souljaehyunn

Ciliwung.

Harusnya lelaki itu tau jika si sulung tak akan mau untuk pergi ke rental. Harusnya lelaki itu tau jika gravitasi kamar lebih besar dari pada hawa luar.

Bisa saja Danu pergi sendiri untuk menyewa berbagai perlengkapan mendaki, mengendarai mobil Kenzie yang masih berada di luar garasi. Namun akan memakan banyak waktu jika ia nekat memakai opsi itu.

Dirinya tanpa malu meminta bantuan kepada Riri, meski awalnya ia sedikit tak tega karena barang bawaan yang akan perempuan itu bawa.

“Ri? Beneran nggak papa?” Teriak Danu di tengah perjalanan menuju rumah. “Jangan diem aja dong gue takut lu ketinggalan.”

Duk!

Riri mengetukkan helmnya pada bagian belakang Danu. “Gue capek jawab karena lo tanya itu mulu.”

Terdengar suara cengengesan dari Danu sebagai jawaban.

“Ini abis drop di rumah lo, lo nganterin gue balik?” Tanya Riri.

“Ya iya masa mau balik sendiri?”

“Ater-ater semut dong. Nggak papa gue balik sendiri.”

“Yeee lakik apaan gue ngebiarin lo balik sendiri. Udah malem.”

Riri mengangguk meski lawannya tak melihatnya.

WAITING FOR YOU, AGAIN.

Pada akhirnya hanya saya yang ditakdirkan untuk menunggu, sedang kamu tidak.

Garren Argantara.


Duduk diantara batang pohon akasia dengan perlahan dan hati-hati. Ia menengadah wajahnya ke atas. Gelap malam, cahaya bulan berpendar anggun dengan beberapa bintang bersinar berkilauan tersenyum menyejukkan. Ia melambai menyapa sang bulan. Kemudian netra hitamnya menatap lamat kulit putih pucat yang selalu menjadi rasa sesal di sepanjang hidupnya.

“Garren!”

Suara gadis dari jauh terdengar lantang terbawa angin malam. Sigapnya Garren menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang gadis dengan dress selutut berlarian menembus ilalang. Gadis yang memiliki wajah bulat dengan tahi lalat di dagu dan satu lesung pipi memperindah wajah ketika tersenyum itu adalah ciptaan Tuhan yang selalu Garren tunggu kehadirannya.

“Sudah berapa kali Meissa bilang! Jangan naik pohon, Garren Argantara!”

“Tidak dengar, Meissa.” Garren menjawab dengan kedua telunjuk yang masing-masing menutupi lubang telinganya. Pura-pura tidak mendengar sembari melepas tawa yang membuat Meissa berkacak pinggang sebal.

Meissa Aquila namanya. Gadis yang esok hari akan genap berumur 25 tahun.

“Garren, ayo menikah saja.” Ujarnya sembari duduk bersandar memunggungi pohon. “Meissa janji memasak untuk Garren makanan enak setiap hari. Makanan matang, yang bisa Garren makan.”

Kalimat yang keluar dari bibir Meissa membuat lelaki itu turun kemudian berjongkok di depannya. Bertemu tatap dengan mata lentik milik gadis di hadapannya.

“Saya....” Garren menggantung sembari menelisik manik indah lawannya. “Mau ditemani?”

Lelaki itu mengelus rambut Meissa. Mengerti akan ungkapan kasih sayang Garren padanya, gadis itu tak menyurutkan kepala, tak ingin menghindari usapan lembut orang terkasihnya.

“Ditemani apa? Meissa tidak minta ditemani kemana-mana.” Pura-pura terkejut, Meissa menggelengkan kepala.

“Ditemani seumur hidup. Tadi minta?”

Meissa tertawa. “Menikah maksud Garren?”

Garren menunduk malu. Telinganya berpendar merah. Cukup kontras karena kulit putihnya.

“Garren malu?” Goda Meissa dengan kedua tangan menangkup wajah lelakinya yang berusaha menyembunyikannya. “Haha itu telinga Garren merah.”

Meissa tertawa kecil. Masih berusaha melihat wajah Garren yang disembunyikan. Tawanya semakin terasa dingin. Diam, kemudian tangisnya pecah. Pipinya membasah.

“Meissa?” Garren mendongak terheran. Membantu gadisnya menyapu pipinya yang basah.

Air matanya tak mampu untuk berhenti. Semakin ditiup-tiup malam, bening miliknya masih meliuk di atas kulit wajah.

“Lihat wajah saya ini. Iya saya malu. Jangan buang air mata disini, nanti ilalangnya tenggelam karena air mata kamu.” Masih mencoba menghibur dengan mengatakan sesuatu yang lucu.

Gadis itu mulai meneliti wajah lelaki yang kini duduk sangat dekat di depannya. Kulit putih dingin yang tak pernah hangat, bola mata yang selalu berubah warna seiring musim berganti, dan wajah yang tak pernah menua.

“Sebentar lagi saya berumur 25 tahun.” Ucapnya dengan bibir bergetar.

“Karena itu?”

Meissa mengangguk. Tatapannya beradu dengan mata Garren.

“Kalau besok Garren umur berapa?” Tanya Meissa yang kelopak matanya mulai dipenuhi beningan air. “Garren bilang setiap Meissa bertambah umur, umur Garren juga bertambah.”

Garren tergeragap. Menghembus napas berat. Ia kembali menunduk, menoleh ke segala arah, menghindari tatapan mata Meissa. Matanya ikut membasah. Semua kenangan serasa terputar jelas di dalam otaknya kini.

Tempat ini selalu sama. Pohon akasia, ilalang, dan berbagai macam suara gelak tawa. Rasa takut hingga bayang-bayang dirinya yang selalu menunggu seorang diri. Kesedihan yang ia nikmati sendiri tanpa ada tempat untuk berbagi. Ratusan juta bulir air mata terjatuh menjadi teman rasa kehilangannya.

“Garren....”

“1050 tahun, Meissa.” Jawabnya dan satu butir bening lolos. “Saya-“

“Dua menit!! Dua menit lagi!” Seru Meissa ketika melirik layar ponsel yang menunjukkan alarm pengingat. Kemudian beranjak. Menarik pergelangan tangan Garren untuk membuat lawannya ikut berdiri.

Meissa membawanya berjalan ke tengah ilalang. Mereka berdua tampak serasi dengan dress putih tulang yang dikenakan Meissa dan baju putih keabuan berlengan panjang yang dikenakan Garren. Berdiri berdampingan dengan kedua tangan yang masing-masing mereka kaitkan untuk memanjat doa. Di bawah cahaya rembulan yang masih tersenyum mesra, mereka sudah bersiap memejamkan mata.

Tepat pukul 12 malam ponsel Meissa berdering mengalunkan lagu Already Gone milik Sleeping At Last. Mereka berdua saling memanjat doa. Menjadi doa terpanjang bagi Meissa diumur seperempat abadnya. Gadis itu masih memejamkan mata kala Garren selesai mengirim harapannya pada Tuhan.

Sembari menunggu gadisnya mengakhiri doanya, Garren mengeluarkan flower crown dari balik kemejanya yang ia rangkai sendiri. Meletakkan benda cantik itu di atas kepala Meissa. Menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga yang berkeliaran tertiup angin. Lelaki itu masih menatap lamat sang pujaan hati.

Kedua mata Meissa terbuka perlahan. Hatinya cukup tenang melihat wajah lelaki yang tersenyum dengan lesung pipi tipis di hadapannya itu.

“Selamat bertambah umur, Meissa Aquila.”

“Selamat bertambah umur, Kakek Garren Argantara.”

“Apa?!” Garren melotot, namun Meissa tertawa terbahak hingga ia memegangi perutnya. “Kenapa bisa kamu panggil saya dengan sebutan Kakek?!”

“Iya lalu? Umur kamu 1050 tahun sekarang. Saya harus panggil kamu apa? Kakek moyang? Oke baiklah itu lebih baik kan?”

Setelah berucap demikian, Meissa berlari menerobos ilalang. Gadis itu terus tertawa, bahkan lesung pipinya tak pernah padam. Semakin tampak cantik di mata Garren. Kemudian ia berjalan mundur sembari memperhatikan lelaki yang senyumnya merekah. Melambai-lambaikan tangan, mengatur nafas.

“Sampai bertemu esok hari! Saya tunggu kamu melamar saya!” Teriaknya di seberang sana dengan melambaikan tangan. “Terima kasih hadiahnya!”

“Iya! Hati-hati!” Jawab Garren.

“Bu, Garren hari ini ke rumah, Meissa pakai baju apa ya?!” Seru Meissa dari lantai dua. “Ibu?! Bantu pilihin baju, Bu!” Teriaknya lagi, namun tak ada suara di bawah sana.

Meissa berjalan menuruni anak tangga. Celingukan mencari sang Ibu yang rupanya berada di teras rumahnya. Tak sendiri, beliau bersama Ayahnya. Dahi Meissa berkerut heran. Keduanya telah memakai setelan yang rapi. Seperti tengah menunggu kedatangan seseorang atau sebaliknya? Mereka berdua telah bertemu seseorang, karena tatapannya masih mengendar pada pagar yang terbuka tak terlalu lebar itu.

“Ibu? Ayah?”

Keduanya tersentak dengan sapaan putrinya.

“Ayah Ibu sedang apa? Meissa panggil Ibu dari tadi. Ayo Ibu bantu pilih baju untuk Meissa pakai.”

Gadis itu menggenggam tangan Ibu, menariknya perlahan menuju ke dalam rumah. Kedua orang tuanya masih terdiam. Jika benar firasat Meissa, maka mereka sedang menyembunyikan sesuatu.

“Nak....” Tangan Meissa tertarik, menghentikan langkahnya tepat di bawah anak tangga.

“Iya, Bu?”

“Garren,” bibir Ibu membisik.

“Garren kenapa Bu? Iya jam 10 Garren datang ke rumah.” Jawab Meissa mencoba tenang meski dirinya mulai sedikit gusar. Melihat Ibu hanya diam, gadis itu menarik genggamannya lagi untuk berjalan menuju kamar. “Ayo Bu, takut Garren datang Meissa belum apa-apa.”

“Ayah menolak pertunangan kalian.”

Bak disayat belati, hati Meissa terluka seketika mendengar kalimat sang Ayah. Langkahnya terhenti, kemudian membalikkan tubuh menghadap lelaki yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Tatapan matanya menuntut penjelasan, namun Ayah menghindari tatapan Meissa.

“Ayah? Semalam Ayah semangat menunggu kehadiran Garren. Kenapa tiba-tiba?” Meissa menuntut.

“Garren bukan orang baik, dia tidak akan darang.”

Meissa terdiam menggeleng halus. “Garren sudah janji, Ayah.” Ia menoleh kearah jam dinding dengan jarum panjang menujuk angka 11 yang berarti lima menit lagi Garren akan datang.

“Meissa ganti baju dulu, Ibu, Ayah.”

Mata Ibu berair setelah putrinya memasuki kamar. Ayah pun masih terus menatap punggung sang putri meski sudah tak terlihat lagi.

Tak berdandan pun Meissa sudah tampak cantik dengan kulitnya yang bersih dan terawat. Ditambah hari ini adalah hari yang akan menjadi istimewa bagi gadis itu, ia ingin semakin mempercantik diri.

Dress berwarna merah muda dengan kombinasi bunga putih di bagian bawah, tampak sangat cocok dengan kepribadian Meissa. Tak lupa pula ia memakai flower crown hasil karya indah lelakinya.

Meissa, juga kedua orang tuanya menunggu di ruang tamu. Menunggu kedatangan seseorang yang akan menemani sisa hidupnya. Membayangkannya saja Meissa sangat bahagia. Sesekali ia melempar senyum kepada kedua orang tuanya bergantian.

Jarum jam terus berjalan cepat. Gadis itu mulai gugup karena tak ada tanda kedatangan. Berkali-kali ia keluar rumah untuk memastikan. Ia tampak cemas hingga berusaha menghubungi Garren.

Sudah hampir dua jam ia menunggu. Puluhan pesan ia kirim namun tak terbalas. Puluhan hingga ratusan panggilan pun tak terjawab.

“Ayah, Ibu, sepertinya Garren tersesat. Meissa cari Garren-“

“Garren tidak akan datang, Meissa!” Tukas Ayah.

“Garren sudah berjanji! Dia akan datang hari ini.” Tegasnya. “Meissa mau cari Garren!” Imbuhnya sembari pergi meninggalkan rumah.

Kedua mata Meissa berkaca-kaca. Meyakinkan diri sendiri. Garren akan selalu menepati janjinya. Itu yang membuatnya yakin. Ia pergi ke tempat dimana mereka berdua selalu memanjatkan doa bersama. Tempat dimana Meissa bisa menemukan lelaki itu meski tak harus pergi ke rumahnya.

Berlarian menerobos ilalang dengan kekesalan yang memuncak, ia terus meneriaki Garren. Gadis itu tau pasti lelakinya tengah duduk di antara batang pohon akasia, seperti biasa. Namun ketika kedua kakinya telah sampai, ia tak menemukan Garren disana.

“Garren?!”

“Kamu bersembunyi dimana?”

“Jangan bercanda, Garren Argantara!”

Hanya terdengar suara ilalang yang tertiup angin. Suara daun yang saling bergesekan. Meissa terus berusaha menghubungi Garren. Ia beristirahat dengan duduk bersandar di pohon. Menunggu lelaki itu datang ke tempat ini atau setidaknya membalas pesan dan panggilan dari Meissa.

Cukup lama menunggu, tetapi Garren tidak datang. Gadis itu tidak tau dimana tempat tinggal lelakinya karena ia sama sekali tak pernah memijakkan kaki disana.

Layar ponsel Meissa menyala. Satu pesan masuk dari seseorang yang ia tunggu. Dengan terburu ia membuka pesan itu, hatinya kembali hangat sesaat mengetahui bila Garren tidak akan—

Sebulir bening yang sebelumnya mengembang di kelopak mata lentik Meissa, kini meliuk turun. Tangannya bergetar menggenggam ponsel yang akhirnya terjatuh di atas pangkuannya. Matanya berkejap sendu. Ada rasa kecewa dan rasa sakit bercampur jadi satu memenuhi ruang hatinya membaca satu pesan yang ia baca.

image

“Garren Argantara, saya sudah pernah bilang kalau saya hanya bisa merasa bahagia bersama kamu.” Lirih Meissa terbata. Nada suaranya bergetar akibat isakan yang tak dapat ia bendung.

Air mata Meissa mengalir deras hingga pundaknya bergetar. Ia menunduk mencoba meredam suara tangisnya di perpotongan lengan tangan. Tangannya meraih ponsel yang terbuang tadi. Menekan angka, mencoba menghubungi Garren namun terlambat, ponselnya telah dinonaktifkan.

“Garren jahat!”

“Garren jahat!”

. . . . . .

Tentang janjinya pada Meissa, Garren tak mengingkarinya. Ia tak akan mengingkari janji yang telah ia buat sendiri, terlebih janjinya kepada orang terkasih. Lelaki itu datang. Menemui kedua orang tuanya, dan sengaja untuk tidak bertemu dengan gadisnya.

Garren datang dengan setelan tuxedo yang sudah ratusan tahun selalu ia pakai. Datang dengan senyum menawan yang akan membuat siapapun bisa jatuh hati padanya. Senyum yang sangat cerah, bahkan mentari pun kalah.

Pintu rumah yang terbuka menampakkan kedua orang tua Meissa tengah duduk menunggu kedatangan dirinya. Mereka bertemu tatap, kemudian sang Ibu menghampiri dan mempersilahkan masuk namun Garren menolak sopan. Sang kepala keluarga pun ikut menemui lelaki itu di luar rumah, atau tepat di teras rumah.

“Bagaimana kabar Ayah dan Ibu? Tampak sangat sehat, apakah benar begitu?” Prolognya.

“Sepertinya hari ini Ayah akan lebih sehat karena hari bahagia putri Ayah.” Senyumnya merekah. “Ada apa? Mengapa tidak berbincang di dalam saja?”

Garren menggeleng.

“Saya hanya ingin mengungkapkan sesuatu yang mungkin tidak dapat kalian percaya.”

“Apa itu?” Raut wajah Ibu tampak mulai cemas.

“Kalian mungkin menganggap saya adalah manusia pada umumnya. Sepertinya Meissa tidak akan pernah memberitahu ini pada kalian jika bukan saya yang mengungkapkan sendiri identitas saya.”

“Saya memang tampak seperti manusia, tapi sayangnya bukan. Saya bukanlah manusia yang bisa melahap semua makanan. Saya bukanlah manusia yang bisa mati dan ber-reinkarnasi menjadi orang lain. Saya hanyalah makhluk Tuhan yang memiliki masa hidup satu kali. Jika masa hidup saya telah berakhir, saya tidak akan reinkarnasi dan hidup kembali. Saya benar-benar mati dan menghilang.”

Kedua orang tua Meissa tampak bingung namun tetap memperhatikan setiap kalimat yang diucapkan Garren.

“Saya mencintai Meissa. Dari awal kehidupan saya hingga saat ini. Saya selalu melihat gadis yang saya cintai pergi meninggalkan dunia, sedang saya disini kembali sendiri dan menunggu dia memiliki kehidupan lagi. Saya selalu cemas, bagaimana jika tak ada lagi reinkarnasi dari orang yang saya cintai? Bagaimana jika saya akhirnya benar-benar sendiri hingga masa hidup saya berakhir?”

Menjelaskan hal yang cukup sulit seperti itu membuat air di pelupuk mata Garren jatuh beraturan. Ia tak mencoba menghapusnya, ia hanya berusaha menuntaskan apa yang seharusnya ia sampaikan.

“Percayalah, saya telah melihat kepergiannya berkali-kali dan itu menghancurkan saya. Lantas izinkan saya kali ini untuk mencoba merindukannya dari jauh, merawatnya dari jauh, menemaninya dari jauh, dan mencintainya dari jauh.”

“Saya janji, ketika masa hidup saya akan berakhir, saya akan benar-benar membersamai Meissa hingga akhir. Saya akan mengakhiri cinta saya di kehidupan Meissa berikutnya.”

“Saya akan pastikan Meissa bahagia dan akan selalu seperti itu. Namun kali ini tolong izinkan saya menjaganya dari jauh.”

Seketika Ibu memeluk Garren meski pelukannya tak terbalas. Menepuk punggungnya pelan. Menangis disana.

“Tidak apa, kamu telah melewati banyak hal. Pasti sangat berat hidup seperti ini.” Ucap Ibu dengan mengendurkan pelukan dan mengusap pipi yang basah.

“Saya hampir tidak percaya dengan apa yang kamu katakan. Saya izinkan kamu. Terima kasih telah mencintai putri saya hingga saat ini dan di kehidupan berikutnya, saya harap kamu tetap mencintai putri saya. Lega bisa mengetahui bahwa Meissa dicintai oleh lelaki seperti kamu, Garren Argantara.” Ungkap sang kepala keluarga sembari menepuk lengan Garren beberapa kali.

Garren menunduk, kemudian melangkah pergi setelah mendapat izin dari kedua orang tua Meissa. Ia meloloskan butiran air matanya sebelum kedua kakinya melewati pagar rumah. Tak lama ia mendengar suara dari Meissa, lantas ia tersenyum pilu.

“Saya minta maaf.” Gumamnya.

Derit air keran dibuka. Garren membasuh muka sesampainya di rumah. Ia kembali masuk ke kamar, melirik ponsel yang layarnya terus menyala. Gadisnya yang tanpa henti menghubungi. Pesan dan panggilan sama sekali tak diindahkan olehnya.

Duduk di tepi ranjang dan menghadap jendela. Pandangannya menembus ke arah kendaraan yang berlalu lalang melewati depan rumahnya. Hatinya bertanya-tanya apakah keputusan yang ia ambil ini benar atau tidak.

Pada akhirnya Garren mengirim satu pesan untuk Meissa. Permintaan maaf, juga permintaan agar gadisnya tak lagi menunggu kedatangannya. Mungkin pesan itu akan menyakiti hati Meissa, namun harus ia lakukan agar Meissa bisa kembali melanjutkan hidupnya. Berbahagia dengan sesama manusia.

Empat tahun....

Setelah sekian lama Garren melihat keterpurukan Meissa, akhirnya gadis itu telah bangkit di usianya yang beranjak 30 tahun. Ia menikah dengan seorang laki-laki yang baik. Garren mengenal lelaki yang akan menjaga gadis—ah perempuannya itu.

Pada saat pernikahan digelar, Garren berada disana, namun ia hanya hadir dari kejauhan. Melihat Meissa berdiri dengan sang suami, hati Garren tersayat. Ada rasa sesak dan tak terima melihat itu terjadi. Namun lebih menyesakkan melihat Meissa selama tiga tahun lamanya tak pernah absen mengunjungi tempat dimana Garren menghabiskan waktu santainya.

Di hari bahagia Meissa, Garren mendatangi tempat itu lagi setelah tiga tahun lamanya ia tak berada disana. Dengan cekatan ia memanjat pohon akasia yang ia rindukan. Pohon yang menjadi saksi dimana ia merasa sesak, sedih dan kehilangan selama ratusan tahun lamanya.

Langit tampak kebiruan dan lebih cerah dibanding biasanya. Mungkin itu karena Meissanya telah bahagia.

Melihat ilalang dari atas pohon membuat segala kenangan selama ratusan tahun mendadak menampakkan diri. Terkadang Jaehyun tak tahan dengan itu dan berakhir mengurung diri di dalam kamar untuk tak pergi kemana pun. Tapi kali ini ia mencoba melawan meski terasa sesak bila harus mengingat Meissa di setiap kehidupan sebelum-sebelumnya.

Meissa miliknya tidak pernah berubah. Perempuan itu selalu memiliki senyum dan tawa yang selalu ia rindukan. Kepribadian yang selalu membuat dirinya jatuh cinta dan tak akan pernah merubah rasa cinta itu sendiri. . . . . . Garren memandang wajah letih itu. Ia mengangguk dan tersenyum pada dua anak kembar yang tengah diajaknya bermain berlarian di tengah ilalang. Meissa bersama kedua putrinya berada di tempat yang selalu menjadi saksi bisu kisah cintanya.

Rupanya Meissa masih mengingat tempat ini meski dirinya sudah memiliki kebahagiaan lain. Garren tersenyum.

“Semoga Meissa selalu sehat dan bahagia seperti ini.” Lirihnya yang kemudian berbalik badan tak jadi melangkah menuju pohon akasianya.

“Om! Om!”

Suara anak kecil menghentikan langkahnya.

Putrinya Meissa?

“Om bisa tidak menggendongku untuk sampai di atas sana?” Tanya si kecil menunjuk arah pohon akasia. “Bunda tidak punya kekuatan. Om mau bantu Jihan?”

Garren tersenyum dan berjongkok. Menelisik tiap sudut yang mirip dengan orang terkasihnya. “Maaf ya, Jihan, Om sedang sibuk. Besok-besok Om bantu ya?”

Namun anak kecil itu menggeleng kuat. “Kata Bunda, ini terakhir kalinya Jihan kesini.”

Lelaki dengan lengkungan senyum tipis yang merekah itu hanya mengangguk kecil meski rasa sakit menghampiri hatinya. Mendengar kalimat Jihan membuat dirinya yakin bahwa Meissa akan segera melupakannya.

Susah payah membendung air mata, Garren akhirnya beranjak pergi. Namun sebelum itu Garren menyuruh Jihan untuk kembali pada Meissa, juga memastikan anak itu benar-benar sampai ke tangan sang Bunda.

. . . . . . .

Tidak akan pernah manusia tau bagaimana takdir dan jalan hidup mereka. Kapan dan dimana ia akan bertemu dengan seseorang tak pernah lagi ia sangka. Seperti saat ini dimana Meissa keluar dari toserba dan mendapati seorang lelaki yang masih tetap sama. Masih tetap memiliki hatinya, sepenuhnya.

“Garren Argantara?!” Gumamnya.

Lelaki di seberang sana masih menunduk dan bersandar pada tembok gedung. Bermain dengan kerikil trotoar, kakinya berayun-ayun. Betapa bahagianya Meissa setelah hampir sepuluh tahun lelaki itu hilang kabar, tak pernah ia temui, juga tak pernah ia lupakan.

Kedua mata legamnya berkaca-kaca. Ada sesuatu yang tengah bersatu disana namun Meissa menahannya. Membuat pandangan matanya buram. Meissa tengah memastikan di arah kanan dan kiri tak ada kendaraan yang lewat, lalu ia berjalan menyeberangi jalan raya itu. Ia sangat ingin memeluk tubuh lelaki yang selama ini ia rindukan. Kaki yang tak selincah dulu mempersulit jalannya. Ia hampir saja tersandung dan terjatuh.

“Garren—“

Si empunya nama menoleh, menyadari dirinya terpanggil.

Tiiiinnnn!!!!!

Bruakk!!

Sebuah motor dengan kecepatan tinggi menerobos tubuh ringkih seorang perempuan.

“MEISSA!!” Garren terkejut setengah mati. Dengan cepat ia menghampiri dan meminta pertolongan.

Tangan Garren bergetar, ia menangis tanpa air mata dan suara. Mencoba menarik napas panjang dan tetap tenang. Menolong seseorang yang sedang mengalami kecelakaan seperti ini mengharuskannya menepus rasa panik. Garren menelpon ambulance. Dan ketika mobil itu datang, ia juga membantu menggendong Meissa dan menemaninya di mobil.

“Meissa? Meissa? Ini saya. Meissa ini saya Garren.” Ucap Garren sembari menggenggam tangan kiri Meissa. “Meissa dengar suara saya?” Kini suaranya bergetar.

Wajahnya masih tetap cantik meski tertutup cairan merah.

“Oksigen di dalam tubuh menurun!!” Ujar perawat yang ada di dalam mobil.

“MEISSA! MEISSA!”

“Buka mata kamu, saya mohon.”

“Meissa tolong tetap hidup untuk saya.”

Garren tidak melepas genggamannya meski kini Meissa telah dibaringkan di atas nakas yang di dorong menuju ruang UGD. Melewati lorong-lorong rumah sakit, lelaki itu tanpa malu meneteskan air mata dengan derasnya.

Ia merasa Meissa tengah mencoba membalas genggaman tangannya. Perempuan yang tak sadarkan diri itu pelan-pelan membuka matanya. Meski tak sepenuhnya terbuka, Meissa bisa menangkap jelas wajah Garren yang tengah tersenyum di dalam tangisnya. Namun tubuhnya seakan mati rasa, untuk sekedar mengucap satu kata pun ia tak sanggup.

“Saya disini, Meissa.”

“Saya disini....”

“Saya tidak akan kemana-mana, saya disini menemani kamu.”

“Tolong bertahan untuk saya, Meissa.”

“Saya tidak akan pergi, saya disini.”

Kalimat yang sangat ingin didengar oleh Meissa. Kalimat-kalimat yang selalu ia rindukan akhirnya dapat ia dengar lagi. Tanpa sadar pucuk mata Meissa membasah.

Meissa tersenyum dengan manisnya untuk Garren sebelum ia masuk ke dalam ruang UGD.

. . . . . . . .

Terasa menyakitkan, melihat kepergian seseorang. Terlebih orang yang selalu ia tunggu kehadirannya, seseorang yang selalu ia rindukan, seseorang yang akan selalu menjadi tuan rumah di hatinya.

Tempatnya pulang.

Garren meletakkan hatinya yang lelah di atas pohon akasia. Menggantungnya agar angin membuat hatinya kembali sejuk. Agar cahaya mentari mengeringkan lukanya yang membasah dan akan terus membasah.

Lelaki itu mendekap tubuhnya dan bersandar di pohon. Duduk di bekas Meissa biasa melamun, berbagi tawa, hingga menangis tersedu.

Garren menggenggam secarik kertas berisikan tulisan tangan Meissa, yang entah sejak kapan tergantung di salah satu ranting pohon. Kertas berisikan doa yang ia kirim pada Tuhan saat ulang tahun ke-25 nya, juga beberapa kalimat indah lainnya.

image

Garren memejamkan matanya. Ia tak ingin melihat sekitar. Ia hanya ingin merasakan angin yang mempermainkan anak-anak rambutnya. Air matanya berlinang lagi.

Tentang harapan yang ia kirim pada Tuhan setiap bertambahnya usia, tetap sama. Ia berharap untuk dilahirkan kembali menjadi manusia biasa, karena ia lelah melihat kepergian orang-orang yang ia cintai.

Karena pada akhirnya ia yang harus tetap menunggu Meissanya kembali.

Di tempat yang sama, bersama kepingan luka dan rindunya.

Selalu ada hari bebas dimana seluruh penghuni asrama tidak melakukan apa-apa. Tak ada kelas kepribadian, tak ada pula kegiatan outdoor yang berkenaan dengan kehidupan. Dan dibalik hari bebas, tengah ada orang baru yang akan memijakkan kaki di tanah keasingan ini.

Kalau bukan karena Gideon, Arthfel tak akan mau untuk turut serta bertugas menjemput orang baru itu. Kalau bukan karena Calvin dan Ian pula, kedua lelaki itu tak akan berjalan cepat menuju halaman asrama.

Dua buah mobil Jeep Willys sudah bersiap disana. Arthfel ingat sekarang, rupanya kala pertama ia datang, dua senior itu lah yang menjemputnya. Hanya saja mereka tak pernah bertemu setelahnya, mungkin karena itu Arthfel terasa asing dengan Calvin.

“Hampir gue susulin lo berdua.” Decak Calvin yang sudah beranjak dari mobil dengan muka masam.

“Mau gue seret.” Imbuhnya seraya menyamankan duduknya kembali dan menyalakan mesin. “Sekali lagi begitu gue patahin kaki lo berdua biar sekalian ngesot.”

Gideon tak mengindahkan cercaan itu, ia langsung membawa Arthfel bersamanya untuk berada di mobil yang berbeda.

Mobil Calvin berangkat lebih dulu, disusul Gideon di belakangnya. Manik hitam Arthfel tak lepas dari perempuan yang ikut bersama Calvin, Ian, dan Thana di mobil depan. Eris lagi-lagi membersamai Thana, namun anehnya ia seperti tak mengenal Arthfel dengan mengacuhkan lelaki itu.

Bertemu pandang saat Arthfel tiba di halaman asrama saja perempuan itu mengalihkan atensinya. Tak bertegur sapa dan tak sedikitpun bicara.

“Lo harusnya nggak ngelihat apa yang seharusnya nggak boleh lo lihat.” Ujar Gideon tiba-tiba.

Arthfel menoleh. “Konteks?”

Gideon menghela nafas. “Semalem lo lihat apa?”

Pertanyaannya membuat Arthfel harus kembali mengingat sesuatu yang tak pernah ia lihat selama hidupnya.

I don’t know. Gue nggak yakin sama apa yang gue lihat.” Jawab Arthfel yang kemudian mengendarkan pandang ke arah lain—rumah di sepanjang jalan.

Gideon yang tengah menyetir mengetuk-ngetukkan telunjuknya tanda ia berfikir.

“Bang El ngajakin lo biar lo punya rasa takut kan? Terus? Udah? Rasa takut lo—“

“Nggak. Bahkan gue makin penasaran.” Sela Arthfel menarik satu sisi sudut bibirnya.

Afreet, iblis api bersayap yang lahir dari darah. Iblis yang konon muncul seperti uap gelap dari darah korban pembunuhan.” Singkat Gideon.

“Mitologi?”

Gideon mengangguk. “Menurut legenda, the afreet are able to marry and procreate with other afreet’s, dan mereka juga dapat menikahi manusia untuk memasuki dunia manusia.”

Arthfel tampak menyimak apa yang dibagi oleh lelaki yang saat ini duduk di kursi sopir. Lelaki yang wajahnya datar kala menceritakan sebuah mitologi.

So? Gue semalem ngelihat setan? Wow.”

“Siapa bilang? Yang lo lihat mah….”

Afreet’s child?” Telisik Arthfel.

Belum sempat Gideon memberi jawaban, mereka lebih dulu tiba di bibir pulau. Mengharuskan mereka untuk menyudahi pembicaraan.

Terlihat Thana dan Eris sudah berada di atas perahu yang mulai menjauh dari pulau. Melihat itu, Calvin turun dari mobil dan menghampiri mobil yang lain.

“Turun.” Titahnya.

Buaghhhh!!!

Baru saja Gideon menurunkan satu kakinya, Calvin seakan tak bisa menahan lagi emosi yang bergejolak sejak tadi, ia layangkan satu pukulan tepat di wajah Gideon. Membuatnya tersungkur.

Arthfel yang tadinya diam saja tak mengindahkan titah Calvin sontak keluar dari mobil. Namun usahanya mencegah senior itu memukuli Gideon tertahan oleh Ian yang lebih dulu menghadangnya.

“Lo diem.” Tatap Ian tajam.

Buaghh!! Buaghh!!! Buaghhhh!!

“Woy bang!” Pekik Arthfel melihat Calvin menggebu untuk menghabisi Gideon yang tersungkur menyembunyikan wajahnya.

Suara pukulan berpadu erangan membuat Arthfel mencoba menerobos lelaki yang ada di hadapannya. Calvin memang gila! Apa ini yang Gideon maksud ‘hukuman’ dari mereka?

Arthfel tak bisa apa-apa kecuali melihat Gideon memuntahkan cairan merahnya usai Calvin menuntaskan kegiatannya.

Dua senior itu kembali duduk di mobil, meninggalkan dua juniornya dengan tatapan sengit yang entah apa artinya.

“Nanti biar gue yang nyetir.” Tukas Arthfel sembari memapah Gideon masuk ke dalam mobil—duduk di samping kursi kemudi.

Lawannya mengernyit tak yakin. “Bisa?” Tanya Gideon yang hanya dibalas anggukan saja.

Tak lama setelahnya, terlihat Thana dan Eris datang bersama dengan seorang lelaki dengan wajah yang sangat muda dibanding keempat lelaki itu. Thana memberikan isyarat pada Arthfel agar orang baru itu ikut di mobilnya.

Arthfel tak pernah mengendarai mobil Jeep Willys seperti ini. Ia sedikit bingung dengan tuas-tuas mana yang harus ia operasikan.

Gideon setengah melirik Arthfel yang masih menatapi tuas-tuas itu. “Bisa nggak? Gue aja sini—“

“Nggak nggak udah lo tiduran aja.” Titah Arthfel yang kemudian membuktikan bahwa dirinya bisa mengemudikan mobil ini.

Dalam perjalanan, jarak antara mobil Calvin dengan mobil yang Arthfel bawa terpaut cukup jauh. Ia mengemudi dengan cukup pelan mengingat teman sebelahnya tengah mengistirahatkan diri. Ia tak ingin bila tubuh Gideon ikut terguncang kala Arthfel mempercepat laju mobil.

“Mm sorry dia kenapa ya?” Tanya anak baru pada Arthfel.

“Jatoh.”

Mengangguk.

“Nama lo siapa bang?” Tanyanya lagi.

“Arthfel.”

“Nama gue Zion.” Ucapnya meski tak diberi tanya.

Arthfel tak cukup pandai untuk berbasa-basi, ia hanya manggut-manggut saat mengetahui nama lelaki yang duduk di belakang.

Kini pandangannya mengendar. Ia semakin memperlambat lajunya karena cukup penasaran dengan rumah yang ada di sepanjang jalanan hutan itu.

Uninhabited?” Gumamnya. Ia terus menolehkan kepalanya ke kiri dan tak fokus pada jalanan.

Hingga tiba-tiba….

“Bang ada orang!!” Seru Zion sembari menunjuk ke depan dan sontak Arthfel menginjak rem mobil mendadak hingga Gideon pun ikut terjungkal ke depan.

“Fuck! Lo bisa nyetir nggak sih anjing?!” Umpat Gideon.

“Gue bisa nyetir tapi ini salahin anak di belakang lo!” Arthfel tak kalah.

Keduanya menatap ke depan kemudian memutar sedikit badan mereka menghadap ke belakang. Menghadap ke arah lelaki yang pandangannya tak bekutik.

“Hampir….” Ucap Zion lega.

Baik Gideon maupun Arthfel hanya bisa mengernyit tak mengerti. Mereka berdua saling tatap, lantas kembali pada Zion.

“Apaan sih lo nggak bisa apa nggak ngagetin?!” Protes Arthfel.

“Lah lo hampir nabrak dia bang.” Tunjuk Zion ke arah jalanan yang kosong.

“Fel….”

“Siapa? Nggak ada siapa-siapa. Siapa yang mau gue tabrak?” Desak Arthfel karena ia tak melihat satu orang pun di jalanan sana. Tempat itu sepi. Terlebih jalanan yang mereka lewati adalah hutan yang memiliki rumah berjarak di sepanjang jalan. “Mana anjing?!”

“Itu bang dia jalan di depan mobil—dia ngedeket.” Ungkapnya lagi.

“Fel tancap gas Fel!” Titah Gideon.

“Jangan bang!!! Nanti lo nabrak.”

“Fel!” Seru Gideon. “Gas buruan!”

“Bang jangannn!!!!!” Teriak Zion berkali-kali menepuk bahu Arthfel yang tengah mengemudikan mobil dengan cepat. “Lo nabrak dia bang!! Lo nabrak dia!!”

dno’t pnaic, tihs is yuor bairn, i dno’t hvae mcuh tmie, it cna’t dciehper scblarmed wrods, get hlep, it’s arleady insdie of you.

; sebuah cerita rakyat

Malam memang kian sunyi, tetapi yang bermalam di kepala Arthfel kian bising berteriak ramai. Si yang paling tak kenal takut berjalan sendiri dengan lampu senter dalam genggaman. Hanya untuk berjaga jika ruang gudang tak memiliki penyinaran.

Memijakkan kaki di bangunan lain belakang asrama, lelaki itu bersiul santai seakan tak ada hal yang membuat dirinya resah akan kesunyian bangunan. Berada di lantai dua, Arthfel menghentikan langkahnya kala berhasil menaiki anak tangga. Menyoroti lorong panjang yang akan menghantarkannya pada sebuah ruangan.

image

Tidak ada yang memiliki kewenangan begitu kuat selain keheningan. Sepertinya memang hanya ada ruang gudang di lantai dua, dengan tiga pintu ruang tanpa nama yang baru saja lelaki itu lewati.

Sampai detik ini Arthfel belum bertemu muka dengan seseorang yang tengah berpatroli itu. Bahkan ia sendiri sudah menemukan alasan atau tindakan yang harus ia lakukan kala bertemu dengan mereka.

“Cih emang cuma pada mau nakut-nakutin gue doang.” gumamnya mengingat peringatan pesan dari Samuel selaku seniornya.

Krekk....

“Wow....”

Persis seperti yang Arthfel bayangkan. Gudang akan selalu seperti ini gambarannya. Ruangan penuh debu dan sarang laba-laba. Apa yang diharapkan dari ruangan ini? Bedanya, ruang dengan dinding bata merah itu penyimpanannya sangat rapi. Terdapat banyaknya lemari besi tertutup dengan kode keamanan di setiap pintu.

Memiliki lampu penerang, namun lelaki itu malas untuk mencari letak saklar. Untuk apa ia membawa senter jika tak dipergunakan? Dinyalakannya alat penerang itu hingga memancarkan sinar terang sebagai teman dalam kegelapan.

Arthfel berjalan pelan sembari kepalanya berotasi ke kanan dan ke kiri. Membaca tiap pintu lemari yang rupanya sudah tertulis masing-masing nama siswa disana, bukan hanya nama tapi sebuah angka yang entah maksudnya apa. Ia terus menggumamkan satu nama.

“Leo.... Leo.... berkas lo dimana sih anjir?”

Gotcha! Ketemu!

Sebuah lemari besi milik sepupunya yang ia cari dengan nama bertinta merah. Leo-Died.

What the fuck?!

Kedua manik hitam Arthfel membulat membaca tulisan itu. Ia menggelengkan kepala tanda tak percaya dengan sedikit informasi yang ia terima—tapi apakah ini dapat dikatakan sebuah informasi jika Arthfel sendiri belum mengetahui apa yang terjadi dibalik kata ‘mati’?

Ada sesuatu bergetar di saku celana Arthfel, pasti teman-temannya sedang bertanya apakah ia sudah berhasil menjalankan misi atau tidak. Tak mengindahkan ponsel yang terus bergetar itu, ia lebih memilih fokus memecahkan kode keamanan lemari ini.

“Shit! Berapa sih?” Umpatnya berkali-kali karena lemari tak kunjung terbuka. “Tanggal lahir? Atau apa?”

Udara dingin yang tadi ia rasakan berubah menjadi kian menghangat karena suhu tubuh dalam diri yang memuncakkan emosi.

Clanggg!!!

“Anjing!” Baru saja ia layangkan satu pukulan pada lemari besi itu hingga senter yang ia himpit diantara bahu ikut terjatuh.

Arthfel mengusap wajahnya kasar. Ia berjongkok untuk mengambil alat penerangnya, namun tertahan kala indera pendengaran lebih dulu menangkap suara langkah kaki di luar sana. Kembali berdiri menegakkan diri dengan menatap pintu gudang yang ia yakini sudah terkunci. Peluhnya mulai meliuk membersamai kedutan otot diwajahnya.

Beberapa saat keheningan kembali menyelimuti. Tak terdengar lagi adanya gesekan kaki dengan lantai dingin. Mungkin yang katanya tengah berpatoli telah melewati ruang yang Arthfel pijaki. Mendengus. Ia uluran tangan guna meraih lampu senter yang masih tergeletak di atas lantai.

“Arthfel.”

Fuck you!” Terkejut bukan main saat seseorang sudah berdiri di depannya, hingga dirinya sendiri terlonjak ke belakang.

Fuck me?” Tertawa.

Dengan menggosok dada, Arthfel arahkan sorot sinar pada wajah seseorang yang datang tiba-tiba itu. Demi mengetahui siapa manusia yang berani mengusik keheningannya.

Berdehem. “Excuse me.” Ia menutupi sebagian pandang dengan telapak tangan karena lampu senter yang menyilaukan.

Fuck! Fuck! lo ngapain disini?!” Tanya Arthfel seraya mengarahkan senter ke arah lain.

“Harusnya gue yang tanya. Lo? Ngapain?” Ia memangkas jarak dengan Arthfel. Menatap tajam lelaki itu hingga mampu membuat Arthfel sedikit gugup.

Wait—where did she come in? begitu pikir Arthfel. Manik hitamnya menelisik ruangan dengan mengarahkan lampu senternya. Hanya ada satu pintu disana, namun bagaimana Eris bisa masuk? Padahal ia sendiri yakin bila tak ada suara bunyi pintu terbuka yang menandakan seseorang tengah masuk.

Mengetahui kegugupan Arthfel, Eris kembali bersuara. “Gue ada di belakang lo sejak lo masuk.” Jelasnya yang masih membuat Arthfel bertanya-tanya.

Ia hanya merolling eyes karena sungguh tak memperdulikan hal itu. Pandangannya kembali menajam pada sebuah kode keamanan yang belum terpecahkan. Dengan santainya Eris menekan enam angka disana dan terbukalah lemari besi itu.

Arthfel menatap tak percaya. “How do you know?

Eris hanya mengendikkan dagunya menunjuk ke tumpukan berkas-berkas di dalam lemari. “Go on. Sebelum ada orang lain dateng.”

Benar. Ia harus segera mencari informasi yang selama ini menjadi pertanyaan dalam diri. Arthfel tak membacanya, ia hanya mengabadikan berkas-berkas disana dengan kamera ponselnya.

Nanti,

akan ia baca kala berada di dalam ruang tidurnya. Waktu yang ia miliki sekarang tak banyak.

Disamping Arthfel sibuk dengan pekerjaannya, ada yang tengah sibuk pula membidik lelaki itu. Menatap tajam seraya menyeringai seolah mendapatkan mangsa baru.

Genap tiga puluh hari Galaksi menyandang status sebagai kekasih Seyra—ralat, pacar kontrak Seyra.

Sepasang kekasih yang setiap hari bak perangko dan surat itu selalu mengumbar kemesraan di depan Jefferson, membuatnya geram hingga beberapa waktu lalu menyita kacamata Gala dan menghancurkannya.

Seyra yang awalnya canggung karena ‘asal comot’ pacar itu lambat laun mulai terbiasa dengan hadirnya Gala. Terlebih lelaki itu tak habis-habisnya membuat Seyra tertawa dan ada saja tingkah anehnya.

Si cupu yang lucu—sebutan baru dari Seyra untuk Galaksi.

“Babeeee!” Rengek Seyra ke tujuh kalinya untuk merebut atensi Gala.

Hhh bosan. Sudah hampir dua jam Seyra dan Gala berada di gazebo kampus. Sambil menunggu jadwal photoshot gadisnya, Gala memutuskan untuk berlama-lama di kampus. Membaca buku yang belum ia tuntaskan, misalnya—ya seperti sekarang ini.

“Pilih aku atau buku?”

Seyra mengambil buku yang Gala baca dengan terpaksa. Ia sudah tak punya lagi cara agar Gala memberikan atensinya.

Gala hanya mengerjap-ngerjapkan mata sembari membawa arah pandangnya ke bawah—sebentar jangan ambigu dulu, ini karena Seyra yang meletakkan kepalanya di kedua paha Gala yang duduk selonjoran.

AAAA NGGAK BISA INI KENAPA SEYRA MANYUN-MANYUN LUCU BANGET.

“Kamu dehhh.” Bahu Gala merosot.

“Kok ada deh nya? Nggak ikhlas?!”

Demi Tuhan Gala sudah tak sanggup menahan. Ia mencondongkan diri memangkas jarak keduanya dan—cupppp!

Satu kecupan mendarat di kening Seyra. Membuat keduanya salah tingkah. Gimana sih? Harusnya kan Gala aja yang salah tingkah karena bisa-bisanya ia memberi kecupan tanpa ada permintaan dari Seyra, tapi nyatanya gadis itu lebih merona dari pada Gala.

“Hehe maaf nggak sengaja soalnya gemes.”

Nggak sengaja katanya? Wah padahal Seyra sudah menahan degup jantungnya yang kian meningkat.

Sebentar, Seyra baru sadar jika hatinya tengah berapi-api bak remaja yang baru saja merasakan kasmaran. Ia menggeleng kepalanya cepat.

“Kenapa?” Tanya Gala.

“Ha? Nggak papa.”

“Sey kakiku banyak semutnya.”

“HAHH?!” Seyra melonjak mendudukkan dirinya. “Mana mana? Ih di aku ada gak ini semutnya?”

Seyra sudah heboh sendiri mengebas-ngebaskan tubuh, takut jika binatang kecil itu menyerbu dirinya.

Gala menggeleng—tertawa melihat wajah lucu Seyra yang terkejut dan takut.

“Enggaaak gitu.”

“Apa sih? Boong ya?!” Tuduhnya.

“Enggak, maksudnya ini kakiku nggak bisa gerak banyak semutnya. Kayaknya semut dateng karna kamu deh, kan semut sukanya yang manis-manis.” Cengir Gala.

“Maksudnya kesemutan?! Ish lu mah!” Kesal Seyra menepuk paha Gala.

Gala hanya meringis kala kakinya yang kesemutan itu mendapat pukulan dari Seyra. Hhhh lelaki itu tak pernah mengeluhkan apapun.

“Gal.” Ucapnya sembari bersandar pada bahu Gala.

“Hm?“

“Jangan beneran suka sama gue ya.”

“Kenapa?”

“Nggak papa soalnya gue belum bisa suka sama lo.”

Gala tak paham. “Ohh.”

Seyra mendongak sebab jawaban Gala tak memuaskan dirinya. “Gitu doang.”

“Emang ada rencana suka ke gue?“

“Ada, tunggu aja.”

Jawaban dari Seyra berhasil membuat Galaksi berharap lebih.

Galaksi Damar Langit, lelaki dengan kacamatanya itu kerap dipanggil Galaksi atau lebih singkatnya lagi Gala. Lelaki yang sejak duduk di bangku sekolah sudah mendapat julukan ‘si cupu’ hanya karena ia yang tak pernah terlihat melepas kacamatanya. Belum lagi banyaknya buku bacaan seakan menjadi sahabat karib.

“Sumringah banget muka kamu Gal?” Sapa salah satu perempuan yang kebetulan teman kuliah Galaksi.

“Hehe iya, gue duluan ya Naf!” Jawab Gala sekenanya.

Apa sebenarnya alasan dibalik wajah Gala yang cerah bersinar menyilaukan itu?

Kaos hitam polos dan flanel lengan panjang dengan motif kotak-kotak sebagai outernya, tak lupa kacamata yang sengaja ia turunkan di seperempat hidung agar terlihat keren katanya.

Si Gala ini mempercepat jalannya untuk menuju ke gedung sebelah dengan wajah yang masih sumringah itu.

“Gal Gal!” Ada beberapa orang menyapanya.

“Oettttt.” Hm ya, hanya begitu saja jawabnya dengan tangan kanannya melambai. Sungguh ia sedang terburu-buru.

Sampai di gedung sebelah, yang ia temui pertama adalah kerumunan mahasiswa yang entah sedang menonton pertunjukan apa. Gala memaksa menerobos kerumunan, tak tertarik dengan apa yang mereka tonton meski sebenarnya ia juga penasaran. Tapi ada hal yang lebih lebih lebih dan lebih penting saat ini.

“Kasih tau ke aku makanya siapa pacar baru kamu!”

“Kenapa sih kita udah putus aja, kamu masih ikut campur urusan aku?!”

Please babe aku nggak bakal nganggep kita putus kalo kamu nggak ngasih tau aku siapa pacar kamu yang baru itu.”

“Jeff sumpah banyak orang yang lihat apa kamu gak malu?”

I think kamu yang lebih malu karena bohong soal pacar baru kamu.”

I’m not—nah itu pacar baru aku!” Tunjuknya.

Loh, loh?

Sebentar tunggu—telunjuk perempuan itu sedang menunjuk siapa? Sebentar…. Perempuan itu berjalan menuju—Galaksi?

Kedua bola mata Gala membulat dan ia sangat terkejut kala perempuan itu melingkarkan lengannya pada tangan Gala.

Ia mengerjap beberapa saat ketika dirinya dihadapkan dengan Arthur Jefferson Davodka; model majalah, selebgram, ketua basket, apa lagi yang kurang? Oh—kekasih dari atau lebih tepatnya mantan dari crush Gala sejak duduk di bangku sekolah.

Kerumunan mahasiswa itu ternyata sedang asyik menonton pertikaian antara Jefferson dengan Seyra. Sepasang kekasih yang menghebohkan kampus karena rumor kandasnya hubungan mereka—dan itu sebab wajah Gala terlihat cerah, sumringah.

Bagaimana tidak? Raethania Seyra, perempuan yang ia idam-idamkan dari SMA kini statusnya tengah melajang. Dan mungkin ada akan kesempatan untuk Gala mendekati Seyra, atau ia lebih memilih untuk tetap menjadi penggemar rahasia.

Membayangkan Gala bisa dekat dengan Seyra saja mampu membuat mood lelaki itu membaik.

Are you sure?” Kalimat Jeff mampu memecahkan lamunan Gala. “Lo beneran pacar barunya Sey?”

Hah? Tunggu—maksudnya?

Gala mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Ia bingung, kenapa tiba-tiba Seyra menarik dirinya ketengah-tengah pertikaian mereka berdua. Dan yang lebih mengejutkan lagi, apa tadi yang Seyra bilang? Pacar baru? Apa ini maksudnya Seyra menyebut dirinya sebagai—pacar barunya?

“Babe jawab!” Seyra menggoyangkan lengan kanan Gala.

Shit gue kayak mau dimakan Jefferson batinnya. Ya Tuhan Seyra panggil gue babe ini komuk gue gimana ya Tuhan, semoga gak malu-maluin lah.

“Oh y-yes.” Jawab Gala terbata-bata dan sontak mendapat gelak tawa dari mereka yang masih menonton mereka.

Ya gue gak lagi ngelawak?

Jefferson berdecih dan tersenyum miring. Ia memutar lidahnya sembari memperhatikan ujung kepala hingga ujung kaki Galaksi.

“Sudah kan? We’re done Arthur Jefferson Davodka!” Tukas Seyra yang langsung pergi dari sana dengan membawa Gala juga.

Mereka berdua berjalan menjauh, bahkan Seyra sedikit berlari kecil—untung saja Gala bisa mengimbangi langkah perempuan itu.

Tepat di belakang gedung langkah Seyra berhenti mendadak dan memutar tubuhnya, hingga Gala hampir menabrakkan diri jika ia tak langsung menahan diri.

“Lo ngapain sih jawab gitu?” Tanya Seyra.

Gala mengernyit semakin tak mengerti. Jadi bagaimana harusnya ia menjawab pertanyaan Jefferson? Bukankah Seyra yang lebih dulu mengatakan bahwa ia—

“Sadar gak sih jawaban lo ambigu?” Seyra menggeleng kepala cepat. “Maksud gue suara lo, makanya lo diketawain anak-anak.”

“Suara gue ngedesah ya?”

Seyra melotot. “Heh anjir filter itu mulut! Ya tapi itu emang gitu.”

Gala hanya mengangguk lucu. “Tapi maksud kamu apa Sey? Kan gue bukan pacar kamu.”

Tangan Seyra mengibas. “Aduh please bahasanya yang bener dulu gue pusing.”

“Ya, jelasin.” Tuntut Galaksi yang sebenarnya tak perlu alasan juga untuk menyebutnya sebagai pacar baru—karena di dalam hatinya ia tengah kegirangan.

“Jadi pacar gue ya?” Confess Seyra dengan kedua maniknya menatap lekat pada brown eyes milik Galaksi.

“Haiiii abangggg!” Sapa Salisha yang baru saja membuka pagar.

Kieran sampai lebih awal dari Dipta. Dan karena lelaki itu hanya ‘mampir’ ia tak sampai masuk ke dalam pelataran rumah.

“Nggak mau masuk? Dingin loh.” Ujarnya lagi.

Kieran menggeleng. “Disini aja.” Sembari bersandar di motornya.

“Abang dari mana?”

“Dari rumah, kan mau nglayap.” Jawabnya. “Sini deketan ngapain jauh-jauh.”

Cukup lama, Kieran hanya mengusap kedua punggung tangan Salisha dengan memandangi wajahnya. Gadis itu sendiri juga bingung ingin mengatakan apa, tapi begini saja sudah membuatnya nyaman.

“Diem-diem an gini sih?” Protes Salisha.

Kieran terkekeh. “Sal….”

Salisha memusatkan atensinya pada manik hitam lawannya. Ada sesuatu yang menyakitkan dari sorot matanya.

“Aku kayaknya lebih jahat dari Jim.”

Alis Salisha mengernyit. Ia benar-benar tak mengerti.

“Maaf aku keterlaluan bercanda kayak gini — mm satu April….”

Deg!

Jantung Salisha mulai berdegup kencang. Kedua bahunya mulai merosot perlahan. Jika apa yang ia pikirkan benar, berarti….

“April fools?” Tanya Salisha. “Dan hari jadian kita?”

Kieran mengangguk. “Dan hari dimana aku bercandain kamu segitunya.”

Fuck! umpat Salisha dalam hati.

Tangan yang tadinya masih berada dalam jangkauan Kieran, sontak Salisha tarik kedua tangannya bahkan ia sedikit menjauhkan tubuh dari lelaki itu.

“Sal….” Kieran mencoba meraih lengannya namun segera ditepis oleh empunya. “Maaf ya?”

Salisha tak mengatakan apa-apa, bola matanya bergerak kesana kemari menghindari tatapan Kieran. Kemudian ia menunduk, beberapa butiran air matanya pun ikut jatuh. Ia tertawa lirih.

“Iya…. Happy April fools day, abang.” Kepalanya mendongak lagi, kini bertemu tatap dengan Kieran. Ia tersenyum.

Sopan atau tidak, Salisha sudah tak peduli. Setelahnya ia memutuskan membalik tubuh dan berjalan masuk ke dalam rumah. Meninggalkan lelaki itu disana dan tak menghiraukan panggilan Kieran. Karena fuck rasanya sakit tertampar kenyataan bahwa hubungannya dengan Kieran hanya sebuah lelucon April fool.

Sudah tiga jam lamanya Dipta mengusap punggung sahabatnya itu. Salisha duduk di karpet bulu kamarnya dengan menunduk dan menenggelamkan wajahnya di lengan. Celana yang ia pakai tampak basah karena air matanya yang turun tak henti-hentinya.

Dipta belum sempat menceritakan apa yang ia tau tentang Kieran, dan mungkin ia tak akan menceritakannya mengingat Salisha sedang sesakit ini. Ia tak ingin menambah rasa sakit sahabatnya.

Dipta hanya diam tak berbicara sejak ia datang ke rumah Salisha. Dan lagi, tadi ia sempat berpapasan dengan Kieran yang sudah melajukan motornya. Benar saja, lelaki itu lebih dulu mengatakan yang sejujurnya.

“Dip….” Lirih Salisha.

“Ya?” Sembari mendekatkan wajahnya pada Salisha yang masih menyembunyikan paras ayunya.

“Lo gak pergi kemana-mana kan?”

“Lah gue kan mau ke Korea.”

“Diptaaaaaaaaaa!!!” Salisha mendongak, bibirnya manyun tampak lucu dengan wajahnya yang basah karena air mata.

Dipta tertawa memamerkan gigi rapinya. “Bener dong gue?”

“Dippppppp.”

Tanpa diduga-duga, Salisha menabrakkan tubuhnya merengkuh Dipta. Ia menangis lagi dipelukan sahabatnya.

“Cup cup, masih banyak aje itu stock air mata.” Mengusap punggung Salisha.

“Sal ingus lo jangan diusapin ke baju gue—awwww!”

Salisha memukul punggung Dipta, yang dipukul malah cekikian. Lelaki itu terus mengusap punggungnya hingga Salisha merasa lebih tenang.

“Puas-puasin meluk gue sebelum gue berangkat.” Bisik Dipta.

Salisha mengangguk.

“Menurut lo, Kieran yang jahat apa gue yang bodoh?”

“Lu yang bodoh.”

“Dippppppp.”

“Lah emang iya.” Kini Dipta menjauhkan tubuh Salisha agar bisa menatapnya.

Menghela nafas. “Udah tau April fool kenapa diterusin?”

“Abang enggak bilang kalo itu April fool dulu—“

“Dan dia juga gak bilang kalo itu bukan April fool, Sal. Dia gak bilang itu April fool apa bukan. Dan lo mau mau aja coba.” Kesal Dipta.

“Dia gak bilang kalo dia suka sama lo, dan lo udah terlanjur nyaman sama sikap dia. Lo udah terlanjur seneng duluan karena cowo yang lo suka akhirnya ngajak lo jadian.”

“Tapi lo buta tentang pernyataan simple ‘gue suka sama lo’ , ‘gue jatuh cinta sama lo’. Bukankah itu yang harusnya mendasari dia buat ngajak jadian lo?”

“Lo diajak jadian kayak lagi gue ajak jajan cilok, mau-mau aja tanpa mikir apa-apa.”

Hanya helaan nafas yang terdengar setelahnya. Salisha membenarkan apa yang Dipta katakan.

“Gitu ya?” Tanya Salisha sendu.

“Ya, gitu. Dan lagi—“

“Apa?”

Tidak. Dipta tidak boleh mengatakannya.

“Cuci muka lo sana, jelek banget dah.” Titah Dipta yang kemudian mendapat pukulan lagi dari Salisha.

“Ya udahhhh.”

Salisha menurut, ia beranjak untuk pergi ke kamar mandi. “Dip, makasih ya.” Ia menyempatkan berbalik badan sebelum akhirnya ia berjalan pergi.

Dipta mengusap wajahnya. Tak mungkin kan ia egois juga dengan perasaannya?

Suara air yang jatuh dari langit sangat gaduh membuat Salisha tak fokus mengerjakan sesuatu. Memang bukan hal yang penting, besok pun masih bisa ia kerjakan. Gadis itu merangkai sebuah kata untuk bahan promosi sebuah produk.

Sudah. Ia menyerah. Ia memilih merebahkan dirinya di karpet bulu yang ada di kamarnya.

Satu lagi, Salisha juga sedang menunggu kedatangan sang kekasih yang katanya baru selesai mengerjakan tugas kuliahnya.

Gadis itu berlari membuka pintu rumahnya ketika bel rumah berbunyi nyaring.

Ceklek….

Kieran dengan senyum yang menampakkan kedua lesung pipinya itu tengah basah kuyup akibat derasnya hujan malam ini.

“Ih abangggg kehujanan ya? Cepet buru masuk.” Salisha menarik lengan Kieran dan mendorong lelaki itu untuk segera berjalan cepat menuju kamar.

Berada di dalam kamar, Salisha buru-buru mencari handuk baru di lemarinya.

“Abang bawa baju ganti?” Sembari melirik Kieran yang menggigil kedinginan. “Ahhh ngapain tanya ya.”

“Abang pake baju aku aja nggak papa ya?”

Salisha menyerahkan handuk dan kaos warna kuning bergambar beruang lucu. Kieran terkekeh.

“Muat nggak?” Tanya Kieran.

“Ya harusnya muat bang soalnya itu gede banget di aku.”

“Oh iya celana training Dipta kan ada di sini— abang pake punya Dipta dulu nggak papa ya?” Sembari berjalan menuju lemari. “Abang ke kamar mandi dulu gih nanti aku anter celananya.”

Kieran manggut-manggut sesekali bergidik karena angin semilir mencolek dirinya.

“Salishaaa.”

Si empunya nama mengalihkan atensinya kala seseorang memanggilnya. Kieran yang baru saja selesai mandi dengan handuk sengaja ia sampirkan menutupi kepala. Baju kuning beruangnya tampak lucu dipakai Kieran.

Salisha tertawa. “Haha lucu banget abang. Sini aku bantu keringin rambut.”

Kieran berjalan mendekat dan duduk di atas karpet, membelakangi Salisha. Gadis itu kesusahan untuk mengeringkan rambut Kieran karena lawannya terlalu tinggi sehingga tangannya akan kebas jika ia memaksakan diri untuk duduk sejajar dengan Kieran.

“Kenapa? Susah ya?” Tanya Kieran melihat Salisha menggeret kursi riasnya. “Sini aja duduk sini.” Sembari menepuk kedua pahanya.

“Yaaaa terus?” Salisha yang tak paham hanya mengernyitkan dahi.

“Sini makanya.” Kieran menarik pergelangan tangan Salisha.

Gadis itu dipaksa duduk di pangkuan Kieran. Oke ini posisi yang sangat ambigu bagi Salisha. Ia sendiri saja tiba-tiba kikuk dan sedikit tidak nyaman dengan posisinya menghadap Kieran.

Ini adalah jarak pandang terdekat menurut Salisha. Padahal ia sudah pernah menenggelamkan diri di pelukan Kieran tapi mengapa posisi ini membuatnya mendadak gugup?

Fiuhhhh

Kieran meniup pelan Salisha untuk membangunkan lamunannya.

“Jangan ngelamun. Udah ini katanya mau bantu ngeringin?”

“I-iya oke.”

Salisha mulai mengulurkan tangannya. Dia hanya perlu fokus pada rambut — oke rambut. Tapi bagaimana pun juga ia sempat mencuri pandang untuk menatap wajah Kieran dan betapa sangat malunya kala ia menemukan bahwa Kieran tengah menatapnya.

“Abanggg.”

“Hmm.”

“Ngapain ngeliatin.”

“Emang ada larangan ngeliatin kamu?” Kieran tersenyum.

Aduh udah lemah gue Kieran sialan!

“Etttt etttttt.” Salisha terkejut saat tangan Kieran melingkar di pinggangnya.

Dari pada Salisha mati mendadak karena salah tingkah, dan nggak lucu juga jadi ia memutuskan mengakhiri sesi pengeringan rambut ini.

Ya tapi — tak semudah itu untuk beranjak dari pangkuan Kieran.

“Mau kemana ciiiii.” Ujar Kieran menahan Salisha.

“Abang udah ah aku berat ini. Kakimu kebas ntar.”

Kieran menggeleng. Ia malah menyandarkan kepalanya di bahu Salisha. Menenggelamkan wajah di ceruk leher lawannya, dan merengkuh tubuh mungil itu.

Ini baru minggu kedua mereka menjalin hubungan, tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun saja.

Salisha mengusap surai hitam Kieran, sesekali menggeliat kecil karena nafas hangat lelaki itu masuk ke dalam pori kulit lehernya.

Kieran cekikian.

“Geli abang ih malah dibikin bikin!” Protes Salisha yang baru saja melayangkan tepukan di pungung Kieran.

“Lucu banget siiiii.” Kieran malah semakin mengerat dan menenggelamkan diri.

“Haha aduh abang sumpah geli.”

Salisha menggeliat kesana kemari karena Kieran yang masih saja mengendusi ceruk leher.

“ABANGGGG AKU NGOMPOL NIH.” Teriak Salisha yang berhasil menjauhkan Kieran. Nafasnya sudah tak beraturan, saking gelinya terlihat butiran bening di sudut matanya.

“Udah ngompol?” Tanya Kieran dengan wajah yang masih saja penuh tawa.

“Ya belom, tapi hampir. Ih bentar lepas mau minum.”

Akhirnya Kieran membiarkan Salisha beranjak dari sana. Setelah usai minum pun Kieran seakan tak membiarkan gadis itu jauh darinya. Ia kembali memeluk gadisnya dari samping.

“Kamu udah ada rencana kuliah dimana?”

Salisha menggeleng. “Aku bingung bang.”

“Di kampus aku aja yuk. Biar anter jemputnya gampang.”

“Yeuuu gak di anter jemput juga bisa mandiri akunya.”

“Gitu?” Kieran melirik Salisha sebentar dan mendapat anggukan sebagai jawaban.

“Kalo aku nggak kuliah juga nggak papa kan ya?”

“Nggak papa sayang. Kamu lagi perang sama diri sendiri kan? Apa pun keputusanmu aku tetep dukung dan kasih semangat.” Jelas Kieran sembari menjauhkan dirinya agar bisa menatap Salisha dan mengusap-usap surainya.

“Makasih abang.” Tersenyum. “Aduhhh kalo gini mah aku bisa bucin kamu banget deh.” Ungkapnya.

Kieran tersenyum. “Kenapa tuh bisa bucin?”

“Kamu nggak tau aja kalo aku udah jadi secret admirer sejak MOS.”

Kieran terkejut. “Serius?”

Salisha mengangguk sebagai jawaban.

“Nggak taunya sekarang jadi shakiel ya?” Kieran terkekeh.

“Ett iya itu kenapa ada shipper shakiel apa an dah.”

“Haha mungkin karena waktu itu aku reply kamu kali ya?”

Salisha mengendikkan bahu. “Terus ngapain abis itu abang dm aku?“

Terdiam beberapa saat. Kieran hanya terus memandang Salisha.

“Ngantuk nggak kamu?”

Yahhh gak di jawab lagi…

“Ngantuk dikit bang.”

“Ya udah tidur gih.” Titahnya.

“Abang mau buru-buru balik?”

“Enggak, abang tungguin sampe kamu tidur.”

Memang hujan seperti ini mendukung sekali untuk menutupkan mata dan bergulung dengan selimut. Beberapa kali Salisha menguap, mungkin Kieran memergokinya.

Kieran menata kasur gadisnya. Kemudian ia duduk setengah merebahkan dirinya. Disusul oleh Salisha yang langsung memposisikan diri di samping Kieran.

Tenang, mereka sudah sering melakukannya. Dan tak ada hal-hal yang tidak diinginkan. Kieran hanya mengusap-usap punggung Salisha, terkadang hanya mengusap surainya, terkadang lagi, hanya melihat gadis itu terlelap di sampingnya.

“Abang, aku nggak suka dibohongi. Aku bakal benci sama orang yang ngebohongin aku.” Racaunya seraya mendongakkan kepala.

“Iya.” Mengangguk dan tersenyum.

“Nanti kalo abang bosen, bilang baik-baik ya jangan tiba-tiba selingkuh.”

Kieran terkekeh. “Iya Salisha Abhimaya.”

— by tsabitx

Sepertinya sih Salisha memang sesuka itu sama Kieran, diajak jalan sekali udah bikin ketagihan. Gimana dia nggak ketagihan kalo love language nya Kieran itu physical touch.

Sejak mereka berdua naik motor dan pergi untuk keliling kota sebentar, Kieran gak berhenti buat showing his body language. Mulai dari ngusap-ngusap punggung tangan Salisha, ngusap lutut, sampai turun dari motor pun gadis itu dibuat salah tingkah karena Kieran ngerapiin rambutnya yang berantakan akibat pakai helm.

“Kalo kata abang, Jim itu egois gak?” Tanya Salisha yang tengah duduk menopang dagu di depan Kieran. “Kata aku egois banget sih.”

“Kenapa tuh?”

“Lah emang gak egois?” Salisha seperti tidak terima karena jawaban Kieran yang tidak membenarkan atau menyalahkan opininya.

“Ya aku tanya Sal alesan kamu bilang kalo Jim itu egois.” Kieran mengusak pucuk kepala Salisha dengan senyumnya merekah.

“Soalnya Jim ngebangunin paksa Aurora cuma gara-gara dia jatuh cinta.” Jelasnya.

“Wahhhh gila sih egois banget tuh orang!” Imbuh Salisha sembari menghembuskan nafas kasar saking kesalnya.

Kieran hanya terkekeh melihat tingkahnya.

“Kamu kira-kira gitu gak bang? Kalo kamu diposisi Jim, bakal ngebangunin Aurora juga?” Tanya gadis itu serius.

Kieran tak langsung menjawab, ia hanya diam menatap gadis di depannya sesekali tersenyum.

Wah gila gak bener ini orang dikira lucu apa anjing kalo gue tiba-tiba sakau disini gara-gara dilihatin gini?

“Abangggg.” Panggil Salisha yang tak ingin terlihat salah tingkah. “Gimana?”

“Iya. Bakal aku bangunin juga.”

“Ih tuhhh kan emang ya laki-laki itu egois semua.”

“Gak gitu, gini dengerin dulu.” Kieran meraih tangan Salisha.

Tuh kan! Lelaki ini tak membiarkan Salisha merasa tenang. Lagi, punggungnya diusap-usap.

“Kita mikir realistis aja, dimana sih ada orang yang mau hidup sendiri? Bayangin gak ada yang ajak ngobrol, gak ada—“

“Kan ada Arthur?” Sela Salisha membuat lawannya tersenyum.

“Iya oke ada Arthur, tapi dia gak ngerti perasaan kita, jawab cuma gitu-gitu aja. Dia robot, dia gak punya perasaan layaknya manusia. Padahal manusia butuhnya apa? Kasih sayang. Coba kalo Jim pertahanin diri untuk gak egois, mungkin dia bakal bunuh diri kali karena bosen dan stres ngejalanin hidup gitu-gitu aja.”

Salisha diem sambil manyun. Sepertinya dia mulai berfikir bahwa Kieran ada benarnya. Dan jangan lupakan tangannya yang masih ada di genggaman lelaki itu.

“Gitu ya?“

Kieran mengangguk.

“Iya Jim salah, tapi ya gimana lagi? Aku tau Aurora pasti kesel banget, balik lagi, semua udah terjadi. Toh akhirnya happy ending ya gak?” Kieran naik-naikin alis.

“Ehhh waffle nya dateng.” Ujar Salisha semangat dan menarik tangannya untuk menyudahi sesi — ehem usap-usap.

“Bang sebenernya aku penasaran deh nama abang kan Kieran, kenapa dipanggilnya Kiel?”

“Ya kalo manggilnya Kier ntar disangka manggil burung, kir kir kir gitu.”

Keduanya tertawa dengan jawaban Kieran. Sebenarnya Kieran tertawa karena tawa Salisha yang lucu dan renyah menurutnya.

Awalnya cuma jalan-jalan keliling kota, sampai akhirnya Salisha ngide buat nonton film Passengers yang emang dia pengen nonton bareng Dipta. Tapi nunggu sahabatnya yang lagi sibuk-sibuknya itu, yang ada dia malah nggak jadi nonton.

Alhasil pergi nontonnya sama Kieran, kakak kelasnya yang beberapa bulan lagi lulusan. Usai dari bioskop, mereka berdua ke foodcurt karena sudah jam makan siang.

Baru sehari mereka chattingan, baru sehari juga nyoba buat jalan, sudah se-nggak canggung itu mereka. Sama-sama nyaman karena Salisha nyambung-nyambung aja diajak ngobrolin banyak topik.

Dan juga Kieran yang berhasil makin bikin Salisha jatuh cinta.

everything that happens is interconnected.


Di bawah terik matahari, seorang lelaki tengah berjalan sendiri dengan cerutu yang diapit di sela jari. Hanya dengan memakai kaos hitam tanpa alas kaki, ia berhasil lompat dari gerbang yang mengitari bangunan asrama. Baru dua minggu, lelaki dengan topi yang menutupi sebagian pandangnya itu merasa satu tarikan udara terasa semakin melelahkan.

Menimba air, berkebun, belajar tentang kepribadian, membaca ulang aturan-aturan yang ada di Golgotha, berapa puluh kegiatan dalam sehari membuatnya muak. Padahal kehidupan sebelumnya begitu bebas. Do something bad, memperbanyak catatan kriminal yang menurutnya adalah sebuah kebanggaan dan tak salah jika dilakukan, melakukan apa saja yang ia suka tanpa merasa tubuhnya dipaksa untuk menjadi terbiasa.

Sepi. Memang benar jika Arthfel mengatakan bahwa tempat ini adalah prison berkedok sekolah kepribadian. Ah tidak, lebih tepatnya this is a place of seclusion. Benar-benar tempat pengasingan untuk manusia yang tak diinginkan kehadirannya, itu yang ia pikir sejak sang Ayah melemparnya ke Golgotha safe zone.

Aroma tembakau sudah seperti parfum bagi Arthfel. Dapat dibuktikan bila aromanya dapat tercium di setiap inchi tubuhnya. Jika banyak tokoh yang menceritakan tentang kesakitan akibat merokok dengan penyakit yang mematikan dan pengalaman yang mengerikan, maka hanya satu tokoh yang sampai saat ini menjadi panutannya.

Albert Einstein! Merokok itu menciptakan rasa damai, katanya. Dan memang itu yang selalu dirasakan Arthfel.

Berjalan tanpa arah, ia masuk ke dalam hutan. Saking rindangnya pepohonan, terik matahari tak mampu menggores kulit putihnya lagi. Hanya semilir angin, suara-suara serangga dan gemerisik dedaunan yang menjadi kawan sepinya.

No fear touches you, no cowardice is yours....

Arthfel celingukan.

Oh my dark rose, glorious flame....

My queen, stand besideme as i battle through life....

Langkahnya terhenti beberapa saat untuk memusatkan indera pendengarannya. Ia yakin mendengar suara perempuan. Terdengar lirih, namun mengapa suara itu mendadak menjadi candu kala Arthfel mendengarkan dengan seksama.

In your blazing heart, i'm given rebirth.

Berhenti dan menghilang.

Atensinya kemudian terpusat pada pohon pinus longaeva yang tak jauh dari tempat dimana ia berdiri saat ini. Lelaki itu memicingkan mata karena tak sengaja melihat rambut panjang muncul dari balik pohon akibat terpaan angin.

Semakin ia berjalan mendekat ke sumber suara, semakin hilang pula gumaman yang menyerupai doa itu. Tapi ia yakin bahwa seseorang sedang ada disana. Entah melakukan apa, sama sekali bukan urusannya.

Berjongkok dan menyandarkan punggungnya di salah satu pohon, Arthfel kembali merogoh saku celana. Sebuah pemantik dan benda kecil ia keluarkan, yang tentu saja akan ia hirup aromanya sebentar lagi.

“Lo belum kena razia?”

Suara yang datang dari balik pohon pinus longaeva itu mampu membuat Arthfel urung membakar ujung cerutunya. Gerakannya terhenti, lantas menoleh bersamaan dengan munculnya seorang perempuan.

Mendengus.

Rambut panjang terurai, masih dengan tatapan tajam, juga pakaian yang sama pada pertemuannya dari hari pertama. Arthfel tebak, perempuan itu tak pernah menanggalkan pakaian yang sedang ia pakai.

“Lo bisu? Buta? Tuli?”

Arthfel mengernyit, seketika emosinya terpancing. “Apa sih anjing!”

“Oh enggak bisu. Enggak buta dan gak tuli.” Perempuan itu manggut-manggut.

“Lo ngapain masih disini?” Arthfel mengibas-ngibas tangannya, guna agar perempuan itu pergi dari sana. “Go away!

Tak mengindahkan perintah Arthfel, perempuan itu malah berjalan mendekat. Kini berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan yang sulit sekali diartikan.

Takut? Bukan Arthfel namanya jika ditatap seperti itu saja sudah merasa takut. Ia malah mendengus dengan smirk dan mengapit cerutunya yang belum terbakar di bibirnya. Berdiri menyamakan posisi perempuan itu.

Don't you have any fear?” Tanya perempuan itu. Mengangguk. “You really have no fear.

Belum sempat Arthfel menjawab, perempuan itu sudah bisa menebaknya jawabannya lebih dulu.

Mendengus. “I'm not interested sama apa yang bakal lo bahas.”

Arthfel membalikkan tubuhnya, berniat untuk berjalan-jalan sebentar disana. Berjalan hingga sangat jauh dari asrama. Ingin menemukan sesuatu yang bisa ia lakukan selain kegiatan membosankan disana.

“Leo itu....” Kalimatnya yang menggantung mampu membuat Arthfel berhenti melangkah dan sontak membalikkan tubuhnya lagi. “Your cousin, right?

Pagi tadi, sebelum matahari keluar dari singgahsananya, Nolan menemui Arthfel. Memberitahukan bila tak ada informasi yang ia dapat mengenai Leo. Seseorang yang baru-baru ini ia cari keberadaannya. Bisa saja ia mengulik informasi dari Elio, namun hubungan keduanya tak sedekat itu untuk sekedar mengobrol atau saling sapa.

Dan sekarang, mendengar kalimat dari perempuan itu membuat Arthfel berfikir apakah manusia yang saat ini tengah berdiri dengan tatapan kosongnya itu tau tentang Leo?

“Lo tau Leo dari mana?” Tanya Arthfel setelah beberapa detik hanya menusuk tatapan perempuan itu.

“Gue tau semua, yang gak lo tau sekalipun.”

Tunggu—Arthfel lupa memastikan bahwa sosok di depannya itu adalah manusia. Tiba-tiba ia teringat ucapan Nolan bahwa tak ada satu pun perempuan disini kecuali penanggung jawab sekolah.

Kedua manik hitamnya menjurus langsung pada kedua kaki lawannya yang menyentuh tanah. Perempuan itu manusia, Arthfel dapat memastikannya.

“100% human.” Ujarnya. “Nama gue Eris. Nice to meet you, Arthfel.”

Tapi jika perempuan yang baru saja ia ketahui namanya itu adalah manusia, mengapa Nolan mengatakan bahwa tak ada perempuan di tempat ini? Padahal sejak awal Eris ada bersama Nolan juga kala menjemputnya di Dermaga.

Ada orang lain datang.

Arthfel dapat mendengar suara langkah kaki dari depan sana. Dari arah belakang Eris, terlihat bayangan dua orang yang belum terlihat sosoknya.

Arthfel berjalan memangkas jaraknya dengan Eris. Ia memposisikan dirinya di depan perempuan itu. Bukan berniat melindungi, melainkan ingin menyambut siapa yang tengah berjalan ke dalam hutan.

What the fuck....” Desis Arthfel dengan rahang mengeras.

Elio berjalan kearahnya dengan tatapan yang tajam. Sesekali ia lelaki itu tersenyum miring. Ia tak sendiri. Ia membawa Gideon, dengan rupa yang sedikit mengenaskan, namun masih bisa berjalan.

Paras Gideon yang tampan sudah berlumuran cairan merah segar yang mengalir dari ujung dahinya. Beberapa kali ia menyekanya sendiri dengan tangan. Lelaki itu sempat memergoki Arthfel kala memanjat gerbang asrama. Namun Gideon hanya diam dan membiarkan Arthfel begitu saja.

“Narnia?” Tanya Elio yang sudah berada di depan Arthfel, sembari tangan kanannya meremat bahu Arthfel.

Ah rupanya itu bukan pertanyaan atau tawaran, melainkan titah yang harus ia laksanakan.

Bughhhh!!!

Gideon memukul punggung Arthfel dengan tongkat yang selalu Elio bawa. Arthfel tersungkur karena pukulan itu mendarat tanpa permisi.

“Anjing!” Umpat Arthfel kala Gideon duduk di atas punggungnya. Kedua tangannya pun diikat.

Arthfel berusaha melakukan perlawanan usahanya sia-sia, tangannya sudah terikat, Gideon masih duduk menekan punggungnya, dan kepalanya ditekan ke bawah oleh Elio.

“Hei bocah yang punya slogan nothing scares me anymore! You're breaking the rules again.” Ujar Elio. “Let's see heaven again.

Bersamaan dengan itu Gideon beranjak dan menarik tali yang mengikat kedua tangan Arthfel hingga lelaki itu berdiri. Lantas Elio berjalan mendahului keduanya.

Gideon mendengus. “Lo gak bisa kabur sekalipun lo sembunyi di hutan.”

“Gue gak sembunyi. I'm just bored, dude.” Desisnya.

“Lo harusnya ngajak gue, lo masih anak baru. Sendirian disini apa lo gak takut?” Bisik Gideon.

Langkah Arthfel terhenti. Ia membalikkan badan dan Eris masih berdiri disana. Gideon yang menyangka bahwa Arthfel akan berontak, sontak menarik kembali tali itu dan mendorong Arthfel untuk segera berjalan.

Arthfel kembali membalikkan badan. Eris masih menatapnya.

“Lo buta?” Tukas Arthfel dan menghentikan langkah Gideon.

“Perempuan itu.” Arthfel menunjuknya dengan dagu. “Gue gak sendiri.”

Arthfel yakin Gideon tengah bertemu tatap dengan Eris saat ini. Kedua mata Gideon tak mengerjap beberapa saat.

No one there.” Jawab Gideon yang kembali membawa Arthfel untuk berjalan.

Apa katanya tadi? No one there? Padahal jelas-jelas Eris masih berdiri disana, terus memendang tiga orang lelaki yang berjalan semakin menjauh.

Eris itu manusia kan?

Kini langkah mereka berdua semakin cepat hingga jarak antaranya dengan Elio terpangkas. Gideon benar-benar mendorong tubuh Arthfel agar lelaki itu menaikkan kecepatan langkahnya.

“Eris....” Ucap Arthfel tepat di telinga Elio membuat langkah mereka terhenti. “Who is Eris?

Membalikkan badan dan langsung melayangkan pukulan pada wajah Arthfel. Bukannya mendapat jawaban, ia malah mendapat rasa ngilu lagi di area wajahnya.

Arthfel menyeringai, mendongakkan kepala dan menatap remeh lelaki bernama Elio itu. Ia semakin tidak mengerti. Ia tertawa sarkas, sontak melayangkan kakinya untuk menendang perut Elio.

Tepat sasaran!

“Siapapun lo, dan setinggi apapun posisi lo disini, gue gak takut.” Desis Arthfel yang semakin mengundang emosi lawannya.

Elio memangkas jaraknya dengan Arthfel. “Lo gak mau berakhir sama kayak sepupu lo kan?”

Elio menyeringai. . . . . . . . . . . Jadi, apa hubungan Eris dan Elio dari peristiwa Leo yang masih menjadi misteri bagi Arthfel?