Write.as

Springbloomz_

Orang bilang, mimpi itu seperti ketukan pintu ruang kenyataan. Seolah pertanda, siapa tahu bisa betulan terjadi. Hm ... dipikir-pikir sepertinya memang begitu. Kalau diputar kembali, sebelum maniak pada cowok-cowok korea dan kena damprat alias ditempeleng oleh Faya dengan sebutan halu ketika asal ceplos, “Kepingin pacaran sama Jisung, deh.” Aku ini pernah berandai-andai jadi putri raja, lho.

Walau mimpi jadi putri-putrian dan pernah memanggil papa sebagai nenek lampir—kalau mengingatnya lucu aja, padahal papa itu pria tangguh, tapi aku memanggilnya nenek lampir dengan kurang ajarnya—aku bukannya mendambakan seorang pangeran berkuda putih, justru ingin dijodohkan oleh pencuri seksi penuh mempesona layaknya Flynn Rider di animasi Tangled, iya si Rapunzel-Rapunzel turunkan rambutmu itu. Otak masa kecil yang lebih gampang dicuci, malah menginginkan si kriminal profesional.

Tidak heran aku dikatai aneh dan sinting oleh Faya, teman dari bontot, yang menyaksikan suka-duka akan transformasi tipe cowok ideal dari Flynn Rider ke Mark Lee.

Nggak usah mempertanyakan, kenapa berbeda lagi. Sudah kubilang, aku ini nggak punya bias!

Padahal, aku pikir, peran sebagai putri kerajaan akan terhenti di umur enam tahun. Sayangnya, entah novel yang Faya berikan seolah ada medan sihir yang barangkali Maleficent salah sasaran, harusnya mengutuk Putri Aurora, justru malah aku yang seolah terperangkap pada mimpi aneh.

Nyatanya, aku malah dihadang dengan banyaknya perempuan yang mengenakan baju maid, kemudian menyambutku dengan gaya aneh. Padahal, aku sebatas bangun tidur, tetapi mereka sudah repot dengan menyiapkan gaun, polesan wajah, tatanan rambut, bahkan hei ... MEREKA TADI MEMANDIKANKU! IYA! DIMANDIIN!

Belum apa-apa aku sudah lelah serasa mendadak jadi nenek-nenek. Berulang kali aku menyuruh cowok bermuka seperti Jaemin ini untuk menamparku, tetapi ia yang kini melekatkan nama sebagai Pangeran Noel justru tertawa.

“Kamu habis minum apa kemarin?”

“Minum Americano.” Padahal, omonganku itu biasa-biasa saja, tetapi Pangeran Noel dan Putra Mahkota Juan kini menatapku dengan aneh? Seolah netra biru permatanya yang cantik itu menyorot mukaku seperti alien, padahal aku sebenarnya memang mahkluk asing yang menyeludup masuk ke dunia antah berantah nggak jelas ini.

“Americano?”

Itu suara berat Putra Mahkota Juan.

“Tahi macam apa itu?”

Nah, kalau jawaban ngelantur seperti ini, sudah pasti Pangeran Noel yang bersuara.

“Kopi?”

“Tidak mungkin, ‘kan? Di dunia aneh ini nggak ada namanya kopi” pikirku demikian. Namun, bukan tekukan wajah lega, malah mata mereka semakin melotot dan langsung mendekat padaku.

Err-sebentar ... aku ini bisa-bisa terkena serangan jantung, lho? MASALAHNYA MUKA MEREKA INI ‘KAN MIRIP JENO DAN JAEMIN?

Tangan Juan sudah menempel pada dahi, lalu Noel memeriksa badan, barangkali otakku masih ketinggalan di bumi dengan diputar-putar seolah gangsing. Aku yang dibuat pusing oleh tingkah mereka kemudian menepis.

“Memangnya apa yang salah pada diriku?” Aku kesal, sudah mengerti tentang keluhan Faya waktu itu kala abangnya bertingkah super protektif padahal dia cuman keserempet sepeda saja.

“Tuan putri ‘kan nggak suka kopi ....” Noel berkata pelan dan dibalas dengan anggukan oleh Juan.

Aku jadi kikuk, bagaimana kalau mereka mencurigai kalau jati diriku bukan Putri Vionna seperti sebelumnya? Bagaimana kalau aku diusir? Bagaimana kalau aku dipenggal seperti hukuman kerajaan yang pernah Faya bilang?

Sebelum pertanyaanku dimuntahkan secara keseluruhan oleh otak, entah dari mana seorang pelayan kini sudah menunduk di hadapanku.

Alisku terangkat, merasa kenal dengan presensi ini ... tetapi siapa, ya?

“Arlin, coba bawakan Tuan Putri Vionna ke dokter pribadi saya.” Suara Juan menginterupsi dan kala orang yang disebut Arlin itu mengangkat kepala, rahangku rasanya mau jatuh saja.

Allahuakbar

Sungguh, dunia ini bener-bener aneh, masalahnya ... KENAPA ARLIN MUKANYA MALAH MIRIP KARINA AESPA?

Ini cocoknya aku yang jadi pelayan nggak, sih?

ordharnatte

Pada generasi ke-34 Kerajaan Modern Ordharnatte yang dipimpin oleh Raja Javies, rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan kebahagiaan. Yang Mulia Javies melepaskan titel ‘Pempimpin Ordharnatte selalu menyeramkan dan begitu bengis’ sementara dirinya justru penuh ramah dan selalu merakyat. Perbandingan itulah membuat Raja Javies selalu dipanjatkan agar hidupnya terus diberkati oleh keagungan matahari.

Namun, pria itu tampaknya haus akan cinta. Meski beliau telah menikah dengan Ratu Lily, Javies tetap saja mengembara untuk mendapatkan banyak cinta pada para wanita. Hidupnya sewaktu kecil telah direngut kehangatannya dari seorang ibu, sedangkan ayahanda hanya memikirkan kerajaan dan rakyat, tanpa memberi berbelas kasih sayang pada anak laki-lakinya yang membutuhkan rengkuhan.

Pernikahan politiknya pada Ratu Lily yang sejak awal tidak didasari oleh cinta itu, membuat Javies terus saja seperti anjing liar yang mengulurkan lidah dengan mata binarnya, mengharapkan siapa saja bisa ia panggilkan tuan agar ia dipelihara.

Sampai akhirnya, ketika rembulan menyorot kemegahan istana dengan angin malam berhembus begitu dingin, langit tampaknya ikut bersuka duka akan kepedihan Ratu Lily yang harus menelan bulat-bulat sebuah fakta bahwa Raja Javies mengangkat wanita rendahan sebagai selirnya. Lily harus rela dimadu oleh Olivia yang tidak jelas asal usulnya itu.

Jantung Lily seolah direngut keras, ia yang selalu dihargai oleh keluarganya itu, justru diinjak-injak harga dirinya pada perempuan yang kini mengenakan perhiasan yang tak pernah Javies berikan padanya. Para pelayan yang sebelumnya melayani Lily seorang, harus terbagi atensi pada Olivia yang malah lebih sering diajak pada setiap pertemuan, sementara Lily baknya seorang berlian yang dikurung habis-habisan.

Sampai pada akhirnya, Lily yang tak pernah disentuh oleh Javies, lagi-lagi harus tergores perih ketika orang-orang di istana tengah berkumpul dan bilang, “Nyonya Olivia mengandung!”

Seolah berbagai macam belati menusuk relung terdalamnya, Lily yang kehilangan akal, kontan mendobrak pintu ruang kerja Javies.

“Anda anggap saya itu apa, Yang Mulia?” Luka tentu saja tersirat pada sorotan mata coklatnya yang begitu teduh. Dengan bibirnya yang bergetar hebat, netranya menatap nanar. “Saya bukan berlian yang harus dijaga terus seperti koleksimu akan wanita!”

Rahang Javies mengeras, tangannya yang sedari tadi menggores bulu tinta kini terhenti sembari menatap Lily dikendalikan oleh emosi. Wanita bersurai pirang dengan gaun hijaunya yang gelap, menatap kesal. “Anda harusnya tahu, beribu kali anda membuat garis keturunan pada wanita rendahan seperti dirinya, mereka tidak akan menjadi raja berikutnya! Hanya keturunan raja dan ratulah yang bisa melahirkan putra mahkota! Memangnya, anda pikir kehidupanmu itu akan abadi, hah?”

Javies geram. Laki-laki itu bangkit dan menatap Lily dengan nyalang, sementara wajah perempuan itu tak pernah gentar untuk sekadar berkontak mata dengan netra elang pria di hadapannya ini.

“Kalau anda pikir keluargamu itu adalah orang yang paling menyayangimu, berarti anda itu naif, Ratu Lily.” Javies mengatakannya dengan tangan yang mengangkat dagu Lily, sengaja agar netra mereka mematri lekat. “Kalau mereka sesayang itu, kenapa anda dijual dengan harga tanah di ibu kota?”

Netra coklat Lily melebar, lagi-lagi wanita itu direndahkan. Buku tangannya memutih bersamaan dengan Javies yang melepaskan tangannya dari dagu Lily dan duduk di meja kerja. Sembari mengambil selembaran kertas, ia kemudian menunjukkannya pada Lily.

Tangan wanita itu terulur, sang puan mengambil kertas berisikan kontrak antara keluarganya dengan kerajaan, sembari Javies yang melipatkan tangan di depan dada. “Keluargamu itu yang sedang krisis uang, lantas menjualkan tanahnya pada saya yang rencananya untuk membuat bendungan di ibu kota. Memakan banyak waktu untuk sekadar bernegosiasi dengan keluarga anda itu, sampai mereka menjual anak semata wayangnya pada saya untuk diangkat sebagai ratu dan meminta agar keluarganya itu terbebas dari pajak. Anda pikir, dirimu semahal itu sampai menyebutkan Olivia sebagai wanita rendahan?”

“BRENGSEK!” Ratu Lily meremat tanda tangan kontrak itu, sementara tangan satunya lagi menampar pipi Javies cukup kencang, membuat wajah goresan kuas mahal akan mahakarya Tuhan itu membekaskan sebuah layangan tangan. Raut Javies memerah, tangannya kontan menggenggam bahu Lily kuat, sampai bibir Lily bergetar hebat.

“Memangnya, anda pikir anda siapa sampai menampar seorang raja, hah?” Pembuluh darah di leher Javies menonjol dengan mata biru permatanya yang melotot, sementara napasnya memburu.

Gemetar.

Bahu Lily benar-benar begetar hebat akibat tatapan Javies yang begitu buas seolah ia akan menyantapnya kapan pun itu. Kakinya benar-benar sudah lemas dan seketika ia langsung ambruk begitu Javies melepaskan pegangannya.

“Javies ....” Dengan tenggorokannya yang tercekik, sampai napasnya terasa sesak, Lily memanggilnya dengan suara pelan akibat getar. “Ayo, buat keturunan, lalu lepaskan saya.”

“Hah?”

“Bukankah di kontrak bilang, anda akan menceraikan saya kalau sudah memiliki keturunan?” tanya Lily pelan. “Javies ... saya lelah. Sudahi pernikahan sialan penuh drama ini.”


Hiruk-pikuk, sorakan penuh kebahagiaan serta air mata haru terus membanjiri seisi istana. Siapa yang tidak merasa senang, bila Kerajaan Ordharnatte melahirkan pangeran untuk generasi selanjutnya. Setelah malam mencekam penuh akan argumentasi, Lily pun mengandung kembar putra. Dua bayi laki-laki sehat nan mungil dengan wajah gembal serta mata biru permata khasnya keturunan Raja, orang-orang memasang wajah berseri. Namun, hal tersebut tidak tertekuk pada wajah Lily.

Lily hanya melihat dua bayi kembar tersebut dengan kosong, meski sejatinya ia juga mengeluarkan air mata dan menggaris senyum tipis. Wanita itu sedari tadi mengharapkan ada seseorang yang mengetuk pintunya, berharap jika Javies hadir, tetapi entah ke mana lagi pria itu mengembara sampai Lily letih untuk sebatas menunggu.

“Sebentar lagi ... saya akan menunggu kedatangan dia sampai matahari berada di atas kepala. Kalau dia datang, aku tak akan pergi.”

“Sebentar lagi ... saya berharap Javies datang sebelum matahari tenggelam, maka saya akan memikirkan ulang untuk lepas darimu.”

“Sebentar lagi ... sebentar lagi, Javies. Aku mohon ... aku mohon kau datang ....” Berulang kali, dengan bibir pasi bergetar hebat dan surat yang diremat keras, Lily yang meringkuk dengan perut yang belum sepenuhnya pulih, hanya bisa menangis seperti orang bodoh sekadar menunggu orang yang tamak akan cinta.

Ia terus memberikan kesempatan bagi Javies lewat gumamannya, tetapi hingga Lily bangkit, menyelipkan surat di box bayi, pria itu tidak datang.

Baknya sebuah dandelion yang tertiup oleh hembusan angin, wanita itu pergi tanpa jejak, tanpa satu pun pengawal dan pelayan yang mengabdikan hidup padanya, yang tersisa hanyalah ia yang meninggalkan goresan luka dan pesan yang berbunyi,

Javies, dengan ini saya nyatakan terima kasih. Setidaknya, walaupun anda tidak mencintai saya dan barangkali ingin melenyapkan saya, tetapi saya ingin darah daging saya sendiri diberi nama Noel dan Juan.

Cara membedakannya adalah Juan yang memiliki tahi lalat di dekat mata, sementara Noel tidak. Anda bisa mengangkat Juan sebagai putra mahkota karena dialah yang lahir terlebih dahulu.

Javies, walau saya tidak diberi cinta oleh suami saya sendiri, dan mungkin oleh keluarga saya yang menjual diri saya, setidaknya buat anak ini lahir penuh akan kasih sayang. Mereka itu darah daging kamu. Kita sama-sama tumbuh tidak diberikan oleh cinta, tetapi jangan biarkan mereka tumbuh sebagai Javies atau Lily yang kedua.

Sampaikanlah salam hangat dan permintamaafan saya pada Selir Olivia dan anaknya, Rafaello. Semoga, Rafaello mau bersaudara baik dengan kedua putra saya yang tampan.

Terima kasih, Javies. Saya mencintai anda.

Semoga kemakmuran dan kebahagiaan Ordharnatte menyertaimu dan istana.

Ratu Lily pergi dengan goretan luka menganga lebar. Lewat tangis begitu pilu, menandakan lambang akan cintanya yang tak pernah berbalas.

Hingga kini.

Ordharnatte

Pada generasi ke-34 Kerajaan Modern Ordharnatte yang dipimpin oleh Raja Javies, rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan kebahagiaan. Yang Mulia Javies melepaskan titel ‘Pempimpin Ordharnatte selalu menyeramkan dan begitu bengis’ sementara dirinya justru penuh ramah dan selalu merakyat. Perbandingan itulah membuat Raja Javies selalu dipanjatkan agar hidupnya terus diberkati oleh keagungan matahari.

Namun, pria itu tampaknya haus akan cinta. Meski beliau telah menikah dengan Ratu Lily, Javies tetap saja mengembara untuk mendapatkan banyak cinta pada para wanita. Hidupnya sewaktu kecil telah direngut kehangatannya dari seorang ibu, sedangkan ayahanda hanya memikirkan kerajaan dan rakyat, tanpa memberi berbelas kasih sayang pada anak laki-lakinya yang membutuhkan rengkuhan.

Pernikahan politiknya pada Ratu Lily yang sejak awal tidak didasari oleh cinta itu, membuat Javies terus saja seperti anjing liar yang mengulurkan lidah dengan mata binarnya, mengharapkan siapa saja bisa ia panggilkan tuan agar ia dipelihara.

Sampai akhirnya, ketika rembulan menyorot kemegahan istana dengan angin malam berhembus begitu dingin, langit tampaknya ikut bersuka duka akan kepedihan Ratu Lily yang harus menelan bulat-bulat sebuah fakta bahwa Raja Javies mengangkat wanita rendahan sebagai permaisurinya. Lily harus rela dimadu oleh Olivia yang tidak jelas asal usulnya itu.

Jantung Lily seolah direngut keras, ia yang selalu dihargai oleh keluarganya itu, justru diinjak-injak harga dirinya pada perempuan yang kini mengenakan perhiasan yang tak pernah Javies berikan padanya. Para pelayan yang sebelumnya melayani Lily seorang, harus terbagi atensi pada Olivia yang malah lebih sering diajak pada setiap pertemuan, sementara Lily baknya seorang berlian yang dikurung habis-habisan.

Sampai pada akhirnya, Lily yang tak pernah disentuh oleh Javies, lagi-lagi harus tergores perih ketika orang-orang di istana tengah berkumpul dan bilang, “Nyonya Olivia mengandung!”

Seolah berbagai macam belati menusuk relung terdalamnya, Lily yang kehilangan akal, kontan mendobrak pintu ruang kerja Javies.

“Anda anggap saya itu apa, Yang Mulia?” Luka tentu saja tersirat pada sorotan mata coklatnya yang begitu teduh. Dengan bibirnya yang bergetar hebat, netranya menatap nanar. “Saya bukan berlian yang harus dijaga terus seperti koleksimu akan wanita!”

Rahang Javies mengeras, tangannya yang sedari tadi menggores bulu tinta kini terhenti sembari menatap Lily dikendalikan oleh emosi. Wanita bersurai pirang dengan gaun hijaunya yang gelap, menatap kesal. “Anda harusnya tahu, beribu kali anda membuat garis keturunan pada wanita rendahan seperti dirinya, mereka tidak akan menjadi raja berikutnya! Hanya keturunan raja dan ratulah yang bisa melahirkan putra mahkota! Memangnya, anda pikir kehidupanmu itu akan abadi, hah?”

Javies geram. Laki-laki itu bangkit dan menatap Lily dengan nyalang, sementara wajah perempuan itu tak pernah gentar untuk sekadar berkontak mata dengan netra elang pria di hadapannya ini.

“Kalau anda pikir keluargamu itu adalah orang yang paling menyayangimu, berarti anda itu naif, Ratu Lily.” Javies mengatakannya dengan tangan yang mengangkat dagu Lily, sengaja agar netra mereka mematri lekat. “Kalau mereka sesayang itu, kenapa anda dijual dengan harga tanah tanah di ibu kota?”

Netra coklat Lily melebar, lagi-lagi wanita itu direndahkan. Buku tangannya memutih bersamaan dengan Javies yang melepaskan tangannya dari dagu Lily dan duduk di meja kerja. Sembari mengambil selembaran kertas, ia kemudian menunjukkannya pada Lily.

Tangan wanita itu terulur, sang puan mengambil kertas berisikan kontrak antara keluarganya dengan kerajaan, sembari Javies yang melipatkan tangan di depan dada. “Keluargamu itu yang sedang krisis uang, lantas menjualkan tanahnya pada saya yang rencananya untuk membuat bendungan di ibu kota. Memakan banyak waktu untuk sekadar bernegosiasi dengan keluarga anda itu, sampai mereka menjual anak semata wayangnya pada saya untuk diangkat sebagai ratu dan meminta agar keluarganya itu terbebas dari pajak. Anda pikir, dirimu semahal itu sampai menyebutkan Olivia sebagai wanita rendahan?”

“BRENGSEK!” Ratu Lily meremat tanda tangan kontrak itu, sementara tangan satunya lagi menampar pipi Javies cukup kencang, membuat wajah goresan kuas mahal akan mahakarya Tuhan itu membekaskan sebuah layangan tangan. Raut Javies memerah, tangannya kontan menggenggam bahu Lily kuat, sampai bibir Lily bergetar hebat.

“Memangnya, anda pikir anda siapa sampai menampar seorang raja, hah?” Pembuluh darah di leher Javies menonjol dengan mata biru permatanya yang melotot, sementara napasnya memburu.

Gemetar.

Bahu Lily benar-benar begetar hebat akibat tatapan Javies yang begitu buas seolah ia akan menyantapnya kapan pun itu. Kakinya benar-benar sudah lemas dan seketika ia langsung ambruk begitu Javies melepaskan pegangannya.

“Javies ....” Dengan tenggorokannya yang tercekik, sampai napasnya terasa sesak, Lily memanggilnya dengan suara pelan akibat getar. “Ayo, buat keturunan, lalu lepaskan saya.”

“Hah?”

“Bukankah di kontrak bilang, anda akan menceraikan saya kalau sudah memiliki keturunan?” tanya Lily pelan. “Javies ... saya lelah. Sudahi pernikahan sialan penuh drama ini.”


Hiruk-pikuk, sorakan penuh kebahagiaan serta air mata haru terus membanjiri seisi istana. Siapa yang tidak merasa senang, bila Kerajaan Ordharnatte melahirkan pangeran untuk generasi selanjutnya. Setelah malam mencekam penuh akan argumentasi, Lily pun mengandung kembar putra. Dua bayi laki-laki sehat nan mungil dengan wajah gembal serta mata biru permata khasnya keturunan Raja, orang-orang memasang wajah berseri. Namun, hal tersebut tidak tertekuk pada wajah Lily.

Lily hanya melihat dua bayi kembar tersebut dengan kosong, meski sejatinya ia juga mengeluarkan air mata dan menggaris senyum tipis. Setelah dokter pribadinya keluar, Lily menyelipkan surat di box bayi dan baknya sebuah dandelion yang tertiup oleh hembusan angin, wanita itu pergi tanpa jejak, tanpa satu pun pengawal dan pelayan yang mengabdikan hidup padanya, yang tersisa hanyalah ia yang meninggalkan goresan luka dan pesan yang berbunyi,

Javies, dengan ini saya nyatakan terima kasih. Setidaknya, walaupun anda tidak mencintai saya dan barangkali ingin melenyapkan saya, tetapi saya ingin darah daging saya sendiri diberi nama Noel dan Juan.

Cara membedakannya adalah Juan yang memiliki tahi lalat di dekat mata, sementara Noel tidak. Anda bisa mengangkat Juan sebagai putra mahkota karena dialah yang lahir terlebih dahulu.

Javies, walau saya tidak diberi cinta oleh suami saya sendiri, dan mungkin oleh keluarga saya yang menjual diri saya, setidaknya buat anak ini lahir penuh akan kasih sayang. Mereka itu darah daging kamu. Kita sama-sama tumbuh tidak diberikan oleh cinta, tetapi jangan biarkan mereka tumbuh sebagai Javies atau Lily yang kedua.

Sampaikanlah salam hangat dan permintamaafan saya pada Permaisuri Olivia dan anaknya, Rafaello. Semoga, Rafaello mau bersaudara baik dengan kedua putra saya yang tampan.

Terima kasih, Javies. Saya mencintai anda.

Semoga kemakmuran dan kebahagiaan Ordharnatte menyertaimu dan istana.

Ordharnatte

Pada generasi ke-34 Kerajaan Modern Ordharnatte yang dipimpin oleh Raja Javies, rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan kebahagiaan. Yang Mulia Javies melepaskan titel ‘Pempimpin Ordharnatte selalu menyeramkan dan begitu bengis’ sementara dirinya justru penuh ramah dan selalu merakyat. Perbandingan itulah membuat Raja Javies selalu dipanjatkan agar hidupnya terus diberkati oleh keagungan matahari.

Namun, pria itu tampaknya haus akan cinta. Meski beliau telah menikah dengan Ratu Lily, Javies tetap saja mengembara untuk mendapatkan banyak cinta pada para wanita. Hidupnya sewaktu kecil telah direngut kehangatannya dari seorang ibu, sedangkan ayahanda hanya memikirkan kerajaan dan rakyat, tanpa memberi berbelas kasih sayang pada anak laki-lakinya yang membutuhkan rengkuhan.

Pernikahan politiknya pada Ratu Lily yang sejak awal tidak didasari oleh cinta itu, membuat Javies terus saja seperti anjing liar yang mengulurkan lidah dengan mata binarnya, mengharapkan siapa saja bisa ia panggilkan tuan agar ia dipelihara.

Sampai akhirnya, ketika rembulan menyorot kemegahan istana dengan angin malam berhembus begitu dingin, langit tampaknya ikut bersuka cita akan kepedihan Ratu Lily yang harus menelan bulat-bulat sebuah fakta bahwa Raja Javies mengangkat wanita rendahan sebagai permaisurinya. Lily harus rela dimadu oleh Olivia yang tidak jelas asal usulnya itu.

Jantung Lily seolah direngut keras, ia yang selalu dihargai oleh keluarganya itu, justru tengah diinjak-injak harga dirinya pada perempuan yang kini mengenakan perhiasan yang tak pernah Javies berikan padanya. Para pelayan yang sebelumnya melayani Lily seorang, harus terbagi atensi pada Olivia yang malah lebih sering diajak pada setiap pertemuan, sementara Lily baknya seorang berlian yang dikurung habis-habisan.

Sampai pada akhirnya, Lily yang tak pernah disentuh oleh Javies, lagi-lagi harus tergores perih ketika orang-orang di istana tengah berkumpul dan bilang, “Nyonya Olivia mengandung!”

Seolah berbagai macam belati menusuk relung terdalamnya, Lily yang kehilangan akal, kontan mendobrak pintu ruang kerja Javies.

“Anda anggap saya itu apa, Yang Mulia?” Luka tentu saja tersirat pada sorotan mata coklatnya yang begitu teduh. Dengan bibirnya yang bergetar hebat, netranya menatap nanar. “Saya bukan berlian yang harus dijaga terus seperti koleksimu akan wanita!”

Rahang Javies mengeras, tangannya yang sedari tadi menggores bulu tinta kini terhenti sembari menatap Lily dikendalikan oleh emosi. Wanita bersurai pirang dengan gaun hijaunya yang gelap, menatap kesal. “Anda harusnya tahu, beribu kali anda membuat garis keturunan pada wanita rendahan seperti dirinya, mereka tidak akan menjadi raja berikutnya! Hanya keturunan raja dan ratulah yang bisa melahirkan putra mahkota! Memangnya, anda pikir kehidupanmu itu akan abadi, hah?”

Javies geram. Laki-laki itu bangkit dan menatap Lily dengan nyalang, sementara wajah perempuan itu tak pernah gentar untuk sekadar berkontak mata dengan netra elang pria di hadapannya ini.

“Kalau anda pikir keluargamu itu adalah orang yang paling menyayangimu, berarti anda itu naif, Ratu Lily.” Javies mengatakannya dengan tangan yang mengangkat dagu Lily, sengaja agar netra mereka mematri lekat. “Kalau mereka sesayang itu, kenapa anda dijual dengan harga sebidang tanah di ibu kota?”

Netra coklat Lily melebar, lagi-lagi wanita itu direndahkan. Buku tangannya memutih bersamaan dengan Javies yang melepaskan tangannya dari dagu Lily dan duduk di meja kerjanya sembari mengambil selembaran kemudian menunjukkannya pada Lily.

Tangan wanita itu terulur, ia mengambil kertas berisikan kontrak antara keluarganya dengan kerajaan, sembari Javies yang melipatkan tangan di depan dada. “Keluargamu itu yang sedang krisis uang, lantas menjualkan tanahnya pada saya yang rencananya untuk membuat bendungan di ibu kota. Memakan banyak waktu untuk sekadar bernegosiasi dengan keluarga anda itu, sampai mereka menjual anak semata wayangnya pada saya untuk diangkat sebagai ratu dan meminta agar keluarganya itu terbebas dari pajak. Anda pikir, dirimu semahal itu sampai menyebutkan Olivia sebagai wanita rendahan?”

“BRENGSEK!” Ratu Lily meremat tanda tangan kontrak itu, sementara tangan satunya lagi menampar pipi Javies cukup kencang, membuat wajah goresan kuas mahal akan mahakarya Tuhan itu membekaskan sebuah tangan. Raut Javies memerah, tangannya kontan menggenggam bahu Lily kuat, sampai bibir Lily bergetar hebat.

“Memangnya anda pikir anda siapa sampai menampar seorang raja, hah?” Pembuluh darah di leher Javies menonjol dengan mata biru permatanya yang melotot, sementara napasnya memburu.

Gemetar.

Bahu Lily benar-benar begetar hebat akibat tatapan Javies yang begitu buas seolah ia akan menyantapnya kapan pun itu. Kakinya benar-benar sudah lemas dan seketika ia langsung ambruk begitu Javies melepaskan pegangannya.

“Javies ....” Dengan tenggorokannya yang tercekik, sampai napasnya terasa sesak, Lily memanggilnya dengan suara pelan akibat getar. “Ayo, buat keturunan, lalu lepaskan saya.”

“Hah?”

“Bukankah di kontrak bilang, anda akan menceraikan saya kalau sudah memiliki keturunan?” tanya Lily pelan. “Javies ... saya lelah. Sudahi pernikahan sialan penuh drama ini.”


Hiruk-pikuk, sorakan penuh kebahagiaan serta air mata haru terus membanjiri seisi istana. Siapa yang tidak merasa senang, bila Kerajaan Ordharnatte melahirkan pangeran untuk generasi selanjutnya. Setelah malam mencekam penuh akan argumentasi, Lily pun mengandung kembar putra. Entah bagaimana ceritanya, seolah diberkati oleh keagungan matahari, hari ini, keduanya melahirkan di tanggal yang sama. Tiga bayi laki-laki sehat nan mungil dengan wajah gembal serta mata biru permata khasnya keturunan Raja, orang-orang memasang wajah berseri. Namun, hal tersebut tidak tertekuk pada wajah Lily.

Lily hanya melihat dua bayi kembar tersebut dengan kosong, meski sejatinya ia juga mengeluarkan air mata dan menggaris senyum tipis. Setelah dokter pribadinya keluar, Lily menyelipkan surat di box bayi dan baknya sebuah dandelion yang tertiup oleh hembusan angin, wanita itu pergi tanpa jejak, tanpa satu pun pengawal dan pelayan yang mengabdikan hidup padanya, yang tersisa hanyalah ia yang meninggalkan goresan luka.

Javies, dengan ini saya nyatakan terima kasih. Setidaknya, walaupun anda tidak mencintai saya dan barangkali ingin melenyapkan saya, tetapi saya ingin darah daging saya sendiri diberi nama Noel dan Juan.

Cara membedakannya adalah Juan yang memiliki tahi lalat di mata, sementara Noel tidak. Anda bisa mengangkat Juan sebagai putra mahkota karena dia lah yang lahir terlebih dahulu.

Javies, walau saya tidak diberi cinta oleh suami saya sendiri, dan mungkin oleh keluarga saya yang menjual diri saya, setidaknya buat anak ini lahir penuh akan kasih sayang. Mereka itu darah daging kamu. Kita sama-sama tumbuh tidak diberikan oleh cinta, tetapi jangan biarkan mereka tumbuh sebagai Javies atau Lily yang kedua.

Sampaikanlah salam hangat dan permintamaafan saya pada Permaisuri Olivia dan anaknya, Rafaello. Semoga, Rafaello mau bersaudara baik dengan kedua putra saya yang tampan.

Terima kasih, Javies. Saya mencintai anda.

Semoga kemakmuran dan kebahagiaan Ordharnatte menyertaimu dan istana.

Pada generasi ke-34 Kerajaan Modern Ordharnatte yang dipimpin oleh Raja Javies, rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan kebahagiaan. Yang Mulia Javies melepaskan titel ‘Pempimpin Ordharnatte selalu menyeramkan dan begitu bengis’ sementara dirinya justru penuh ramah dan selalu merakyat. Perbandingan itulah membuat Raja Javies selalu dipanjatkan agar hidupnya terus diberkati oleh keagungan matahari.

Namun, pria itu tampaknya haus akan cinta. Meski beliau telah menikah dengan Ratu Lily, Javies tetap saja mengembara untuk mendapatkan banyak cinta pada para wanita. Hidupnya sewaktu kecil telah direngut kehangatannya dari seorang ibu, sedangkan ayahanda hanya memikirkan kerajaan dan rakyat, tanpa memberi berbelas kasih sayang pada anak laki-lakinya yang membutuhkan rengkuhan.

Pernikahan politiknya pada Ratu Lily yang sejak awal tidak didasari oleh cinta itu, membuat Javies terus saja seperti anjing liar yang mengulurkan lidah dengan mata binarnya, mengharapkan siapa saja bisa ia panggilkan tuan agar ia dipelihara.

Sampai akhirnya, ketika rembulan menyorot kemegahan istana dengan angin malam berhembus begitu dingin, langit tampaknya ikut bersuka cita akan kepedihan Ratu Lily yang harus menelan bulat-bulat sebuah fakta bahwa Raja Javies mengangkat wanita rendahan sebagai permaisurinya. Lily harus rela dimadu oleh Olivia yang tidak jelas asal usulnya itu.

Jantung Lily seolah direngut keras, ia yang selalu dihargai oleh keluarganya itu, justru tengah diinjak-injak harga dirinya pada perempuan yang kini mengenakan perhiasan yang tak pernah Javies berikan padanya. Para pelayan yang sebelumnya melayani Lily seorang, harus terbagi atensi pada Olivia yang malah lebih sering diajak pada setiap pertemuan, sementara Lily baknya seorang berlian yang dikurung habis-habisan.

Sampai pada akhirnya, Lily yang tak pernah disentuh oleh Javies, lagi-lagi harus tergores perih ketika orang-orang di istana tengah berkumpul dan bilang, “Nyonya Olivia mengandung!”

Seolah berbagai macam belati menusuk relung terdalamnya, Lily yang kehilangan akal, kontan mendobrak pintu ruang kerja Javies.

“Anda anggap saya itu apa, Yang Mulia?” Luka tentu saja tersirat pada sorotan mata coklatnya yang begitu teduh. Dengan bibirnya yang bergetar hebat, netranya menatap nanar. “Saya bukan berlian yang harus dijaga terus seperti koleksimu akan wanita!”

Rahang Javies mengeras, tangannya yang sedari tadi menggores bulu tinta kini terhenti sembari menatap Lily dikendalikan oleh emosi. Wanita bersurai pirang dengan gaun hijaunya yang gelap, menatap kesal. “Anda harusnya tahu, beribu kali anda membuat garis keturunan pada wanita rendahan seperti dirinya, mereka tidak akan menjadi raja berikutnya! Hanya keturunan raja dan ratulah yang bisa melahirkan putra mahkota! Memangnya, anda pikir kehidupanmu itu akan abadi, hah?”

Javies geram. Laki-laki itu bangkit dan menatap Lily dengan nyalang, sementara wajah perempuan itu tak pernah gentar untuk sekadar berkontak mata dengan netra elang pria di hadapannya ini.

“Kalau anda pikir keluargamu itu adalah orang yang paling menyayangimu, berarti anda itu naif, Ratu Lily.” Javies mengatakannya dengan tangan yang mengangkat dagu Lily, sengaja agar netra mereka mematri lekat. “Kalau mereka sesayang itu, kenapa anda dijual dengan harga sebidang tanah di ibu kota?”

Netra coklat Lily melebar, lagi-lagi wanita itu direndahkan. Buku tangannya memutih bersamaan dengan Javies yang melepaskan tangannya dari dagu Lily dan duduk di meja kerjanya sembari mengambil selembaran kemudian menunjukkannya pada Lily.

Tangan wanita itu terulur, ia mengambil kertas berisikan kontrak antara keluarganya dengan kerajaan, sembari Javies yang melipatkan tangan di depan dada. “Keluargamu itu yang sedang krisis uang, lantas menjualkan tanahnya pada saya yang rencananya untuk membuat bendungan di ibu kota. Memakan banyak waktu untuk sekadar bernegosiasi dengan keluarga anda itu, sampai mereka menjual anak semata wayangnya pada saya untuk diangkat sebagai ratu dan meminta agar keluarganya itu terbebas dari pajak. Anda pikir, dirimu semahal itu sampai menyebutkan Olivia sebagai wanita rendahan?”

“BRENGSEK!” Ratu Lily meremat tanda tangan kontrak itu, sementara tangan satunya lagi menampar pipi Javies cukup kencang, membuat wajah goresan kuas mahal akan mahakarya Tuhan itu membekaskan sebuah tangan. Raut Javies memerah, tangannya kontan menggenggam bahu Lily kuat, sampai bibir Lily bergetar hebat.

“Memangnya anda pikir anda siapa sampai menampar seorang raja, hah?” Pembuluh darah di leher Javies menonjol dengan mata biru permatanya yang melotot, sementara napasnya memburu.

Gemetar.

Bahu Lily benar-benar begetar hebat akibat tatapan Javies yang begitu buas seolah ia akan menyantapnya kapan pun itu. Kakinya benar-benar sudah lemas dan seketika ia langsung ambruk begitu Javies melepaskan pegangannya.

“Javies ....” Dengan tenggorokannya yang tercekik, sampai napasnya terasa sesak, Lily memanggilnya dengan suara pelan akibat getar. “Ayo, buat keturunan, lalu lepaskan saya.”

“Hah?”

“Bukankah di kontrak bilang, anda akan menceraikan saya kalau sudah memiliki keturunan?” tanya Lily pelan. “Javies ... saya lelah. Sudahi pernikahan sialan penuh drama ini.”


Hiruk-pikuk, sorakan penuh kebahagiaan serta air mata haru terus membanjiri seisi istana. Siapa yang tidak merasa senang, bila Kerajaan Ordharnatte melahirkan pangeran untuk generasi selanjutnya. Setelah malam mencekam penuh akan argumentasi, Lily pun mengandung kembar putra. Entah bagaimana ceritanya, seolah diberkati oleh keagungan matahari, hari ini, keduanya melahirkan di tanggal yang sama. Tiga bayi laki-laki sehat nan mungil dengan wajah gembal serta mata biru permata khasnya keturunan Raja, orang-orang memasang wajah berseri. Namun, hal tersebut tidak tertekuk pada wajah Lily.

Lily hanya melihat dua bayi kembar tersebut dengan kosong, meski sejatinya ia juga mengeluarkan air mata dan menggaris senyum tipis. Setelah dokter pribadinya keluar, Lily menyelipkan surat di box bayi dan baknya sebuah dandelion yang tertiup oleh hembusan angin, wanita itu pergi tanpa jejak, tanpa satu pun pengawal dan pelayan yang mengabdikan hidup padanya, yang tersisa hanyalah ia yang meninggalkan goresan luka.

Javies, dengan ini saya nyatakan terima kasih. Setidaknya, walaupun anda tidak mencintai saya dan barangkali ingin melenyapkan saya, tetapi saya ingin darah daging saya sendiri diberi nama Noel dan Juan.

Cara membedakannya adalah Juan yang memiliki tahi lalat di mata, sementara Noel tidak. Anda bisa mengangkat Juan sebagai putra mahkota karena dia lah yang lahir terlebih dahulu.

Javies, walau saya tidak diberi cinta oleh suami saya sendiri, dan mungkin oleh keluarga saya yang menjual diri saya, setidaknya buat anak ini lahir penuh akan kasih sayang. Mereka itu darah daging kamu. Kita sama-sama tumbuh tidak diberikan oleh cinta, tetapi jangan biarkan mereka tumbuh sebagai Javies atau Lily yang kedua.

Sampaikanlah salam hangat dan permintamaafan saya pada Permaisuri Olivia dan anaknya, Rafaello. Semoga, Rafaello mau bersaudara baik dengan kedua putra saya yang tampan.

Terima kasih, Javies. Saya mencintai anda.

Semoga kemakmuran dan kebahagiaan Ordharnatte menyertaimu dan istana.

Ordharnatte

Ordharnatte

prelude

Pada generasi ke-34 Kerajaan Modern Ordharnatte yang dipimpin oleh Raja Javies, rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan kebahagiaan. Yang Mulia Javies melepaskan titel ‘Pempimpin Ordharnatte selalu menyeramkan dan begitu bengis’ sementara dirinya justru penuh ramah dan selalu merakyat. Perbandingan itulah membuat Raja Javies selalu dipanjatkan agar hidupnya terus diberkati oleh keagungan matahari.

Namun, pria itu tampaknya haus akan cinta. Meski beliau telah menikah dengan Ratu Lily, Javies tetap saja mengembara untuk mendapatkan banyak cinta pada para wanita. Hidupnya sewaktu kecil telah direngut kehangatannya dari seorang ibu, sedangkan ayahanda hanya memikirkan kerajaan dan rakyat, tanpa memberi berbelas kasih sayang pada anak laki-lakinya yang membutuhkan rengkuhan.

Pernikahan politiknya pada Ratu Lily yang sejak awal tidak didasari oleh cinta itu, membuat Javies terus saja seperti anjing liar yang mengulurkan lidah dengan mata binarnya, mengharapkan siapa saja bisa ia panggilkan tuan agar ia dipelihara.

Sampai akhirnya, ketika rembulan menyorot kemegahan istana dengan angin malam berhembus begitu dingin, langit tampaknya ikut bersuka cita akan kepedihan Ratu Lily yang harus menelan bulat-bulat sebuah fakta bahwa Raja Javies mengangkat wanita rendahan sebagai permaisurinya. Lily harus rela dimadu oleh Olivia yang tidak jelas asal usulnya itu.

Jantung Lily seolah direngut keras, ia yang selalu dihargai oleh keluarganya itu, justru tengah diinjak-injak harga dirinya pada perempuan yang kini mengenakan perhiasan yang tak pernah Javies berikan padanya. Para pelayan yang sebelumnya melayani Lily seorang, harus terbagi atensi pada Olivia yang malah lebih sering diajak pada setiap pertemuan, sementara Lily baknya seorang berlian yang dikurung habis-habisan.

Sampai pada akhirnya, Lily yang tak pernah disentuh oleh Javies, lagi-lagi harus tergores perih ketika orang-orang di istana tengah berkumpul dan bilang, “Nyonya Olivia mengandung!”

Seolah berbagai macam belati menusuk relung terdalamnya, Lily yang kehilangan akal, kontan mendobrak pintu ruang kerja Javies.

“Anda anggap saya itu apa, Yang Mulia?” Luka tentu saja tersirat pada sorotan mata coklatnya yang begitu teduh. Dengan bibirnya yang bergetar hebat, netranya menatap nanar. “Saya bukan berlian yang harus dijaga terus seperti koleksimu akan wanita!”

Rahang Javies mengeras, tangannya yang sedari tadi menggores bulu tinta kini terhenti sembari menatap Lily dikendalikan oleh emosi. Wanita bersurai pirang dengan gaun hijaunya yang gelap, menatap kesal. “Anda harusnya tahu, beribu kali anda membuat garis keturunan pada wanita rendahan seperti dirinya, mereka tidak akan menjadi raja berikutnya! Hanya keturunan raja dan ratulah yang bisa melahirkan putra mahkota! Memangnya, anda pikir kehidupanmu itu akan abadi, hah?”

Javies geram. Laki-laki itu bangkit dan menatap Lily dengan nyalang, sementara wajah perempuan itu tak pernah gentar untuk sekadar berkontak mata dengan netra elang pria di hadapannya ini.

“Kalau anda pikir keluargamu itu adalah orang yang paling menyayangimu, berarti anda itu naif, Ratu Lily.” Javies mengatakannya dengan tangan yang mengangkat dagu Lily, sengaja agar netra mereka mematri lekat. “Kalau mereka sesayang itu, kenapa anda dijual dengan harga sebidang tanah di ibu kota?”

Netra coklat Lily melebar, lagi-lagi wanita itu direndahkan. Buku tangannya memutih bersamaan dengan Javies yang melepaskan tangannya dari dagu Lily dan duduk di meja kerjanya sembari mengambil selembaran kemudian menunjukkannya pada Lily.

Tangan wanita itu terulur, ia mengambil kertas berisikan kontrak antara keluarganya dengan kerajaan, sembari Javies yang melipatkan tangan di depan dada. “Keluargamu itu yang sedang krisis uang, lantas menjualkan tanahnya pada saya yang rencananya untuk membuat bendungan di ibu kota. Memakan banyak waktu untuk sekadar bernegosiasi dengan keluarga anda itu, sampai mereka menjual anak semata wayangnya pada saya untuk diangkat sebagai ratu dan meminta agar keluarganya itu terbebas dari pajak. Anda pikir, dirimu semahal itu sampai menyebutkan Olivia sebagai wanita rendahan?”

“BRENGSEK!” Ratu Lily meremat tanda tangan kontrak itu, sementara tangan satunya lagi menampar pipi Javies cukup kencang, membuat wajah goresan kuas mahal akan mahakarya Tuhan itu membekaskan sebuah tangan. Raut Javies memerah, tangannya kontan menggenggam bahu Lily kuat, sampai bibir Lily bergetar hebat.

“Memangnya anda pikir anda siapa sampai menampar seorang raja, hah?” Pembuluh darah di leher Javies menonjol dengan mata biru permatanya yang melotot, sementara napasnya memburu.

Gemetar.

Bahu Lily benar-benar begetar hebat akibat tatapan Javies yang begitu buas seolah ia akan menyantapnya kapan pun itu. Kakinya benar-benar sudah lemas dan seketika ia langsung ambruk begitu Javies melepaskan pegangannya.

“Javies ....” Dengan tenggorokannya yang tercekik, sampai napasnya terasa sesak, Lily memanggilnya dengan suara pelan akibat getar. “Ayo, buat keturunan, lalu lepaskan saya.”

“Hah?”

“Bukankah di kontrak bilang, anda akan menceraikan saya kalau sudah memiliki keturunan?” tanya Lily pelan. “Javies ... saya lelah. Sudahi pernikahan sialan penuh drama ini.”

—-

Hiruk-pikuk, sorakan penuh kebahagiaan serta air mata haru terus membanjiri seisi istana. Siapa yang tidak merasa senang, bila Kerajaan Ordharnatte melahirkan pangeran untuk generasi selanjutnya. Setelah malam mencekam penuh akan argumentasi, Lily pun mengandung kembar putra. Entah bagaimana ceritanya, seolah diberkati oleh keagungan matahari, hari ini, keduanya melahirkan di tanggal yang sama. Tiga bayi laki-laki sehat nan mungil dengan wajah gembal serta mata biru permata khasnya keturunan Raja, orang-orang memasang wajah berseri. Namun, hal tersebut tidak tertekuk pada wajah Lily.

Lily hanya melihat dua bayi kembar tersebut dengan kosong, meski sejatinya ia juga mengeluarkan air mata dan menggaris senyum tipis. Setelah dokter pribadinya keluar, Lily menyelipkan surat di box bayi dan baknya sebuah dandelion yang tertiup oleh hembusan angin, wanita itu pergi tanpa jejak, tanpa satu pun pengawal dan pelayan yang mengabdikan hidup padanya, yang tersisa hanyalah ia yang meninggalkan goresan luka.

Javies, dengan ini saya nyatakan terima kasih. Setidaknya, walaupun anda tidak mencintai saya dan barangkali ingin melenyapkan saya, tetapi saya ingin darah daging saya sendiri diberi nama Noel dan Juan.

Cara membedakannya adalah Juan yang memiliki tahi lalat di mata, sementara Noel tidak. Anda bisa mengangkat Juan sebagai putra mahkota karena dia lah yang lahir terlebih dahulu.

Javies, walau saya tidak diberi cinta oleh suami saya sendiri, dan mungkin oleh keluarga saya yang menjual diri saya, setidaknya buat anak ini lahir penuh akan kasih sayang. Mereka itu darah daging kamu. Kita sama-sama tumbuh tidak diberikan oleh cinta, tetapi jangan biarkan mereka tumbuh sebagai Javies atau Lily yang kedua.

Sampaikanlah salam hangat dan permintamaafan saya pada Permaisuri Olivia dan anaknya, Rafaello. Semoga, Rafaello mau bersaudara baik dengan kedua putra saya yang tampan.

Terima kasih, Javies. Saya mencintai anda.

Semoga kemakmuran dan kebahagiaan Ordharnatte menyertaimu dan istana.

Ordharnatte

prelude

Pada generasi ke-34 Kerajaan Modern Ordharnatte yang dipimpin oleh Raja Javies, rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan kebahagiaan. Yang Mulia Javies melepaskan titel ‘Pempimpin Ordharnatte selalu menyeramkan dan begitu bengis’ sementara dirinya justru penuh ramah dan selalu merakyat. Perbandingan itulah membuat Raja Javies selalu dipanjatkan agar hidupnya terus diberkati oleh keagungan matahari.

Namun, pria itu tampaknya haus akan cinta. Meski beliau telah menikah dengan Ratu Lily, Javies tetap saja mengembara untuk mendapatkan banyak cinta pada para wanita. Hidupnya sewaktu kecil telah direngut kehangatannya dari seorang ibu, sedangkan ayahanda hanya memikirkan kerajaan dan rakyat, tanpa memberi berbelas kasih sayang pada anak laki-lakinya yang membutuhkan rengkuhan.

Pernikahan politiknya pada Ratu Lily yang sejak awal tidak didasari oleh cinta itu, membuat Javies terus saja seperti anjing liar yang mengulurkan lidah dengan mata binarnya, mengharapkan siapa saja bisa ia panggilkan tuan agar ia dipelihara.

Sampai akhirnya, ketika rembulan menyorot kemegahan istana dengan angin malam berhembus begitu dingin, langit tampaknya ikut bersuka cita akan kepedihan Ratu Lily yang harus menelan bulat-bulat sebuah fakta bahwa Raja Javies mengangkat wanita rendahan sebagai permaisurinya. Lily harus rela dimadu oleh Olivia yang tidak jelas asal usulnya itu.

Jantung Lily seolah direngut keras, ia yang selalu dihargai oleh keluarganya itu, justru tengah diinjak-injak harga dirinya pada perempuan yang kini mengenakan perhiasan yang tak pernah Javies berikan padanya. Para pelayan yang sebelumnya melayani Lily seorang, harus terbagi atensi pada Olivia yang malah lebih sering diajak pada setiap pertemuan, sementara Lily baknya seorang berlian yang dikurung habis-habisan.

Sampai pada akhirnya, Lily yang tak pernah disentuh oleh Javies, lagi-lagi harus tergores perih ketika orang-orang di istana tengah berkumpul dan bilang, “Nyonya Olivia mengandung!”

Seolah berbagai macam belati menusuk relung terdalamnya, Lily yang kehilangan akal, kontan mendobrak pintu ruang kerja Javies.

“Anda anggap saya itu apa, Yang Mulia?” Luka tentu saja tersirat pada sorotan mata coklatnya yang begitu teduh. Dengan bibirnya yang bergetar hebat, netranya menatap nanar. “Saya bukan berlian yang harus dijaga terus seperti koleksimu akan wanita!”

Rahang Javies mengeras, tangannya yang sedari tadi menggores bulu tinta kini terhenti sembari menatap Lily dikendalikan oleh emosi. Wanita bersurai pirang dengan gaun hijaunya yang gelap, menatap kesal. “Anda harusnya tahu, beribu kali anda membuat garis keturunan pada wanita rendahan seperti dirinya, mereka tidak akan menjadi raja berikutnya! Hanya keturunan raja dan ratulah yang bisa melahirkan putra mahkota! Memangnya, anda pikir kehidupanmu itu akan abadi, hah?”

Javies geram. Laki-laki itu bangkit dan menatap Lily dengan nyalang, sementara wajah perempuan itu tak pernah gentar untuk sekadar berkontak mata dengan netra elang pria di hadapannya ini.

“Kalau anda pikir keluargamu itu adalah orang yang paling menyayangimu, berarti anda itu naif, Ratu Lily.” Javies mengatakannya dengan tangan yang mengangkat dagu Lily, sengaja agar netra mereka mematri lekat. “Kalau mereka sesayang itu, kenapa anda dijual dengan harga sebidang tanah di ibu kota?”

Netra coklat Lily melebar, lagi-lagi wanita itu direndahkan. Buku tangannya memutih bersamaan dengan Javies yang melepaskan tangannya dari dagu Lily dan duduk di meja kerjanya sembari mengambil selembaran kemudian menunjukkannya pada Lily.

Tangan wanita itu terulur, ia mengambil kertas berisikan kontrak antara keluarganya dengan kerajaan, sembari Javies yang melipatkan tangan di depan dada. “Keluargamu itu yang sedang krisis uang, lantas menjualkan tanahnya pada saya yang rencananya untuk membuat bendungan di ibu kota. Memakan banyak waktu untuk sekadar bernegosiasi dengan keluarga anda itu, sampai mereka menjual anak semata wayangnya pada saya untuk diangkat sebagai ratu dan meminta agar keluarganya itu terbebas dari pajak. Anda pikir, dirimu semahal itu sampai menyebutkan Olivia sebagai wanita rendahan?”

“BRENGSEK!” Ratu Lily meremat tanda tangan kontrak itu, sementara tangan satunya lagi menampar pipi Javies cukup kencang, membuat wajah goresan kuas mahal akan mahakarya Tuhan itu membekaskan sebuah tangan. Raut Javies memerah, tangannya kontan menggenggam bahu Lily kuat, sampai bibir Lily bergetar hebat.

“Memangnya anda pikir anda siapa sampai menampar seorang raja, hah?” Pembuluh darah di leher Javies menonjol dengan mata biru permatanya yang melotot, sementara napasnya memburu.

Gemetar.

Bahu Lily benar-benar begetar hebat akibat tatapan Javies yang begitu buas seolah ia akan menyantapnya kapan pun itu. Kakinya benar-benar sudah lemas dan seketika ia langsung ambruk begitu Javies melepaskan pegangannya.

“Javies ....” Dengan tenggorokannya yang tercekik, sampai napasnya terasa sesak, Lily memanggilnya dengan suara pelan akibat getar. “Ayo, buat keturunan, lalu lepaskan saya.”

“Hah?”

“Bukankah di kontrak bilang, anda akan menceraikan saya kalau sudah memiliki keturunan?” tanya Lily pelan. “Javies ... saya lelah. Sudahi pernikahan sialan penuh drama ini.”

—-

Hiruk-pikuk, sorakan penuh kebahagiaan serta air mata haru terus membanjiri seisi istana. Siapa yang tidak merasa senang, bila Kerajaan Ordharnatte melahirkan pangeran untuk generasi selanjutnya. Setelah malam mencekam penuh akan argumentasi, Lily pun mengandung kembar putra. Entah bagaimana ceritanya, seolah diberkati oleh keagungan matahari, hari ini, keduanya melahirkan di tanggal yang sama. Tiga bayi laki-laki sehat nan mungil dengan wajah gembal serta mata biru permata khasnya keturunan Raja, orang-orang memasang wajah berseri. Namun, hal tersebut tidak tertekuk pada wajah Lily.

Lily hanya melihat dua bayi kembar tersebut dengan kosong, meski sejatinya ia juga mengeluarkan air mata dan menggaris senyum tipis. Setelah dokter pribadinya keluar, Lily menyelipkan surat di box bayi dan baknya sebuah dandelion yang tertiup oleh hembusan angin, wanita itu pergi tanpa jejak, tanpa satu pun pengawal dan pelayan yang mengabdikan hidup padanya, yang tersisa hanyalah ia yang meninggalkan goresan luka.

Javies, dengan ini saya nyatakan terima kasih. Setidaknya, walaupun anda tidak mencintai saya dan barangkali ingin melenyapkan saya, tetapi saya ingin darah daging saya sendiri diberi nama Noel dan Juan.

Cara membedakannya adalah Juan yang memiliki tahi lalat di mata, sementara Noel tidak. Anda bisa mengangkat Juan sebagai putra mahkota karena dia lah yang lahir terlebih dahulu.

Javies, walau saya tidak diberi cinta oleh suami saya sendiri, dan mungkin oleh keluarga saya yang menjual diri saya, setidaknya buat anak ini lahir penuh akan kasih sayang. Mereka itu darah daging kamu. Kita sama-sama tumbuh tidak diberikan oleh cinta, tetapi jangan biarkan mereka tumbuh sebagai Javies atau Lily yang kedua.

Sampaikanlah salam hangat dan permintamaafan saya pada Permaisuri Olivia dan anaknya, Rafaello. Semoga, Rafaello mau bersaudara baik dengan kedua putra saya yang tampan.

Terima kasih, Javies. Saya mencintai anda.

Semoga kemakmuran dan kebahagiaan Ordharnatte menyertaimu dan istana.

Ordharnatte

prelude

Pada generasi ke-34 Kerajaan Modern Ordharnatte yang dipimpin oleh Raja Javies, rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan kebahagiaan. Yang Mulia Javies melepaskan titel ‘Pempimpin Ordharnatte selalu menyeramkan dan begitu bengis’ sementara dirinya justru penuh ramah dan selalu merakyat. Perbandingan itulah membuat Raja Javies selalu dipanjatkan agar hidupnya terus diberkati oleh keagungan matahari.

Namun, pria itu tampaknya haus akan cinta. Meski beliau telah menikah dengan Ratu Lily, Javies tetap saja mengembara untuk mendapatkan banyak cinta pada para wanita. Hidupnya sewaktu kecil telah direngut kehangatannya dari seorang ibu, sedangkan ayahanda hanya memikirkan kerajaan dan rakyat, tanpa memberi berbelas kasih sayang pada anak laki-lakinya yang membutuhkan rengkuhan.

Pernikahan politiknya pada Ratu Lily yang sejak awal tidak didasari oleh cinta itu, membuat Javies terus saja seperti anjing liar yang mengulurkan lidah dengan mata binarnya, mengharapkan siapa saja bisa ia panggilkan tuan agar ia dipelihara.

Sampai akhirnya, ketika rembulan menyorot kemegahan istana dengan angin malam berhembus begitu dingin, langit tampaknya ikut bersuka cita akan kepedihan Ratu Lily yang harus menelan bulat-bulat sebuah fakta bahwa Raja Javies mengangkat wanita rendahan sebagai permaisurinya. Lily harus rela dimadu oleh Olivia yang tidak jelas asal usulnya itu.

Jantung Lily seolah direngut keras, ia yang selalu dihargai oleh keluarganya itu, justru tengah diinjak-injak harga dirinya pada perempuan yang kini mengenakan perhiasan yang tak pernah Javies berikan padanya. Para pelayan yang sebelumnya melayani Lily seorang, harus terbagi atensi pada Olivia yang malah lebih sering diajak pada setiap pertemuan, sementara Lily baknya seorang berlian yang dikurung habis-habisan.

Sampai pada akhirnya, Lily yang tak pernah disentuh oleh Javies, lagi-lagi harus tergores perih ketika orang-orang di istana tengah berkumpul dan bilang, “Nyonya Olivia mengandung!”

Seolah berbagai macam belati menusuk relung terdalamnya, Lily yang kehilangan akal, kontan mendobrak pintu ruang kerja Javies.

“Anda anggap saya itu apa, Yang Mulia?” Luka tentu saja tersirat pada sorotan mata coklatnya yang begitu teduh. Dengan bibirnya yang bergetar hebat, netranya menatap nanar. “Saya bukan berlian yang harus dijaga terus seperti koleksimu akan wanita!”

Rahang Javies mengeras, tangannya yang sedari tadi menggores bulu tinta kini terhenti sembari menatap Lily dikendalikan oleh emosi. Wanita bersurai pirang dengan gaun hijaunya yang gelap, menatap kesal. “Anda harusnya tahu, beribu kali anda membuat garis keturunan pada wanita rendahan seperti dirinya, mereka tidak akan menjadi raja berikutnya! Hanya keturunan raja dan ratulah yang bisa melahirkan putra mahkota! Memangnya, anda pikir kehidupanmu itu akan abadi, hah?”

Javies geram. Laki-laki itu bangkit dan menatap Lily dengan nyalang, sementara wajah perempuan itu tak pernah gentar untuk sekadar berkontak mata dengan netra elang pria di hadapannya ini.

“Kalau anda pikir keluargamu itu adalah orang yang paling menyayangimu, berarti anda itu naif, Ratu Lily.” Javies mengatakannya dengan tangan yang mengangkat dagu Lily, sengaja agar netra mereka mematri lekat. “Kalau mereka sesayang itu, kenapa anda dijual dengan harga sebidang tanah di ibu kota?”

Netra coklat Lily melebar, lagi-lagi wanita itu direndahkan. Buku tangannya memutih bersamaan dengan Javies yang melepaskan tangannya dari dagu Lily dan duduk di meja kerjanya sembari mengambil selembaran kemudian menunjukkannya pada Lily.

Tangan wanita itu terulur, ia mengambil kertas berisikan kontrak antara keluarganya dengan kerajaan, sembari Javies yang melipatkan tangan di depan dada. “Keluargamu itu yang sedang krisis uang, lantas menjualkan tanahnya pada saya yang rencananya untuk membuat bendungan di ibu kota. Memakan banyak waktu untuk sekadar bernegosiasi dengan keluarga anda itu, sampai mereka menjual anak semata wayangnya pada saya untuk diangkat sebagai ratu dan meminta agar keluarganya itu terbebas dari pajak. Anda pikir, dirimu semahal itu sampai menyebutkan Olivia sebagai wanita rendahan?”

“BRENGSEK!” Ratu Lily meremat tanda tangan kontrak itu, sementara tangan satunya lagi menampar pipi Javies cukup kencang, membuat wajah goresan kuas mahal akan mahakarya Tuhan itu membekaskan sebuah tangan. Raut Javies memerah, tangannya kontan menggenggam bahu Lily kuat, sampai bibir Lily bergetar hebat.

“Memangnya anda pikir anda siapa sampai menampar seorang raja, hah?” Pembuluh darah di leher Javies menonjol dengan mata biru permatanya yang melotot, sementara napasnya memburu.

Gemetar.

Bahu Lily benar-benar begetar hebat akibat tatapan Javies yang begitu buas seolah ia akan menyantapnya kapan pun itu. Kakinya benar-benar sudah lemas dan seketika ia langsung ambruk begitu Javies melepaskan pegangannya.

“Javies ....” Dengan tenggorokannya yang tercekik, sampai napasnya terasa sesak, Lily memanggilnya dengan suara pelan akibat getar. “Ayo, buat keturunan, lalu lepaskan saya.”

“Hah?”

“Bukankah di kontrak bilang, anda akan menceraikan saya kalau sudah memiliki keturunan?” tanya Lily pelan. “Javies ... saya lelah. Sudahi pernikahan sialan penuh drama ini.”

—-

Hiruk-pikuk, sorakan penuh kebahagiaan serta air mata haru terus membanjiri seisi istana. Siapa yang tidak merasa senang, bila Kerajaan Ordharnatte melahirkan pangeran untuk generasi selanjutnya. Setelah malam mencekam penuh akan argumentasi, Lily pun mengandung kembar putra. Entah bagaimana ceritanya, seolah diberkati oleh keagungan matahari, hari ini, keduanya melahirkan di tanggal yang sama. Tiga bayi laki-laki sehat nan mungil dengan wajah gembal serta mata biru permata khasnya keturunan Raja, orang-orang memasang wajah berseri. Namun, hal tersebut tidak tertekuk pada wajah Lily.

Lily hanya melihat dua bayi kembar tersebut dengan kosong, meski sejatinya ia juga mengeluarkan air mata dan menggaris senyum tipis. Setelah dokter pribadinya keluar, Lily menyelipkan surat di box bayi dan baknya sebuah dandelion yang tertiup oleh hembusan angin, wanita itu pergi tanpa jejak, tanpa satu pun pengawal dan pelayan yang mengabdikan hidup padanya, yang tersisa hanyalah ia yang meninggalkan goresan luka.

Javies, dengan ini saya nyatakan terima kasih. Setidaknya, walaupun anda tidak mencintai saya dan barangkali ingin melenyapkan saya, tetapi saya ingin darah daging saya sendiri diberi nama Noel dan Juan.

Cara membedakannya adalah Juan yang memiliki tahi lalat di mata, sementara Noel tidak. Anda bisa mengangkat Juan sebagai putra mahkota karena dia lah yang lahir terlebih dahulu.

Javies, walau saya tidak diberi cinta oleh suami saya sendiri, dan mungkin oleh keluarga saya yang menjual diri saya, setidaknya buat anak ini lahir penuh akan kasih sayang. Mereka itu darah daging kamu. Kita sama-sama tumbuh tidak diberikan oleh cinta, tetapi jangan biarkan mereka tumbuh sebagai Javies atau Lily yang kedua.

Sampaikanlah salam hangat dan permintamaafan saya pada Permaisuri Olivia dan anaknya, Rafaello. Semoga, Rafaello mau bersaudara baik dengan kedua putra saya yang tampan.

Terima kasih, Javies. Saya mencintai anda.

Semoga kemakmuran dan kebahagiaan Ordharnatte menyertaimu dan istana.

Degup jarum jam jadi satu-satunya mengiringi suasana mereka sekarang. Meski bisingnya kendaraan di luar sana, tak membuat suasana mereka ikutan ricuh. Baskara tetap pada pendiriannya, yang jelalatan menatap kamar apartement sembari mengetuk meja, sementara Renathan di hadapannya menunduk. Kepalanya menatap sepatu Conversenya dengan perasaan takut kalau suatu ketika dia berkontak mata dengan netra hitam nyalang Baskara yang begitu tajam.

“Bang.” Renathan tahu, kalau dia baru saja mendeklarasikan kematian lantaran Baskara paling membenci satu fakta tentang mereka yang bersaudara, bahkan Renathan berani jamin kalau cowok yang berbeda tiga tahun dengannya ini bisa saja menukar dunia dengan seisinya untuk menyangkal kalau Renathan ini adalah adik tirinya.

Teringat jelas dalam benak, Baskara pernah menyorotnya bengis kala ia bersama mamanya datang dengan koper mereka untuk tinggal di rumah ayah. Renathan yang mengulurkan tangan dan mengharapkan bahwa ia bisa diterima baik, justru harus menelan ludah saat Baskara menepis dan bilang, “Sampah!”

Dan sekarang pun begitu, tatapan Baskara sama bengisnya dengan kejadian dua tahun lalu. Sama menyeramkannya, sama membuat Renathan sulit untuk sebatas melembabkan tenggorokannya.

“Gue bukan abang lo.”

Tuh, ‘kan.

Baskara lagi-lagi mengungkitnya.

“Dari awal, gue nggak pernah berpikiran bahwa lo itu adik gue. Lo itu anak si jalang yang bikin mama gue—“

“MAMA GUE BUKAN JALANG!” Renathan berteriak histeris, menatap kesal Baskara dengan raut wajahnya memerah. “Lo boleh ngatain gue apapun, Bang. Tapi gue nggak bakal biarin lo ngatain mama gue.”

“Oh, ya?” Alis Baskara terangkat, dengan wajah menekuk tertantang dengan ucapan Renathan barusan. “Bukannya gue udah bilang, kalau si jalang itu selingkuhan bokap. Bisa-bisanya setelah mama gue meninggal karena overdosis, mereka malah nikah! Hidup bahagia sementara mama gue yang mati karena dikhianatin!”

Rahang Baskara menegas, berdiri sembari menarik kerah Renathan untuk menatap matanya yang tersirat penuh luka.

“Dan-lo-masih-ngaku-mama-lo-bukan-jalang?” Tiap perkataan Baskara penuh dengan penekanan, sampai buat jantung Renathan mencelos seketika. Ada rasa perih yang mendesis pada tiap kata yang cowok itu sendiri katakan. Sampai Renathan sendiri kelabakan dan memilih membeku bersamaan dengan jantungnya yang seolah diremat kuat.

Baskara mendengkus kencang. Buku-buku tangan cowok itu memutih, emosi seolah mengendalikan. Bisa saja, ia akan melepaskan predikat ‘anak baik-baik’ yang pernah Anggi lontarkan waktu itu, untuk melayangkan satu jontosan tepat di pipi Renathan. Namun, belum sempat melakukannya, deruan napas beratnya keluar dan cowok itu memilih untuk menggantikannya dengan sentilan di dahi Renathan.

Renathan bingung. Tidak mengerti dengan pikiran abangnya, padahal cowok itu sudah siap untuk dibabat habis dengan muka membiru di mana-mana. Akan tetapi, Baskara di hadapannya itu malah mengusap wajahnya frustasi sembari berkacak pinggang.

“Lo dapetin duit buat nyewa apartement ini dari mana?”

Benar-benar, deh. Baskara itu kepribadian ganda, ya? Sampai Renathan tidak mengerti, sebenarnya apa sih, yang Baskara coba sampaikan ke dirinya? Seolah dia marah setengah-setengah, padahal Renathan mengerti seberapa muak Baskara sekadar melihatnya bernapas.

“Dari mana?” ulang Baskara dengan penuh penekanan.

Pada mulanya, Renathan terdiam, mau menutup sebuah rahasia rapat-rapat, meski pada akhirnya cowok itu menunduk ragu. “Gue minjem duit dari temen gue.”

Baskara mendengkus, kemudian beranjak bangun dan menarik lengan cowok itu. “Pulang sekarang, ayah nyariin.”

Mendengar kata ‘pulang’ cowok itu menggeleng cepat, kemudian melepaskan genggaman abangnya kasar. “Nggak. Gue nggak mau pulang.”

“Hidup lo nggak berguna, Nath. Jadi seenggaknya jangan nyusahin gue, pulang!”

“Nggak mau!” Renathan kini menatap cowok lebih tinggi darinya itu dengan kesal. “Lo ngeluarin belati setajam apapun dari ucapan lo, nggak bakal bikin gue mau pulang, Bang. Kecuali kalau lo pulang, baru gue pulang.”

“Renathan!” Lagi-lagi nada bicara Baskara meninggi, menatap kesal dengan cowok di hadapannya ini yang seolah menantangnya. Ia benar-benar tak habis pikir, kenapa anak semenyebalkan dia bisa diterima baik oleh ayah.

“Apa sih, Bang? Kita tuh sama. Jangan seolah lo yang paling tersakiti di sini. Seolah lo yang paling bener, padahal kita sama-sama kabur dari ayah.”

“Nggak. Masalah gue sama lo beda, Nath. Kita beda. Walaupun lo ada masalah sama ayah, seenggaknya ada mama lo di rumah yang nungguin kedatangan lo.” Ucapan Baskara terhenti, tiap perkataannya seolah membalikkan belati yang sempat ditujukan pada Renathan, malah bagaikan boomerang yang menusuk hatinya dengan luka menganga lebar.

“Sementara gue nggak ada mama.”

Omong kosong bila perasaan Baskara tidak sesak, karena sekarang jelas kalau memori yang ia habiskan dengan mama benar-benar buat sorotan tajamnya seketika menjadi teduh dan Renathan menyadari raut perubahan abangnya itu.

Cowok itu jelas tahu kalau Baskara bisa saja nekat sekadar menukar seluruh bintang di seisi alam untuk membangkitkan mamanya di sini. Maka, Renathan memilih terdiam dan membiarkan emosi terluapkan pada diri Baskara, membiarkan cowok itu yang menyeka air matanya kasar dan menghela napas berat akibat napasnya yang seolah dicekik kuat.

“Bang.” Lamat dikendalikan oleh udara yang menebal, Baskara menoleh pada Renathan yang menarik kemeja cowok itu, membuat Baskara menoleh dengan matanya yang memerah.

Namun, satu yang Baskara yakinkan, bahwa dari dulu cowok itu tidak pernah membenci Renathan sedikit pun, ia hanya sebatas tidak menyukai presensinya yang tiba-tiba hadir, bukan sampai di mana Baskara ingin melenyapkannya. Lantaran, cowok itu merasa bila Renathan seperti pantulan sempurna dari dirinya yang versi remaja. Yang penuh akan kebingungan dan harus dewasa sebelum waktunya.

Dan sekarang pun demikian, lagi-lagi Baskara melihat sosok dirinya pada Renathan saat cowok itu menatapnya kemudian bilang, “Ayah selingkuh.”

“Ini pesanannya.”

Barangkali, ini sudah berpuluhan kali Anggi mengucapkannya. Baru sehari, tapi gadis itu sudah merasa nyaman bekerja di sini. Coffee Shop yang berjarak tidak jauh dari apartemennya itu diapit oleh dua gedung pencakar langit, membuatnya selalu ramai di jam-jam tertentu. Seperti di pagi hari, siang, dan sore. Anggi yang mendapatkan shift dari pagi hingga menjelang sore itu sedikit kewalahan, walau ia menikmatinya.

Tatanan kafenya cukup memanjakan mata. Didominasi dengan warna coklat dan putih, seolah menjunjung tinggi nilai estetika yang tidak jarang Anggi temukan banyak anak muda sekadar mampir untuk membeli berbagai macam latte dan menghabiskan berjam-jam untuk duduk di sudut jendela.

Anggi cukup nyaman untuk mengerahkan sebagian waktunya untuk bekerja di sini, meski ada beberapa kendala sebelum Anggi diterima. Ia sedikit waswas kalau saja data kependudukannya tidak valid karena dirinya di tahun ini, sedang berada di Madrid.

Ada suatu rahasia mengerikan yang tidak bisa ia beberkan alasan dia di Madrid selain Arya dan ayahnya. Bahkan, kalau Baskara menanyakan apa yang Anggi lakukan di Madrid, ia akan menjawab, “Hidup kayak biasa sih, Bas. Nggak ada bedanya sama lo, kok.”

Berakhiran dengan Baskara yang tidak menyahut apa-apa karena menduga memang tidak begitu penting selain berpikiran kalau Anggi sedang berkuliah juga di sana.

Cewek itu kini melirik jam tangannya, masih pukul tiga sore. Baskara bilang kalau cowok itu akan tiba sekitar pukul empat, tidak lama dari dirinya berganti shift

“Kak, lo udah boleh ganti baju,” kata salah satu karyawan yang lebih muda setahun darinya, bertepatan dengan lonceng berbunyi tepat di atas pintu, menandakan seseorang baru saja mampir.

“Oke, abis gue layanin ini, ya,” ungkap Anggi yang dibalas dengan jempol. Anggi sedikit mengangkat alis ketika melihat cowok dengan rambut hitamnya tengah menyampirkan tabung gambar di bahunya. Setelah diamati, ternyata laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu itu tetangganya, Renathan, yang menghampirinya saat survey tempat tinggal.

“Lho, Kak? Lo kerja di sini?” tanya Renathan sedikit terkejut melihat Anggi dengan apron coklat tuanya. Anggi terkekeh.

“Mau pesen apa?” tanya Anggi.

Caramel latte-nya deh satu, sama toast beef mayo aja,” kata Renathan menyebutkan menu yang diinginkan sembari memberikan beberapa lembar uang. Tangan Anggi bergerak untuk melakukan transaksi, sembari mencuri waktu untuk berbicara dengan Renathan.

“Lo suka ngelukis, Nath?” tanya Anggi sembari menunjuk tabung gambar dengan dagunya.

“Iya, buat healing aja sih, sebenarnya,” ungkap Renathan sembari menerima kembalian. “Lo juga suka, Kak?”

“Suka!” ucap Anggi antusias. “Gue mau lihat karya lo dong. Boleh?”

“Boleh,” jawab Renathan sembari mengangguk. “Shift lo kapan kelar?”

“Nih, habis ngelayanin lo.”

“Oke, deh. Gue tungguin di sono, ya,” tunjuk Renathan di kursi bersofa yang dibalas dengan anggukan. Secepat kilat Anggi menyeduhkan kopi dengan coffee machine dan membuat toast untuk Renathan, berharap cowok itu tidak menunggunya lama. Setelah ia mengantarkannya, buru-buru Anggi berganti baju, mengenakan kemeja casual berwarna biru langit dan celana levis hitamnya.

Dihampirinya dan berbasa-basi sedikit, Nathan langsung membuka tabung gambar dan mengeluarkan lukisannya dari sana, menghasilkan wajah Anggi yang tertekut kaget, menatap berbagai lukisan Renathan yang benar-benar indah. Seolah ada banyak kisah yang coba Nathan tuang pada campuran warnanya, membuat warna menenangkan yang memuaskan estetika matanya.

“Bagus banget, Nath! Padahal lo masih SMA! Ih, kok berbakat banget, sih.” Mata berbinarnya seolah tidak bisa dilunturkan, kentara sekali betapa riang dan antusiasnya Anggi ketika menemukan seseorang yang memiliki hobi sama dengannya itu, sementara yang dipuji menggaruk telinganya yang tak gatal itu.

Baru saja Anggi ingin melihat lembaran kertas lain, tiba-tiba saja terdengar langkahan kaki yang berjalan begitu tergesa. Kepala Anggi mendongak, melihat seseorang yang amat dikenali tengah menarik lengan Renathan sedikit kasar itu.

“Bas—“

Benar, cowok yang menarik lengan Renathan itu Baskara. Tatapan cowok itu tajam, benar-benar dingin seperti dirinya yang pernah disorot demikian sewaktu pertama kali bertemu dengan Baskara.

“Lo dicariin ke mana-mana juga!”

Renathan tergagap. “B-bang.”

“Pulang! Ayah nyariin!”