Jika kalian tau satu tempat paling terasingkan —tapi yang pasti tetap aman meski sedikit tak nyaman— tolong segera kontak aku. Oh astaga. Aku pikir aku mulai gila.
Paling tidak aku harus melakukan dua kali atau tiga kali dalam sekali waktu hidupku ini untuk lari dari masalah.
Pernah sekali aku melakukannya. Waktu umurku empat belas tahun di malam tahun baru. Orang tuaku mengatakan mereka akan mendaftarkan formulir perceraian di awal tahun. Sedangkan saudara perempuanku sedang koma di rumah sakit. Kupikir orang tuaku sedang kehilangan akalnya waktu itu. Saat putri sulungnya sedang sekarat dan mereka malah berusaha memecah keluarga. Karena itu aku lari dan berakhir tidur di sebuah supermarket dua puluh empat jam yang tentu akan menampungku tanpa mengatakan apapun.
Keesokan harinya —sekitar pukul tiga sore— mereka menemukanku. Dan seperti yang kalian pikirkan, ibuku memarahiku habis-habisan sambil memelukku. Dan ayahku merobek formulir itu di tengah malam saat dia pikir aku telah tertidur. Dan masalahpun selesai. Benar-benar cara pendewasaan yang salah.
Dan baiklah mari membicarakan aku yang saat ini. Dapatkah kalian tebak apa masalahku kali ini? Yang jelas bukan tentang masalah perceraian lagi.
Asal kalian tau saja, ayahku meninggal tiga tahun lalu karena pesawat yang ditumpanginya jatuh ke lautan. Persis seperti berita-berita di televisi, semua orang menjadi korban. Jadi tak perlu susah-susah bercerai lagi.
Kalian pikir ini tentang cinta?
Oh, ayolah. Aku tak sedewasa itu. Aku adalah pria dua puluh enam tahun yang kekanakan. Namun, hei jangan pernah berpikir bahwa masalahku adalah serial kartun televisi favoritku yang diberhentikan tayang. Aku tak sekekanakan itu, bro.
Karena kalian rupanya kesulitan biar aku beri beberapa clue yang akan mempermudah kalian menebak. Sebenarnya itu kurang menyenangkan, namun apa boleh buat. Kalian buruk dalam permainan tebak-tebakan.
Ini berhubungan dengan pekerjaanku dan seorang bocah.
Oke, biar kuulangi. Ini tentang pekerjaanku dan bocah, tapi hei, aku bukanlah seorang pengasuh balita atau apapun itu yang berhubungan dengan seorang anak kecil dan ingusnya yang sering mengalir. Ini bocah bukan anak, oke?
Astaganaga, kalian benar-benar tak pintar dalam menebak.
Aku akan memberitahukannya secara gamblang sekarang. Perhatikan baik-baik.
Aku adalah seorang lulusan pendidikan matematika. Apa kalian sudah mendapatkannya? Yup akhirnya kalian benar. Aku guru matematika. Dan mengajar di jenjang SMA.
Sekarang kalian bertanya di mana bocahnya?
Bukankah anak SMA tetaplah seorang bocah? Kalian menyebut mereka remaja tanggung? Sebutan apa itu, kalian membuatku tertawa.
Mereka. Itu. Bocah.
Dan sekarang biar kujelaskan dengan sangat gamblang —benar-benar mudah untuk di pahami dan tak ada tebakan lagi— apa masalahku.
Seorang murid yang kuajar. Kelas tiga dan akan segera lulus. Nilainya pas-pasan namun kuakui sebenarnya ia pintar kalau seandainya mau belajar lebih tekun. Namun masalahnya bukan pada nilainya, tapi kau tau—
pada sikapnya padaku sejak aku pertama kali memasuki kelasnya.
Dia jelas-jelas menggodaku seperti bermain dengan teman sebayanya. Dia memanggilku seperti seorang guru biasa tapi dia berkedip padaku. Itu tak wajar.
Sudah lewat hampir satu semester aku mengajar di kelasnya dan kupikir aku takkan pernah terbiasa dengan kelakuannya.
Hal terakhir yang kuingat, saat dia melempar sebuah permen coklat dari jendela kelasnya yang ada di lantai dua. Kuberitahu dia sangatlah enerjik dan ceria, seolah energinya takkan pernah habis. Namun malah itulah yang membuatku jengah.
Baiklah.
Akan kuceritakan padamu bagaimana sosok bocah itu dimataku.
Namanya Siyandra Anggreani.
Tubuhnya mungil, kulitnya putih, wajahnya cantik. Persis seperti sosok boneka yang dijual di pasar-pasar online. Bukan, bukan yang seperti yang kalian pikirkan yang aku maksudkan. Apa kau gila menganggap seorang bocah SMA seperti boneka pemuas nafsu?
Jika masa kecilmu bahagia maka kau pasti pernah menonton kartun Snow White kan?
Tapi aku yakin kau pernah meski hanya sekali dalam seumur hidup, karena bahkan aku pun yang masa kecilnya begitu menjijikan tanpa ada bahagia-bahagianya sama sekali pernah menontonnya.
Kembali ke bocah itu, biar kuberitahu kalian hal yang paling tak pernah ingin kuucapkan dalam hidupku : dia seperti Snow White. Rambut hitam arang, bibir merah darah, kulit putih salju. Terdengar sempurna? Tidak. Tidak besar menurutku.
Dia bar-bar dan sedikit gila, ah tidak. Dia terlalu gila. Sial. Aku jadi semakin kesal ketika mengingatnya. Begitu kekanakan bukan?
Tunggu dulu, sekarang kalian baru penasaran tentang siapa aku? Kau bilang dari tadi aku sudah berbicara terlalu panjang tapi tak a da perkenalan di awal?
Astaganaga, akulah yang sedari tadi menunggumu bertanya.
Oke, apakah sekarang kalian melihat pria tinggi dengan dada bidang dan wajah yang kelewat tampan yang sedang duduk di depan kelas mengawasi ulangan harian matematika?
Ah, itu aku. Terlihat mandiri dan begitu dewasa, suci dan menggairahkan, maskulin dan berkharisma. Nyaris sempurna. Apa aku terdengar seperti memuja diriku sendiri? Namun memang itulah kenyataannya.
Kau tanya nama? Namaku Abimanyu Cahyo. Nama yang begitu indah untuk didengar, diucapkan, ditulis, dan dibaca. Jangan nenyangsikannya.
Aku suka mengadakan ulangan harian —dadakan. Seperti hobi kecil yang begitu manis yang akan kulakukan di waktu senggang. Tapi aku tak pernah mengatakan ini pada muridku atau mereka akan semakin membenciku. Bercanda. Mereka memujaku, karena aku tampan dan pintar dalam menyampaikan materi. Tertawalah, tapi ini nyata.
“Lima menit lagi” Sebentar lagi waktuku di kelas ini akan segera berakhir. Lalu akan ada istirahat lima belas menit dan aku harus memasuki kelas yang lainnya. Ini mengingatkanku dan membuatku kehilangan nafsu —bukan yang panas dan begitu lengket, tapi niatan. Selanjutnya adalah kelas bocah itu, kekesalan berlebih akan segera menghampiriku setelah ini.
Aku berjalan ke kantor dan mendengar namaku dipanggil.
“Ah, Cahyo” Doni, guru olahraga sekolahku yang terlihat sedikit seram dengan tubuh besar dan otot yang memenuhi keseluruhan tubuhnya dengan cara yang begitu seksi. Aku iri? Tidak. Tolonglah, kau tau aku. Aku seksi dengan caraku sendiri.
“Akhir minggu ini kau jadi ikut kan?” Pertanyaan yang mendadak. Aku sungguh tak ingat apa yang telah kami sepakati untuk pergi bersama. Aku sedikit menaikkan ujung alis kiriku sebagai tanggapan ketidaktahuanku.
“Pesta bujang” Sebuah jawaban singkat yang memutar ulang semua ingatanku. Doni, aku dan Seno —guru biologi yang isi kepalanya hanya seputar payudara dan one night stand dengan partner asing yang panas— sudah sepakat pergi ke pesta bujang yang diadakan Doni malam minggu nanti. Karena ia akan bertunangan minggu depan dengan gadis yang dipilihkan orang tuanya yang dua tahun lebih muda darinya.
Kalian pasti penasaran kenapa ada pesta bujang sebelum pertunangan. Terdengar agak sok suci kan? Awalnya aku juga berpikiran seperti itu hingga mendengar cerita Doni. “Aku akan dikebiri bila bermain dengan wanita lain setelah bertunangan dengan Joan. Ayahku serius dengan semua ucapannya dan aku akan berakhir menjadi seorang impoten yang mengerikan bila bermain-main lagi.”
Nasib yang begitu menyedihkan.
Aku memilih untuk duduk di kasur paling ujung di UKS. Seno duduk di kursinya, di bangkunya yang penuh dengan kertas-kertas menyebalkan yang beberapa tahun lalu aku sebut sebagai pelajaran dan kini berganti julukan menjadi pekerjaan.
Doni duduk di bangku plastik di depan lemari obat sambil meminum jus jambunya, sangat sehat. Aku tak suka, serius. Sebisa mungkin aku akan menghindari buah-buahan untuk kesehatan mentalku. Kau pasti akan mengerti saat kukatakan tentang traumatik mendalam pada perjumpaan pertamaku dengan buah. Para makhluk kecil putih dan menjijikan itu keluar dari dalam daging alpukat di genggamanku. Dan begitulah aku jadi benci semua buah.
Sudah kubilang 'kan kalau aku ini kekanakan.
“Kau tau kemarin aku bertemu seorang janda muda kaya raya yang begitu sayang untuk dilewatkan di bar biasanya-” Seno menarik nafas panjang sambil memiringkan kepalanya. “Dan kau tau dia benar-benar terampil. Kuakui dia indah meski bekas, dia membuatku menikmatinya sebelum pagi dan akhirnya berpisah” Seorang pencicip handal. Bahkan jandapun sekarang bisa ia gunakan.
“Hormon gila” Doni melempar gelas jusnya ke dalam keranjang sampah. Seno hanya tertawa menanggapinya. Mereka sebenarnya memiliki hormon yang sama gilanya. Jujur, malah akulah yang paling waras diantara mereka. Aku serius, mengapa kau tak percaya?
Seno memang senang bermain-main, hampir setiap malam ia pergi ke bar. Ke flatnya hanya di pagi hari untuk mandi dan berganti baju untuk ke sekolah. Dan Doni dia tak perlu repot-repot keluar rumah. Dia memiliki banyak nomor di ponselnya. Percayalah, ketika dia ingin maka dia bisa menelpon siapapun sesukanya. Terkadang ia bermain dengan alumni SMP atau SMA-nya atau malah dengan gadis pengantar ayam goreng yang punya badan S sempurna. Mirip dengan Cindy Crawsford tapi lebih kencang.