Golf

Marvel memarkir mobilnya buru-buru; pokoknya asal mendarat di garasi aja deh. Mobil Julius ada di garasi, menandakan adiknya udah pulang duluan.

Semalam, Julius menginap di apartemennya setelah syuting. Tapi barusan mereka misah karena Julius ketemu dengan managernya di salah satu mal nggak jauh dari apartemen. Katanya, ada yang perlu didiskusikan.

Kemarin malam, mereka berencana untuk kembali ke rumah pagi ini. Tapi karena Julius ada janji mendadak sama managernya, akhirnya mundur ke sore hari. Eh belum sempat Julius balik ke rumah, mereka berdua udah rebutan ikut Papa golf.

Di rumah, Sebastian yang menyaksikan kedua adiknya rebutan lewat chat buat nemenin Papanya golf cuma bisa ketawa-ketawa doang. Udah biasa; umurnya doang dewasa, kelakuannya tetep aja kayak anak kecil. Kebaca banget, kedua adiknya ini emang lagi ngegebet orang yang kebetulan anak dari klien-klien Papanya.

Sebastian menuruni tangga. Kakinya melangkah menuju sofa ruang tengah, lalu mendaratkan pantatnya di sana. Mau menyaksikan langsung kedua adiknya perang kecil-kecilan di rumah. Lumayan, hiburan.

Julius membuka pintu dengan buru-buru. “Marvel belum balik?”

“Belum” Sebastian tertawa. “Papa di kolam renang”

Julius cengar-cengir, ngerasa didukung kali; nggak tahu juga. Kakinya berlari kecil ke arah belakang rumah, ke kolam renang tempat Papanya duduk-duduk. Walaupun masih siang, tapi udara hari ini nggak begitu panas. Pantes Papa bisa di luar siang bolong.

“Paaaa”

Papanya menoleh. “Ada maunya aja, inget pulang”

Julius ketawa-ketawa. “Nggak gituuu, ih” tangannya bergelayut di lengan Papanya. Kepalanya nyender-nyender di lengan Papanya, sambil diusak-usak yang punya lengan.

Dari pintu kaca, Sebastian memperhatikan interaksi adik bungsu dan Papanya. Hatinya menghangat, soalnya sejak dulu, Papa pengen anak perempuan yang bisa disayang dan dimanja-manja. Tapi Sebastian dididik Kakeknya yang otoriter untuk jadi anak sekaligus cucu sulung yang tegas dan kuat. Nggak boleh menye-menye.

Sedangkan Marvel, Sebastian juga nggak tahu kenapa, tapi adik pertamanya itu kayak anak Mama seorang. Plek, persis sama kayak Mama versi laki-laki. Nggak ada mirip-miripnya sama Papa. Cuek bebek, nggak ada tuh dalam agendanya bisa manja-manjaan sama Mama Papa atau Kakaknya.

Waktu Sebastian masih TK, dia pernah nggak sengaja denger Mama dan Papanya berbincang di meja makan. Papa pengen punya anak lagi, pengen anak perempuan. Mama sebenarnya cuma mau dua anak, lalu dengan frustasi bertanya ”Terus kalau anaknya laki-laki, jadi tiga dong anak laki di rumah?”

Dulu kan Sebastian nggak ngerti, jadi dia tiba-tiba muncul dan dengan polosnya bilang kalau dia mau kok, punya adik satu lagi. ”Laki-laki juga nggak apa-apa” katanya waktu itu.

Long story short, setahun kemudian permintaannya terkabul. Julius kecil lahir ditengah keluarga Dewantara. Julius tumbuh jadi anak yang nggak bisa diam sama sekali, pokoknya kayak kebalikan Marvel. Sebastian sampai bingung, kenapa adiknya bertolak belakang banget. Jarang berantem sih, soalnya saking bertolak belakangnya, dulu Julius suka ngadu ke Sebastian kalau kakaknya yang satu itu nggak ada seru-serunya. Lempeng aja, kayak triplek. Diajak main ayo, tapi nggak seru buat jadi teman Julius yang heboh.

Papa dan Mama sih, nggak ada yang pilih kasih. Dalam artian, kalau satu dibeliin mainan, yang dua lagi juga ikut dibeliin. Kalau berantem anak kecil pun, yang salah dihukum dan diajarin yang benar. Jadi, bukan berarti Julius dianakemaskan. Tapi namanya anak yang paling diharapkan Papa, jadinya lumayan dimanja. Apalagi diantara ketiga anaknya, yang paling mungkin buat dimanja-manja cuma Julius.

Sebastian juga nggak punya kesempatan untuk bermanja-manja sama Papa dan Mama karena waktu umurnya menginjak 8 tahun, Kakeknya ngusulin buat menyekolahkan Sebastian di Perancis, mengingat suatu hari nanti seluruh Perusahaan Dewantara dan anak-anaknya akan turun ke Sebastian. Jadi sejak kecil, Sebastian udah dididik untuk jadi laki-laki paling tangguh. Makanya kalau ada pemandangan adik-adiknya lagi deket sama orang tuanya, Sebastian cuma bisa tersenyum dalam hati. Dia tahu, dia nggak dalam posisi bisa seperti itu dengan kedua orang tuanya.

Pintu rumah terbuka lebar dan Marvel masuk dengan tergesa-gesa. Mukanya ketekuk; “Julius mana, Kak?”

“Di kolam renang, sama Papa”

“Lu ikut golf?” tanya Marvel.

“Nggak lah, kan kalian mau ikut Papa. Gue nggak usah kalo gitu”

Marvel mengangguk.

“Udah sana, kalau nggak berhasil nanti gue bantu ngomong ke Papa” Sebastian menahan tawa, geli juga liat adiknya yang biasanya nggak pernah effort buat deketin orang kok tiba-tiba saingan sama adik satu lagi, tapi beda objek.

Marvel manyun, bete diketawain. Tapi akhirnya berterimakasih dan menyusul Papa dan Julius ke kolam renang.

“Nah, anak satu lagi inget pulang” suara Papa menyapa pendengaran Marvel waktu kakinya menginjak area belakang rumah.

Marvel meluk Papanya sekilas, kemudian menjitak Julius yang dibalas dengan muka penuh ledekan dari adiknya.

“Kenapa sih, tiba-tiba pada mau ikut Papa? Biasanya juga apa-apa suruh Kak Tian” Papa bertanya, penasaran.

“Mau bonding lah, kan aku harus bonding sama anak-anak temen Papa” Marvel menjawab cepat dengan nada merengek.

“Bohong, Pa. Kakak mau deketin Harvel” Julius ngadu yang dibalas pelototan Marvel.

“Julius mepetin Javier, Pa” Marvel nggak mau kalah.

Papa mengerutkan alis bingung, “Ini Harvel Dirgantara sama Javier Adhinata?”

“Kok bisa pada kenal? Kalian ketemu aja belum?”

“Loh, waktu itu kan kenalan, Pa. Papa yang kenalin di Cloud” Marvel merujuk ke acara charity Perusahaan beberapa waktu lalu, waktu Dia kenalan sama Harvel.

Papa mengingat-ingat. “Oh, waktu Kak Tian nggak bisa itu, ya?”

Marvel mengangguk.

“Yaudah tapi yang bener, ya. Nggak enak kalau udah urusan hati”

“Beres, Bos” Marvel nyengir, senang rencananya udah di-approve.

“Ih” Julius memprotes, tapi kepotong ucapan Papa.

“Terus Adek kenal Javier dari mana?”

“Di pesawat, kenalan”

Papa membelalakkan mata, terkejut. Lalu jarinya menyentil hidung mancung Julius. “Belajar dari mana, jadi buaya begitu, hah?”

Julius menoleh ke arah Marvel, menaikkan alisnya mengirim kode. Lalu menjawab “Ya, dari Papa lah” dengan buru-buru sambil keduanya ngibrit dan ketawa-ketawa ngakak masuk ke dalam rumah sebelum Papa sempat memproses omongan kedua anaknya.