sunfloOra07

Saat Marvin dan anak-anak didiknya kelompok 7 sampai di aula terbuka, aula tersebut sudah ramai oleh mahasiswa baru yang duduk bergerombol bersama dengan kakak pembimbing masing-masing. Di depan mereka sudah ada bekal masing-masing namun belum di buka. Akhirnya mereka memilih untuk bermain ponsel, ada yang berbicara dengan kawan-kawannya bahkan ada yang sudah mulai menyusun yel-yel.

“Selamat datang kelompok 7, silahkan cari tempat duduk ya, kasih jarak sama kelompok lain biar nggak desak-desakan.” Titah Presiden Mahasiswa, sebut saja Tristan.

Marvin hanya mengacungkan jempol sebagai respon, kemudian ia berjalan memimpin anak didiknya menuju tempat kosong. Ia memilih berlesehan di samping kelompok 2, kelompoknya Jay.

“Duduk disini ya? Jangan ngabisin tempat tapi, jadi duduknya agak deketan jangan jauh-jauh, masih ada kelompok lain yang belom dateng.” Himbau Marvin sembari mendudukkan diri, bersandar pada dinding, ia duduk tepat di sebelah Jay.

“Baik kak.” Jawab kelompok 7.

Marvin dan Jay duduk di tengah-tengah gerombolan kelompok 7 dan kelompok 2.

Nathan tersenyum sumringah melihat Hazen yang duduk di tepi, menyelonjorkan kakinya sambil bermain ponsel. Ia pun berdiri menghampiri Jay dan Marvin, duduk bersimpuh dengan sopan.

“Kenapa Nat?” Tanya Jay.

“Er... anu, itu kak, boleh nggak gue makan nya sama temen gue? Dia ada di kelompok 7 kok.”

Jay tersenyum simpul lalu mengangguk, “Boleh kok, pokoknya masih bisa gue pantau aja nggak kejauhan gakpapa, susah soalnya kalau sampai pisah kelompok nanti nyari-nyari lagi.”

“Hehe makasih kak Jay.” Nathan pun berdiri lalu berjalan pelan menghampiri Hazen yang tampak fokus, tidak sadar jika Nathan mendekati dirinya.

Kedua manik Marvin memperhatikan gerak-gerik Nathan, tidak tau kenapa ia ingin tau saja siapa teman yang dimaksud Nathan itu.

“Dorrr!” Nathan menepuk pundak Hazen dari samping, membuat ponsel Hazen jatuh begitu saja, untung jatuh di atas kotak bekalnya, coba kalau di lantai. Sudah habis si Nathan di cubitin Hazen.

Marvin terkekeh tanpa sadar, merasa lucu melihat ekspresi Hazen yang kaget, melotot dan menganga, apalagi ponselnya sampai jatuh begitu. Kedua mata nya mengerjap beberapa kali seperti orang bego untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Benar-benar lucu menurut Marvin. Bahkan Jay saja tertawa melihat kelakuan Nathan yang iseng sama Hazen.

“Itu anaknya, Vin?” Tanya Jay.

“Maksud lo?”

“Yang lo bilang di tweet, yang mencolok mata tapi lo kepikiran buat jadiin dia kandidat ketang.”

“Ya gitu, tapi gue nggak yakin Jay, masih gue pantau tuh anak kayak apa. Gue selective.”

Jay menganggukkan kepalanya mengerti. “Namanya siapa?”

Marvin melirik, mengangkat sebelah alisnya. Dirinya sangat tau kalau Jay itu buaya darat, jadinya ia agak skeptis kalau Jay bertanya nama begitu. “Kenapa nanya?”

“Apa salahnya? Gue juga mau tau kali calon-calon kandidat ketang jurusan gue.”

“Ketang lo itu gue, bukan para maba.”

“Ya tau tolol, maksud gue ketang nya adting.”

“Hazen.”

“Itu namanya?”

“Ya iya bego, tadi kan lo nanya namanya.”

“Lucu ya namanya, kayak orangnya.” Ucap Jay sembari tersenyum menatap Hazen dan Nathan yang sedang berbicara entah apa, tapi mereka berdua sedang tertawa sambil toyor-toyoran.

“Ck, elo tuh ya masih aja. Udah bosen sama Tristan?”

“Eits, apaan tuh? Gue cuma bilang Hazen lucu. Ga boleh emang?”

“Sadar diri, lo tuh buaya darat. Setiap pujian lo ke orang lain tuh bikin skeptis.”

“Dih kok lo yang sewot? Apa jangan jangan lo...”

“Nggak usah mikir aneh-aneh.”

Jay terkikik lalu mengalihkan pandangan ke podium, dimana Tristan sedang sibuk dengan kertas-kertas di tangannya. “Gue suka Tristan nggak sekedar dua hari, ini udah ada 1 tahun gue suka sama dia. Jadi kalo lo bilang gue udah bosen sama Tristan, jawabannya enggak, dan nggak akan pernah.”

Marvin hanya diam mendengarnya, tidak tau kenapa dalam hatinya lega akhirnya Jay sahabatnya sejak di bangku SMA itu tobat dan sudah memiliki pemberhentian yang tepat.

“Jantung gue jatuh ke usus besar ini goblok!” Umpatnya setelah puas menoyor kepala Nathan berkali-kali.

Nathan tertawa terbahak-bahak lalu ikut duduk selonjoran di samping Hazen. “Abisnya lo fokus amat sama tuh hape, ada apanya sih? Nonton bokep ya lo?”

“Mulut lo bau adzab, lo pikir gue ini lo? Yang suka liat film biru bareng Jendra, cih.”

“Mata lo picek, gue sama Jendra nggak gitu ya bangsat. Kita nontonnya mah film horror.”

Hazen mengerlingkan matanya lalu mengambil ponselnya yang jatuh. “Kenapa lo kesini? Nggak ada temen lo disana?”

“Enak aja, gue punya kali! Gue cuma mau nemenin lo makan, kasian soalnya gue liat-liat menepi sendirian kayak orang susah.”

“Sialan,” umpatnya.

“Kayaknya asik nggak sih kalo kita ber 6 makan barengan gitu?” Ujar Nathan melirik ke sekitar, mencoba mencari batang hidung sahabat-sahabatnya.

“Coba ajak aja kalau mereka mau.”

Nathan mengambil ponselnya di saku, lalu segera mengabari lewat grub mereka.


Raden menghela nafas panjang, sejak tweet Hazen tentang lukisan gunung dan bintang tadi, dirinya jadi enggan untuk melihat Hazen. Apalagi ditambah komentar Hazen tadi di tweet Jendra.

Harapan

Jujur saja Raden tidak ingin berharap lebih, ia sangat mengetahui tabiat Hazen yang friendly, suka bercanda, dan tidak serius. Raden tau jika perkataan Hazen tadi hanyalah bualan semata, tidak ada maksud apa-apa. Namun pada dasarnya Raden yang lemah dengan bocah tengik itu, gini saja ia sudah baper.

“Ck, sialan. Apa gue nggak usah kesana aja ya? Makan disini aja.”

Tapi ponselnya bergetar ribut, ia mendapat pesan spam dari Jendra, menyuruhnya untuk segera bergabung karena hanya tinggal dirinya lah yang belum ada disana.

Mengesalkannya lagi, Jendra bilang jika Hazen menanyakan keberadaannya yang tak kunjung datang.

“Mau lo apa sih Hazen bangsat?” Geramnya dalam hati, tidak berani berteriak tentu saja. Ini tempat umum, Raden masih punya urat malu, tidak seperti Hazen.

Akhirnya Raden mengalah, ia bangkit dari duduknya setelah berpamitan dengan Tama untuk ikut bergabung makan bersama teman-temannya di kelompok lain. Untung saja Tama baik, jadi ia mengijinkan Raden pergi dengan syarat setelah selesai makan langsung kembali.

Sesampainya disana, Raden bisa melihat ke 5 temannya itu tengah bermain batu kertas gunting, lalu saling pukul kepala menggunakan botol air mineral yang masih ada isinya. Raden terkekeh kecil, lalu mulai berjalan mendekati sahabat-sahabatnya. Hazen yang pertama kali notice datangnya Raden.

“Raden!” Panggil Hazen sembari melambaikan tangannya membuat semua sahabatnya ikut menoleh dan ikut melambaikan tangan.

Mau tak mau, Raden pasang senyum manisnya lalu mengambil duduk di samping Jidan. Mereka duduk melingkar, dengan urutan Nathan – Hazen – Leo – Jendra – Jidan dan terakhir Raden yang ada di antara Jidan dan Nathan.

“Ini kapan makannya dah? Gue udah nge tweet akhirnya makan dari tadi juga tapi belum mulai, makan angin kali gue.” Gerutu Hazen sembari menepuk perut datarnya.

“Kayaknya nunggu kelompok lain dateng, makan bersama kan judulnya.” Ucap Jendra.

Tiba-tiba saja, suara denging dari mic terdengar merebut atensi seluruh orang di dalam aula itu.

“Selamat siang adek-adek.”

“Siang kakkkkk.”

“Wah masih semangat aja padahal udah siang. Capek nggak?”

“Capek kak.”

“Nah mangkanya sekarang waktunya ishoma, karna semua kelompok udah berkumpul di aula, gue mau tanya dulu.”

“Kakak pembimbingnya mohon bantu cek in satu-satu bekal adek-adeknya bener atau enggak sama perintahnya.”

“Siap!” Jawab para kakak pembimbing dan mulai berdiri.

“Sekarang, buka kotak bekal kalian. Jangan dimakan dulu, sebelum menjawab pertanyaan gue. Ngerti?”

“Ngerti kak.”

“Oke, yang pertama. Makanan pertama yaitu ketombe. Apa itu ketombe?”

“Nasi putih kak!” Jawab mereka kompak.

“Bagus, ayo kakak pembimbingnya bantu cek, yang nggak bawa nasi putih di catat, ntar ada hukuman di akhir ya kalau salah bawa makanan atau kurang lengkap.”

“Buset ngeri, gue jadi keinget sehari sebelum ospek kita rundingan di grub buat menu bekalnya, aneh-aneh lagian namanya. Bikin mikir keras.” Ucap Leo.

“Ya wajar, namanya juga ospek cuk. Pasti dibikin susah.” Kata Nathan.

Marvin mengelilingi kelompok 7 dan melihat bekal-bekal mereka, termasuk ke geng nya Hazen. Ketika Marvin mendatangi tempat ke 6 anak adam itu, seketika mereka tutup mulut.

“Bawa nasi putih semua kan?” Tanya Marvin sambil melihat 6 kotak bekal yang ada di tengah mereka, seperti sedang kenduri saja, pikir Marvin.

“Bawa kak.” Jawab ke 6 nya kompak.

Marvin mengangguk lalu meninggalkan tempat duduk mereka, barulah ke 6 lelaki itu bernafas lega.

“Auranya kak Marvin dingin banget ya?” Cicit Jidan.

“Apa gue bilang, tuh orang emang irit senyum, ngeri banget pokoknya.” Ucap Hazen berbisik, takut di dengar Marvin tentu saja.

“Oke, selanjutnya sayur tepung goreng minyak, apaan?” Tanya Tristan.

“Sawi goreng?”

“Brokoli goreng?”

“Kripik bayam?”

Para kakak pembimbing tertawa mendengar jawaban polos mahasiswa baru mereka, begitupun juga dengan Tristan di podium sana.

“Bukan, yang bener adalah bakwan. Siapa yang bener?”

“Assa! kan apa gue bilang pasti bakwan!” Seru Jendra menggebu gebu.

“Gitu kata Hazen ngotot kripik bayam, cih. Untung lo satu grub sama kita Zennn.” Kata Raden.

Hazen nyengir lalu merangkul Jendra. “Duh, makasih yak bestie, kalo nggak karena lo gue pasti kena hukum.”

Hingga tebak-tebakan makanan usai, yang menunya merupakan nasi pecel. Terdiri dari nasi putih, bakwan, telur goreng, sambal pecel, timun, kecambah, bayam. Hazen dan teman-temannya tentu saja benar semua jawabannya, berkat kerjasama tim mereka tidak salah membawa makanan.

“Sekarang minumnya, air bening apaan guys?

“Air putih kak.”

“Bagus, minuman kedua. Minuman wilayahku. Apa hayo?”

“Mizone!”

“Pinter, terakhir. Yang buah-buahan. Avatar damai, apa coba?”

“Pisang!”

“Aduh pinter semua, yang salah, siap-siap ya nanti bakalan di hukum. Hukumannya dikasih tau kakak panitia abis ishoma.”

“Baik kak.”

“Baiklah, sekarang, boleh mulai makan ya. Sebelumnya, mari berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Beroda, mulai.”

“Berdoa, selesai. Ayo ucapin selamat makan sayang barengan dalam hitungan ke tiga ya? Kakak pembimbingnya juga makan, konsumsi udah ada di tangan masing-masing kan?”

“Udah bos, aman.” Teriak Yudha kencang membuat para kakak pembimbing tertawa.

“Inget, makanannya harus dihabisin, yang masih sisa, bakalan kena hukuman.”

“Baik kak.”

“Oke, gue hitung ya. 1... 2.... 3...”

“Selamat makan, sayang!” Ucap senior dan junior itu kompak dan memulai ritual makan bersamanya dengan hikmad dan tenang.

“Gue gasuka bayam, nih lo makan aja ya.” Ucap Raden ke Nathan.

“Nggak mau! Lo liat dah bayam gue banyak begini, lo kira gue kambing apa?”

Raden mengerucutkan bibirnya. “Ayo dong Nat, gue gasuka, ntar gue dihukum kakak pembimbing kalau nggak habis ih!”

“Leo aja tuh, dia kan kambing, suka sayur.” Tunjuk Nathan.

“Ogah, eneg juga kali makan sayur banyak-banyak. Ini lauknya juga cuma segini. Nggak ada kerupuk pula.” Tolak Leo.

“Jangan kasih ke gue, lo tau porsi makan gue gak banyak mangkanya nih bayamnya juga sedikit.” Ucap Jidan sebelum Raden sempat membuka mulut.

“Jendra, bantuin gue ya, ya?” Raden menekuk bibirnya ke bawah, memohon kepada Jendra.

No way, gue nggak bisa makan banyak sayur, nanti bisa muntah gue.”

“Ihh nggak ada yang mau bantuin gue? Lo semua seneng kayaknya kalo gue dihukum!”

“Sini, biar gue yang makan.” Kata Hazen menarik kotak bekal Raden dan memindahkan semua bayam di kotak bekalnya.

“Zen, lo kan nggak suka sayur kayak gue!”

“Emang, gue cuma bilang nggak suka, bukan berarti gue nggak bisa makan. Gue bisa makan sayur sebanyak-banyaknya meski nggak suka.”

“Tapi Zen...”

“Ck cerewet, udahlah makan aja tuh sebelum waktu ishomanya habis.” Ucap Hazen mengembalikan kotak bekal Raden dan memakan bekalnya dengan lahap termasuk sayur bayam nya.

“Ma-makasih Zen.”

Jendra dan Nathan saling tatap melihat kejadian itu kemudian menghela nafas lirih bersamaan.

Nyatanya yang mereka tau Hazen tidak suka sayur, Hazen mengatakan itu benar adanya. Tetapi ia bisa memakannya.

Hanya saja mereka tidak tau, jika Hazen hanya bisa makan sayur yang dibumbui dan sudah menjadi masakan, bukan sayur yang matang karena direbus seperti sayur bayam ini. Hazen akan memuntahkan semuanya yang masuk seperti dulu, saat mereka bermain truth or dare di kamar Hazen.

Dan perlu diketahui, Jendra dan Nathan lah yang memergoki Hazen muntah-muntah sampai tepar di toilet kamar Hazen pada saat itu karena tak sengaja Jendra meninggalkan masker di kamar Hazen.

“Zen, abis ini gue anter lo ke toilet. Gue tau lo nggak bisa makan ini.” Bisik Nathan sangat lirih di telinga Hazen yang hanya didengar oleh Hazen.

Hazen menatap Nathan dan menghela nafasnya sembari tersenyum kecil.

Flo·ᴥ·

Selesai upacara pembukaan ospek, semua mahasiswa baru digiring menuju aula terbuka Neo Dream University. Aula tersebut sangat besar sehingga dapat menampung 1.500 mahasiswa baru sekaligus puluhan panitia ospek yang terdiri dari anggota BEM dan ketua angkatan setiap jurusan.

Marvin tidak ikut andil dalam pemilihan pembimbing serta anggota kelompoknya siapa saja, Marvin hanya menaati perintah anak-anak BEM saja yang lebih berhak dalam urusan ospek ini, dirinya kan hanya ketua angkatan Manajemen Bisnis. Apa haknya ikut campur? Istilahnya disini, Marvin hanyalah babu BEM untuk melancarkan jalannya ospek. Marvin tidak keberatan akan hal itu tentu saja, ketua BEM nya saja sahabat nya.

Setiap kelompok terdiri dari 30 mahasiswa baru yang tercampur dari berbagai jurusan. Itulah mengapa Hazen terpisah dengan sahabat-sahabatnya, meski peluang mereka satu kelompok harusnya besar karena ke 6 anak adam itu beda jurusan semua.

Hazen jurusan Manajemen Bisnis, Raden jurusan Ilmu Seni dan Estetika, Jendra jurusan Ilmu Hukum, Nathan jurusan Kedokteran, Leo jurusan Hubungan Internasional dan Jidan jurusan Teknik Informatika.

Namun sepertinya Tuhan memang ingin ke 6 lelaki itu memiliki teman selain mereka sendiri. Kehidupan saat di SMA berbeda dengan di bangku Universitas, tentu lingkup pertemanan pun meluas, tidak seperti saat SMA.

Saat ini semua panitia ospek sedang memperkenalkan diri, mereka berdiri di atas podium aula lalu satu persatu menyebut nama serta jurusan. Ada 50 panitia yang terhitung oleh Hazen.

Hazen hanya menyimak beberapa panitia yang melakukan perkenalan, ia lebih memilih untuk berkutat dengan twitter, mencurahkan segala kedongkolannya di akun privat untuk menghujat kating menyebalkan itu yang sedari tadi menatap dirinya lekat-lekat dengan tatapan menilik serta tidak bersahabatnya. Hazen memilih tak acuh saja bahkan saat lelaki itu memperkenalkan diri, Hazen melewatkannya dan tidak mendengarkan sama sekali.

Setelah semua selesai dengan sesi perkenalan, lelaki yang memperkenalkan diri sebagai ketua BEM, namanya Tristan, lelaki itu sedang menjelaskan kegiatan selanjutnya yaitu akan dibaginya kelompok secara random yang telah ditentukan oleh panitia ospek.

“Oke, gue bilang bakalan ada 50 kelompok disini, ini kelompok selama ospek kalian, jadi selama tiga hari kedepan, kalian akan terus bersama satu kelompok buat nuntasin semua kegiatan dan tugas kelompok ospek dari kita.”

“Nanti yang namanya dipanggil, segera hampirin kakak nya yang megang kertas nomor kelompok ya? Nanti, bubarnya harus senyap gak boleh rame, yang keluarin suara berisik nanti kena hukuman. Belajar tenang dan tak tergesa, oke? Pokonya setelah gue sebut nama dan kelompok berapa, lo langsung nyari kakaknya aja, udah jelas banget mereka megang nomor kelompok gede banget pake kertas bufalo noh!” Tunjuk Tristan kepada para kating yang membuka lebar kertas bufalo berisi nomor kelompok di depan dada mereka. Ada yang mengangkatnya tinggi banget di atas, contohnya kayak si Yudha, iseng emang.

“Ada yang mau ditanyain nggak? Kalo enggak langsung gue mulai aja ini.”

“Nggak ada kak.”

“Bagus, gitu dong sekali dibilang harus paham biar gue nggak perlu ulang-ulang lagi.” Kata Tristan sambil terkekeh manis, membuat para mahasiswa baru ikutan ketawa.

Tristan dengan mic nya mulai menyebutkan satu persatu nama mahasiswa baru untuk mengisi kelompok 1. Mereka menurut, saat nama mereka disebut dengan nomor kelompok, mereka berdiri dan berjalan dengan tenang tanpa berisik untuk mencari kakak pembimbing kelompoknya.

“Leonardo Galuh Wijaya kelompok 1.”

Leo segera berdiri dan berjalan melewati mahasiswa baru di sekitarnya dengan sopan, meminta jalan agar ia bisa keluar dari kerumunan mahasiswa lalu menghampiri Juan sebagai pembimbing kelompok 1.

“Duh, kita semua bisa satu kelompok nggak ya? Leo orang ke 23 yang dipanggil sebagai kelompok 1.” Gerutu Jidan.

“Kayaknya susah deh kita satu kelompok, mereka pasti juga liat asal sekolah, kalo sekolahnya sama kayaknya bakalan dipisah meski beda jurusan, tujuan nya kan biar kita berbaur sama orang asing.” Ucap Hazen.

“Gapapa kali Ji, malah dapet temen baru. Lo nggak bosen apa emangan temenan sama kita-kita doang dari SMA?” Kekeh Raden untuk menghibur Jidan.

“Iya sih bener juga, bosen gue liat muka lo semua.”

Ucapan Jidan langsung mendapat toyor dari Nathan, tidak keras namun cukup membuat kepala Jidan sampe terjegluk.

“Ini nih yang dikata gak ada gunanya besarin anak, durhaka banget.”

“Lah? Kata siapa gue anak lo?” Jidan mengerlingkan matanya menanggapi emak jadi-jadiannya.

“Nah itu tadi untuk kelompok 1 yang dipimpin sama Juan. Untuk kelompok 1 bisa cari tempat di luar aula untuk duduk ya? Juan, tolong dibimbing adek-adeknya.”

“Wokeyy siap boss.” Teriak Juan sambil hormat lalu menggiring anak didiknya meninggalkan aula terbuka.

“Kan nggak sekelompok, bener apa kata gue.” Ucap Hazen setelah melihat kepergian kelompok 1.

Pengumuman terus berlanjut ke kelompok- kelompok selanjutnya.

“Nathan Angkasa Jingga kelompok 2.”

“Weh, duluan ya gue bro.” Pamitnya pada ke 4 temannya yang diacungi jempol oleh mereka menghindari berisik.

Nathan melihat sekeliling untuk melihat kelompok 2 lalu bernafas lega. “Sama kak Jay anjir, buset dah takut pingsan gue, ganteng banget kak Jay anjing!” batinnya bergejolak melihat senyuman Jay dari jauh sana.

“Jidan Ajisaka Mahatma kelompok 3.”

“Gue pergi dulu bro, bye.” Jidan berdiri dan membelah kerumunan mahasiswa yang menghalangi jalannya, sembari melihat dimanakah kakak pembimbingnya.

“Buset kak Johan dong, aduh ini gue kalo berulah bisa jadi ayam geprek. Sialan, serem banget anjing kak Johan, auranya kayak penjahat.” Batin Jidan melangkah dengan ngeri menuju Johan yang sedang senderan di dinding menunggu Jidan datang.

“Rajendra Tirta Gentala kelompok 5.”

“Oh kita deketan semua deh kelompoknya, setidaknya mungkin berjarak satu kelompok doang.” Ujar Hazen kemudian setelah Jendra pergi dari tempat duduknya.

“Hooh Zen kayaknya gitu.” Raden mengangguk menyetujui, hanya tinggal mereka berdua diantara semua sahabatnya yang belum terpanggil.

Deon melebarkan senyum gusi nya ketika melihat Jendra datang dan menyambut dengan ramah. Jendra hanya membalas dengan senyum canggung sampai matanya ikutan senyum.

“Raden Bintang Kejora kelompok 6.”

“Ah gue dipanggil, semoga lo kelompok 7 ya atau nggak sekelompok sama gue hehe.” Ucapnya dan menepuk bahu Hazen terlebih dahulu sebelum berdiri mencari kakak pembimbingnya.

“Oke, udah sana lo hus hus.” Hazen menggerakkan tangannya mengusir Raden.

Raden senang ia mendapat kakak pembimbing yang terlihat lebih baik dan ramah, terlihat tidak banyak tingkah juga, jadi dirinya tidak khawatir akan dikerjai olehnya. Benar, Tama lah kakak pembimbing kelompok 6.

Hazen mulai suntuk sekarang, teman-temannya sudah pergi dan ia hanya sendiri. Saat ini pengumuman kelompok 7. Ia jadi teringat perkataan Raden, kemungkinan ia ada di kelompok 7 sangat besar. Karena teman-temannya mendapatkan kelompok berurutan.

Kedua manik madunya mengedarkan pandangan untuk melihat siapa kakak pembimbing kelompok 7 dan shit! Hazen tak bisa untuk tidak terkejut.

“Pliss jangan sampe gue kelompok 7, jangan. Kelompok manapun gak masalah dah tapi jangan masuk kelompok 7 plisss.” Ia mengatupkan kedua tangannya dan memejamkan mata untuk berdoa.

Setelah memanjatkan doa berkali-kali, Hazen membuka mata dan mengatur nafasnya. Ia masih mendengarkan nama-nama mahasiswa baru yang disebut sebagai kelompok 7.

Sepertinya Tuhan sedang marah dengan Hazen, sehingga doa sekitar 5 menit lalu harus pupus, hancur dan tak tergapai.

“Hazen Aditya Buana kelompok 7.” Tristan menyebut namanya begitu lantang sampai Hazen terjingkat dan tersadar dari daydream nya.

Hazen mengerjapkan kedua matanya dan berteriak dalam hati. “What the fuck? Gue doanya semoga nggak di kelompok 7 tapi kenapa gue malah ada di kelompok 7 sih?”

“Hazen, ayo cepet berdiri kenapa bengong dah? Cepet gabung sama mereka biar yang lain segera disebutkan namanya.” Tegur Tristan yang melihat Hazen yang masih duduk saja dengan tatapan kosong.

“E-eh iya kak maaf.” Dengan berat hati Hazen berdiri dan meminta jalan kepada mahasiswa-mahasiswi yang menghalangi jalan dan segera menghampiri teman-teman kelompoknya yang sudah menunggu bersama dengan seorang lelaki yang jelas-jelas memegang kertas bufalo bertuliskan angka 7.

Dia adalah kakak pembimbing kelompok 7, kelompoknya. Siapa lagi jika bukan Marvin? Kating yang ingin dihindari Hazen namun sialnya malah harus bertemu dan berinteraksi sampai 3 hari ke depan.

Benar jika masa depan tidak ada yang bisa menebak, bahkan dalam kurun waktu yang sedikit, masa depan tak terduga yang tak diharapkan pun justru datang menghampiri.

Flo·ᴥ·