The End of Fall

Harvel mencoret angka 1 di kalender mejanya, menandakan hari pertama bulan November resmi dimulai. Musim gugur tinggal sebulan dan suhu Paris semakin dingin. Tadinya dia mau coret kalendernya kemarin. Soalnya, walaupun raganya ada di Paris yang zona waktunya 5 jam lebih telat dari Jakarta tapi jiwanya tetep aja ketinggalan di Jakarta. Sama hatinya juga sih.

Harvel mengembalikan kalender itu ke mejanya, diletakkan di sebelah jam digital yang menunjukkan jam 7.25 pagi. Harvel keluar kamar dan menuju kamar mandi. Selesai mandi, dia harus nyiapin sarapan simpel buat Helena yang akan berangkat kerja jam 8.30 nanti. Adiknya itu kerja di salah satu perusahaan fashion yang Harvel sendiri nggak gitu paham, tapi intinya clothing line.

“Kak, hari ini pergi nggak?” suara Helena mengudara waktu Harvel lagi nuangin air panas ke dalam mug berisi bubuk kopi.

Harvel meletakkan mug itu di meja pantry di sebelah piring berisi french toast yang tadi udah dia siapin duluan, “Nggak ada rencana sih. Kenapa?”

“Nonton yuk, aku hari ini pulang cepet”

“Yaudah. Nanti aku samperin ke kantor”

“Nggak usah, ketemu di cinema aja”

Harvel mengangguk, lalu membiarkan Helena menghabiskan sarapan paginya sebelum akhirnya adiknya itu berangkat kerja.


Layar ponsel Harvel menyala, menandakan ada notifikasi masuk. Bibirnya mengulum senyum secara otomatis. Marvel masih sama, setiap hari ngirim pesan sederhana seperti “selamat pagi”, “jangan telat makan”, “have a good day” atau “have a good sleep”, “good luck persiapan CMA-nya” atau kadang-kadang dia akan cerita tentang harinya secara singkat.

Kalau Harvel mau jujur, dia udah kalah dengan egonya. Hatinya udah memaafkan Marvel jauh-jauh hari, tapi dia mau Marvel tau kalau dia nggak segampang yang Marvel pikirkan. Walaupun kadang-kadang dia gatal pengen baca pesan-pesan Marvel karena dia ngerasa kejam, tapi akhirnya ditahannya karena dia pernah bilang ke Marvel kalau mereka hanya akan bicara sampai Harvel sendiri yang memulai. Harvel pengen Marvel menunggunya sampai dia siap, walaupun itu berarti dia mempertaruhkan kesabaran Marvel yang bisa kapan aja mundur. Manusia kan, ada titik lelahnya juga.

Harvel memperhatikan ponselnya yang lagi di set 3d touch, mantengin pesan-pesan Marvel. Lama kelamaan pesannya berubah santai. Marvel kadang cerita hal-hal sederhana yang bikin dia ketawa kecil bacanya, walaupun nggak dibales juga.

Harvel nggak bisa menahan senyum waktu Marvel cerita kalau hari ini dia telat kerja karena dia tidur di rumah orang tuanya dan lupa nyalain alarm karena semalam habis minum sama Papa dan kakak adiknya.

“Seru banget, Helena kalau gue ajak minum yang ada gue digebukin” Harvel bergumam. Helena kalau mabuk nyebelin banget, bakal marah-marah terus gebukin dia pakai bantal. Nggak sakit sih, tapi cukup bikin Harvel males nemenin adiknya minum lagi.

Waktu pesan Marvel berhenti masuk, Harvel merapikan mejanya yang makin hari makin berantakan sama soal-soal persiapan CMA. Kakinya berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka dan siap-siap. Mandinya nanti malam aja sekalian pas pulang, soalnya cuacanya dingin banget. Dia nggak mau mandi tiga kali hari ini.


“Bete banget, nggak ada film bagus” Helena mencak-mencak sendiri waktu keduanya keluar dari gedung bioskop.

Harvel mengelus kepala Helena pelan, “Nggak di cek dulu ya tadi?”

“Nggak” Helena menggeleng. “Lagi kenapa sih, kok bisa-bisanya ada tiga film horror yang main?”

“Habis halloween kali” Harvel menjawab, ngasal aja. “Makan aja yuk, cari yang enteng”

Kedua kakak beradik itu masuk ke salah satu cafe yang terletak nggak begitu jauh dari gedung bioskop tadi. Duduk berhadapan dengan segelas cappuccino hangat dan hot cocoa.

Helena mengeluarkan sketch book dari tasnya, lalu mulai mencoret-coret sketsa desain di lembar yang masih kosong. Harvel merhatiin aja, seru liat adiknya gambar-gambar begitu cepat. He can never relate, soalnya gambar stickman aja remed.

“Kakak tau nggak kalau Kak Tian juga jago gambar?” Helena tiba-tiba membuka percakapan. Random banget lagi pemilihan objeknya.

“Kak Tian, kakaknya Marvel?”

Helena ngangguk, “Dulu aku sama Kak Tian kadang-kadang ke sini kalau lagi cabut bareng”

“Loh emang kamu deket sama dia?”

“Bukan deket yang kayak gitu” Helena langsung nangkep maksud kakaknya.

“Papa sama Mama sering minta aku buat sekali-sekali ke tempat kakek mereka, terus Kak Tian kan dari kecil sekolah di sini. Jadi pas aku kuliah tuh, dia ada bawa aku tour keliling Paris. Terus yaudah deh, sekali-sekali kita jalan atau makan bareng.

Teruuuus, dia tuh juga punya sketch book tau. Bagus deh, gambar-gambarnya. Bedanya dia gambar bangunan gitu kayak rumah-rumah. Terus aku tanya kenapa dia nggak kuliah desain interior atau arsitektur aja, dia bilang percuma karena nantinya dia akan ngelanjutin Perusahaan, kayak kamu” Helena cerita panjang lebar.

Harvel cuma 'oh' doang. Dia nggak tau kalau adiknya sampai bisa makan dan ngobrol sama Sebastian dengan nyaman. Soalnya, Sebastian kaku kayak bapak-bapak. Harvel sendiri segan deket-deket, jiper karena ngerasa Sebastian pinter banget untuk orang usianya. Tapi Harvel harus mengakui kalau adiknya itu emang lebih jago ngobrol sama orang baru, nggak kayak dia yang lebih diem.

“Kak Marvel masih chat Kakak nggak?”

“Hah? Oh, masih”

Kadang-kadang Helena emang nanyain, tapi tetep aja tiap kali ditanya tuh dianya gelagapan.

“Kamu nggak bales?”

“Nggak”

“Dih, mau sampe kapan nggak dibales gitu. Tar kabur loh, Kak Marvelnya”

Harvel manyun. Dia juga tau, tapi dia sebel kalo disebutin orang lain kayak begitu. Jadi kayak divalidasi.

“Yaudah biarin. Kalau dia mau cabut, cabut aja” Harvel minum cappuccinonya, berharap adiknya nggak nyinggung lagi.

“Kamu beneran nggak di chat apa-apa sama Marvel?” Harvel tiba-tiba nanya.

“Nggak, ih. Aku kan uda berkali-kali bilang”

“Dia tuh pernah minta nomor kamu, Len. Masa dianggurin sih”

“Yeuu, mau banget ditanyain Kak Marvel ya”

Harvel makin manyun. “Bukan gitu-”

Denial terus, ah. Biarin, tar Kak Marvel beneran ninggalin baru tau rasa. Males dia deketin patung bunderan HI” potong Helena berapi-api. Lama-lama dia gemes juga liat kakaknya yang nggak lunak-lunak juga.

“Biar dia tau, kalo dibohongin itu nggak enak”

“Dia udah tau. Kakak yang keterlaluan ngasih hukumannya”

“Kamu kok belain dia, sih?”

Helena membuang nafas, mengangkat pandangannya yang dari tadi masih ke buku sketsa.

“Jangan sengaja pergi biar dicari, Kak. Berjuang nggak sebercanda itu”

Harvel mematung. Dia tau kata-kata itu, emang bukan lahir dari kepala Helena. Tapi kok kali ini rasanya nusuk banget?

Hatinya pelan-pelan dirayapi rasa bersalah dan takut. Dia tau Marvel akan terbang ke Paris kapanpun dia siap dan dia perbolehkan, tapi selama ini emang Harvel yang egois dan menutup semua aksesnya. Berkali-kali dia menekankan kalau dia akan ketemu Marvel sampai dia siap, tapi dia mau ketemu Marvel di Jakarta aja. Harvel merasa seolah-olah lari dari keadaan walaupun kenyataannya emang gitu.

“Len”

“Hm” adiknya nyaut, tapi matanya masih fokus ke buku sketsanya.

“Kalau waktu aku siap ketemu Marvel, tapi dianya udah nyerah, gimana?”

Helena meletakkan pensilnya, lalu menatap mata Harvel dalam.

“Prepare yourself to lose him, then. Kan, semuanya akibat dari pilihan kamu sendiri”