Write.as

Springbloomz_

“Ini pesanannya.”

Barangkali, ini sudah berpuluhan kali Anggi mengucapkannya. Baru sehari, tapi gadis itu sudah merasa nyaman bekerja di sini. Coffee Shop yang berjarak tidak jauh dari apartemennya itu diapit oleh dua gedung pencakar langit, membuatnya selalu ramai di jam-jam tertentu. Seperti di pagi hari, siang, dan sore. Anggi yang mendapatkan shift dari pagi hingga menjelang sore itu sedikit kewalahan, walau ia menikmatinya.

Tatanan kafenya cukup memanjakan mata. Didominasi dengan warna coklat dan putih, seolah menjunjung tinggi nilai estetika yang tidak jarang Anggi temukan banyak anak muda sekadar mampir untuk membeli berbagai macam latte dan menghabiskan berjam-jam untuk duduk di sudut jendela.

Anggi cukup nyaman untuk mengerahkan sebagian waktunya untuk bekerja di sini, meski ada beberapa kendala sebelum Anggi diterima. Ia sedikit waswas kalau saja data kependudukannya tidak valid karena dirinya di tahun ini, sedang berada di Madrid.

Ada suatu rahasia mengerikan yang tidak bisa ia beberkan alasan dia di Madrid selain Arya dan ayahnya. Bahkan, kalau Baskara menanyakan apa yang Anggi lakukan di Madrid, ia akan menjawab, “Hidup kayak biasa sih, Bas. Nggak ada bedanya sama lo, kok.”

Berakhiran dengan Baskara yang tidak menyahut apa-apa karena menduga memang tidak begitu penting selain berpikiran kalau Anggi sedang berkuliah juga di sana.

Cewek itu kini melirik jam tangannya, masih pukul tiga sore. Baskara bilang kalau cowok itu akan tiba sekitar pukul empat, tidak lama dari dirinya berganti shift

“Kak, lo udah boleh ganti baju,” kata salah satu karyawan yang lebih muda setahun darinya, bertepatan dengan lonceng berbunyi tepat di atas pintu, menandakan seseorang baru saja mampir.

“Oke, abis gue layanin ini, ya,” ungkap Anggi yang dibalas dengan jempol. Anggi sedikit mengangkat alis ketika melihat cowok dengan rambut hitamnya tengah menyampirkan tabung gambar di bahunya. Setelah diamati, ternyata laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu itu tetangganya, Renathan, yang menghampirinya saat survey tempat tinggal.

“Lho, Kak? Lo kerja di sini?” tanya Renathan sedikit terkejut melihat Anggi dengan apron coklat tuanya. Anggi terkekeh.

“Mau pesen apa?” tanya Anggi.

Caramel latte-nya deh satu, sama toast beef mayo aja,” kata Renathan menyebutkan menu yang diinginkan sembari memberikan beberapa lembar uang. Tangan Anggi bergerak untuk melakukan transaksi, sembari mencuri waktu untuk berbicara dengan Renathan.

“Lo suka ngelukis, Nath?” tanya Anggi sembari menunjuk tabung gambar dengan dagunya.

“Iya, buat healing aja sih, sebenarnya,” ungkap Renathan sembari menerima kembalian. “Lo juga suka, Kak?”

“Suka!” ucap Anggi antusias. “Gue mau lihat karya lo dong. Boleh?”

“Boleh,” jawab Renathan sembari mengangguk. “Shift lo kapan kelar?”

“Nih, habis ngelayanin lo.”

“Oke, deh. Gue tungguin di sono, ya,” tunjuk Renathan di kursi bersofa yang dibalas dengan anggukan. Secepat kilat Anggi menyeduhkan kopi dengan coffee machine dan membuat toast untuk Renathan, berharap cowok itu tidak menunggunya lama. Setelah ia mengantarkannya, buru-buru Anggi berganti baju, mengenakan kemeja casual berwarna biru langit dan celana levis hitamnya.

Dihampirinya dan berbasa-basi sedikit, Nathan langsung membuka tabung gambar dan mengeluarkan lukisannya dari sana, menghasilkan wajah Anggi yang tertekut kaget, menatap berbagai lukisan Renathan yang benar-benar indah. Seolah ada banyak kisah yang coba Nathan tuang pada campuran warnanya, membuat warna menenangkan yang memuaskan estetika matanya.

“Bagus banget, Nath! Padahal lo masih SMA! Ih, kok berbakat banget, sih.” Mata berbinarnya seolah tidak bisa dilunturkan, kentara sekali betapa riang dan antusiasnya Anggi ketika menemukan seseorang yang memiliki hobi sama dengannya itu, sementara yang dipuji menggaruk telinganya yang tak gatal itu.

Baru saja Anggi ingin melihat lembaran kertas lain, tiba-tiba saja terdengar langkahan kaki yang berjalan begitu tergesa. Kepala Anggi mendongak, melihat seseorang yang amat dikenali tengah menarik lengan Renathan sedikit kasar itu.

“Bas—“

Benar, cowok yang menarik lengan Renathan itu Baskara. Tatapan cowok itu tajam, benar-benar dingin seperti dirinya yang pernah disorot demikian sewaktu pertama kali bertemu dengan Baskara.

“Lo dicariin ke mana-mana juga!”

Renathan tergagap. “B-bang.”

“Pulang! Ayah nyariin!”

“Ini pesanannya.”

Barangkali, ini sudah berpuluhan kali Anggi mengucapkannya. Baru sehari, tapi gadis itu sudah merasa nyaman bekerja di sini. Coffee Shop yang berjarak tidak jauh dari apartemennya itu diapit oleh dua gedung pencakar langit, membuatnya selalu ramai di jam-jam tertentu. Seperti di pagi hari, siang, dan sore. Anggi yang mendapatkan shift dari pagi hingga menjelang sore itu sedikit kewalahan, walau ia menikmatinya.

Tatanan kafenya cukup memanjakan mata. Didominasi dengan warna coklat dan putih, seolah menjunjung tinggi nilai estetika yang tidak jarang Anggi temukan banyak anak muda sekadar mampir untuk membeli berbagai macam latte dan menghabiskan berjam-jam untuk duduk di sudut jendela.

Anggi cukup nyaman untuk mengerahkan sebagian waktunya untuk bekerja di sini, meski ada beberapa kendala sebelum Anggi diterima. Ia sedikit waswas kalau saja data kependudukannya tidak valid karena dirinya di tahun ini, sedang berada di Madrid.

Sebuah rahasia mengerikan yang tidak bisa ia beberkan selain Arya dan ayahnya. Bahkan, kalau Baskara menanyakan apa yang Anggi lakukan di Madrid, ia akan menjawab, “Hidup kayak biasa sih, Bas. Nggak ada bedanya sama lo, kok.”

Berakhiran dengan Baskara yang tidak menyahut apa-apa karena menduga memang tidak begitu penting selain berpikiran kalau Anggi sedang berkuliah juga di sana.

Cewek itu kini melirik jam tangannya, masih pukul tiga sore. Baskara bilang kalau cowok itu akan tiba sekitar pukul empat, tidak lama dari dirinya berganti shift

“Kak, lo udah boleh ganti baju,” kata salah satu karyawan yang lebih muda setahun darinya, bertepatan dengan lonceng berbunyi tepat di atas pintu, menandakan seseorang saja mampir.

“Oke, abis gue layanin ini, ya,” ungkap Anggi yang dibalas dengan jempol. Anggi sedikit mengangkat alis ketika melihat cowok dengan rambut hitamnya tengah menyampirkan tabung gambar di bahunya. Setelah diamati, ternyata laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu itu tetangganya, Renathan, yang menghampirinya saat survey tempat tinggal.

“Lho, Kak? Lo kerja di sini?” tanya Renathan sedikit terkejut melihat Anggi dengan apron coklat tuanya. Anggi terkekeh.

“Mau pesen apa?” tanya Anggi.

Caramel latte-nya deh satu, sama toast beef mayo aja,” kata Renathan menyebutkan menu yang diinginkan sembari memberikan beberapa lembar uang. Tangan Anggi bergerak untuk melakukan transaksi, sembari mencuri waktu untuk berbicara dengan Renathan.

“Lo suka ngelukis, Nath?” tanya Anggi sembari menunjuk tabung gambar dengan dagunya.

“Iya, buat healing aja sih, sebenarnya,” ungkap Renathan sembari menerima kembalian. “Lo juga suka, Kak?”

“Suka!” ucap Anggi antusias. “Gue mau lihat karya lo dong. Boleh?”

“Boleh,” jawab Renathan sembari mengangguk. “Shift lo kapan kelar?”

“Nih, habis ngelayanin lo.”

“Oke, deh. Gue tungguin di sono, ya,” tunjuk Renathan di meja bersofa yang dibalas dengan anggukan. Secepat kilat Anggi menyeduhkan kopi dengan coffee machine dan membuat toast untuk Renathan, berharap ia tidak menunggu cowok itu lebih lama. Setelah ia mengantarkannya, buru-buru Anggi berganti baju, mengenakan kemeja casual berwarna biru langit dan celana levis hitamnya.

Anggi sedikit terperangah, menatap berbagai lukisan Renathan yang benar-benar indah. Seolah ada banyak kisah yang coba Nathan tuang pada campuran warnanya, membuat warna menenangkan yang memuaskan estetika matanya.

“Bagus banget, Nath! Padahal lo masih SMA! Ih, kok berbakat banget, sih.” Mata berbinarnya seolah tidak bisa dilunturkan, kentara sekali betapa riang dan antusiasnya Anggi ketika menemukan seseorang yang memiliki hobi sama dengannya itu, sementara yang dipuji menggaruk telinganya yang tak gatal itu.

Baru saja Anggi ingin melihat lembaran kertas lain, tiba-tiba saja terdengar langkahan kaki yang berjalan begitu tergesa. Kepala Anggi mendongak, melihat seseorang yang amat dikenali tengah menarik lengan Renathan sedikit kasar itu.

“Bas—“

Benar, cowok yang menarik lengan Renathan itu Baskara. Tatapan cowok itu tajam, benar-benar dingin seperti dirinya yang pernah disorot demikian sewaktu pertama kali bertemu dengan Baskara.

“Lo dicariin ke mana-mana juga!”

Renathan tergagap. “B-bang.”

“Pulang! Ayah nyariin!”

Hening.

Jadi satu-satunya hal yang menyapa ketika dua pasang insan itu berada dalam mobil. Baskara dengan fokusnya mengemudikan stir, sementara Anggi sebatas menyenderkan kepalanya pada jendela. Beribu kali kepalanya terantuk, sekian kali pula Baskara menghela napas.

Selepas perkataan Anggi tadi, cowok itu memilih mengabaikan kata-katanya, berjalan pergi, meninggalkan Anggi yang mendumel kesal karena kamarnya yang masih tercecer potongan lakban berantakan, mengharuskannya untuk membersihkannya sendirian.

Pikiran Baskara menjadi semerawut, membayangkan apa jadinya kalau kejadian itu memang kenyataan. Kalau saja kemungkinan takdir juga akan berubah, apa yang akan Baskara lakukan?

Ia tidak siap ditinggalkan. Tidak mau hidupnya lagi-lagi terseret pada ruang sunyi dan menenggelamkannya pada lubang perih, membayangkannya saja sudah membuat Baskara mati kutu.

Ditinggalkan oleh mama itu serpihan terbesar dari mimpi buruk, benar-benar sebuah luka yang ia biarkan untuk menganga lebar, menghasilkan nelangsa tanpa ukur sampai Baskara dihantui oleh sesak.

Andai kata, hidupnya yang sudah direcoki oleh Anggi, ketika dia sudah mendapatkan segenggam harap untuk bernapas dengan lega, tahu-tahu mereka di atas langit justru mengambil cewek itu, maka Baskara yakin bahwa takdir semengerikan itu untuknya. Seolah tidak ada padanan kata bahagia pada hidupnya.

Baskara ingin marah, entah pada siapa. Sampai Anggi yang merasakan aura kuat dari sampingnya itu jadi gelagapan sendiri karena takut.

“Bas,” panggil Anggi, memutar badannya dan terus menatap cowok itu lekat. “Marah, ya?”

Suara Anggi yang terdengar ragu dan agak takut itu, seketika membuat Baskara jadi bersalah. Bibir bawahnya ia gigit dengan deruan udara yang bernapas sedikit berat. “Nggak.”

“Tuh ‘kan, marah.”

“Nggak, Anggi.”

“Kamu marah!”

“Nggak.”

“Marah tahu!”

“Terserah.”

“BENER KAN, KAMU MARAAHH?” Anggi manyun, sementara Baskara memutar bola matanya kesal. Tidak mengerti apa yang dimau cewek di sampingnya itu.

Mata Anggi terus menyorot dalam, memperhatikan tiap sisi dari cowok itu dengan lekat. Yang ditatap malah bergerak risih, mau melirik tapi gengsi, kalau terus menatap jalan ia juga ingin melakukan kontak mata dengan Anggi.

Pada akhirnya Baskara berdecak. “Jangan lihat-lihat, haram!” ungkap Baskara sembari mendorong muka cewek itu dengan tangan kirinya, sementara yang satu masih memegang setir.

“Ih! Apa-apaan, sih,” dumel Anggi kesal, bikin gelakan tawa keluar dari mulut Baskara.

“Anggi.”

“Ya?”

“Ayo main truth or dare.”

“Oke!” ucap Anggi riang. “Kalau gitu lo duluan, Bas.”

“No, lady first.”

“Ih, nggak! Cowok harus gentle, jadi lo duluan.”

“Nggak mau.”

“Yang ngajakin siapa?” tantang Anggi sembari melipatkan tangan, membuat Baskara berdecak.

“Yaudah, ok,” ucap Baskara buat Anggi menarik satu senyum simpul.

“Truth or dare?”

“Truth.”

“Mantan lo ada berapa?” tanya Anggi, membuat Baskara terkekeh.

“Nggak ada,” ucap Baskara tanpa menoleh.

Anggi menaikkan alis, mendelik tidak percaya. “Bohong, ya?”

“Serius, gue belum pernah pacaran.”

“Kok bisa?”

“Lo pernah ngeliat gue jalan sama cewek nggak waktu SMA?”

Anggi terdiam, mencoba mengingat kejadian masa putih abu-abunya itu. Dia yang selama ini jadi pengagum rahasia Baskara dan penyuka punggung lebar cowok itu pun tahu, selama ini Baskara kebanyakan menghabiskan waktu pada Tama.

“Nggak, ‘kan?” tanya Baskara lagi memastikan bahwa cewek itu untuk teringat, sampai Anggi pun pada akhirnya mengangguk. “Kalau lo berapa?”

“Eits!” elak Anggi. Disimpan aja pertanyaan itu, buat tod-an selanjutnya.”

Baskara mendecih. “Sekarang lo, truth or dare?”

“DARE!”

“Buset,” Baskara sedikit terkesiap dengan sifat antusias Anggi. Bertepatan dengan itu, mobil Baskara berhenti lantaran ia sudah memasuki parkiran apartemen barunya. Anggi mengernyitkan alis, baru sadar kalau perjalanan terasa sejauh ini.

“Eh, Bas. Kemarin gue jalan sama Januar perasaan cuman sebentar, kenapa sama lo kayak lama banget, ya?” tanya Anggi sembari membuka pintu. Baskara tidak langsung menjawab, mengeluarkan koper kuning Anggi dari bagasi di belakang.

“Lo tadi muter arah, ya?” tanya Anggi.

Baskara terdiam, kemudian menatap Anggi lekat, memandang tiap inchi wajah gadis itu, merekam momen ini tanp melewatkan sejengkal pun.

“Biar ada banyak momen yang gue habiskan sama lo,” ucap Baskara, seketika ada ronaan merah di pipi Anggi. Cewek itu rasanya ingin menjedotkan kepala karena malu. Baskara yang melihat itu kontan tersenyum tipis, lalu mengambil genggaman tangan Anggi untuk ditautkan pada sela kosong jemarinya.

“Anggi,” panggil Baskara pada cewek di hadapannya yang kini menunduk untuk menatap genggamannya.

“Ya?”

“Lo bilang dare, ‘kan?” tanya Baskara, seketika Anggi mendongak, menatap Baskara, lalu mengangguk perlahan.

“Kalau gitu, dare-nya simple.”

“Apa?”

“Jangan pergi ke mana-mana. Cukup lo di sini dan nggak pernah kepikiran buat ninggalin gue sendirian.”

Barangkali, yang dikatakan Baskara memang terlampau sederhana, tetapi sepertinya takdir tidak sesederhana apa yang diinginkan dua anak manusia itu.

Hening.

Jadi satu-satunya hal yang menyapa ketika dua pasang insan itu berada dalam mobil. Baskara dengan fokusnya mengemudikan stir, sementara Anggi sebatas menyenderkan kepalanya pada jendela. Beribu kali kepalanya terantuk, sekian kali pula Baskara menghela napas.

Selepas perkataan Anggi tadi, cowok itu memilih mengabaikan kata-katanya, berjalan pergi, meninggalkan Anggi yang mendumel kesal karena kamarnya yang masih tercecer potongan lakban berantakan, mengharuskannya untuk membersihkannya sendirian.

Pikiran Baskara menjadi semerawut, membayangkan apa jadinya kalau kejadian itu memang kenyataan. Kalau saja kemungkinan takdir juga akan berubah, apa yang akan Baskara lakukan?

Ia tidak siap ditinggalkan. Tidak mau hidupnya lagi-lagi terseret pada ruang sunyi dan menenggelamkannya pada lubang perih, membayangkannya saja sudah membuat Baskara mati kutu.

Ditinggalkan oleh mama itu serpihan terbesar dari mimpi buruk, benar-benar sebuah luka yang ia biarkan untuk menganga lebar, menghasilkan nelangsa tanpa ukur sampai Baskara dihantui oleh sesak.

Andai kata, hidupnya yang sudah direcoki oleh Anggi, ketika dia sudah mendapatkan segenggam harap untuk bernapas dengan lega, tahu-tahu mereka di atas langit justru mengambil cewek itu, maka Baskara yakin bahwa takdir semengerikan itu untuknya. Seolah tidak ada padanan kata bahagia pada hidupnya.

Baskara ingin marah, entah pada siapa. Sampai Anggi yang merasakan aura kuat dari sampingnya itu jadi gelagapan sendiri karena takut.

“Bas,” panggil Anggi, memutar badannya dan terus menatap cowok itu lekat. “Marah, ya?”

Suara Anggi yang terdengar ragu dan agak takut itu, seketika membuat Baskara jadi bersalah. Bibir bawahnya ia gigit dengan deruan udara yang bernapas sedikit berat. “Nggak.”

“Tuh ‘kan, marah.”

“Nggak, Anggi.”

“Kamu marah!”

“Nggak.”

“Marah tahu!”

“Terserah.”

“BENER KAN, KAMU MARAAHH?” Anggi manyun, sementara Baskara memutar bola matanya kesal. Tidak mengerti apa yang dimau cewek di sampingnya itu.

Mata Anggi terus menyorot dalam, memperhatikan tiap sisi dari cowok itu dengan lekat. Yang ditatap malah bergerak risih, mau melirik tapi gengsi, kalau terus menatap jalan ia juga ingin melakukan kontak mata dengan Anggi.

Pada akhirnya Baskara berdecak. “Jangan lihat-lihat, haram!” ungkap Baskara sembari mendorong muka cewek itu dengan tangan kirinya, sementara yang satu masih memegang setir.

“Ih! Apa-apaan, sih,” dumel Anggi kesal, bikin gelakan tawa keluar dari mulut Baskara.

“Anggi.”

“Ya?”

“Ayo main truth or dare

“Oke!” ucap Anggi riang. “Kalau gitu lo duluan, Bas.”

“No, lady first.”

“Ih, nggak! Cowok harus gentle, jadi lo duluan.”

“Nggak mau.”

“Yang ngajakin siapa?” tantang Anggi sembari melipatkan tangan, membuat Baskara berdecak.

“Yaudah, ok,” ucap Baskara buat Anggi menarik satu senyum simpul.

“Truth or dare?”

“Truth.”

“Mantan lo ada berapa?” tanya Anggi, membuat Baskara terkekeh.

“Nggak ada,” ucap Baskara tanpa menoleh.

Anggi menaikkan alis, mendelik tidak percaya. “Bohong, ya?”

“Serius, gue belum pernah pacaran.”

“Kok bisa?”

“Lo pernah ngeliat gue jalan sama cewek nggak waktu SMA?”

Anggi terdiam, mencoba mengingat kejadian masa putih abu-abunya itu. Dia yang selama ini jadi pengagum rahasia Baskara dan penyuka punggung lebar cowok itu pun tahu, selama ini Baskara kebanyakan menghabiskan waktu pada Tama.

“Nggak, ‘kan?” tanya Baskara lagi memastikan bahwa cewek itu untuk teringat, sampai Anggi pun pada akhirnya mengangguk. “Kalau lo berapa?”

“Eits!” elak Anggi. Disimpan aja pertanyaan itu, buat tod-an selanjutnya.”

Baskara mendecih. “Sekarang lo, truth or dare?”

“DARE!”

“Buset,” ucap Baskara sedikit terkesiap dengan sifat antusias Anggi. Bertepatan dengan itu, mobil Baskara berhenti lantaran ia sudah memasuki parkiran apartemen barunya. Anggi mengernyitkan alis, baru sadar kalau perjalanan terasa sejauh ini.

“Eh, Bas. Kemarin gue jalan sama Januar perasaan cuman sebentar, kenapa sama lo kayak lama banget, ya?” tanya Anggi sembari membuka pintu. Baskara tidak langsung menjawab, mengeluarkan koper kuning Anggi dari bagasi di belakang.

“Lo tadi muter arah, ya?” tanya Anggi.

Baskara terdiam, kemudian menatap Anggi lekat, memandang tiap inchi wajah gadis itu, merekam momen ini tanp melewatkan jengkal pun.

“Biar ada banyak momen yang gue habiskan sama lo,” ucap Baskara, seketika ada ronaan merah di pipi Anggi. Cewek itu rasanya ingin menjedotkan kepala karena malu. Baskara yang melihat itu kontan tersenyum tipis, lalu mengambil genggaman tangan Anggi untuk ditautkan pada sela kosong jemarinya.

“Anggi,” panggil Baskara pada cewek di hadapannya yang kini menunduk untuk menatap genggamannya.

“Ya?”

“Lo bilang dare, ‘kan?” tanya Baskara, seketika Anggi mendongak, menatap Baskara, lalu mengangguk perlahan.

“Kalau gitu, dare-nya simple.”

“Apa?”

“Jangan pergi ke mana-mana. Cukup lo di sini dan nggak pernah kepikiran buat ninggalin gue sendirian.”

Barangkali, yang dikatakan Baskara memang terdengar sederhana, tetapi sepertinya takdir tidak sesederhana apa yang diingkan dua anak manusia itu.

Evolusi

Perlengkapan untuk kepindahan Anggi sebenarnya tak banyak, hanya mengangkut beberapa kotak saja karena sebagian besar hanya baju-baju Anggi dan novel yang sempat ia beli. Beberapa alat masak dan makan sudah ia pesankan, harusnya sih hari ini tiba mengingat ia sudah membelinya sejak jauh hari.

Baskara pun begitu, ia membantu Anggi untuk mengemasi barang, bahkan membelikan koper berwarna kuning serta selimut putih. Sembari berkacak pinggang sehabis beres-beres, Baskara pun menghela napas dengan mata tajamnya mulai memindai ruang 12 x 12 meter tersebut. Kamar yang sempat cewek itu singgah mulai tertata rapih, meninggalkan beberapa lakban coklat dan bergambar fragile, gunting, dan spidol yang berceceran di lantai.

Deru napas berat terdengar letih keluar dari mulut Anggi. Cewek itu berbaring di lantai, sembari mengatur sirkulasi pernapasannya dengan peluh membanjiri kening.

“Capek,” keluhnya sembari mengipasi muka dengan tangan, walau tahu tidak akan berguna lantaran tak ada hembusan angin yang dihasilkan.

“Bangun, cepet mandi. Lo pindah nanti sore,” seru Baskara sembari menendang pelan kaki Anggi. Anggi memberengut, menarik sudut bibirnya turun dengan rautnya yang tertekuk enggan.

“Nanti deh, Bas. Capek banget.”

“Bangun, Anggi.”

“Capek, Baskara.”

“Anggi!”

“Baskara!”

Baskara menghela napas, lupa tentang fakta cewek yang tiduran di hadapannya itu orang terkeras kepala yang pernah ia temui.

“Sini, tiduran dulu. Nggak usah mara-mere.” Anggi tersenyum jenaka dengan menepuk berulang kali sisi kosong di sebelahnya itu. Walau terlihat agak jengah dengan sikap Anggi, Baskara pada akhirnya menurut, ikut berbaring di sampingnya.

Senyum terlukis jelas di bibir, mengantarkan wajah berseri yang kontan membuat Anggi langsung mengambil jemari Baskara dan menautkannya di sana. Baskara sempat terkejut, tetapi ia biarkan Anggi untuk melakukannya.

“Tangan gue basah, Gi. Abis keringetan,” ungkap Baskara, sementara Anggi menggeleng kecil sambil menyetarakan telapak tangannya dengan milik Baskara yang jemari lentiknya hanya sampai di satu setengah ruas jari laki-laki itu.

“Tangan lo selebar muka gue deh, Bas. Lebar, panjang, gede banget pokoknya. Pernah dipake buat ninju orang, nggak?” Anggi memijat pelan tangan-tangan milik Baskara, sementara yang ditanya tadi hanya menggeleng.

“Anak baik-baik ya, ternyata,” gumam Anggi pelan. “Di sini, siapa yang pernah nonjok orang deh, Bas?”

“Tama.”

Kontan, Anggi membelalak, menatap Baskara dengan muka sulit dipercaya. “Seriusan?”

“Serius.”

“Kenapa, deh?”

“Gue yang ditonjok Tama.”

“KOK BISA?”

“Ya bisa.” Baskara menyahut pelan, bibirnya berulang kali terbuka-tutup, ingin mengatakan sesuatu yang hendak mengganjal pikiran, tetapi pada ujungnya Baskara memilih diam, enggan bertukarnya pada Anggi.

Anggi hanya menghela napas. Tidak mau merecoki dan memaksakan Baskara untuk mengatakannya, walau sejujurnya Anggi mati penasaran dengan hubungan mereka berdua.

Hening lama menyergapi, membuat udara di sekitar mereka menebal dengan dua insan yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Baskara memilih memejamkan mata, membiarkan Anggi memainkan tangannya, sementara cewek itu sendiri pikirannya melanglang buana entah ke mana.

Sampai Anggi sendiri memecahkan keheningan dengan memanggil cowok itu.

“Bas.”

“Hm?”

“Waktu di Bandung, lo pernah bilang gimana jadinya kalau takdir nggak berubah, ‘kan?” tanya Anggi, membuat Baskara terdiam sesaat, meski ia akhirnya mengangguk ragu. “Karena ada kemungkinan lain lagi yang terjadi, seandainya kalau semesta bilang takdir kita berubah gimana?”

Alis Baskara tertaut sempurna, membuat Baskara langsung terbangun dan menatap Anggi lekat.

“Berubah maksudnya?” tanya Baskara. Anggi tak langsung menjawab, entah kenapa pertanyaannya justru membuat jantungnya serasa diremat kuat sampai cewek itu sendiri merasa sesak. Kalau saja apa yang dikatakannya kejadian, Anggi tidak tahu harus menyalahkannya pada siapa.

Pada semesta atau pada dirinya sendiri yang terlalu menantang takdir.

“Kalau aja semesta yang sedang kita singgah ini bilang justru gue yang pergi, bukan lo, gimana?”

Apartement yang akan Anggi tinggali jaraknya tidak terlalu jauh dengan kostan Baskara, hanya menghabiskan sekitar lima belas menit, Anggi dan Januar sudah tiba di area pekarangan.

Sepertinya Anggi akan menarik kembali ucapannya pada Baskara, kalau Januar sepertinya memang berguna. Cowok itu bahkan menanyakan tentang lancar tidaknya alur air, mengecek sirkulasi udara yang masuk, bahkan dia mengetuk tembok berulang kali entah tujuannya untuk apa.

Januar bahkan bilang, “Seenggaknya lo kalau mati air bisa lah mampir ke kostan.”

Anggi mengangguk saja ketika dibilang begitu bertepatan dengannya menandatangi kontrak dan bersiap akan pindah mulai minggu depan. Ia sekali lagi melirik ke kamar yang akan ditempati, sengaja membeli yang lengkap dengan segala furniture-nya. Baru saja cewek itu menutup pintu—omong-omong, Januar pergi terlebih dahulu ke bawah untuk mengambil mobil—ia dikejutkan oleh seseorang di sebelahnya yang keluar dari kamar.

“Oh, bakal pindah ke samping saya, Mbak?” tanyanya sementara Anggi mengangguk. Cowok itu tampak lebih muda dari Anggi, badannya kecil dan bahunya tidak terlalu lebar dengan surai hitamnya yang terlihat tebal dan lembut, kentara sekali sewaktu angin sore berhembus hangat.

“Ah, omong-omong saya bakal pindah mulai minggu depan. Saya Ayesha Indira Anggi.” Anggi mengulurkan tangan sembari tersenyum, dibalas dengan cowok itu yang juga menarik satu simpul tipis di kedua sudut bibirnya.

“Saya Renathan Julian, belum ada sebulan pindah ke sini.”

Semerawut Benang Takdir

Ada satu kisah di mana Jovan bisu. Sebatas ia yang tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam kehidupannya. Ah, mungkin pengecualian pada takdir lantaran di tiap sore yang telah dibiaskan oleh malam, pria berkepala tiga itu sering meraung pada si pencipta alam.

Jagat raya mungkin selalu melihatnya menyerapah, barangkali aksesoris langit juga mengetahui pada setiap kisahnya yang tertuang dalam sepi. Pun begitu dengan Sean kecil yang sudah menyaksikan tentang hidup ayah yang terlalu hening, tidak seperti temannya, Harmoni, yang memiliki bunda.

Walau demikian, Sean rasanya harus membuat Ayah Jovan tetap tersenyum, sama seperti yang ia lakukan pada Adik Hugo yang hanya mendengarnya saja, tanpa berbicara. Bocah laki-laki itu bilang pada ayah kalau ia menginginkan Hugo terus seperti itu, tetap menjadi adik kecilnya yang menggemaskan dan membuat cowok itu selalu merasa sudah gede karena telah lancar berbicara ketimbang Hugo yang masih kebingungan. Mungkin karena Ayah Jovan yang terdengar bangga mendengarkan Sean yang sudah pintar, ayah memberikan hadiah kaca pembesar untuknya.

Bocah cilik itu menyangka kalau dia pasti sudah sehebat Paman Sherlock Holmes yang diceritakan oleh ayah karena Sean sudah bisa menyelesaikan kasus bagaimana melihat lampu kulkas mati ketika ditutup.

Namun sayangnya, meski dia sudah membawa hadiah pemberian Jovan ke mana-mana, si jagoan ayah itu tidak bisa memecahkan alasan dibalik raut Jovan yang terdiam ketika pria jelek mengenakan jas putih panjang itu bilang, “Si kecil mengalami demam tinggi. Umurnya Hugo juga masih di tahap perkembangan dan cenderung ringkih, jadi infeksinya menyerang di saraf tertentu dan hal itu membuat sarafnya Hugo terkikis kapasitas intelektualnya.”

Sean saat itu tidak mengerti apa yang pria beruban macam karakter Hiroshi Agasa di serial kartun Detektif Conan itu katakan, membuatnya juga tidak bisa apa-apa ketika ayah terhebat sepanjang masa itu tiba-tiba menitikan air mata.

Padahal, Sean sudah menggambarkan mahakaryanya di kertas menggunakan crayon. Bocah ingusan itu bahkan menunjukkan lukisan rumah yang disampingnya ada ayah, Sean, dan Hugo.

“Ayah lihat! Sean bikin buna di samping matari! Jadi, ayah bisa ngeliat buna kalo kangen!” Sean sengaja mengatakan itu karena Ayah Jovan bilang ia paling menyukai gambarnya Sean ketimbang lukisan yang pernah bunda buat di ruang tamu. Sean berharap, semenjak kepulangannya dari rumah sakit yang pernah merawat Bunda dan Adik Hugo itu bisa tersenyum.

Sayangnya, Jovan tidak lagi memancarkan kehangatan. Sudut bibirnya justru ditarik paksa, tidak terlihat tulus yang berikutnya malah kepalanya diusap dan Jovan bilang, “Ayah capek, Sean. Ayah tidur dulu, ya.”

Sean menatap curiga, biasanya ayah yang paling antusias pada keberhasilan cowok itu. Berkali-kali Sean coba untuk menyenangkan hati Ayah Jo, tetapi senyum itu lama kelamaan luntur.

Dan tepat ketika Sean yang sebentar lagi berumur 13 tahun sementara Hugo 10 tahun, genggaman yang selalu Sean coba pertahankan itu tiba-tiba mengendur. Ayah Jovan yang selalu menjadi panutan hidupnya kini berjongkok di depan Sean kemudian bilang, “Sean itu jagoan ayah, bukan?”

Jelas, Sean mengangguk antusias karena kini ia bisa menemukan senyuman hangat Jovan setelah sekian lama. “Sean mau sejago Ayah!”

“Nggak, Sean justru lebih hebat dari ayah.” Pria itu mengunci pandangannya tepat pada mata hitam Sean yang begitu sayu. Sama cantiknya dengan mata wanita yang sudah dipangku oleh semesta.

“Hugo itu anak yang istimewa. Saking istimewanya, ayah nggak sanggup buat lindungin dia. Makanya, ayah minta ke Sean buat jagain Hugo, ya? Karena Sean lebih hebat dari ayah.”

“Ayah bakal pulang kalau Sean udah bisa jadi anak yang baik.”

Sean pada mulanya bingung dengan semua ucapan ayah yang tiba-tiba. Genggaman hangat ayah malah terlepas dan kini satu-satunya orang yang selalu ia panutkan dalam hidup, kini berbalik badan meski sudah seberapa kencang ia meneriakki pria kebanggaannya itu.

Tiap hari, cowok itu menunggu ayah untuk pulang. Setiap kendaraan yang menderu di sekitar komplek rumahnya, akan selalu gordennya ia singkap berharap ayah kembali seperti janjinya.

Sayangnya, ketika Sean berhasil menduduki peringkat kedua dalam Ujian Nasional sekota Jakarta kala SMP, Ayah Jovan tak pernah kembali membuat Sean letih menjadi anak baik.

Semerawut Benang Takdir

Ada satu kisah di mana Jovan bisu. Sebatas ia yang tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam kehidupannya. Ah, mungkin pengecualian pada takdir lantaran di tiap sore yang telah dibiaskan oleh malam, pria berkepala tiga itu sering meraung pada si pencipta alam.

Jagat raya mungkin selalu melihatnya menyerapah, barangkali aksesoris langit juga mengetahui pada setiap kisahnya yang tertuang dalam sepi. Pun begitu dengan Sean kecil yang sudah menyaksikan tentang hidup ayah yang terlalu hening, tidak seperti temannya, Harmoni, yang memiliki bunda.

Walau demikian, Sean rasanya harus membuat Ayah Jovan tetap tersenyum, sama seperti yang ia lakukan pada Adik Hugo yang hanya mendengarnya saja, tanpa berbicara. Bocah laki-laki itu bilang pada ayah kalau ia menginginkan Hugo terus seperti itu, tetap menjadi adik kecilnya yang menggemaskan dan membuat cowok itu selalu merasa sudah gede karena telah lancar berbicara ketimbang Hugo yang masih kebingungan. Mungkin karena Ayah Jovan yang terdengar bangga mendengarkan Sean yang sudah pintar, ayah memberikan hadiah kaca pembesar untuknya.

Bocah cilik itu menyangka kalau dia pasti sudah sehebat Paman Sherlock Holmes yang diceritakan oleh ayah karena Sean sudah bisa menyelesaikan kasus bagaimana melihat lampu kulkas mati ketika ditutup.

Namun sayangnya, meski dia sudah membawa hadiah pemberian Jovan ke mana-mana, si jagoan ayah itu tidak bisa memecahkan alasan dibalik raut Jovan yang terdiam ketika pria jelek mengenakan jas putih panjang itu bilang, “Si kecil mengalami demam tinggi. Umurnya Hugo juga masih di tahap perkembangan dan cenderung ringkih, jadi infeksinya menyerang di saraf tertentu dan hal itu membuat sarafnya Hugo terkikis kapasitas intelektualnya.”

Sean saat itu tidak mengerti apa yang pria beruban macam karakter Hiroshi Agasa di serial kartun Detektif Conan itu katakan, membuatnya juga tidak bisa apa-apa ketika ayah terhebat sepanjang masa itu tiba-tiba menitikan air mata.

Padahal, Sean sudah menggambarkan mahakaryanya di kertas menggunakan crayon. Bocah ingusan itu bahkan menunjukkan lukisan rumah yang disampingnya ada ayah, Sean, dan Hugo.

“Ayah lihat! Sean bikin buna di samping matari! Jadi, ayah bisa ngeliat buna kalo kangen!” Sean sengaja mengatakan itu karena Ayah Jovan bilang ia paling menyukai gambarnya Sean ketimbang lukisan yang pernah bunda buat di ruang tamu. Sean berharap, semenjak kepulangannya dari rumah sakit yang pernah merawat Bunda dan Adik Hugo itu bisa tersenyum.

Sayangnya, Jovan tidak lagi memancarkan kehangatan. Sudut bibirnya justru ditarik paksa, tidak terlihat tulus yang berikutnya malah kepalanya diusap dan Jovan bilang, “Ayah capek, Sean. Ayah tidur dulu, ya.”

Sean menatap curiga, biasanya ayah yang paling antusias pada keberhasilan cowok itu. Berkali-kali Sean coba untuk menyenangkan hati Ayah Jo, tetapi senyum itu lama kelamaan luntur.

Dan tepat ketika Sean yang sebentar lagi berumur 13 tahun sementara Hugo 10 tahun, genggaman yang selalu Sean coba pertahankan itu tiba-tiba mengendur. Ayah Jovan yang selalu menjadi panutan hidupnya kini berjongkok di depan Sean kemudian bilang, “Sean itu jagoan ayah, bukan?”

Jelas, Sean mengangguk antusias karena kini ia bisa menemukan senyuman hangat Jovan setelah sekian lama. “Sean mau sejago Ayah!”

“Nggak, Sean justru lebih hebat dari ayah.” Pria itu mengunci pandangannya tepat pada mata hitam Sean yang begitu sayu. Sama cantiknya dengan mata wanita yang sudah dipangku oleh semesta.

“Hugo itu anak yang istimewa. Saking istimewanya, ayah nggak sanggup buat lindungin dia. Makanya, ayah minta ke Sean buat jagain Hugo, ya? Karena Sean lebih hebat dari ayah.”

“Ayah bakal pulang kalau Sean udah bisa jadi anak yang baik.”

Sean pada mulanya bingung dengan semua ucapan ayah yang tiba-tiba. Genggaman hangat ayah malah terlepas dan kini satu-satunya orang yang selalu ia panutkan dalam hidup, kini berbalik badan meski sudah seberapa kencang ia meneriakki pria kebanggaannya itu.

Tiap hari, cowok itu menunggu ayah untuk pulang. Setiap kendaraan yang menderu di sekitar komplek rumahnya, akan selalu gordennya ia singkap berharap ayah kembali seperti janjinya.

Sayangnya, ketika Sean berhasil menduduki peringkat kedua dalam Ujian Nasional sekota, Ayah Jovan tak pernah kembali membuat Sean letih menjadi anak baik.

Harusnya.

Sekitar pukul lima sore, Ocha datang dengan wajah sumringahnya dengan tas terlampir di pundak. Muka cantiknya terlihat berseri, tidak terlihat bete, kesal, sebal, seperti yang gadis itu paparkan pada Gisa beberapa jam yang lalu.

Dari awal, Gisa tak pernah mengerti kenapa Ocha terlihat nyaman untuk bermain di rumahnya. Petak tanah Gisa tak sebesar punyanya Ocha, bahkan ruang tamunya saja selebar dengan kamarnya Ocha yang penuh akan kemewahan.

Kata Ocha, “Rumah lo enak. Gak ngerasa sesak dan hangat, Gis. Gue justru selalu bosan di rumah gede karena sendirian. Walaupun ada pelayan, tapi mami sama papi jarang pulang. Gue selalu ngerasa sunyi.”

Gisa pada akhirnya mengerti dengan pikiran Ocha, lagi pula cewek itu tak pernah tahan dengan keheningan. Ia tak suka kalau suasana terlalu sepi, terdengar menyedihkan dan perempuan yang bernama lengkap Osaka Bella Hazelina tidak suka dengan kondisi muram tersebut.

Belum lagi, Ocha tampaknya akan merasa senang kalau 24/7 harinya ditemani oleh perempuan seperti Gisa—Ah, tidak. Bukan seperti, tapi memang harus Gisaka Caecillia yang menemaninya.

Osaka tampak betah saja kalau terus menempel dengan Gisa karena Gisa satu-satunya sahabat perempuannya, ia merasa nyaman berada di sekitar gadis itu. Walau awalnya ia sempat merasa takut karena Ocha selalu berisik dan heboh, berbanding terbalik dengan sifat Gisaka yang selalu memancarkan aura menenangkan.

Ocha bisa merasakan mana temannya yang bermuka dua, entah yang suka morotin uangnya atau mendekatinya demi ketenaran, dan hal itu tidak ia rasakan pada diri Gisa. Justru, Ocha yang merasa takut Gisa risih karena tidak sekali dua kali orang-orang menggunjing pertemanannya.

Namun, kalaupun orang-orang mencoba untuk meretakkan hubungannya, Ocha tak akan pernah membiarkannya. Ia tidak mau lepas dari Gisa, bahkan kalau mami sama papinya tiba-tiba kesurupan untuk memintanya menjauh dari gadis itu. Beruntung saja, kedua orang tuanya tidak seperti di sinetron.

Selepas Gisa mempersilahkan Ocha masuk ke kamarnya dan gadis itu membanting tubuh ke kasurnya, Gisa langsung terkekeh. “Mau jajan apa, Cha?”

Ocha yang tengah menelusupkan kepalanya di bantal itu menggeleng. “Gue ada snack di tas.”

“Oh iya, Gis.” Ocha bangun, kemudian mengambil tasnya yang sempat ia taruh di atas nakas samping kasur Gisa. “Nih, masukin Netflix lo di macbook.”

Gisa kontan mengambil macbook yang sempat disodorkan oleh Ocha. Namun, ketika menulis alamat gmail, tangan cewek itu terhenti ketika ucapan Ocha mengintrupsinya. “Lho, lo make emailnya Argan?”

Sial.

Gisa melupakannya.

Cewek itu jadi gelagapan dan bingung harus menjelaskannya bagaimana. “Euh ... itu, Argan pernah nawarin gue.”

Dahi Ocha mengkerut, membuat Gisa menggigit bibir bawahnya. “Emang lo gak ditawarin?”

“Enggak tuh,” kata Ocha.

Good.

Gisa tampaknya sudah tertangkap basah. Kini, gadis itu jadi kebingungan harus bereaksi apa.

“Ocha—“

“Argan kurang ajar, dah.” Tiba-tiba saja Ocha menyela cepat. “Giliran gue kagak diajak patungan, mentang-mentang gue punya duit.”

“Profile Netflix ada lima ‘kan, ya? Pasti dia ngajakin Opal, Ical, Ojan, sama lo. IIH! ARGAN NYEBELIN!” Ocha memberungut bibirnya, sementara Gisa yang melihatnya hanya terdiam.

Dihela napas sesaat, kontan Ocha menopang dagunya. “Andai ya, Gis. Calon gue Argan, pasti gue bakal seneng banget.”

Gisa membeku. Cewek itu tak berkutik sesaat ketika Ocha mengatakannya demikian. Hatinya seolah mencelos dan tanpa sadar ia menekuk ekspresi masam. Ia tidak bisa menyahut apa-apa lagi selain. “Hah?” Dengan wajahnya yang terlihat terkejut.

“Bukan apa-apa,” kekeh Ocha langsung mengambil macbooknya dan mencari film yang bisa mereka tonton.

Gisa berharap ia tidak salah dengar dengan ucapan cewek itu, tetapi rungunya tak bermasalah, meski sejatinya ia menginginkan kalau Ocha tak serius mengatakannya demikian.

Namun, jauh di lubuk pikirannya, ia merasa ada sesuatu yang pernah didebatkannya.

Bukankah ini yang lo mau, Gis? Orang yang seperti Ocha yang harusnya pacaran sama Aga, ‘kan?

Kalau seandainya takdir mengikuti perkataan lo, bukannya harusnya lo seneng? Ya, ‘kan, Gisaka? Harusnya lo bahagia, ‘kan? Bukan ngerasa sesak kayak gini.

Sekitar pukul lima sore, Ocha datang dengan wajah sumringahnya dengan tas terlampir di pundak. Muka cantiknya terlihat berseri, tidak terlihat bete, kesal, sebal, seperti yang gadis itu paparkan pada Gisa beberapa jam yang lalu.

Dari awal, Gisa tak pernah mengerti kenapa Ocha terlihat nyaman untuk bermain di rumahnya. Petak tanah Gisa tak sebesar punyanya Ocha, bahkan ruang tamunya saja selebar dengan kamarnya Ocha yang penuh akan kemewahan.

Kata Ocha, “Rumah lo enak. Gak ngerasa sesak dan hangat, Gis. Gue justru selalu bosan di rumah gede karena sendirian. Walaupun ada pelayan, tapi mami sama papi jarang pulang. Gue selalu ngerasa sunyi.”

Gisa pada akhirnya mengerti dengan pikiran Ocha, lagi pula cewek itu tak pernah tahan dengan keheningan. Ia tak suka kalau suasana terlalu sepi, terdengar menyedihkan dan perempuan yang bernama lengkap Osaka Bella Hazelina tidak suka dengan kondisi muram tersebut.

Belum lagi, Ocha tampaknya akan merasa senang kalau 24/7 harinya ditemani oleh perempuan seperti Gisa—Ah, tidak. Bukan seperti, tapi memang harus Gisaka Caecillia yang menemaninya.

Osaka tampak betah saja kalau terus menempel dengan Gisa karena Gisa satu-satunya sahabat perempuannya, ia merasa nyaman berada di sekitar gadis itu. Walau awalnya ia sempat merasa takut karena Ocha selalu berisik dan heboh, berbanding terbalik dengan sifat Gisaka yang selalu memancarkan aura menenangkan.

Ocha bisa merasakan mana temannya yang bermuka dua, entah yang suka morotin uangnya atau mendekatinya demi ketenaran, dan hal itu tidak ia rasakan pada diri Gisa. Justru, Ocha yang merasa takut Gisa risih karena tidak sekali dua kali orang-orang menggunjing pertemanannya.

Namun, kalaupun orang-orang mencoba untuk meretakkan hubungannya, Ocha tak akan pernah membiarkannya. Ia tidak mau lepas dari Gisa, bahkan kalau mami sama papinya tiba-tiba kesurupan untuk memintanya menjauh dari gadis itu. Beruntung saja, kedua orang tuanya tidak seperti di sinetron.

Selepas Gisa mempersilahkan Ocha masuk ke kamarnya dan gadis itu membanting tubuh ke kasurnya, Gisa langsung terkekeh. “Mau jajan apa, Cha?”

Ocha yang tengah menelusupkan kepalanya di bantal itu menggeleng. “Gue ada snack di tas.”

“Oh iya, Gis.” Ocha bangun, kemudian mengambil tasnya yang sempat ia taruh di atas nakas samping kasur Gisa. “Nih, masukin Netflix lo di macbook.”

Gisa kontan mengambil macbook yang sempat disodorkan oleh Ocha. Namun, ketika menulis alamat gmail, tangan cewek itu terhenti ketika ucapan Ocha mengintrupsinya. “Lho, lo make emailnya Argan?”

Sial.

Gisa melupakannya.

Cewek itu jadi gelagapan dan bingung harus menjelaskannya bagaimana. “Euh ... itu, Argan pernah nawarin gue.”

Dahi Ocha mengkerut, membuat Gisa menggigit bibir bawahnya. “Emang lo gak ditawarin?”

“Enggak tuh,” kata Ocha.

Good.

Gisa tampaknya sudah tertangkap basah. Kini, gadis itu jadi kebingungan harus bereaksi apa.

“Ocha—“

“Argan kurang ajar, dah.” Tiba-tiba saja Ocha menyela cepat. “Giliran gue kagak diajak patungan, mentang-mentang gue punya duit.”

“Profile Netflix ada lima ‘kan, ya? Pasti dia ngajakin Opal, Ical, Ojan, sama lo. IIH! ARGAN NYEBELIN!” Ocha memberungut bibirnya, sementara Gisa yang melihatnya hanya terdiam.

Dihela napas sesaat, kontan Ocha menopang dagunya. “Andai ya, Gis. Calon gue Argan, pasti gue bakal seneng banget.”

Gisa membeku. Cewek itu tak berkutik sesaat ketika Ocha mengatakannya demikian. Hatinya seolah mencelos dan tanpa sadar ia menekuk ekspresi masam. Ia tidak bisa menyahut apa-apa lagi selain. “Hah?” Dengan wajahnya yang terlihat terkejut.

“Bukan apa-apa,” kekeh Ocha langsung mengambil macbooknya dan mencari film yang bisa mereka tonton.

Gisa berharap ia tidak salah dengar dengan ucapan cewek itu, tetapi rungunya tak bermasalah, meski sejatinya ia menginginkan kalau Ocha tak serius mengatakannya demikian.

Namun, jauh di lubuk pikirannya, ia merasa ada sesuatu yang pernah didebatkannya.

Bukankah ini yang lo mau, Gis? Orang yang seperti Ocha yang harusnya pacaran sama Aga, ‘kan?

Kalau seandainya takdir mengikuti perkataan lo, bukannya harusnya lo seneng? Ya, ‘kan, Gisaka? Harusnya lo bahagia, ‘kan? Bukan ngerasa sesak kayak gini.