
Pada generasi ke-34 Kerajaan Modern Ordharnatte yang dipimpin oleh Raja Javies, rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan kebahagiaan. Yang Mulia Javies melepaskan titel ‘Pempimpin Ordharnatte selalu menyeramkan dan begitu bengis’ sementara dirinya justru penuh ramah dan selalu merakyat. Perbandingan itulah membuat Raja Javies selalu dipanjatkan agar hidupnya terus diberkati oleh keagungan matahari.
Namun, pria itu tampaknya haus akan cinta. Meski beliau telah menikah dengan Ratu Lily, Javies tetap saja mengembara untuk mendapatkan banyak cinta pada para wanita. Hidupnya sewaktu kecil telah direngut kehangatannya dari seorang ibu, sedangkan ayahanda hanya memikirkan kerajaan dan rakyat, tanpa memberi berbelas kasih sayang pada anak laki-lakinya yang membutuhkan rengkuhan.
Pernikahan politiknya pada Ratu Lily yang sejak awal tidak didasari oleh cinta itu, membuat Javies terus saja seperti anjing liar yang mengulurkan lidah dengan mata binarnya, mengharapkan siapa saja bisa ia panggilkan tuan agar ia dipelihara.
Sampai akhirnya, ketika rembulan menyorot kemegahan istana dengan angin malam berhembus begitu dingin, langit tampaknya ikut bersuka duka akan kepedihan Ratu Lily yang harus menelan bulat-bulat sebuah fakta bahwa Raja Javies mengangkat wanita rendahan sebagai selirnya. Lily harus rela dimadu oleh Olivia yang tidak jelas asal usulnya itu.
Jantung Lily seolah direngut keras, ia yang selalu dihargai oleh keluarganya itu, justru diinjak-injak harga dirinya pada perempuan yang kini mengenakan perhiasan yang tak pernah Javies berikan padanya. Para pelayan yang sebelumnya melayani Lily seorang, harus terbagi atensi pada Olivia yang malah lebih sering diajak pada setiap pertemuan, sementara Lily baknya seorang berlian yang dikurung habis-habisan.
Sampai pada akhirnya, Lily yang tak pernah disentuh oleh Javies, lagi-lagi harus tergores perih ketika orang-orang di istana tengah berkumpul dan bilang, “Nyonya Olivia mengandung!”
Seolah berbagai macam belati menusuk relung terdalamnya, Lily yang kehilangan akal, kontan mendobrak pintu ruang kerja Javies.
“Anda anggap saya itu apa, Yang Mulia?” Luka tentu saja tersirat pada sorotan mata coklatnya yang begitu teduh. Dengan bibirnya yang bergetar hebat, netranya menatap nanar. “Saya bukan berlian yang harus dijaga terus seperti koleksimu akan wanita!”
Rahang Javies mengeras, tangannya yang sedari tadi menggores bulu tinta kini terhenti sembari menatap Lily dikendalikan oleh emosi. Wanita bersurai pirang dengan gaun hijaunya yang gelap, menatap kesal. “Anda harusnya tahu, beribu kali anda membuat garis keturunan pada wanita rendahan seperti dirinya, mereka tidak akan menjadi raja berikutnya! Hanya keturunan raja dan ratulah yang bisa melahirkan putra mahkota! Memangnya, anda pikir kehidupanmu itu akan abadi, hah?”
Javies geram. Laki-laki itu bangkit dan menatap Lily dengan nyalang, sementara wajah perempuan itu tak pernah gentar untuk sekadar berkontak mata dengan netra elang pria di hadapannya ini.
“Kalau anda pikir keluargamu itu adalah orang yang paling menyayangimu, berarti anda itu naif, Ratu Lily.” Javies mengatakannya dengan tangan yang mengangkat dagu Lily, sengaja agar netra mereka mematri lekat. “Kalau mereka sesayang itu, kenapa anda dijual dengan harga tanah di ibu kota?”
Netra coklat Lily melebar, lagi-lagi wanita itu direndahkan. Buku tangannya memutih bersamaan dengan Javies yang melepaskan tangannya dari dagu Lily dan duduk di meja kerja. Sembari mengambil selembaran kertas, ia kemudian menunjukkannya pada Lily.
Tangan wanita itu terulur, sang puan mengambil kertas berisikan kontrak antara keluarganya dengan kerajaan, sembari Javies yang melipatkan tangan di depan dada. “Keluargamu itu yang sedang krisis uang, lantas menjualkan tanahnya pada saya yang rencananya untuk membuat bendungan di ibu kota. Memakan banyak waktu untuk sekadar bernegosiasi dengan keluarga anda itu, sampai mereka menjual anak semata wayangnya pada saya untuk diangkat sebagai ratu dan meminta agar keluarganya itu terbebas dari pajak. Anda pikir, dirimu semahal itu sampai menyebutkan Olivia sebagai wanita rendahan?”
“BRENGSEK!” Ratu Lily meremat tanda tangan kontrak itu, sementara tangan satunya lagi menampar pipi Javies cukup kencang, membuat wajah goresan kuas mahal akan mahakarya Tuhan itu membekaskan sebuah layangan tangan. Raut Javies memerah, tangannya kontan menggenggam bahu Lily kuat, sampai bibir Lily bergetar hebat.
“Memangnya, anda pikir anda siapa sampai menampar seorang raja, hah?” Pembuluh darah di leher Javies menonjol dengan mata biru permatanya yang melotot, sementara napasnya memburu.
Gemetar.
Bahu Lily benar-benar begetar hebat akibat tatapan Javies yang begitu buas seolah ia akan menyantapnya kapan pun itu. Kakinya benar-benar sudah lemas dan seketika ia langsung ambruk begitu Javies melepaskan pegangannya.
“Javies ....” Dengan tenggorokannya yang tercekik, sampai napasnya terasa sesak, Lily memanggilnya dengan suara pelan akibat getar. “Ayo, buat keturunan, lalu lepaskan saya.”
“Hah?”
“Bukankah di kontrak bilang, anda akan menceraikan saya kalau sudah memiliki keturunan?” tanya Lily pelan. “Javies ... saya lelah. Sudahi pernikahan sialan penuh drama ini.”
Hiruk-pikuk, sorakan penuh kebahagiaan serta air mata haru terus membanjiri seisi istana. Siapa yang tidak merasa senang, bila Kerajaan Ordharnatte melahirkan pangeran untuk generasi selanjutnya. Setelah malam mencekam penuh akan argumentasi, Lily pun mengandung kembar putra. Dua bayi laki-laki sehat nan mungil dengan wajah gembal serta mata biru permata khasnya keturunan Raja, orang-orang memasang wajah berseri. Namun, hal tersebut tidak tertekuk pada wajah Lily.
Lily hanya melihat dua bayi kembar tersebut dengan kosong, meski sejatinya ia juga mengeluarkan air mata dan menggaris senyum tipis. Wanita itu sedari tadi mengharapkan ada seseorang yang mengetuk pintunya, berharap jika Javies hadir, tetapi entah ke mana lagi pria itu mengembara sampai Lily letih untuk sebatas menunggu.
“Sebentar lagi ... saya akan menunggu kedatangan dia sampai matahari berada di atas kepala. Kalau dia datang, aku tak akan pergi.”
“Sebentar lagi ... saya berharap Javies datang sebelum matahari tenggelam, maka saya akan memikirkan ulang untuk lepas darimu.”
“Sebentar lagi ... sebentar lagi, Javies. Aku mohon ... aku mohon kau datang ....” Berulang kali, dengan bibir pasi bergetar hebat dan surat yang diremat keras, Lily yang meringkuk dengan perut yang belum sepenuhnya pulih, hanya bisa menangis seperti orang bodoh sekadar menunggu orang yang tamak akan cinta.
Ia terus memberikan kesempatan bagi Javies lewat gumamannya, tetapi hingga Lily bangkit, menyelipkan surat di box bayi, pria itu tidak datang.
Baknya sebuah dandelion yang tertiup oleh hembusan angin, wanita itu pergi tanpa jejak, tanpa satu pun pengawal dan pelayan yang mengabdikan hidup padanya, yang tersisa hanyalah ia yang meninggalkan goresan luka dan pesan yang berbunyi,
Javies, dengan ini saya nyatakan terima kasih. Setidaknya, walaupun anda tidak mencintai saya dan barangkali ingin melenyapkan saya, tetapi saya ingin darah daging saya sendiri diberi nama Noel dan Juan.
Cara membedakannya adalah Juan yang memiliki tahi lalat di dekat mata, sementara Noel tidak. Anda bisa mengangkat Juan sebagai putra mahkota karena dialah yang lahir terlebih dahulu.
Javies, walau saya tidak diberi cinta oleh suami saya sendiri, dan mungkin oleh keluarga saya yang menjual diri saya, setidaknya buat anak ini lahir penuh akan kasih sayang. Mereka itu darah daging kamu. Kita sama-sama tumbuh tidak diberikan oleh cinta, tetapi jangan biarkan mereka tumbuh sebagai Javies atau Lily yang kedua.
Sampaikanlah salam hangat dan permintamaafan saya pada Selir Olivia dan anaknya, Rafaello. Semoga, Rafaello mau bersaudara baik dengan kedua putra saya yang tampan.
Terima kasih, Javies. Saya mencintai anda.
Semoga kemakmuran dan kebahagiaan Ordharnatte menyertaimu dan istana.
Ratu Lily pergi dengan goretan luka menganga lebar. Lewat tangis begitu pilu, menandakan lambang akan cintanya yang tak pernah berbalas.
Hingga kini.