Pertemuan Pertama

Siku Julius disenggol Marvel waktu dia berjalan memasuki area country club sambil menunduk. “Biasa aja sih, jangan nunduk-nunduk kayak buronan begitu, Jul”

Julius menonjok lengan Kakaknya. “Males diliatin, gue tau gue ganteng tapi matanya itu loh”

Marvel mendengus. “Gantengan gue, cuma kebetulan aja lu artis”

Julius mempercepat langkahnya karena Marvel berjalan cepat mendahuluinya. Papa udah turun duluan dan berjalan ke arah lain, nyamperin temen-temennya sesama bapak-bapak.

“Cepet banget sih, jalannya. Kayaknya lu lebih kayak buronan daripada gue” Julius protes.

Marvel ketawa singkat. Julius bisa melihat kalau mata Marvel menangkap pemandangan laki-laki yang jadi alasan kenapa kakaknya bela-belain ke sini hari ini.

“Hai” Marvel menarik satu kursi tepat di samping Harvel yang lagi duduk dan ngobrol sama dua laki-laki Julius tebak pasti lebih muda darinya.

Ketiganya menoleh, dan Julius bisa ngeliat keterkejutan luar biasa di mata Harvel.

“J-Julius? Julius Dewantara?” Harvel sampai lupa mengontrol diri saking kagetnya, yang bikin Julius juga ikutan kaget campur bingung.

Julius menyodorkan tangannya, mengajak semua yang ada di meja bersalaman. Bibirnya melengkungkan senyum ramah, bahkan matanya ikut tersenyum. Manis sekali, sampai Harvel nggak sanggup mengalihkan pandangan dari Julius.

Marvel langsung keliatan sebel. Lupa kalau Julius itu artis, mana ganteng lagi. Harvel terang-terangan ngeliatin Julius dengan pandangan kagum. Nggak lepas barang sedetikpun seolah-olah kalau Julius nggak diliatin bakal langsung poof– ngilang.

“Boleh foto nggak?” Harvel bertanya dengan penuh harap saat semuanya udah duduk lagi.

Mejanya bulat, dan mereka duduk melingkar dengan Marvel di sebelah kanan Harvel, sementara Julius di sisi kirinya, lalu kedua laki-laki yang tadi ngobrol dengan Harvel yang setelah sesi kenalan, Marvel tahu namanya Jevion dan Clinton; kembar fraternal dari keluarga Batara.

“Sama gue?” Julius bertanya.

Harvel mengangguk bersemangat, sampai rambutnya bergerak lucu. Matanya membulat, ketara sekali mengagumi ciptaan Tuhan yang sekarang memenuhi netranya.

Julius tertawa, “Boleh lah”

Harvel menyodorkan ponselnya ke laki-laki yang ada di sebelah Julius. “Fotoin, tolong, hehe”

Jevion yang duduk di sisi kiri Julius mengambil ponsel Harvel, “Sini”

Clinton geser dua bangku, jadi duduk di sebelah Marvel yang mukanya sepet. Habis itu Julius nggak tau mereka ngobrolin apa karena dia lagi foto sama Harvel.

“Gue ke depan dulu, Rendra udah sampe” Julius menyenggol Marvel waktu sesi fotonya udah selesai.

Yang disenggol menoleh, lalu mengangguk. Julius emang ngajak Rendra buat nyamperin aja ke sini, karena acaranya bukan acara formal. Cuma kumpul-kumpul biasa. Lagian, Rendra dan Marvel juga udah kenal karena beberapa kali ketemu. Malam ini, Rendra juga bakal nginep di rumah mereka karena besok Julius harus terbang ke Makassar buat syuting film.


“Kenalin nih, Rendra. Manajer gue”

Ucapan Julius menarik atensi semua yang ada di meja untuk kenalan sama manajernya. Nggak butuh waktu lama, Rendra dengan cepat bisa menyesuaikan diri dan nggak kelihatan canggung sama sekali.

Sebenarnya ini lah yang jadi alasan kenapa Julius dulu mohon-mohon ke Rendra buat kerja bareng dia aja. Dulu, Papanya sempet bilang buat nggak kerja bareng temen. Biar gimanapun, temen ya temen, nggak bisa dijadiin satu sama kerjaan. Nanti kalau ada masalah, bisa panjang efeknya. Udah gitu, akan ada risiko kehilangan temen sekaligus partner kerja juga.

Tapi kemampuan Rendra berbaur sama siapa aja dan mencairkan suasana bahkan dalam situasi paling canggung yang pernah Julius hadapi, bikin dia merasa nggak ada sosok lain yang lebih tepat buat ngurusin dia selain Rendra.

Rendra juga konsisten, hasil kerjanya rapi dan teliti, bahkan mengukir image baik semasa kuliah karena Rendra dikenal sebagai anak organisasi paling disegani dengan segudang prestasi baik akademis maupun non-akademis.

Tahun pertama waktu masih berstatus maba aja, Rendra udah dipercaya buat megang jabatan sebagai koordinator divisi acara pensi akhir tahun ajaran karena sejak awal bergabung dalam kepanitiaan acara-acara yang diselenggarakan BEM, Rendra bener-bener sanggup ngasih impression mengagumkan ke senior-senior BEM. Makanya waktu project akhir tahun ajaran, dia langsung dipercaya jadi koordinator.

Tahun-tahun selanjutnya, Rendra megang jabatan sebagai wakil lalu naik jadi ketua BEM dan berakhir menjadi penasihat BEM di akhir masa kuliahnya.

Selama kesibukan luar biasa itu pun, Julius menyaksikan langsung bagaimana Rendra masih bisa ngatur waktu buat nongkrong, urusan BEM, mempertahankan IP cumlaude di tiap semester, belajar bareng Julius tiap mau ujian yang lebih mirip kayak ngasih kelas privat gratis ke Julius, bahkan pacaran sama seorang adik tingkat yang digadang-gadang sebagai ketua HIMA paling cantik sepanjang sejarah kampus karena pacar -eh mantan Rendra- juga adalah salah satu finalis Puteri Indonesia.

Hidup Rendra beneran keliatan kayak hidup cowok sempurna yang keluar dari wattpad. Dari dulu, Julius mengaguminya luar biasa karena mereka kenalan secara random waktu ospek dan dari situ ternyata mereka bisa akrab.

Baru setelah temenan deket, Julius tau kalau Rendra ternyata introvert dan malah tertutup soal urusan pribadinya. Julius berani taruhan, cuma dia satu-satunya orang yang kenal Rendra sampe akar-akarnya. Termasuk momen ketika Rendra pelan-pelan menyadari struggle pada orientasi seksualnya yang bisa Julius pastikan, dia adalah orang pertama yang tau tentang itu.

Kadang, alam semesta emang memasangkan sepasang manusia untuk jadi sahabat aja, nggak lebih. Itu juga yang terjadi sama Julius dan Rendra.

Waktu lulus kuliah, Rendra was so close buat masuk ke Google Indonesia. Rendra bahkan ditawarkan langsung sama pihak perusahaan dengan tawaran gaji dan posisi yang juga nggak main-main untuk ukuran fresh graduate.

Tapi akhirnya dengan sejuta bujukan yang lebih mirip paksaan terselubung, Julius berhasil meyakinkan Rendra buat jadi manajernya. Tawaran gaji yang Julius berikan hampir 4x lipat dari gaji perusahaan sebelah.

Nggak pernah kepikir dalam benak Rendra kalau dia bakalan jadi manajer artis instead of kerja di kantor lantai 30 di kawasan SCBD dengan lanyard Coach dan pouch Gucci. Orang tua Rendra yang tinggal di kota lain bahkan mau nyamperin anaknya ke Jakarta karena kok tiba-tiba anaknya mau nolak tawaran Google.

Sejuta pertimbangan, bukan pertimbangan gaji walaupun itu juga salah satu faktor pendukung, akhirnya Rendra mantap menolak tawaran Google. Dia juga bisa melihat secara rasional kalau artis yang akan dia pegang kira-kira bakal tetap bersinar setidaknya 5 tahun ke depan, dan dia siap untuk menolak lamaran kerja paling bergengsi yang datang ke e-mailnya.

“Javier nggak datang, ya?” Julius melempar pertanyaan ngambang entah buat siapa, berharap salah satunya bisa menjawab. Mereka udah duduk di meja selama 40 menitan dan laki-laki yang dia tunggu malah nggak keliatan batang hidungnya.

“Harusnya datang kok, tadi Papa ada nyebutin Papanya” Jevion menjawab.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Javier menghempaskan pantatnya di kursi, lalu basa-basi sebentar sebelum akhirnya memesan minuman.

“Hai” Julius menoleh ke sebelahnya. Javier duduk sambil ngetik sesuatu di handphonenya.

“Hm” Javier bergumam.

Netranya bertemu dengan mata Julius yang walaupun nggak lagi tersenyum lebar, tetep membentuk bulan sabit. Tulang hidungnya tinggi, tulang rahangnya tajam dan tegas.

Ganteng juga kalo lagi kalem.

Javier buru-buru menghapus pikirannya.

“Kenapa?” Julius bertanya waktu Javier mengerjapkan mata.

“Nggak”

“Off sampe kapan?”

“Awal bulan depan. Gue nggak inget tanggal persisnya”

Julius ngangguk-ngangguk. “Jalan yuk”

Dih, kenal aja nggak?

Eh, kenal sih. Tapi- ya gitu.

“Tar gue masuk lambe turah”

Julius bengong bentar, terus ketawa sampe matanya berbentuk bulan sabit sempurna. “Ke puncak aja, terus kulineran di mobil”

Javier diem aja. Hatinya menimbang-nimbang. “Liat nanti deh”

Setelah itu percakapan mereka ngalir gitu aja. Sampai waktu pesanan minumannya datang dan Julius dengan sigap nyobek kertas pembungkus sedotan sebelum dikasih ke Javier.

Makanan ringan mulai berdatangan karena makin sore bawaannya makin pengen ngemil. Javier pikir, Julius cuma kayak gitu karena mau ngasih sedotannya ke dia. Tapi ternyata, Julius bahkan terlihat melakukan semuanya diluar kesadarannya. Seolah-olah semuanya udah jadi bagian dari hidupnya sehari-hari.

Tangan Julius yang refleks ngebungkus alat makan dengan tisu sebelum dioper ke orang lain, selalu bilang terima kasih dan senyum ke pelayan yang nganterin sesuatu bahkan ketika dia lagi ngomong dengan orang lain, hingga bagaimana Javier melihat Julius dengan cekatan mindahin barang-barang dan menghindar waktu minuman Clinton tumpah di meja.

Julius nggak tau kalau semua hal kecil, sederhana dan sepele yang dilakukannya diam-diam diperhatikan Javier.