Write.as

Springbloomz_

Dia Haechan.

Anak laki-laki menyebalkan dengan surai coklat keriting membelai wajahnya. Memiliki mata coklat terang yang berkilau, kerapkali membuatku iri lantaran dia mewariskannya dari ibu.

Pernah sekali, dalam keheningan kala angin bertiup dengan damai, sewaktu aku menatap bulan di malam sepi, laki-laki itu membuka kamarku, kemudian bertanya. “Ngapain, Mas?”

Aku tidak menimpali ucapannya, justru kembali melanjutkan fokusku pada satelit dan para aksesorisnya yang mendekorasi dan membentang sepanjang langit malam. Bocah itu kemudian menggeret kursi, duduk di sebelahku lalu kembali menyahut. “Mas Taeil udah nentuin mau kuliah di mana?”

Aku menggeleng. “Belum, Dek. Masih bingung.”

Dia mengangguk, kemudian ikut memusatkan matanya pada bulan. Diam-diam aku meliriknya. Cahaya rembulan yang dipantulkan di netranya begitu jernih, semakin terlihat berkilau.

Terkadang, dalam kelereng coklatnya yang berbinar itu, aku kerap menafsirkan bahwa bocah itu menaruh segudang impian. Banyak asa yang dia gantungkan pada pohon harapan, menunggu siapa pun yang berada di atas langit, mendengarkan permohonannya.

Bocah itu pemimpi, berbeda denganku.

Tampaknya, yang ditatap kini mengernyitkan alis, ikut membikin dahinya mengkerut. “Ngapain Mas lihat-lihat? Demen lo, ye?”

Ditabok kepalanya penuh gemas, berikutnya aku langsung mencibir, “Wong edan. Ya kali.”

“Teroooossss?”

“Mas cuman iri. Mata lo ngewarisin ibu soalnya,” jawabku jujur. Mendengarnya, membuat ia menarik birainya hingga setengah lingkar lalu makin mendekat padaku.

“Ya 'kan? Ya 'kan? Ya 'kan?” Haechan tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tersenyum rapih. Cara dia yang berkata begitu benar-benar annoying, makanya aku langsung mendorong wajahnya untuk menjauh.

“Minggir, ah. Jan deket-deket.”

“Aku juga ngerasa mataku mirip ibu. Cakep 'kan, ya? Temen-temen sekelas bilang kalo mataku bagus. Berkilau gitu, anjay.”

Aku hanya menggeleng dengan kelakuan narsisnya tersebut. Dia itu memang ajaib.

***

Dia Haechan.

Dia punya tawa yang adiktif. Kelewat candu, hingga seringkali rasa letihku terbayarkan akibat guyonan recehnya yang suka menyahut macam-macam.

Dulu, aku masih ingat. Sebelum semuanya berubah, sebelum semesta menggunjingku. Aku memiliki sejuta kesan yang kuhabiskan dengan adikku. Terlalu banyaknya kenangan yang digoreskan, sampai-sampai telah terlarut dengan manifestasi rasa dan campuran memori yang terukir dengan apik dalam benakku.

Pernah sekali, sewaktu aku baru pulang les, Haechan menawarkan sirup jeruknya padaku. Dengan gaya tengil yang sudah tertanam dalam jati dirinya, dia bilang, “Mau, gak? Kalau gak mau yaudah.”

Aku langsung meraihnya. Meneguk hingga tak bersisa, lantaran benar-benar capek. Selain seharian ini belajar untuk keperluan masuk PTN dan les begitu pulang sekolahnya. aku juga harus mengikuti sertijab untuk ekskul paskibraka kepada adik kelas.

Sungguh melelahkan.

Sebenarnya, niat awal begitu pulang, aku ingin mandi terlebih dahulu, lalu masuk ke alam mimpi. Akan tetapi, bocah menyebalkan itu justru mencegatku.

“Mas tahu gak? Kenapa matahari tenggelam?”

Mulai lagi kan pemikiran abstraknya.

Aku menatapnya malas, kemudian beralih untuk menjawab sekenanya. “Kenapa?”

Namun, laki-laki itu tidak menyukai tanggapanku, membuatnya mencebikkan bibirnya.

“Ah malesin banget langsung nyerah. Tebak dulu, dong.”

Terkadang, aku suka sebal dengan sifat menyebalkannya itu.

Dihela napasku pasrah lalu aku menjawab, “Karena ya emang takdirnya begitu?”

Haechan mengangguk. “Iya, sih. Bener lo, Mas. Tapi bukan itu!!”

Lagi-lagi aku mengernyit, sebagai bentuk jawaban. Bocah itu kemudian menggerakkan tangannya, seolah menyuruhku untuk mendekat. Bodohnya, aku mau-mau saja menuruti dan membuat Haechan membisik di telingaku.

“Matahari tenggelam ....” Dia menjeda sebentar, seolah membuat suasana menjadi tegang, “karena dia gak bisa berenang lha, GOBLOOOKKKKKK.”

Dia tertawa dengan riang, tampak begitu senang membodoh-bodohiku. Ketawanya memang adiktif, tapi di saat bersamaan, aku ingin menggunting pita suaranya yang begitu terdengar menyebalkan.

Tanpa aba-aba, aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Persetanan dengan ia yang mengaduh kesakitan, aku bangkit, membiarkan dia yang kini mengelus bokongnya sambil berteriak, “MAS TAEIL NGESELIN, IH!”

Aku mendengus mendengar teriakannya. Dia itu sebenarnya lebih menyebalkan dari pada ini.

***

Dia Haechan.

Punya seribu satu jurus untuk mencuri perhatianku. Entah dia yang memang ingin dipedulikan atau bagaimana, tapi laki-laki itu tahu bagaimana bereaksi sewaktu aku kelelahan sehabis pulang kuliah.

Mungkin, karena dia merupakan anak bungsu dan sering dimanja oleh ibu. Dia ahlinya untuk membuat semua orang terpusat pada ocehannya.

Contohnya sekarang, saat tiba di kostan dan membuka pintu kamar, laki-laki itu ada di sana. Tengah membuka album foto saat kami sama-sama kecil.

“Kenapa gak bilang kalo bakalan ke sini?” tanyaku sedikit terkejut lalu langsung mengeluarkan laptop. Berniat untuk melanjutkan proposal yang akan aku ajukan ke perusahaan demi mencari sponsorship.

“Lha, gimana? Mas Taeil sendiri yang manggil aku ke sini,” ucapnya. Aku mengernyit, tetapi kuabaikan bocah itu berbicara. Saat tahu aku mengacuhkannya, laki-laki itu kini ikut merangkak naik ke kasur.

Sepertinya, Haechan benar-benar sudah kehilangan adab sebab kini tanpa rasa bersalahnya dan lupa diri dengan bobot tubuhnya, dia naik ke atas tubuhku yang sedang tengkurap. “Kampret, minggir lo.”

Dia tampak masih sebal, buktinya mulutnya sudah merungut, lalu ikutan mengabaikanku dengan memberikan pesan. “Kalau orang baru pulang tuh mandi dulu, kek. Makan dulu, kek. Ini langsung nugas. Sok sibuk lo.”

“Emang sibuk sih, yeeuuuu.”

“Nyebelin bat, asli! Gue aduin ibu lo.”

Ibu.

Mendengar namanya, aku terdiam kemudian langsung memiringkan tubuh agar laki-laki itu jatuh dari sana. Sudah lama sekali, aku tidak ketemu dengan orang yang membawaku ke dunia.

Lantas, kutatap matanya yang coklat berkilau. Mengingatkanku dengan sosok ibu dan terputar dengan apik, kilasan-kilasan memori yang aku habiskan dengan beliau.

“Mas,” panggilnya, “kangen ibu, gak?”

Butuh sekitar lima menit bagiku untuk mengangguk. Haechan, laki-laki itu, lantas tersenyum. “Pulang yuk, Mas. Ketemu ibu. Ibu juga pasti kangen.”

Mendengar ucapannya, aku kembali mengangguk dan mengekor di belakangnya.

***

Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit. Biasanya, di jam segini, aku mengurung di dalam kamar, merindukan keluargaku yang jauh di sana.

Aku jarang keluar kamar saat malam-malam. Namun, saat Haechan tiba, aku tidak tahu kenapa akhirnya ikut mengekorinya dari belakang.

Memang sudah lama juga aku tidak menghirup udara malam.

Aku terus berjalan, melangkah di belakang bocah itu, sampai pada akhirnya dia menghentikan kakinya di sebuah jembatan. Haechan menoleh, menatapku sambil tersenyum.

“Gue sama ibu sebenarnya gak tega ngelepasin Mas di dunia ini,” kata Haechan, mengukir senyumnya yang seperti sabit bulan. “Tapi kalau ngeliat Mas yang uring-uringan kayak gini, malah makin pengen lo bareng kita, Mas.”

Perkataan Haechan lantas membuatku terdiam seribu bahasa. Tanpa permisi, aku bisa merasakan bulir air mata mengakses di pipiku, membuat lautan di sana.

“Mas kangen ibu?”

“Kangen.”

“Pengen ketemu ibu?”

“Pengen.”

“Yakin, 'kan?” ucapnya. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk. Membuatnya lantas memegang tanganku. “Dalam hitungan ketiga, Mas harus ngikutin gue.”

Aku mengangguk, kemudian mengarah ke depan. Sembari mengatur napas dan memejamkan mata, aku mendengar Haechan yang mulai menghitung.

“Satu.”

Ibu ... Taeil kangen kalian.

“Dua.”

Nyusul ibu, boleh ‘kan?

“Tiga.”

Taeil lelah, Bu.

“LOMPAT!”

Aku menurut, mengikuti ucapan Haechan.

Akan tetapi, sebelum semuanya terjadi, aku justru didorong oleh seseorang, membuatku terjatuh dan bisa mendengar suara air yang telah dirisak akibat seseorang melompat di sana.

Aku terbelalak. Menemukan Johnny yang memasang raut cemas. “LO APA-APAAN SIH? UDAH GILA LO, YA?”

“LO KALAU NGERASA USELESS TUH JANGAN GINI!”

Napasku tercekat, bahuku sudah naik turun dengan pompaan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku menyadari apa yang baru saja terjadi, lantas mataku memindai sekitar, tidak menemukan adikku di mana pun.

“Haechan .... Haechan,” panggilku terbata-bata.

Johnny langsung menamparku. Menyadarkanku akan sesuatu saat bilang, “SADAR BEGO. ADEK SAMA IBU LO TUH UDAH GAK ADA. MEREKA UDAH PERGI, BANG!”

Aku terdiam, mencerna ucapannya.

“Pantes, gue ngerasa aneh sama kelakuan lo yang ngomong sendiri di dalam kamar,” ucap Johnny yang terdengar frustasi. “Sadar, Bang! Haechan itu cuman ilusi yang lo bikin doang! Kalau lo ngerasa sendiri, ada gue di sini. Please, jangan ngelakuin hal gila kayak gini lagi. Gue takut asli.”

Ucapan Johnny kini membuatku tersadar akan sesuatu. Aku menyeringai, menyeka tangis yang berada di sudut mata, lantaran lagi-lagi semesta tengah bercanda.

Tersenyum tipis, aku lantas menatap Johnny penuh luka, lalu berbisik,

“Ah ... ternyata penyakit gue kambuh lagi, ya?”

Dia Haechan.

Anak laki-laki menyebalkan dengan surai coklat keriting membelai wajahnya. Memiliki mata coklat terang yang berkilau, kerapkali membuatku iri lantaran dia mewariskannya dari ibu.

Pernah sekali, sewaktu aku menatap bulan di malam sepi, laki-laki itu membuka kamarku, kemudian bertanya. “Ngapain, Mas?”

Aku menggeleng kemudian kembali melanjutkan fokusku. Bocah itu kemudian menggeret kursi, duduk di sebelahku lalu kembali menyahut. “Mas Taeil udah nentuin mau kuliah di mana?”

Aku menggeleng. “Belum, Dek. Masih bingung.”

Dia mengangguk, kemudian ikut memusatkan matanya pada bulan. Diam-diam aku meliriknya. Cahaya rembulan yang dipantulkan di netranya begitu jernih, semakin terlihat berkilau.

Tampaknya, yang ditatap kini mengernyitkan alis, ikut membikin dahinya mengkerut. “Ngapain Mas lihat-lihat? Demen lo, ye?”

Aku langsung menabok kepalanya gemas. “Wong edan. Ya kali.”

“Teroooossss?”

“Mas cuman iri. Mata lo ngewarisin ibu soalnya,” jawabku jujur. Mendengarnya, membuat ia menarik birainya hingga setengah lingkar lalu makin mendekat padaku.

“Ya 'kan? Ya 'kan? Ya 'kan?” Haechan tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tersenyum rapih. Cara dia yang berkata begitu benar-benar annoying, makanya aku langsung mendorong wajahnya untuk menjauh.

“Minggir, ah. Jan deket-deket.”

“Aku juga ngerasa mataku mirip ibu. Cakep 'kan, ya? Temen-temen sekelas bilang kalo mataku bagus. Berkilau gitu, anjay.”

Aku hanya menggeleng dengan kelakuan narsisnya tersebut. Dia itu memang ajaib.

***

Dia Haechan.

Dia punya tawa yang adiktif. Kelewat candu, hingga seringkali rasa letihku terbayarkan akibat guyonan recehnya yang suka menyahut macam-macam.

Pernah sekali, sewaktu aku baru pulang les, Haechan menawarkan sirup jeruknya padaku. “Mau, gak? Kalau gak mau yaudah.”

Aku langsung meraihnya. Meneguk hingga tak bersisa, lantaran benar-benar capek. Selain seharian ini belajar untuk keperluan masuk PTN dan les begitu pulang sekolahnya. aku juga harus mengikuti sertijab untuk ekskul paskibraka kepada adik kelas.

Sungguh melelahkan.

Sebenarnya, niat awal begitu pulang, aku ingin mandi terlebih dahulu, lalu masuk ke alam mimpi. Akan tetapi, bocah menyebalkan itu justru menggeretku ke ruang tamu.

“Mas tahu gak? Kenapa matahari tenggelam?”

“Kenapa?” sahutku malas. Namun, laki-laki itu tidak menyukai tanggapanku, membuatnya mencebikkan bibirnya.

“Ah malesin banget langsung nyerah. Tebak dulu, dong.”

Terkadang, aku suka sebal dengan sifat menyebalkannya itu. “Karena ya emang takdirnya begitu?”

Haechan mengangguk. “Iya, sih. Bener lo, Mas. Tapi bukan itu!!”

Lantas aku mengernyit, sebagai bentuk jawaban. Bocah itu kemudian menggerakkan tangannya, seolah menyuruhku untuk mendekat. Bodohnya, aku menuruti dan membuat Haechan membisik di telingaku.

“Matahari tenggelam ....” Dia menjeda sebentar, seolah membuat suasana menjadi tegang, “karena dia gak bisa berenang lha, GOBLOOOKKKKKK.”

Dia tertawa dengan riang, tampak begitu senang membodoh-bodohiku. Tanpa aba-aba, aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Persetanan dengan ia yang mengaduh kesakitan, aku langsung bangkit membiarkan dia yang kini mengelus bokongnya sambil berteriak, “MAS TAEIL NGESELIN, IH!”

Aku mendengus mendengar teriakannya. Dia itu memang semenyebalkan itu.

***

Dia Haechan.

Punya seribu satu jurus untuk mencuri perhatianku. Entah dia yang memang ingin dipedulikan atau bagaimana, tapi laki-laki itu tahu bagaimana bereaksi sewaktu aku kelelahan sehabis pulang kuliah.

Saat tiba di kostan dan membuka pintu kamar, laki-laki itu ada di sana. Tengah membuka album foto saat kami sama-sama kecil.

“Kenapa gak bilang lo bakalan ke sini?” tanyaku lalu langsung mengeluarkan laptop. Berniat untuk melanjutkan proposal yang akan aku ajukan ke perusahaan demi mencari sponsorship.

“Lha, gimana? Mas Taeil sendiri yang manggil aku ke sini,” ucapnya. Aku mengernyit, tetapi kuabaikan bocah itu berbicara. Saat tahu aku mengacuhkannya, laki-laki itu kini ikut merangkak naik ke kasur.

Sepertinya, Haechan benar-benar sudah kehilangan adab sebab kini tanpa rasa bersalahnya, dia naik di atas tubuhku yang sedang tengkurap. “Kampret, minggir lo.”

Dia tampak masih sebal, lalu ikutan mengabaikanku dengan memberikan pesan. “Kalau orang pulang beraktivitas tuh mandi dulu, kek. Makan dulu, kek. Ini langsung nugas. Sok sibuk lo.”

“Emang sibuk sih, yeeuuuu.”

“Nyebelin bat, asli! Gue aduin ibu lo.”

Ibu.

Aku terdiam kemudian langsung memiringkan tubuh agar laki-laki itu jatuh dari sana. Lantas, kutatap matanya yang coklat berkilau. Mengingatkanku dengan sosok ibu dan terputar dengan apik, kilasan-kilasan memori yang aku habiskan dengan beliau.

“Mas,” panggilnya, “kangen ibu, gak?”

Butuh sekitar lima menit bagiku untuk mengangguk. Haechan, laki-laki itu, lantas tersenyum. “Pulang yuk, Mas. Ketemu ibu. Ibu juga pasti kangen.”

Mendengar ucapannya, aku kembali mengangguk dan mengekor di belakangnya.

***

Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit. Biasanya, di jam segini, aku mengurung di dalam kamar, merindukan keluargaku yang jauh di sana.

Aku jarang keluar kamar saat malam-malam. Namun, saat Haechan tiba, aku tidak tahu kenapa akhirnya ikut mengekorinya dari belakang.

Memang sudah lama juga aku tidak menghirup udara malam.

Aku terus berjalan, melangkah di belakang bocah itu, sampai pada akhirnya dia menghentikan kakinya di sebuah jembatan. Haechan menoleh, menatapku sambil tersenyum.

“Gue sama ibu sebenarnya gak tega ngelepasin Mas di dunia ini,” kata Haechan, mengukir senyumnya yang seperti sabit bulan. “Tapi kalau ngeliat Mas yang uring-uringan kayak gini, malah makin pengen lo bareng kita, Mas.”

Perkataan Haechan lantas membuatku terdiam seribu bahasa. Tanpa permisi, aku bisa merasakan bulir air mata mengakses di pipiku, membuat lautan di sana.

“Mas kangen ibu?”

“Kangen.”

“Pengen ketemu ibu?”

“Pengen.”

“Yakin, 'kan?” ucapnya. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk. Membuatnya lantas memegang tanganku. “Dalam hitungan ketiga, Mas harus ngikutin gue.”

Aku mengangguk, kemudian mengarah ke depan. Sembari mengatur napas dan memejamkan mata, aku mendengar Haechan yang mulai menghitung.

“Satu.”

Ibu ... Taeil kangen kalian.

“Dua.”

Nyusul ibu, boleh ‘kan?

“Tiga.”

Taeil lelah, Bu.

“LOMPAT!”

Aku menurut, mengikuti ucapan Haechan.

Akan tetapi, sebelum semuanya terjadi, aku justru didorong oleh seseorang, membuatku terjatuh dan bisa mendengar suara air yang telah dirisak akibat seseorang melompat di sana.

Aku terbelalak. Menemukan Johnny yang memasang raut cemas. “LO APA-APAAN SIH? UDAH GILA LO, YA?”

“LO KALAU NGERASA USELESS TUH JANGAN GINI!”

Napasku tercekat, bahuku sudah naik turun dengan pompaan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku menyadari apa yang baru saja terjadi, lantas mataku memindai sekitar, tidak menemukan adikku di mana pun.

“Haechan .... Haechan,” panggilku terbata-bata.

Johnny langsung menamparku. Menyadarkanku akan sesuatu saat bilang, “SADAR BEGO. ADEK SAMA IBU LO TUH UDAH GAK ADA. MEREKA UDAH PERGI, BANG!”

Aku terdiam, mencerna ucapannya.

“Pantes, gue ngerasa aneh sama kelakuan lo yang ngomong sendiri di dalam kamar,” ucap Johnny yang terdengar frustasi. “Sadar, Bang! Haechan itu cuman ilusi yang lo bikin doang! Kalau lo ngerasa sendiri, ada gue di sini. Please, jangan ngelakuin hal gila kayak gini lagi. Gue takut asli.”

Ucapan Johnny kini membuatku tersadar akan sesuatu, “Ah ... ternyata penyakit gue kambuh lagi, ya?”

Dia Haechan.

Anak laki-laki menyebalkan dengan surai coklat keriting membelai wajahnya. Memiliki mata coklat terang yang berkilau, kerapkali membuatku iri lantaran dia mewariskannya dari ibu.

Pernah sekali, sewaktu aku menatap bulan di malam sepi, laki-laki itu membuka kamarku, kemudian bertanya. “Ngapain, Mas?”

Aku menggeleng kemudian kembali melanjutkan fokusku. Bocah itu kemudian menggeret kursi, duduk di sebelahku lalu kembali menyahut. “Mas Taeil udah nentuin mau kuliah di mana?”

Aku menggeleng. “Belum, Dek. Masih bingung.”

Dia mengangguk, kemudian ikut memusatkan matanya pada bulan. Diam-diam aku meliriknya. Cahaya rembulan yang dipantulkan di netranya begitu jernih, semakin terlihat berkilau.

Tampaknya, yang ditatap kini mengernyitkan alis, ikut membikin dahinya mengkerut. “Ngapain Mas lihat-lihat? Demen lo, ye?”

Aku langsung menabok kepalanya gemas. “Wong edan. Ya kali.”

“Teroooossss?”

“Mas cuman iri. Mata lo ngewarisin ibu soalnya,” jawabku jujur. Mendengarnya, membuat ia menarik birainya hingga setengah lingkar lalu makin mendekat padaku.

“Ya 'kan? Ya 'kan? Ya 'kan?” Haechan tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tersenyum rapih. Cara dia yang berkata begitu benar-benar annoying, makanya aku langsung mendorong wajahnya untuk menjauh.

“Minggir, ah. Jan deket-deket.”

“Aku juga ngerasa mataku mirip ibu. Cakep 'kan, ya? Temen-temen sekelas bilang kalo mataku bagus. Berkilau gitu, anjay.”

Aku hanya menggeleng dengan kelakuan narsisnya tersebut. Dia itu memang ajaib.

***

Dia Haechan.

Dia punya tawa yang adiktif. Kelewat candu, hingga seringkali rasa letihku terbayarkan akibat guyonan recehnya yang suka menyahut macam-macam.

Pernah sekali, sewaktu aku baru pulang les, Haechan menawarkan sirup jeruknya padaku. “Mau, gak? Kalau gak mau yaudah.”

Aku langsung meraihnya. Meneguk hingga tak bersisa, lantaran benar-benar capek. Selain seharian ini belajar untuk keperluan masuk PTN dan les begitu pulang sekolahnya. aku juga harus mengikuti sertijab untuk ekskul paskibraka kepada adik kelas.

Sungguh melelahkan.

Sebenarnya, niat awal begitu pulang, aku ingin mandi terlebih dahulu, lalu masuk ke alam mimpi. Akan tetapi, bocah menyebalkan itu justru menggeretku ke ruang tamu.

“Mas tahu gak? Kenapa matahari tenggelam?”

“Kenapa?” sahutku malas. Namun, laki-laki itu tidak menyukai tanggapanku, membuatnya mencebikkan bibirnya.

“Ah malesin banget langsung nyerah. Tebak dulu, dong.”

Terkadang, aku suka sebal dengan sifat menyebalkannya itu. “Karena ya emang takdirnya begitu?”

Haechan mengangguk. “Iya, sih. Bener lo, Mas. Tapi bukan itu!!”

Lantas aku mengernyit, sebagai bentuk jawaban. Bocah itu kemudian menggerakkan tangannya, seolah menyuruhku untuk mendekat. Bodohnya, aku menuruti dan membuat Haechan membisik di telingaku.

“Matahari tenggelam ....” Dia menjeda sebentar, seolah membuat suasana menjadi tegang, “karena dia gak bisa berenang lha, GOBLOOOKKKKKK.”

Dia tertawa dengan riang, tampak begitu senang membodoh-bodohiku. Tanpa aba-aba, aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Persetanan dengan ia yang mengaduh kesakitan, aku langsung bangkit membiarkan dia yang kini mengelus bokongnya sambil berteriak, “MAS TAEIL NGESELIN, IH!”

Aku mendengus mendengar teriakannya. Dia itu memang semenyebalkan itu.

***

Dia Haechan.

Punya seribu satu jurus untuk mencuri perhatianku. Entah dia yang memang ingin dipedulikan atau bagaimana, tapi laki-laki itu tahu bagaimana bereaksi sewaktu aku kelelahan sehabis pulang kuliah.

Saat tiba di kostan dan membuka pintu kamar, laki-laki itu ada di sana. Tengah membuka album foto saat kami sama-sama kecil.

“Kenapa gak bilang lo bakalan ke sini?” tanyaku lalu langsung mengeluarkan laptop. Berniat untuk melanjutkan proposal yang akan aku ajukan ke perusahaan demi mencari sponsorship.

“Lha, gimana? Mas Taeil sendiri yang manggil aku ke sini,” ucapnya. Aku mengernyit, tetapi kuabaikan bocah itu berbicara. Saat tahu aku mengacuhkannya, laki-laki itu kini ikut merangkak naik ke kasur.

Sepertinya, Haechan benar-benar sudah kehilangan adab sebab kini tanpa rasa bersalahnya, dia naik di atas tubuhku yang sedang tengkurap. “Kampret, minggir lo.”

Dia tampak masih sebal, lalu ikutan mengabaikanku dengan memberikan pesan. “Kalau orang pulang beraktivitas tuh mandi dulu, kek. Makan dulu, kek. Ini langsung nugas. Sok sibuk lo.”

“Emang sibuk sih, yeeuuuu.”

“Nyebelin bat, asli! Gue aduin ibu lo.”

Ibu.

Aku terdiam kemudian langsung memiringkan tubuh agar laki-laki itu jatuh dari sana. Lantas, kutatap matanya yang coklat berkilau. Mengingatkanku dengan sosok ibu dan terputar dengan apik, kilasan-kilasan memori yang aku habiskan dengan beliau.

“Mas,” panggilnya, “kangen ibu, gak?”

Butuh sekitar lima menit bagiku untuk mengangguk. Haechan, laki-laki itu, lantas tersenyum. “Pulang yuk, Mas. Ketemu ibu. Ibu juga pasti kangen.”

Mendengar ucapannya, aku kembali mengangguk dan mengekor di belakangnya.

***

Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit. Biasanya, di jam segini, aku mengurung di dalam kamar, merindukan keluargaku yang jauh di sana.

Aku jarang keluar kamar saat malam-malam. Namun, saat Haechan tiba, aku tidak tahu kenapa akhirnya ikut mengekorinya dari belakang.

Memang sudah lama juga aku tidak menghirup udara malam.

Aku terus berjalan, melangkah di belakang bocah itu, sampai pada akhirnya dia menghentikan kakinya di sebuah jembatan. Haechan menoleh, menatapku sambil tersenyum.

“Gue sama ibu sebenarnya gak tega ngelepasin Mas di dunia ini,” kata Haechan, mengukir senyumnya yang seperti sabit bulan. “Tapi kalau ngeliat Mas yang uring-uringan kayak gini, malah makin pengen lo bareng kita, Mas.”

Perkataan Haechan lantas membuatku terdiam seribu bahasa. Tanpa permisi, aku bisa merasakan bulir air mata mengakses di pipiku, membuat lautan di sana.

“Mas kangen ibu?”

“Kangen.”

“Pengen ketemu ibu?”

“Pengen.”

“Yakin, 'kan?” ucapnya. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk. Membuatnya lantas memegang tanganku. “Dalam hitungan ketiga, Mas harus ngikutin gue.”

Aku mengangguk, kemudian mengarah ke depan. Sembari mengatur napas dan memejamkan mata, aku mendengar Haechan yang mulai menghitung.

“Satu.”

Ibu ... Taeil kangen kalian.

“Dua.”

Nyusul ibu, boleh ‘kan?

“Tiga.”

Taeil lelah, Bu.

“LOMPAT!”

Aku menurut, mengikuti ucapan Haechan.

Akan tetapi, sebelum semuanya terjadi, aku justru didorong oleh seseorang, membuatku terjatuh dan bisa mendengar suara air yang telah dirisak akibat seseorang melompat di sana.

Aku terbelalak. Menemukan Johnny yang memasang raut cemas. “LO APA-APAAN SIH? UDAH GILA LO, YA?”

“LO KALAU NGERASA USELESS TUH JANGAN GINI!”

Napasku tercekat, bahuku sudah naik turun dengan pompaan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku menyadari apa yang baru saja terjadi, lantas mataku memindai sekitar, tidak menemukan adikku di mana pun.

“Haechan .... Haechan,” panggilku terbata-bata.

Johnny langsung menamparku. Menyadarkanku akan sesuatu saat bilang, “SADAR BEGO. ADEK SAMA IBU LO TUH UDAH GAK ADA. MEREKA UDAH PERGI, BANG!”

Aku terdiam, mencerna ucapannya.

“Pantes, gue ngerasa aneh sama kelakuan lo yang ngomong sendiri di dalam kamar,” ucap Johnny yang terdengar frustasi. “Sadar, Bang! Haechan itu cuman ilusi yang lo bikin doang! Kalau lo ngerasa sendiri, ada gue di sini. *Please, * jangan ngelakuin hal gila kayak gini lagi. Gue takut asli.”

Ucapan Johnny kini membuatku tersadar akan sesuatu, “Ah ... ternyata penyakit gue kambuh lagi, ya?”

Juni gelisah.

Ia sudah mondar-mandir di ruang tamu, demi menunggu kehadiran abangnya yang sedari tadi belum menampakkan batang hidungnya. Berulang kali dia menelpon Bima, tapi jawabannya tetap nihil. Operator yang justru memenuhi indera pendengarannya.

Beruntung, sejak tiga hari yang lalu, ibu dan bapaknya pergi untuk mengunjungi rumah neneknya. Kalau tahu abangnya belum pulang hingga selarut ini, pasti bapak sudah mencak-mencak dan mengatakan, “Gak usah pulang aja sekalian.”

Bapak itu memang tegas, si pencari nafkah dan yang paling ditakutin oleh kedua anaknya. Makanya, waktu bapak dan ibu pergi, kedua anaknya justru bebas berkeliaran.

Tetapi kalau seperti ini, harusnya Bima tahu, bocah gila mana yang nyari angin hingga pukul dua pagi?!

“Dia tuh lagi ngejernihin pikiran apa ngejernihin ciliwung, sih? Lama bat buset,” ucap Juni. Baru saja Juni ingin menelpon abangnya sekali lagi, ia mendengar suara deru motor familiar yang mulai memasuki pekarangan rumahnya. Juni melirik di balik tirai dan menemukan abangnya turun dari motor.

Juni membanting pintu, lalu berkacak pinggang. “Ngapain aja sih lo—“

Ucapan Juni tergantung, lantaran ia menemukan mobil merah yang ia kenali juga terparkir di depan rumahnya. Menemukan laki-laki tinggi berpirang tengah keluar dari mobil mengenakan hoodie hitamnya.

Juni menahan napas sebentar, matanya terlalu fokus pada laki-laki itu sampai tidak menyadari kini abangnya sudah berdiri di muka pintu sembari menggendong seseorang.

“Heh, pamali anak perawan bediri di depan pintu! Minggir lo,” ucap Bima. Juni tersadar dan melihat seorang perempuan di punggungnya.

“MAS, INI BUKANNYA—“

“Ssht, diem.” Itu bukan suara dari Bima, tapi Julian yang berbicara begitu dengan dingin. Juni pun langsung menurut.

“Ini gimana ceritanya Lara lo bawa ke sini, Mas?” ucap Juni. Bima menghela napas.

“Udah deh lo diem, bawa nih cewek ke kamar lo.”

“Kok kamar gue?”

“Ya masa kamar gue?”

Juni berohria. Ia, Julian, dan Bima—yang menggendong Lara—menaiki tangga, membawanya menuju lantai dua. Kamar bapak dan ibu memang dikunci, mengakibatkan Juni harus rela kamarnya untuk sementara waktu diambil alih.

“Mas, terus gue tidur di mana?”

“Yaudah di kamar gue.”

“Berdua ama lo?”

“Lo mau? Ya gapapa, sih. Pas kecil ‘kan lo demen tidur bareng gue.”

“Ngawur lo, ya.” Juni menabok bahu Bima, sembari mencibir. “Udah beda cerita. Lo tuh udah gede, udah bujang. Sadar diri badan lo kayak megalodon.”

“Pede lu.”

Julian yang di belakang mereka hanya tertawa melihat kelakuan si saudara kandung. Tidak lama setelah itu, Bima mendengar phonsel Lara yang berbunyi. Diraih phonsel itu dan menemukan nada panggilan dari Seren yang ia tidak ketahui siapa.

”Hallo, Lara?! Lo udah sampe belom?”

Bima meringis, kemudian menyalakan speaker membuat Juni dan Julian saling berpandangan.

”Heh, jawab kampret.”

Bima mengode Juni untuk berbicara, tapi Juni tidak berani begitu pula dengan Julian.

”Ra, woi?!”

“Hallo.”

”....”

Tidak ada jawaban untuk sementara waktu, tetapi butuh dua menit berikutnya Seren langsung berteriak nyaring.

”KOK COWOK?! WOI SIAPE LO?! LO APAIN TEMEN GUE BANGSAT?! GAK PUNYA DUIT LO SAMPE NGAPA-NGAPAIN CEWEK MABOK?! COWOK MURAH—CUIH, GAK! LO ITU COWOK GRATISAN!”

Baik Bima, Juni, bahkan Julian meringis sembari menggelengkan kepalanya. Pikiran mereka pasti sama.

Temennya Lara serem bat buset dah.

Juni gelisah.

Ia sudah mondar-mandir di ruang tamu, demi menunggu kehadiran abangnya yang sedari tadi belum menampakkan batang hidungnya. Berulang kali dia menelpon Bima, tapi jawabannya tetap nihil. Operator yang justru memenuhi indera pendengarannya.

Beruntung, sejak tiga hari yang lalu, ibu dan bapaknya pergi untuk mengunjungi rumah neneknya. Kalau tahu abangnya belum pulang hingga selarut ini, pasti bapak sudah mencak-mencak dan mengatakan, “Gak usah pulang aja sekalian.”

Bapak itu memang tegas, si pencari nafkah dan yang paling ditakutin oleh kedua anaknya. Makanya, waktu bapak dan ibu pergi, kedua anaknya justru bebas berkeliaran.

Tetapi kalau seperti ini, harusnya Bima tahu, bocah gila mana yang nyari angin hingga pukul dua pagi?!

“Dia tuh lagi ngejernihin pikiran apa ngejernihin ciliwung, sih? Lama bat buset,” ucap Juni. Baru saja Juni ingin menelpon abangnya sekali lagi, ia mendengar suara deru motor familiar yang mulai memasuki pekarangan rumahnya. Juni melirik di balik tirai dan menemukan abangnya turun dari motor.

Juni membanting pintu, lalu berkacak pinggang. “Ngapain aja sih lo—“

Ucapan Juni tergantung, lantaran ia menemukan mobil merah yang ia kenali juga terparkir di depan rumahnya. Menemukan laki-laki tinggi berpirang tengah keluar dari mobil mengenakan hoodie hitamnya.

Juni menahan napas sebentar, matanya terlalu fokus pada laki-laki itu sampai tidak menyadari kini abangnya sudah berdiri di muka pintu sembari menggendong seseorang.

“Heh, pamali anak perawan bediri di depan pintu! Minggir lo,” ucap Bima. Juni tersadar dan melihat seorang perempuan di punggungnya.

“MAS, INI BUKANNYA—“

“Ssht, diem.” Itu bukan suara dari Bima, tapi Julian yang berbicara begitu dengan dingin. Juni pun langsung menurut.

“Ini gimana ceritanya Lara lo bawa ke sini, Mas?” ucap Juni. Bima menghela napas.

“Udah deh lo diem, bawa nih cewek ke kamar lo.”

“Kok kamar gue?”

“Ya masa kamar gue?”

Juni berohria. Ia, Julian, dan Bima—yang menggendong Lara—menaiki tangga, membawanya menuju lantai dua. Kamar bapak dan ibu memang dikunci, mengakibatkan Juni harus rela kamarnya untuk sementara waktu diambil alih.

“Mas, terus gue tidur di mana?”

“Yaudah di kamar gue.”

“Berdua ama lo?”

“Lo mau? Ya gapapa, sih. Pas kecil ‘kan lo demen tidur bareng gue.”

“Ngawur lo, ya.” Juni menabok bahu Bima, sembari mencibir. “Udah beda cerita. Lo tuh udah gede, udah bujang. Sadar diri badan lo kayak megalodon.”

“Pede lu.”

Julian yang di belakang mereka hanya tertawa melihat kelakuan si saudara kandung. Tidak lama setelah itu, Bima mendengar phonsel Lara yang berbunyi. Diraih phonsel itu dan menemukan nada panggilan dari Seren yang ia tidak ketahui siapa.

”Hallo, Lara?! Lo udah sampe belom?”

Bima meringis, kemudian menyalakan speaker membuat Juni dan Julian saling berpandangan.

”Heh, jawab kampret.”

Bima mengode Juni untuk berbicara, tapi Juni tidak berani begitu pula dengan Julian.

”Ra, woi?!”

“Hallo.”

”....”

Tidak ada jawaban untuk sementara waktu, tetapi butuh dua menit berikutnya Seren langsung berteriak nyaring.

*”KOK COWOK?! WOI SIAPE LO?! LO APAIN TEMEN GUE BANGSAT?! GAK PUNYA DUIT LO SAMPE NGAPA-NGAPAIN CEWEK MABOK?! COWOK MURAH—GAK, LO ITU COWOK GRATISAN!”

Baik Bima, Juni, bahkan Julian meringis sembari menggelengkan kepalanya. Pikiran mereka pasti sama.

Temennya Lara serem bat buset dah.

Bima berulang kali menggertakkan giginya, sekali-kali ia bersin-bersin, lantaran dingin sesungguhnya ingin membekukan tubuhnya.

Jujur, Bima tadi memakai leather jaketnya, tapi kini sudah berpindah majikan pada seorang wanita yang bisa-bisanya meracau tidak jelas di saat kondisi seperti ini.

Bima tidak menduga, kalau orang yang berada di sebelahnya itu perempuan yang ia dan Arimbi bahas beberapa jam yang lalu.

Ini Lara Venya, coy!

Gila kali, ya.

Bima sebenarnya hanya tahu nama Lara Venya ini sering diperbincangkan oleh orang-orang sekitarnya, tetapi dia tidak tahu siapa sosok aslinya. Bima sejujurnya cukup terkejut, orang gila mana yang tiba-tiba nempel mendekati dia sambil narik ujung bajunya.

Untung Bima baik lantaran dia masih punya simpatik untuk mengantarkannya pulang.

Bau alkohol yang menyeruak pun membuat Bima cukup mengganggu dan makin menghela napas. “Aduh anjir, ini mana sih Julian?”

Panjang umur, mobil merah yang amat Bima kenali, kini berhenti di hadapannya. Laki-laki tinggi, tapi kerempeng itu menenteng kantong kresek. Sebelum memberikannya pada Bima, Julian mengernyit, menatap Bima tak percaya.

“ANJIR, BIM!” Julian menjerit, membuat Bima menaikkan alisnya. “Sinting dah lo. Jangan dibiarin anaknya tidur di aspal, kek!”

Iya, kalian gak salah baca. Bima memang membiarkan Lara tiduran di aspal yang masih meracau tidak jelas.

“Gak ada akhlak lo.”

“Bodo amat. Musuhnya Arimbi musuhnya gue juga.” Bima mengendikkan bahunya lalu menyengir. “Angzai.”

“Pale lo anjay. Ambil nih cepetan, bantuin gue bawa ke mobil.”

“Apenih?” Bima membuka kantong kresek yang diberikan oleh Julian kemudian mengangguk melihat botol air mineral satu setengah liter berisikan bensin di dalamnya. “Emang dah, Jul. Lo emang pengertian banget, gue aja ampe lupa buat minta dibawain bensin.”

“Iya lah gue. Emang elo yang gak ada adab banget anak cewek dibiarin tidur di jalan.”

“Gue masih ada keprimanusiaan ya nemenin dia begini. Walaupun gue masih gondok dengerin cerita Arimbi yang ditinggalin gara-gara tuh si brengsek pergi bareng ini cewek,” keluh Bima, lalu menggendong perempuan itu ke punggungnya dan memasukkannya ke dalam mobil.

Cukup tahu aja, kalau Julian yang disuruh gendong, Bima ngeri pulang-pulang cowok itu minta dikasih salonpas gara-gara salah urat.

Waktu Bima menutup pintu mobil, tiba-tiba Julian memanggil namanya.

Btw, Bim.”

“Kenapa?”

“Mulangin anak ini ke mana dah?”

“LHA IYA SI BEGO!”

Curahan Hati Si Anak Tengah

Entah sudah kesekian kalinya, hari ini Dewa menghela napas. Banyak pemikiran rumit yang membuatnya merasa otaknya akan meledak detik itu juga, karena seolah-olah perkataan-perkataan yang Lara lontarkan beberapa jam yang lalu, benar-benar menghabiskan seluruh mental dan fisiknya.

Dia benar-benar lelah hari ini. Kala mobilnya telah tiba di pekarangan Rumah Rajananda dan membiarkan pelayan yang telah bertahun-tahun mengabdi pada keluarganya, untuk memasukannya ke dalam garasi. Dewa mengendurkan dasi hitam yang menyekik lehernya, membuatnya menghirup napas sedikit tamak, sembari mengacak tatanan rambutnya.

Dia menyampirkan jas hitam yang dia pakai ke lengannya, lalu meniti tangga, sebelum satu suara mencegat langkahnya.

“Ngapain aja kamu, Dewa?” Itu suara ibunya yang mengintimidasi pergerakan Dewa, membuat pemuda itu menelan salivanya susah payah.

“Ya dari luar?”

“Ibu nanya, ngapain aja kamu di luar, Bara Dewa Rajananda?” Kalau ibunya sudah memanggilnya dengan nama lengkap, Dewa tahu sekarang kondisinya berada dalam situasi berbahaya.

“Dewa ‘kan tadi makan sama Arimbi, Bu.”

“Makan sama Arimbi atau makan sama cewek gak jelas satu itu?”

Mampus, Dewa ketahuan.

Padahal, baru saja Lara mencemaskan tentang kemungkinan yang akan terjadi apabila mereka ketahuan, ternyata sudah secepat ini aromanya kecium.

“Kamu udah bohongin ibu, lho Dew. Sadar gak sih udah seberapa jauh kamu berada di lingkar dosa?” Nada perempuan paruh baya itu sudah kecewa. Dia menatap Dewa dengan bengis. “Udah ibu bilangin berapa kali sih sama kamu? Jauhin perempuan gak jelas kayak gitu.”

“Kenapa sih, ibu benci banget sama Lara? Emang Lara ada salah apaan sama ibu?!” Dewa tanpa sadar membentak, meninggikan oktafnya, membuat pelayan-pelayan yang berada di sana langsung mundur untuk kembali beraktivitas.

Tidak ada satu pun dari mereka yang membuka suara, sebab pikiran mereka sudah tahu seberapa berbahayanya kala anak tengah Rajananda yang pendiam sudah berani membentak ibunya.

“Latar belakang anak itu gak jelas, Dewa! Anak itu gak beretika!”

“Ibu sama ayah cuman mikirin reputasi perusahaan, tapi pernah gak sekali pun ibu mikirin perasaan anaknya? Dari dulu, aku diam dan nurut waktu kalian masih ngekang kami. Aku cuman diam waktu ibu terlalu membanggakan Bang Gio, cuman diam waktu ibu terlalu memanjakan Rezan. Aku nurut selalu sama peraturan ibu. Tapi, kenapa urusan jodoh pun ibu juga yang urus? Kapan aku hidup bebas, Bu? Dewa bukan anak kecil lagi!!”

Netra hitam Dewa sudah tajam, dia tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lantas menaiki tangga untuk ke tujuan awalnya, yaitu ke kamar. Mengacuhkan ibunya yang berulang kali memanggil namanya.

Rahang Dewa benar-benar mengetat sekarang, dia sudah tidak bisa mengendalikan emosinya yang selama ini ditahan. Ditendang bola yang selama ini jadi bentuk pelampiasannya ke pintu dan langsung menjatuhkan dirinya pada kasur.

Napas Dewa sudah memburu, ia benar-benar marah sekarang. Dewa lantas langsung merogoh phonselnya di saku celananya.

Satu hal yang pasti, di kala malam yang sepi, Dewa menghubungi Arimbi.

Tentang Arimbi, Dewa, dan Gaun Pernikahan.

Arimbi membaca pesan yang Dewa kirimkan padanya. Ia menoleh pada Dewa yang kini menurunkan phonselnya, melirik pemuda itu yang balik menatap netra hitamnya.

Tanpa bersuara, Dewa menggerakan birainya. Seolah tengah berbisik, “Jangan kasih tau ibu.”

Arimbi hanya mengangguk pasrah, tanpa bisa menyangkal apapun.

“Arimbi.” Panggilan dari suara Ibu Dewa, membuatnya tersentak dan tersenyum canggung. “Kenapa, Nak?”

Sejujurnya, walaupun Arimbi tidak melirik, ia bisa merasakan tatapan mengintimidasi Dewa yang rasanya benar-benar menembus, sampai membuat Arimbi bisa merasakan aura menyeramkannya.

“Gak apa-apa, Bu. Arimbi cuman capek,” jawab Arimbi sekenanya.

“Udah makan belum sebelum ke sini?”

Arimbi menyengir, membuat Ibu Dewa kini menatap anak tengahnya. “Dewa, kok kamu gak anterin Arimbi makan dulu, sih?”

Dewa yang sibuk memainkan phonselnya kini mengernyit bingung.

“Abis ini kamu anterin Arimbi makan dulu. Jangan dibiarin pulang dengan perut kosong.”

Mampus

Gak tahu kenapa, sepertinya Arimbi makin memperkeruh suasana, sebab setelahnya kini Dewa menghela napas dengan berat.

###

“Dewa, jangan lupa sama pesan ibu.”

“Iya, bu. Entar Dewa anterin makan.”

Jawaban dari Dewa, lagi-lagi membuat Arimbi tersenyum tipis. Kini, perempuan paruh baya itu langsung memeluk Arimbi erat.

Tidak tahu kenapa, pelukan dari Ibu Dewa benar-benar hangat. Seperti dekapan pemberi kasih sayang layaknya ibu ke anaknya.

Sejujurnya, setelah dunianya hancur, ketika dunia membencinya, Arimbi tidak pernah merasa aman. Tidak pernah merasa terlindungi, meskipun Bima telah mengerahkan semuanya pada Arimbi.

Dia memang mendapatkan dorongan dari temannya, tapi kalau urusan orang tua, sayangnya Arimbi tidak mendapatkan itu. Makanya, di dalam kukungan Ibu Dewa, diam-diam Arimbi menangis.

Setelah pelukannya mengendur, Ibu Dewa mengelus pipi Arimbi, kemudian tersenyum. “Urusan cincin, biar kalian aja yang milih. Ibu tadi udah ngasih tau teman ibu buat bantuin urusin.”

Arimbi mengangguk, ia juga sempat melirik Dewa yang menatapnya.

Tatapannya Dewa itu, lho. Dalam bener.

Setelah perawakan wanita paruh baya itu pergi, Dewa melipatkan tangannya. “Lo pake jurus apaan? Sampai bisa bikin Ibu gue sesuka itu sama lo?”

“Hah?”

“Gue cuman bingung, kok lo bisa. Tapi, Lara kayaknya susah banget, deh.”

Lara lagi ... Lara lagi. Siapa sih dia?

Lantas, Arimbi menghela napas, mengekori Dewa di belakangnya.

###

Sepertinya, jangan mengharapkan Dewa apapun padanya. Walaupun sudah dititipin pesan, Dewa tidak benar-benar patuh dengan perintahnya.

Dewa tidak mengantarkannya ke tempat makan, tapi pemuda itu benar-benar serius tentang diturunkan di stasiun.

Setelah mobil sudah berhenti sepenuhnya, Dewa tanpa menoleh bilang, “Turun.”

“Tapi, Dew. Ojolnya belum ada yang nerima.”

“Entar juga diterima,” jawab Dewa singkat. “Buru, Arimbi. Lara udah nungguin.”

Arimbi menghela napas, kemudian membuka pintu mobilnya.

Tanpa berkata-kata, tanpa mengucapkan selamat tinggal, tanpa bilang hati-hati.

Dewa meninggalkan Arimbi sendirian di kala angin malam yang dingin, menusuk kulitnya sewaktu perut kosong.

Panggil gue Dewa aja.

Barangkali, jika takdirnya mampu memberinya kesempatan antara menikah di usia tua, tetapi menemukan her truly love atau menikah di usia dini, tetapi sering dikhianati. Maka, Arimbi lebih baik menikah di usia tua, tetapi mendapatkan pasangan sehidup-sematinya.

Atau paling banter dia tidak akan pernah menikah seumur hidup.

Sebenarnya, dalam kehidupannya dia tidak pernah merasa pernikahan adalah kebutuhan yang wajib. Bahkan, selama ini dia tidak pernah membayangkan pernikahan ideal seperti apa yang ia inginkan. Bisa dikatakan, mengikatkan seseorang atas nama hukum menjadi daftar kesekian Arimbi yang akan ia lakukan di masa menanti.

Menjadi wanita sukses dengan karir gemilang bisa dikatakan goal yang benar-benar ia inginkan.

Sayangnya, takdir berkata lain. Benang yang terlanjur terajut, justru memposisikan Arimbi pada zona yang sama sekali susah untuk ia beradaptasi. Dia seolah gelisah dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Ah, tidak-tidak.

Itu bukan kemungkinan, tetapi sudah menjadi keputusan akhir bagaimana kehidupan rumah tangga Arimbi.

Sepertinya, tidak sampai tiga tahun, pernikahan Arimbi tidak akan bisa diselamatkan.

’Dewa kampret. Belum juga mulai, gue bakalan jadi janda.’

Arimbi benar-benar gemas, rasanya ’pengen tak hiiihhh ....’ Namun, saat melihat Dewa yang datang menjemputnya memamerkan wajah tegasnya dengan tatapan tajam yang seolah bisa menguliti siapapun detik itu juga, bikin nyali Arimbi menciut.

Makanya, selama di perjalanan, Arimbi hanya terdiam di dalam mobil Dewa. Atmosfernya canggung, kelewat kaku, bahkan kanebo kering aja lewat.

Birai bawah Arimbi telah ia basahi, karena sejujurnya dia tidak bisa diam. Kalau dengan Bima, pasti sudah banyak obrolan, serapahan, candaan yang dilemparkan. Benar-benar larut seperti pipa air rucika, mengalir sampai jauh.

Ah, jadi kangen Bima ....

“Ehem.” Arimbi menoleh, melihat Dewa yang kini berdeham dengan matanya yang fokus pada jalanan.

Kalau dia Bima, mungkin Arimbi sudah menyahut, “Lagi check sound atau lagi ngapain, Mas? ‘Ehem’-nya bau tanah soalnya.”

Tapi sayangnya ini Dewa, bukan Bima.

Tuh ‘kan lagi-lagi Bima.

“Nama lo—“ Dewa menjeda sebentar, membuat Arimbi sedikit terkejut.

“Lho, bisa ngo—“ Nyaris saja Arimbi menyelesaikan ucapannya. Secepat itu pula, perempuan itu menepuk mulutnya. “—Maaf-maaf. Saya asal jeplak, Om.”

“OM?!” Arimbi tersentak, karena Dewa berteriak.

“Emang, gue setua itu?” Dewa tersenyum sinis, lebih tepatnya menyeringai melihat Arimbi yang kebingungan. “Gila, gue yang katanya pengusaha muda, bisa-bisanya dipanggil Om.”

”Sorry ... sorry, abis saya panik,” jawab Arimbi sekenanya.

Dewa lagi-lagi menyeringai. “Panggil gue Dewa aja.”

“Oke ....” Arimbi menahan ucapannya. “Omong-omong, nama lengkapnya—“

“Bara Dewa Rajananda. Serah lo deh manggil gue Dewa, Raja, apa Nanda. Tapi jangan sekali-kali panggil gue Bara.”

Arimbi mengernyit. “Kenapa?”

“Cuman Lara yang manggil gue Bara.”

Arimbi yang mendengar nama Lara langsung mendengus. Membuat, Dewa mengernyit. Apalagi, melihat perempuan itu diam-diam tersenyum.

Menampilkan giginya yang tersusun rapih.

“Kalau suatu saat anak itu, Arimbi, manggil kamu Bara apa yang terjadi?”

Dewa tersentak, mengerem mobilnya mendadak, membuat tubuh Arimbi nyaris menghantam dasboard kalau saja ia tidak mengenakan seatbelt.

Sekarang, giliran Arimbi yang terkejut dengan ucapannya.

’Ah, sial. Kebiasaan buruknya kembali kambuh.’

Panggil gue Dewa aja.

Barangkali, jika takdirnya mampu memberinya kesempatan antara menikah di usia tua, tetapi menemukan her truly love atau menikah di usia dini, tetapi sering dikhianati. Maka, Arimbi lebih baik menikah di usia tua, tetapi mendapatkan pasangan sehidup-sematinya.

Atau paling banter dia tidak akan pernah menikah seumur hidup.

Sebenarnya, dalam kehidupannya dia tidak pernah merasa pernikahan adalah kebutuhan yang wajib. Bahkan, selama ini dia tidak pernah membayangkan pernikahan ideal seperti apa yang ia inginkan. Bisa dikatakan, mengikatkan seseorang atas nama hukum menjadi daftar kesekian Arimbi yang akan ia lakukan di masa menanti.

Menjadi wanita sukses dengan karir gemilang bisa dikatakan goal yang benar-benar ia inginkan.

Sayangnya, takdir berkata lain. Benang yang terlanjur terajut, justru memposisikan Arimbi pada zona yang sama sekali susah untuk ia beradaptasi. Dia seolah gelisah dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Ah, tidak-tidak.

Itu bukan kemungkinan, tetapi sudah menjadi keputusan akhir bagaimana kehidupan rumah tangga Arimbi.

Sepertinya, tidak sampai tiga tahun, pernikahan Arimbi tidak akan bisa diselamatkan.

’Dewa kampret. Belum juga mulai, gue bakalan jadi janda.’

Arimbi benar-benar gemas, rasanya ’pengen tak hiiihhh ....’ Namun, saat melihat Dewa yang datang menjemputnya memamerkan wajah tegasnya dengan tatapan tajam yang seolah bisa menguliti siapapun detik itu juga, bikin nyali Arimbi menciut.

Makanya, selama di perjalanan, Arimbi hanya terdiam di dalam mobil Dewa. Atmosfernya canggung, kelewat kaku, bahkan kanebo kering aja lewat.

Birai bawah Arimbi telah ia basahi, karena sejujurnya dia tidak bisa diam. Kalau dengan Bima, pasti sudah banyak obrolan, serapahan, candaan yang dilemparkan. Benar-benar larut seperti pipa air rucika, mengalir sampai jauh.

Ah, jadi kangen Bima ....

“Ehem.” Arimbi menoleh, melihat Dewa yang kini berdeham dengan matanya yang fokus pada jalanan.

Kalau dia Bima, mungkin Arimbi sudah menyahut, *“Lagi check sound atau lagi ngapain, Mas? ‘Ehem’-nya bau tanah soalnya.”*

Tapi sayangnya ini Dewa, bukan Bima.

Tuh ‘kan lagi-lagi Bima.

“Nama lo—“ Dewa menjeda sebentar, membuat Arimbi sedikit terkejut.

“Lho, bisa ngo—“ Nyaris saja Arimbi menyelesaikan ucapannya. Secepat itu pula, perempuan itu menepuk mulutnya. “—Maaf-maaf. Saya asal jeplak, Om.”

“OM?!” Arimbi tersentak, karena Dewa berteriak.

“Emang, gue setua itu?” Dewa tersenyum sinis, lebih tepatnya menyeringai melihat Arimbi yang kebingungan. “Gila, gue yang katanya pengusaha muda, bisa-bisanya dipanggil Om.”

”Sorry ... sorry, abis saya panik,” jawab Arimbi sekenanya.

Dewa lagi-lagi menyeringai. “Panggil gue Dewa aja.”

“Oke ....” Arimbi menahan ucapannya. “Omong-omong, nama lengkapnya—“

“Bara Dewa Rajananda. Serah lo deh manggil gue Dewa, Raja, apa Nanda. Tapi jangan sekali-kali panggil gue Bara.”

Arimbi mengernyit. “Kenapa?”

“Cuman Lara yang manggil gue Bara.”

Arimbi yang mendengar nama Lara langsung mendengus. Membuat, Dewa mengernyit. Apalagi, melihat perempuan itu diam-diam tersenyum.

Menampilkan giginya yang tersusun rapih.

“Kalau suatu saat anak itu, Arimbi, manggil kamu Bara apa yang terjadi?”

Dewa tersentak, mengerem mobilnya mendadak, membuat tubuh Arimbi nyaris menghantam dasboard kalau saja ia tidak mengenakan seatbelt.

Sekarang, giliran Arimbi yang terkejut dengan ucapannya.

’Ah, sial. Kebiasaan buruknya kembali kambuh.’