straighttfacts

Siku Julius disenggol Marvel waktu dia berjalan memasuki area country club sambil menunduk. “Biasa aja sih, jangan nunduk-nunduk kayak buronan begitu, Jul”

Julius menonjok lengan Kakaknya. “Males diliatin, gue tau gue ganteng tapi matanya itu loh”

Marvel mendengus. “Gantengan gue, cuma kebetulan aja lu artis”

Julius mempercepat langkahnya karena Marvel berjalan cepat mendahuluinya. Papa udah turun duluan dan berjalan ke arah lain, nyamperin temen-temennya sesama bapak-bapak.

“Cepet banget sih, jalannya. Kayaknya lu lebih kayak buronan daripada gue” Julius protes.

Marvel ketawa singkat. Julius bisa melihat kalau mata Marvel menangkap pemandangan laki-laki yang jadi alasan kenapa kakaknya bela-belain ke sini hari ini.

“Hai” Marvel menarik satu kursi tepat di samping Harvel yang lagi duduk dan ngobrol sama dua laki-laki Julius tebak pasti lebih muda darinya.

Ketiganya menoleh, dan Julius bisa ngeliat keterkejutan luar biasa di mata Harvel.

“J-Julius? Julius Dewantara?” Harvel sampai lupa mengontrol diri saking kagetnya, yang bikin Julius juga ikutan kaget campur bingung.

Julius menyodorkan tangannya, mengajak semua yang ada di meja bersalaman. Bibirnya melengkungkan senyum ramah, bahkan matanya ikut tersenyum. Manis sekali, sampai Harvel nggak sanggup mengalihkan pandangan dari Julius.

Marvel langsung keliatan sebel. Lupa kalau Julius itu artis, mana ganteng lagi. Harvel terang-terangan ngeliatin Julius dengan pandangan kagum. Nggak lepas barang sedetikpun seolah-olah kalau Julius nggak diliatin bakal langsung poof– ngilang.

“Boleh foto nggak?” Harvel bertanya dengan penuh harap saat semuanya udah duduk lagi.

Mejanya bulat, dan mereka duduk melingkar dengan Marvel di sebelah kanan Harvel, sementara Julius di sisi kirinya, lalu kedua laki-laki yang tadi ngobrol dengan Harvel yang setelah sesi kenalan, Marvel tahu namanya Jevion dan Clinton; kembar fraternal dari keluarga Batara.

“Sama gue?” Julius bertanya.

Harvel mengangguk bersemangat, sampai rambutnya bergerak lucu. Matanya membulat, ketara sekali mengagumi ciptaan Tuhan yang sekarang memenuhi netranya.

Julius tertawa, “Boleh lah”

Harvel menyodorkan ponselnya ke laki-laki yang ada di sebelah Julius. “Fotoin, tolong, hehe”

Jevion yang duduk di sisi kiri Julius mengambil ponsel Harvel, “Sini”

Clinton geser dua bangku, jadi duduk di sebelah Marvel yang mukanya sepet. Habis itu Julius nggak tau mereka ngobrolin apa karena dia lagi foto sama Harvel.

“Gue ke depan dulu, Rendra udah sampe” Julius menyenggol Marvel waktu sesi fotonya udah selesai.

Yang disenggol menoleh, lalu mengangguk. Julius emang ngajak Rendra buat nyamperin aja ke sini, karena acaranya bukan acara formal. Cuma kumpul-kumpul biasa. Lagian, Rendra dan Marvel juga udah kenal karena beberapa kali ketemu. Malam ini, Rendra juga bakal nginep di rumah mereka karena besok Julius harus terbang ke Makassar buat syuting film.


“Kenalin nih, Rendra. Manajer gue”

Ucapan Julius menarik atensi semua yang ada di meja untuk kenalan sama manajernya. Nggak butuh waktu lama, Rendra dengan cepat bisa menyesuaikan diri dan nggak kelihatan canggung sama sekali.

Sebenarnya ini lah yang jadi alasan kenapa Julius dulu mohon-mohon ke Rendra buat kerja bareng dia aja. Dulu, Papanya sempet bilang buat nggak kerja bareng temen. Biar gimanapun, temen ya temen, nggak bisa dijadiin satu sama kerjaan. Nanti kalau ada masalah, bisa panjang efeknya. Udah gitu, akan ada risiko kehilangan temen sekaligus partner kerja juga.

Tapi kemampuan Rendra berbaur sama siapa aja dan mencairkan suasana bahkan dalam situasi paling canggung yang pernah Julius hadapi, bikin dia merasa nggak ada sosok lain yang lebih tepat buat ngurusin dia selain Rendra.

Rendra juga konsisten, hasil kerjanya rapi dan teliti, bahkan mengukir image baik semasa kuliah karena Rendra dikenal sebagai anak organisasi paling disegani dengan segudang prestasi baik akademis maupun non-akademis.

Tahun pertama waktu masih berstatus maba aja, Rendra udah dipercaya buat megang jabatan sebagai koordinator divisi acara pensi akhir tahun ajaran karena sejak awal bergabung dalam kepanitiaan acara-acara yang diselenggarakan BEM, Rendra bener-bener sanggup ngasih impression mengagumkan ke senior-senior BEM. Makanya waktu project akhir tahun ajaran, dia langsung dipercaya jadi koordinator.

Tahun-tahun selanjutnya, Rendra megang jabatan sebagai wakil lalu naik jadi ketua BEM dan berakhir menjadi penasihat BEM di akhir masa kuliahnya.

Selama kesibukan luar biasa itu pun, Julius menyaksikan langsung bagaimana Rendra masih bisa ngatur waktu buat nongkrong, urusan BEM, mempertahankan IP cumlaude di tiap semester, belajar bareng Julius tiap mau ujian yang lebih mirip kayak ngasih kelas privat gratis ke Julius, bahkan pacaran sama seorang adik tingkat yang digadang-gadang sebagai ketua HIMA paling cantik sepanjang sejarah kampus karena pacar -eh mantan Rendra- juga adalah salah satu finalis Puteri Indonesia.

Hidup Rendra beneran keliatan kayak hidup cowok sempurna yang keluar dari wattpad. Dari dulu, Julius mengaguminya luar biasa karena mereka kenalan secara random waktu ospek dan dari situ ternyata mereka bisa akrab.

Baru setelah temenan deket, Julius tau kalau Rendra ternyata introvert dan malah tertutup soal urusan pribadinya. Julius berani taruhan, cuma dia satu-satunya orang yang kenal Rendra sampe akar-akarnya. Termasuk momen ketika Rendra pelan-pelan menyadari struggle pada orientasi seksualnya yang bisa Julius pastikan, dia adalah orang pertama yang tau tentang itu.

Kadang, alam semesta emang memasangkan sepasang manusia untuk jadi sahabat aja, nggak lebih. Itu juga yang terjadi sama Julius dan Rendra.

Waktu lulus kuliah, Rendra was so close buat masuk ke Google Indonesia. Rendra bahkan ditawarkan langsung sama pihak perusahaan dengan tawaran gaji dan posisi yang juga nggak main-main untuk ukuran fresh graduate.

Tapi akhirnya dengan sejuta bujukan yang lebih mirip paksaan terselubung, Julius berhasil meyakinkan Rendra buat jadi manajernya. Tawaran gaji yang Julius berikan hampir 4x lipat dari gaji perusahaan sebelah.

Nggak pernah kepikir dalam benak Rendra kalau dia bakalan jadi manajer artis instead of kerja di kantor lantai 30 di kawasan SCBD dengan lanyard Coach dan pouch Gucci. Orang tua Rendra yang tinggal di kota lain bahkan mau nyamperin anaknya ke Jakarta karena kok tiba-tiba anaknya mau nolak tawaran Google.

Sejuta pertimbangan, bukan pertimbangan gaji walaupun itu juga salah satu faktor pendukung, akhirnya Rendra mantap menolak tawaran Google. Dia juga bisa melihat secara rasional kalau artis yang akan dia pegang kira-kira bakal tetap bersinar setidaknya 5 tahun ke depan, dan dia siap untuk menolak lamaran kerja paling bergengsi yang datang ke e-mailnya.

“Javier nggak datang, ya?” Julius melempar pertanyaan ngambang entah buat siapa, berharap salah satunya bisa menjawab. Mereka udah duduk di meja selama 40 menitan dan laki-laki yang dia tunggu malah nggak keliatan batang hidungnya.

“Harusnya datang kok, tadi Papa ada nyebutin Papanya” Jevion menjawab.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Javier menghempaskan pantatnya di kursi, lalu basa-basi sebentar sebelum akhirnya memesan minuman.

“Hai” Julius menoleh ke sebelahnya. Javier duduk sambil ngetik sesuatu di handphonenya.

“Hm” Javier bergumam.

Netranya bertemu dengan mata Julius yang walaupun nggak lagi tersenyum lebar, tetep membentuk bulan sabit. Tulang hidungnya tinggi, tulang rahangnya tajam dan tegas.

Ganteng juga kalo lagi kalem.

Javier buru-buru menghapus pikirannya.

“Kenapa?” Julius bertanya waktu Javier mengerjapkan mata.

“Nggak”

“Off sampe kapan?”

“Awal bulan depan. Gue nggak inget tanggal persisnya”

Julius ngangguk-ngangguk. “Jalan yuk”

Dih, kenal aja nggak?

Eh, kenal sih. Tapi- ya gitu.

“Tar gue masuk lambe turah”

Julius bengong bentar, terus ketawa sampe matanya berbentuk bulan sabit sempurna. “Ke puncak aja, terus kulineran di mobil”

Javier diem aja. Hatinya menimbang-nimbang. “Liat nanti deh”

Setelah itu percakapan mereka ngalir gitu aja. Sampai waktu pesanan minumannya datang dan Julius dengan sigap nyobek kertas pembungkus sedotan sebelum dikasih ke Javier.

Makanan ringan mulai berdatangan karena makin sore bawaannya makin pengen ngemil. Javier pikir, Julius cuma kayak gitu karena mau ngasih sedotannya ke dia. Tapi ternyata, Julius bahkan terlihat melakukan semuanya diluar kesadarannya. Seolah-olah semuanya udah jadi bagian dari hidupnya sehari-hari.

Tangan Julius yang refleks ngebungkus alat makan dengan tisu sebelum dioper ke orang lain, selalu bilang terima kasih dan senyum ke pelayan yang nganterin sesuatu bahkan ketika dia lagi ngomong dengan orang lain, hingga bagaimana Javier melihat Julius dengan cekatan mindahin barang-barang dan menghindar waktu minuman Clinton tumpah di meja.

Julius nggak tau kalau semua hal kecil, sederhana dan sepele yang dilakukannya diam-diam diperhatikan Javier.

Julius memarkir mobilnya di garasi. Mobil Marvel belum ada, menandakan dia sampai rumah duluan.

Tadi malam, Julius menginap di apartemen Marvel setelah syuting. Tapi barusan mereka misah karena Rendra ngabarin dia kalau mereka harus ketemu orang untuk urusan campaign.

Karena tempat ketemuannya nggak jauh dari apartemen Marvel, akhirnya dia menyanggupi walaupun sambil nyap-nyap dikit karena pagi tenteramnya diganggu.

Kemarin malam, Julius dan Marvel berencana untuk kembali ke rumah pagi ini. Tapi karena Julius ada pertemuan dadakan ini, akhirnya mundur ke sore hari. Eh belum sempat Julius balik ke rumah, mereka berdua udah rebutan ikut Papa golf.

Di rumah, Sebastian yang menyaksikan kedua adiknya rebutan lewat chat buat nemenin Papanya golf cuma bisa ketawa-ketawa doang. Udah biasa; umurnya doang dewasa, kelakuannya tetep aja kayak anak kecil. Kebaca banget, kedua adiknya ini emang lagi ngegebet orang yang kebetulan anak dari klien-klien Papanya.

Sebastian menuruni tangga. Kakinya melangkah menuju sofa ruang tengah, lalu mendaratkan pantatnya di sana. Mau menyaksikan langsung kedua adiknya perang kecil-kecilan di rumah. Lumayan, hiburan.

Julius membuka pintu dengan buru-buru. “Marvel belum balik?”

“Belum” Sebastian tertawa. “Papa di kolam renang”

Julius cengar-cengir, ngerasa didukung kali; nggak tahu juga. Kakinya berlari kecil ke arah belakang rumah, ke kolam renang tempat Papanya duduk-duduk. Walaupun masih siang, tapi udara hari ini nggak begitu panas. Pantes Papa bisa di luar siang bolong.

“Paaaa”

Papanya menoleh. “Ada maunya aja, inget pulang”

Julius ketawa-ketawa. “Nggak gituuu, ih” tangannya bergelayut di lengan Papanya. Kepalanya nyender-nyender di lengan Papanya, sambil diusak-usak yang punya lengan.

Dari pintu kaca, Sebastian memperhatikan interaksi adik bungsu dan Papanya. Hatinya menghangat, soalnya sejak dulu, Papa pengen anak perempuan yang bisa disayang dan dimanja-manja. Tapi Sebastian dididik Kakeknya yang otoriter untuk jadi anak sekaligus cucu sulung yang tegas dan kuat. Nggak boleh menye-menye.

Sedangkan Marvel, Sebastian juga nggak tahu kenapa, tapi adik pertamanya itu kayak anak Mama seorang. Plek, persis sama kayak Mama versi laki-laki. Nggak ada mirip-miripnya sama Papa. Cuek bebek, nggak ada tuh dalam agendanya bisa manja-manjaan sama Mama Papa atau Kakaknya.

Waktu Sebastian masih TK, dia pernah nggak sengaja denger Mama dan Papanya berbincang di meja makan. Papa pengen punya anak lagi, pengen anak perempuan. Mama sebenarnya cuma mau dua anak, lalu dengan frustasi bertanya ”Terus kalau anaknya laki-laki, jadi tiga dong anak laki di rumah?”

Dulu kan Sebastian nggak ngerti, jadi dia tiba-tiba muncul dan dengan polosnya bilang kalau dia mau kok, punya adik satu lagi. ”Laki-laki juga nggak apa-apa” katanya waktu itu.

Long story short, setahun kemudian permintaannya terkabul. Julius kecil lahir ditengah keluarga Dewantara. Julius tumbuh jadi anak yang nggak bisa diam sama sekali, pokoknya kayak kebalikan Marvel. Sebastian sampai bingung, kenapa adiknya bertolak belakang banget. Jarang berantem sih, soalnya saking bertolak belakangnya, dulu Julius suka ngadu ke Sebastian kalau kakaknya yang satu itu nggak ada seru-serunya. Lempeng aja, kayak triplek. Diajak main ayo, tapi nggak seru buat jadi teman Julius yang heboh.

Papa dan Mama sih, nggak ada yang pilih kasih. Dalam artian, kalau satu dibeliin mainan, yang dua lagi juga ikut dibeliin. Kalau berantem anak kecil pun, yang salah dihukum dan diajarin yang benar. Jadi, bukan berarti Julius dianakemaskan. Tapi namanya anak yang paling diharapkan Papa, jadinya lumayan dimanja. Apalagi diantara ketiga anaknya, yang paling mungkin buat dimanja-manja cuma Julius.

Sebastian juga nggak punya kesempatan untuk bermanja-manja sama Papa dan Mama karena waktu umurnya menginjak 8 tahun, Kakeknya ngusulin buat menyekolahkan Sebastian di Perancis, mengingat suatu hari nanti seluruh Perusahaan Dewantara dan anak-anaknya akan turun ke Sebastian. Jadi sejak kecil, Sebastian udah dididik untuk jadi laki-laki paling tangguh. Makanya kalau ada pemandangan adik-adiknya lagi deket sama orang tuanya, Sebastian cuma bisa tersenyum dalam hati. Dia tahu, dia nggak dalam posisi bisa seperti itu dengan kedua orang tuanya.

Pintu rumah terbuka lebar dan Marvel masuk dengan tergesa-gesa. Mukanya ketekuk; “Julius mana, Kak?”

“Di kolam renang, sama Papa”

“Lu ikut golf?” tanya Marvel.

“Nggak lah, kan kalian mau ikut Papa. Gue nggak usah kalo gitu”

Marvel mengangguk.

“Udah sana, kalau nggak berhasil nanti gue bantu ngomong ke Papa” Sebastian menahan tawa, geli juga liat adiknya yang biasanya nggak pernah effort buat deketin orang kok tiba-tiba saingan sama adik satu lagi, tapi beda objek.

Marvel manyun, bete diketawain. Tapi akhirnya berterimakasih dan menyusul Papa dan Julius ke kolam renang.

“Nah, anak satu lagi inget pulang” suara Papa menyapa pendengaran Marvel waktu kakinya menginjak area belakang rumah.

Kakaknya meluk Papanya sekilas, kemudian menjitak Julius yang dibalas dengan muka penuh ledekan dari Julius.

“Kenapa sih, tiba-tiba pada mau ikut Papa? Biasanya juga apa-apa suruh Kak Tian” Papa bertanya, penasaran.

“Mau bonding lah, kan aku harus bonding sama anak-anak temen Papa” Marvel menjawab cepat dengan nada merengek.

“Bohong, Pa. Kakak mau deketin Harvel” Julius ngadu yang dibalas pelototan Marvel.

“Julius mepetin Javier, Pa” Marvel nggak mau kalah.

Papa mengerutkan alis bingung, “Ini Harvel Dirgantara sama Javier Adhinata?”

“Kok bisa pada kenal? Kalian ketemu aja belum?”

“Loh, waktu itu kan kenalan, Pa. Papa yang kenalin di Cloud” Marvel merujuk ke acara charity Perusahaan beberapa waktu lalu, waktu Dia kenalan sama Harvel.

Papa mengingat-ingat. “Oh, waktu Kak Tian nggak bisa itu, ya?”

Marvel mengangguk.

“Yaudah tapi yang bener, ya. Nggak enak kalau udah urusan hati”

“Beres, Bos” Marvel nyengir, senang rencananya udah di-approve.

“Ih” Julius memprotes, tapi kepotong ucapan Papa.

“Terus Adek kenal Javier dari mana?”

“Di pesawat, kenalan”

Papa membelalakkan mata, terkejut. Lalu jarinya menyentil hidung mancung Julius. “Belajar dari mana, jadi buaya begitu, hah?”

Julius menoleh ke arah Marvel, menaikkan alisnya mengirim kode. Lalu menjawab “Ya, dari Papa lah” dengan buru-buru sambil keduanya ngibrit dan ketawa-ketawa ngakak masuk ke dalam rumah sebelum Papa sempat memproses omongan kedua anaknya.

“Ladies and gentlemen, the Captain has turned off the Fasten Seat Belt sign, and you may now move around the cabin. However we always recommend to keep your seat belt fastened while you’re seated.”

“In a few moments, the flight attendants will be passing around the cabin to offer you hot or cold drinks, as well as a light meal. Alcoholic drinks are also available with our compliments. Also, we will be showing you our video presentation. Now, sit back, relax, and enjoy the flight. Thank you.”

Julius menghela nafas, kemudian menyusun bantal senyaman mungkin buat kepalanya. Kepalanya tiba-tiba pusing; ah tapi kayaknya bukan tiba-tiba karena dia nggak bisa tidur semalem. Udah pasti dia pusing karena kurang tidur.

“Ren, gue tutup ya” Julius menoleh sekilas, minta ijin buat naikin sekat pembatas di antara seat mereka.

“Iya” Rendra ngangguk.

Tangannya sibuk ngurusin meja lipat yang disediain pesawat sambil nyalain laptop, mungkin ada sesuatu yang harus dikerjain, Julius nggak tahu.

Tadinya Julius berniat briefing script lagi di pesawat, tapi karena kepalanya nggak bisa diajak kompromi jadi yaudah deh, tidur dulu aja beberapa jam. Dia juga masih punya waktu yang sengaja dia spare dengan berangkat lebih cepet sehari, emang dikosongin aja. Siapa tau dia mau belanja atau tiba-tiba dia jetlag walaupun kayaknya nggak mungkin karena perbedaan waktu Jakarta dan Sydney cuma 3 jam lebih cepet aja.

Tangan Julius meraih tablet di sisi kursinya, berniat manggil salah satu flight attendant buat minta obat sakit kepala.

“Is there anything I can help you with, Mister Julius Dewantara?”

Yang datang seorang pramugara bertubuh tinggi ramping dengan mata berbinar cerah dan dagu lancip yang kecil. Julius sampai diem dulu karena kaget.

Suaranya persis dengan suara flight attendant yang kedengeran di speaker sejak awal penerbangan.

Julius nggak bisa ngedeskripsiin rupa sebuah suara; yang jelas suaranya strong, jernih, tapi renyah. Jenis suara yang kalau muncul di radio pasti nggak akan dia skip channel radionya karena suara si penyiar enak banget di kuping.

“Oh-” Julius tersadar waktu pramugara itu memanggilnya lagi dengan alis terangkat. Tangannya memijit pelipisnya pelan, “Ada panadol?”

“Ada, Pak. Sebentar ya, akan saya ambilkan”

Julius merem dengan alis berkerut samar. Kepalanya nyut-nyutan, padahal nggak ada gangguan turbulence, hadeh.

“Nggak usah panggil Bapak. Aku belum setua itu” bibir Julius melengkungkan senyuman yang walaupun samar, bikin matanya ikutan melengkung membentuk bulan sabit.

Pramugara itu tersenyum balik, terus ngangguk sopan dan nuangin air mineral di dalam botol kemasan ke gelas. Habis itu gelasnya disodorin ke Julius, berikut dengan obat di tangannya yang sebelumnya udah dia bukain dari segel aluminium foilnya.

Service maksimal; tipikal service pesawat first class pada umumnya. Kalau di ekonomi, paling cuma dikasih botolnya sama obatnya aja.

Sederhana sih, tapi buat Julius yang rela bayar harga berapa aja untuk dapet pelayanan yang bikin dia nyaman, jelas jadi sebuah perbedaan yang bikin dia rela gerakin tiga digit kedua dari rekeningnya.

Paham kan? xxx,xxx,xxx,xxx; tiga digit kedua dari rekening Julius yang bakal jadi tiga digit pertama artis-artis ibu kota. Soalnya kalau cuma main film sama nerima job di dunia entertainment, paling mentok juga rekeningnya nyentuh 10-11 digit aja. Nggak 12 digit kayak Julius.

“Kalau ada apa-apa, panggil Saya aja ya, nanti. Selamat istirahat” Pramugara itu tersenyum sopan sebelum meninggalkan bilik seatnya Julius.

Julius sempet ngeliat sekilas nama di name tag yang tertera di seragamnya; Javier. Tapi karena pikirannya lagi mumet, dia nggak ngeh sama nama lengkapnya dan langsung mutusin buat tidur biar kepalanya enakan dikit.


“Kepala lu udah enakan?” Rendra membuka percakapan waktu Julius nurunin sekat di antara seat mereka.

“Hm” Julius ngangguk. Kepalanya agak enakan dikit, tapi masih agak pusing karena baru bangun tidur.

“Bentar, gue ke toilet”

Julius mengusap wajahnya pelan, terus jalan ke lavatory pesawat yang nggak bakal dia datengin kalau nggak kepepet. Julius paling nggak suka berurusan di toilet pesawat. Suara flush sama kerannya kenceng dan aneh, bikin dia parnoan padahal nggak ada apa-apa. Padahal, lavatory kelas tertinggi sebenernya cukup nyaman; tapi suaranya tetep aja nggak kayak toilet di daratan.

Julius melempar senyum tipis ke beberapa pramugari dan pramugara yang ditemuinya selama dia jalan ke lavatory. Emang lagi jamnya buat mondar-mandir karena ini emang jam makan siang. Maksudnya jam makan siang Jakarta, Julius nggak tau sekarang dia ada di daerah yang pakai zona waktu apa.

“Kak Julius udah makan siang?” Clara, pramugari yang udah dikenalnya bertanya waktu dia keluar dari lavatory.

“Eh- belum. Aku baru bangun tidur, habis ini aja aku panggil chefnya”

“Oke, Kak. Kalau ada perlu, panggil aja ya”

Julius ngangguk, terus balik ke bilik tempat duduknya. Serunya first class tuh, karena penerbangannya dikit dan peminatnya juga nggak sepadat kelas bisnis atau ekonomi dan mereka provide service yang bener-bener ngutamain penumpang, ada kemungkinan penumpang pesawat akan ketemu dengan awak kabin yang sama. Dia lagi, dia lagi. Udah gitu, nama dan preferensi makanan, minuman dan request khusus mereka akan dihafal sama airlines staff, terlebih kalau mereka adalah customer reguler.

Sejauh ini, nama Julius udah dikenal dan dihafal sama staff Etihad, Emirates dan Qantas Airways. Nggak lagi mengukir prestasi sih, tapi Julius seneng aja kalau nama dan preferensinya dihafal. Dia cenderung akan milih maskapai yang udah dia kenal daripada maskapai yang mungkin provide first class juga dengan harga lebih rendah tapi belum dia kenal. Kalau bisa milih, kenapa enggak?

“Lu makan apa, Ren?” Julius bertanya waktu dia udah duduk lagi.

Lamb steak. Lu?”

“Kayaknya gue mau minta risotto atau nasi aja. Nggak pengen steak gue”

Selesai mesen makanan, Julius ngecek handphonenya. Ngeliat social media, scroll ini itu, random aja.

“Ren, cariin gue twitternya Javier dong”

“Siapa?” Rendra noleh, naikin alis karena nggak merasa kenal nama itu.

“Pramugara sini, yang tadi ngasih announcement waktu take off

“Nama panjangnya?”

“Nggak tau, gue belum ketemu dia lagi. Barusan gue ke toilet juga nggak liat dia. Baru naik ke first class kali ya, gue baru liat dia sih”

Rendra ngangguk. Nggak heran sama permintaan Julius, soalnya artisnya ini emang sering minta cariin profil orang. Walaupun sebenernya nggak ada kepentingan, tapi Rendra nurut aja selama yang diminta cuma profil social media. Kan, nggak melanggar privasi. Lagian kalau nggak nemu pun, Julius bukan tipe yang bakal ambisius nyari tau. Cuma angin lalu aja sih, biasanya. Kecuali dia diminta cari alamat rumah, baru deh.

“Ini bukan?” nggak sampai beberapa menit, Rendra ngoper iPad di tangannya ke Julius.

Ada profil twitter dengan bio yang keliatannya kayak profil yang dibuat oleh seorang flight attendant; yang langsung dibalas dengan anggukan puas Julius. Jarinya scroll profil twitter Javier yang ternyata nggak dikunci, ngebacain beberapa tweets paling terakhirnya yang ternyata masih aktif dimainin.

Tugasnya sekarang; mastiin kalau nama lengkapnya sesuai dengan yang ada di username twitternya.

Julius matiin iPadnya waktu makanan dateng. Pucuk dicinta ulam pun tiba; yang nganterin makanannya Javier sendiri.

Julius melempar senyum terbaiknya sampai matanya membentuk bulan sabit terbalik yang sangat jelas setelah Javier nata makanannya di atas meja.

Matanya nggak lupa melirik ke name tag Javier; Javier Adhinata. He finally got his name.


“Yuk” Rendra berdiri dan benerin posisi hoodienya.

“Lu jalan duluan ya, terus jangan ngomong apa-apa” Julius ngasih instruksi sambil nahan senyum, terus dia balikin ekspresi mukanya jadi datar.

Rendra mau nanya, tapi nggak jadi karena dia kayaknya udah bisa nebak sahabat sekaligus artisnya ini mau ngapain. Mereka udah kayak kembar dempet selama hampir 10 tahun, jadi dia sedikit banyak bisa ngebaca pergerakan Julius.

“Sorry, Kak. Kayaknya hp aku ilang deh, boleh tolong missed call nggak ya?” Julius berucap waktu dia berdiri tepat di depan Javier yang untungnya lagi nggak berkerumun sama temen-temennya di pintu buat ngasih salam dan ucapan selamat tinggal.

“Oh, ilang di seat?” Javier nanya balik.

“Mungkin? Coba telfon dulu deh, aku nggak silent kok”

Javier ngeluarin handphonenya dari saku celana, terus mencet angka-angka yang disebutin Julius tanpa curiga sama sekali.

Handphone Julius berbunyi dari saku jaketnya, terus dimatiin sama Julius. Mata bulan sabitnya muncul lagi, “Makasih ya, nomernya”

Javier belum sempet ngerespon apapun waktu Julius cabut dari hadapannya dan ngucapin selamat tinggal sama temen-temen awak kabinnya.

“Diem kek, nyebelin banget deh” Harvel nyap-nyap waktu Marvel terus-terusan melukin dia kayak anak koala ketemu pohon.

Harvel bukannya nggak suka, tapi mereka tuh di pesawat. Pesawatnya sih nyaman, soalnya kan first class. Orang lain naik first class sebagai pilihan alternatif, alternatif kalo punya uang maksudnya; sementara Marvel naik ekonomi sebagai pilihan alternatif, alias kalo terpaksa aja. Beda kelas, lah ya.

“Masa aku nyebelin?” Marvel protes. Bibirnya manyun, sebel dikatain.

“Ya aku mau tidur, ngantuk banget tau. Mana hari ini aku kesiangan” Harvel menekankan kata 'kesiangan', masih nyindir Marvel yang jadi penyebab dia kesiangan kerja di hari terakhirnya.

Sebenernya hari ini nggak terlalu menyebalkan. Senior-senior yang biasa julidin dia nggak berani berkutik waktu acara perpisahan kecil-kecilan tadi. Malah sebaliknya, sibuk tebar pesona. Kapan lagi acara farewell sama anak bawang dihadiri jajaran direksi dari yang tertinggi sampe yang terendah? Lumayan, kali aja dapet direktur kaya raya yang lagi nyari simpenan.

Tapi kan dia tetep aja capek. Cabut kantor jam 5, terus langsung dijemput Marvel buat ke rumahnya dan ngambil koper, terus pamitan sama Mama Papanya. Abis itu tancep gas ke bandara. Nggak sempet leha-leha dulu.

“Gitu deh, nyindir-nyindir mulu. Yaudah besok-besok nggak lagi, nggak usah aja sekalian” Marvel ngambek.

Badannya dibalik, memunggungi Harvel. Jadinya malah punggung-punggungan, persis kaya pasusu lagi ribut.

Marvel balik badan lagi, makin sebel karena Harvel nih, bukannya ngebujuk malah diem aja kaya batu karang, “Kok aku didiemin?”

Nggak ada jawaban. Lah, udah tidur ternyata.

Marvel menghela nafas, jadi ngerasa bersalah soalnya Harvel ketiduran dalam hitungan detik. Keliatan banget kecapekan. Marvel jadi kepikiran, apa dia keterlaluan ya maksain terbang malem ini? Tapi penerbangan ke London kan lama, belasan jam. Dia nggak mau ngabisin waktu di pesawat doang, lagian dia pikir Harvel bisa tidur karena pesawatnya nyaman banget.

Tangan Marvel bergerak, nyibakkin poni yang nutupin alis Harvel. Tanpa sadar, bibirnya melengkungkan senyum tipis.

Marvel jadi punya kebiasaan baru sekarang. Nggak tau sounds creepy or not, tapi dia hobi banget ngeliatin muka Harvel kalo lagi tidur. Bibir penuhnya sedikit terbuka, tapi keliatannya tenang dan kalem banget. Nggak ada aura-aura macan tutul yang biasa dikeluarkan kalo lagi bangun.

'Tok tok tok'

Pintu bilik mereka terbuka pelan, menampakkan Javier yang muncul dengan senyuman lebar. Javier emang bertugas di penerbangan first class maskapai yang ditumpangi mereka malam ini, tapi Marvel nggak request khusus buat nyari nomor pesawat tempat Javier.

Tadi pas ketemu waktu naik pesawat pertama kali, ketiganya sempet ngobrol singkat, basa-basi aja. Seneng juga, ketemu kenalan sendiri kan. Marvel juga sempet manas-manasin Julius di grup keluarga, bikin adiknya ngamuk-ngamuk bete nggak jelas.

“Eh maaf, aku nggak tau Harvel lagi tidur” Javier keliatan kaget.

“Nggak apa-apa, nggak bakal bangun”

Javier mengangguk. “Mau dibawain minuman apa, Kak?”

“Air putih dulu deh, gue nggak tau Harvel mau apa. Lemon tea atau soft drink ada, Javier?”

Sekali lagi, Javier ngangguk. “Vier aja, Kak. Lemon tea ada, esnya banyak atau nggak?”

“Dikit aja, dua atau tiga lah”

“Oke, Kak”

Javier keluar, nggak lama kemudian balik lagi dengan sebotol air mineral dan lemon tea.

“Bulan ini nggak ada off, Yer?” Marvel membuka percakapan.

Javier menggeleng. “High season, Kak. Nggak ada off sampai bulan depan”

“Oh” Marvel ngangguk.

“Apa?” Harvel membuka mata waktu Javier menutup pintu. Dia kira Marvel ngajak dia ngomong.

“Lah, kebangun ya. Bobo lagi aja, Sayang. Tadi Javier dateng bawain air, kamu mau minuman lain?”

Harvel beringsut dikit, menyamankan posisi buat senderan di dada Marvel. “Nggak”

Tangannya meraih botol air mineral, terus nyicipin lemon tea. Ujungnya ngajak Marvel tukeran, soalnya kata Harvel lemon teanya enak kayak yang di bioskop. Padahal mah, emang satu merek mungkin.

“Aku baru inget” suara Harvel mengejutkan Marvel yang lagi sibuk milih film.

“Apa?”

“Kamu ngapain?”

“Mau nonton. Aku nggak bisa tidur jam segini”

Kalau menurut waktu Jakarta, emang sekarang baru jam 9 malam. Belum waktunya Marvel tidur, ntar aja dia tidur kalau ngantuk.

“Kamu tau aku dari mana? Kan aku rent kamu pake akun alter, bukan PA”

Marvel menoleh. Ini anak kalo lagi random, topiknya random banget. Mereka udah nggak pernah bahas tentang itu selama berbulan-bulan, kenapa nanyanya baru sekarang?

Marvel nginget-inget sebentar, “Oh”

Harvel ngeliatin, keliatan penasaran banget.

“Kan waktu rent, kamu cerita kalau kamu di D&G. Terus, aku juga sempet nanya, kenapa kamu lembur terus padahal kamu bilang orang-orang muji hasil kerja kamu.

Waktu itu kamu bilang 'Buat ngebuktiin, kalau aku pantes jadi anaknya'

Aku nggak mikir kalau kamu automatically anak yang punya. Waktu itu, aku mikirnya mungkin orang tua kamu tipe orang tua yang nuntut anaknya buat kerja di kantor bergengsi atau gimana, lah. Terus setelah itu kita sempet call di discord. Tapi itu kejadiannya setelah di Kempinski.

Aku ngerasa suara kamu di discord itu mirip banget sama yang di Kempinski, mana namanya sama. Terus aku cek laporan keuangan kantor buat mastiin aja, ternyata bener kamu di D&G jadi auditor”

Marvel bercerita panjang lebar. Dia sendiri juga berusaha merangkai ceritanya. Soalnya waktu itu, dia cuma berbekal feeling aja.

Harvel bengong dulu, memproses setiap kata-kata yang masuk. Berusaha merangkai kejadian di otaknya. Berakhir dengan dia yang ngerasa bodoh karena dia dan Marvel udah berkali-kali call, bahkan dulu banget mereka juga pernah phone sex, tapi dia sama sekali nggak ngerasa kalau suara Marvel di discord dan di dunia nyata itu sama.

Ya tapi, siapa yang bakal mikir Marvel yang notabene anak keluarga Dewantara bakal main akun alter sih? Apalagi sampai jadi talent boyfriend rent segala.

“Tapi kamu pernah nyesel nggak, dulu kita pernah jadi phone sex partner pas awal kenal?”

Harvel mendelik. Pipinya memanas. Kenapa kata-kata Marvel kayaknya vulgar banget padahal emang kenyataannya dia pernah membayangkan sesi panas bareng Marvel cuma dari akun alternya?

“Biasa aja sih, partner aku nggak kamu doang”

“Dih” Marvel ketawa. “Yaudah sih, biasa aja dong. Aku tau kamu banyak daddynya”

“Ish” Harvel menepis tangan Marvel yang nyubit pipinya kenceng.

Mukanya ditenggelemin ke ceruk leher Marvel, malu diledekin. Tangan Marvel mengusap-usap punggungnya, terus nggak ngelanjutin percakapan lagi dan lanjut milih film.

“Aku lebih nyesel kenapa kita nggak kenal lebih awal”

Suara Harvel pelan, sampai Marvel kira dia lagi berhalusinasi.

Tangannya berhenti dari milih-milih film, beralih menangkup pipi Harvel yang masih nempel di lehernya.

“We have nothing to regret, anyway. Cerita kita udah ditakdirin kayak gini, kalau berubah nanti lain dong?”

Harvel terdiam. Kadang-kadang, memori tentang hari-harinya bersama Marvel sejak setahun yang lalu via akun alter emang suka berkelebat di otaknya. Terus berakhir dengan rasa bersalah karena berulang kali menyia-nyiakan usaha Marvel yang mati-matian menyelesaikan masalah yang terjadi.

“Hm” akhirnya Harvel menjawab.

Bibir Marvel mendarat di kening Harvel. Lama, sampai Harvel mundur dan mendongak, kemudian mempertemukan bibir keduanya.

Di atas hamparan awan putih yang membentang, dalam perjalanan udara menuju Bandar Udara Heathrow, London; ada dua tangan yang bertaut.

Tahu kalau dunia memang jahat, tetapi selalu punya ruang untuk memaafkan.

Semesta memang penuh kejutan. Penuh dengan kisah bak rollercoaster; tetapi selama Marvel dan Harvel bersama, tidak ada yang terlalu mustahil untuk dijadikan harapan.

Harvel, dan semua jawaban yang dia butuhkan dalam hidup.

Marvel, dan semua yang dia pikir tidak akan ada yang pernah bisa melengkapi bagian rumpang dalam hidupnya.

CW // blow job, fingering, edging, bareback, orgasm delay, degradation kink, mentioning sex toys, overstimulation, nipple play, cum swallowing, creampie, explicit mature content.

“Diem” Harvel berbisik. Matanya menatap Marvel tajam, memperingati Marvel yang tangannya tidak berhenti menggerayangi pantatnya.

Demi Tuhan, mereka di lift dan mereka tidak sendirian. Walaupun mereka berada di paling belakang, tapi kan lift juga punya cctv, yang benar saja.

Marvel mengulum senyum. Tangannya merengkuh pinggang Harvel dan merapatkan posisinya. Harvel sedikit bergeser, menuruti keinginan Marvel tanpa suara agar tidak menimbulkan kecurigaan dari penumpang lift lainnya.

Mereka sampai di apartemen Marvel. Mobil Harvel akan ditinggal di apartemen Marvel, lalu mereka akan ke rumah orang tua Marvel untuk makan malam dan tidur di sana. Besok pagi, Marvel akan mengantarnya ke kantor. Begitu kata Marvel tadi.

Keduanya memang tidak pernah membawa baju untuk menginap. Ukuran tubuh mereka hampir sama, jadi keduanya sudah terbiasa bertukar pakaian. Kalau jas untuk kantor, Marvel punya segudang jas yang tersebar entah di mobilnya, di rumah, di apartemen, bahkan di vila keluarganya di Puncak. Harvel bisa memakainya kapan pun.

“Kamu tuh, jangan pegang-pegang dong. Kan nggak enak kalau diliat orang lain, ada cctv juga tau” Harvel melayangkan protes waktu Marvel menutup pintunya.

Marvel menatapnya tajam, membuat yang dipandangi menaikkan alis. “Apa?”

“Mulut kamu daripada dipake buat protes, mending buat mendesah aja”

“Marvel!”

Sejak kapan sexual tension Marvel setinggi ini sampai setiap kata-katanya disangkutpautkan ke arah sana?

Marvel tertawa kecil, tidak menyahut lebih lanjut.

“Kamu bawa apaan sih, kan di rumah kamu banyak baju?” Harvel bertanya waktu Marvel keluar dari kamarnya.

“Barang”

Harvel tidak bertanya lagi, tidak menaruh curiga sama sekali pada jawaban Marvel yang ambigu dan tidak jelas.

“Yuk”

Lalu keduanya turun ke basement dan menuju rumah orang tua Marvel.


“Kamu ngapain- hmphhh”

Marvel mendorong tubuh Harvel dan merapatkannya ke tembok kamar mandi. Marvel sudah berdiri di depan pintu kamar mandi saat dia membuka pintunya dan Harvel baru saja akan bertanya. Bibirnya membungkam Harvel dengan ciuman mendadak, terlalu tiba-tiba sampai Harvel hampir limbung.

“Nghh” Harvel mendesah tertahan. Tangan Marvel meremas pinggulnya, sementara satu tangannya menurunkan celana Harvel yang baru saja dipakainya.

Dia baru saja selesai mandi dan Marvel mau melanjutkannya sekarang? Kenapa tidak sekalian saja saat mandi, sih?

“Arkhh” Harvel memekik, setengah terkejut karena benda asing memasuki tubuhnya. Tubuhnya melemas di dalam pelukan Marvel.

Marvel memasukan vibrator yang tadi diambilnya dari apartemen ke dalam lubang Harvel, lalu menyetelnya dengan mode paling rendah.

“Apa-apaan, Marvel?”

Marvel mencium ujung hidung Harvel singkat, “Hukumanmu. Aku mulai dari sekarang”

Marvel menaikkan getaran vibratornya, lalu menaikkan kembali celana Harvel seperti semula. Kaki Harvel benar-benar lemas, terasa seperti agar-agar. Dia belum jatuh ke lantai karena tubuhnya masih bersandar ke tembok.

Vibrator itu bergerak, menumbuk prostatnya karena ukurannya cukup panjang. Tidak sebesar penis Marvel, tapi getarannya sanggup membuatnya kehilangan kewarasan.

No, please. Jangan, Marvel” Harvel memohon.

Air mata hampir jatuh dari sudut matanya.

“Yuk, udah ditunggu Mama sama Papa. Mau makan”

Marvel menurunkan getaran vibratornya ke tingkat paling rendah, lalu keluar dari kamar mandi.

Harvel mengatur nafasnya, berusaha berjalan dengan normal. Tidak terlalu sulit karena gerakan vibrator itu cukup pelan, tapi tetap saja mengganggunya.

Kedua orang tua Marvel, Sebastian dan Julius sudah duduk di meja makan. Harvel menggigit bibir dalamnya. Bagaimana caranya dia duduk kalau masih ada vibrator tertancap di lubangnya?

“Sini, Harvel” Papa Marvel menarik dua kursi di sebelah Julius dan berjalan mengitari meja makan, duduk di kursinya sendiri.

“Iya, Om” Harvel duduk dengan hati-hati. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.

Marvel memperhatikan interaksi Harvel dengan keluarganya. Dia hampir saja mematikan vibratornya saat Harvel terlihat menertawakan sesuatu dengan Julius. Ide liciknya muncul, Marvel menekan remote di dalam kantungnya, menaikkan getaran vibratornya sedikit.

Sukses. Harvel berjengit dan hampir mendesah. Menoleh dan menatap Marvel tajam, yang dibalas dengan tatapan polos Marvel, 'Apa?'

“Harvel kenapa, Sayang? Kok kamu keringetan? Kamu sakit?” suara Mama Marvel menarik perhatian semua yang ada di meja makan.

Marvel buru-buru mematikan vibratornya, membuat Harvel diam-diam menghembuskan nafas lega. Berniat memaki-maki Marvel dalam hati, tapi akhirnya memilih untuk berterima kasih karena memberinya kesempatan untuk makan dengan tenang.

Marvel juga tidak sejahat itu. Dia memang berniat mematikan vibratornya saat mereka makan. Dia tidak mungkin membiarkan Harvel tersedak.

“Nggak apa-apa, Tante. Agak kecapekan aja, dikit” Harvel menyahut, lalu berterima kasih dan mengambil tisu yang disodorkan.

“Yaudah habis makan langsung ke kamar. Kalian mau flight lho besok, jangan sampai sakit. Nanti minum tolak angin ya”

Harvel mengiyakan. Sepertinya dia memang butuh obat herbal satu itu karena malam ini akan panjang.

Mereka semua makan dengan tenang, diiringi dengan obrolan dan candaan ringan. Sampai ketika Harvel selesai minum air putih dan bersiap memakan buah yang ada di sodorkan Mama Marvel, dia merasakan vibrator sialan di dalam lubangnya kembali bergetar.

Harvel menepuk paha Marvel yang duduk di sebelahnya.

“Kenapa?”

Harvel mendelik sebal. Marvel benar-benar terlihat polos, seperti tidak tahu apa-apa.

Harvel mati-matian mengatur nafasnya karena dia terpaksa makan buah dengan vibrator yang bergetar di dalam lubangnya.

Gerakannya pelan, jadi ereksinya dipancing begitu lambat. Membuatnya frustasi karena harus mengimbangi nafasnya, tapi juga mengganggunya karena dia harus terus menerus mengobrol.

Harvel menelan air putih dengan cepat, ingin buru-buru pamit dan masuk kamar karena putra Dewantara brengsek ini terus menerus mengulur waktu dengan memberinya buah-buahan.

Harvel bukan tidak sanggup makan, hanya saja setiap potongan buah yang ditelannya membuatnya mual karena vibrator di lubangnya terus menerus bergetar. Dia bahkan tidak bermain dengan anjing kesayangannya yang sejak dia datang sudah ribut menghampirinya.

“Ke kamar dulu ya, dadah semua” Marvel melambaikan tangan dan menggandeng Harvel meninggalkan meja makan, mengabaikan ledekan Julius yang memperingati mereka untuk benar-benar tidur dan bukan yang aneh-aneh.


“Fuck you, Marvel” Harvel mendorong tubuh Marvel ke tembok tepat saat Marvel mengunci pintu kamarnya.

“Enak, Sayang?” Marvel menaikkan sudut bibirnya, menatap Harvel dari atas ke bawah dengan pandangan lapar.

Libido Marvel sudah naik sejak di kantor, tapi dia mati-matian menahannya karena dia ingin mengerjai Harvel yang mengerjainya duluan.

Marvel tidak menyesal sama sekali. Desahan Harvel memang menggoda, tapi Harvel yang setengah mati menahan desahannya berkali-kali lipat lebih seksi di matanya.

Tubuh Harvel maju, menghapus jarak di antara keduanya. Pagutan keduanya begitu liar. Saliva berceceran di dagu Harvel, entah milik siapa karena sudah bercampur.

Marvel merengkuh pinggang Harvel, mendorongnya ke kasur. Keduanya melucuti pakaian masing-masing, polos tanpa menyisakan sehelai benang dalam hitungan detik.

Marvel mematikan lampu, menyisakan beberapa lampu kecil yang memberikan penerangan remang-remang di dalam kamar.

Marvel menindih tubuh Harvel. Ciumannya turun ke rahang, leher, hingga ke dada Harvel. Membuat tanda di berbagai titik, tapi masih di tempat-tempat yang bisa bertutup kemeja.

Harvel mendesah tidak karuan. Tangannya menjambak rambut Marvel keras karena tiba-tiba Marvel menyetel vibratornya pada tingkat paling maksimal. Vibrator itu bergetar hebat, naik turun menumbuk prostatnya.

“Arghh Marvel- please” desahan Harvel bercampur permohonan yang entah sudah berapa kali disuarakannya.

Lidah Marvel menyapa putingnya, lalu bergantian disedot, dikulum, dijilat, you name it.

Kepala Harvel pening, distimulasi di berbagai tempat. Desahannya mengalir tanpa henti, memohon agar vibrator itu dikeluarkan dari lubangnya.

“Beg for it, Harvel” Marvel berujar rendah.

Shit. Harvel tidak suka harus merendahkan dirinya sendiri. Tapi pikirannya berkabut, dikuasai nafsu.

Putingnya mencuat tegak karena terus menerus dihisap oleh Marvel, sementara satu putingnya yang tidak sedang dikulum oleh mulut Marvel dimainkan dengan jari dan sialnya malah meningkatkan libidonya.

“Ruin me, Marvel. I want your cock to be inside me. Fuck me until I can't even walk properly tomorrow” Harvel mendesah tertahan, berusaha mengucapkan kalimatnya sambil menahan rasa frustasi karena tangan Marvel turun dan mengocok penisnya dengan tempo pelan.

Marvel beringsut turun, mensejajarkan wajahnya dengan area selatan Harvel. Vibrator di lubangnya dikeluarkan dari lubangnya, lalu mulut Marvel mengulum penis Harvel yang sudah banjir oleh precum.

Harvel tastes damn good, Marvel sampai harus menahan diri untuk tidak menghisap terlalu keras karena Harvel terus menerus menjambak dan mencakar punggungnya.

“Arghh, eunggh M-Marvelhh” lenguhan panjang Harvel mengiringi pelepasan pertamanya.

Tubuh Harvel membusur. Otot-otot perutnya mengeras, tubuhnya bergetar karena pelepasannya begitu hebat akibat terlalu lama distimulasi.

Marvel menelan semua cairan Harvel sampai habis. Mata Harvel tertutup, dadanya naik turun, berusaha mengatur nafasnya.

“Marvel- aakh” Harvel memekik keras.

Nafasnya belum stabil dan tenaganya belum pulih, tapi Marvel memasukkan dua jarinya sekaligus ke dalam lubang analnya.

“Pilih, jari atau vibrator?” Marvel berucap rendah, memandangi Harvel yang kewalahan mengimbangi permainannya.

Harvel membuka mata, bertukar pandang dengan Marvel yang berada di atasnya. Too hot, Harvel tahu nafsu Marvel berada di ujung.

Bibirnya mengulas senyum menggoda, “Your dick, Master”

“Shit, Harvel”

Marvel mengeluarkan jarinya dari lubang Harvel, lalu membalikkan posisi Harvel.

“Scream for me, You Slut”

“Argkhh- Marvel, M-Marvel, eunghh” Harvel menahan jeritannya.

Marvel mendorong pinggulnya dengan sekali hentakan. Hitting his prostate in single thrust, tidak memberikan Harvel kesempatan untuk menyesuaikan penis di dalam lubangnya.

“Fuck, fuck, Harvel. Sempit-hhh”

Desahan dan erangan keduanya bersahut-sahutan.

Tangan Marvel menjambak rambut Harvel, memaksa punggungnya melengkung untuk menyesuaikan posisinya. Satu tangan lagi mengocok penis Harvel cepat, secepat gerakan pinggulnya yang berkali-kali menghantam titik manis Harvel tanpa jeda.

Penerangan kamar yang remang-remang keemasan menyorot tubuh Harvel yang terlihat berkali-kali lipat lebih menawan dengan bibir terbuka yang tidak berhenti mendesah. Sukses membuat Marvel tidak sanggup menahan diri untuk terus menghujam penisnya di dalam lubang hangat Harvel.

Bibirnya mengecup dan menghisap-hisap leher Harvel dari belakang, turun ke punggungnya; membuat seluruh tubuh Harvel merinding karena diberi stimulasi di berbagai titik sensitifnya.

Shit. Marvel benar-benar hafal seluruh bagian tubuhnya.

“M-Marvelhh, aakhh” Lutut Harvel lemas. Spermanya berceceran, mengotori kasur dan tangan Marvel yang masih berada di penisnya.

Tubuhnya terkulai di kasur, tidak diberi waktu untuk menikmati pelepasan keduanya hingga Marvel menembakkan spermanya di lubang hangat Harvel yang menjepit penis Marvel kuat. “Goddamn- Harvel. Nghh”

Tubuh Marvel melemas. Tubuhnya jatuh ke kasur, menindih Harvel.

Keduanya berlomba-lomba meraup oksigen, masih memulihkan diri dari surga dunia yang baru dicapai keduanya.

“Geser” Harvel berucap memecah keheningan. Nafasnya putus-putus karena tubuh Marvel menghambat nafasnya.

Marvel tertawa kecil, lalu beringsut dan memeluk pinggang Harvel, menyesuaikan posisinya agar dia bisa memeluk Harvel dari belakang.

“Vel” Harvel menyingkirkan tangan Marvel yang bermain di putingnya.

“Hm” Marvel bergumam. Bibirnya menghujani leher dan bahu Harvel dengan kecupan, membuat Harvel bergidik.

“Aku mau mandi lagi”

“Iya, bareng”

Harvel menghela nafas. Dia bisa merasakan penis Marvel yang menempel ke pantatnya kembali menegang.

“Capek” rengeknya.

“Hm” Lagi-lagi, cuma gumaman.

Tidak butuh waktu lama sampai penis Harvel kembali tegang. Mulut Marvel mengulum puting Harvel yang mengeras. Tangannya memilin dan memainkan puting Harvel yang tidak berada dalam mulutnya.

“Nghh” Harvel mendesah tertahan. Mengutuk tubuh sialan yang bereaksi terhadap rangsangan Marvel walaupun dia sudah sangat lelah.

“Turunin- Marveeel” Harvel memekik terkejut.

Marvel mengangkat tubuh Harvel di pundaknya seperti karung beras, melanjutkan permainan panas mereka di kamar mandi.

CW // semi-public, blow job, deepthroat, rimming, fingering, edging, orgasm delay, explicit mature content.

Senyum Marvel mengembang setelah menutup telepon dari resepsionis yang barusan memberitahu kalau Harvel mau bertemu dengannya. Dia sampai berdiri dari kursinya untuk membukakan pintu, menyambut tamu pentingnya.

“Ngapain kamu?” Harvel bertanya heran waktu dia sampai di ruangan Marvel dan mendapati kalau Marvel sudah berdiri di belakang pintu yang terbuka.

“Nunggu kamu”

Marvel menutup pintu, lalu menarik Harvel ke dalam pelukannya, menghirup wangi shampoonya yang bercampur dengan wangi parfum.

“Tadi makan apa?” Harvel bertanya waktu pelukan mereka terlepas.

“Makan sama Papa sama Kak Tian. Aku abis ketemu client Papa”

“Oh” Harvel mengangguk.

Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan yang didesain satu tema dengan kamar Marvel di apartemen. Dominan warna hitam, tapi tidak gelap. Nyaman buat kerja seharian karena nggak silau. Tapi kalau kerja sampai malem kayaknya malah bikin ngantuk.

Eh- tapi kan yang biasanya kerja sampai malam dia, bukan Marvel.

“Nanti kamu juga di ruangan sendiri, kok” Marvel menghampiri Harvel yang sedang berdiri menghadap jendela besar di ruangannya. Tangannya memeluk pinggang ramping Harvel yang semakin tercetak jelas karena Harvel memakai jas.

“Iya” Harvel nggak tahu harus merespon apa. Soalnya dia nggak lagi berpikir ingin punya ruangan sendiri. Tapi kalimat Marvel barusan jadi membuatnya berpikir untuk mendesain ruangannya sedikit supaya nggak flat-flat amat.

Badan Harvel diputar balik dan keduanya berhadap-hadapan. Tangan Marvel menyibakkan rambut yang jatuh menutup kening Harvel, lalu mengecup ujung hidungnya gemas.

“Kamu udah makan siang kan?” Marvel bertanya.

“Hm” Harvel mengangguk.

“Lepas dulu. Nggak enak, masih di kantor” Harvel menepuk lengan Marvel yang masih memeluk pinggangnya erat.

“Nggak mau” Marvel menggeleng.

“Apa?” Harvel bertanya gugup waktu dia mendapati kalau Marvel tidak berhenti menatapnya dengan posisi mereka yang masih menempel satu sama lain.

Marvel merapatkan jarak mereka, menghimpit Harvel hingga punggungnya menyentuh jendela. Tangannya mengelus rahang Harvel pelan, meminta ijin secara tidak langsung.

Harvel mendongak, pasrah. Lalu menarik tengkuk Marvel untuk mempertemukan kedua belah bibir mereka.

Harvel meringis dalam hati. Posisinya sekarang melayangkan ingatannya ke malam pertama yang mereka habiskan berdua, di Kempinski. Bedanya, waktu itu Marvel yang dihimpit ke jendela.

Ciuman keduanya memanas. Tangan Marvel meremas pinggul Harvel dan mengelus punggungnya dari luar jasnya. Tangan satu lagi digunakan untuk menekan tengkuk Harvel, menahan dan mendominasi pagutan bibir mereka. Lidah keduanya bertarung. Saliva berceceran di sudut bibir Harvel, bercampur antara milik Marvel maupun Harvel.

Marvel mundur, menarik Harvel di dalam rengkuhannya hingga tubuhnya bertumpu pada meja kerjanya.

“Eunghh-” Harvel melepas pagutan bibirnya saat dia mulai merasakan kadar oksigennya menipis.

Marvel menarik tengkuk Harvel lagi, menyesap bibir yang tidak lebih dari lima detik lalu baru dilepasnya. Bibir Harvel mengkilat oleh saliva mereka dan sedikit membengkak karena Marvel menghisapnya kuat.

“Mpmhh” sekali lagi, Harvel melepas ciuman mereka. Nafasnya terengah-engah, menatap Marvel sebal karena tidak diberikan kesempatan untuk menetralkan deru nafasnya.

“Masih di- Marvel!” Harvel berjengit terkejut saat wajah Marvel mendarat di ceruk lehernya. Satu tangannya masih digunakan untuk menahan Harvel di rengkuhannya, satu lagi meremas pantatnya bersamaan dengan lidah Marvel yang menjilat lehernya perlahan.

“I want you, right now” Marvel berujar rendah dengan suara serak. Lidahnya menjilat daun telinga Harvel, membuat sekujur tubuh Harvel merasakan sengatan listrik.

“Kunci pintunya”

Darah Harvel berdesir. Office sex terdengar sangat menggoda, tapi selama ini dia tidak pernah berani membayangkan akan benar-benar melakukannya. Terlalu berisiko karena kantor jelas tempat umum walaupun Marvel punya ruangan pribadi. Tapi hari ini, sepertinya Harvel akan menginjak batasan yang diterapkannya sendiri.

“Sini” Marvel duduk di kursinya dan menepuk pahanya, mengundang Harvel untuk duduk di atas pangkuannya.

Tapi Harvel berlutut di depan Marvel. Tangannya meraba paha Marvel hingga berhenti di ikat pinggangnya, lalu wajahnya mendongak, bertemu pandang dengan Marvel yang sedang menikmati pergerakannya.

“Should I?” Harvel bertanya. Bibirnya menyunggingkan senyum polos, membuat Marvel menggigit bibirnya sendiri.

“Fuck” Marvel mengerang tidak sabar. Tangannya menarik tangan Harvel yang mendarat di pahanya, diarahkan ke ikat pinggangnya.

“Wow, slow down, Sir” Harvel tertawa kecil. Tangannya melepas ikat pinggang Marvel.

Harvel membenahi posisinya agar bisa berlutut dengan lebih nyaman. Kakinya mulai pegal karena lututnya harus bertumpu di lantai yang keras.

Tangannya mengelus dan meremas penis Marvel perlahan, lalu mengeluarkan penis Marvel saat penis Marvel sudah mengeras sepenuhnya.

“Sshh- damn” Marvel menggigit bibirnya.

Rongga mulut Harvel menyelimuti penisnya, terasa panas dan basah. Harvel mengoral penisnya, menghisapnya naik turun. Tangan Harvel tidak tinggal diam. Jari-jari Harvel meremas bola kembarnya perlahan, memberikan sensasi double di pusat tubuhnya.

Tangan Marvel meremas dan menjambak pelan rambut Harvel, menyalurkan kenikmatan yang dirasakannya saat ini. Permainan mulut Harvel tidak pernah mengecewakan, tapi kenapa rasanya hari ini berkali-kali lipat lebih enak dari biasanya?

“Uhuk- Jangan diteken” Harvel terbatuk-batuk. Marvel tidak tahan untuk tidak menekan kepala Harvel, membuat penisnya berkali-kali menabrak pangkal kerongkongannya.

“Enak, Sayang”

“Ya kan akunya nggak enak” Harvel protes.

Marvel baru saja akan menyahut saat terdengar ketukan di pintu.

“Dek, Bukain pintu” terdengar suara Papa di interkom.

Tubuh Marvel menegang. Kalau yang datang Papa, dia nggak mungkin beralasan dan nggak membukakan pintu.

Shit.

Harvel buru-buru mundur dan bersembunyi di kolong meja. Marvel sedikit bersyukur meja kerjanya adalah tipe meja kerja yang tertutup sampai bawah, jadi Harvel bisa bersembunyi di sana.

Marvel merapatkan posisinya ke meja, menempatkan kakinya di bawah kolong meja untuk mendukung persembunyian Harvel. Lalu menekan tombol di mejanya untuk membukakan pintu.

“Tumben dikunci” Papa berkomentar waktu memasuki ruangan, bareng sekretaris Marvel.

Double shit.

“Papa ngapain?” Marvel bertanya sambil pura-pura sibuk. Tangannya menyalakan komputer supaya nggak dicurigai lebih lanjut.

“Mau nanya ini- bentar” Papa duduk di sofa, sementara sekretarisnya menghampiri Marvel dan berdiri di depan mejanya.

Jantung Harvel berdetak tidak karuan. Dia tahu Papa Marvel malah duduk di sofa, untung saja tadi dia nggak melepas jas sama sekali karena kalau iya, pasti jasnya diletakkan di sofa.

“Aduh mana sih” Papa sibuk scroll layar iPadnya.

Marvel menghela nafas, pura-pura kelihatan sibuk. “Yaudah, nanti aja Papa e-mail ke aku”

“Ini, ini” Papa berjalan ke arah meja Marvel dengan mata masih fokus pada layar iPadnya yang menampilkan sejumlah table penuh data.

Harvel menahan nafas, mati-matian menetralkan degup jantungnya saat tiba-tiba dia mendapat ide nakal di pikirannya.

Harvel bergerak hati-hati, takut menimbulkan suara kalau dia terbentur kaki meja. Tangannya meraba paha Marvel di bawah meja. Harvel bisa merasakan sekujur tubuh Marvel menegang, tapi Marvel tidak berani melirik ke arahnya karena sedang menjelaskan sesuatu ke Papa dan sekretarisnya.

Mulutnya menjilat penis Marvel yang awalnya sudah melemas, lalu mengulumnya lagi. Tidak butuh waktu lama sampai penis Marvel kembali tegak di dalam rongga mulutnya.

Marvel semakin merapatkan posisinya pada mejanya. Kepalanya tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan apa yang diucapkan Papanya. Harvel mengulum dan menjilat penisnya seperti menjilat es krim. Tidak dihisap, Harvel tahu akan menimbulkan bunyi kalau dia menghisap penis Marvel.

Harvel setengah mati menahan tawa. Satu tangan Marvel menjambak rambutnya keras, memintanya berhenti. Tapi Harvel mana mau berhenti kalau reaksi tubuh Marvel malah berkata sebaliknya?

Harvel memperhatikan Marvel dari bawah meja. Dia bisa melihat rahang Marvel mengeras dan Marvel berkali-kali menelan ludah gugup.

Lidah Harvel menjilati kepala penisnya, menggoda lubang kencingnya. Tidak berhenti di sana, lidah Harvel justru menari-nari, naik turun dari kepala penisnya, turun ke batang hingga pangkal penisnya. Marvel menggigit lidahnya keras, takut mengeluarkan suara yang mencurigakan.

Marvel berdehem, menahan desahan yang hampir keluar dari bibirnya saat tiba-tiba Harvel mengulum penisnya hingga kepala penisnya menyentuh pangkal tenggorokannya sekaligus meremas bola kembarnya perlahan. Seolah-olah sedang bermain dengan sebuah mainan yang menyenangkan.

'Fuck.' Marvel mengumpat dalam hati.

Setelah ini dia benar-benar akan menghukum Harvel.

“Kenapa kamu?” Papa menghentikan kalimatnya dan menatap Marvel yang terlihat aneh.

“Nggak, nggak kenapa-napa. Terusin aja, Pa” Marvel menjawab, mengalihkan pandangannya ke iPad yang tadi sudah diletakkan Papa di atas meja.

Papa masih lanjut berbicara, sementara Marvel berkali-kali menahan nafas karena Harvel ternyata sanggup mengoral penisnya tanpa suara sama sekali.

Kepala Marvel seperti berputar. Pelepasannya terasa dekat karena Harvel sanggup menstimulasi penisnya seperti itu, dan sialnya dia semakin terpacu karena adrenalinnya yang meningkat di tengah situasi tidak menguntungkan seperti ini.

“Pa, Marvel pusing. Nggak bisa mikir, lagi ngerjain yang lain. Nanti Papa tolong e-mail aja ya, nanti Marvel urus” Marvel berucap cepat waktu Papa menjeda kalimatnya.

Tangannya meraih handphone, pura-pura sibuk seperti ingin mengurus sesuatu.

“Loh, yaudah. Bilang dong dari tadi, Papa mana tau kamu lagi sibuk” Papa menyahut, lalu mengajak sekretaris Marvel untuk ikut keluar dari ruangan Marvel dan pindah ke ruangannya untuk berbicara lebih lanjut.

Marvel melempar handphonenya dan menekan tombol pengunci pintu di mejanya. Kakinya mendorong kursinya untuk mundur, memberikan Harvel ruang untuk keluar dari kolong meja.

“Bandel, ya” Marvel berucap waktu Harvel keluar dari kolong meja dan kembali berlutut di depannya.

Harvel menaikkan satu sudut bibirnya, “Tapi enak kan?”

Marvel belum sempat menjawab. Harvel mengulum penisnya dan menghisapnya cepat, memompa pelepasan yang Harvel tahu sudah dekat.

“No, you're not getting it now” Marvel menjambak rambut Harvel, memundurkan tubuhnya dan menjauhkan penisnya dari mulut Harvel.

Marvel berdiri dari kursinya, lalu menggeser semua barang di mejanya, lalu melepas ikat pinggang Harvel dan menurunkan celananya hingga ke lutut.

Tangannya mendorong pinggul Harvel, mengisyaratkannya untuk duduk di atas meja, lalu kembali bertukar liur. Kali ini lebih panas karena keduanya benar-benar terbakar nafsu dan adrenalin.

“Hnghh, mmhhh- Marvelhh” desahan Harvel mengalir, memenuhi ruangan. Marvel mengocok penisnya cepat.

“Mau- nghh, kamu” Harvel berucap terengah-engah.

Ereksinya naik karena Marvel mengocok penisnya dengan cepat.

Marvel membalikkan tubuhnya. Harvel menumpukan kedua lengannya di meja. Nafasnya tertahan saat nafas hangat Marvel menyapa pintu lubang analnya.

“You don't need to” ucap Harvel.

Tidak terjawab karena detik selanjutnya tangan Harvel terasa kebas. Sikunya melemah, terasa lemas seperti agar-agar. Lidah Marvel menjilat pintu lubang analnya, membuatnya terasa basah.

“Masukin” Harvel meminta, lebih seperti merengek.

Lidah Marvel bermain-main di pintu lubang analnya, sementara tangan Marvel masih mengocok penisnya.

“Not now”

“Hell”

Marvel menampar pantat bulat Harvel yang terpampang di depannya, membuat yang ditampar meringis pelan.

“Watch your language, Sweetheart” Marvel berujar rendah.

Tubuh Harvel meremang, tidak suka terus-menerus didominasi dan dipaksa menurut. Ada saat-saat dimana sisi dominan dalam dirinya bangun dan ingin menerkam apapun yang ada di depannya.

Tangan Harvel menahan tangan Marvel yang hampir mendarat di pantatnya lagi. Tubuhnya berbalik, kakinya melingkari pinggang Marvel, mempersempit jarak mereka.

Tangannya mengalung di leher Marvel yang belum pulih dari keterkejutannya karena gerakan Harvel yang tiba-tiba, “Satisfy me, right now”

Harvel menekan tengkuk Marvel, menyatukan kedua bibir mereka. Tidak terhitung berapa banyak ciuman panas yang mereka lewati dalam hitungan menit. Bibir Harvel perih, disedot kuat-kuat oleh Marvel yang semakin buas setiap kali keduanya berpagutan.

“Nghh Marvel, what the fu- arghhh” Harvel memekik. Tubuhnya membusur, jari panjang Marvel memasuki lubangnya tanpa aba-aba.

“You want me to satisfy you” Marvel berbicara dengan nada menggantung.

Jari-jari Marvel bergerak di dalam lubangnya. Nafasnya terputus-putus. Jari Marvel menumbuk prostatnya, sementara bibir Marvel mendarat di lehernya. Tangannya meremas pundak dan rambut Marvel, menyalurkan kenikmatan yang dirasakannya.

“Jangan eunghh, b-buat tanda”

Harvel mendesah, terdengar menyedihkan karena lehernya perih di berbagai tempat. Larangannya tidak didengar. Marvel sialan, besok pasti ada bercak-bercak keunguan di lehernya.

Marvel mengeluarkan jarinya dari lubang Harvel. Ciuman di leher Harvel berhenti, memberikan Harvel waktu untuk mengatur nafasnya.

“Fuck me, Marvel. I want you” Harvel memohon, frustasi. Kepalanya pusing karena Marvel mempermainkan ereksinya. Setiap kali ereksinya naik, Marvel akan menghentikan kegiatannya, seolah-olah memberinya waktu untuk bernafas.

Marvel tersenyum miring. Matanya memandangi leher Harvel yang penuh bercak kemerahan yang sebentar lagi akan berubah menjadi ungu. Kemeja dan dasinya yang tidak dilepas sudah berantakan.

“I'm saving the best for the last, Sweetheart” Marvel memandangi Harvel yang masih mengatur nafasnya.

Harvel belum sempat berbicara lagi saat Marvel melebarkan kakinya, lalu duduk di kursinya dan menempatkan diri di tengah kaki Harvel.

“Eunghh, akhh j-janganhh” kepala Harvel terdongak.

Matanya berotasi, tangannya menjambak-jambak rambut Marvel.

Marvel mengulum penisnya. Lidah Marvel menjilati kepala penisnya. Kepalanya naik turun dengan cepat, memancing ereksi Harvel kembali meniti puncaknya.

“Akhh- Marvel, hnghh”

Desahan Harvel naik satu oktaf. Orgasmenya sudah berada di ujung dan hampir ditembakkan ke mulut Marvel, tapi sepertinya Marvel terlalu mengenali tubuhnya.

Penisnya dikeluarkan dari mulut Marvel, lalu Marvel menumpukan lengannya di sisi tubuh Harvel, membuat pandangan keduanya setara.

Tangan Marvel mengangkat dagu Harvel. Pandangan Marvel bertemu dengan tatapan nyalang Harvel, sarat akan emosi, tahu dirinya sedang dipermainkan.

“Ayo, pulang” ucap Marvel tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi barusan.

Seriously?

Harvel mendelik. Tenaganya sudah kembali. Tangannya mendorong Marvel hingga jatuh terduduk di kursinya.

“Kamu-”

Kedua tangan Marvel menahan pergerakan tangannya, “Pulang dulu, kita lanjutin di rumah. Emang kamu mau beresin kalau sperma kamu berceceran?”

Harvel menatap Marvel tajam, setengah malu mendengar kata-kata Marvel yang tidak bertata krama.

“But why?” kedua tangannya yang masih ditahan Marvel melemas. Harvel menghela nafasnya, putus asa karena ereksinya dipancing naik turun dan tidak dipuaskan. Dia lebih baik kelelahan tapi mencapai pelepasannya daripada ditunda seperti ini.

“Well-” Marvel memakai celananya dan merapikan pakaiannya, “Karena aku mau ngelanjutin di rumah

Alis Harvel terangkat tinggi, lalu diturunkan kembali. Pasrah, tapi dia tahu Marvel sama mendamba sepertinya. Mungkin malam ini akan lebih panas dari biasanya kalau dia mau bersabar, jadi baiklah, Harvel akan bersabar.

Harvel memakai celananya, merapikan kemeja dan dasinya yang berantakan, “Apartemen kamu atau aku?”

“Rumah, Harvel. Rumah aku”

“Hah?”

Harvel melotot terkejut. Marvel mau mereka bercinta di rumahnya?

“Aku udah bilang Papa sama Mama kok. Papa Mama kamu juga udah tau kalau kamu bakal nginep sampe besok malem. Kan besok malem kita flight

“Kenapa nggak di apartemen kamu aja?”

Marvel tersenyum, alisnya terangkat. “Kenapa?”

“Tsk” Harvel berdecak. “Menurut kamu?”

“I'll give you something to remember before we finally leaving this country and coming back next year”

“What?”

Marvel merapikan mejanya, lalu merapatkan kursinya ke sisi meja saat dirasanya tidak ada bekas apapun yang tertinggal.

Matanya menatap Harvel yang menunggu jawabannya selama dia merapikan meja, “Your punishment, Sweetheart. Don't you dare forgetting about how you teased me when I was literally talking with my Dad”

Harvel ngelirik jam di dashboard mobilnya.

11:50; masih ada sekitar 10 menit sampai jam makan siang. Harvel menghela nafas. Sebenarnya dia nggak suka cabut dari kantor untuk urusan yang nggak penting. Apalagi, belakangan ini kerjaannya bener-bener numpuk dan Harvel sendiri nyaris nggak punya waktu selain buat mandi, makan dan kerja. Makan pun, sambil kerja.

Tadi waktu dia cabut, dia bisa ngerasain aura nggak enak dari seluruh ruangan. Kali ini, Harvel milih buat bodoamat. Papanya udah minta dia buat naik dan megang jabatan baru. Setelah bertahun-tahun dia bertahan kerja di lingkungan yang sibuk nyinyir dengan privilege yang dia punya, akhirnya kali ini dia beneran pake privilege yang dia punya.

Beberapa waktu lalu, Harvel sempet ketemu sama Rendra dan dia malah berakhir cerita tentang masalah kerjaannya. Rendra cuma satu dari sekian banyak orang yang bertanya-tanya “lu anak yang punya D&G, dikasih privilege buat langsung dapet posisi enak, ngapain mulai dari bawah?”

Jawaban Harvel selalu sama.

Pertama, dia emang beneran mau dan harus belajar dari nol. Papanya nggak segampang itu memberikan kemudahan buat dia. Ada bagusnya sih, Harvel juga tau kalau semuanya harus dilakukan secara bertahap.

Kedua, dia sendiri emang pengen mematahkan stigma orang-orang tentang privilege dan membuktikan kalau dia sanggup mulai dari nol.

Sampai akhirnya, Rendra yang sejak awal diem doang ngedengerin, nanya di akhir kalimat Harvel; “Emang lo mau ngebuktiin ke siapa?”

Harvel beneran cuma bengong selama beberapa detik, mencerna baik-baik pertanyaan Rendra yang sebenarnya nggak ada jawabannya.

Sama Papa? Jelas nggak. Papanya cuma nempatin dia jadi auditor independen selama setahun, buat ngebiasain Harvel aja. Suatu hari nanti, dia tetap akan naik dan menjabat jadi CFO. Makanya, dia juga harus ambil sertifikasi CMA.

Sama senior-senior dan rekan kerjanya yang sibuk julidin anak pemilik perusahaan yang cuma lagi pencitraan dengan mulai karirnya dari nol? Harvel juga nggak tau. Tapi stigma tentang privilege itu udah dia dapatkan dari sejak jaman kuliah.

Waktu orang-orang tau kalau Harvel anak yang punya D&G, semua orang melabelinya dengan kalimat “Masa depan lu mah udah terjamin, tinggal nerusin bokap”. Harvel nggak pernah sadar kalau asumsi orang-orang itu bikin batinnya berperang dan dia jadi sibuk memenuhi ekspektasi orang lain yang bahkan nggak akan pernah bisa dia puaskan.

Pertanyaan Rendra malem itu nggak terjawab karena Harvel cuma bisa nelen Patron Anejo yang malam itu nggak tau kenapa malah bikin kerongkongannya kering.


Harvel nggak bisa nahan senyum waktu baca chat terakhir dari Marvel. Biasanya, Marvel yang ngatain dia ketinggian gengsi. Sekarang, liat siapa yang gengsian setengah mati.

Manusia emang nggak pernah ngaca.

Harvel pindah ke seat belakang waktu dia liat Marvel keluar dari pintu kaca, terus celingak-celinguk bentar, habis itu baru jalan ke arah mobilnya. Jaraknya masih terpaut beberapa meter, tapi Harvel bisa liat Marvel sibuk ngulum senyum terus jalan dengan kedua tangan masuk kantong, ngejaga wibawanya tapi entah ke siapa.

“Sini, peluk” Harvel merentangkan tangan waktu Marvel balikin badan habis nutup pintu mobil.

Marvel narik kaki Harvel buat ditumpuk di atas pahanya, terus nggak ngomong apa-apa dan langsung meluk Harvel erat-erat. Hidungnya menghirup wangi shampoo yang menguar dari rambut Harvel di bawah dagunya.

“Mau makan nggak?” Harvel nanya waktu Marvel diem dengan posisi kayak gitu.

“Hm. Bentar” Marvel masih meluk tubuhnya erat. Suaranya agak mendem karena ketimbun rambut Harvel.

“Ih, kesemutan” akhirnya Harvel melepas pelukan mereka.

Marvel ketawa kecil, terus nyubit pipi Harvel. “Aneh-aneh aja sih, kamu”

“Kok aku? Kan kamu yang nggak nanya terus main cabut gitu aja”

“Tapi kan kamu demen sama Julius”

Harvel notice, kalimat itu diucapkan agak pelan. Kayak ada yang tertahan di dalam hati Marvel, tapi dia nggak tau cara ngungkapinnya.

“Iya, Julius ganteng”

“Tuh kan”

“Lah? Emang aku nggak boleh bilang artis ganteng?”

“Tapi kan Julius, adek aku”

“Kenapa?”

“Apanya?”

Harvel menangkup pipi Marvel, memaksa mereka bertukar pandang.

Hidung Marvel dicium sekilas, “Mau cerita?”

Marvel keliatan kayak menimbang-nimbang. “Julius ganteng”

“Hm”

“Yaudah. Nanti kamu suka”

“Kok gitu?”

“Semua mantan aku pas tau kalau Julius adek aku, caper sama Julius”

“Aku kan bukan mantan kamu”

Marvel menghela nafas. “Julius punya semua yang aku nggak punya”

“Apa?”

“Well, he's attractive”

Harvel bisa ngeliat Marvel ngegigit lidahnya sendiri di dalem mulutnya yang tertutup.

Nggak mudah buat Marvel mengakui, kalau dari kecil dia selalu insecure sama Julius. Julius udah sebersinar itu dari jaman mereka sekolah. Tipikal anak muda yang ganteng dan menuai perhatian dari semua orang, udah gitu ditunjang dengan kepribadian yang menyenangkan dan gampang berbaur sama siapa aja.

Julius juga disayang Papa. Kenyataan paling pahit yang harus dia telan karena untuk yang satu ini, Marvel nggak berniat ngebagi dengan siapapun. Bahkan dengan Harvel. Dia cuma pengen menjadikan ini sebagai bahan refleksi kalau suatu hari dia punya anak, dia pengen memastikan kalau anaknya nggak merasakan apa yang dia rasakan sekarang.

“Terus kenapa kalau Julius attractive?”

“Nggak apa-apa, emang attractive

Marvel menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Harvel. Tangan Harvel ngelus-elus kepalanya lembut.

“I'm sorry for getting you through this feeling. This must be horrible for you”

Marvel ngangkat kepalanya dari leher Harvel.

“Apa?” tanya Harvel.

“Emang kamu ngerti?”

Harvel mengangguk. “Sort of. Tapi beda dikit, soalnya Helena nggak kayak Julius”

Marvel menarik kepala Harvel, terus ditenggelemin ke dadanya. Bibirnya menghujani pucuk kepala Harvel dengan ciuman ringan sampai Harvel mendongak dan ciumannya mendarat di kening, terus ujung hidung, dan berakhir di bibir Harvel.

“Kapan kita mau makan?” Harvel bertanya waktu tangannya mendorong bahu Marvel pelan, nggak memberi Marvel waktu untuk memperdalam ciumannya.

“Kamu balik kantor?”

“Nggak. Tadi udah bilang Papa”

Senyum Marvel mengembang. “Kan, kamu tuh nggak sesibuk itu. Aku tau”

Harvel manyun. Bibirnya mencebik lucu.

“Makaaaan” kali ini dia merengek.

“Iya. Mau makan apa?”

“Nggak tau. Jalan aja dulu”

Keduanya pindah ke kursi depan setelah debat kusir nggak jelas soal siapa yang harus nyetir, terus berakhir dengan Harvel yang nyetir karena dia ngotot kalau itu mobilnya.

“Awas aja kalo kamu jawab terserah” Marvel sibuk scroll aplikasi zomato di handphonenya.

“Tapi aku beneran nggak kepikir mau makan apa, Vel”

Keduanya berakhir makan di sebuah restoran Italia di mall yang nggak jauh dari kantor Marvel karena udah laper dan males nunggu kelamaan.

Terus sengaja milih restoran yang ada smoking area karena awalnya berniat buat nyantai sampe sore, tapi akhirnya malah balik ke apartemen Marvel karena Harvel tiba-tiba bilang mau liat apartemen Marvel. Kan selama ini emang kalau tidur bareng, Marvel yang ke apartemennya. Jadi mumpung nggak jauh dan dia nggak harus balik ke kantor, dia minta ke apartemen aja.

“Vel, lagi pengen makan apa?” Harvel bertanya sambil scroll browser, tapi nggak jelas nyari apa.

“Di Pur' – Jean-François Rouquette yuk. Masih sempet kalau reserve jam segini, reserve jam 8 aja”

“Hah?” Harvel mengangkat alis. Setengah kaget karena yang disebut Marvel itu restoran fine dining di hotel bintang lima, setengahnya lagi karena pelafalan Marvel yang lancar. Bahkan lebih lancar dari dia yang udah tiga bulan ini di Paris.

“Kenapa?”

“Ya, nggak apa-apa sih” Harvel mengangkat bahu.

Masih ada satu setengah jam, emang pasti keburu. Lagian ini bukan high season, jadi nggak bakal full walaupun Jumat.

“Besok aja mau nggak? Hari ini pesen pizza aja”

“Yaudah. Kamu pesen aja, aku ngikut”

Harvel ngangguk, lalu sibuk mesen pizza dan berbagai sidedish sambil sesekali crosscheck ke Marvel kalau ada yang dia nggak setuju.

“Kamu bisa bahasa Perancis?”

Marvel mengangguk, “Kan aku tulis, di carrd”. Merujuk pada carrdnya buat Miguel Maximillian.

“Iya. Terus aku ceritain kamu ke kamu sendiri, nice” sahutnya, nyindir Marvel.

Marvel ketawa doang, “Waktu itu kan aku juga belum tau kamu”

“Tapi kan akun Miguel itu akun kamu. Terus anak-anak juga suka gibahin Miguel kan”

“Oh iya, kamu belum tau ya. Aku jadi BFR karena Tará”

“Gimana ceritanya?”

“Dia pernah cerita kalau dia pengen rent BFR gitu, tapi nggak tau mau nyoba siapa. Waktu itu juga BFR nggak serame sekarang, belum ada basenya. Terus yaudah, aku bikin terus rekomen akun aku sendiri, hehe” Marvel nyengir nggak berdosa.

“Lah, kalo gitu dia tau BFR dari mana? Terus kalo kamu jadi BFR karena dia, berarti dia client pertama? Kok dia bisa rent ga pake testimoni?” Harvel nanya bertubi-tubi, penasaran banget karena dia tau Tara baper banget sama Miguel.

“Temennya rent satu BFR, tapi dianya full mulu. Nah pas itu Tará cerita, terus aku bikin akunnya. Yaudah aku mutualan aja sama beberapa talent

“Dia berani rent nggak ada testimoni?” ulang Harvel

“Dia sempet nanya sih sama aku. Terus aku bilang suruh baca aja carrdnya, kali aja cocok. Eh, dia beneran rent. Lagian waktu itu kan talent juga baru dikit”

Harvel ngangguk-ngangguk. “Tará tau kamu? Maksudnya akun alter kamu satu owner sama Miguel

“Nggak” Marvel menggeleng.

“Kalian bisa cerita-cerita gitu, emang deket?”

Marvel mengangkat alis, terus senyum-senyum iseng. “Cemburu ya, karena Tará baper sama aku?”

“Dih” Harvel memutar bola matanya males.

“Lumayan deket. Dia sering dm aku buat cerita-cerita, tapi belakangan udah jarang soalnya aku sibuk juga kan”

“Kamu nggak aktifin akun alter lagi? Dicariin tuh, sama anak GDM”

“Ntar deh” Marvel nyautin, terdengar menimbang-nimbang.

Obrolan mereka terputus begitu aja karena suara bel yang menandakan kalau pizza mereka udah datang.

Malam itu dihabiskan dengan cerita yang nggak habis-habis dari mulut keduanya. Topiknya juga random aja, soalnya walaupun cuma nggak ketemu tiga bulan tapi rasanya banyak banget yang terlewat.

Dari pizza, sidedish yang sengaja Harvel pesen banyakan buat nemenin mereka Netflix yang malah nggak jadi nonton tapi sibuk ngobrol, masak indomie yang emang distok Helena tiap kali ada yang datang dari Indonesia, sampai susu cokelat panas yang dibuat karena keduanya laper lagi karena ternyata jam udah menunjukkan jam 4 pagi.

Keduanya baru tidur waktu langit udah mulai terang. Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, baik Marvel maupun Harvel tidur dengan hati dan pikiran yang enteng. Lega karena semua yang selama ini menghantui mereka udah beres.


Helena masuk ke apartemen dengan bingung. Dia sengaja ngetuk pintu dulu, untuk ngasih tanda kalau ada orang yang datang. Udah siang sih, tapi siapa tau kakaknya dan Marvel lagi ngapain kan. Namanya juga kangen.

Sepatu Marvel masih ada di rak kayak waktu kemarin Marvel datang ke apartemen. Lalu ada sepatu kakaknya. Tapi kenapa apartemen sepi banget?

“Kak Harvel?” Helena memanggil sambil berjalan ke sofa. Rapi. Sampah-sampah dan piring gelas kotor emang udah dicuci sebelum Marvel dan Harvel tidur.

'Masa belum bangun?', Helena bertanya dalam hati. Matanya melirik jam dinding di atas TV, jam 1 siang. 'Main berapa lama sampai jam segini belum bangun?'

“Kak-” Helena membuka pintu kamar kakaknya waktu ketukannya nggak dijawab.

“Lah kamu balik?” Harvel bertanya dengan mata menyipit. Membiasakan cahaya yang masuk ke matanya. Keliatan banget baru bangun tidur. Tangan Marvel bahkan masih melingkar di pinggangnya.

Helena bingung sendiri. Kamar kakaknya bersih, nggak ada bau ehm- sperma, dan keduanya berpakaian lengkap sampai celana.

“Aku mau ketemu temen aku, tapi ada yang ketinggalan jadi aku balik dulu” jelasnya.

“Kok baru bangun sih?”

“Habis ngobrol sampe pagi. Kan kangen” kali ini Marvel yang menjawab sambil tersenyum tipis. “Well, hi, little sister”

“Apaan little sister” Harvel berdecak.

“Kamu nggak mau makan sama kita?” Marvel bertanya sambil bangun dari kasur.

“Yah, aku uda janjian sama temen aku. Malem deh”

“Malem kita mau pacaran. Anak kecil nggak boleh ikut” kali ini Harvel yang nyaut.

“Ih” Helena menautkan alis, jijik sama kata-kata kakaknya yang ternyata menggelikan kalau lagi punya pacar.

“Besok aja, kan kita flightnya Senin subuh” Marvel menengahi, lalu berjalan ke dapur untuk ngambil air.

Harvel dan Helena nyusul, lalu duduk di kursi meja bar.

“Kita? Emang aku juga balik?”

“Emang kamu nggak mau balik? Kan pengumumannya masih taun depan”

Helena cuma diem, ngeliatin kedua orang di depannya.

Harvel ngangkat bahu, “Nggak tau”

“Balik aja, di sini juga Kakak nganggur”

Harvel terlihat menimbang-nimbang, “Yaudah. Nanti aku pesen tiket”

“Aku udah pesenin”

“Lah? Kalau aku nggak mau balik gimana?”

“Hangus lah”

Enteng banget jawaban Marvel. Padahal Harvel tau kalau Marvel nggak mungkin pesen tiket kelas ekonomi, pasti minimal business class atau bahkan first class.

“Buang-buang duit aja, boros” Harvel berkomentar, lalu minum air yang disodorkan Marvel.

“Ntar malem tukeran dong. Aku di rumah, kalian di hotel aja. Masa udah booking hotel bagus malah aku yang pake” ucap Helena.

“Ntar malem kan di Place Vendôme. Kamu nggak mau?” Marvel menawarkan. Dia emang nggak jadi booking dua malam di hotel yang sama biar Helena bisa jadi princess dua hari dan ngerasain dua hotel berbeda. Iseng aja, biar ganti suasana kata Marvel.

“Nggak” Helena menggeleng.

“Makannya juga di situ kan?” Harvel mengingat-ingat lokasi restoran yang kemarin disebut Marvel.

“Iya” Marvel ngangguk.

“Yaudah pas kan. Tukeran ya, ntar abis makan nggak usah balik. Baliknya besok abis breakfast.”

Helena turun dari kursi, terus ke kamarnya ngambil sesuatu yang katanya ketinggalan tadi. “Aku jalan ya, bye


Malam terakhir mereka di Paris dihabiskan dengan makan malam di Pur' – Jean-François Rouquette, lalu keduanya ke supermarket untuk beli rokok dan beberapa barang-barang yang diperlukan. Setelah itu jalan-jalan sebentar menyusuri kota Paris sebelum akhirnya balik ke hotel karena udaranya udah semakin menusuk. Paris udah memasuki musim dingin, jadi mereka nggak mau ngambil resiko masuk angin kalau kelamaan di luar.

Sebenernya malem terakhirnya besok sih, tapi kan paginya udah langsung ke bandara. Jadi mereka menjadikan malam ini malam terakhir mereka.

Harvel merapatkan tubuhnya ke tubuh Marvel, membiarkan tangan Marvel melingkari tubuhnya penuh.

“Vel, kamu nggak marah sama aku?” Harvel tiba-tiba bertanya waktu Marvel udah merem, bikin yang ditanya melek lagi.

“Marah kenapa?”

I mean– ya gitu, I was damn stubborn

“Udah lewat juga. Yang penting sekarang kamu di sini” Marvel mengecup keningnya lama sebelum akhirnya ngajak Harvel tidur.

Harvel diam-diam tersenyum tipis. Keputusannya nggak salah, dan dia tau Marvel orang yang tepat. Dalam hati dia berucap, meminta agar hatinya dijatuhkan sejatuh-jatuhnya kepada Marvel, Marvelnya.

Harvel meringis saat pantatnya menyentuh sofa. Lubang analnya masih terasa sedikit perih, tapi untungnya nggak luka. Marvel lagi mandi, karena technically, mereka nggak mandi bareng karena Marvel memandikannya. Tangannya meraih ponsel yang masih berada di saku coat tebalnya. Tadi waktu pulang, dia meletakkan coatnya begitu saja di sandaran sofa, before that thing suddenly happened.

Alisnya terangkat saat tidak ada satu pesan pun masuk dari Helena. Sudah hampir jam 6 sore dan adiknya belum pulang juga, tumben.

“Kamu lembur?” tanya Harvel waktu teleponnya diangkat di deringan ketiga.

“Nggak. Aku mau kasih tau sesuatu tapi Kak Harvel janji nggak marah ya”

Alis Harvel terangkat semakin tinggi, udah bisa nebak ke mana arah pembicaraan mereka.

Harvel menghela nafas, “Iya. Ngomong aja, semuanya

“Aku nginep di Costes, hehe.” terdengar Helena tertawa kecil. “Tukeran sama Kak Marvel, aku yang ngusulin biar kalian bisa ngobrol lebih nyaman”

Harvel terdiam. Matanya memanas. Dia mau marah, tapi dia sadar kalau selama ini Marvel benar-benar melakukan segala cara untuk menunjukkan kepeduliannya, dianya yang terlalu keras pada dirinya sendiri. Dia mau marah pada dirinya sendiri.

“Kak?” Helena memanggil saat kakaknya diam saja.

“Sampai kapan?”

“Eh- nggak tau” Helena terdengar bingung.

“Yaudah, nanti aku tanya Marvel. Take care, Len”

“Iya. Bye, Kakak”

“Len” Harvel menggigit bibirnya sebelum Helena mematikan sambungan.

“Hm?”

“Thank you”

Tulus. Harvel buru-buru mematikan sambungan karena pintu kamar mandi terbuka. Marvel keluar dengan rambut basah, terlihat segar.

“Kenapa?” Marvel bertanya saat sadar Harvel memperhatikannya dari sofa.

“Nggak” Harvel buru-buru mengalihkan pandangannya.

Mereka emang belum ngobrol sama sekali. Eh, udah sih tadi di kamar. Tapi nggak banyak karena Marvel lebih sibuk nenangin Harvel yang malah nangis nggak karuan.

“Vel” Marvel duduk tepat di samping Harvel setelah naro handuknya di gantungan.

“Liat sini dong, ganteng”

Air mata Harvel udah hampir jatoh lagi waktu Marvel membujuknya begitu sambil ngelus kepalanya lembut. Harvel sibuk maki-maki dirinya sendiri, ngebatin betapa dia bisa merasakan elusan tangan Marvel di kepalanya berbulan-bulan ini kalau aja dia nggak keras hati.

“Boleh peluk nggak?” Marvel nanya waktu Harvel akhirnya menoleh, belum berani liat matanya. Pandangannya jatuh ke lantai yang tertutup karpet bulu.

Harvel ngangguk. Marvel merengkuhnya ke dalam pelukan. Erat, seolah-olah memohonnya untuk tidak pernah pergi lagi dari sisinya.

“Kangen” Harvel bergumam tanpa sadar. Nafasnya ditarik panjang, menikmati wangi khas Marvel yang selama ini dia kira dari parfumnya tapi ternyata dari tubuhnya sendiri. Nggak tau apa, tapi Harvel suka.

“Hah?” Marvel merenggangkan pelukannya, kaget sama apa yang didengarnya.

“Apa?”

“Barusan, apa?”

“Enggak. Kamu salah denger kali”

Marvel mengangkat alis bingung. Tapi mungkin emang dia salah denger kali, mana mungkin Harvel bilang kangen duluan. Gengsinya kan saingan sama Burj Khalifa.

Eh- tapi;

“Sekarang ngomongnya kamu, nih?” Marvel bertanya waktu kepala Harvel udah terbenam di dadanya lagi.

“Diem” Harvel memukul pinggangnya pelan.

Marvel tertawa kecil. Mau sampai kapan sih gengsinya dipertahanin begitu?

“Sini, ngobrol dulu yang bener” Marvel menepuk kepala Harvel pelan, mengisyaratkannya untuk beneran ngobrol. Maksudnya, nyuruh Harvel liat matanya.

Harvel manyun. Bingung mau mulai dari mana, karena sebenarnya nggak suka dipaksa ngomong kayak gini. Tapi kan emang dia yang bikin situasinya jadi begini. Marvel mau repot-repot ngalah aja udah sukur harusnya.

“Maaf” Harvel berucap, tapi matanya tetep nggak berani liat Marvel.

Sebenernya Marvel gemes, tapi demi hubungan yang lebih sehat, dia harus nahan desakan buat nguyel-nguyel Harvel. Mereka kan udah bukan anak remaja yang kalo ribut bisa dilupain gitu aja; harus ada solusi.

“Kalau ngomong itu, liat orangnya, Harvel” Marvel menciptakan jarak di antara mereka. Punggungnya bersandar pada lengan sofa.

“Iya, maaf” Harvel ngalah, akhirnya menatap mata Marvel takut-takut.

“Ngomong yang jelas dong, masa gitu doang”

'Dih? Kan yang salah Marvel, kok gue yang disuru jelasin', batinnya sebel, tapi buru-buru dihapusnya pikiran itu.

“Yaudah gitu, ah. Nyebelin banget sih, orang kamu juga salah” Harvel menatap Marvel tajam. Matanya disipitkan, keliatan gedeg.

Marvel menarik nafas, “Terus besok-besok, mau kayak gini lagi?”

“Nggak. Besok-besok ngomong, nggak cabut lagi” Harvel berucap pasrah, capek ditodong terus.

“Tapi kalo aku bilang aku butuh waktu sendiri, artinya beneran mau sendiri” sambungnya pelan, berharap Marvel paham kalau dia awalnya emang beneran pengen menjernihkan pikirannya, tapi bablas.

“Maaf ya, aku terus-terusan ngajak ngomong. Aku juga tau sih, harusnya aku biarin kamu sendiri dulu. Tapi waktu itu aku takut banget kamu malah mau lost contact” ucap Marvel.

Lancar; sampai Harvel sadar kalau Marvel udah lama menyiapkan diri dan dia yang larinya kejauhan.

Harvel menggigit bibir bawahnya, “Peluk”

Senyum Marvel yang dari tadi mati-matian ditahannya mengembang. Tangannya terbuka, menarik Harvel ke dalam pelukannya. Kepala Harvel terbenam di dadanya. Tangannya mengelus kepala Harvel sayang, tau kalau dirinya udah jatuh terlalu dalam.

“Are we good?”

“Hm” Harvel mengangguk dalam dekapan Marvel.

“Alright. Hear me out”

Harvel ngangkat wajahnya, memperhatikan Marvel dari bawah rahangnya. Diem aja, nunggu Marvel nerusin kalimatnya.

Pandangan keduanya bertemu. “I love you, Harvel. I genuinely do”

Harvel beringsut menyetarakan posisinya dengan Marvel. Pandangannya tidak lepas dari mata Marvel yang terlihat teduh. Seolah-olah sedang berbahagia dan tidak ada yang bisa merusak kebahagiaannya.

“I love you too”

Harvel menyatukan bibir mereka. Cuma nempel, nggak ada yang bergerak. Untuk beberapa detik, memberhentikan waktu yang berputar untuk menikmati kepingan hati yang utuh kembali.

Harvel menghapus setetes air mata yang jatuh ke kertas latihan soal di mejanya dengan kasar. Dia benci menangis, tapi hatinya sakit saat dia keluar dari chat roomnya dengan Marvel. Dia benci saat-saat dimana rasanya semua keputusan yang diambilnya salah.

Harvel melempar handphonenya ke kasur, lalu mendongakkan kepala dan menatap langit-langit kamarnya. Matanya perih karena dia menahan air matanya dari tadi, yang walaupun akhirnya lolos juga meski cuma setetes.

Dia berjalan ke arah lemari dan mengambil sebuah coat. Pikirannya kusut dan dia ingin menenangkan dirinya sebentar.

Arc de Triomphe. Sejak Harvel menginjak Paris, tempat itu menjadi satu dari beberapa tempat favoritnya. Bagian atas Arc de Triomphe yang tidak terlalu ramai apalagi jika tidak sedang musim liburan selalu menjadi tempat terbaiknya untuk menenangkan diri. Harvel beberapa kali ke sana saat kepalanya penat karena terlalu banyak belajar atau ketika dia justru tidak bisa berkonsentrasi belajar karena pikirannya dipenuhi dengan Marvel.

Apa Marvel makan dengan teratur seperti reminder yang setiap hari dia berikan untuk Harvel? Apa Marvel beristirahat dengan cukup setelah beban kerjanya bertambah? Terakhir kali Marvel -eh, Miguel– bercerita kalau pekerjaannya luar biasa sibuk. Marvel tidak bercerita secara detail, tapi kemudian dia tahu kalau ada beberapa hal tambahan yang dikerjakannya. Biar bagaimanapun, laki-laki itu mengemban tugas menjadi seorang Chief Financial Officer di usia yang sangat muda. Atau sesederhana, apakah Marvel baik-baik saja? Dan; apakah Marvel merindukannya?

Marvel Dewantara; how dare this person steps into his damn fragile heart and not even stepping out now?

“Len, aku keluar bentar, ya. Ke Arc de Triomphe, terus cari kopi mungkin. Nanti aku kabarin kamu” Harvel berucap cepat, takut adiknya notice suara bindengnya.

“Oh- oke. Hati-hati, Kak” Helena terdengar seperti mau bertanya sesuatu, tapi diurungkannya. Harvel juga tidak berniat bertanya.


Harvel berbelok ke Avenue Mac-Mahon. Kakinya melangkah memasuki Café Latéral; salah satu cafe tidak jauh dari Arc de Triomphe. Di tengah perjalanan tiba-tiba dia berubah pikiran. Pilihannya jatuh pada salah satu cafe yang biasanya ramai pada saat weekend, tapi hari ini tidak begitu ramai dan Harvel tertarik untuk mencoba croissant atau tarte tatin mereka kalau dia tertarik.

Harvel memasang airpods ke telinganya, lalu tangannya memilih playlist lagu untuk menemaninya. Gerakan jarinya terhenti, ada playlist yang pernah dia buat untuk Marvel dulu, saat dia jatuh hati pada pribadi laki-laki itu melalui akun alternya. Lalu dia tidak merubah playlist itu dan menambah beberapa lagu yang mengingatkannya dengan Miguel.

Playlist ini juga yang diputarnya di mobil Marvel saat mereka memutuskan untuk berteman dan menghabiskan malam untuk makan nasi goreng, sate taichan, berkeliling Jakarta dan berakhir di Puncak.

Lucu sekali. No matter who Marvel is, he would always fall for him.

Jarinya bergerak, menyusun satu per satu lagu di dalamnya. Tadinya, dia sempat berpikir untuk menghapus playlist itu saat periode rent terakhirnya berakhir. Tapi itu sebelum dia tahu, kalau Marvel adalah Marvel dan Miguel.

Losing control; a forbidden story to tell. Untuk kisahnya di akun alter dan Miguel, yang mungkin akan disimpannya sendiri entah sampai kapan. Dunia akan meragukan perasaannya untuk orang dari dunia virtual, jadi cukup dia yang tahu.

“Can you be the one to hold and not let me go? I need to know; could you be the one to call when I lose control?” Kenyataan bahwa hatinya jatuh berkali-kali untuk orang yang sama, yang jika orang-orang tanya, jawabannya sederhana; Karena dirinya kehilangan kontrol atas hatinya.

“I'm like 'ooh, damn.' So suddenly, I'm in love with the strangers.” Untuk hatinya yang jatuh kepada Marvel yang bahkan belum dikenalnya, dan Marvel yang punya sejuta cara untuk mengulas senyum di bibirnya.

“Maybe we're perfect strangers, maybe we're not forever.” Marvel dan Miguel; orang-orang dari dunia virtual yang dia pikir hanya rasa sementara.

“All I want is to stay a little longer now.” Kalau malaikat mendengar doanya, Harvel ingin kisahnya dengan Marvel bertahan lebih lama lagi.

“I don't even try looking for something new cause wherever I go, I'll be looking for you.” Mulai dari detik dia membuka mata, hingga detik dia menutup matanya setiap malam; ada Marvel Dewantara dalam setiap bagian dalam dirinya.

“Been waiting and waiting for you to make a move fefore I make a move.” Hatinya berteriak, memaki-makinya untuk setiap detik yang dibuangnya untuk mempertahankan egonya.

“I didn't know that I was starving till I tasted you.” Pipinya memanas. Malam yang dia lewati dengan Marvel; malam-malam paling indah yang pernah dialaminya selama hidupnya.

“We're just strangers in passing casually. It's not us no more, it's just you and me.” Hari-harinya dengan Marvel; sesaat lagi dia tutup.

“Don't ever want to see things change cause when I'm living on my own. I'll wanna take it back and start again.” Harvel lelah. Hati dan pikirannya terus menerus berperang. Dia merindukan Marvel; Marvelnya.

“And there goes the alarm ringin' in my head like somebody said, “Don't you trust him?” No.” Pikirannya berkali-kali mengingatkannya; tidak ada hubungan yang dibangun atas dasar ketidakjujuran. Hatinya berkali-kali mengingatkannya; tidak ada hubungan yang berjalan dengan sempurna tanpa kesalahan dan saling memaafkan.

“I tell you that I want you but it's complicated.” Ceritanya dengan Marvel terlalu rumit hingga dia bahkan tidak tahu harus memulainya dari mana.

“They expected me to find somewhere. Some perspective, but I sat and stared right where you left me.” Hari-harinya dengan Marvel di dunia virtual berputar kembali di otaknya. Berhenti pada malam di mana dia menceritakan bagian dari dirinya yang tidak pernah dia bagikan kepada siapapun, tapi malam itu dia bagikan kepada Marvel. He's stucked. Karena satu-satunya orang yang akhirnya bisa memahami dirinya; adalah Marvel.

“Life isn't like the movies but it sure will make you cry.” Air matanya hampir melesak keluar. Salahkah Harvel jika dia ingin merasakan happily ever after seperti dalam film-film?

“But my heart is so invested, I don't wanna face the truth.” Kalau hubungannya terjalin secara virtual, kenapa perasaannya terasa aktual?

“I know we didn't end it like we're supposed to and now we get a bit tense.” Harvel tersenyum sedih. Harvel dan Marvel; pictured in one sentence.

“I hope you'll understand in the morning that this is just my problem that I'm solving.” Harvel dengan idealisme kejujuran yang dipegangnya kuat-kuat. Harvel dengan hatinya yang memohon maaf dari sang pemilik hati.

“What if I fall? Then am I the monster?” Senjata yang selalu Harvel tusukkan pada dirinya sendiri untuk menghilangkan bayangan Marvel dari pikirannya; tapi kalau hatinya menolak, Harvel bisa apa?

“Don't know if I'll see you again someday but if you're out there, I hope that you're okay.” Harapan dan doa yang selalu Harvel panjatkan kepada malaikat. Dia ingin, Marvel baik-baik saja. Marvelnya; baik-baik saja.

“Just hold on tight, you're closer than you know.” Kalau Harvel boleh egois, dia ingin meminta agar Marvel bertahan.

“Hold me like you did before or just run away.” Biar Marvel yang memilih, karena Harvel lelah dengan pilihan yang dibuatnya untuk dirinya sendiri.

“I'd go to hell and back if I could go there with you.” Kali ini, Harvel tidak berbohong. Kalau Marvel bersedia, dia rela pergi kemanapun; bersama Marvel.

“All this time I was wasting hoping you would come around.” Harvel menelan café crème yang menemaninya sore ini. Perasaannya saja, atau kopi hari ini lebih pahit dari biasanya? Ck, dia sendiri yang meminta Marvel pergi dan dia sendiri juga yang mengharapkannya kembali.

“I let my ego swallow me and that's why I might never see you again.” Seperti ada sesuatu yang menghujam hatinya. Ketakutan merayapinya; ini adalah pertama kalinya Harvel takut Marvel meninggalkannya.

“Stranger, who knows all my secret, can pull me apart and break my heart.” Benarkah Marvel hanyalah strangers dalam hidupnya? Berkali-kali Harvel memikirkan jawaban atas pertanyaan ini.

“Cause I could fall for you if I wanted to but I can't.” Terlambat. Harvel sudah jatuh terlalu dalam dan kini dia tidak menemukan jalan keluar.

“Take a piece of my heart and make it all your own so when we are apart you'll never be alone.” Harvel menarik nafas panjang. Kali ini sungguh-sungguh berharap pada semesta; untuk memberikannya kesempatan kedua.

Harvel menyesap kopinya yang mendingin, bersiap untuk pulang ke rumah.

Marvel; jawaban dari semua yang Harvel butuhkan dalam hidup.