Office

CW // semi-public, blow job, deepthroat, rimming, fingering, edging, orgasm delay, explicit mature content.

Senyum Marvel mengembang setelah menutup telepon dari resepsionis yang barusan memberitahu kalau Harvel mau bertemu dengannya. Dia sampai berdiri dari kursinya untuk membukakan pintu, menyambut tamu pentingnya.

“Ngapain kamu?” Harvel bertanya heran waktu dia sampai di ruangan Marvel dan mendapati kalau Marvel sudah berdiri di belakang pintu yang terbuka.

“Nunggu kamu”

Marvel menutup pintu, lalu menarik Harvel ke dalam pelukannya, menghirup wangi shampoonya yang bercampur dengan wangi parfum.

“Tadi makan apa?” Harvel bertanya waktu pelukan mereka terlepas.

“Makan sama Papa sama Kak Tian. Aku abis ketemu client Papa”

“Oh” Harvel mengangguk.

Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan yang didesain satu tema dengan kamar Marvel di apartemen. Dominan warna hitam, tapi tidak gelap. Nyaman buat kerja seharian karena nggak silau. Tapi kalau kerja sampai malem kayaknya malah bikin ngantuk.

Eh- tapi kan yang biasanya kerja sampai malam dia, bukan Marvel.

“Nanti kamu juga di ruangan sendiri, kok” Marvel menghampiri Harvel yang sedang berdiri menghadap jendela besar di ruangannya. Tangannya memeluk pinggang ramping Harvel yang semakin tercetak jelas karena Harvel memakai jas.

“Iya” Harvel nggak tahu harus merespon apa. Soalnya dia nggak lagi berpikir ingin punya ruangan sendiri. Tapi kalimat Marvel barusan jadi membuatnya berpikir untuk mendesain ruangannya sedikit supaya nggak flat-flat amat.

Badan Harvel diputar balik dan keduanya berhadap-hadapan. Tangan Marvel menyibakkan rambut yang jatuh menutup kening Harvel, lalu mengecup ujung hidungnya gemas.

“Kamu udah makan siang kan?” Marvel bertanya.

“Hm” Harvel mengangguk.

“Lepas dulu. Nggak enak, masih di kantor” Harvel menepuk lengan Marvel yang masih memeluk pinggangnya erat.

“Nggak mau” Marvel menggeleng.

“Apa?” Harvel bertanya gugup waktu dia mendapati kalau Marvel tidak berhenti menatapnya dengan posisi mereka yang masih menempel satu sama lain.

Marvel merapatkan jarak mereka, menghimpit Harvel hingga punggungnya menyentuh jendela. Tangannya mengelus rahang Harvel pelan, meminta ijin secara tidak langsung.

Harvel mendongak, pasrah. Lalu menarik tengkuk Marvel untuk mempertemukan kedua belah bibir mereka.

Harvel meringis dalam hati. Posisinya sekarang melayangkan ingatannya ke malam pertama yang mereka habiskan berdua, di Kempinski. Bedanya, waktu itu Marvel yang dihimpit ke jendela.

Ciuman keduanya memanas. Tangan Marvel meremas pinggul Harvel dan mengelus punggungnya dari luar jasnya. Tangan satu lagi digunakan untuk menekan tengkuk Harvel, menahan dan mendominasi pagutan bibir mereka. Lidah keduanya bertarung. Saliva berceceran di sudut bibir Harvel, bercampur antara milik Marvel maupun Harvel.

Marvel mundur, menarik Harvel di dalam rengkuhannya hingga tubuhnya bertumpu pada meja kerjanya.

“Eunghh-” Harvel melepas pagutan bibirnya saat dia mulai merasakan kadar oksigennya menipis.

Marvel menarik tengkuk Harvel lagi, menyesap bibir yang tidak lebih dari lima detik lalu baru dilepasnya. Bibir Harvel mengkilat oleh saliva mereka dan sedikit membengkak karena Marvel menghisapnya kuat.

“Mpmhh” sekali lagi, Harvel melepas ciuman mereka. Nafasnya terengah-engah, menatap Marvel sebal karena tidak diberikan kesempatan untuk menetralkan deru nafasnya.

“Masih di- Marvel!” Harvel berjengit terkejut saat wajah Marvel mendarat di ceruk lehernya. Satu tangannya masih digunakan untuk menahan Harvel di rengkuhannya, satu lagi meremas pantatnya bersamaan dengan lidah Marvel yang menjilat lehernya perlahan.

“I want you, right now” Marvel berujar rendah dengan suara serak. Lidahnya menjilat daun telinga Harvel, membuat sekujur tubuh Harvel merasakan sengatan listrik.

“Kunci pintunya”

Darah Harvel berdesir. Office sex terdengar sangat menggoda, tapi selama ini dia tidak pernah berani membayangkan akan benar-benar melakukannya. Terlalu berisiko karena kantor jelas tempat umum walaupun Marvel punya ruangan pribadi. Tapi hari ini, sepertinya Harvel akan menginjak batasan yang diterapkannya sendiri.

“Sini” Marvel duduk di kursinya dan menepuk pahanya, mengundang Harvel untuk duduk di atas pangkuannya.

Tapi Harvel berlutut di depan Marvel. Tangannya meraba paha Marvel hingga berhenti di ikat pinggangnya, lalu wajahnya mendongak, bertemu pandang dengan Marvel yang sedang menikmati pergerakannya.

“Should I?” Harvel bertanya. Bibirnya menyunggingkan senyum polos, membuat Marvel menggigit bibirnya sendiri.

“Fuck” Marvel mengerang tidak sabar. Tangannya menarik tangan Harvel yang mendarat di pahanya, diarahkan ke ikat pinggangnya.

“Wow, slow down, Sir” Harvel tertawa kecil. Tangannya melepas ikat pinggang Marvel.

Harvel membenahi posisinya agar bisa berlutut dengan lebih nyaman. Kakinya mulai pegal karena lututnya harus bertumpu di lantai yang keras.

Tangannya mengelus dan meremas penis Marvel perlahan, lalu mengeluarkan penis Marvel saat penis Marvel sudah mengeras sepenuhnya.

“Sshh- damn” Marvel menggigit bibirnya.

Rongga mulut Harvel menyelimuti penisnya, terasa panas dan basah. Harvel mengoral penisnya, menghisapnya naik turun. Tangan Harvel tidak tinggal diam. Jari-jari Harvel meremas bola kembarnya perlahan, memberikan sensasi double di pusat tubuhnya.

Tangan Marvel meremas dan menjambak pelan rambut Harvel, menyalurkan kenikmatan yang dirasakannya saat ini. Permainan mulut Harvel tidak pernah mengecewakan, tapi kenapa rasanya hari ini berkali-kali lipat lebih enak dari biasanya?

“Uhuk- Jangan diteken” Harvel terbatuk-batuk. Marvel tidak tahan untuk tidak menekan kepala Harvel, membuat penisnya berkali-kali menabrak pangkal kerongkongannya.

“Enak, Sayang”

“Ya kan akunya nggak enak” Harvel protes.

Marvel baru saja akan menyahut saat terdengar ketukan di pintu.

“Dek, Bukain pintu” terdengar suara Papa di interkom.

Tubuh Marvel menegang. Kalau yang datang Papa, dia nggak mungkin beralasan dan nggak membukakan pintu.

Shit.

Harvel buru-buru mundur dan bersembunyi di kolong meja. Marvel sedikit bersyukur meja kerjanya adalah tipe meja kerja yang tertutup sampai bawah, jadi Harvel bisa bersembunyi di sana.

Marvel merapatkan posisinya ke meja, menempatkan kakinya di bawah kolong meja untuk mendukung persembunyian Harvel. Lalu menekan tombol di mejanya untuk membukakan pintu.

“Tumben dikunci” Papa berkomentar waktu memasuki ruangan, bareng sekretaris Marvel.

Double shit.

“Papa ngapain?” Marvel bertanya sambil pura-pura sibuk. Tangannya menyalakan komputer supaya nggak dicurigai lebih lanjut.

“Mau nanya ini- bentar” Papa duduk di sofa, sementara sekretarisnya menghampiri Marvel dan berdiri di depan mejanya.

Jantung Harvel berdetak tidak karuan. Dia tahu Papa Marvel malah duduk di sofa, untung saja tadi dia nggak melepas jas sama sekali karena kalau iya, pasti jasnya diletakkan di sofa.

“Aduh mana sih” Papa sibuk scroll layar iPadnya.

Marvel menghela nafas, pura-pura kelihatan sibuk. “Yaudah, nanti aja Papa e-mail ke aku”

“Ini, ini” Papa berjalan ke arah meja Marvel dengan mata masih fokus pada layar iPadnya yang menampilkan sejumlah table penuh data.

Harvel menahan nafas, mati-matian menetralkan degup jantungnya saat tiba-tiba dia mendapat ide nakal di pikirannya.

Harvel bergerak hati-hati, takut menimbulkan suara kalau dia terbentur kaki meja. Tangannya meraba paha Marvel di bawah meja. Harvel bisa merasakan sekujur tubuh Marvel menegang, tapi Marvel tidak berani melirik ke arahnya karena sedang menjelaskan sesuatu ke Papa dan sekretarisnya.

Mulutnya menjilat penis Marvel yang awalnya sudah melemas, lalu mengulumnya lagi. Tidak butuh waktu lama sampai penis Marvel kembali tegak di dalam rongga mulutnya.

Marvel semakin merapatkan posisinya pada mejanya. Kepalanya tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan apa yang diucapkan Papanya. Harvel mengulum dan menjilat penisnya seperti menjilat es krim. Tidak dihisap, Harvel tahu akan menimbulkan bunyi kalau dia menghisap penis Marvel.

Harvel setengah mati menahan tawa. Satu tangan Marvel menjambak rambutnya keras, memintanya berhenti. Tapi Harvel mana mau berhenti kalau reaksi tubuh Marvel malah berkata sebaliknya?

Harvel memperhatikan Marvel dari bawah meja. Dia bisa melihat rahang Marvel mengeras dan Marvel berkali-kali menelan ludah gugup.

Lidah Harvel menjilati kepala penisnya, menggoda lubang kencingnya. Tidak berhenti di sana, lidah Harvel justru menari-nari, naik turun dari kepala penisnya, turun ke batang hingga pangkal penisnya. Marvel menggigit lidahnya keras, takut mengeluarkan suara yang mencurigakan.

Marvel berdehem, menahan desahan yang hampir keluar dari bibirnya saat tiba-tiba Harvel mengulum penisnya hingga kepala penisnya menyentuh pangkal tenggorokannya sekaligus meremas bola kembarnya perlahan. Seolah-olah sedang bermain dengan sebuah mainan yang menyenangkan.

'Fuck.' Marvel mengumpat dalam hati.

Setelah ini dia benar-benar akan menghukum Harvel.

“Kenapa kamu?” Papa menghentikan kalimatnya dan menatap Marvel yang terlihat aneh.

“Nggak, nggak kenapa-napa. Terusin aja, Pa” Marvel menjawab, mengalihkan pandangannya ke iPad yang tadi sudah diletakkan Papa di atas meja.

Papa masih lanjut berbicara, sementara Marvel berkali-kali menahan nafas karena Harvel ternyata sanggup mengoral penisnya tanpa suara sama sekali.

Kepala Marvel seperti berputar. Pelepasannya terasa dekat karena Harvel sanggup menstimulasi penisnya seperti itu, dan sialnya dia semakin terpacu karena adrenalinnya yang meningkat di tengah situasi tidak menguntungkan seperti ini.

“Pa, Marvel pusing. Nggak bisa mikir, lagi ngerjain yang lain. Nanti Papa tolong e-mail aja ya, nanti Marvel urus” Marvel berucap cepat waktu Papa menjeda kalimatnya.

Tangannya meraih handphone, pura-pura sibuk seperti ingin mengurus sesuatu.

“Loh, yaudah. Bilang dong dari tadi, Papa mana tau kamu lagi sibuk” Papa menyahut, lalu mengajak sekretaris Marvel untuk ikut keluar dari ruangan Marvel dan pindah ke ruangannya untuk berbicara lebih lanjut.

Marvel melempar handphonenya dan menekan tombol pengunci pintu di mejanya. Kakinya mendorong kursinya untuk mundur, memberikan Harvel ruang untuk keluar dari kolong meja.

“Bandel, ya” Marvel berucap waktu Harvel keluar dari kolong meja dan kembali berlutut di depannya.

Harvel menaikkan satu sudut bibirnya, “Tapi enak kan?”

Marvel belum sempat menjawab. Harvel mengulum penisnya dan menghisapnya cepat, memompa pelepasan yang Harvel tahu sudah dekat.

“No, you're not getting it now” Marvel menjambak rambut Harvel, memundurkan tubuhnya dan menjauhkan penisnya dari mulut Harvel.

Marvel berdiri dari kursinya, lalu menggeser semua barang di mejanya, lalu melepas ikat pinggang Harvel dan menurunkan celananya hingga ke lutut.

Tangannya mendorong pinggul Harvel, mengisyaratkannya untuk duduk di atas meja, lalu kembali bertukar liur. Kali ini lebih panas karena keduanya benar-benar terbakar nafsu dan adrenalin.

“Hnghh, mmhhh- Marvelhh” desahan Harvel mengalir, memenuhi ruangan. Marvel mengocok penisnya cepat.

“Mau- nghh, kamu” Harvel berucap terengah-engah.

Ereksinya naik karena Marvel mengocok penisnya dengan cepat.

Marvel membalikkan tubuhnya. Harvel menumpukan kedua lengannya di meja. Nafasnya tertahan saat nafas hangat Marvel menyapa pintu lubang analnya.

“You don't need to” ucap Harvel.

Tidak terjawab karena detik selanjutnya tangan Harvel terasa kebas. Sikunya melemah, terasa lemas seperti agar-agar. Lidah Marvel menjilat pintu lubang analnya, membuatnya terasa basah.

“Masukin” Harvel meminta, lebih seperti merengek.

Lidah Marvel bermain-main di pintu lubang analnya, sementara tangan Marvel masih mengocok penisnya.

“Not now”

“Hell”

Marvel menampar pantat bulat Harvel yang terpampang di depannya, membuat yang ditampar meringis pelan.

“Watch your language, Sweetheart” Marvel berujar rendah.

Tubuh Harvel meremang, tidak suka terus-menerus didominasi dan dipaksa menurut. Ada saat-saat dimana sisi dominan dalam dirinya bangun dan ingin menerkam apapun yang ada di depannya.

Tangan Harvel menahan tangan Marvel yang hampir mendarat di pantatnya lagi. Tubuhnya berbalik, kakinya melingkari pinggang Marvel, mempersempit jarak mereka.

Tangannya mengalung di leher Marvel yang belum pulih dari keterkejutannya karena gerakan Harvel yang tiba-tiba, “Satisfy me, right now”

Harvel menekan tengkuk Marvel, menyatukan kedua bibir mereka. Tidak terhitung berapa banyak ciuman panas yang mereka lewati dalam hitungan menit. Bibir Harvel perih, disedot kuat-kuat oleh Marvel yang semakin buas setiap kali keduanya berpagutan.

“Nghh Marvel, what the fu- arghhh” Harvel memekik. Tubuhnya membusur, jari panjang Marvel memasuki lubangnya tanpa aba-aba.

“You want me to satisfy you” Marvel berbicara dengan nada menggantung.

Jari-jari Marvel bergerak di dalam lubangnya. Nafasnya terputus-putus. Jari Marvel menumbuk prostatnya, sementara bibir Marvel mendarat di lehernya. Tangannya meremas pundak dan rambut Marvel, menyalurkan kenikmatan yang dirasakannya.

“Jangan eunghh, b-buat tanda”

Harvel mendesah, terdengar menyedihkan karena lehernya perih di berbagai tempat. Larangannya tidak didengar. Marvel sialan, besok pasti ada bercak-bercak keunguan di lehernya.

Marvel mengeluarkan jarinya dari lubang Harvel. Ciuman di leher Harvel berhenti, memberikan Harvel waktu untuk mengatur nafasnya.

“Fuck me, Marvel. I want you” Harvel memohon, frustasi. Kepalanya pusing karena Marvel mempermainkan ereksinya. Setiap kali ereksinya naik, Marvel akan menghentikan kegiatannya, seolah-olah memberinya waktu untuk bernafas.

Marvel tersenyum miring. Matanya memandangi leher Harvel yang penuh bercak kemerahan yang sebentar lagi akan berubah menjadi ungu. Kemeja dan dasinya yang tidak dilepas sudah berantakan.

“I'm saving the best for the last, Sweetheart” Marvel memandangi Harvel yang masih mengatur nafasnya.

Harvel belum sempat berbicara lagi saat Marvel melebarkan kakinya, lalu duduk di kursinya dan menempatkan diri di tengah kaki Harvel.

“Eunghh, akhh j-janganhh” kepala Harvel terdongak.

Matanya berotasi, tangannya menjambak-jambak rambut Marvel.

Marvel mengulum penisnya. Lidah Marvel menjilati kepala penisnya. Kepalanya naik turun dengan cepat, memancing ereksi Harvel kembali meniti puncaknya.

“Akhh- Marvel, hnghh”

Desahan Harvel naik satu oktaf. Orgasmenya sudah berada di ujung dan hampir ditembakkan ke mulut Marvel, tapi sepertinya Marvel terlalu mengenali tubuhnya.

Penisnya dikeluarkan dari mulut Marvel, lalu Marvel menumpukan lengannya di sisi tubuh Harvel, membuat pandangan keduanya setara.

Tangan Marvel mengangkat dagu Harvel. Pandangan Marvel bertemu dengan tatapan nyalang Harvel, sarat akan emosi, tahu dirinya sedang dipermainkan.

“Ayo, pulang” ucap Marvel tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi barusan.

Seriously?

Harvel mendelik. Tenaganya sudah kembali. Tangannya mendorong Marvel hingga jatuh terduduk di kursinya.

“Kamu-”

Kedua tangan Marvel menahan pergerakan tangannya, “Pulang dulu, kita lanjutin di rumah. Emang kamu mau beresin kalau sperma kamu berceceran?”

Harvel menatap Marvel tajam, setengah malu mendengar kata-kata Marvel yang tidak bertata krama.

“But why?” kedua tangannya yang masih ditahan Marvel melemas. Harvel menghela nafasnya, putus asa karena ereksinya dipancing naik turun dan tidak dipuaskan. Dia lebih baik kelelahan tapi mencapai pelepasannya daripada ditunda seperti ini.

“Well-” Marvel memakai celananya dan merapikan pakaiannya, “Karena aku mau ngelanjutin di rumah

Alis Harvel terangkat tinggi, lalu diturunkan kembali. Pasrah, tapi dia tahu Marvel sama mendamba sepertinya. Mungkin malam ini akan lebih panas dari biasanya kalau dia mau bersabar, jadi baiklah, Harvel akan bersabar.

Harvel memakai celananya, merapikan kemeja dan dasinya yang berantakan, “Apartemen kamu atau aku?”

“Rumah, Harvel. Rumah aku”

“Hah?”

Harvel melotot terkejut. Marvel mau mereka bercinta di rumahnya?

“Aku udah bilang Papa sama Mama kok. Papa Mama kamu juga udah tau kalau kamu bakal nginep sampe besok malem. Kan besok malem kita flight

“Kenapa nggak di apartemen kamu aja?”

Marvel tersenyum, alisnya terangkat. “Kenapa?”

“Tsk” Harvel berdecak. “Menurut kamu?”

“I'll give you something to remember before we finally leaving this country and coming back next year”

“What?”

Marvel merapikan mejanya, lalu merapatkan kursinya ke sisi meja saat dirasanya tidak ada bekas apapun yang tertinggal.

Matanya menatap Harvel yang menunggu jawabannya selama dia merapikan meja, “Your punishment, Sweetheart. Don't you dare forgetting about how you teased me when I was literally talking with my Dad”