Panggil gue Dewa aja.
Barangkali, jika takdirnya mampu memberinya kesempatan antara menikah di usia tua, tetapi menemukan her truly love atau menikah di usia dini, tetapi sering dikhianati. Maka, Arimbi lebih baik menikah di usia tua, tetapi mendapatkan pasangan sehidup-sematinya.
Atau paling banter dia tidak akan pernah menikah seumur hidup.
Sebenarnya, dalam kehidupannya dia tidak pernah merasa pernikahan adalah kebutuhan yang wajib. Bahkan, selama ini dia tidak pernah membayangkan pernikahan ideal seperti apa yang ia inginkan. Bisa dikatakan, mengikatkan seseorang atas nama hukum menjadi daftar kesekian Arimbi yang akan ia lakukan di masa menanti.
Menjadi wanita sukses dengan karir gemilang bisa dikatakan goal yang benar-benar ia inginkan.
Sayangnya, takdir berkata lain. Benang yang terlanjur terajut, justru memposisikan Arimbi pada zona yang sama sekali susah untuk ia beradaptasi. Dia seolah gelisah dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Ah, tidak-tidak.
Itu bukan kemungkinan, tetapi sudah menjadi keputusan akhir bagaimana kehidupan rumah tangga Arimbi.
Sepertinya, tidak sampai tiga tahun, pernikahan Arimbi tidak akan bisa diselamatkan.
’Dewa kampret. Belum juga mulai, gue bakalan jadi janda.’
Arimbi benar-benar gemas, rasanya ’pengen tak hiiihhh ....’ Namun, saat melihat Dewa yang datang menjemputnya memamerkan wajah tegasnya dengan tatapan tajam yang seolah bisa menguliti siapapun detik itu juga, bikin nyali Arimbi menciut.
Makanya, selama di perjalanan, Arimbi hanya terdiam di dalam mobil Dewa. Atmosfernya canggung, kelewat kaku, bahkan kanebo kering aja lewat.
Birai bawah Arimbi telah ia basahi, karena sejujurnya dia tidak bisa diam. Kalau dengan Bima, pasti sudah banyak obrolan, serapahan, candaan yang dilemparkan. Benar-benar larut seperti pipa air rucika, mengalir sampai jauh.
Ah, jadi kangen Bima ....
“Ehem.” Arimbi menoleh, melihat Dewa yang kini berdeham dengan matanya yang fokus pada jalanan.
Kalau dia Bima, mungkin Arimbi sudah menyahut. “Lagi check sound atau lagi ngapain, Mas? ‘Ehem’-nya bau tanah soalnya.”*
Tapi sayangnya ini Dewa, bukan Bima.
Tuh ‘kan lagi-lagi Bima.
“Nama lo—“ Dewa menjeda sebentar, membuat Arimbi sedikit terkejut.
“Lho, bisa ngo—“ Nyaris saja Arimbi menyelesaikan ucapannya. Secepat itu pula, perempuan itu menepuk mulutnya. “—Maaf-maaf. Saya asal jeplak, Om.”
“OM?!” Arimbi tersentak, karena Dewa berteriak.
“Emang, gue setua itu?” Dewa tersenyum sinis, lebih tepatnya menyeringai melihat Arimbi yang kebingungan. “Gila, gue yang katanya pengusaha muda, bisa-bisanya dipanggil Om.”
”Sorry ... sorry, abis saya panik,” jawab Arimbi sekenanya.
Dewa lagi-lagi menyeringai. “Panggil gue Dewa aja.”
“Oke ....” Arimbi menahan ucapannya. “Omong-omong, nama lengkapnya—“
“Bara Dewa Rajananda. Serah lo deh manggil gue Dewa, Raja, apa Nanda. Tapi jangan sekali-kali panggil gue Bara.”
Arimbi mengernyit. “Kenapa?”
“Cuman Lara yang manggil gue Bara.”
Arimbi yang mendengar nama Lara langsung mendengus. Membuat, Dewa mengernyit. Apalagi, melihat perempuan itu diam-diam tersenyum.
Menampilkan giginya yang tersusun rapih.
“Kalau suatu saat anak itu, Arimbi, manggil kamu Bara apa yang terjadi?”
Dewa tersentak, mengerem mobilnya mendadak, membuat tubuh Arimbi nyaris menghantam dasboard kalau saja ia tidak mengenakan seatbelt.
Sekarang, giliran Arimbi yang terkejut dengan ucapannya.
’Ah, sial. Kebiasaan buruknya kembali kambuh.’