Above 35,000ft

“Ladies and gentlemen, the Captain has turned off the Fasten Seat Belt sign, and you may now move around the cabin. However we always recommend to keep your seat belt fastened while you’re seated.”

“In a few moments, the flight attendants will be passing around the cabin to offer you hot or cold drinks, as well as a light meal. Alcoholic drinks are also available with our compliments. Also, we will be showing you our video presentation. Now, sit back, relax, and enjoy the flight. Thank you.”

Julius menghela nafas, kemudian menyusun bantal senyaman mungkin buat kepalanya. Kepalanya tiba-tiba pusing; ah tapi kayaknya bukan tiba-tiba karena dia nggak bisa tidur semalem. Udah pasti dia pusing karena kurang tidur.

“Ren, gue tutup ya” Julius menoleh sekilas, minta ijin buat naikin sekat pembatas di antara seat mereka.

“Iya” Rendra ngangguk.

Tangannya sibuk ngurusin meja lipat yang disediain pesawat sambil nyalain laptop, mungkin ada sesuatu yang harus dikerjain, Julius nggak tahu.

Tadinya Julius berniat briefing script lagi di pesawat, tapi karena kepalanya nggak bisa diajak kompromi jadi yaudah deh, tidur dulu aja beberapa jam. Dia juga masih punya waktu yang sengaja dia spare dengan berangkat lebih cepet sehari, emang dikosongin aja. Siapa tau dia mau belanja atau tiba-tiba dia jetlag walaupun kayaknya nggak mungkin karena perbedaan waktu Jakarta dan Sydney cuma 3 jam lebih cepet aja.

Tangan Julius meraih tablet di sisi kursinya, berniat manggil salah satu flight attendant buat minta obat sakit kepala.

“Is there anything I can help you with, Mister Julius Dewantara?”

Yang datang seorang pramugara bertubuh tinggi ramping dengan mata berbinar cerah dan dagu lancip yang kecil. Julius sampai diem dulu karena kaget.

Suaranya persis dengan suara flight attendant yang kedengeran di speaker sejak awal penerbangan.

Julius nggak bisa ngedeskripsiin rupa sebuah suara; yang jelas suaranya strong, jernih, tapi renyah. Jenis suara yang kalau muncul di radio pasti nggak akan dia skip channel radionya karena suara si penyiar enak banget di kuping.

“Oh-” Julius tersadar waktu pramugara itu memanggilnya lagi dengan alis terangkat. Tangannya memijit pelipisnya pelan, “Ada panadol?”

“Ada, Pak. Sebentar ya, akan saya ambilkan”

Julius merem dengan alis berkerut samar. Kepalanya nyut-nyutan, padahal nggak ada gangguan turbulence, hadeh.

“Nggak usah panggil Bapak. Aku belum setua itu” bibir Julius melengkungkan senyuman yang walaupun samar, bikin matanya ikutan melengkung membentuk bulan sabit.

Pramugara itu tersenyum balik, terus ngangguk sopan dan nuangin air mineral di dalam botol kemasan ke gelas. Habis itu gelasnya disodorin ke Julius, berikut dengan obat di tangannya yang sebelumnya udah dia bukain dari segel aluminium foilnya.

Service maksimal; tipikal service pesawat first class pada umumnya. Kalau di ekonomi, paling cuma dikasih botolnya sama obatnya aja.

Sederhana sih, tapi buat Julius yang rela bayar harga berapa aja untuk dapet pelayanan yang bikin dia nyaman, jelas jadi sebuah perbedaan yang bikin dia rela gerakin tiga digit kedua dari rekeningnya.

Paham kan? xxx,xxx,xxx,xxx; tiga digit kedua dari rekening Julius yang bakal jadi tiga digit pertama artis-artis ibu kota. Soalnya kalau cuma main film sama nerima job di dunia entertainment, paling mentok juga rekeningnya nyentuh 10-11 digit aja. Nggak 12 digit kayak Julius.

“Kalau ada apa-apa, panggil Saya aja ya, nanti. Selamat istirahat” Pramugara itu tersenyum sopan sebelum meninggalkan bilik seatnya Julius.

Julius sempet ngeliat sekilas nama di name tag yang tertera di seragamnya; Javier. Tapi karena pikirannya lagi mumet, dia nggak ngeh sama nama lengkapnya dan langsung mutusin buat tidur biar kepalanya enakan dikit.


“Kepala lu udah enakan?” Rendra membuka percakapan waktu Julius nurunin sekat di antara seat mereka.

“Hm” Julius ngangguk. Kepalanya agak enakan dikit, tapi masih agak pusing karena baru bangun tidur.

“Bentar, gue ke toilet”

Julius mengusap wajahnya pelan, terus jalan ke lavatory pesawat yang nggak bakal dia datengin kalau nggak kepepet. Julius paling nggak suka berurusan di toilet pesawat. Suara flush sama kerannya kenceng dan aneh, bikin dia parnoan padahal nggak ada apa-apa. Padahal, lavatory kelas tertinggi sebenernya cukup nyaman; tapi suaranya tetep aja nggak kayak toilet di daratan.

Julius melempar senyum tipis ke beberapa pramugari dan pramugara yang ditemuinya selama dia jalan ke lavatory. Emang lagi jamnya buat mondar-mandir karena ini emang jam makan siang. Maksudnya jam makan siang Jakarta, Julius nggak tau sekarang dia ada di daerah yang pakai zona waktu apa.

“Kak Julius udah makan siang?” Clara, pramugari yang udah dikenalnya bertanya waktu dia keluar dari lavatory.

“Eh- belum. Aku baru bangun tidur, habis ini aja aku panggil chefnya”

“Oke, Kak. Kalau ada perlu, panggil aja ya”

Julius ngangguk, terus balik ke bilik tempat duduknya. Serunya first class tuh, karena penerbangannya dikit dan peminatnya juga nggak sepadat kelas bisnis atau ekonomi dan mereka provide service yang bener-bener ngutamain penumpang, ada kemungkinan penumpang pesawat akan ketemu dengan awak kabin yang sama. Dia lagi, dia lagi. Udah gitu, nama dan preferensi makanan, minuman dan request khusus mereka akan dihafal sama airlines staff, terlebih kalau mereka adalah customer reguler.

Sejauh ini, nama Julius udah dikenal dan dihafal sama staff Etihad, Emirates dan Qantas Airways. Nggak lagi mengukir prestasi sih, tapi Julius seneng aja kalau nama dan preferensinya dihafal. Dia cenderung akan milih maskapai yang udah dia kenal daripada maskapai yang mungkin provide first class juga dengan harga lebih rendah tapi belum dia kenal. Kalau bisa milih, kenapa enggak?

“Lu makan apa, Ren?” Julius bertanya waktu dia udah duduk lagi.

Lamb steak. Lu?”

“Kayaknya gue mau minta risotto atau nasi aja. Nggak pengen steak gue”

Selesai mesen makanan, Julius ngecek handphonenya. Ngeliat social media, scroll ini itu, random aja.

“Ren, cariin gue twitternya Javier dong”

“Siapa?” Rendra noleh, naikin alis karena nggak merasa kenal nama itu.

“Pramugara sini, yang tadi ngasih announcement waktu take off

“Nama panjangnya?”

“Nggak tau, gue belum ketemu dia lagi. Barusan gue ke toilet juga nggak liat dia. Baru naik ke first class kali ya, gue baru liat dia sih”

Rendra ngangguk. Nggak heran sama permintaan Julius, soalnya artisnya ini emang sering minta cariin profil orang. Walaupun sebenernya nggak ada kepentingan, tapi Rendra nurut aja selama yang diminta cuma profil social media. Kan, nggak melanggar privasi. Lagian kalau nggak nemu pun, Julius bukan tipe yang bakal ambisius nyari tau. Cuma angin lalu aja sih, biasanya. Kecuali dia diminta cari alamat rumah, baru deh.

“Ini bukan?” nggak sampai beberapa menit, Rendra ngoper iPad di tangannya ke Julius.

Ada profil twitter dengan bio yang keliatannya kayak profil yang dibuat oleh seorang flight attendant; yang langsung dibalas dengan anggukan puas Julius. Jarinya scroll profil twitter Javier yang ternyata nggak dikunci, ngebacain beberapa tweets paling terakhirnya yang ternyata masih aktif dimainin.

Tugasnya sekarang; mastiin kalau nama lengkapnya sesuai dengan yang ada di username twitternya.

Julius matiin iPadnya waktu makanan dateng. Pucuk dicinta ulam pun tiba; yang nganterin makanannya Javier sendiri.

Julius melempar senyum terbaiknya sampai matanya membentuk bulan sabit terbalik yang sangat jelas setelah Javier nata makanannya di atas meja.

Matanya nggak lupa melirik ke name tag Javier; Javier Adhinata. He finally got his name.


“Yuk” Rendra berdiri dan benerin posisi hoodienya.

“Lu jalan duluan ya, terus jangan ngomong apa-apa” Julius ngasih instruksi sambil nahan senyum, terus dia balikin ekspresi mukanya jadi datar.

Rendra mau nanya, tapi nggak jadi karena dia kayaknya udah bisa nebak sahabat sekaligus artisnya ini mau ngapain. Mereka udah kayak kembar dempet selama hampir 10 tahun, jadi dia sedikit banyak bisa ngebaca pergerakan Julius.

“Sorry, Kak. Kayaknya hp aku ilang deh, boleh tolong missed call nggak ya?” Julius berucap waktu dia berdiri tepat di depan Javier yang untungnya lagi nggak berkerumun sama temen-temennya di pintu buat ngasih salam dan ucapan selamat tinggal.

“Oh, ilang di seat?” Javier nanya balik.

“Mungkin? Coba telfon dulu deh, aku nggak silent kok”

Javier ngeluarin handphonenya dari saku celana, terus mencet angka-angka yang disebutin Julius tanpa curiga sama sekali.

Handphone Julius berbunyi dari saku jaketnya, terus dimatiin sama Julius. Mata bulan sabitnya muncul lagi, “Makasih ya, nomernya”

Javier belum sempet ngerespon apapun waktu Julius cabut dari hadapannya dan ngucapin selamat tinggal sama temen-temen awak kabinnya.