Utuh Kembali

Harvel meringis saat pantatnya menyentuh sofa. Lubang analnya masih terasa sedikit perih, tapi untungnya nggak luka. Marvel lagi mandi, karena technically, mereka nggak mandi bareng karena Marvel memandikannya. Tangannya meraih ponsel yang masih berada di saku coat tebalnya. Tadi waktu pulang, dia meletakkan coatnya begitu saja di sandaran sofa, before that thing suddenly happened.

Alisnya terangkat saat tidak ada satu pesan pun masuk dari Helena. Sudah hampir jam 6 sore dan adiknya belum pulang juga, tumben.

“Kamu lembur?” tanya Harvel waktu teleponnya diangkat di deringan ketiga.

“Nggak. Aku mau kasih tau sesuatu tapi Kak Harvel janji nggak marah ya”

Alis Harvel terangkat semakin tinggi, udah bisa nebak ke mana arah pembicaraan mereka.

Harvel menghela nafas, “Iya. Ngomong aja, semuanya

“Aku nginep di Costes, hehe.” terdengar Helena tertawa kecil. “Tukeran sama Kak Marvel, aku yang ngusulin biar kalian bisa ngobrol lebih nyaman”

Harvel terdiam. Matanya memanas. Dia mau marah, tapi dia sadar kalau selama ini Marvel benar-benar melakukan segala cara untuk menunjukkan kepeduliannya, dianya yang terlalu keras pada dirinya sendiri. Dia mau marah pada dirinya sendiri.

“Kak?” Helena memanggil saat kakaknya diam saja.

“Sampai kapan?”

“Eh- nggak tau” Helena terdengar bingung.

“Yaudah, nanti aku tanya Marvel. Take care, Len”

“Iya. Bye, Kakak”

“Len” Harvel menggigit bibirnya sebelum Helena mematikan sambungan.

“Hm?”

“Thank you”

Tulus. Harvel buru-buru mematikan sambungan karena pintu kamar mandi terbuka. Marvel keluar dengan rambut basah, terlihat segar.

“Kenapa?” Marvel bertanya saat sadar Harvel memperhatikannya dari sofa.

“Nggak” Harvel buru-buru mengalihkan pandangannya.

Mereka emang belum ngobrol sama sekali. Eh, udah sih tadi di kamar. Tapi nggak banyak karena Marvel lebih sibuk nenangin Harvel yang malah nangis nggak karuan.

“Vel” Marvel duduk tepat di samping Harvel setelah naro handuknya di gantungan.

“Liat sini dong, ganteng”

Air mata Harvel udah hampir jatoh lagi waktu Marvel membujuknya begitu sambil ngelus kepalanya lembut. Harvel sibuk maki-maki dirinya sendiri, ngebatin betapa dia bisa merasakan elusan tangan Marvel di kepalanya berbulan-bulan ini kalau aja dia nggak keras hati.

“Boleh peluk nggak?” Marvel nanya waktu Harvel akhirnya menoleh, belum berani liat matanya. Pandangannya jatuh ke lantai yang tertutup karpet bulu.

Harvel ngangguk. Marvel merengkuhnya ke dalam pelukan. Erat, seolah-olah memohonnya untuk tidak pernah pergi lagi dari sisinya.

“Kangen” Harvel bergumam tanpa sadar. Nafasnya ditarik panjang, menikmati wangi khas Marvel yang selama ini dia kira dari parfumnya tapi ternyata dari tubuhnya sendiri. Nggak tau apa, tapi Harvel suka.

“Hah?” Marvel merenggangkan pelukannya, kaget sama apa yang didengarnya.

“Apa?”

“Barusan, apa?”

“Enggak. Kamu salah denger kali”

Marvel mengangkat alis bingung. Tapi mungkin emang dia salah denger kali, mana mungkin Harvel bilang kangen duluan. Gengsinya kan saingan sama Burj Khalifa.

Eh- tapi;

“Sekarang ngomongnya kamu, nih?” Marvel bertanya waktu kepala Harvel udah terbenam di dadanya lagi.

“Diem” Harvel memukul pinggangnya pelan.

Marvel tertawa kecil. Mau sampai kapan sih gengsinya dipertahanin begitu?

“Sini, ngobrol dulu yang bener” Marvel menepuk kepala Harvel pelan, mengisyaratkannya untuk beneran ngobrol. Maksudnya, nyuruh Harvel liat matanya.

Harvel manyun. Bingung mau mulai dari mana, karena sebenarnya nggak suka dipaksa ngomong kayak gini. Tapi kan emang dia yang bikin situasinya jadi begini. Marvel mau repot-repot ngalah aja udah sukur harusnya.

“Maaf” Harvel berucap, tapi matanya tetep nggak berani liat Marvel.

Sebenernya Marvel gemes, tapi demi hubungan yang lebih sehat, dia harus nahan desakan buat nguyel-nguyel Harvel. Mereka kan udah bukan anak remaja yang kalo ribut bisa dilupain gitu aja; harus ada solusi.

“Kalau ngomong itu, liat orangnya, Harvel” Marvel menciptakan jarak di antara mereka. Punggungnya bersandar pada lengan sofa.

“Iya, maaf” Harvel ngalah, akhirnya menatap mata Marvel takut-takut.

“Ngomong yang jelas dong, masa gitu doang”

'Dih? Kan yang salah Marvel, kok gue yang disuru jelasin', batinnya sebel, tapi buru-buru dihapusnya pikiran itu.

“Yaudah gitu, ah. Nyebelin banget sih, orang kamu juga salah” Harvel menatap Marvel tajam. Matanya disipitkan, keliatan gedeg.

Marvel menarik nafas, “Terus besok-besok, mau kayak gini lagi?”

“Nggak. Besok-besok ngomong, nggak cabut lagi” Harvel berucap pasrah, capek ditodong terus.

“Tapi kalo aku bilang aku butuh waktu sendiri, artinya beneran mau sendiri” sambungnya pelan, berharap Marvel paham kalau dia awalnya emang beneran pengen menjernihkan pikirannya, tapi bablas.

“Maaf ya, aku terus-terusan ngajak ngomong. Aku juga tau sih, harusnya aku biarin kamu sendiri dulu. Tapi waktu itu aku takut banget kamu malah mau lost contact” ucap Marvel.

Lancar; sampai Harvel sadar kalau Marvel udah lama menyiapkan diri dan dia yang larinya kejauhan.

Harvel menggigit bibir bawahnya, “Peluk”

Senyum Marvel yang dari tadi mati-matian ditahannya mengembang. Tangannya terbuka, menarik Harvel ke dalam pelukannya. Kepala Harvel terbenam di dadanya. Tangannya mengelus kepala Harvel sayang, tau kalau dirinya udah jatuh terlalu dalam.

“Are we good?”

“Hm” Harvel mengangguk dalam dekapan Marvel.

“Alright. Hear me out”

Harvel ngangkat wajahnya, memperhatikan Marvel dari bawah rahangnya. Diem aja, nunggu Marvel nerusin kalimatnya.

Pandangan keduanya bertemu. “I love you, Harvel. I genuinely do”

Harvel beringsut menyetarakan posisinya dengan Marvel. Pandangannya tidak lepas dari mata Marvel yang terlihat teduh. Seolah-olah sedang berbahagia dan tidak ada yang bisa merusak kebahagiaannya.

“I love you too”

Harvel menyatukan bibir mereka. Cuma nempel, nggak ada yang bergerak. Untuk beberapa detik, memberhentikan waktu yang berputar untuk menikmati kepingan hati yang utuh kembali.