gimana kabarnya?”

“Baik-baik lah, sendirinya gimana?”

“Samain aja. Haha.”

Anggap saja lima menit basa-basi sebelum Jovan pamit dari kediaman Danu.

Thank you ya Dan. By the way see you next time bro! Berkabar lah kalo mau muncak.” Salam perpisahan yang diucapkan Jovan.

“Yoi!”


Sadar akan diamnya Riri selama di jalan, kala mereka menghirup atmosphere rumah barulah Jovan berani mengudarakan kalimat tanya.

“Kenapa Ri?”

Riri menoleh. “Nggak kenapa-kenapa mas, cuma ngantuk aja. Ini kepikiran laporan yang belum dikerjain juga.”

“Riri masuk kamar ya? Mas Jovan juga cepet istirahat.”

Jovan menghela nafas. Lagi-lagi Riri tak ingin menceritakan apa yang ada di balik diamnya. Dengan berat hati Jovan menganggukkan diri dan membiarkan si bungsu masuk ke dalam kamarnya.

ada sebuah janji tersemat di tengah hamparan lautan pasir luas


Heningnya waktu di jam dua belas malam berhasil tersihir oleh sorakan lima lelaki yang bersiap pergi. Sorakan yang ditujukan pada seorang gadis yang sedari pagi menolak mentah-mentah ajakan yang mereka beri.

Dengan hanya berbalut kain tipis, gadis itu dipaksa membalikkan diri untuk mengambil setidaknya jaket atau hoodie tebal di lemari.

“Ri? Are you sure mau keukeh pake blouse doang? No outer? No jacket? Sarung tangan kamu mana? Perasaan mas tadi udah ngasih kamu kupluk juga?”

Menghela nafas, ia hanya memutar kedua bola matanya malas. Sudah saja ia terpaksa pergi karena Danu terus menerornya sepanjang malam—tidak, hiperbola sekali. Yang jelas lelaki itu terus mengusik ketenangan Riri.

“Nggak mau pake kupluk, ntar Riri kayak Zav tuh.” Mengendikkan dagu. “Penjaga villa vibes.” Dengan nada meledek.

Tak terima dengan apa yang dikatakan Riri, Zavier menautkan kedua alis sebal. “Lu kedinginan disana gue sukurin dah liat ae!”

“Emangnya gue itu elu? Yang nggak kuat hawa dingin? Lu segede gini aja masih mandi air anget.”

“Lah wajar? Gue mah menyayangi diri sendiri nggak kayak lu.”

“Ssttt sudah sudah ini nggak kelar-kelar kalo kalian berdua adu mulut gini.” Lerai Jovan merentangkan kedua lengan diantaranya, agar mereka berdua diam.

Di tengah kegaduhan yang tak berujung, nampak seorang lelaki lebih memilih untuk memperhatikan gadis yang baru saja berdecak sebal sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Ia melengkungkan senyuman hangat. Atau bahkan hampir saja ia tak bisa menahan tawanya akan tingkah lucu Riri.

“Okey, so it’s my first time buat ngendarain motor trail.” Jovan bermonolog, lantas mendapat tatapan tajam dari si bungsu.

“Riri nggak mau ya di bonceng mas Jovan?!”

“Ya ini maksudnya mas juga mau minta bonceng salah satu di antara mereka.”

Amar, Taufan, Danu, seharusnya ada Kenzie juga namun si Abangnya Danu itu tiba-tiba diberatkan dengan suatu urusan yang mendadak, mengakibatkan dirinya tak hadir di tengah mereka.

“Riri sama Danu aja ya, mas?” Belum sempat Danu menawarkan, gadis itu sudah mengambil hak milik.

“Dih milih dia?” Tentu saja Zavier memulai lagi.

“Gue udah pernah di boncengin dia, lagian gue canggung kalo sama Taufan atau Amar.” Jelasnya.

“Pffftt!” Zavier dengan sengaja menggodanya. Namun gadis itu tak terusik sama sekali.

Suasana jalanan yang sepi dari kendaraan memudahkan mereka berdua untuk melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Hanya Danu yang mengendarai motor dengan kecepatan rata-rata. Bukan tanpa alasan, melainkan seseorang yang tengah berada di jok penumpangnya tak memakai jaket atau apapun untuk melindungi diri dari dinginnya angin malam.

Tak ada yang berinisiatif membuka obrolan. Hingga akhirnya rasa khawatir Danu akan hal yang beberapa hari menimpa Riri muncul kembali, lantas ia memberanikan diri menanyai.

“Ri? you okay?” Danu tidak tau apa yang harus ia tanyakan lebih dulu selain menanyakan apakah gadis itu sudah merasa lebih baik? Atau tidak.

Namun tak ada jawaban atas pertanyaan singkat yang ia lontarkan. “Ri?” Ia mencoba memanggil empunya nama.

“Hah? Lo ngomong sama gue?” Riri mencondongkan diri ke depan. “Nggak denger.”

“Ya elah iyaaa.”

“Hah?”

“IYA GUE NGOMONG SAMA ELU SITI.” Danu sedikit menolehkan kepalanya ke kiri dengan menaikkan volume suara.

Riri cekikikan. “Kenapa?”

“Nggak—nggak papa gue kira lu ketinggalan. Bersuara dikir ngapa dah?”

“Gue ngantuk Dan, gila aja jam 12 malem nih coy. Mana gue dibangunin paksa sama mas.” Gerutu Riri.

Danu tertawa akan suara gerutu renyah yang memasuki gendang telinganya. Tak sampai disitu, mereka berdua melanjutkan obrolan di sepanjang jalan.

Memasuki wilayah Gubugklakah, penerangan jalan semakin minim. Mereka hanya mengandalkan penerangan dari lampu motor dan beberapa mobil jeep yang berjajar di depan mereka.

Riri bergidik. Bukan hanya karena ia takut dengan gelap dan sepinya jalanan, ia juga merasakan dingin mulai menggerogoti tubuh hangatnya. Ia merutuki dirinya sendiri karena tak mematuhi titah si sulung tadi.

“Di tas gue ada jaket, Ri.” Ujar Danu, berdehem. “Apa lo mau meluk gue aja?”

“Hah?”

Baiklah mungkin memang tak seharusnya Danu menyatakan hal segamblang itu. Apa jadinya jika Riri mendengar tawarannya tadi?

“Kuping gue rada nggak denger, lo ngomong apaan Dan?” Riri sedikit memajukan wajahnya.

“Jaket, Riiii.”

“Oh nggakpapa gue nggak kedinginan.” Katanya.

Sebelum naik melewati jalur tanjakan yang cukup terjal. Danu membelokkan motornya ke rest area. Disana cukup ramai karena selain sebagai rest area, juga sebagai tempat penjemputan jeep bagi mereka yang akan pergi ke Bromo menggunakan jasa tersebut.

Gadis itu nampak kebingungan kala Danu mematikan mesin motornya dan turun untuk berjalan meraih tas yang Riri pakai—tas ransel Danu. Belum sempat ia melempar pertanyaan, Danu lebih dulu menodongkan hoodie yang baru saja di ambil dari tas ransel.

“Di pake Ri.” Titahnya.

“Sumpah nggak dingi—“

“15 derajat lu bilang nggak dingin? Gue nggak mau lu jadi es batu, susah bocengnya ntar.”

Riri menghela nafas, ia memakai kain tebal itu dan benar saja dirinya sedikit lebih hangat.

Mereka berdua kembali melaju untuk mengejar keempat lelaki yang sudah berada jauh di depan. Karena gelapnya malam, pemandangan selama perjalanan tidak menyenangkan, hingga menemukan jalan berliku tanpa henti. Semakin dekat Desa Ngadas, hanya terlihat bayang-bayang kebun dengan permukaan berbukit.

Danu merasakan gadis di belakangnya itu semakin mengeratkan pegangan pada pinggangnya. Di raihnya tangan Riri bergantian untuk Danu masukkan ke dalam saku hoodienya. Riri tak menolak, kini kedua tangannya melingkar pada diri Danu.

Melewati padang savanna, menuju pasir berbisik. Riri sedikit menengadahkan kepala untuk mengendarkan pandangnya pada gemerlap bintang yang bertaburan di langit. Ia tersenyum. Rasa hangat tiba-tiba datang menjalar ke dalam hatinya. Indahnya langit malam seperti ini tak dapat ia jumpai di kota.

Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah view point yang terletak di Penanjakan satu. Setelah memarkirkan motor, akhirnya mereka bertemu satu sama lain.

“Lah hoodie nyabet dimane ini?“ Tunjuk Zavier pada Riri yang tengah menggosok-gosokkan tangannya.

“Hoodienya Danu.” Jawab singkat Riri.

Zavier melempar tatapan khas manusia yang akan menggoda keduanya. ”ciat ada apa nih?” mungkin jika tatapannya dapat diartikan seperti itu bunyinya.

Jovan langsung merangkul Adik kesayangannya. Memberi rasa hangat, juga menuntun mereka agar mulai berjalan ke view point.

The Golden Sunrise of Bromo. Panorama pagi yang menjadi salah satu daya tarik para wisatawan. 2.770 mdpl adalah titik tertinggi untuk aktivitas melihat matahari terbit.

“Anjir rame bener.” Keluh Taufan yang terdengar oleh Zavier.”

“Bro nggak mau pindah aja apa? View point nggak cuma disini kan?” Tanya Zavier. “Setinggi-tingginya gue ya tetep aja nggak keliat kalo segini banyaknya manusia.”

Mendengar itu Riri hanya merolling eyes karena temannya satu itu selalu saja mengeluhkan hal-hal dengan begitu hiperbolanya.

“Turun ke Penanjakan dua apa? Love hill juga keliat sunrisenya.”

“Lah iya caw dah ke love hill. Firasat gue di Penanjakan dua sama kayak gini.” Ungkap Amar menyetujui saran Danu.

Jovan hanya manggut-manggut. Berniat menggiring Riri lagi, namun gadis itu menolak.

“Riri disini aja.”

Demi Tuhan sebenarnya Riri lelah karena berjalan dari parkiran ke atas. Dan kini mereka malah ingin kembali untuk mencari view point yang tak seramai ini.

Melihat wajah lelah Adiknya, Jovan jadi tak tega untuk mengikuti keputusan yang baru saja mereka sepakati.

“Ya udah mas juga—“

“Riri sama gue deh bang.” Danu menyela perkataan Jovan yang belum selesai. “Lo sama yang lain turun aja nggak papa, ntar tunggu disana jam tujuh an gue turun.”

Jovan tampak berpikir, hingga Zavier mendukung pernyataan Danu. “Nah bener bang, kan Danu yang nyupirin Riri tuh apa mau tukeran?”

“Bener sih, ya udah mas turun sama anak-anak ya?” Seraya menepuk pelan puncak kepala Riri.

“Jagain Adik gue.” Kini Jovan menepuk bahu Danu.

Mereka berempat pergi meninggalkan Danu dan Riri di tengah lautan manusia. Riri tak secanggung itu berdua dengan Danu, ia akan selalu melempar banyak pertanyaan yang mengharuskan Danu menjawab.

Seperti halnya sekarang, ia bertanya mengapa banyak orang rela jauh-jauh datang hanya untuk melihat matahari terbit. Rela berdesakan demi mendapat spot yang bagus.

“Ri, kalo itu lo bakal tau jawabannya setelah ini.” Ujar Danu yang dibalas anggukan oleh Riri.

Hawa dingin yang terus menggigit membuat tubuh Riri sedikit bergetar. Benar-benar dingin hingga rasanya semua saraf mati rasa. Bahkan dirinya tak sadar bila Danu menarik keatas kupluk hoodie yang Riri kenakan. Menarik kedua tali hingga kerutan timbul, lantas menautkan talinya.

Hangat.

Riri menyerongkan kepala ke arah Danu di sisi kanannya. “Makasih.” Ucapnya.

“Danu, ini masih lama nggak sih?” Suara Riri bergetar.

“Enggak, masih kedinginan? Gue sewain selimut mau?” Tawarnya.

Menggeleng. “Nggak usah. Cuma gue pegel ini berdiri mulu.” Protes Riri.

Danu tertawa. “Olahraga makanya. Baru berapa menit udah ngeluh lu.”

“Yeee lu!” Riri melayangkan tangannya untuk memukul Danu, namun berhasil ditepis oleh lawannya.

“Udah udah madep depan aja tuh lihat.”

Bola mata Riri membulat. Menyaksikan sebuah atraksi alam yang hebat. Gumpalan awan putih yang tadinya menutup langit perlahan tersibak oleh bola terang kekuningan. Cahaya merah merona dari ufuk timur, perlahan timbul terang yang kian membesar hingga membentuk setengah lingkaran.

Kini gadis itu mengerti mengapa banyak orang rela datang jauh-jauh demi melihat matahari terbit. Kini ia mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri.

“Matahari terbit nggak peduli kita lihat atau enggak waktu dia muncul kasih pertanda kehidupan baru. It will still be beautiful, every time no one bothers to see it.”

You can be that sunrise Ri, kalo lo bisa nangkep maksud gue.”

image

“Riri?”

Gadis yang hendak menjemur handuk di halaman, seketika menghentikan langkah kala si sulung menyerukan namanya. Kedua alisnya mengernyit atas tatapan yang tak biasa Jovan layangkan.

“Hpmu mana dek? Mas mau pinjem.”

Riri menuding sisi kamarnya dengan dagu sebagai petunjuk keberadaan ponselnya. “Itu mas.” Hanya dua patah kata, gadis itu melangkah pergi.

“Kamu habis buka akun twitter?”

Berhenti seraya menghela nafas, ia tak memutar tubuh menghadap lawan yang tengah melempar sebuah tanya. Gelengan tak pasti yang menjadi jawaban atas pertanyaan Jovan.

“Bohong enggak?”

Pertanyaan kedua, namun Riri tak ingin bersuara. Ia hanya menghentikan kedua kakinya lagi untuk melangkah pergi. Memainkan handuk dalam genggam tangan kiri.

“Mulai besok nggak perlu kuliah, nanti mas yang ijinin.”

Mendengar titah Jovan, barulah ia berani memutar badan. “Kenapa mas?”

“Nggak papa, diem aja di rumah ya?”

Mengangguk lesu. Seperti tak ada yang bisa ia katakan.

“Ini hp nggak jadi mas pinjem, tapi jangan sering-sering dibuka.” Ujar Jovan seraya meletakkan benda itu di atas kasur. Yang kemudian berjalan menghampiri si bungsu untuk di bawanya keluar rumah.

“Diem di teras deh yuk sambil nunggu es puter lewat.”

Riri? Gadis itu irit bicara. Atau memang ia sedang menyembunyikan sebuah rasa yang tak bisa ia bagi pada semua orang, termasuk Abangnya sendiri.

Mungkin Jovan mengerti, namun bagaimana orang lain berpikir nanti?

image

“Apsarini Garwita?!”

Lengkingan suara yang dihasilkan oleh lelaki dengan kepala menjulang di jendela mobil yang terbuka. Si empunya nama berbalik badan hingga bertatap dengan manik hitam yang alisnya sudah menyungut.

Riri melupakan sesuatu. Aduh bisa mati kepanasan kuping gue kena omel nanti. Gerutunya dalam hati.

Dihampirinya kembali Jovan yang tengah membuka pintu mobilnya. Mengulurkan tangan kanan, lantas diraihnya tangan kekar itu ke dalam kecupan Riri.

“Salim yang bener!” Dengus Jovan karena si bungsu selalu memainkan hidung bangirnya pada permukaan punggung tangan Jovan, usai mengecup tangan—seperti biasa.

Riri hanya menyunggingkan senyum sembari mengayunkan tangan Jovan. “Massssss ditahan siraman rohaninya ok? Riri buru-buru biar selesainya nggak sore-sore.”

Si sulung menghela nafas. Bagaimana pun juga ia selalu bisa luluh dengan senyum manis sang Adik.

“Mau di jemput jam berapa?” Seraya mengusapi puncak kepala Riri.

Riri menggeleng. “Mas Jovan istirahat aja hari libur begini. Riri bisa—“

“Jam berapa Ri?”

Tak ingin memperdebatkan hal kecil lagi, akhirnya ia mengalah. “Nanti Riri kabarin.” Finalnya.


“Danu?”

Riri sedikit terkejut kala memasuki ruang tamu Elvan yang tak sepi itu. Bukan hanya ada Melvan; Adik dari El, tapi juga ada lelaki yang baru-baru ini dekat dengannya itu.

Danu hanya melongo terkejut pula dengan jari telunjuk yang mengarah pada gadis berbaju biru muda.

“Iya… gue Danu.” Ujarnya membuat gelitik tersendiri untuk Melvan.

“Hahaha seriously bang? Jawaban lo.” Melvan yang masih tertawa.

Elvan melempar padangan bergantian pada Riri juga Danu. “Lo berdua saling kenal?” Tunjuknya.

Danu mengangguk yakin, sedang Riri sedikit mengelak. “Awalnya nggak sih, cuma kita ada kelas bareng.”

“Orang emang udah saling kenal. Beberapa kali gue ngebantuin lo padahal.” Gumam Danu.

Riri tercekat. Dirinya takut bila Danu akan keceplosan mengatakan bahwa lelaki itu beberapa kali membantu Riri menggantikan posisinya dalam divisi fundraising—danusan maksudnya.

“Bantuin apa?” Selidik El.

Seperti mengetahui situasi mereka, Melvan yang dari tadi menunduk fokus pada ponselnya seketika menembakkan sebuah kalimat. “Ngomblangin kak Riri kali, dia kan jones.”

Tak segan-segan gadis itu melemparkan bantal sofa pada lelaki yang baru saja mengejeknya. Melvan hanya cengengesan. Sudah hal biasa, mengingat Elvan adalah teman sejak masa Sekolah Dasar hingga sekarang satu organisasi, meski mereka berdua tidak satu jurusan. Tak jarang Riri mengunjungi rumah Elvan dan sedekat itu pula Riri dengan sang Adik.

“Jangan salah sangka, gue tetanggaan sama El, jadi ya ini gue lagi ada perlu.” Tukas Danu setelah mengambilkan minuman untuk Riri.

Gadis itu mengernyit dan hampir saja tertawa. “Lah ya gue bodo amat.”

Danu berdecak. “Takut dikira gue penguntit.”

Riri tertawa pada akhirnya. Bisa-bisanya Danu berfikir sejauh itu.

Di ruang utama, Elvan dan Riri berdiskusi. Danu pun tak kalah memberikan solusi-solusi menarik yang bahkan tak pernah terpikirkan sama sekali oleh mereka berdua.

Coupon dare aja kata gue mah paling cocok. Apalagi Riri orangnya juga welcome sama orang lain.” Danu terus meyakinkan tentang opininya yang satu ini. “Movie date, jadi temen curhat selama seminggu. Cocok buat lo dah.”

“Jadi mereka beli kupon gitu?” Tanya Elvan.

Danu mengangguk. “Misal mereka beli kupon movie date. Ya udah lo ke bioskop dah tuh berdua.”

“Gila?! Kalo mereka macem-macem gimana anjir?” Protes Riri.

“Nggak lah, anak-anak Kampus doang kan? Lo bisa minta jaminan KTM misalnya nih lo bawa selama itu berlangsung. Gimana?”

Sebenarnya saran dari Danu cukup extreme, namun jika dilihat dari sudut pandang lain, mungkin itu akan membantu orang lain yang tengah dilanda rasa sepi.

“Gue pikir-pikir dulu dah.” Final Elvan sebagai penutup diskusi mereka.