Write.as

Springbloomz_

Panggil gue Dewa aja.

Barangkali, jika takdirnya mampu memberinya kesempatan antara menikah di usia tua, tetapi menemukan her truly love atau menikah di usia dini, tetapi sering dikhianati. Maka, Arimbi lebih baik menikah di usia tua, tetapi mendapatkan pasangan sehidup-sematinya.

Atau paling banter dia tidak akan pernah menikah seumur hidup.

Sebenarnya, dalam kehidupannya dia tidak pernah merasa pernikahan adalah kebutuhan yang wajib. Bahkan, selama ini dia tidak pernah membayangkan pernikahan ideal seperti apa yang ia inginkan. Bisa dikatakan, mengikatkan seseorang atas nama hukum menjadi daftar kesekian Arimbi yang akan ia lakukan di masa menanti.

Menjadi wanita sukses dengan karir gemilang bisa dikatakan goal yang benar-benar ia inginkan.

Sayangnya, takdir berkata lain. Benang yang terlanjur terajut, justru memposisikan Arimbi pada zona yang sama sekali susah untuk ia beradaptasi. Dia seolah gelisah dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Ah, tidak-tidak.

Itu bukan kemungkinan, tetapi sudah menjadi keputusan akhir bagaimana kehidupan rumah tangga Arimbi.

Sepertinya, tidak sampai tiga tahun, pernikahan Arimbi tidak akan bisa diselamatkan.

’Dewa kampret. Belum juga mulai, gue bakalan jadi janda.’

Arimbi benar-benar gemas, rasanya ’pengen tak hiiihhh ....’ Namun, saat melihat Dewa yang datang menjemputnya memamerkan wajah tegasnya dengan tatapan tajam yang seolah bisa menguliti siapapun detik itu juga, bikin nyali Arimbi menciut.

Makanya, selama di perjalanan, Arimbi hanya terdiam di dalam mobil Dewa. Atmosfernya canggung, kelewat kaku, bahkan kanebo kering aja lewat.

Birai bawah Arimbi telah ia basahi, karena sejujurnya dia tidak bisa diam. Kalau dengan Bima, pasti sudah banyak obrolan, serapahan, candaan yang dilemparkan. Benar-benar larut seperti pipa air rucika, mengalir sampai jauh.

Ah, jadi kangen Bima ....

“Ehem.” Arimbi menoleh, melihat Dewa yang kini berdeham dengan matanya yang fokus pada jalanan.

Kalau dia Bima, mungkin Arimbi sudah menyahut. “Lagi check sound atau lagi ngapain, Mas? ‘Ehem’-nya bau tanah soalnya.”*

Tapi sayangnya ini Dewa, bukan Bima.

Tuh ‘kan lagi-lagi Bima.

“Nama lo—“ Dewa menjeda sebentar, membuat Arimbi sedikit terkejut.

“Lho, bisa ngo—“ Nyaris saja Arimbi menyelesaikan ucapannya. Secepat itu pula, perempuan itu menepuk mulutnya. “—Maaf-maaf. Saya asal jeplak, Om.”

“OM?!” Arimbi tersentak, karena Dewa berteriak.

“Emang, gue setua itu?” Dewa tersenyum sinis, lebih tepatnya menyeringai melihat Arimbi yang kebingungan. “Gila, gue yang katanya pengusaha muda, bisa-bisanya dipanggil Om.”

”Sorry ... sorry, abis saya panik,” jawab Arimbi sekenanya.

Dewa lagi-lagi menyeringai. “Panggil gue Dewa aja.”

“Oke ....” Arimbi menahan ucapannya. “Omong-omong, nama lengkapnya—“

“Bara Dewa Rajananda. Serah lo deh manggil gue Dewa, Raja, apa Nanda. Tapi jangan sekali-kali panggil gue Bara.”

Arimbi mengernyit. “Kenapa?”

“Cuman Lara yang manggil gue Bara.”

Arimbi yang mendengar nama Lara langsung mendengus. Membuat, Dewa mengernyit. Apalagi, melihat perempuan itu diam-diam tersenyum.

Menampilkan giginya yang tersusun rapih.

“Kalau suatu saat anak itu, Arimbi, manggil kamu Bara apa yang terjadi?”

Dewa tersentak, mengerem mobilnya mendadak, membuat tubuh Arimbi nyaris menghantam dasboard kalau saja ia tidak mengenakan seatbelt.

Sekarang, giliran Arimbi yang terkejut dengan ucapannya.

’Ah, sial. Kebiasaan buruknya kembali kambuh.’

Di rumah Bima

”Nduk, opo kowe lali karo sumpah janjimu.” (Dek, apa kamu lupa sama sumpah janjimu.)

”Biyen bakal ngancani urip tekan matiku.” (Dahulu akan menemani sampai mati.)

”Pancene kowe tego medot tali asmoro.” (Sungguh tega kamu memutus tali cinta kita.)

”Rabi karo wong liyo, mblenjani tresnoku nelongso.” (Menikah dengan orang lain, sungguh pilu hatiku.)

Enggak, dugaan kalian memang benar, kalau Bima tengah menyanyikan lagu ‘Ditinggal Rabi’ dari Nella Kharisma sembari menatap kosong langit-langit kamarnya. Setelah dibabat habis sama adiknya, Bima akhirnya menyetujui dengan mematikan speaker, lalu berganti dengan memetik gitarnya.

Kalau dilihat-lihat sekarang, sebenarnya perawakan Bima sudah cocok membawakan lagu indie sekelas Payung Teduh atau paling tidak Banda Neira. Perpaduan antara senja, kopi, dan rintik cerita, sudah jadi hal yang sempurna untuk menyesapi lirik yang memainkan diksi dengan apik kala ulu hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Sayangnya, kelakuan Bima kelewat ajaib. Walaupun lagi galau begini, dia justru menanamkan dalam dirinya bahwa, “Lagu-lagu dari Didi Kempot dan sekelasnya justru yang paling better dari pada band Day6-day6 itu.”

Ya ... yaudah lah, suka-suka Bima.

Kini, kembali dengan Bima yang asik menggenjreng gitarnya sembari merem menikmati lagu.

”Opo iki wes dalane.” (Apa ini sudah jadi jalanku.)

”Kudu pisah, kelang—“

“AAKKHHH!”

Bukan.

Itu bukan backsound yang mengiringi suara Bima, melainkan pekikan dari penghuni sebelah yang sudah mulai kesurupan setan alay.

“MAMPUS. TWEET GUE DI-REPLY SAMA KAK JULIAN.”

Bima menghela napas, lalu balik menjerit sebal. ”DEK, ATI MASMU IKI RASANE LAGI LORO, LHO. OJO NGGEREBEKI KEK.” (Dek, hati masmu ini rasanya lagi sakit, lho. Jangan ngerusakin kek.)

Bima mengelus dadanya. Menggeleng dengan tingkah perawan satu itu. Baru saja, Bima kembali melanjutkan aktivitasnya, adiknya tanpa adab sudah langsung nyelonong masuk.

“KETUK DULU, DEK.”

“Gak sempet, Mas.”

Entah sudah keberapa kalinya, Bima merotasikan matanya malas. Membiarkan Juni, adiknya, menarik tangannya untuk mendekat.

“Mas, Arimbi kena cyberbullying,” jelas Juni, ketika nama Arimbi dia ketik di kolom searchbar twitter.

“HAH?!” Bima yang mendengarnya langsung merebut phonsel Juni dan melihat aplikasi burung biru—bukan traveloka— dengan alis yang mengernyit.

Bima membaca satu persatu-satu tweet-an yang melemparkan serapahan pada sahabatnya, Arimbi.

“ANJING!”

“Sabar kali.”

“Udah gue bilangin berapa kali, sih. Kalau twitter tuh jahat!”

“Heh, pede lo ngata-ngatain kaum gue.”

“Berisik!” Bima langsung mengambil jaketnya yang tergantung di kursi, lalu hendak mengambil kunci motor. Namun, sebelum semuanya itu sempat terjadi, Juni langsung menyergahnya.

“Mau ngapain lo?”

“Mau ke Rumah Arimbi.”

“Yakin? Emang lo masih diterima sama Ibunya Arimbi?” Juni melipatkan dadanya, membuat Bima sadar akan sesuatu.

Sialan, Bima lupa kalau eksistensinya tidak diterima di keluarga Arimbi.

Sekarang, apa yang harus Bima lakukan?

Di rumah Bima

”Nduk, opo kowe lali karo sumpah janjimu.” (Dek, apa kamu lupa sama sumpah janjimu.)

”Biyen bakal ngancani urip tekan matiku.” (Dahulu akan menemani sampai mati.)

”Pancene kowe tego medot tali asmoro.” (Sungguh tega kamu memutus tali cinta kita.)

”Rabi karo wong liyo, mblenjani tresnoku nelongso.” (Menikah dengan orang lain, sungguh pilu hatiku.)

Enggak, dugaan kalian memang benar, kalau Bima tengah menyanyikan lagu ‘Ditinggal Rabi’ dari Nella Kharisma sembari menatap kosong langit-langit kamarnya. Setelah dibabat habis sama adiknya, Bima akhirnya menyetujui dengan mematikan speaker, lalu berganti dengan memetik gitarnya.

Kalau dilihat-lihat sekarang, sebenarnya perawakan Bima sudah cocok membawakan lagu indie sekelas Payung Teduh atau paling tidak Banda Neira. Perpaduan antara senja, kopi, dan rintik cerita, sudah jadi hal yang sempurna untuk menyesapi lirik yang memainkan diksi dengan apik kala ulu hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Sayangnya, kelakuan Bima kelewat ajaib. Walaupun lagi galau begini, dia justru menanamkan dalam dirinya bahwa, “Lagu-lagu dari Didi Kempot dan sekelasnya justru yang paling better dari pada band Day6-day6 itu.”

Ya ... yaudah lah, suka-suka Bima.

Kini, kembali dengan Bima yang asik menggenjreng gitarnya sembari merem menikmati lagu.

*”Opo iki wes dalane.” (Apa ini sudah jadi jalanku.)

*”Kudu pisah, kelang—“

“AAKKHHH!”

Bukan.

Itu bukan backsound yang mengiringi suara Bima, melainkan pekikan dari penghuni sebelah yang sudah mulai kesurupan setan alay.

“MAMPUS. TWEET GUE DI-REPLY SAMA KAK JULIAN.”

Bima menghela napas, lalu balik menjerit sebal. ”DEK, ATI MASMU IKI RASANE LAGI LORO, LHO. OJO NGGEREBEKI KEK.” (Dek, hati masmu ini rasanya lagi sakit, lho. Jangan ngerusakin kek.)

Bima mengelus dadanya. Menggeleng dengan tingkah perawan satu itu. Baru saja, Bima kembali melanjutkan aktivitasnya, adiknya tanpa adab sudah langsung nyelonong masuk.

“KETUK DULU, DEK.”

“Gak sempet, Mas.”

Entah sudah keberapa kalinya, Bima merotasikan matanya malas. Membiarkan Juni, adiknya, menarik tangannya untuk mendekat.

“Mas, Arimbi kena cyberbullying,” jelas Juni, ketika nama Arimbi dia ketik di kolom searchbar twitter.

“HAH?!” Bima yang mendengarnya langsung merebut phonsel Juni dan melihat aplikasi burung biru—bukan traveloka— dengan alis yang mengernyit.

Bima membaca satu persatu-satu tweet-an yang melemparkan serapahan pada sahabatnya, Arimbi.

“ANJING!”

“Sabar kali.”

“Udah gue bilangin berapa kali, sih. Kalau twitter tuh jahat!”

“Heh, pede lo ngata-ngatain kaum gue.”

“Berisik!” Bima langsung mengambil jaketnya yang tergantung di kursi, lalu hendak mengambil kunci motor. Namun, sebelum semuanya itu sempat terjadi, Juni langsung menyergahnya.

“Mau ngapain lo?”

“Mau ke Rumah Arimbi.”

“Yakin? Emang lo masih diterima sama Ibunya Arimbi?” Juni melipatkan dadanya, membuat Bima sadar akan sesuatu.

Sialan, Bima lupa kalau eksistensinya tidak diterima di keluarga Arimbi.

Sekarang, apa yang harus Bima lakukan?

Tentang Lara dan Bara

Aku bertemu dengan Dewa mungkin dari kami sama-sama menginjak semester dua. Tugas dari dosen yang menumpuk, belum lagi ospek fakultas dan jurusan yang sedang hetic, apalagi ditambah dengan tekanan dari lingkungan sekitar yang begitu membuatku mual.

Masih semester dua, sepertinya masa kelabilan sewaktu SMA belum sepenuhnya terlepas dari jati diri kita berdua. Makanya, membuat kami sulit untuk mengendalikan emosi. Rasa-rasanya, kalau dipikir kembali, alasan aku bisa tersesat dalam kubangan berlumurkan dosa seperti ini, karena memang kekelaman saat kuliah yang menggiringku ke dunia malam.

Melepaskan penat dengan mengunjungi bar, bergeliyat dengan elok di lantai dansa, hingga menyentuh minuman beralkohol, memang sejatinya sudah menjadi hal yang melekat pada diriku sejak saat itu. Namun, alasanku kenapa aku bisa bertemu Dewa adalah karena dia memegang kartu as di mana ia menyaksikan diriku yang begitu lemah. Melihatku berada di titik terendah kehidupan karena orang yang seharusnya mendukungku, justru sibuk merisakku habis-habisan.

Sebenarnya, hingga kini pun aku tidak mengerti, kenapa Dewa masih ada di ruang kelas, saat aku nyaris mencoba mengakhiri kehidupanku dengan meminum obat yang mereka sebut terlarang.

Dewa bilang, ”Kalau mau jatoh, jangan nyoba di kampus. Bikin univ ikutan jatoh gara-gara kelakuan lo tau, gak?”

Aku bingung, kenapa Dewa bisa bilang sebegitu pedasnya di saat aku berada di situasi terpuruk. Kukira kehidupanku benar-benar runtuh detik itu juga, bisa jadi Dewa akan menceritakan hal yang tidak-tidak. Namun nyatanya, pria itu tidak mengatakan apa-apa.

Saat kutanya kenapa, dia menjawab. ”Buat apa diceritain? Emang ada untungnya buat gue?”

Sudah bukan jadi aib umum lagi, kalau Dewa memang terkenal sarkas dan julid di seantero FEB, bikin orang-orang langsung mengikrarkan Dewa cocok jadi komdis ospek untuk angkatan berikutnya. Namun, mereka tidak tahu, kalau Dewa diam-diam menanyakan kabar tentangku.

“Lo gak ngelakuin hal yang bikin rusak nama fakultas, ‘kan?” Walaupun memang terdengar dia hanya peduli pada reputasi, aku tahu itu bentuk lain dari rasa kecemasannya. Tanpa terduga, aku pun menjadi sadar bahwa aku membutuhkan Dewa.

Begitu pula dengan Dewa.

Makanya, saat nada Dewa terlampau rendah kala mengatakan, “Gimana kalau kita kasih tau publik kalau kita udah putus?”

Aku menjadi tersadar akan sesuatu. Kedepannya, aku tahu bahwa hubunganku dengan Dewa sudah tidak bisa dipertahankan.

“Bar—“

“Ra, please. Jangan bikin aku ngerasa kalau kamu gak yakin sama hubungan kita.” Dewa menatapku, dia mengambil tanganku lalu digenggam dengan kuat. “Dunia boleh membenci hubungan kita, asal kita kuat. Tapi, kalau salah satu dari kita gak berkomitmen, sama aja kamu kemakan opini publik.”

“Tapi, Bar—“

“Hubungan kita selama lima tahun apa kamu gak ngerasa bahagia?”

Aku memejamkan mata, sembari menghela napas. ”With you, i find my piece of trully happiness.”

“Same with me.”

”But—“

“Sekali-kali jadi egois, Ra. Kamu bilang, denganku kamu ngerasa bahagia. Jadi, pikirin kebahagiaan kamu juga. it’s okay to be selfish. At least you are live with happiness.”

”is it ok?”

”trust me, it’s worth.”

Aku tertawa mendengar candaanya. Maka selanjutnya, aku mencubit perutnya gemas.

“Sok-sokan ngiklanin L-men. Padahal kerempeng begitu,” gurauku, membuat dia ikutan tertawa. Maka selanjutnya, aku lantas menghambur ke dekapan Dewa. Dalam kukungannya, aku merasa aman dan terlindungi.

Jika seisi semesta membenciku, tapi jika aku punya Bara. Itu lebih dari cukup.

pukul 2 pagi

Manusia waras mana yang malam-malam begini berkunjung ke rumah orang? Cuman Bara Dewa Rajananda doang emang.

Kelewat gila, sampai-sampai nekat untuk mendatangi apartementku karena terlalu khawatir dengan pesan yang tadi aku kirimkan padanya. Kini, aku bisa melihat perawakannya yang tengah berjalan di lobby yang benar-benar sepi. Setelan bajunya yang santai sekedar mengenakan hoodie biru itu lantas menarik tanganku.

Dia bahkan menggulung lengan cardigan coklat hangat yang kupakai dan mengecek kondisiku saat ini.

“Apaan sih, Bar?”

“Kamu beneran gak ngelakuin hal gila, ‘kan?”

Aku tersenyum tipis, kemudian menggeleng lemah.

Tertawa dengan tingkahku, pemuda itu kini merangkul bahu dan mendorong—lebih tepatnya menggeretku—ke kamar apartement.

Setelah tiba, laki-laki itu kini berjalan ke arah dapur. Kulihat, pria itu mengamankan barang-barang yang memiliki ujung runcing. Meletakannya ke tempat yang sulit kujangkau.

“Jangan terlalu tinggi, Bar. Nanti aku repot buat masak,” protesku dari ruang tamu.

“Kamu gak usah masak dulu,” jawabnya.

“Lha, terus? Aku makan gimana?”

“Gak usah kek orang susah deh lo. ‘Kan bisa pesan-antar,” jawab Bara, membuatku mengernyit dengan jawaban pedasnya.

Di saat seperti ini, sempat-sempatnya bikin aku pengen mengacak-acak wajah yang sialan tampannya itu.

Baru saja aku ingin menyahut, Bara menyeringai, kemudian bilang, “Kita juga punya alasan untuk makan di luar. Itupula kalau kamu mau.” Sembari menggulung lengan hoodienya.

“Modus,” jawabku.

“Ngape lu gak suka?”

“Ih, nyebelin.”

“Bodo.”

Setelah sibuk dengan peralatan dapur dan menjauhkan beberapa guci keramik, Bara lantas menarik tanganku dan duduk berhadapan di sofa ruang tamu.

“Ra ....” Nadanya kini terdengar rendah sekali. Netra hitam Dewa yang benar-benar pekat, kini menatapku dalam, seolah ingin membuatku terjatuh dalam pesonanya sekali lagi.

Dengan birai merahnya, Dewa menghela napas berat dan mengucapkan sesuatu dalam satu tarikan napas.

Dewa bilang, “Gimana kalau kita kasih tau publik kalau kita udah putus?”

Suasana runyam

Jalanan menjadi sepi kala suara panggilan ibadah telah saling bersahutan dan berkumandang menggemangi langit. Sembari, senja yang perlahan dimakan oleh remang malam, Juni menunggu pesan dari Mas Bima.

Rasanya, Juni mau misuh-misuh sekarang juga, kenapa dia justru ditakdirkan punya mas kayak Mas Bima, sih?

Kalau boleh nawar dengan harga nego, Juni pasti akan mengantri di lapak ‘Mas idaman’,bukan di tempat yang tercetak jelas di papan spanduk dengan tulisan ‘Mas rese yang gak bisa diandelin.’

Nyaris seumur hidup, Juni mohon pada mereka yang tinggal di langit untuk tilepin Mas Bima kembali ke janin, tapi gak ada tanda-tanda doanya akan dijabah, tuh.

Nyebelin emang

Mana kalau minta sesuatu kudu diturutin, kalau enggak entar diaduin. Ada aja gitu kartu as yang Mas Bima pegang.

Setelah mendapatkan pesan share loc dari Mas Bima, dengan motor scopy-nya, Juni menancap gas dan membiarkan angin malam menusuk kulit.

***

Sesampainya di tujuan, Juni belum menghentikan motornya secara sempurna, tapi tahu-tahu udah ada cowok tinggi—curiga, ini keponakannya slenderman—menerobos melewati jalannya.

“Woi, mate lu dipake! Udah pake kacamata, masih juga rabun?” sahut Juni, tapi gak digubris. Laki-laki kacamata bersurai pirang itu justru langsung membuka pintu mobil belakangnya, melemparkan tas gitar, lalu kembali ke kursi pengemudi, dan menyalakan mobil, meninggalkan Juni yang masih nangkring di atas motor dengan mata yang mengerjap tak percaya.

Masih dengan dia yang menatap mobil itu pergi, Juni dikejutkan dengan suara bantingan pintu dan kini melihat teman band Mas Bima, si Wira, yang kini rahangnya mengetat, tampak marah dan langsung pergi tanpa menyapa.

Ini pada kenapa semua sih?

“Dek.”

Juni menoleh, melihat si abang menekuk wajahnya letih. “Ayok pulang.”

Juni mengangguk, baru saja perempuan itu hendak turun, Bima justru langsung nangkring duduk di belakang Juni dan melingkarkan tangannya di pinggang adeknya.

“Woi! Yakali lo, Mas,” oceh Juni, lalu mencubit tangan Bima. “Turun, ngapain lo nangkring di sono?”

“Capek, elah. Lo kek yang bawa.”

Juni memutar bola matanya, kali ini ia benar-benar menyerah. Perempuan itu langsung menyodorkan helm pada si abang dan mengucapkan ‘duluan’ waktu melihat Dhiaz dan Mas Sandhy baru saja keluar studio.

Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit.

Biasanya, di jam segini, aku menikmati bagaimana malam seolah menelanjangi kulitku dengan sensasi dingin. Namun untuk saat ini, aku tidak bisa menikmatinya.

Aku menengadah dengan tangan yang meremas ponsel kuat-kuat, memaparkan pesan terakhir yang Seren kirimkan padaku.

Dadaku rasanya bergemuruh, seolah-olah ada sesuatu yang terbakar di ulu hati sana, kala berulang kali membaca pesan.

Dewa mau dijodohin.

Dewa mau dijodohin.

Bara, brengsek.

Kalau ketemu, akan kuacak-acak wajahnya.

Masih ingat terakhir kali dia menautkan cincin di jemari manisku dan perjanjiannya yang bilang bahwa seumur hidup hanya aku yang pantas bersanding dengan Bara Dewa Rajananda.

Iya, pikiran egoku entah kenapa memang menyetujui. Hanya Lara Venya Naladhipa yang bisa seterusnya di samping Bara.

Iya, hanya aku.

Bukan siapa-siapa.

Sayangnya, si brengsek itu justru mematahkan perjanjiannya, padahal belum genap 24 jam semenjak ia mengikrarkan janji tersebut.

Aku menghela napas panjang, entah sudah keberapa kali telah menguap ke udara dan pertanyaan yang terus membabi-buta di dalam benakku mengumpul baknya benang kusut, kala taksi yang kunaiki sudah berhenti di tempat tujuan dan menemukan sebuah mobil familiar terparkir di restaurant yang Seren kabarkan terakhir kali.

Setelah membayar dan keluar, aku menemukan perawakan Bara dibaluti jas rapih yang sangat cocok pada tubuhnya yang tinggi tegap itu.

Langsung kuraih tangannya dan seketika netra hitamnya yang biasanya aku terbuai dalam kubangannya itu, kini membelalak tak percaya menemukan aku di sini.

“Lara?”

Ekspresi yang bagus Tuan Muda Rajananda. Rasanya ingin aku abadikan.

“Kamu ngapain di sini?”

Tidak menjawab, aku justru mengernyit. “Kamu yang punya acara apaan di sini? Aku mau ketemu Seren di bar, tadinya ketemuan di restaurant. Tapi kayaknya, restaurantnya udah direservasi, ya?” tanyaku berusaha untuk membuatnya membisu. “Ada acara apaan sampai keluarga kamu reservasi satu restaurant langsung?”

Dan benar saja, birai Bara sudah gelagapan dan bingung menjelaskannya dari mana. Aku tersenyum sinis, rasanya ingin membuat wajahnya yang mulus itu tercetak sebuah mahakarya di pipinya.

Apalagi kalau bukan tangan yang meninggalkan jejak warna merah.

Namun, sebelum semuanya itu sempat terjadi, seorang wanita paruh baya datang menghampiri kami.

“Kamu masih berhubungan sama cewek gak bener, ini?” satu sodoran tanpa ditelaah itu membuat aku menoleh menatapnya.

Oh ayolah, Nyonya. Kalau Nyonya maksud clubbing dan mabuk adalah sebutan yang sesuai untuk mengikatku dengan panggilan cewek gak bener, berarti Nyonya yang gak pernah muda.

Dasar sialan.

Rasanya, aku ingin bilang padanya saat ini juga, tetapi langsung dicegat kala wanita itu melipatkan tangannya di depan dada. “Ingat ini, Dewa. Jangan pernah sekali lagi kamu ngelakuin hal ceroboh dengan bermain-main sama perempuan ini. Pernikahan kamu udah di depan mata, Dew!” kata beliau, lalu pergi meninggalkan kami.

Aku terpaku.

Jelas, masih terkejut, karena semua itu ternyata bukan omong kosong.

“Jadi, benar?” tanyaku pada Bara yang kini membasahi birai bawahnya. Bara membisu, tidak menjawab apa-apa, bahkan panggilannya tidak aku gubris, kala aku meninggalkannya dengan dua kata yang lolos dari mulutku.

Aku bilang, “Ayo, putus.”

Sembari menulikan telinga, kala Bara berusaha meraihku.

‘Bara brengsek, mati kek lo.’

Siang itu.

Tepatnya pada pukul dua siang, kantin kantor sudah disesaki dengan para pegawai yang kelaparan. Menghabiskan nyaris setengah hari di depan komputer, mampu membuat tenaga mereka terkuras habis. Bahkan, saking sibuknya, masih ada beberapa pegawai yang berkutat dengan jari yang sibuk menekan-nekan keyboard, sewaktu Dewa berjalan melewati mereka.

Dewa sebenarnya tidak terlalu mengerti betapa susahnya untuk naik pangkat, sebab ... menjadi anak dari Rajananda yang sudah dipersiapkan segalanya, membuat laki-laki itu berada di singgasana General Manager oleh ayahnya sebagai permulaan, jika Dewa sudah cukup matang, semua kekayaan bisa saja digenggam Dewa seutuhnya.

Apa Dewa senang? Sebenarnya kalau dibilang enak sih enak, tapi kalau dibilang apakah Dewa senang menjadi anak Rajananda? Jawabannya tentu saja tidak. Diawasi setiap saat, bahkan rasanya begitu mengintimidasi sewaktu Dewa mencoba melangkah hal baru.

Beruntung, saat dia di semester dua, segala pengawasan dicabut asal Dewa tetap tidak melakukan hal menjijikan yang merusak reputasi perusahaan Rajananda. Makanya, dia bisa bertemu Lara dan menjadikan perempuan itu menjadi kekasih Dewa.

Sebenarnya, hanya Lara satu-satunya yang memanggil Dewa dengan sebutan Bara dan Dewa pun juga entah kenapa menyukainya.

Baru saja Dewa menekan tombol lift, bunyi ketukan heels dari arah samping, membuat Dewa menoleh.

“Dewa, anda dipanggil oleh petinggi.” Itu suara sekertarisnya. Mendengar akan hal itu Dewa mengangguk lalu mengekorinya dari belakang.

Setelah mengetuk dan memasuki ruangan, Dewa menemukan sosok ayahnya yang sedang mengernyitkan alis, membuat kerutan kasar di dahinya.

“Bara Dewa Rajananda, umurmu sudah dua puluh enam tahun, bukan?” Dewa langsung mengangguk.

“Kenapa, Ayah?”

“Segera kamu bertemu ibumu di butik, ia sudah menyiapkan segala keperluan untuk perjodohanmu.”

‘Perjodohan’

That shit ....

Dewa menghela napas. “Yah ... Dewa udah bilang berapa kali kalau Dewa gak bisa melakukan perjodohan. Dewa udah punya calonnya—“

“Jangan sebut cewek gak bener itu calonmu. Mau di taruh di mana muka Ayah punya menantu kelayapan seperti kupu-kupu malam? Gak ... Jangan kamu berani membantah kayak Gio itu!” Dewa mengepalkan tangannya, begitu nama abangnya kembali disebut.

Masih ingat tiga tahun yang lalu, ayahnya langsung drop begitu abangnya nekat untuk kabur bersama pacarnya. Menghindari perjodohan, membuat ayahnya mendadak terkena serangan jantung dan dilarikan ke rumah sakit.

Sejujurnya, Dewa tidak bisa melihat Ayahnya kembali sakit, jika Dewa membantah. Dewa tidak bisa melepaskan Lara, di lain sisi, ia tidak mau mengulang kesalahan yang Gio lakukan hingga berdampak pada kesehatan Ayah.

Astaga ... apa yang harus Dewa lakukan?