Write.as

Malam

#Malam 23.00

Suara bising, remang malam, serta-merta gemericik gerimis di luar sana, menampik hal itu berlaku serupa pada suasana di mobil saat ini.

Hening.

Benar-benar senyap. Bahkan Anggi rasa, detak jantungnya yang berdebar lebih cepat menjadi satu-satunya dentuman yang mengaku bila mereka masih hidup, meski keadaan mati layaknya pemakaman.

Harmoni langit di luar sana dengan nada rintik, sebatas iringan tak berguna. Tidak ada yang bersuara, tetapi Anggi tak tahu kenapa justru merasa nyaman.

Kediaman tanpa konversasi, akan dia sampaikan suatu saat pada dirinya di tahun 2013 untuk mengenangnya lekat. Bahwa bayangan akan punggung lebar yang selalu menjadi pandangan favoritnya, kini terealisasikan dengan pemuda itu yang akhirnya bisa di sampingnya.

Entah Anggi harus katakan butuh empat tahun atau justru sepuluh untuk bisa di titik ini, tetapi nominal tersebut tak ada apa-apanya.

Anggi bahagia.

Benar-benar bahagia sebatas dekat dengan Baskara yang kini radarnya menjadi lebih dekat dari terakhir kali ia ingat. Manifestasi rasa yang tak bisa Anggi ungkap lagi.

Ia menyukainya. Bau petrikor yang terlarut bersama wangi tubuh Baskara, jalan tol di daerah Sudirman, dinginnya malam bersatu oleh AC mobil, semuanya. Akan selamanya ia kenang.

“Bas.” Akhirnya, keheningan yang sedari tadi mengambil alih, lantas pecah pada Anggi yang menoleh.

“Capek, gak? Seharian ini lo kan ke luar? Gue aja yang nyetir, ya?” terang Anggi menatapnya khawatir. Tak kunjung mendapatkan jawaban, Anggi memanyunkan bibirnya. Menghela napas kemudian menempelkan kepalanya pada jendela mobil.

“Bas.”

“Apaan?”

“Lo pernah gak ngerasain hari di mana lo bahagianya pake banget?”

Baskara mendengkus pelan. “Lo sendiri?”

“Pernah! Waktu gue akhirnya ngeliat muka papa, mama, dan Arya yang nyambut kehadiran gue di Madrid,” jelas Anggi pelan. “Tetapi itu gak berlangsung lama.”

“Kenapa?”

“Karena gue denger ....” Napas Anggi tercekat, merasa sesak karena begitu berat sekadar mengatakannya.

Baskara yang seolah paham, langsung tersenyum tipis. “Karena gue meninggal, ya?”

Anggi tertegun, meski perlahan mengangguk dengan matanya yang memerah. Mati-matian menahan tangis, meski pada akhirnya ia kalah. Buliran itu mengalir tanpa permisi. Buat Baskara yang melihatnya langsung terkekeh.

“Secinta mati itu ya lo sama gue?”

“YA IYALAH! Segala make nanya,” hardik Anggi ganas, meski Baskara lagi-lagi mengulum senyum tipis. “Bahkan, gue juga mau bilang kalau hari ini juga jadi rekor sejarah gue, Bas. Akhirnya gue bisa night drive sama lo seperti apa yang gue cita-citakan.”

Baskara tak kunjung menyahut, kedua tangannya memegang setir. Mencengkram erat sampai dengkusan remeh keluar dari mulutnya. Pemuda itu lantas menepikan mobil.

Tanpa harus laki-laki itu menoleh, tetapi Anggi bisa melihat raut pemuda itu yang sulit diartikan. Rahangnya tiba-tiba saja menegas. “Kalau lo tahu kehidupan asli gue yang jauh dari kata baik-baik aja, pasti lo bakal bilang gue menyedihkan.”

“Bas.”

“Gue udah bilang berulang kali sama lo, ‘kan? Gue gak suka lo, Gi. Keberadaan lo gak masuk akal. Di luar nalar. Tempat ini juga bukan tempat lo, Gi.”

“Baskara ....”

“Anggi, gue mohon.” Baskara menoleh. Menatapnya lekat dengan kedua netranya mematri tepat di kelereng hitam Anggi. “Tempat ini bahaya, Gi. Bukan berarti lo balik ke sini bakal aman-aman aja. Kenapa sih, lo ngelakuin hal nekat demi nyelametin gue? Gue gak pantes disukain sama—“

Anggi tiba-tiba saja menaruh tangannya di puncak surai Baskara. Mengelusnya pelan dan berulang kali melakukannya, sampai Baskara pun membisu.

“Lo hebat banget ya, Bas? Di tengah pusingnya kehidupan lo, masih sanggup buat ikutin organisasi. Ngeliat lo pulang malem demi rapat dan masih bisa bertahan sebagai mahasiswa kesayangan dosen karena pinter. Kalau bukan karena Januar, gue baru tahu kalau lo punya band kecil-kecilan bareng temen lo dan dapetin duit dari sana. Bahkan ketika dunia jahat sama lo, lo sebisa mungkin buat makan teratur, walaupun ngunyah aja kadang ogah-ogahan.”

Anggi tersenyum. Menepuk puncak Baskara lagi sembari terkekeh pelan. “Baskara anak baik. Bener-bener anak baik, anak pinter, juga ganteng. Itu semua karena mama lo, ‘kan?”

Baskara mengernyitkan alis. Raut wajahnya kini memerah. Menatap gadis di hadapannya dengan pandangan sulit diartikan.

“Mama lo pasti bangga. Baskara kecil yang masih keliaran buat main bola di lapangan pasti bakal bangga karena kehidupan lo yang sekeren ini.”

“Jangan ngerasa lo gak pantes disukain, Bas. Mau kehidupan lo semenyedihkan apapun, itu gak nyangkal tentang fakta kalau gue beneran suka sama lo. Gue beneran sayang sama lo, Bas. Dari situ aja udah kelihatan kalau lo pantes buat bahagia dan disuka.”

Anggi mengelus punggung tangan Baskara yang kini menunduk. Perlahan merasa jemari besar pemuda itu menautkan di sela jarinya. Menggenggamnya erat sampai Anggi tersenyum tipis.

“Bahagia selalu ya, Bas? Apapun yang terjadi.”

##Malam 23.00

Suara bising, remang malam, serta-merta gemericik gerimis di luar sana, menampik hal itu berlaku serupa pada suasana di mobil saat ini.

Hening.

Benar-benar senyap. Bahkan Anggi rasa, detak jantungnya yang berdebar lebih cepat menjadi satu-satunya dentuman yang mengaku bila mereka masih hidup, meski keadaan mati layaknya pemakaman.

Harmoni langit di luar sana dengan nada rintik, sebatas iringan tak berguna. Tidak ada yang bersuara, tetapi Anggi tak tahu kenapa justru merasa nyaman.

Kediaman tanpa konversasi, akan dia sampaikan suatu saat pada dirinya di tahun 2013 untuk mengenangnya lekat. Bahwa bayangan akan punggung lebar yang selalu menjadi pandangan favoritnya, kini terealisasikan dengan pemuda itu yang akhirnya bisa di sampingnya.

Entah Anggi harus katakan butuh empat tahun atau justru sepuluh untuk bisa di titik ini, tetapi nominal tersebut tak ada apa-apanya.

Anggi bahagia.

Benar-benar bahagia sebatas dekat dengan Baskara yang kini radarnya menjadi lebih dekat dari terakhir kali ia ingat. Manifestasi rasa yang tak bisa Anggi ungkap lagi.

Ia menyukainya. Bau petrikor yang terlarut bersama wangi tubuh Baskara, jalan tol di daerah Sudirman, dinginnya malam bersatu oleh AC mobil, semuanya. Akan selamanya ia kenang.

“Bas.” Akhirnya, keheningan yang sedari tadi mengambil alih, lantas pecah pada Anggi yang menoleh.

“Capek, gak? Seharian ini lo kan ke luar? Gue aja yang nyetir, ya?” terang Anggi menatapnya khawatir. Tak kunjung mendapatkan jawaban, Anggi memanyunkan bibirnya. Menghela napas kemudian menempelkan kepalanya pada jendela mobil.

“Bas.”

“Apaan?”

“Lo pernah gak ngerasain hari di mana lo bahagianya pake banget?”

Baskara mendengkus pelan. “Lo sendiri?”

“Pernah! Waktu gue akhirnya ngeliat muka papa, mama, dan Arya yang nyambut kehadiran gue di Madrid,” jelas Anggi pelan. “Tetapi itu gak berlangsung lama.”

“Kenapa?”

“Karena gue denger ....” Napas Anggi tercekat, merasa sesak karena begitu berat sekadar mengatakannya.

Baskara yang seolah paham, langsung tersenyum tipis. “Karena gue meninggal, ya?”

Anggi tertegun, meski perlahan mengangguk dengan matanya yang memerah. Mati-matian menahan tangis, meski pada akhirnya ia kalah. Buliran itu mengalir tanpa permisi. Buat Baskara yang melihatnya langsung terkekeh.

“Secinta mati itu ya lo sama gue?”

“YA IYALAH! Segala make nanya,” hardik Anggi ganas, meski Baskara lagi-lagi mengulum senyum tipis. “Bahkan, gue juga mau bilang kalau hari ini juga jadi rekor sejarah gue, Bas. Akhirnya gue bisa night drive sama lo seperti apa yang gue cita-citakan.”

Baskara tak kunjung menyahut, kedua tangannya memegang setir. Mencengkram erat sampai dengkusan remeh keluar dari mulutnya. Pemuda itu lantas menepikan mobil.

Tanpa harus laki-laki itu menoleh, tetapi Anggi bisa melihat raut pemuda itu yang sulit diartikan. Rahangnya tiba-tiba saja menegas. “Kalau lo tahu kehidupan asli gue yang jauh dari kata baik-baik aja, pasti lo bakal bilang gue menyedihkan.”

“Bas.”

“Gue udah bilang berulang kali sama lo, ‘kan? Gue gak suka lo, Gi. Keberadaan lo gak masuk akal. Di luar nalar. Tempat ini juga bukan tempat lo, Gi.”

“Baskara ....”

“Anggi, gue mohon.” Baskara menoleh. Menatapnya lekat dengan kedua netranya mematri tepat di kelereng hitam Anggi. “Tempat ini bahaya, Gi. Bukan berarti lo balik ke sini bakal aman-aman aja. Kenapa sih, lo ngelakuin hal nekat demi nyelametin gue? Gue gak pantes disukain sama—“

Anggi tiba-tiba saja menaruh tangannya di puncak surai Baskara. Mengelusnya pelan dan berulang kali melakukannya, sampai Baskara pun membisu.

“Lo hebat banget ya, Bas? Di tengah pusingnya kehidupan lo, masih sanggup buat ikutin organisasi. Ngeliat lo pulang malem demi rapat dan masih bisa bertahan sebagai mahasiswa kesayangan dosen karena pinter. Kalau bukan karena Januar, gue baru tahu kalau lo punya band kecil-kecilan bareng temen lo dan dapetin duit dari sana. Bahkan ketika dunia jahat sama lo, lo sebisa mungkin buat makan teratur, walaupun ngunyah aja kadang ogah-ogahan.”

Anggi tersenyum. Menepuk puncak Baskara lagi sembari terkekeh pelan. “Baskara anak baik. Bener-bener anak baik, anak pinter, juga ganteng. Itu semua karena mama lo, ‘kan?”

Baskara mengernyitkan alis. Raut wajahnya kini memerah. Menatap gadis di hadapannya dengan pandangan sulit diartikan.

“Mama lo pasti bangga. Baskara kecil yang masih keliaran buat main bola di lapangan pasti bakal bangga karena kehidupan lo yang sekeren ini.”

“Jangan ngerasa lo gak pantes disukain, Bas. Mau kehidupan lo semenyedihkan apapun, itu gak nyangkal tentang fakta kalau gue beneran suka sama lo. Gue beneran sayang sama lo, Bas. Dari situ aja udah kelihatan kalau lo pantes buat bahagia dan disuka.”

Anggi mengelus punggung tangan Baskara yang kini menunduk. Perlahan merasa jemari besar pemuda itu menautkan di sela jarinya. Menggenggamnya erat sampai Anggi tersenyum tipis.

“Bahagia selalu ya, Bas? Apapun yang terjadi.”