WAITING FOR YOU, AGAIN.
Pada akhirnya hanya saya yang ditakdirkan untuk menunggu, sedang kamu tidak.
Garren Argantara.
Duduk diantara batang pohon akasia dengan perlahan dan hati-hati. Ia menengadah wajahnya ke atas. Gelap malam, cahaya bulan berpendar anggun dengan beberapa bintang bersinar berkilauan tersenyum menyejukkan. Ia melambai menyapa sang bulan. Kemudian netra hitamnya menatap lamat kulit putih pucat yang selalu menjadi rasa sesal di sepanjang hidupnya.
“Garren!”
Suara gadis dari jauh terdengar lantang terbawa angin malam. Sigapnya Garren menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang gadis dengan dress selutut berlarian menembus ilalang. Gadis yang memiliki wajah bulat dengan tahi lalat di dagu dan satu lesung pipi memperindah wajah ketika tersenyum itu adalah ciptaan Tuhan yang selalu Garren tunggu kehadirannya.
“Sudah berapa kali Meissa bilang! Jangan naik pohon, Garren Argantara!”
“Tidak dengar, Meissa.” Garren menjawab dengan kedua telunjuk yang masing-masing menutupi lubang telinganya. Pura-pura tidak mendengar sembari melepas tawa yang membuat Meissa berkacak pinggang sebal.
Meissa Aquila namanya. Gadis yang esok hari akan genap berumur 25 tahun.
“Garren, ayo menikah saja.” Ujarnya sembari duduk bersandar memunggungi pohon. “Meissa janji memasak untuk Garren makanan enak setiap hari. Makanan matang, yang bisa Garren makan.”
Kalimat yang keluar dari bibir Meissa membuat lelaki itu turun kemudian berjongkok di depannya. Bertemu tatap dengan mata lentik milik gadis di hadapannya.
“Saya....” Garren menggantung sembari menelisik manik indah lawannya. “Mau ditemani?”
Lelaki itu mengelus rambut Meissa. Mengerti akan ungkapan kasih sayang Garren padanya, gadis itu tak menyurutkan kepala, tak ingin menghindari usapan lembut orang terkasihnya.
“Ditemani apa? Meissa tidak minta ditemani kemana-mana.” Pura-pura terkejut, Meissa menggelengkan kepala.
“Ditemani seumur hidup. Tadi minta?”
Meissa tertawa. “Menikah maksud Garren?”
Garren menunduk malu. Telinganya berpendar merah. Cukup kontras karena kulit putihnya.
“Garren malu?” Goda Meissa dengan kedua tangan menangkup wajah lelakinya yang berusaha menyembunyikannya. “Haha itu telinga Garren merah.”
Meissa tertawa kecil. Masih berusaha melihat wajah Garren yang disembunyikan. Tawanya semakin terasa dingin. Diam, kemudian tangisnya pecah. Pipinya membasah.
“Meissa?” Garren mendongak terheran. Membantu gadisnya menyapu pipinya yang basah.
Air matanya tak mampu untuk berhenti. Semakin ditiup-tiup malam, bening miliknya masih meliuk di atas kulit wajah.
“Lihat wajah saya ini. Iya saya malu. Jangan buang air mata disini, nanti ilalangnya tenggelam karena air mata kamu.” Masih mencoba menghibur dengan mengatakan sesuatu yang lucu.
Gadis itu mulai meneliti wajah lelaki yang kini duduk sangat dekat di depannya. Kulit putih dingin yang tak pernah hangat, bola mata yang selalu berubah warna seiring musim berganti, dan wajah yang tak pernah menua.
“Sebentar lagi saya berumur 25 tahun.” Ucapnya dengan bibir bergetar.
“Karena itu?”
Meissa mengangguk. Tatapannya beradu dengan mata Garren.
“Kalau besok Garren umur berapa?” Tanya Meissa yang kelopak matanya mulai dipenuhi beningan air. “Garren bilang setiap Meissa bertambah umur, umur Garren juga bertambah.”
Garren tergeragap. Menghembus napas berat. Ia kembali menunduk, menoleh ke segala arah, menghindari tatapan mata Meissa. Matanya ikut membasah. Semua kenangan serasa terputar jelas di dalam otaknya kini.
Tempat ini selalu sama. Pohon akasia, ilalang, dan berbagai macam suara gelak tawa. Rasa takut hingga bayang-bayang dirinya yang selalu menunggu seorang diri. Kesedihan yang ia nikmati sendiri tanpa ada tempat untuk berbagi. Ratusan juta bulir air mata terjatuh menjadi teman rasa kehilangannya.
“Garren....”
“1050 tahun, Meissa.” Jawabnya dan satu butir bening lolos. “Saya-“
“Dua menit!! Dua menit lagi!” Seru Meissa ketika melirik layar ponsel yang menunjukkan alarm pengingat. Kemudian beranjak. Menarik pergelangan tangan Garren untuk membuat lawannya ikut berdiri.
Meissa membawanya berjalan ke tengah ilalang. Mereka berdua tampak serasi dengan dress putih tulang yang dikenakan Meissa dan baju putih keabuan berlengan panjang yang dikenakan Garren. Berdiri berdampingan dengan kedua tangan yang masing-masing mereka kaitkan untuk memanjat doa. Di bawah cahaya rembulan yang masih tersenyum mesra, mereka sudah bersiap memejamkan mata.
Tepat pukul 12 malam ponsel Meissa berdering mengalunkan lagu Already Gone milik Sleeping At Last. Mereka berdua saling memanjat doa. Menjadi doa terpanjang bagi Meissa diumur seperempat abadnya. Gadis itu masih memejamkan mata kala Garren selesai mengirim harapannya pada Tuhan.
Sembari menunggu gadisnya mengakhiri doanya, Garren mengeluarkan flower crown dari balik kemejanya yang ia rangkai sendiri. Meletakkan benda cantik itu di atas kepala Meissa. Menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga yang berkeliaran tertiup angin. Lelaki itu masih menatap lamat sang pujaan hati.
Kedua mata Meissa terbuka perlahan. Hatinya cukup tenang melihat wajah lelaki yang tersenyum dengan lesung pipi tipis di hadapannya itu.
“Selamat bertambah umur, Meissa Aquila.”
“Selamat bertambah umur, Kakek Garren Argantara.”
“Apa?!” Garren melotot, namun Meissa tertawa terbahak hingga ia memegangi perutnya. “Kenapa bisa kamu panggil saya dengan sebutan Kakek?!”
“Iya lalu? Umur kamu 1050 tahun sekarang. Saya harus panggil kamu apa? Kakek moyang? Oke baiklah itu lebih baik kan?”
Setelah berucap demikian, Meissa berlari menerobos ilalang. Gadis itu terus tertawa, bahkan lesung pipinya tak pernah padam. Semakin tampak cantik di mata Garren. Kemudian ia berjalan mundur sembari memperhatikan lelaki yang senyumnya merekah. Melambai-lambaikan tangan, mengatur nafas.
“Sampai bertemu esok hari! Saya tunggu kamu melamar saya!” Teriaknya di seberang sana dengan melambaikan tangan. “Terima kasih hadiahnya!”
“Iya! Hati-hati!” Jawab Garren.
—
“Bu, Garren hari ini ke rumah, Meissa pakai baju apa ya?!” Seru Meissa dari lantai dua. “Ibu?! Bantu pilihin baju, Bu!” Teriaknya lagi, namun tak ada suara di bawah sana.
Meissa berjalan menuruni anak tangga. Celingukan mencari sang Ibu yang rupanya berada di teras rumahnya. Tak sendiri, beliau bersama Ayahnya. Dahi Meissa berkerut heran. Keduanya telah memakai setelan yang rapi. Seperti tengah menunggu kedatangan seseorang atau sebaliknya? Mereka berdua telah bertemu seseorang, karena tatapannya masih mengendar pada pagar yang terbuka tak terlalu lebar itu.
“Ibu? Ayah?”
Keduanya tersentak dengan sapaan putrinya.
“Ayah Ibu sedang apa? Meissa panggil Ibu dari tadi. Ayo Ibu bantu pilih baju untuk Meissa pakai.”
Gadis itu menggenggam tangan Ibu, menariknya perlahan menuju ke dalam rumah. Kedua orang tuanya masih terdiam. Jika benar firasat Meissa, maka mereka sedang menyembunyikan sesuatu.
“Nak....” Tangan Meissa tertarik, menghentikan langkahnya tepat di bawah anak tangga.
“Iya, Bu?”
“Garren,” bibir Ibu membisik.
“Garren kenapa Bu? Iya jam 10 Garren datang ke rumah.” Jawab Meissa mencoba tenang meski dirinya mulai sedikit gusar. Melihat Ibu hanya diam, gadis itu menarik genggamannya lagi untuk berjalan menuju kamar. “Ayo Bu, takut Garren datang Meissa belum apa-apa.”
“Ayah menolak pertunangan kalian.”
Bak disayat belati, hati Meissa terluka seketika mendengar kalimat sang Ayah. Langkahnya terhenti, kemudian membalikkan tubuh menghadap lelaki yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Tatapan matanya menuntut penjelasan, namun Ayah menghindari tatapan Meissa.
“Ayah? Semalam Ayah semangat menunggu kehadiran Garren. Kenapa tiba-tiba?” Meissa menuntut.
“Garren bukan orang baik, dia tidak akan darang.”
Meissa terdiam menggeleng halus. “Garren sudah janji, Ayah.” Ia menoleh kearah jam dinding dengan jarum panjang menujuk angka 11 yang berarti lima menit lagi Garren akan datang.
“Meissa ganti baju dulu, Ibu, Ayah.”
Mata Ibu berair setelah putrinya memasuki kamar. Ayah pun masih terus menatap punggung sang putri meski sudah tak terlihat lagi.
Tak berdandan pun Meissa sudah tampak cantik dengan kulitnya yang bersih dan terawat. Ditambah hari ini adalah hari yang akan menjadi istimewa bagi gadis itu, ia ingin semakin mempercantik diri.
Dress berwarna merah muda dengan kombinasi bunga putih di bagian bawah, tampak sangat cocok dengan kepribadian Meissa. Tak lupa pula ia memakai flower crown hasil karya indah lelakinya.
Meissa, juga kedua orang tuanya menunggu di ruang tamu. Menunggu kedatangan seseorang yang akan menemani sisa hidupnya. Membayangkannya saja Meissa sangat bahagia. Sesekali ia melempar senyum kepada kedua orang tuanya bergantian.
Jarum jam terus berjalan cepat. Gadis itu mulai gugup karena tak ada tanda kedatangan. Berkali-kali ia keluar rumah untuk memastikan. Ia tampak cemas hingga berusaha menghubungi Garren.
Sudah hampir dua jam ia menunggu. Puluhan pesan ia kirim namun tak terbalas. Puluhan hingga ratusan panggilan pun tak terjawab.
“Ayah, Ibu, sepertinya Garren tersesat. Meissa cari Garren-“
“Garren tidak akan datang, Meissa!” Tukas Ayah.
“Garren sudah berjanji! Dia akan datang hari ini.” Tegasnya. “Meissa mau cari Garren!” Imbuhnya sembari pergi meninggalkan rumah.
Kedua mata Meissa berkaca-kaca. Meyakinkan diri sendiri. Garren akan selalu menepati janjinya. Itu yang membuatnya yakin. Ia pergi ke tempat dimana mereka berdua selalu memanjatkan doa bersama. Tempat dimana Meissa bisa menemukan lelaki itu meski tak harus pergi ke rumahnya.
Berlarian menerobos ilalang dengan kekesalan yang memuncak, ia terus meneriaki Garren. Gadis itu tau pasti lelakinya tengah duduk di antara batang pohon akasia, seperti biasa. Namun ketika kedua kakinya telah sampai, ia tak menemukan Garren disana.
“Garren?!”
“Kamu bersembunyi dimana?”
“Jangan bercanda, Garren Argantara!”
Hanya terdengar suara ilalang yang tertiup angin. Suara daun yang saling bergesekan. Meissa terus berusaha menghubungi Garren. Ia beristirahat dengan duduk bersandar di pohon. Menunggu lelaki itu datang ke tempat ini atau setidaknya membalas pesan dan panggilan dari Meissa.
Cukup lama menunggu, tetapi Garren tidak datang. Gadis itu tidak tau dimana tempat tinggal lelakinya karena ia sama sekali tak pernah memijakkan kaki disana.
Layar ponsel Meissa menyala. Satu pesan masuk dari seseorang yang ia tunggu. Dengan terburu ia membuka pesan itu, hatinya kembali hangat sesaat mengetahui bila Garren tidak akan—
Sebulir bening yang sebelumnya mengembang di kelopak mata lentik Meissa, kini meliuk turun. Tangannya bergetar menggenggam ponsel yang akhirnya terjatuh di atas pangkuannya. Matanya berkejap sendu. Ada rasa kecewa dan rasa sakit bercampur jadi satu memenuhi ruang hatinya membaca satu pesan yang ia baca.

“Garren Argantara, saya sudah pernah bilang kalau saya hanya bisa merasa bahagia bersama kamu.” Lirih Meissa terbata. Nada suaranya bergetar akibat isakan yang tak dapat ia bendung.
Air mata Meissa mengalir deras hingga pundaknya bergetar. Ia menunduk mencoba meredam suara tangisnya di perpotongan lengan tangan. Tangannya meraih ponsel yang terbuang tadi. Menekan angka, mencoba menghubungi Garren namun terlambat, ponselnya telah dinonaktifkan.
“Garren jahat!”
“Garren jahat!”
.
.
.
.
.
.
Tentang janjinya pada Meissa, Garren tak mengingkarinya. Ia tak akan mengingkari janji yang telah ia buat sendiri, terlebih janjinya kepada orang terkasih. Lelaki itu datang. Menemui kedua orang tuanya, dan sengaja untuk tidak bertemu dengan gadisnya.
Garren datang dengan setelan tuxedo yang sudah ratusan tahun selalu ia pakai. Datang dengan senyum menawan yang akan membuat siapapun bisa jatuh hati padanya. Senyum yang sangat cerah, bahkan mentari pun kalah.
Pintu rumah yang terbuka menampakkan kedua orang tua Meissa tengah duduk menunggu kedatangan dirinya. Mereka bertemu tatap, kemudian sang Ibu menghampiri dan mempersilahkan masuk namun Garren menolak sopan. Sang kepala keluarga pun ikut menemui lelaki itu di luar rumah, atau tepat di teras rumah.
“Bagaimana kabar Ayah dan Ibu? Tampak sangat sehat, apakah benar begitu?” Prolognya.
“Sepertinya hari ini Ayah akan lebih sehat karena hari bahagia putri Ayah.” Senyumnya merekah. “Ada apa? Mengapa tidak berbincang di dalam saja?”
Garren menggeleng.
“Saya hanya ingin mengungkapkan sesuatu yang mungkin tidak dapat kalian percaya.”
“Apa itu?” Raut wajah Ibu tampak mulai cemas.
“Kalian mungkin menganggap saya adalah manusia pada umumnya. Sepertinya Meissa tidak akan pernah memberitahu ini pada kalian jika bukan saya yang mengungkapkan sendiri identitas saya.”
“Saya memang tampak seperti manusia, tapi sayangnya bukan. Saya bukanlah manusia yang bisa melahap semua makanan. Saya bukanlah manusia yang bisa mati dan ber-reinkarnasi menjadi orang lain. Saya hanyalah makhluk Tuhan yang memiliki masa hidup satu kali. Jika masa hidup saya telah berakhir, saya tidak akan reinkarnasi dan hidup kembali. Saya benar-benar mati dan menghilang.”
Kedua orang tua Meissa tampak bingung namun tetap memperhatikan setiap kalimat yang diucapkan Garren.
“Saya mencintai Meissa. Dari awal kehidupan saya hingga saat ini. Saya selalu melihat gadis yang saya cintai pergi meninggalkan dunia, sedang saya disini kembali sendiri dan menunggu dia memiliki kehidupan lagi. Saya selalu cemas, bagaimana jika tak ada lagi reinkarnasi dari orang yang saya cintai? Bagaimana jika saya akhirnya benar-benar sendiri hingga masa hidup saya berakhir?”
Menjelaskan hal yang cukup sulit seperti itu membuat air di pelupuk mata Garren jatuh beraturan. Ia tak mencoba menghapusnya, ia hanya berusaha menuntaskan apa yang seharusnya ia sampaikan.
“Percayalah, saya telah melihat kepergiannya berkali-kali dan itu menghancurkan saya. Lantas izinkan saya kali ini untuk mencoba merindukannya dari jauh, merawatnya dari jauh, menemaninya dari jauh, dan mencintainya dari jauh.”
“Saya janji, ketika masa hidup saya akan berakhir, saya akan benar-benar membersamai Meissa hingga akhir. Saya akan mengakhiri cinta saya di kehidupan Meissa berikutnya.”
“Saya akan pastikan Meissa bahagia dan akan selalu seperti itu. Namun kali ini tolong izinkan saya menjaganya dari jauh.”
Seketika Ibu memeluk Garren meski pelukannya tak terbalas. Menepuk punggungnya pelan. Menangis disana.
“Tidak apa, kamu telah melewati banyak hal. Pasti sangat berat hidup seperti ini.” Ucap Ibu dengan mengendurkan pelukan dan mengusap pipi yang basah.
“Saya hampir tidak percaya dengan apa yang kamu katakan. Saya izinkan kamu. Terima kasih telah mencintai putri saya hingga saat ini dan di kehidupan berikutnya, saya harap kamu tetap mencintai putri saya. Lega bisa mengetahui bahwa Meissa dicintai oleh lelaki seperti kamu, Garren Argantara.” Ungkap sang kepala keluarga sembari menepuk lengan Garren beberapa kali.
Garren menunduk, kemudian melangkah pergi setelah mendapat izin dari kedua orang tua Meissa. Ia meloloskan butiran air matanya sebelum kedua kakinya melewati pagar rumah. Tak lama ia mendengar suara dari Meissa, lantas ia tersenyum pilu.
“Saya minta maaf.” Gumamnya.
Derit air keran dibuka. Garren membasuh muka sesampainya di rumah. Ia kembali masuk ke kamar, melirik ponsel yang layarnya terus menyala. Gadisnya yang tanpa henti menghubungi. Pesan dan panggilan sama sekali tak diindahkan olehnya.
Duduk di tepi ranjang dan menghadap jendela. Pandangannya menembus ke arah kendaraan yang berlalu lalang melewati depan rumahnya. Hatinya bertanya-tanya apakah keputusan yang ia ambil ini benar atau tidak.
Pada akhirnya Garren mengirim satu pesan untuk Meissa. Permintaan maaf, juga permintaan agar gadisnya tak lagi menunggu kedatangannya. Mungkin pesan itu akan menyakiti hati Meissa, namun harus ia lakukan agar Meissa bisa kembali melanjutkan hidupnya. Berbahagia dengan sesama manusia.
Empat tahun....
Setelah sekian lama Garren melihat keterpurukan Meissa, akhirnya gadis itu telah bangkit di usianya yang beranjak 30 tahun. Ia menikah dengan seorang laki-laki yang baik. Garren mengenal lelaki yang akan menjaga gadis—ah perempuannya itu.
Pada saat pernikahan digelar, Garren berada disana, namun ia hanya hadir dari kejauhan. Melihat Meissa berdiri dengan sang suami, hati Garren tersayat. Ada rasa sesak dan tak terima melihat itu terjadi. Namun lebih menyesakkan melihat Meissa selama tiga tahun lamanya tak pernah absen mengunjungi tempat dimana Garren menghabiskan waktu santainya.
Di hari bahagia Meissa, Garren mendatangi tempat itu lagi setelah tiga tahun lamanya ia tak berada disana. Dengan cekatan ia memanjat pohon akasia yang ia rindukan. Pohon yang menjadi saksi dimana ia merasa sesak, sedih dan kehilangan selama ratusan tahun lamanya.
Langit tampak kebiruan dan lebih cerah dibanding biasanya. Mungkin itu karena Meissanya telah bahagia.
Melihat ilalang dari atas pohon membuat segala kenangan selama ratusan tahun mendadak menampakkan diri. Terkadang Jaehyun tak tahan dengan itu dan berakhir mengurung diri di dalam kamar untuk tak pergi kemana pun. Tapi kali ini ia mencoba melawan meski terasa sesak bila harus mengingat Meissa di setiap kehidupan sebelum-sebelumnya.
Meissa miliknya tidak pernah berubah. Perempuan itu selalu memiliki senyum dan tawa yang selalu ia rindukan. Kepribadian yang selalu membuat dirinya jatuh cinta dan tak akan pernah merubah rasa cinta itu sendiri.
.
.
.
.
.
Garren memandang wajah letih itu. Ia mengangguk dan tersenyum pada dua anak kembar yang tengah diajaknya bermain berlarian di tengah ilalang. Meissa bersama kedua putrinya berada di tempat yang selalu menjadi saksi bisu kisah cintanya.
Rupanya Meissa masih mengingat tempat ini meski dirinya sudah memiliki kebahagiaan lain. Garren tersenyum.
“Semoga Meissa selalu sehat dan bahagia seperti ini.” Lirihnya yang kemudian berbalik badan tak jadi melangkah menuju pohon akasianya.
“Om! Om!”
Suara anak kecil menghentikan langkahnya.
Putrinya Meissa?
“Om bisa tidak menggendongku untuk sampai di atas sana?” Tanya si kecil menunjuk arah pohon akasia. “Bunda tidak punya kekuatan. Om mau bantu Jihan?”
Garren tersenyum dan berjongkok. Menelisik tiap sudut yang mirip dengan orang terkasihnya. “Maaf ya, Jihan, Om sedang sibuk. Besok-besok Om bantu ya?”
Namun anak kecil itu menggeleng kuat. “Kata Bunda, ini terakhir kalinya Jihan kesini.”
Lelaki dengan lengkungan senyum tipis yang merekah itu hanya mengangguk kecil meski rasa sakit menghampiri hatinya. Mendengar kalimat Jihan membuat dirinya yakin bahwa Meissa akan segera melupakannya.
Susah payah membendung air mata, Garren akhirnya beranjak pergi. Namun sebelum itu Garren menyuruh Jihan untuk kembali pada Meissa, juga memastikan anak itu benar-benar sampai ke tangan sang Bunda.
.
.
.
.
.
.
.
Tidak akan pernah manusia tau bagaimana takdir dan jalan hidup mereka. Kapan dan dimana ia akan bertemu dengan seseorang tak pernah lagi ia sangka. Seperti saat ini dimana Meissa keluar dari toserba dan mendapati seorang lelaki yang masih tetap sama. Masih tetap memiliki hatinya, sepenuhnya.
“Garren Argantara?!” Gumamnya.
Lelaki di seberang sana masih menunduk dan bersandar pada tembok gedung. Bermain dengan kerikil trotoar, kakinya berayun-ayun. Betapa bahagianya Meissa setelah hampir sepuluh tahun lelaki itu hilang kabar, tak pernah ia temui, juga tak pernah ia lupakan.
Kedua mata legamnya berkaca-kaca. Ada sesuatu yang tengah bersatu disana namun Meissa menahannya. Membuat pandangan matanya buram. Meissa tengah memastikan di arah kanan dan kiri tak ada kendaraan yang lewat, lalu ia berjalan menyeberangi jalan raya itu. Ia sangat ingin memeluk tubuh lelaki yang selama ini ia rindukan. Kaki yang tak selincah dulu mempersulit jalannya. Ia hampir saja tersandung dan terjatuh.
“Garren—“
Si empunya nama menoleh, menyadari dirinya terpanggil.
Tiiiinnnn!!!!!
Bruakk!!
Sebuah motor dengan kecepatan tinggi menerobos tubuh ringkih seorang perempuan.
“MEISSA!!” Garren terkejut setengah mati. Dengan cepat ia menghampiri dan meminta pertolongan.
Tangan Garren bergetar, ia menangis tanpa air mata dan suara. Mencoba menarik napas panjang dan tetap tenang. Menolong seseorang yang sedang mengalami kecelakaan seperti ini mengharuskannya menepus rasa panik. Garren menelpon ambulance. Dan ketika mobil itu datang, ia juga membantu menggendong Meissa dan menemaninya di mobil.
“Meissa? Meissa? Ini saya. Meissa ini saya Garren.” Ucap Garren sembari menggenggam tangan kiri Meissa. “Meissa dengar suara saya?” Kini suaranya bergetar.
Wajahnya masih tetap cantik meski tertutup cairan merah.
“Oksigen di dalam tubuh menurun!!” Ujar perawat yang ada di dalam mobil.
“MEISSA! MEISSA!”
“Buka mata kamu, saya mohon.”
“Meissa tolong tetap hidup untuk saya.”
Garren tidak melepas genggamannya meski kini Meissa telah dibaringkan di atas nakas yang di dorong menuju ruang UGD. Melewati lorong-lorong rumah sakit, lelaki itu tanpa malu meneteskan air mata dengan derasnya.
Ia merasa Meissa tengah mencoba membalas genggaman tangannya. Perempuan yang tak sadarkan diri itu pelan-pelan membuka matanya. Meski tak sepenuhnya terbuka, Meissa bisa menangkap jelas wajah Garren yang tengah tersenyum di dalam tangisnya. Namun tubuhnya seakan mati rasa, untuk sekedar mengucap satu kata pun ia tak sanggup.
“Saya disini, Meissa.”
“Saya disini....”
“Saya tidak akan kemana-mana, saya disini menemani kamu.”
“Tolong bertahan untuk saya, Meissa.”
“Saya tidak akan pergi, saya disini.”
Kalimat yang sangat ingin didengar oleh Meissa. Kalimat-kalimat yang selalu ia rindukan akhirnya dapat ia dengar lagi. Tanpa sadar pucuk mata Meissa membasah.
Meissa tersenyum dengan manisnya untuk Garren sebelum ia masuk ke dalam ruang UGD.
.
.
.
.
.
.
.
.
Terasa menyakitkan, melihat kepergian seseorang. Terlebih orang yang selalu ia tunggu kehadirannya, seseorang yang selalu ia rindukan, seseorang yang akan selalu menjadi tuan rumah di hatinya.
Tempatnya pulang.
Garren meletakkan hatinya yang lelah di atas pohon akasia. Menggantungnya agar angin membuat hatinya kembali sejuk. Agar cahaya mentari mengeringkan lukanya yang membasah dan akan terus membasah.
Lelaki itu mendekap tubuhnya dan bersandar di pohon. Duduk di bekas Meissa biasa melamun, berbagi tawa, hingga menangis tersedu.
Garren menggenggam secarik kertas berisikan tulisan tangan Meissa, yang entah sejak kapan tergantung di salah satu ranting pohon. Kertas berisikan doa yang ia kirim pada Tuhan saat ulang tahun ke-25 nya, juga beberapa kalimat indah lainnya.

Garren memejamkan matanya. Ia tak ingin melihat sekitar. Ia hanya ingin merasakan angin yang mempermainkan anak-anak rambutnya. Air matanya berlinang lagi.
Tentang harapan yang ia kirim pada Tuhan setiap bertambahnya usia, tetap sama. Ia berharap untuk dilahirkan kembali menjadi manusia biasa, karena ia lelah melihat kepergian orang-orang yang ia cintai.
Karena pada akhirnya ia yang harus tetap menunggu Meissanya kembali.
Di tempat yang sama, bersama kepingan luka dan rindunya.