“Ini pesanannya.”
Barangkali, ini sudah berpuluhan kali Anggi mengucapkannya. Baru sehari, tapi gadis itu sudah merasa nyaman bekerja di sini. Coffee Shop yang berjarak tidak jauh dari apartemennya itu diapit oleh dua gedung pencakar langit, membuatnya selalu ramai di jam-jam tertentu. Seperti di pagi hari, siang, dan sore. Anggi yang mendapatkan shift dari pagi hingga menjelang sore itu sedikit kewalahan, walau ia menikmatinya.
Tatanan kafenya cukup memanjakan mata. Didominasi dengan warna coklat dan putih, seolah menjunjung tinggi nilai estetika yang tidak jarang Anggi temukan banyak anak muda sekadar mampir untuk membeli berbagai macam latte dan menghabiskan berjam-jam untuk duduk di sudut jendela.
Anggi cukup nyaman untuk mengerahkan sebagian waktunya untuk bekerja di sini, meski ada beberapa kendala sebelum Anggi diterima. Ia sedikit waswas kalau saja data kependudukannya tidak valid karena dirinya di tahun ini, sedang berada di Madrid.
Ada suatu rahasia mengerikan yang tidak bisa ia beberkan alasan dia di Madrid selain Arya dan ayahnya. Bahkan, kalau Baskara menanyakan apa yang Anggi lakukan di Madrid, ia akan menjawab, “Hidup kayak biasa sih, Bas. Nggak ada bedanya sama lo, kok.”
Berakhiran dengan Baskara yang tidak menyahut apa-apa karena menduga memang tidak begitu penting selain berpikiran kalau Anggi sedang berkuliah juga di sana.
Cewek itu kini melirik jam tangannya, masih pukul tiga sore. Baskara bilang kalau cowok itu akan tiba sekitar pukul empat, tidak lama dari dirinya berganti shift
“Kak, lo udah boleh ganti baju,” kata salah satu karyawan yang lebih muda setahun darinya, bertepatan dengan lonceng berbunyi tepat di atas pintu, menandakan seseorang baru saja mampir.
“Oke, abis gue layanin ini, ya,” ungkap Anggi yang dibalas dengan jempol. Anggi sedikit mengangkat alis ketika melihat cowok dengan rambut hitamnya tengah menyampirkan tabung gambar di bahunya. Setelah diamati, ternyata laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu itu tetangganya, Renathan, yang menghampirinya saat survey tempat tinggal.
“Lho, Kak? Lo kerja di sini?” tanya Renathan sedikit terkejut melihat Anggi dengan apron coklat tuanya. Anggi terkekeh.
“Mau pesen apa?” tanya Anggi.
“Caramel latte-nya deh satu, sama toast beef mayo aja,” kata Renathan menyebutkan menu yang diinginkan sembari memberikan beberapa lembar uang. Tangan Anggi bergerak untuk melakukan transaksi, sembari mencuri waktu untuk berbicara dengan Renathan.
“Lo suka ngelukis, Nath?” tanya Anggi sembari menunjuk tabung gambar dengan dagunya.
“Iya, buat healing aja sih, sebenarnya,” ungkap Renathan sembari menerima kembalian. “Lo juga suka, Kak?”
“Suka!” ucap Anggi antusias. “Gue mau lihat karya lo dong. Boleh?”
“Boleh,” jawab Renathan sembari mengangguk. “Shift lo kapan kelar?”
“Nih, habis ngelayanin lo.”
“Oke, deh. Gue tungguin di sono, ya,” tunjuk Renathan di kursi bersofa yang dibalas dengan anggukan. Secepat kilat Anggi menyeduhkan kopi dengan coffee machine dan membuat toast untuk Renathan, berharap cowok itu tidak menunggunya lama. Setelah ia mengantarkannya, buru-buru Anggi berganti baju, mengenakan kemeja casual berwarna biru langit dan celana levis hitamnya.
Dihampirinya dan berbasa-basi sedikit, Nathan langsung membuka tabung gambar dan mengeluarkan lukisannya dari sana, menghasilkan wajah Anggi yang tertekut kaget, menatap berbagai lukisan Renathan yang benar-benar indah. Seolah ada banyak kisah yang coba Nathan tuang pada campuran warnanya, membuat warna menenangkan yang memuaskan estetika matanya.
“Bagus banget, Nath! Padahal lo masih SMA! Ih, kok berbakat banget, sih.” Mata berbinarnya seolah tidak bisa dilunturkan, kentara sekali betapa riang dan antusiasnya Anggi ketika menemukan seseorang yang memiliki hobi sama dengannya itu, sementara yang dipuji menggaruk telinganya yang tak gatal itu.
Baru saja Anggi ingin melihat lembaran kertas lain, tiba-tiba saja terdengar langkahan kaki yang berjalan begitu tergesa. Kepala Anggi mendongak, melihat seseorang yang amat dikenali tengah menarik lengan Renathan sedikit kasar itu.
“Bas—“
Benar, cowok yang menarik lengan Renathan itu Baskara. Tatapan cowok itu tajam, benar-benar dingin seperti dirinya yang pernah disorot demikian sewaktu pertama kali bertemu dengan Baskara.
“Lo dicariin ke mana-mana juga!”
Renathan tergagap. “B-bang.”
“Pulang! Ayah nyariin!”