sunfloOra07

Motor KLX 250 nya memasuki gerbang rumahnya, sang satpam menutup kembali gerbang kediaman Tuan Kaisar setelah Hazen masuk dan memarkirkan si babon di garasi bersampingan dengan koleksi mobil miliknya.

Di rumah ini, Hazen mempunyai garasi sendiri. Dimana letak semua mobil dan motor KLX nya berada. Garasi Ayah dan Bunda ada di sebelah garasi Hazen.

Hazen memang memiliki beberapa mobil mewah juga, ada yang ia dapatkan dari sang Ayah, Bunda dan Mas Devon sebagai hadiah ulang tahun nya. Ada juga yang ia beli sendiri memakai uang tabungan. Contohnya si babon, itu Hazen membeli sendiri dengan uang tabungannya semasa SMA. Hasil dari menyisihkan uang saku bulanan serta uang ia nge band kesana kemari bersama teman-temannya.

Ia memiliki motor Ninja 4 tack juga btw, tapi favoritnya tetaplah KLX 250 warna hijau, alias si babon.

Hazen memasuki rumah dengan kemeja warna hitam, dua kancing atasnya dibiarkan terbuka kemudian dibalut dengan suit warna merah maroon. Poni di rambutnya ia singkirkan sehingga menampakkan jidat mulus nya. Tangan kirinya dihiasi dengan jam tangan pemberian dari sang Ayah untuk hadiah atas keberhasilan Hazen menjadi juara 1 paralel saat SMA. Jam tangan mahal tentu saja, harganya saja sama dengan harga motor matic terbaru 2021.

Ia memakai skinny jeans warna hitam sehingga bentuk kaki ramping dan panjangnya terbentuk sangat cantik dan indah. Tak lupa ia memakai sepatu boots bertali berwarna hitam.

Penampilan yang sempurna untuk seorang Hazen Aditya Buana, siapapun akan terpukau dengan penampilan Hazen malam ini, jika tidak terpukau, maka orang itu dipastikan buta

Saat Hazen akan membuka pintu, Ayah dan Bunda nya sudah menyambut Hazen duluan.

“Kita berangkat sekarang, sudah hampir jam 6. Jalanan nanti macet mengingat ini hari Sabtu.” Kata Kaisar yang memainkan kunci mobil nya di jari.

Sang Bunda menarik lengan Hazen, menuntun anak bungsu nya itu untuk segera masuk ke dalam mobil.

“Astaga, ini pertemuanku dengan Sandra, tapi yang sangat semangat justru Ayah sama Bunda.” Kata Hazen mengerlingkan matanya lalu menyamankan diri duduk di jok tengah.

Bunda terkekeh lalu menoleh ke belakang, menatap dan menilai penampilan sang putra dari atas ke bawah. “Aduh, anak Bunda ganteng banget, mana keren lagi. Ini kalo Sandra nggak tertarik sama kamu, pasti Sandra sedang rabun.”

Kaisar tertawa, melirik Hazen dari kaca mobil di atasnya. “Benar, Hazen putra Ayah sangat tampan malam ini. Om Noah bilang, dia kangen sama kamu Zen, udah hampir satu tahun dia nggak liat kamu.”

Hazen tersenyum kecut. “Berapa lama Yah nanti?”

Mobil itu berjalan keluar dari kediaman Kaisar dan membelah jalanan Jakarta yang ramai itu.

“Kenapa nanya? Kamu ada janji sama orang?”

“Bukan, aku males lama-lama soalnya.” Batin Hazen menggerutu.

“Enggak Yah, aku pengen istirahat aja. Kemarin aku ngambis sampe tadi pagi. Terus bersih-bersih asrama, nyuci baju, nggak sempet tidur lama.”

Roommate kamu ngapain aja? Kok kamu kerjain sendiri urusan kebersihan asrama?”

“Ada jadwalnya Yah, kebetulan hari ini roommate aku sibuk sama tugasnya. Biasalah, namanya juga kating, Yah. Banyak tugas dan kerjaan. Jadi aku bersihin sendiri.”

Berdusta sekali Hazen ini. Padahal seharian tadi ia hanya main game dan menonton film di dalam kamar karena enggan melihat wajah Marvin.

Ingin mengajak main sahabat-sahabatnya, tapi mereka sedang ngambis tugas yang menumpuk. Bahkan Raden yang biasanya tidak menolak ajakannya pun menolaknya mentah-mentah karena Raden mendapat project dari Dosen untuk membuat mural di dinding fakultasnya seharian penuh.

Jadilah Hazen benar-benar gabut dan nolep.

“Oh, nanti kita bisa bilang ke Om Noah kalau kamu ada tugas banyak. Jadi kita bisa pulang lebih awal.” Kata Kaisar.

“Jam 9 ya Yah? Aku nggak mau lebih dari itu.”

“Iya, jam 9.”

Hazen menghela nafas lega, ia menyandarkan punggungnya dan memasang earphone nya untuk mendengarkan lagu-lagu dari Ed Sheeran sembari memejamkan matanya.


Perjalanan yang macet itu memerlukan waktu 1 jam untuk sampai di tujuan. Restoran milik Noah—Pangestu Resto namanya.

Ini Restoran bintang 5 omong-omong, sudah memiliki cabang di berbagai kota dan provinsi.

“Zen, udah sampai. Bangun kamu.” Kirana mencubit hidung Hazen yang masih memejamkan matanya sembari menyilangkan kedua tangan di dada.

“Shhh sakit Bunda, kok dicubit sih hidung aku?” Gerutu Hazen sembari mengusap hidung nya yang sedikit panas.

Kaisar terkekeh lalu mengusap pucuk kepala Hazen. “Ayo turun, Om Noah sama Sandra udah nunggu kita.”

Hazen menurut, ia melepas earphone nya dan merapikan pakaian serta rambutnya sebentar sebelum mengekori Bunda dan Ayahnya yang sudah berjalan dahulu di depannya.

Kaisar berbicara kepada kasir restoran itu untuk menunjukkan undangan VVIP nya.

“Oh dengan Tuan Kaisar, sudah ditunggu Tuan Noah di lantai tiga, silahkan.” Ucap sang pegawai sembari menuntun keluarga Hazen untuk mengikutinya, masuk ke dalam lift menuju lantai 3.

Setelah mereka sampai di depan ruangan yang tertulis VVIP di pintunya, pegawai tersebut pamit mengundurkan diri meninggalkan keluarga Hazen.

Kaisar menekan bel yang ada di samping pintu.

Ding Dong

Tak lama dari itu, pintu terbuka dengan otomatis.

Kaisar, Kirana dan Hazen masuk setelah pintu itu terbuka. Hazen melihat sekelilingnya, ruangannya begitu besar dan pemandangan kota Jakarta terlihat dengan mata telanjang melalui jendela kaca yang tidak memiliki tirai sama sekali.

Wow, jujur saja Hazen suka sekali jika disuguhi pemadangan seperti ini saat makan. Bisa melihat kerlap-kerlip malam kota Jakarta dari atas sembari mengunyah makananan. Nikmat mana yang mau Hazen dustakan? Tentu saja tidak ada.

Anggap saja langit sudah petang ya wkwkwk

Images

“Selamat datang, Kaisar.” Sambut Noah memeluk Kaisar.

“Terimakasih Noah atas undangan makan malam yang mewah ini, restoranmu sungguh besar dan keren. Lihat, kota Jakarta bahkan bisa dilihat dari sini dengan mata telanjang.” Ucap Kaisar setelah pelukan mereka terlepas.

Noah tersenyum manis hingga dimple nya muncul menghiasi wajahnya. “Ah tidak juga, lebih besar Bar mu tentu saja.”

Kaisar terkekeh lalu mengikuti Noah yang menariknya untuk duduk. Kirana dan Hazen mengikuti sang Ayah dan duduk di sebelah sang Ayah. Hazen ada di tengah-tengah Kaisar dan Kirana.

“Hazen, long time no see, right?” Sapa Noah basa-basi.

“Iya Om, udah hampir satu tahun kan ya Om nggak ketemu saya?”

Noah tertawa, calon menantunya itu memang lucu dan lawak. Mangkanya Noah sangat menyukai Hazen, pribadi Hazen yang memang baik, sopan dan mudah berbaur juga membuat Noah sangat tertarik menjadikannya sebagai menantu. Belum lagi otak Hazen yang encer, cerdas dan inovatif, sudah tidak diragukan lagi Hazen itu memang tipe idaman semua mertua.

“Iya satu tahun. Om sibuk di Inggris sambil mantau Sandra disana soalnya. Sekarang udah nggak perlu kesana lagi, karena Sandra akan wisuda.”

Hazen mengangguk saja sedangkan Kaisar dan Kirana tersenyum.

“Sandra nya dimana No?” Tanya Kaisar setelah tak melihat sosok calon menantunya itu.

“Oh, Sandra tadi ke toilet sebentar. Paling bentar lagi dateng.”

Selang beberapa detik, suara pintu terbuka mengalihkan atensi 4 orang disana.

“Nah itu Sandra, sini sayang cepetan duduk samping Papa.” Noah melambaikan tangannya kepada sosok gadis cantik, tinggi semampai dan terlihat elegan itu.

Sandra memakai dress selutut warna putih dan bercorak polkadot hitam serta rambut hitam nya yang ditata sedemikian rupa sehingga membuat wajah cantiknya nampak anggun dan manis.

Gadis yang dipanggil Sandra itu pun menyunggingkan senyum dan menghampiri Noah, kemudian duduk di samping sang Papa.

“Astaga, Sandra makin cantik aja kamu. Tante terakhir lihat kamu itu 3 tahun lalu kan ya sebelum kamu berangkat ke Harvard?”

Sandra mengangguk dan tersenyum. “Iya Tan, setelah aku pergi ke Harvard kan memang aku nggak pulang ke Indonesia sama sekali.”

Kaisar terkekeh. “Kamu udah gede aja San, perasaan Om dulu liat kamu waktu masih SMA nggak setinggi ini. Waktu itu, Hazen baru aja masuk SMA pas kamu lulus SMA.”

“Aku makan dan minum yang mengandung kalsium dan zat besi terus sih Om di Inggris, jadi gitu deh nambah kayak tiang gini hehe.”

Noah, Kirana dan Kaisar tergelak tawa. Kaisar tidak bohong jika Sandra adalah gadis unik dan lucu. Kalau Kaisar boleh jujur, Hazen dan Sandra itu satu server. Sama-sama lucu dan random person. Sangat cocok pokoknya.

“Oh iya San, kamu belum pernah ketemu Hazen sama sekali kan sejak dulu? Ini nih anaknya udah jadi mahasiswa, udah gede.” Ujar Kirana memperkenalkan Hazen.

Manik mata Sandra bertemu dengan iris hazel Hazen. Keduanya terdiam sesaat saling menatap, sampai Hazen yang mengalihkan dahulu.

“Gue—Hazen Aditya Buana, Kak. Putra bungsunya Ayah sama Bunda.” Ucap Hazen mengulurkan tangan kanan nya, mengajak Sandra berjabat tangan maksudnya.

Sandra terkikik lalu menjabat tangan Hazen. “Nggak usah panggil Kak, panggil nama aja. Gue Sandra Jelita Pangestu, bisa dipanggil Sandra atau Jelita. Biasanya orang terdekat gue manggilnya Jelita.”

Hazen mengangguk dan meringis canggung. “O-oke, Sandra. Lo bisa panggil gue Hazen. Diawali dengan Zen, jangan Haz kalo manggil.” Ucapnya melepaskan jabatan tangan keduanya.

Para orangtua hanya diam sambil mengamati sesi perkenalan itu sembari menahan senyum.

“Kenapa gitu?” Tanya Sandra penasaran.

“Ya—nggak enak didenger San, coba deh lo panggil gue Haz Hazen. Emang enak ngomongnya?”

Para orangtua tergelak tawa begitupun juga dengan Sandra.

“Lo lucu ya Zen, kayaknya kita satu frekuensi deh.”

“Ya? Maksudnya gimana?” Hazen tak mengerti apa maksud dari perempuan di depannya ini.

“Nanti kamu juga akan tau Zen, kenali Sandra pelan-pelan. Dan kamu akan tau maksud Sandra dari kalian itu se frekuensi.” Ucap Noah.

Sandra mengangguk menyetujui ucapan sang Papa.

“O-oh iya Om saya paham.”

Lalu makanan pun mulai berdatangan tersaji di meja makan itu, memenuhi meja panjang yang diisi 5 orang. Mata Hazen berbinar melihat makanan lezat begitu banyak tersaji di depannya.

Sandra diam-diam memperhatikan segala tingkah Hazen, lelaki 2 tahun lebih muda darinya ini.

Sandra seharusnya masih semester 5, namun karena otak sang Papa yang kelewat cerdas itu menurun padanya, Sandra bisa mengambil sks lebih daripada teman satu angkatannya, sehingga kini ia sudah semester 7 dan telah lulus skripsi. Tinggal melaksanakan wisuda minggu depan.

“Ini mah Hazen cocoknya jadi sobat gue, lucu begini yakali jadi suami gue? Yang ada gue gemes pengen nguyel-nguyel dia kayak adek kesayangan.” Batin Sandra memperhatikan Hazen yang sedang makan.

“Ya emang cakep banget sih, tapi—Hazen bukan tipe gue. Ishh kenapa gue malah suka modelan es batu kayak Marvin gitu deh?” Gerutunya dalam hati, kesal sendiri jika mengingat calon adik tirinya itu.

Sandra pun memilih ikut mencicipi makan malamnya, karena perutnya pun juga berdemo minta diisi.

Noah, Kaisar dan Kirana sejak tadi memperhatikan Sandra yang sedang menatap Hazen sejak tadi. Ketiga orangtua itu saling melirik dan tersenyum penuh arti.


Kini Hazen dan Sandra sedang duduk di balkon ruang VVIP itu sembari melihat gemerlap kota Jakarta yang nampak indah, apalagi dengan sinar bulan dan ribuan bintang di langit. Menambah kesan romantis.

“Zen, jujur sama gue. Lo pasti nggak suka dijodohin sama gue kan?”

Hazen tersentak sedikit dan melirik Sandra yang duduk di sampingnya yang dibatasi oleh meja kecil di tengah.

“Er—bukannya nggak suka, tapi gue—”

“Gue suka sama seseorang Zen.”

Lagi, Hazen terkejut dengan ucapan gadis cantik di sampingnya. Sebelum Hazen sempat menjawab, Sandra memotong nya.

“Tapi sayangnya gue sama dia nggak bisa bersatu, karena dia bakalan jadi adek tiri gue.”

Sekarang, Hazen tidak tau harus merespon seperti apa. Ini—complicated menurutnya.

Sandra menoleh untuk menatap Hazen. “Gue nggak akan maksa lo buat nikahin gue nantinya, gue nggak mau menikah karena terpaksa. Gue—berekspetasi punya keluarga bahagia, Zen. Dimana suami gue beneran cinta sama gue dan punya anak-anak yang lucu.”

Rasanya Hazen sampai tak sanggup menelan saliva nya sendiri. Tenggorokannya terasa kering mendadak.

“San, gue—bukannya nggak suka sama lo. Gue masih nggak terbiasa aja tetiba dijodohin sama orang yang nggak gue kenal, gue juga sama kayak lo kok. Gue juga mimpiin keluarga kecil bahagia, punya pasangan yang bener-bener gue cintai sepenuh hati, bukan karena perjodohan kayak gini.”

Sandra terkekeh. “Gimana kalo kita buat kesepakatan?”

“Kesepakatan apa?”

“Kita bakalan coba saling mengenal kayak maunya orangtua kita, tetapi kalau dalam waktu pdkt itu sampai berbulan-bulan kita nggak ada yang punya perasaan satu sama lain, kita usaha buat gagalin perjodohan ini. Gimana?”

Demi apapun Hazen terkejut, ia pikir Sandra akan dengan senang hati menerima perjodohan seperti ini. Biasanya, anak perempuan memang cenderung menurut jika dijodohkan, tidak seperti laki-laki yang suka memberontak.

“Lo—serius?”

Sandra mengangguk mantap. “Dua rius malah.”

“Kalo aja, cuma salah satu dari kita yang punya perasaan, gimana?” Tanya Hazen ragu, bukannya ia percaya diri, tetapi Hazen tipe susah jatuh cinta sama orang, termasuk kepada Sandra. Hazen rasa, akan sulit untuk menumbuhkan perasaan kepada Sandra, apalagi berawal karena perjodohan seperti ini.

“Yang udah jatuh cinta duluan harus bilang, kalo perasaannya memang bakalan sepihak, kita tetap akhiri aja hubungan perjodohan ini, gimanapun caranya.”

Hazen kagum, ia betulan kagum dengan pemikiran dewasa Sandra.

“Oke, gue setuju.”

Dengan kesepakatan itu, Hazen dan Sandra akan menjalani garis takdir yang ditakdirkan untuk keduanya. Entah itu berakhir bersatu atau berpisah, Hazen dan Sandra hanya berdoa yang terbaik untuk keduanya kelak.

Sandra yang masih sangat menyukai Marvin, belum berniat untuk move on meski mereka akan menjadi keluarga. Sedangkan Hazen, yang masih merapalkan doa agar jodohnya segera datang dan bisa membatalkan perjodohan ini.

. . . . . Hi, meet Sandra Jelita Pangestu Images

Flo

Motor KLX 250 nya memasuki gerbang rumahnya, sang satpam menutup kembali gerbang kediaman Tuan Kaisar setelah Hazen masuk dan memarkirkan si babon di garasi bersampingan dengan koleksi mobil miliknya.

Di rumah ini, Hazen mempunyai garasi sendiri. Dimana letak semua mobil dan motor KLX nya berada. Garasi Ayah dan Bunda ada di sebelah garasi Hazen.

Hazen memang memiliki beberapa mobil mewah juga, ada yang ia dapatkan dari sang Ayah, Bunda dan Mas Devon sebagai hadiah ulang tahun nya. Ada juga yang ia beli sendiri memakai uang tabungan. Contohnya si babon, itu Hazen membeli sendiri dengan uang tabungannya semasa SMA. Hasil dari menyisihkan uang saku bulanan serta uang ia nge band kesana kemari bersama teman-temannya.

Ia memiliki motor Ninja 4 tack juga btw, tapi favoritnya tetaplah KLX 250 warna hijau, alias si babon.

Hazen memasuki rumah dengan kemeja warna hitam, dua kancing atasnya dibiarkan terbuka kemudian dibalut dengan suit warna merah maroon. Poni di rambutnya ia singkirkan sehingga menampakkan jidat mulus nya. Tangan kirinya dihiasi dengan jam tangan pemberian dari sang Ayah untuk hadiah atas keberhasilan Hazen menjadi juara 1 paralel saat SMA. Jam tangan mahal tentu saja, harganya saja sama dengan harga motor matic terbaru 2021.

Ia memakai skinny jeans warna hitam sehingga bentuk kaki ramping dan panjangnya terbentuk sangat cantik dan indah. Tak lupa ia memakai sepatu boots bertali berwarna hitam.

Penampilan yang sempurna untuk seorang Hazen Aditya Buana, siapapun akan terpukau dengan penampilan Hazen malam ini, jika tidak terpukau, maka orang itu dipastikan buta

Saat Hazen akan membuka pintu, Ayah dan Bunda nya sudah menyambut Hazen duluan.

“Kita berangkat sekarang, sudah hampir jam 6. Jalanan nanti macet mengingat ini hari Sabtu.” Kata Kaisar yang memainkan kunci mobil nya di jari.

Sang Bunda menarik lengan Hazen, menuntun anak bungsu nya itu untuk segera masuk ke dalam mobil.

“Astaga, ini pertemuanku dengan Sandra, tapi yang sangat semangat justru Ayah sama Bunda.” Kata Hazen mengerlingkan matanya lalu menyamankan diri duduk di jok tengah.

Bunda terkekeh lalu menoleh ke belakang, menatap dan menilai penampilan sang putra dari atas ke bawah. “Aduh, anak Bunda ganteng banget, mana keren lagi. Ini kalo Sandra nggak tertarik sama kamu, pasti Sandra sedang rabun.”

Kaisar tertawa, melirik Hazen dari kaca mobil di atasnya. “Benar, Hazen putra Ayah sangat tampan malam ini. Om Noah bilang, dia kangen sama kamu Zen, udah hampir satu tahun dia nggak liat kamu.”

Hazen tersenyum kecut. “Berapa lama Yah nanti?”

Mobil itu berjalan keluar dari kediaman Kaisar dan membelah jalanan Jakarta yang ramai itu.

“Kenapa nanya? Kamu ada janji sama orang?”

“Bukan, aku males lama-lama soalnya.” Batin Hazen menggerutu.

“Enggak Yah, aku pengen istirahat aja. Kemarin aku ngambis sampe tadi pagi. Terus bersih-bersih asrama, nyuci baju, nggak sempet tidur lama.”

Roommate kamu ngapain aja? Kok kamu kerjain sendiri urusan kebersihan asrama?”

“Ada jadwalnya Yah, kebetulan hari ini roommate aku sibuk sama tugasnya. Biasalah, namanya juga kating, Yah. Banyak tugas dan kerjaan. Jadi aku bersihin sendiri.”

Berdusta sekali Hazen ini. Padahal seharian tadi ia hanya main game dan menonton film di dalam kamar karena enggan melihat wajah Marvin.

Ingin mengajak main sahabat-sahabatnya, tapi mereka sedang ngambis tugas yang menumpuk. Bahkan Raden yang biasanya tidak menolak ajakannya pun menolaknya mentah-mentah karena Raden mendapat project dari Dosen untuk membuat mural di dinding fakultasnya seharian penuh.

Jadilah Hazen benar-benar gabut dan nolep.

“Oh, nanti kita bisa bilang ke Om Noah kalau kamu ada tugas banyak. Jadi kita bisa pulang lebih awal.” Kata Kaisar.

“Jam 9 ya Yah? Aku nggak mau lebih dari itu.”

“Iya, jam 9.”

Hazen menghela nafas lega, ia menyandarkan punggungnya dan memasang earphone nya untuk mendengarkan lagu-lagu dari Ed Sheeran sembari memejamkan matanya.


Perjalanan yang macet itu memerlukan waktu 1 jam untuk sampai di tujuan. Restoran milik Noah—Pangestu Resto namanya.

Ini Restoran bintang 5 omong-omong, sudah memiliki cabang di berbagai kota dan provinsi.

“Zen, udah sampai. Bangun kamu.” Kirana mencubit hidung Hazen yang masih memejamkan matanya sembari menyilangkan kedua tangan di dada.

“Shhh sakit Bunda, kok dicubit sih hidung aku?” Gerutu Hazen sembari mengusap hidung nya yang sedikit panas.

Kaisar terkekeh lalu mengusap pucuk kepala Hazen. “Ayo turun, Om Noah sama Sandra udah nunggu kita.”

Hazen menurut, ia melepas earphone nya dan merapikan pakaian serta rambutnya sebentar sebelum mengekori Bunda dan Ayahnya yang sudah berjalan dahulu di depannya.

Kaisar berbicara kepada kasir restoran itu untuk menunjukkan undangan VVIP nya.

“Oh dengan Tuan Kaisar, sudah ditunggu Tuan Noah di lantai tiga, silahkan.” Ucap sang pegawai sembari menuntun keluarga Hazen untuk mengikutinya, masuk ke dalam lift menuju lantai 3.

Setelah mereka sampai di depan ruangan yang tertulis VVIP di pintunya, pegawai tersebut pamit mengundurkan diri meninggalkan keluarga Hazen.

Kaisar menekan bel yang ada di samping pintu.

Ding Dong

Tak lama dari itu, pintu terbuka dengan otomatis.

Kaisar, Kirana dan Hazen masuk setelah pintu itu terbuka. Hazen melihat sekelilingnya, ruangannya begitu besar dan pemandangan kota Jakarta terlihat dengan mata telanjang melalui jendela kaca yang tidak memiliki tirai sama sekali.

Wow, jujur saja Hazen suka sekali jika disuguhi pemadangan seperti ini saat makan. Bisa melihat kerlap-kerlip malam kota Jakarta dari atas sembari mengunyah makananan. Nikmat mana yang mau Hazen dustakan? Tentu saja tidak ada.

Anggap saja langit sudah petang ya wkwkwk

Images

“Selamat datang, Kaisar.” Sambut Noah memeluk Kaisar.

“Terimakasih Noah atas undangan makan malam yang mewah ini, restoranmu sungguh besar dan keren. Lihat, kota Jakarta bahkan bisa dilihat dari sini dengan mata telanjang.” Ucap Kaisar setelah pelukan mereka terlepas.

Noah tersenyum manis hingga dimple nya muncul menghiasi wajahnya. “Ah tidak juga, lebih besar Bar mu tentu saja.”

Kaisar terkekeh lalu mengikuti Noah yang menariknya untuk duduk. Kirana dan Hazen mengikuti sang Ayah dan duduk di sebelah sang Ayah. Hazen ada di tengah-tengah Kaisar dan Kirana.

“Hazen, long time no see, right?” Sapa Noah basa-basi.

“Iya Om, udah hampir satu tahun kan ya Om nggak ketemu saya?”

Noah tertawa, calon menantunya itu memang lucu dan lawak. Mangkanya Noah sangat menyukai Hazen, pribadi Hazen yang memang baik, sopan dan mudah berbaur juga membuat Noah sangat tertarik menjadikannya sebagai menantu. Belum lagi otak Hazen yang encer, cerdas dan inovatif, sudah tidak diragukan lagi Hazen itu memang tipe idaman semua mertua.

“Iya satu tahun. Om sibuk di Inggris sambil mantau Sandra disana soalnya. Sekarang udah nggak perlu kesana lagi, karena Sandra akan wisuda.”

Hazen mengangguk saja sedangkan Kaisar dan Kirana tersenyum.

“Sandra nya dimana No?” Tanya Kaisar setelah tak melihat sosok calon menantunya itu.

“Oh, Sandra tadi ke toilet sebentar. Paling bentar lagi dateng.”

Selang beberapa detik, suara pintu terbuka mengalihkan atensi 4 orang disana.

“Nah itu Sandra, sini sayang cepetan duduk samping Papa.” Noah melambaikan tangannya kepada sosok gadis cantik, tinggi semampai dan terlihat elegan itu.

Sandra memakai dress selutut warna putih dan bercorak polkadot hitam serta rambut hitam nya yang ditata sedemikian rupa sehingga membuat wajah cantiknya nampak anggun dan manis.

Gadis yang dipanggil Sandra itu pun menyunggingkan senyum dan menghampiri Noah, kemudian duduk di samping sang Papa.

“Astaga, Sandra makin cantik aja kamu. Tante terakhir lihat kamu itu 3 tahun lalu kan ya sebelum kamu berangkat ke Harvard?”

Sandra mengangguk dan tersenyum. “Iya Tan, setelah aku pergi ke Harvard kan memang aku nggak pulang ke Indonesia sama sekali.”

Kaisar terkekeh. “Kamu udah gede aja San, perasaan Om dulu liat kamu waktu masih SMA nggak setinggi ini. Waktu itu, Hazen baru aja masuk SMA pas kamu lulus SMA.”

“Aku makan dan minum yang mengandung kalsium dan zat besi terus sih Om di Inggris, jadi gitu deh nambah kayak tiang gini hehe.”

Noah, Kirana dan Kaisar tergelak tawa. Kaisar tidak bohong jika Sandra adalah gadis unik dan lucu. Kalau Kaisar boleh jujur, Hazen dan Sandra itu satu server. Sama-sama lucu dan random person. Sangat cocok pokoknya.

“Oh iya San, kamu belum pernah ketemu Hazen sama sekali kan sejak dulu? Ini nih anaknya udah jadi mahasiswa, udah gede.” Ujar Kirana memperkenalkan Hazen.

Manik mata Sandra bertemu dengan iris hazel Hazen. Keduanya terdiam sesaat saling menatap, sampai Hazen yang mengalihkan dahulu.

“Gue—Hazen Aditya Buana, Kak. Putra bungsunya Ayah sama Bunda.” Ucap Hazen mengulurkan tangan kanan nya, mengajak Sandra berjabat tangan maksudnya.

Sandra terkikik lalu menjabat tangan Hazen. “Nggak usah panggil Kak, panggil nama aja. Gue Sandra Jelita Pangestu, bisa dipanggil Sandra atau Jelita. Biasanya orang terdekat gue manggilnya Jelita.”

Hazen mengangguk dan meringis canggung. “O-oke, Sandra. Lo bisa panggil gue Hazen. Diawali dengan Zen, jangan Haz kalo manggil.” Ucapnya melepaskan jabatan tangan keduanya.

Para orangtua hanya diam sambil mengamati sesi perkenalan itu sembari menahan senyum.

“Kenapa gitu?” Tanya Sandra penasaran.

“Ya—nggak enak didenger San, coba deh lo panggil gue Haz Hazen. Emang enak ngomongnya?”

Para orangtua tergelak tawa begitupun juga dengan Sandra.

“Lo lucu ya Zen, kayaknya kita satu frekuensi deh.”

“Ya? Maksudnya gimana?” Hazen tak mengerti apa maksud dari perempuan di depannya ini.

“Nanti kamu juga akan tau Zen, kenali Sandra pelan-pelan. Dan kamu akan tau maksud Sandra dari kalian itu se frekuensi.” Ucap Noah.

Sandra mengangguk menyetujui ucapan sang Papa.

“O-oh iya Om saya paham.”

Lalu makanan pun mulai berdatangan tersaji di meja makan itu, memenuhi meja panjang yang diisi 5 orang. Mata Hazen berbinar melihat makanan lezat begitu banyak tersaji di depannya.

Sandra diam-diam memperhatikan segala tingkah Hazen, lelaki 2 tahun lebih muda darinya ini.

Sandra seharusnya masih semester 5, namun karena otak sang Papa yang kelewat cerdas itu menurun padanya, Sandra bisa mengambil sks lebih daripada teman satu angkatannya, sehingga kini ia sudah semester 7 dan telah lulus skripsi. Tinggal melaksanakan wisuda minggu depan.

“Ini mah Hazen cocoknya jadi sobat gue, lucu begini yakali jadi suami gue? Yang ada gue gemes pengen nguyel-nguyel dia kayak adek kesayangan.” Batin Sandra memperhatikan Hazen yang sedang makan.

“Ya emang cakep banget sih, tapi—Hazen bukan tipe gue. Ishh kenapa gue malah suka modelan es batu kayak Marvin gitu deh?” Gerutunya dalam hati, kesal sendiri jika mengingat calon adik tirinya itu.

Sandra pun memilih ikut mencicipi makan malamnya, karena perutnya pun juga berdemo minta diisi.

Noah, Kaisar dan Kirana sejak tadi memperhatikan Sandra yang sedang menatap Hazen sejak tadi. Ketiga orangtua itu saling melirik dan tersenyum penuh arti.


Kini Hazen dan Sandra sedang duduk di balkon ruang VVIP itu sembari melihat gemerlap kota Jakarta yang nampak indah, apalagi dengan sinar bulan dan ribuan bintang di langit. Menambah kesan romantis.

“Zen, jujur sama gue. Lo pasti nggak suka dijodohin sama gue kan?”

Hazen tersentak sedikit dan melirik Sandra yang duduk di sampingnya yang dibatasi oleh meja kecil di tengah.

“Er—bukannya nggak suka, tapi gue—”

“Gue suka sama seseorang Zen.”

Lagi, Hazen terkejut dengan ucapan gadis cantik di sampingnya. Sebelum Hazen sempat menjawab, Sandra memotong nya.

“Tapi sayangnya gue sama dia nggak bisa bersatu, karena dia bakalan jadi adek tiri gue.”

Sekarang, Hazen tidak tau harus merespon seperti apa. Ini—complicated menurutnya.

Sandra menoleh untuk menatap Hazen. “Gue nggak akan maksa lo buat nikahin gue nantinya, gue nggak mau menikah karena terpaksa. Gue—berekspetasi punya keluarga bahagia, Zen. Dimana suami gue beneran cinta sama gue dan punya anak-anak yang lucu.”

Rasanya Hazen sampai tak sanggup menelan saliva nya sendiri. Tenggorokannya terasa kering mendadak.

“San, gue—bukannya nggak suka sama lo. Gue masih nggak terbiasa aja tetiba dijodohin sama orang yang nggak gue kenal, gue juga sama kayak lo kok. Gue juga mimpiin keluarga kecil bahagia, punya pasangan yang bener-bener gue cintai sepenuh hati, bukan karena perjodohan kayak gini.”

Sandra terkekeh. “Gimana kalo kita buat kesepakatan?”

“Kesepakatan apa?”

“Kita bakalan coba saling mengenal kayak maunya orangtua kita, tetapi kalau dalam waktu pdkt itu sampai berbulan-bulan kita nggak ada yang punya perasaan satu sama lain, kita usaha buat gagalin perjodohan ini. Gimana?”

Demi apapun Hazen terkejut, ia pikir Sandra akan dengan senang hati menerima perjodohan seperti ini. Biasanya, anak perempuan memang cenderung menurut jika dijodohkan, tidak seperti laki-laki yang suka memberontak.

“Lo—serius?”

Sandra mengangguk mantap. “Dua rius malah.”

“Kalo aja, cuma salah satu dari kita yang punya perasaan, gimana?” Tanya Hazen ragu, bukannya ia percaya diri, tetapi Hazen tipe susah jatuh cinta sama orang, termasuk kepada Sandra. Hazen rasa, akan sulit untuk menumbuhkan perasaan kepada Sandra, apalagi berawal karena perjodohan seperti ini.

“Yang udah jatuh cinta duluan harus bilang, kalo perasaannya sepihak. Tetap akhiri aja hubungan perjodohan ini, gimanapun caranya.”

Hazen kagum, ia betulan kagum dengan pemikiran dewasa Sandra.

“Oke, gue setuju.”

Dengan kesepakatan itu, Hazen dan Sandra akan menjalani garis takdir yang ditakdirkan untuk keduanya. Entah itu berakhir bersatu atau berpisah, Hazen dan Sandra hanya berdoa yang terbaik untuk keduanya kelak.

Sandra yang masih sangat menyukai Marvin, belum berniat untuk move on meski mereka akan menjadi keluarga. Sedangkan Hazen, yang masih merapalkan doa agar jodohnya segera datang dan bisa membatalkan perjodohan ini.

. . . . . Hi, meet Sandra Jelita Pangestu Images

Flo

Hazen sedang menonton film horor di netflix berjudul The 8th Night bersama sang Ayah—Kaisar. Sedangkan Bunda nya—Kirana tengah menyiapkan makan malam. Hazen memang akan menginap di rumah malam ini, karena Bunda nya merengek sangat merindukan Hazen, ingin memeluk Hazen saat tidur nanti.

Sang Ayah sempat protes, karena beliau merindukan istrinya juga dan ingin tidur memeluk sang istri, namun istrinya itu malah ingin tidur bersama si bungsu.

Kata Kirana, “Mengalah sebentar bisa nggak? Hazen kan udah nggak sama kita lagi, buat hari ini biarin aku seharian sama Hazen. Besok dia udah pulang ke asrama, kamu bisa mempoligami aku semaumu setelahnya.”

Percakapan sedikit vulgar itu membuat Hazen sedikit geli. Ayahnya itu memang sangar, tetapi kalau sudah sama Bunda nya hilang sudah ke-sangar an sang Ayah.

Hazen melihat film yang terputar di televisi besarnya itu dengan cermat dan serius membuat sang Ayah terkekeh. Pada dasarnya 70% sifat Hazen itu berasal dari sang Ayah—termasuk usil dan isengnya.

Kaisar memikirkan sebuah ide jahil untuk menggoda sang anak, jujur saja dirinya merindukan bocah nakal itu. Biasanya, ia selalu bisa mendengar suara teriak-teriak, suara tawa dan suara merdu Hazen ketika bersenandung di rumah besar ini. Namun semenjak Hazen pindah ke Asrama, Kaisar tidak bisa mendengarnya lagi.

Ia melirik Hazen yang tengah memeluk bantal sofa serta mulut yang sedikit terbuka karena saking seriusnya menonton. Kaisar berancang-ancang mendekati Hazen, kedua tangannya siap untuk menepuk bahu Hazen dengan kencang disertai suara mengejutkannya.

“Hazen!” Teriak Kaisar menepuk bahu Hazen lumayan keras dan suara nya yang terbilang cukup keras membuat Hazen sampai melempar bantal sofanya karena terlalu kaget.

“Aaaaa, Ayah! Jangan ngagetin gitu ih, aku beneran kaget tau!” Ucap Hazen memukul lengan Kaisar berkali-kali dengan bantal sofa yang baru saja ia ambil setelah terlempar.

Memang anarkis sekali Hazen jika kesal begitu, tolong dimaklumi teman-teman

“Aw aw, aduh Zen sakit banget kamu mukulnya.” Kaisar melindungi lengan kanan nya sembari menahan bantal sofa yang terus melayang memukulnya.

“Biarinnnn, Ayah ngeselin ih! Kesel, kesel, kesel!” Racau Hazen masih setia memukuli sang Ayah.

Kirana yang tengah menata makanan di meja makan hanya geleng-geleng kepala sembari menghela nafas lelah melihat kelakuan dua lelaki kesayangannya itu.

“Hadeh, kangen sama Devon deh. Biasanya ini rumah jadi kapal pecah kalau tiga-tiga nya di rumah.” Kekeh Kirana membayangkan kejadian yang dulu-dulu saat Devon masih di rumah.

Kaisar dengan badan kekarnya pun mencekal kedua tangan Hazen lalu menarik tubuh gembul Hazen ke dalam pelukannya. Memeluk si bungsu dengan erat, lebih tepatnya terlihat seperti membekap anak itu ke dalam tubuh kekar dan besarnya.

“A-ayah ih, ketek Ayah bau! Hazen nggak bisa nafas, help me Bundaaaaaa.” Teriak nya memukul dada bidang sang Ayah.

Kaisar tergelak tawa dan makin erat memeluk sang anak kemudian menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri seperti menimang bayi. Bagi Kaisar dan Kirana, Hazen memang masih bayi kecil mereka.

“Hueeeee Ayah, sesak banget ini lohhhh.”

“Kaisar... kamu ini ya, kenapa jahil banget sih? Lepasin anaknya, udah merah-merah itu mukanya hirup bau ketek kamu.” Ucap Kirana tetiba muncul di belakang kedua lelaki itu.

Kaisar menoleh menatap sang istri dan tertawa geli lalu melepas Hazen dari dekapannya.

“Huhhh sumpah Ayah, aku kayaknya tiga detik lagi bakalan tinggal nama kalau Ayah nggak lepasin aku.” Kata Hazen mengipasi mukanya yang memerah.

Kirana tertawa begitupun Kaisar.

“Udah-udah, makan malem nya udah siap. Makan yuk.” Kirana menarik lengan Hazen untuk berdiri dan menuntun anak itu duduk di meja makan, diekori oleh Kaisar di belakang.

Baru saja mereka duduk di kursi makan, tiba-tiba suara bel rumahnya berbunyi dengan brutalnya.

Ding Dong Ding Dong Ding Dong

“Astaga, siapa tamu kurang ajar yang dateng pas jam makan malem gini?” Kaisar geram sendiri, sungguh tidak sopan menurutnya memencet bel rumah orang seperti itu.

“Biar aku aja yang buka Yah, kalau ternyata temenku biar bisa aku patahin jarinya.” Ucap Hazen berlalu dari meja makan menuju pintu rumahnya.

Kirana mengernyitkan dahinya. “Kalaupun temennya Hazen, masa iya nggak punya sopan santun kayak gitu ya, Yah?”

“Nggak tau juga Bun, setauku temen-temennya Hazen sopan semua kok. Siapa aja Bun temennya Hazen yang suka main kesini? Mana gerombolan kayak mau tawuran lagi.”

“Hahaha, oh itu emang genk nya Hazen atuh Yah. Anak band nya Hazen. Ada Raden, Jendra, Nathan, Leo sama Jidan.”

“Oh iya iya, aku paling inget sama Raden sih Bun. Hahaha tau nggak Bun waktu aku kasih tau Hazen soal cinta itu bisa diusahakan, kalau udah terbiasa bersama pasti cinta. Tau nggak Hazen bilang apa setelahnya?”

“Bilang apa emang?”

“Bilang gini—'Kalau ngomongin soal cinta datang karena terbiasa, aku pasti udah jatuh cinta sama Raden kali Yah karena saking terbiasanya bareng Raden dari dulu', gitu Bun kata Hazen.”

Kirana tergelak tawa, “Ada-ada aja emang kelakuan anak kamu tuh. Kamu dulu juga sebelum nikah sama aku, nempel banget sama sahabatmu Dimas—aku kira kalian dulu pacaran tau, aku sampai nge ship kalian saking cocoknya.”

“Hahaha ada-ada aja, mana mungkin? Dimas punya pacar tau, pacarnya cantik. Ya kali Dimas malah mau pacaran sama aku.”

“Oh, jadi kamu suka sama Dimas sebenernya?”

Kaisar mengerlingkan matanya. “Mana ada? Enggak lah, aku sama Dimas cuma sahabatan aja kok, kayak Hazen sama Raden gitu.”

Di sisi lain...

Hazen mendadak linglung setelah membuka pintu rumahnya untuk melihat siapa gerangan tamu kurang ajar yang mengganggu kenyamanan kediaman Tuan Kaisar.

Surpise~~~” Teriaknya sambil nyengir menampakkan giginya yang rapi.

“M-mas Devon...” Ucap Hazen begitu lirih, yang hanya bisa di dengar Hazen.

Benar, tamu kurang ajar itu adalah anak sulung dari keluarga ini—Devon Radhika Vega nama lengkapnya

“Kok bengong? Ini mas nggak disuruh masuk?” Devon menaikkan sebelah alisnya menatap sang adik yang hanya melihatnya dengan pandangan kosong.

“Hueeeee Mas Devon, aku kangennnnnn.” Teriak Hazen dan berhambur memeluk sang kakak dengan erat, mendusalkan kepalanya di ceruk leher sang kakak.

Devon terkikik dan mengusap helaian rambut sang adik dengan lembut kemudian mencium pucuk kepala Hazen setelahnya. “Mas juga kangen banget sama kamu. Tadinya mas mau bikin kejutan besok dateng ke Asrama kamu, eh malah kamu nya udah di rumah aja.”

Hazen mendongak untuk melihat wajah sang kakak yang sangat jarang ia lihat. Satu tahun sekali, mungkin.

“Bunda suruh aku nginep sehari disini abis jemput Bunda di Bandara. Mas Devon pulang kok nggak ada kasih kabar? Apa cuma aku yang nggak tau kalo mas pulang?”

“Ayah sama Bunda juga nggak tau, mas emang sengaja buat kasih kejutan hehe.”

“Hazen, siapa tamunya? Kok lama ba—” Ucapan Kirana terhenti seketika saat kedua maniknya menemukan si sulung berdiri di depan pintu sedang berpelukan manja dengan Hazen.

Tak lama setelahnya, Kaisar menyusul di belakang Kirana. “Ada apa Bun? Kok bengong?”

“Anakmu, pulang.” Kata Kirana lirih dan segera berlari menghampiri kedua anaknya yang masih asik bercengkrama.

“Devon!” Panggil Bunda dan memeluk Devon serta Hazen di dekapan hangatnya.

Hazen tentu saja terkejut tiba-tiba dipeluk dari belakang. Hazen terjepit, kasian sekali beruang madu ini.

“Kamu pulang kok nggak kabar-kabar Bunda sama Ayah sih?” Tanyanya setelah puas memeluk putra sulungnya dan—Hazen yang terjepit di tengah.

Kaisar ikut menghampiri anak dan Ibu itu. “Ayah kira siapa yang dateng malem-malem mana nggak sopan lagi pencet bel nya. Ternyata emang dedemit yang dateng, pantes aja.”

Hazen tertawa terbahak-bahak sedangkan Devon mendengus. Hazen dan Devon sudah tidak berpelukan setelah dipeluk Bunda.

“Anak sendiri dikatain dedemit, emang cuma Pak Kaisar yang begini.” Kata Devon.

Kaisar terkekeh lalu memeluk si sulung, menepuk bahu Devon beberapa kali. “Selamat datang di rumah nak, Ayah kangen sama putra nakal Ayah yang ini.”

Devon membalas pelukan sang Ayah, “Nakal begini tapi udah bisa kasih Ayah duit tau.” Candanya sembari tertawa.

Kaisar tertawa dan mengangguk, itu memang fakta. Perusahaannya di Belanda memang dipegang oleh Devon dan setiap uang yang masuk selalu Devon kirim ke rekening sang Ayah dan Bunda. Devon hanya mengambil 20% nya. 80% ia kasih kepada kedua orangtuanya.

“Ayo masuk, Bunda udah masak banyak. Kebetulan Bunda juga masakin makanan kesukaan kamu. Padahal Bunda nggak tau kalo kamu pulang, mas.” Ucap Bunda.

Devon mengangguk sembari tersenyum. “Ikatan batin Bunda sama anaknya sekuat itu ya Bun? Atau emang Bunda yang kangen berat sama aku sih hehe.”

“Iya, kangen berat.”

Kemudian mereka masuk rumah untuk makan malam bersama. Makan malam dengan anggota lengkap di tahun ini. Hazen tentu saja bahagia, ia harus menanti satu tahun untuk merasakan makan malam dengan anggota keluarga lengkap seperti ini.


Kini ke-empat nya sedang duduk di sofa, meneruskan film yang Hazen dan Kaisar tonton tadi. Kirana dan Devon dipaksa oleh Hazen untuk ikut menonton. Di depan Hazen sudah banyak snack dan camilan, hasil oleh-oleh dari Devon. Jajanan Belanda bos ini tuh.

Mulut Hazen sedari tadi tidak berhenti mengunyah, Devon geleng-geleng kepala aja liatnya. Memang adiknya ini pemilik perut babi, makanan apa saja bisa masuk—kecuali sayuran yang tanpa bumbu sih.

“Zen, nafsu makan kamu kok nggak pernah berkurang sih?” Tanya Devon.

“Kenapa harus berkurang? Aku kan sehat, nggak sakit.”

“Tambah gembul tuh pipi kamu, liat.” Devon mencubiti pipi mochi milik Hazen dengan gemas.

“Ihhhh Mas Devon! Sakit tau, jangan dicubitih dih.”

Kirana dan Kaisar hanya diam memperhatikan interaksi kedua anak mereka. Mereka senang sekali melihat Hazen dan Devon bisa saling tatap muka, meski satu tahun sekali. Ini tetaplah moment berarti untuk kedua orangtua itu.

“Habisnya gemes banget, kamu udah gede tapi kok tetep kayak bayi.”

“Idih nggak ya. Aku udah gede, mana ada kayak bayi? Ketua angkatan nih bos, keren kan? Nggak ada ceritanya bayi sekeren aku.”

Devon mengusak rambut Hazen, mencomot snack yang dipegang oleh Hazen. “Ya, ya terserah. Kalau kata Ayah sama Bunda sih pasti setuju sama mas, iya kan Yah, Bun?”

Kaisar dan Kirana hanya tersenyum.

Saat mereka asik menonton, ponsel Kaisar berdering. Ada telfon masuk lebih tepatnya, ia pamit untuk mengangkat telfon kepada sang istri.

“Selamat malam, Kai.”

Kaisar terkekeh, sungguh temannya ini kenapa kaku sekali, padahal akan jadi besan. “Selamat malam Noah, jangan kaku gitu ah. Kita nggak lagi kerja tau.”

Noah juga tertawa di seberang sana. “Oke oke, kita santai aja kalau gitu.”

“So? Kenapa nih kok telfon, tumbenan.”

“Seperti rencana awal kita Kai, aku pengen Hazen dan Sandra segera bertemu dan kenalan. Biar mereka bisa mulai saling mengenal, dan nggak canggung waktu mereka menikah nantinya.”

Ah benar, Kaisar sedikit lupa tentang itu. Kalau Hazen dan Sandra harus segera bertemu karena Sandra sudah kembali ke Indonesia dua hari lalu.

“Oh iya ya. Bisa kamu atur aja waktunya kapan kita temuin mereka berdua.”

“Lusa malam, aku mengundang kalian makan malam di restoran milikku. Bagaimana?”

“Aku tanyakan dulu ke Hazen apa dia senggang lusa malam. Kalau dia senggang, aku akan hubungin kamu lagi. Gimana?”

“Baiklah, usahakan ya, Kai? Sandra harus balik ke Harvard buat wisuda minggu depan.”

“Oke, tenang aja Noah. Hazen anak penurut, dia pasti mau.”

“Baiklah kalau gitu. Aku tunggu kabar baiknya Kai.”

“Oke.”

“See you bro.”

“See you bro.”

Tut tut tut—

Kaisar menghela nafas, ia bingung jika Hazen tidak mau pergi bagaimana? Apalagi jika dirinya berkata jujur untuk mempertemukan anak itu dengan Sandra, pasti Hazen akan menolaknya.

“Hm, diancam pakai apa ya biar Hazen nggak nolak? Asrama? Pegang perusahaan mulai sekarang? Ah, itu ide yang bagus sepertinya.” Gumamnya lalu kembali masuk ke dalam rumah untuk ikut bergabung menonton film lagi. . . . . .

Noah, rekan bisnis sekaligus teman Kaisar Images

Dimas, sahabat dari Kaisar Images

Flo·ᴥ·

Marvin buru-buru membereskan semua bukunya dan memasukkan ke dalam ranselnya setelah Dosen mata kuliah Manajemen Keuangan. Jay yang duduk di sebelahnya pun mengernyitkan dahi, keheranan.

“Mau kemana lo? Buru-buru amat.” Tanya Jay yang juga membereskan buku-buku nya.

“Ada urusan penting.” Jawabnya acuh tanpa melirik Jay sama sekali.

“Tumben, biasanya sepenting apapun lo nggak akan sepanik ini?”

Marvin mengabaikan ucapan Jay dan berdiri dari duduknya setelah Dosen keluar dari kelas. “Gue duluan Jay.”

“Heh Marvin! Tungguin bangsat!” Teriak Jay namun dihiraukan oleh Marvin yang berlari menuju parkiran.

Rencana Marvin, hari ini ia ingin tidur di apart nya yang sedikit jauh dari asramanya. Sehingga ia menaiki motor untuk kuliah, biasanya ia akan jalan kaki jika berada di asrama. Namun Hazen mengacaukan semuanya, Marvin tidak bisa ke apart sekarang karena harus mengurusi Hazen—si pengacau asramanya.

Deru motor Ninja 250 Merah nya keluar dari Neo Dream University dengan tergesa. Sejujurnya, Hazen sedikit berlebihan ingin jalan kaki dari asrama ke kampus. Karena jarak dari asrama ke kampus masih 500 meter.

Memang bisa jalan kaki, tapi ya lumayan lama kalau tidak lari.

Sesampainya di basement asrama untuk memarkirkan motornya, Marvin segera memasuki lift yang ada di basement itu yang tersambung dengan lantai asrama.

Marvin menekan tombol lantai 3, letak dimana asramanya berada. Dengan ekspresi datar dan sedikit menahan amarah, Marvin keluar dari lift saat pintu terbuka.

Langkah kakinya perlahan membawa tubuhnya sampai di depan pintu ruang 119. Marvin menghela nafas kasar, lalu memasukkan kunci asramanya untuk membuka pintu.

Ceklek

Hal pertama yang Marvin lihat ketika pintu terbuka yaitu, lampu asramanya menyala begitu terang.

Oh My God, Marvin bisa gila. Ini masih siang dan terang, tapi kenapa Hazen menyalakan lampunya? Marvin tak habis pikir, ini namanya pemborosan listrik. Lagian kan jika ingin terang bisa tinggal buka tirai jendela?

“Hahahaha, anjing kasian Andhini. Jagdish tolol banget sih? Dulu aja waktu bocil demen banget sama Andhini, sekarang malah ditinggal nikah sama Gauri. Dasar, emang ya kalo dijodohin itu ujung-ujungnya bullshit, nggak ada ceritanya cinta datang karena terbiasa. Jagdish sama Andhini udah belasan tahun serumah, nyatanya tetep aja ditinggal Andhini nya gegara kepincut sama Gauri—

Ayah emang bohong, Bunda sama Ayah emang udah kasmaran pas dijodohin mangkanya bisa langgeng.” Lanjutnya, mengomentari serial Andhini yang menampilkan adegan saat Jagdish dan Gauri menikah.

Marvin menepuk jidatnya, ia berdiri sekitar 10 meter di belakang Hazen yang duduk santai di sofa sembari minum soda kaleng menonton televisi.

“Dasar orang aneh, jaman gini nontonnya serial India, mana dikomentarin lagi.” batin Marvin sembari memijat pangkal hidungnya, merasa cringe sendiri melihat kelakuan Hazen.

Marvin melangkahkan kakinya perlahan, mendekati Hazen. Ketika jaraknya sudah tepat di belakang Hazen, ia sedikit merasa aneh karena Hazen tidak terusik sama sekali, masih tetap fokus menonton serial Andhini sembari mengoceh mengomentari serial itu.

Ekhm

Suara dehaman Marvin mengejutkan Hazen, yang tadinya duduk santai senderan nyaman di sofa pun seketika ia menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke belakang.

Di belakangnya, Marvin menatapnya datar, tanpa ekspresi. Dingin, mengintimidasi, menakutkan, intinya tidak bersahabat sama sekali. Hazen meneguk salivanya diam-diam, jujur saja meski dirinya berani dengan Marvin tapi kalau sudah aura nya mendominasi begini, Hazen rada takut juga. Apalagi mengingat bahwa Marvin memiliki pistol kemana-mana.

“E-eh kak Marvin hehe, kapan pulang kak? Kok gue nggak denger ada orang masuk?”

Marvin mendudukkan tubuh lelahnya di sofa yang lainnya, menjauh dari tempat duduk Hazen. “Gimana mau denger kalo lo liat tv dengan volume kayak mau orkesan?”

Hazen mengerjapkan matanya tiga kali kemudian tergelak tawa. Marvin mengerutkan dahinya melihat itu.

Apa yang lucu? Marvin tidak mengatakan hal lucu apapun disini, namun Hazen tertawa terpingkal-pingkal.

“Ini bocah emang nggak waras,” batin Marvin mendumal lagi.

“Ya ampun, sorry kak gue ketawa. Lo tau kata-kata orkesan darimana? Gue aja sering denger itu dari Raden, biasanya dia nyebut job manggung dengan orkesan. Hahaha jadi keinget Raden deh gue, lucu banget.”

Lelah, Marvin lelah menghadapi Hazen yang belum genap 10 menit berinteraksi di dalam ruangan 119 ini. Tak bisa Marvin banyangkan bagaimana nasibnya harus satu atap dengan Hazen sampai 4 tahun. Bisa gila Marvin

Stop ngomongin hal yang nggak penting. Gue mau to the point kalau gue dengan sangat sabar dan mohon ke lo dengan sopan buat tinggalin asrama gue.”

“Gue udah bayar uang sewanya, gue udah punya kuncinya, dan nama gue udah ditulis sama ibuk asrama nya sebagai rommate lo, pemilik ruang 119—

ringkasnya adalah, gue nggak akan pergi dari sini karena gue berhak dan sah tinggal disini. Dan lagi, gue butuh tempat tinggal.” Hazen menyilangkan kedua tangannya di dada, mendongakkan dagunya menantang Marvin.

Tsk, Hazen please, gue—nggak bisa berbagi wilayah privasi gue ke orang asing. Gue cuma bisa tinggal sendiri tanpa siapapun ada di sekitar gue.”

“Kenapa begitu? Alasannya apa? Lo bilang gue orang asing? Setelah berminggu-minggu kita kenal? Lo masih anggep gue orang asing? Sinting!”

“Alasannya? Lo mau gue jawab jujur? Dan—ya, lo orang asing. Kita hanya sebatas kating dan adting di kampus. Nggak ada hubungan pertemanan atau apapun diantara kita selain itu. Bagi gue, yang kayak gitu disebut stranger karena lo emang bukan siapa-siapa gue. We just know our name and what do our faces look like.

Hazen tertawa sarkas dan menaikkan satu kakinya di sofa, duduk layaknya anak warung. Dia tidak peduli lagi sopan santun atau apalah itu kepada tuan rumahnya, karena sekarang ia juga tuan rumah asrama nomer 119.

“Nggak peduli, mau lo anggep gue hewan atau setan sekalipun nggak akan ngebuat gue angkat kaki dari asrama ini. Katakan, apa alasannya lo nggak mau tinggal sama orang lain. Gue mau kejujuran lo.”

Marvin pergi beranjak dari duduknya, berjalan menuju dapur dan membuka kulkas mengambil satu kaleng soda lalu kembali duduk di tempatnya. Hazen diam memperhatikan segala tingkah Marvin.

Setelah ia meminum beberapa tegukan soda, Marvin menghela nafas. “Gue nggak suka keramaian, gue nggak suka berisik, gue nggak suka ada yang mengusik suasana sunyi dan senyap yang membuat gue rilex dan tenang, gue nggak suka siapapun merusak tatanan, kerapian yang udah gue ciptain sedemikian rupa buat kenyamanan hidup tenang gue—

dan lo, termasuk dari semua hal yang gue sebutin. Lo berisik, rame, banyak tingkah, banyak gaya, banyak omong, hidup lo bebas dan foya-foya. Lo selalu dikelilingi apa itu keramaian. Dan gue kebalikan dari lo, gue suka apa itu sendiri, sepi, sunyi, senyap dan tenang.”

Ucap Marvin begitu panjang, tanpa mengalihkan gerak obsidian gelapnya dari kedua manik hazel milik Hazen.

Hazen sungguh tercengang, meski Hazen dari awal memang menduga jika Marvin memang orang yang tak tersentuh seperti itu. Namun rasanya tetap mengejutkan jika Marvin sendiri yang mendeklarasikan bagaimana dunia yang Marvin suka. Yang jelas—sangat bertolak belakang dengan dunia Hazen yang hangat, ceria, ramai, dan penuh semangat antusias. Tak seperti dunia Marvin yang dingin, keras, mengintimidasi, kesepian, sunyi.

Hazen bingung, jika bertolak belakang seperti ini, apakah semuanya bisa berjalan dengan semestinya jika tetap dipaksakan satu atap untuk menjalani hidup bersama? Dan lagi, waktu nya pun tidak sesingkat itu, tetapi 4 tahun.

Apa yang akan terjadi selama 4 tahun ke depan?

“Tapi lo ketua angkatan, hidup lo selalu dikelilingi banyak orang, keramaian organisasi, dan rekan-rekan kerja tim lo buat universitas. Menurut lo itu sepi? Sunyi? Damai? Tenang?”

“Gue hanya tanggung jawab, dinobatkan sebagai ketua angkatan membuat gue harus berkecimpung dengan keramaian mau nggak mau. Itu udah tugas gue sebagai ketua angkatan, berinteraksi dengan banyak orang untuk menampung aspirasi mahasiswa, rapat, merancang event, bakti sosial dan sebagainya. Gue nggak bisa lari dari tanggung jawab Zen, meski gue nggak suka. Maka dari itu, disaat gue sendiri, gue mau semuanya balik seperti awal, dunia gue yang tenang, senyap, sepi dan kesendirian. Kalo nggak saat gue sendiri, kapan lagi gue bisa nikmatin itu? Karena disaat gue angkat kaki dari asrama, dunia gue udah berisik lagi.”

Wow, tolong diingat bahwa ini termasuk kata-kata terpanjang Marvin sepanjang hidupnya dan mau repot-repot menjelaskan kepada seseorang bagaimana dunianya

Hazen, you did a magic spell for this man

“Kalau gitu kenapa lo bersedia jadi ketua angkatan kalo lo emang orang introvert mendekati ansos begini? Ini namanya melawan dunia lo sendiri, keluar dari zona nyaman lo.”

Marvin mengangguk dan meneguk soda nya kembali hingga tandas tak tersisa.

“Solidaritas dan persahabatan. Itu yang membuat gue mau keluar dari zona nyaman.”

Ah, sekarang Hazen mengerti. Pantas saja Marvin terlihat hanya berbaur dengan kating-kating Manajemen Bisnis nya itu. Siapa lagi jika bukan Tristan and the genk?

“Udah kan? Lo udah tau kalo gue nggak suka kehadiran siapapun di satu-satunya wilayah yang gue bisa merasakan kesunyian dan kedamaian. So, lo bisa pergi dari sini. Masalah uang sewa, gue ganti. Mau cash juga bisa gue kasih sekarang.”

Katakan Hazen gila, tapi—jauh di dalam lubuk hatinya sana, ia merasa iba dengan Marvin. Lelaki yang lebih tua satu tahun darinya ini seperti menanggung beban berat di pundaknya, tidak membiarkan siapapun membobol masuk untuk membantunya meringankan.

Entah dasarnya dirinya yang terlalu baik dan manusiawi atau karena yang lain, Hazen ingin membantu Marvin agar keluar dari zona nyamannya dengan perasaan bahagia, tanpa perlu seperti menjadi dua orang berbeda. Ia ingin mengenalkan kepada Marvin bahwa dunia luar itu indah dan tidak se-berisik dan sekacau seperti yang Marvin bilang.

Ia beranjak dari duduknya lalu berjongkok di depan Marvin kemudian tanpa permisi meraih jemari Marvin dan menggenggamnya. Marvin terkejut tentu saja, ia menarik genggaman Hazen pada jemarinya namun gagal karena semakin Marvin melepasnya, genggaman Hazen kian menguat dan erat.

“Lo ngapain?” Tanya Marvin akhirnya, memandang lurus tepat pada kedua mata cantik Hazen yang tersirat sebuah tatapan yang teduh dan menyejukkan.

Dunia yang Marvin suka, teduh, tenang dan menyejukkan. Seperti itulah Hazen menatapnya saat ini. Tatapan amarah dan menantang tadi entah lenyap kemana. Marvin tidak mengerti dengan perubahan mood Hazen yang begitu cepat seperti ini.

“Kak Marv, gue emang orang asing bagi lo, gue orang baru di kehidupan lo. Dunia gue dan dunia lo juga bertolak belakang, dunia lo bagaikan gunung Es yang keras, dingin dan beku. Sedangkan dunia gue bagai matahari yang hangat, bersinar, berwarna. Gue tau akan mustahil bagi kita berdua hidup satu atap begini—

tapi kak Marv, sebenernya bukan dunia lo yang kayak gitu. Tapi lo sendiri yang mengurungnya disana. Lo emang orang yang ngeselin dan brengsek menurut gue, tapi gue tau lo sebenernya orang yang baik kak, lo—cuma make topeng acuh tak acuh, tak tersentuh buat bentengin diri lo agar nggak diremehin orang-orang, agar lo bisa pasang poker face ke semua orang. Lo nggak ngebiarin siapapun mengenal lo sampe akar-akarnya, lo cuma ngebiarin orang-orang tau cover lo yang penuh kedustaan, bukan isi lo yang sejatinya lo itu pribadi yang baik, lembut, dan manusiawi.”

Capek berjongkok, akhirnya Hazen merubah posisinya menjadi bersila namun genggamannya di jemari Marvin masih mengerat. “Bentar kak, kaki gue kesemutan, biarin gue duduk yang bener dulu.”

Marvin mengerutkan dahinya, sumpah demi apapun, Hazen ini orang macam apa? Bisa-bisanya setelah berucap kata-kata keren dan serius malah berakhir seperti candaan begini?

Pantas saja jika Raden seperti lelah menghadapi Hazen yang tidak peka. Tidak tau situasi memang Hazen ini.

“Oke, lanjut ya kak?”

Marvin cuma menaikkan sebelah alisnya tanpa menjawab, Hazen mengerti bahwa ia bisa melanjutkannya. Kini genggaman itu, Hazen tambah dengan usapan-usapan lembut di punggung tangan Marvin.

“Gue bisa kenalin lo ke dunia yang luas ini dengan cara gue kak, lo nggak perlu pake topeng apapun saat bersama gue bahkan saat lo gue ajak menjelajah dan menapaki belahan dunia ini satu-satu, gue bisa bawa lo masuk ke dunia gue yang kata lo berisik, rame dengan rasa yang beda. Gue bisa bikin lo tanpa terbebani meski keluar dari zona nyaman. Let me show you my beautiful world, Kak Marv.

“Kenapa?”

“Apanya?”

“Kenapa lo sok serius dan sok keren gitu coba? Lo pikir bakalan ngaruh ke gue?” Marvin mengerlingkan matanya lalu melepas paksa genggaman tangannya dari Hazen dan berdiri menjauhi Hazen.

“Ishhh Kak! Gue beneran serius anjir, lo ngerusak suasana banget sih?” Teriaknya mengekori Marvin yang berjalan menuju toilet.

Sesampainya di depan toilet, Marvin menghentikan langkahnya dan berbalik. Hazen yang sepertinya pikirannya tertinggal di sofa pun tak tahu jika Marvin telah berhenti dan berbalik, membuat Hazen seketika menabrak dada bidang Marvin dan terhenti.

Dug

Hazen meringis lalu mendongak dan mengusap keningnya. Marvin masih diam, ia juga memandang Hazen yang lebih pendek darinya.

“Apa?!” Tanya Marvin sewot.

“Lo manusia apa batu sih kak? Keras amat badan lo, liat nih dahi gue! Kayaknya benjol dan memar.” Ucapnya sembari mengusap dahinya yang memang sakit.

“Lo ini lagi ngapain gue tanya?” Marvin mengabaikan pertanyaan Hazen.

“Emangnya gue ngapain?” Tanya Hazen balik, karena sungguh Hazen tidak mengerti apa maksud dari pertanyaan Marvin.

Marvin memijat pelipisnya, ini belum genap sehari tapi kepalanya sudah berdenyut. “Lo ngapain ikutin gue ke toilet? Gue mau buang hajat, lo mau ikutan masuk emang? Mau cebokin gue?”

Seketika ekspresi Hazen blank, ia baru sadar jika dirinya dan Marvin memang berdiri di depan kamar mandi.

“Astaga anjing, nggak gitu kak Marv, lo salah paham. Gue—tadinya mau nanya sama lo, eh lo malah berhenti mendadak dan gue nya nabrak lo.”

“Nanya apaan?”

“Jadi gue stay disini kan?”

“Nggak, tetep pergi.” Katanya lalu berbalik dan memutar knop pintu kamar mandi, sebelum Marvin masuk, pergelangan tangannya ditarik Hazen.

“Kak Marvin, please, gue akan nurut semua aturan yang lo buat di asrama ini deh sumpah, tapi biarin gue tinggal disini ya, ya, hum?” Tangannya mengayunkan lengan kiri Marvin ke kanan kiri, mencoba membujuk Marvin agar memberikan izin kepadanya untuk tinggal.

Marvin menoleh ke belakang, menatap Hazen yang sudah menunjukkan muka melasnya. Ia merasa kasian juga dengan Hazen, tetapi ia juga tidak mau kenyamanannya terusik, ia tidak terbiasa hidup ditemani orang seperti ini.

Kecuali sama Daddy nya, hanya dengan Daddy nya ia bisa tinggal satu atap. Itupun dulu, dulu sekali entah kapan. Marvin sampai lupa.

Trial 1 bulan.”

“Hah? Ma-maksudnya gimana? Kok pake trial-trial an segala?”

“Mau atau enggak? Kayak yang lo bilang, gue bakalan bikin aturan di asrama ini. Percobaan lo tinggal disini itu 1 bulan, kalo sampe 1 bulan lo nurut sama aturan dan gak langgar sedikitpun, bakalan gue perpanjang trial lo sebulan lagi. Gitu seterusnya, nambah trial nya kalau lo menurut sama aturan selama tinggal disini. Kalau lo langgar aturan, siap-siap angkat kaki dari sini, nggak peduli, mau lo jadi gelandangan pun tetep gue usir.”

Hazen melongo, sumpah demi apa ia jadi bahan percobaan sebagai roommate? Sungguh menyebalkan.

“Kak Marvin, lo jahat banget anjing, jahat!!”

“Kata lo tadi, gue orang baik?”

“Gak jadi, lo titisan setan emang.” Ucap Hazen dan berlalu dari sana meninggalkan Marvin yang diam-diam menahan tawa.

Marvin memasuki toilet dan mengunci pintunya. Terkekeh pelan dan geleng-geleng kepala.

“Bener, mari kita percobaan selama 1 bulan. Hazen, kita liat sampai kapan lo bertahan tinggal satu atap sama gue? Gue yakin, nggak ada 1 bulan, lo pasti pilih angkat kaki dari sini. Let's try it, and good luck Hazen Aditya Buana.”

Flo·ᴥ·

Saat Hazen turun dari tangga, keluar dari kamarnya yang ada di lantai 2, ia melihat figur tegap Ayah nya yang tengah duduk di sofa sembari menyesap kopi.

Semenjak Ayahnya pulang, Hazen selalu ditempeli oleh Ayahnya. Ketika Hazen bertanya apakah Ayah tidak ada kerjaan? Ayah bilang jika ini waktu bersantai Ayah dan mengistirahatkan diri dari pekerjaan.

Hazen sih seneng-seneng aja bisa cuddle an sama Ayahnya, yang biasanya sedikit susah karena kesibukan Ayahnya untuk kerja dan kerja.

Benar kata Ayah, beliau sudah tua dan berkepala 5, tiga tahun lagi umur Ayahnya genap 60 tahun. Hazen menghela nafas, kalau begini bagaimana Hazen mau menolak permintaan Ayahnya nanti? Apapun itu, Hazen pasti nggak bisa buat bilang 'enggak' ke Ayahnya jika begini.

“Ayah.” Panggilnya yang berdiri di belakang Kaisar—ayah Hazen.

Kaisar tersenyum lalu melambaikan tangannya dan menepuk sisi kosong di sampingnya, menyuruh Hazen duduk disana.

“Ayah—mau ngomong apa?” Tanya Hazen to the point karena Hazen kepalang penasaran.

Kaisar menghela nafasnya, memutar tubuhnya menyamping sehingga bisa berhadapan 4 mata dengan Hazen, sang putra bungsunya.

Kaisar meraih jemari Hazen dan menggenggamnya serta mengusap kedua punggung tangan Hazen. “Hazen, anak Ayah yang ganteng, anak Ayah yang penurut, anak Ayah yang baik, anak Ayah yang kami banggakan dan sayangi—”

“Ayah kayak lagi mau pidato Agustusan ah.” Hazen terkikik geli mendengar kata-kata Ayahnya.

Kaisar ikut tertawa lalu mengusap helaian rambut halus Hazen dengan sayang. Hazen nyaman dengan setiap afeksi Ayah dan Bunda nya. Hazen menyunggingkan senyum dan balik mengusap punggung tangan Ayahnya yang kekar namun mulai keriput sedikit. Membuat hati Hazen makin iba saja.

“Zen, kamu tau kan kalau Ayah sayang banget sama kamu?”

Hazen mengangguk, “Tau, Ayah.”

“Tau kalau Bunda dan Mas Devon juga sayang sama kamu kan?”

“Iya Ayah, aku tau.”

“Kamu masih pecaya sama Ayah, Bunda dan Mas Devon?”

Hazen mengernyitkan dahinya, pertanyaan macam apa itu? Tentu saja Hazen percaya dengan keluarganya sendiri.

“Percaya, kenapa enggak? Ayah.... jadi sebenernya ada apa? Ayah minta Hazen buat ngapain?”

“Bunda udah bilang ya?”

Hazen mengangguk sebagai jawaban. Ada jeda beberapa detik yang menyelimuti kesunyian diantara keduanya.

“Yah.”

“Hazen, selama ini Ayah terkesan memaksa kamu buat melakukan ini itu yang bukan mau kamu, termasuk masuk jurusan Manajemen Bisnis. Bukannya Ayah nggak suka kamu bercita-cita jadi Arsitek, itu bagus nak. Ayah suka, tapi—ada yang lebih penting demi kehidupan kita di masa depan Zen. Ayah dan Bunda cuma punya kamu sama mas Devon untuk diandalkan merawat Ayah dan Bunda ketika udah tua, udah lansia, udah jadi nenek kakek dan pelupa, kembali jadi bayi besar yang butuh di urus. Kamu tega emang mau kasih Ayah dan Bunda di panti jompo daripada ngerawat kami dengan tangan kamu sendiri?”

Bibir Hazen melengkung ke bawah, kedua mata cantiknya mulai berembun. Dia paling tidak bisa jika bahasannya sudah begini. Ia memeluk Ayahnya erat menahan tangisnya yang ingin keluar.

“Ayah hiks hiks, jangan ngomong gitu ih. Hazen nggak akan kasih Ayah dan Bunda ke panti jompo nantinya, biar Hazen sama mas Devon yang rawat Ayah Bunda sambil jalanin perusahaan.”

Kaisar menyunggingkan senyumnya, lalu mengusap kepala dan punggung Hazen. “Terimakasih, Ayah sama Bunda beruntung punya Hazen sama Mas Devon.”

“Kami juga beruntung punya Ayah sama Bunda.”

“Kalau gitu Zen, Ayah minta sesuatu ke kamu boleh?”

Tanpa ragu, Hazen mengangguk dan mendongakkan kepalanya untuk menatap obsidian tegas namun lembut sang Ayah. “Iya, ayo Ayah bilang mau minta apa?”

“Kamu tau kalau Ayah sama Om Noah itu sahabatan kan?”

Deg

Benar, sepertinya firasat Hazen memang tidak pernah meleset. Om Noah, partner bisnis Ayahnya sejak keluarga mereka mulai merintis perusahaan sehingga sekarang Ayahnya sukses besar dan masuk jajaran 10 orang terkaya di Indonesia. Keluarga Hazen menempati nomer 4. Dan keluarga Om Noah berada di tempat ke 2. Bayangkan, seberapa sultan nya Om Noah?

Siapa nomer 1 nya? Silahkan tebak sendiri, aku yakin kalian semua tau jawabannya.

Melihat Hazen yang hanya memasang wajah melamun nya, membuat Kaisar menjentikkan jarinya di depan wajah blank putra bungsu nya.

“Zen! Kok bengong sih?”

Hazen mengerjapkan matanya lalu menatap Ayahnya kembali. “Ayah mau jodohin aku sama anaknya Om Noah?”

To the point, Hazen tidak mau basa-basi lagi. Ia ingin semuanya jelas dan Hazen bisa memikirkan sesuatu untuk mengatasinya

Kaisar tersenyum simpul lalu mengangguk. “Kamu belum pernah ketemu sama anaknya Om Noah karena dia kuliah di Harvard.”

“Ayah, apa nggak bisa aku memilih calonku sendiri dan menjalankan perusahaan Ayah tanpa bantuan keluarga Om Noah? Ayah meragukan kemampuan Hazen sama Mas Devon dalam mengurus perusahaan?”

“Ayah nggak meragukan kalian, apalagi mas kamu. Perusahaan di Belanda sukses di tangan mas kamu. Ayah nggak minta bantuan untuk perusahaan kita Zen, tapi Ayah—ingin membalas budi dengan Om Noah dan keluarganya. Kamu tau kan kalau mereka orang yang sangat baik? Yang nemenin Ayah dari 0 sampai sekarang, kita seperti ini juga sebagian karena usaha Om Noah untuk mendidik Ayah jadi pengusaha yang sukses sayang.”

“Kenapa gak dijodohin sama Mas Devon aja? Secara Mas Devon udah mapan, udah bisa kerja sendiri, anaknya Om Noah pasti lebih kecukupi kebutuhannya kalo sama Mas Devon daripada sama aku.”

“Mas Devon udah punya calon. Mas Devon bilang kalo dia sangat mencintai kekasihnya, mana mungkin Ayah sama Bunda tega misahin mas mu sama kekasihnya?”

“Lalu aku? Apa Ayah juga nggak mikirin perasaan aku? Aku nggak cinta sama anaknya Om Noah.”

“Belum Zen, kamu belum pernah ketemu Sandra. Dia dua tahun lebih tua dari kamu. Sandra cantik, penurut, dia—unik, kamu pasti suka kalo ketemu Sandra.”

“Kalo aku nggak bisa jatuh cinta sama Sandra, apa bisa aku batalin perjodohannya?”

“Nggak bisa, Om Noah meminta salah satu dari kalian untuk dijadikan menantunya. Sandra anak tunggal, Om Noah ingin yang terbaik, Om Noah percaya sama Ayah kalau anak-anak Ayah itu lelaki hebat dan bermartabat, cocok dengan Sandra.”

“Tapi Yah—”

“Soal cinta kamu nggak usah khawatir, cinta ada karena terbiasa. Nanti, kalau kalian sudah sering bersama, bakalan ada kok perasaan kayak gitu.”

“Cih, kalau kayak gitu Yah, aku udah jatuh cinta berkali-kali. Atau mungkin jatuh cinta sama Raden sekalian saking aku terbiasa sama dia dan nyaman sama Raden.”

Kaisar tertawa ringan dan mencubit hidung Hazen. “Kamu harus tau, waktu Bunda sama Ayah dijodohin, kami nggak langsung saling suka kok. Setelah menikah adu mulut terus, kemusuhan. Setelah beberapa bulan hidup satu atap, kami mulai lelah dengan berselisih dan perlahan kami sadar kalau kami merasakan nyaman satu sama lain dan berakhir jatuh cinta. Kamu liat kan Bunda sama Ayah kayak apa sekarang? Sampe punya 2 anak hebat, langgeng sampe kepala 5. Bukti apalagi yang kamu butuhin kalo cinta datang karena terbiasa?”

“Kalau sampai Hazen suatu hari nanti jatuh cinta sama orang lain dan bukan Sandra bagaimana Yah?”

Kaisar terdiam, memandang langit-langit ruang tamunya yang berukiran bunga sakura. Hazen menunggu jawaban sang Ayah, bukan tanpa alasan Hazen bertanya seperti ini. Karena takdir siapa yang tau?

“Ayah bilang, Ayah tidak tega memisahkan Mas Devon dengan kekasihnya karena Mas Devon sangat mencintai kekasihnya, bukankah harusnya itu berlaku untukku juga agar adil?”

Kaisar menghela nafas kasar, ia menatap manik hazel Hazen yang menyiratkan kesungguhan atas pertanyaannya. “Kalau memang suatu saat nanti kamu mencintai orang lain selain Sandra, Ayah akan merelakan kamu dengan orang itu jika orang itu juga bisa mencintai kamu balik. Ayah akan bicara sama Om Noah untuk itu.”

Hazen menghela nafas dan menjauh dari Ayah nya. Ia memijat pelipisnya untuk memikirkan sesuatu. Beberapa menit terdiam, Kaisar menunggu sang putra membuka suaranya, sedangkan Hazen berpikir.

“Ayah, aku bakalan setuju dijodohin sama Sandra kalau Ayah mau buat perjanjian sama Hazen.”

Kaisar menaikkan sebelah alisnya. “Perjanjian? Apa itu?”

“Aku mau Ayah lepasin aku dari rumah, biarin aku tinggal di asrama kampus. Ayah harus setuju kalau aku sama Sandra menikah setelah aku lulus dan megang perusahaan selama 1 tahun sambil menunggu hasil kerja kerasku. Biarkan aku menghidupi diriku sendiri, Ayah boleh kasih aku uang tapi kasih aku separuh dari jatah biasanya, biarkan aku melakukan apapun sesuai keinginanku selama masa kuliah. Dan yang terakhir, seperti kata Ayah tadi—kalau aku nanti jatuh cinta sama orang lain, tolong lepasin aku dari ikatan perjodohan itu.”

“Zen...”

“Jika Ayah setuju, aku mau melakukan perjodohan ini dan memegang penuh atas perusahaan Ayah yang ada di Indonesia. Deal?

“Tapi—”

“Aku emang akan melakukan semua sesukaku, tapi aku akan jamin tidak akan merusak nama baik keluarga kita. Hazen akan melakukan hal sewajarnya aja kok, menikmati masa muda sebelum Hazen punya istri dan mengurus keluarga sendiri. Gimana Ayah? Yes or yes?

“Pilihan macam apa itu? Yes or yes sama aja, intinya Ayah harus bilang Yes kan?”

Hazen tergelak tawa dan mengangguk. “Benar, jadi gimana Ayah? Yes or yes?

Kaisar tidak ada pilihan lain, ingatkan padanya jika sikap keras kepala Hazen menurun darinya.

“Oke, deal. Kamu harus janji sama Ayah jangan pernah macam-macam selama lepas dari rumah untuk 4 tahun ini. Ayah nggak akan ngawasin kamu, karena Ayah percaya sama kamu.”

Hazen menghamburkan pelukan kepada sang Ayah. “Percaya sama Hazen ya Ayah? Kalau Ayah menepati janji Ayah, Hazen juga mau nepatin janji Hazen. Pinky promise?” Hazen menjulurkan jari kelingkingny di depan wajah sang Ayah.

Kaisar terkikik dan mengamit kelingking sang putra, “Hm, pinky promise.”

Diam-diam Hazen lega karena ia bisa memikirkan ini semua sambil jalan selama 4 tahun ini, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa dirinya masih sangat kesal dengan sang Ayah karena perjodohan ini.

“Gue harap, sebelum gue sempat jatuh cinta sama Sandra, gue ketemu sama orang yang bener-bener gue cinta, pilihan gue sendiri, bukan perjodohan kayak gini.”

Siapapun tolong aminkan doa Hazen

Flo·ᴥ·

Sesuai pembagian di awal, di mobil Hazen ada Raden sama Jendra sedangkan di mobil Leo ada Jidan sama Nathan.

Setelah ke-enam lelaki itu belanja piyama bertema Christmas, mereka berpencar. Leo, Jidan dan Nathan kembali ke asrama Leo untuk mendekorasi dan membersihkan tempat yang akan mereka jadikan tempat pesta pajama. Sedangkan Hazen, Raden dan Jendra yang membeli bahan makanan dan snack untuk pesta.

Saat ini, ke-enam nya sedang berada di ruang tamu asrama Leo yang sudah disulap manjadi lebar, tidak ada lagi sofa dan meja lagi disana. Sofa kini diganti dengan 6 kursi plastik dan ada bantal guling di karpet bulu untuk mereka tidur nantinya serta hiasan pohon natal, balon, ornamen Christmas.

Oh jangan lupakan, mereka memakai slipper yang sama juga. Sungguh kompak sekali Golden Boyz ini.

“Pake bandonya, kita main game, buat timnya sesuai sama warna piyama aja,” usul Jidan.

“Mana palu plastik nya?” Tanya Hazen melirik kesana kemari.

“Ini, nanti yang kalah dipukul kepalanya pake ini.” Ucap Nathan mengangkat palu plastiknya.

“Jangan keras-keras nanti, meski plastik gini lumayan juga bisa bikin benjol tulang tengkorak.” Kata Jendra.

“Ah cupu, gitu doang takut. Nggak sakit ini tuh!” Ujar Leo.

“Udahlah malah ribut, ayo game pertama kita mulai aja deh.” Ucap Raden menghentikan pertikaian tak mutu teman-temannya.

Akhirnya, permainan pertama pun dimulai, yaitu permainan meneruskan kata serta gerakan.

Tim dibagi menjadi tim Biru dan tim Hijau. Tim Biru terdiri dari Hazen, Raden dan Jendra sedangjan Tim Hijau terdiri dari Nathan, Leo dan Jidan.

“Batu kertas gunting aja yok ketua timnya buat nentuin siapa dulu yang mulai.” Usul Jendra.

“Oke, Nathan ayo usahakan buat menang.” Jidan mendorong punggung Nathan untuk maju.

“Hazen, lo harus menang, gak mau tau!” Ucap Raden.

“Ssstt, diam kalian biar gue fokus fokus trulala.” Hazen menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, memberi isyarat kepada teman-temannya untuk diam.

Nathan dan Hazen berhadapan dan memulai aba-aba bersamaan. “Batu kertas gun—ting!”

Assa!!! gue menang, berarti tim gue duluan yang mulai.” Sorak Hazen begitu riang lalu tos bersama dengan Raden dan Jendra.

Nathan mencibir dan kembali duduk sedangkan Hazen tengah memikirkan kata-kata apa yang akan ia ucapkan.

“Gue pergi ke pasar dengan mengayuh sepeda.” Ucap Hazen sembari menggerakkan tubuhnya dengan gestur sedang mengayuh sepeda, lalu ia kembali duduk dan bergantian Raden yang melanjutkan.

“Gue pergi ke pasar dengan mengayuh sepeda dan melihat pohon-pohon di pinggir jalan.” Kata Raden dengan gerakan yang sempurna untuk memeragakan sebuah pohon.

Lanjut, kini giliran Jendra yang maju. “Gue pergi ke pasar dengan mengayuh sepeda dan melihat pohon-pohon di pinggir jalan serta burung-burung yang terbang di langit.” Jendra mengepakkan kedua tangannya memeragakan seekor burung yang sedang terbang.

Nathan kini maju melanjutkan kata dari Jendra. “Gue pergi ke pasar dengan mengayuh sepeda dan melihat pohon-pohon di pinggir jalan serta burung-burung yang terbang di langit sambil mengelap tetesan keringat.”

Jidan menggaruk tengkuknya, memikirkan apa yang akan ia ucapkan. “Maju Ji, bisa kan?” Tanya Leo menyikut lengan Jidan.

“Bisa bisa, santai.” Jidan maju lalu mulai meneruskan kata Nathan. “Gue pergi ke pasar dengan mengayuh sepeda dan melihat pohon-pohon di pinggir jalan serta burung-burung yang terbang di langit sambil mengelap tetesan keringat dan tak lupa menyapa pejalan kaki.”

Leo tersenyum lebar, merasa bangga dengan Jidan si bocah tengiknya itu. Ia maju setelah Jidan duduk. “Gue pergi ke pasar dengan mengayuh sepeda dan melihat pohon-pohon di pinggir jalan serta burung-burung yang terbang di langit sambil mengelap tetesan keringat dan tak lupa menyapa pejalan kaki dengan tujuan membeli tahu tempe.”

Permainan itu berlanjut lancar hingga Nathan lupa gerakan di tengah-tengah dan waktu berpikir Nathan habis. Tim Biru bersorak gembira, apalagi Hazen. Dengan sekonyong-konyongnya ia menghampiri tim Hijau lalu memukul satu persatu kepala Nathan, Jidan dan Leo.

Raden dan Jendra jadi tim hore saja sambil ketawa ngakak.

Game itu mereka lakukan hingga dua kali dan berganti-ganti susunan kata sampai lelah.

“Anjing capek, laper. BBQ an sekarang aja yuk.” Ajak Hazen yang perutnya sudah keroncongan minta diisi.

“Yang kalah kupasin buah sama buat minumnya, yang menang kita masak BBQ dan ramen nya.” Usul Jendra.

“Setuju, kupasin semua buahnya loh ya. Semangka, melon, apel, jeruk, pear, pokoknya semua kupasin boss.” Peringat Raden kepada tim Hijau.

“Iya babi, nggak usah diingetin. Gue kupas sampe isi-isinya biar lo semua makan ampas doang.” Sungut Leo.

Jendra ketawa sampai matanya hilang, Nathan melihat itu lalu ikut tersenyum.

Tim Hijau berkutat dengan buah-buahan dan minuman, mereka akan membuat smoothie buah untuk menemani malam mereka hari ini. Sedangkan tim Biru sedang memanggang daging, sosis, ayam, marsmellow, bahkan ubi juga ada mereka bakar.

Malam itu, mereka ber-enam menikmati malam di halaman belakang asrama milik Leo.

Btw, setiap kamar memang di desain seperti mini apartemen sehingga terdapat halaman belakang di setiap kamar. Ini asrama elit asal kalian tau, jadi jangan heran.

“Besok gimana Jen? Jadi nge band kita?” Tanya Hazen saat semua temannya sudah duduk lesehan mengitari pemanggang BBQ untuk makan.

“Jadi, gue udah konfirmasi sama Faris kok, dia bilang seneng banget kita mau tampil disana.”

“Mau tampilin berapa lagu kita?” Jidan bertanya sembari menyeruput ramen yang masih mengepul uap panas nya.

“Kata Faris sih 3-4 lagu bisa.”

“Banyak ya, dibayar berapa kita?” Ini Nathan yang bertanya.

“1,5 juta.”

“Lumayan per orang dapet 250 ribu, buat hedon makanan di cafetaria bisa dapet se abrek.” Ucap Hazen dengan mata berbinarnya membayangkan makanan cafetaria yang ingin Hazen beli.

Leo geleng-geleng kepala. “Urusan makanan aja lo nomer 1 dasar babi emang.”

Pletak

Hazen menjitak kening Leo. “Mulut lo lemes amat, oli nya lagi banyak atau gimana?”

Jidan tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Nathan sama Jendra lagi suap-suapan buah-buahan yang udah dikupas. Raden mengerlingkan matanya melihat ke-uwuan di sampingnya.

“Gini nih, kalau udah resmi aja pamer kemesraan, bajingan,” batin Raden menggerutu jengah melihatnya.

Oh ya, Jendra dan Nathan sudah official beberapa hari lalu. Setelah Nathan mengejar Jendra habis-habisan setiap harinya meminta penjelasan, akhirnya Jendra yang cupu pun mengaku dan mengatakan perasaannya kepada Nathan di taman kota saat malam hari Nathan memaksa Jendra keluar rumah dan menyeretnya bagai anak sapi.

Hazen, Jidan dan Leo sih tidak kaget saat kemarin Nathan dan Jendra mengaku sudah berpacaran, karena memang harusnya begitu. Nathan saja yang dongo sedangkan Jendra yang cupu. Jadi lama prosesnya, dan saat keduanya sudah official tentu saja mereka senang dan tidak kaget sama sekali justru mereka lega, karena tidak lagi uring-uringan soal kepekaan.

Dan untuk Jidan sama Leo, mereka masih HTS, karena Leo masih denial gak mau akuin perasaannya sendiri, padahal Jidan udah hampir tiap hari nembak Leo. Tapi Leo nya pura-pura budeg aja sampai sekarang. Jidan cuma bisa sabar dan ngelus dada, kata Jidan, “Nggakpapa, kalo awalnya nolak terus gini biasanya nanti kalo udah jadian bakalan susah pisah alias langgeng dan awet.”

Aminin aja sih kalo temen-temennya, tapi Leo nya jadi depresot dan tertekan.

Lalu kini sisalah dua tokoh utama kedua kita, Hazen dan Raden. Status mereka jelas, hanya saja memang menyakitkan karena begitu jelas bahwa ini hanyalah perasaan sepihak untuk Raden.

Bodohnya, Hazen masih percaya bahwa Raden tidak pernah menginginkan dirinya dalam romansa, benar-benar bodoh. Mari kita tunggu sampai kapan kebodohan Hazen menguap dan Raden mendapatkan jawaban atas cinta sepihaknya.

Flo·ᴥ·

Marvin berdiri di tribun atas untuk mengamati panggung pensi yang sudah siap dan kini para panitia ospek sedang mengecek ulang dan menambahkan beberapa serta menata kursi kembali agar lebih rapi dan tertata.

Ia sedang bersama Jay di atas situ ikut mengamati kemegahan panggung yang mereka rancang jauh-jauh hari untuk perpisahan hari terakhir kegiatan ospek Neo Dream University.

“Udah cocok jadiin konser musik ngalahin NOAH ini mah,” celetuk Jay sambil terkikik.

“Iya, kursinya banyak banget. Ini kalo penuh beneran kayak lagi konseran.” Kata Johan tetiba menyahut dan sudah berdiri di samping Jay.

“Wajar, pensi kan yang liat banyak. BEM, HIMA, SEMA, petinggi rektorat, dosen-dosen, anggota UKM sama mahasiswa baru nya. Jelas butuh kursi sebanyak ini.” Jelas Marvin.

“Konsumsi udah beres kan?” Tanya Jay.

“Udah, diurus Juan, Tama sama Deon tadi.” Kata Marvin.

“Willy udah dateng, nggak pengen ketemu dia?” Ujar Johan.

“Dimana dia?”

“Di panggung sana sama Yudha lagi dokumentasi.”

“Oh yaudah gue samperin Willy dulu.” Ucap Marvin meninggalkan Johan dan Jay disana.

“Seenggaknya gue harus berterimakasih langsung sama Willy.” batinnya menatap dua sosok anak adam yang terlihat serasi sedang tertawa cekikikan di atas panggung sambil dokumentasi.

Marvin berjalan mendekati panggung dan meneriakkan nama Willy.

“Wil!”

Willy dan Yudha mendongak, lalu Willy tersenyum lebar dan menghampiri Marvin kemudian merangkul pundaknya. “Weitsss Marvin sobat gue, udah gue cariin daritadi padahal. Kemana aja lo?”

Yudha mengerlingkan matanya, pacarnya itu emang kalau sudah ketemu Marvin jadi suka mengabaikan dirinya.

Kasihani Yudha, tolong

“Dari tribun atas tadi.”

Willy mengangguk lalu mendorong Marvin menjauh. “Berdiri situ, gaya buruan. Mau gue foto.”

“Nggak mau.”

“Ish, ayo dong Vin, semua panitia ospek udah ada jepretan dirinya di kamera gue, lo doang nih yang belum.”

“Emang Jay udah?”

“Belum hehe, dia bisa ntar an. Tanpa gue minta dia pasti yang minta.”

Marvin berdecak, “Gue gak usah aja, males.”

“Yaelah Vin, kenapa si susah banget difoto? Padahal lo itu ganteng, cakep, keren. Kan sayang kalo nggak diabadikan.”

Yudha langsung menyentil kening Willy. “Ganjen amat dasar, udah punya pacar jangan muji-muji cowok lain gitu napa Wil.”

Willy mengerucutkan bibirnya dan mengusap dahinya yang baru disentil sang kekasih. “Apasih? Gue kan cuma ngomong kenyataan. Marvin emang cakep dan keren, cuma orang katarak yang bilang dia jelek.”

Marvin geleng-geleng kepala, perlu kalian ketahui saja. Jika Yudha dan Willy itu pasangan aneh, hal gak guna dan gak perlu diperdebatkan pun bisa jadi medan perang.

“Lanjutin adu tubirnya, kalo perlu tonjok-tonjokan coba. Katanya lakik.” Ujar Marvin lalu mendekati Willy dan berbisik di telinga lelaki cantik itu.

“Thanks untuk yang lusa malem. Gue utang budi sama lo, kalo ada waktu longgar, hubungin gue aja ntar gue traktir semau lo.”

“Dia siapa? Kok lo sampe mau nyariin di tengah malem kayak gitu? Pacar lo?” bisiknya lirih.

No, just someone I need to keep an eye on.

Willy mengangguk dan tersenyum sumringah setelah Marvin pergi begitu mengatakan itu, ia berteriak. “Yoi, nanti gue hubungin lo lagi Vin!”

Yudha jadi skeptis dengan kode-kodean antara pacarnya dengan sahabatnya. “Heh, ngomongin apa sama Marvin?”

Willy melirik Yudha dan menjulurkan lidahnya. “Rahasia.” Kemudian ia lari dan kabur dari Yudha.

“Heh, Willy bocah gendeng! Balik sini lo!”

Dan semua panitia ospek hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan pasangan absurd itu yang kejar-kejaran di stage.


Raden dan Jendra sudah datang duluan menunggu teman-temannya yang belum datang.

“Baper gak tuh lagunya ntar?” Celetuk Jendra.

“Lo sialan, bisa-bisanya gue sama Hazen suruh nyanyi itu.”

Jendra tertawa, “Gue kesel, Hazen gak peka, Nathan gak peka. Stress rasanya gue tuh punya sahabat modelan mereka berdua.”

“Emang cocok Hazen sama Nathan tuh kalo jadi saudara kembar, sama-sama nggak jelas, dongo, nggak pekaan.”

Jendra mengangguk sembari tertawa hingga kedua matanya tersenyum. “Kejebak friendzone itu nggak enak ya, Den.”

“Banget, bingung kalo diungkapin ntar persahabatan rusak, kalo gak diungkapin kita yang kesel uring-uringan sendiri, jancok hahaha.”

Tiba-tiba Hazen, Leo, Jidan dan Nathan datang bergerombolan menghampiri Jendra dan Nathan.

“Rajin amat udah ada disini aja.” Kata Hazen dan mengambil duduk di samping Raden.

“Iyalah, emang kalian? Dasar pemalas.” Ucap Raden.

“Jen, minum Jen, haus banget.”

Jendra mengeluarkan botol minum berwarna biru dari tasnya dan menyerahkan kepada Nathan.

“Kalian tuh kebiasa minum pake satu botol? Itu botol minumnya Jendra kan?” Tanya Hazen.

Nathan menutup tutup botolnya lalu memberikannya kepada Jendra. “Udah kebiasa dari kecil, gue sama Jendra berbagi apapun termasuk barang pribadi.” Ungkapnya kelewat jujur.

Leo tertawa ngakak. “Barang pribadi apaan bangsat? Sempak juga maksud lo?”

“Bangsat, gak gitu leo anjing. Pribadi tuh kayak baju, nih alat makan minum, sepatu, atau apapun selain sempak. Mulut lo gue tabok pake batu bata tau rasa!” Ucap Jendra.

Raden, Jidan dan Hazen ikut tertawa terpingkal-pingkal.

“Kalian udah kayak suami istri, ntar bakalan nikah atau nggak nih?” Goda Jidan menaik turunkan alisnya.

Tidak ada yang menjawab baik Nathan ataupun Jendra.

“Kalo beneran nikah, jangan sungkan minta tolong kita buat bantu persiapan nikah.” Kata Hazen.

Jendra mengaminkan dalam hati sembari tersenyum tipis sedangkan Nathan hanya tertawa haha hihi aja.

“Lo kali Zen yang harus minta tolong ke kita bantu persiapan nikah.” Ucap Jendra.

“Apaan? Gue jomblo mau ngajak nikah siapa?”

“Gausah cari jauh-jauh kalo yang deket aja ada.” Kata Leo.

Hazen mengedikkan bahu. “Deket gue setan semua, yakali gue nikahin setan?”

“Goblok.” Kata Raden menempeleng kepala Hazen cuma-cuma sedangkan yang lainnya tertawa bahagia jika melihat Hazen yang disiksa oleh Raden.


Setelah mendengar pengumuman menggelegar dari sound system yang menyebar di sudut-sudut atap kampus, semuanya disuruh memasuki aula indoor dimana letak acara akan berlangsung.

Hazen dan teman-temannya sudah standby di backstage sebagai peserta pensi. Disana juga banyak mahasiswa baru yang menjadi peserta pensi.

Dasarnya Hazen yang loyal dan friendly, teman-temannya dari kelompok lain menyapa Hazen dan mengajaknya berbincang.

“Hazen, terlalu baik jadi orang,” gumam Raden pelan menatap sendu punggung Hazen, lelaki itu tengah tertawa dan asik berbincang dengan teman-teman barunya.

“Iya, saking baiknya dia nyakitin hati orang.” Celetuk Nathan berbisik di telinga Raden.

Raden terkekeh miris. “Nggak, nggak ada yang sakit hati. Cuma aja orang itu yang ekspetasinya ketinggian.”

Jendra menepuk pundak Raden. “Kalo gak kuat bilang sama dia, dipendem terus jadi penyakit hati nanti.”

Saat ini mereka hanya bertiga. Jidan dan Leo udah duduk mojok berdua, entah apa yang kedua anak adam itu lakukan disana, yang jelas keduanya sedang duduk dan tertawa terbahak-bahak.

“Ngomong sama diri lo sendiri sih Jen, lo juga kalo dipendem muluk jadi penyakit hati.”

Nathan mengernyitkan dahinya. “Jendra lagi suka sama orang?”

Raden menepuk jidatnya. “Satunya cupu, satunya goblok. Cocok banget.” Ucapnya lalu meninggalkan Nathan dan Jendra.

“Siapa Jen?”

“Rahasia.”

“Loh? Kok gitu? kata lo kita sehati, sejiwa kok main rahasia-rahasiaan?”

Jendra ikut duduk disamping Raden. “Nanti Nat, kalo gue udah nggak cupu lagi gue kasih tau.”

Raden geleng-geleng kepala doang.


Saat Hazen ingin duduk bersama teman-temannya, tiba-tiba namanya terpanggil oleh suara berat yang khas.

“Hazen.”

Sang empu menoleh mendapati Marvin yang berdiri di belakangnya beberapa meter. Hazen pun menghampiri kakak pembimbingnya itu.

“Iya kak, kenapa?”

Marvin memperhatikan pahatan wajah Hazen, menelisik dan menilai. “Udah nggak sakit?”

“Hah? Apanya?”

“Luka lo, lebam-lebam di wajah sama badan lo.”

Otomatis, jemarinya meraba bekas lebam-lebam di wajahnya. “Ah, udah sembuh dari kemarin kak. Gue nggakpapa.”

Marvin mengangguk lalu tersenyum simpul, tidak lebar hanya seulas senyum saja. “Lo hebat udah bawa 5 kemenangan untuk kelompok 7.”

“Errr—makasih kak, gue nggak akan bisa bawa kemenangan tanpa kerja tim.”

“Bener, tapi kerja tim juga berjalan karena pemimpinnya. Masih inget kan kalo abis pensi nggak boleh pulang dulu?”

“Iya kak masih.”

“Siap-siap ya.”

Hazen mengernyitkan dahinya, tidak mengerti. “Siap-siap ngapain kak?”

“Nanti lo tau sendiri.”

“Eh? Gue nggak lagi mau di rundung kan?”

“Nggak ada perundungan di ospek jaman sekarang, gausah ngaco deh.”

Hazen meringis dan menggaruk tengkuknya. “Ah iya juga ya, abisnya lo bilangnya gitu sih kan gue jadi skeptis.”

“Nggak kok, gue cuma bilang intinya siap-siap aja.”

“Oh ya satu lagi, semangat ya! Gue yakin lo bakalan kasih hiburan yang memuaskan semua penonton hari ini.”

Hazen mengangguk dan tersenyum lebar. “Makasih kak Marv.”

Marvin mengacungkan jempolnya dan hendak pergi dari sana, saat kedua kakinya baru melangkah beberapa langkah, Hazen memanggilnya, sehingga ia pun berhenti dan menoleh.

“Kak Marv!”

“Kenapa?”

“Kak Marvin juga semangat, jangan lupa dimakan konsumsinya dan istirahat kalau capek kak. Lo udah kerja keras dari ospek hari pertama sampe sekarang, gue tau lo capek.”

Marvin blank seketika, tau kenapa? Hazen mengucapkan itu sembari tersenyum manis menampakkan gigi rapinya yang lucu, bahkan meninju tangannya ke udara memberi gerakan semangat untuk Marvin.

Marvin menggelengkan kepalanya lalu menaruh atensinya lagi untuk Hazen. Ia membalas dengan senyuman. “Makasih, lo juga jangan lupa makan.”

Setelahnya Marvin pergi meninggalkan Hazen yang masih terkekeh. Bagi Hazen, melihat Marvin yang versi seperti ini itu menyenangkan.

“Senyum lo manis kak, harusnya lo tau itu. Sayang banget senyum lo mahal, medit pula.” Kekehnya lalu pergi dari sana menghampiri sahabat-sahabatnya.

Karena pensi sudah dimulai sejak 15 menit lalu, yang artinya dengan perlahan waktu berputar, sampai waktunya Golden Boyz tampil sebagai penutup pensi.

Flo·ᴥ·

Dengan kaos warna hitam dan training kuning secerah matahari, Hazen menggiring teman-temannya untuk berbaris rapi berjejeran dengan kelompok lain sesuai urutan sebelum lomba dimulai.

Marvin setia mendampingi kelompok 7 untuk menyemangati, Hazen dengan ekspresi setenang air sungai, memperhatikan interaksi Marvin kepada teman-temannya. Ia tersenyum melihat bagaimana cara Marvin memberikan masukan positif dan dukungan kepada teman-temannya.

“Dia nggak sepenuhnya ngeselin, kalo sedang supportive gini dia kayak manusia pada umumnya,” batin Hazen.

Guys, jangan gugup ini cuma lomba ospek, menang ataupun kalah juga nggak bikin mati. Cukup kalian enjoy dan jaga kekompakan tim aja, itu udah menambah nilai plus buat panitia. Lomba ini nggak cuma buat ajang menang kalah, bukan buat ajang who's winner and loser, tapi ini ajang buat melihat sejauh mana kekompakan kalian sebagai tim disini. Ngerti kan?” Nasihat Marvin yang panjang itu disambut senyuman lebar oleh kelompok 7.

“Ngerti kak, terimakasih kak Marvin.” Ucap mereka bersamaan, termasuk Hazen tentunya.

Marvin mengangguk meski senyum nya hanya terangkat tipis. Ia beralih memutar badan untuk berhadapan dengan Hazen. Secara tiba-tiba, kedua telapak tangan Marvin bertengger di kedua pundak Hazen membuat si manis sedikit terkesiap dengan gerakan Marvin yang tiba-tiba.

Ditatapnya kedua iris hazel itu oleh Marvin, “Lo sebagai pemimpin mereka, panutan mereka, harus bisa buat mereka percaya diri, buat mereka bisa jadi pondasi yang kokoh untuk tim, buat kerjasama itu mengalir apa adanya, nggak kepaksa hanya karena demi memenangkan lomba. Lo itu magnetnya Zen dan mereka jarum kompasnya. Apapun yang lo lakukan, kemanapun lo pergi, mereka akan ikut. The conclusion is, fighting! You are great and brave because you are willing to be a leader for this team.

Mulut Hazen sedikit menganga, tapi kemudian ia mengangguk sebanyak tiga kali. “Thanks kak, gue usahain yang terbaik. Tapi kalo gue gagal, gue—minta maaf ya?”

“Nggakpapa, gue nggak nyuruh lo buat menangin semua lomba. Kekompakan dan hubungan pertemanan kalian jauh lebih penting. Habis ini tes yel-yel sama jargon, masih bisa teriak nggak lo?” Tanyanya menjauhkan kedua tangannya dari pundak Hazen.

Hazen terkekeh dan mengangguk kecil. “Masih lah, gue tuh kemarin adu otot sama si tengik, bukan adu bacot sampe ngerusak pita suara.”

“Ya udah. Gue harus kumpul sama panitia sekarang.” Ucap Marvin yang berjalan menjauhi Hazen untuk bergabung dengan panitia Ospek lainnya yang dijawab anggukan oleh Hazen.

Tristan menyalakan megaphone yang digenggamnya, berdeham mencuri atensi seluruh mahasiswa baru.

“Halo, selamat pagi semuanya.”

“Pagi kakkkk.”

“Wah, semuanya pada cerah banget ya, secerah matahari pagi hari ini. Coba ditambah senyum yang lebar guys biar makin silau aura kalian.”

Mahasiswa baru beserta panitia ospek tertawa hanya karena mendengar lelucon Tristan sang presiden Mahasiswa. Lalu mereka melebarkan senyum seperti instruksi Tristan.

“Tau nggak kenapa kok syarat ospek nya harus pake training kuning bukannya baju kuning? Biasanya kan dimana-mana atasan yang berwarna baru bawahannya yang item tuh.” Tanya Tristan.

Semua mahasiswa baru pada mikir dan bisik-bisik, kira-kira apa jawabannya. Hazen mengernyitkan dahinya karena juga memikirkan sebuah jawaban.

“Karena almamater universitas nya kuning?” Jawab Yosa, temen satu kelompok Hazen.

“Hm, bisa jadi. Tapi bukan itu.” Kata Tristan.

“Karena biar susah?” Celetuk Hazen tiba-tiba.

Tristan dan para panitia menoleh kepada Hazen, termasuk Marvin.

“Biar susah? Kenapa lo bisa beranggapan gitu? Emang susahnya dimana?” Tanya Tristan menaikkan sebelah alisnya.

“Nyarinya kak, training secerah ini nggak gampang juga nyarinya di toko-toko.”

“Oh ya?”

Mahasiswa baru yang lain udah ketar-ketir aja sama jawaban Hazen yang ngawur, apalagi nada Tristan sedikit berubah.

“Iya kak, gue nyarinya harus keliling Jakarta buat nemuin ini di tengah rintik-rintik hujan dan tiupan angin malam. Tapi gue anggep itu yang namanya sebuah usaha, dimana-mana nggak ada yang instan, semua butuh proses, termasuk nyari ini training yang lumayan rare buat dicari di toko.”

krik krik krik

Hening, suasana yang mengisi area lapangan indoor itu bercampur aduk. Tegang, merinding, sunyi.

“Hahahahaha.”

Tiba-tiba Tristan tertawa, sehingga membuat para panitia juga tertawa—kecualikan Marvin. Dia hanya memasang ekspresi tak habis pikir sambil geleng-geleng.

“Bener, tujuannya emang buat nyusahin kalian. Biar ada usahanya, karena perlu diketahui, itu simbol dari perjalanan hidup kalian disini. Semua yang berawal di Neo Dream University nggak bisa langsung ke atas, harus dari bawah dan usaha sekeras mungkin buat jadi yang terbaik dan terpandang di kampus ini. Sama kayak training kalian, diawali dari bawah dengan semangat yang cerah, secerah matahari berwarna kuning yang bersinar di pagi hari. Kemudian saat kalian mulai mencapai puncaknya, akan ada banyak rintangan, itu kenyataan. Nggak ada perjalanan mulus semasa kuliah disini, cuma orang yang berusaha yang bisa sukses. Yang bikin sukses bukan kampusnya, tapi diri kalian sendiri. Maka dari itu simbol dari rintangan itu adalah hitam, kaos kalian yang terletak di atas.” Ucap Tristan panjang lebar yang didengarkan dengan baik oleh seluruh mahasiswa baru.

“Nama lo—Hazen Aditya Buana?” Tanya Tristan menatap name tag milik Hazen.

“Iya kak.”

Tristan menyunggingkan senyum lalu mengangguk. “Gue salut atas keberanian lo, gue nggak ekspetasi bakalan ada yang jawab kelewat jujur begitu.”

Hazen tersenyum kikuk, “Makasih kak, gue cuma keluarin pemikiran gue aja, meski keliatan gila juga pemikiran gue tadi.”

Marvin menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal dan meringis tertahan melihat Hazen yang kelewat tenang berbicara dengan Tristan seperti itu. Tidak ada takut-takutnya sama sekali.

“Anakan lo, unik juga ya, Vin.” Bisik Juan yang sejak tadi juga memusatkan perhatian kepada Hazen.

“Bener ternyata, bocahnya tengik ya Vin, agak songong. Tapi—gue rasa he have sexy brain.” Sambung Deon yang menatap Hazen lekat-lekat sambil berbisik.

“Yeah, I think he can control the universe, just like his name, Buana.” batin Marvin dan menarik garis bibirnya ke atas.

“Karena sekarang udah jam 8 pagi, langsung aja kita mulai lomba-lombanya. Tapi sebelum itu, kita tes yel-yel kelompok dulu. Udah pada siap kan yel-yel nya?”

“Udah kak.”

“Oke, ketua kelompok nya silakan dipimpin yang udah siap duluan buat nampilin power tim nya.”

Saat ini Hazen dan Marvin saling menatap meski terpaut jarak beberapa meter. Namun itu tak membuat Marvin dan Hazen kesusahan untuk membaca sorotan mata yang terpancar dari keduanya.

Marvin membuka mulutnya mengatakan “Fighting, lo pasti bisa!” sambil mengepalkan tangan kanan nya dan menggerakkannya ke atas, memberi semangat kepada Hazen.

Hazen menghela nafas lalu mengangguk menanggapi support dari Marvin. Ia dengan berani memandu aba-aba untuk kelompok 7.

note : USA dibaca 'yusa' , U S A dibaca 'yu es ei'

“U S A bilang apa?” Teriak Hazen sembari menggerakkan ke sepuluh jarinya seperti gerakan mengajak untuk ikut bersama.

nada lagu doraemon 'aku ingin begini aku ingin begitu'

Kami pasukannya kak Marvin dari kelompok tujuh Ini itu semua banyak aturan BEM, SEMA dan HIMA dapat kami taklukkan Dapat ditaklukkan oleh kelompok tujuh Kalian harus lihat, siapa kita... Hey, ya jelas kelompok tujuh lah! La la la, kami kece sekali… anak kak Marvin...

Marvin menepuk jidatnya mendengar yel-yel itu, ia pikir yel-yel itu tidak jadi. Ternyata Hazen memang bocah tengik sehingga yel-yel itu justru dikumandangkan saat ini. Ia hanya bisa menghela nafasnya mendengar tawa teman-temannya yang terpingkal-pingkal mendengar itu.

“Hahaha gokil ah si Hazen, kalau diliat-liat dari yel-yel nya yang buat dia ya, Vin?” Tanya Tama masih tertawa ngakak.

“Siapa lagi coba? Ketuanya aja dia.” Balas Marvin.

Belum berhenti disitu, sebelum Tristan membuka suara. Hazen menyela lagi. “Sebentar kak, ada satu lagi. Boleh kan?”

Tristan meringis lima jari dan mengangguk, entah kenapa Tristan suka dengan semangat Hazen yang seperti ini. “Boleh boleh, silahkan.”

Hazen mengangguk lalu berdeham. “Semangat USA...” Aba-abanya memulai.

“A....B......C....D....yak e yak e yak e... yak e yak e yak e... yak e yak e yak e, USA! E.... yak e yak e yak e... yak e yak e yak e.... yak e yak e yak e, USA!” Ucap kelompok 7 sembari dengan gerakan tepuk berbeda setiap ketukan kata. Membuat sebuah melodi indah dengan adanya ketukan berbeda di setiap tepuk yang tercipta.

Suara menggelegar nan kompak kelompok 7 disambut tepuk tangan dari semua panitia ospek dan kelompok lainnya. Sungguh, suara mereka menggelegar dan melodi tepukan itu terdengar berirama. Apalagi suara merdu Hazen bak selembut kapas terdengar diantara suara-suara yang lain.

“Wah, semangat sekali kelompok 7 ya, bener-bener full of power banget yel-yel nya.” Puji Tristan.

“Makasih kak.” Jawab kelompok 7 sumringah.

“Omong-omong, artinya USA apaan Zen?” Tanya Tristan lagi.

“Unit Seven Asek, kak.” Jawab Hazen sembari meringis.

Para panitia ospek membulatkan bibirnya dan mengangguk.

“Keren! Ditunggu perdana yel-yel dan jargon lainnya waktu lomba nanti ya. Semangat!”

“Terimakasih kak Tristan.”

Pandangan Marvin dan Hazen bertemu lagi dan kali ini keduanya saling melempar senyum tipis, ditambah Marvin yang mengacungkan jempol kanannya. Hazen tidak bisa untuk tidak tersenyum lebih lebar melihat kakak pembimbingnya yang supportive terhadap usahanya dan teman-temannya.

“Kalian keren.” Ucap Marvin menggerakkan bibirnya tanpa suara.

“Thank you.” Balas Hazen tanpa suara juga dengan senyuman masih terpatri jelas di bibir hatinya.

Flo·ᴥ·

Raden dan Marvin duduk di kursi yang ada di timezone itu menunggu Hazen. “Kak Marv, Hazen kok lama sih ke toilet doang?”

“Coba hubungin.”

“Hp gue mati Kak, ga bawa power bank juga.”

Marvin menghela nafasnya, ia juga tidak membawa power bank untuk dipinjamkan kepada Raden.

“Bawa charger nggak?”

Raden menggelengkan kepalanya. “Nggak kak, gue kelupaan.” Ia melirik Marvin yang juga diam melihat orang-orang di timezone. “Kak, hubungin Hazen dong.”

Marvin menoleh, “Gue nggak punya kontak Hazen.”

“Gue hafal nomernya, please ya kak? Gue━tetiba ngerasain nggak enak aja, gue khawatir.”

Mau tak mau Marvin memberikan ponselnya kepada Raden agar anak itu bisa menghubungi Hazen. Dengan cepat, Raden mulai mengetik i-message kepada Hazen secara bertubi-tubi. Jangankan membalas, pesannya saja tidak dibaca.

“Kak, gue cek ke toilet dulu aja ya? Hazen nggak nge read i-mess nya.”

“Gue ikut.”

Raden mengangguk saja, ia kepalang khawatir dengan Hazen. Maka saat itu juga, pukul 23.20 Marvin dan Raden mencari Hazen ke toilet yang ternyata hasilnya nihil, tidak ada Hazen disana.

Raut muka Raden sudah basah karena keringat yang muncul di pelipisnya, memutari Mall kesana kemari bersama Marvin.

“Hazen anjinggggg, lo kemana sih bangsat?”

“Coba gue telpon.” Putus Marvin kemudian setelah lelah berkeliling dan duduk di kursi depan toko.

“Lah iya ya bangsat, kenapa gak telpon daritadi sih?? Arghhh.” Raden ngamuk sendiri, saking paniknya ia lupa mengusulkan itu pada Marvin.

Marvin sendiri juga baru kepikiran, karena ia ikut panik melihat Raden yang lari-larian kesana kemari seperti orang kemalingan.

“Gimana kak? Diangkat gak? Nyambung gak?”

“Nyambung, tapi gak diang━”

“Halo.”

“Hazen? Lo dimana?”

Raden langsung merebut ponsel Marvin dengan tak sopannya begitu Marvin berbicara. “Hazen bangsat lo dimana anjing? Kalo sampe lo ketemu, gue tonjok lo sampe mampus ya jancok!”

“Weitss, is that you, Raden?”

Raden mengernyitkan dahinya, ia melihat layar ponsel Marvin. Benar, itu nomor Hazen tapi kenapa ini bukan suara Hazen?

“Lo siapa bangsat? Hazen dimana?”

“Oh oh, jadi Raden sekarang udah pinter ngumpat ya? Wow, gue terkesan sama perubahan lo hahahaha.”

Raden menganga, ia sedikit ingat suara ini. Lelaki yang paling ia benci semasa SMP nya. “Lo━lo? Kenapa hp Hazen sama lo anjing? Dimana temen gue? Lo apain temen gue?”

Marvin melihat sekitar, orang-orang mulai berbisik karena teriakan Raden. Ia pun menyeret Raden ke tempat lebih sepi, lebih tepatnya di toilet pria.

“Ck, kak lepasin gue kenapa sih?”

“Ini tempat umum, jangan mancing keributan atau kita diusir security.

Raden menghela nafas dan menutup pintu toilet, Marvin menyandarkan tubuh di sampingnya sembari melipat kedua tangannya di dada. Membiarkan Raden berbicara sepuasnya dengan sosok dibalik sambungan telepon itu.

“Santai dong, ah gue jadi pengen ketemu lo deh Den. Apa nggak mau reunian sama gue, lo?”

“Nggak sudi jancok, sekarang lo bilang dimana Hazen? Lo apain dia? Gue gorok leher lo sekarang kalo sampe Hazen kenapa-kenapa ya bangsat.”

“Duh, yang sabar dong Den. Hazen gak gue apa-apain, cuma gue ajak reunian dan seneng-seneng di malam natal kok. Mau join nggak? Gue kirimin alamatnya nih.”

Share loc sekarang, gue hajar lo sampe mampus ya anjing.”

“Zen, sahabat lo nih misuh-misuh muluk ke gue. Coba lo bilang ke dia.”

“Hazen, lo disitu? Jawab gue! Lo dimana? Gue kesana sekarang!”

“Raden━jangan kesini...”

“Hazen? Lo diapain sama si babi ini hah? Lo nggakpapa kan? Gue mau kesana, gak mau tau!”

“Gue nggakpapa Raden, lo pulang aja ya? Besok masih ospek, Kak Marvin masih disana kan? Tolong minta dia buat anterin lo.”

“Tapi Zen, gue mau hajar tuh co━”

“Raden... please, kalo lo mau gue nggak kenapa-napa, lo pulang ya? Gue janji, gue nggak kenapa-napa.”

“Hazen...” Ucap Raden lirih, menahan gejolak hatinya dan embun di pelupuk matanya.

“Kak Marvin, tolong anterin Raden sampai rumah ya?” Suara Hazen melirih dan semakin menjauh, namun Marvin ataupn Raden masih bisa mendengarnya. Belum sempat Marvin menjawab, sambungan itu terputus begitu saja.

Tutt tutt tuttt

“Aghhh jancok!!! Berani-beraninya dia usik kehidupan Hazen setelah sekian lama? Kenapa dia nggak hajar gue aja sih? Masalah dia kan sama gue anjinggg!”

Marvin pusing sendiri mendengar umpatan yang begitu lancar dari adik tingkatnya ini. Marvin melupakan masalah sopan santun disini, ia tidak akan protes dengan kelakuan minus Raden. Karena sekarang keadaan pun sedang tidak baik-baik saja.

“Raden, gue anter lo pulang sekarang. Udah hampir jam 12 malem, besok lo masih ospek, buat urusan Hazen, biar gue aja yang cari. Lo percaya sama gue kan?”

Raden menatap kedua iris gelap Marvin kemudian mengangguk. Ia hanya bisa berdoa agar Hazen baik-baik saja dan Marvin membawa nya pulang dengan selamat tanpa luka sedikitpun.

“Kak Marv, hati-hati. Firasat gue, Hazen lagi dihajar sama dia.”

“Kak Marvin harus bawa pulang Hazen, pastiin dia baik-baik aja. Tolong bilang ke gue ya kak kalo Hazen sampe babak belur?”

Marvin tidak tau harus menjawab seperti apa, jadi ia hanya bisa mengangguk.

Sorry ya kak kalo gue jadi repotin lo masalah Hazen, gue nggak ngira orang sinting itu bakalan ganggu Hazen sekarang.”

No problem, Hazen secara harifah itu adik tingkat gue, masih anak didik gue karena gue pembimbing kelompoknya. Siapapun, pasti akan nolong Hazen kalo keadaan kayak gini.”

Raden akhirnya bisa sedikit lega, ia mengangguk. “Thanks Kak gue udah save nomer gue di hp lo, nanti kalo udah ketemu Hazen langsung chat gue ya kak?”

“Iya. Sekarang gue anter lo pulang dulu ya? Biar gue bisa cepet nyari Hazen.”

“Iya Kak.”

Malam itu, Marvin mengantar Raden dengan selamat. Setelah Raden masuk ke dalam rumah, Marvin menelpon seseorang.

“Halo Vin, kenapa? Tumben malem-malem lo nelpon?”

“Gue butuh bantuan lo.”

“Tau gue mah, lo pasti butuh bantuan kalo nelpon gue. Hahaha.”

“Anjing, gue serius Wil.”

Iya iya ah elah, jadi━ada apa?”

“Cariin gue lokasi orang, nomernya udah gue i-mess ke lo.”

“Oke bentar gue cek.”

Marvin menunggu temannya itu sebentar, angin malam bertiup menerpa wajah nya. Namun itu tak membuatnya kedinginan sedikitpun.

“Vin, dia siapa sih? Kok lo mau nyariin dia?”

“Ck, gak usah banyak nanya deh. Ntar gue jelasin, sekarang dimana dia?”

“Ini penculikan atau gimana sih anjing? Dia ada di tempat lumayan terpencil dari kota, ada di bekas pabrik gula jalan XXX, tau kan lo?”

“Bangsat! Lumayan juga jauhnya. Lo beneran yakin disitu Wil?”

“Lo meragukan hacker? Anak IT pula, lo meragukan gue?”

“Oke. Lain kali gue traktir lo. Thanks Willy.”

“Yoit sama-sama, kalo lo butuh pasukan cepet hubungin Yudha sama anak-anak yang lain ya?”

“Gue bisa sendiri, nggak perlu bantuan anak-anak. Sekali lagi thanks.”

Tutt━

“Zen, tunggu gue. Lo harus baik-baik aja.”


“Apa-apaan lo? Lo sengaja nggak ngelawan gue hah?”

Hazen menatap lawannya datar. “Buat apa gue ngelawan? Tujuan lo balas dendam ke gue kan? Yaudah hajar aja gue sepuas lo, dan habis itu nggak usah nampakin muka menjijikkan lo di depan Raden ataupun gue.”

“Gue nggak terima anjing! Lo ngerendahin gue? Lo anggep gue cupu gak bisa hajar lo? Gitu?” Ia meludah di samping Hazen.

“Gue ngasih lo kesempatan buat hajar gue, gue bukan ngerendahin lo, gue mau bales dendam lo tercapai, itu aja.”

“Lawan gue anjing! Gue nggak akan puas kalo lo diem aja seolah olah lo remehin kemampuan gue bangsat!”

“Nggak, gue udah janji sama Raden buat nggak berantem sama siapapun kalo nggak buat nolongin orang yang butuh bantuan gue.”

Lelaki itu tertawa sarkas, diikuti teman-teman lainnya. “Lo suka sama Raden? Mangkanya dulu lo sok jadi pahlawan kesiangan dia?”

“Bukan urusan lo, hubungan antara gue sama Raden itu nggak penting buat lo.”

“Apa yang lo liat dari anaknya aktris bo━”

“Jaga mulut lo ya asu! Nggak usah bawa-bawa ibunya. Raden itu Raden, beda dari ibunya. Kenapa lo urus hidup orang lain sih? Sok suci banget lo!”

“Hahaha dih ngamuk, jangan-jangan lo udah nyicipin Raden? Gimana-gimana? Bohai dan mulus kayak wajah cantiknya nggak? Atau dia bukan cowok? ” Tanya nya sambil terpingkal-pingkal.

Hazen sudah tidak tahan lagi, sedari tadi ia diam karena ingin lelaki itu agar puas membalas dendam pada dirinya. Namun kali ini ia tidak bisa diam jika sudah membawa-bawa Raden apalagi menyebut sosok Ibu Raden.

“Bangsat, mati aja lo anjing!”

Bugh bugh bugh

Hazen menghajarnya tanpa ampun dengan sarung tinju yang membungkus kedua tangannya. Ia tidak peduli lagi dengan pembalasan dendam lelaki itu padanya, ia murka kembali mengingat perlakuan lelaki itu kepada sahabatnya. Raden, sosok sahabat berharganya, sahabat yang paling ia sayangi, menanggung banyak cemooh dan pem bully an semasa SMP karena lelaki sialan yang dihajarnya saat ini.

Maka Hazen tidak akan diam lagi, dia jago bela diri. Dia atlet Judo, buat apa dia takut dengan lelaki lemah seperti Asahi.

Asahi juga tak tinggal diam, ia melanggar kesepakatan untuk tidak memukul Hazen di area wajah. Asahi hanya boleh memukulnya di area badan. Selain alat vital dan wajahnya. Ia membabi buta memukul kedua pipi Hazen dengan sarung tinju yang melekat pada kedua tangannya, beradu jotos dengan Hazen.

Suara sorakan dari anak buah Asahi yang terhitung ada 12 orang terdengar meramaikan, seperti gala adu tinju sungguhan. Cahaya yang remang-remang di bekas pabrik gula ini turut menyinari gelapnya aura dua pemuda yang saling memukul tanpa ampun.

Darah mengucur dari kedua wajah lelaki itu, tak membuat urung keduanya untuk berhenti dan justru semakin membara untuk menghajar satu sama lain. Pergulatan itu terus berlanjut hingga━

Dorr

Bohlam lampu yang ada di pojok itu meledak karena tembakan, membuat kedua lelaki yang beradu jotos itu mendadak berhenti. Begitupun sorakan 12 lelaki disana.

“Berhenti, atau lo semua bakalan jadi bangkai disini.”

Dengan pandangan yang sedikit kabur karena cahaya yang remang-remang serta keringat dan darah yang menetes, Hazen menajamkan telinganya untuk mengenal suara itu.

Nafasnya terengah, begitupun juga Asahi. Keduanya berjongkok karena kaget mendengar suara tembakan tadi.

“Marv━vin...” batinnya lirih dengan dada naik turun mengais oksigen dengan rakus.


“Zen, kita pulang. Lo nggak baik-baik aja sekarang.”

“Kak... jangan bilang Raden kalo gue gini ya?” Ucapnya meringis dalam papahan Marvin menahan remuk di seluruh tubuhnya. Apalagi bibirnya terasa kebas hanya untuk berbicara.

“Hm, tenang aja.”

Sebelum Marvin dan Hazen meninggalkan bekas pabrik itu, Marvin menoleh. “Kalian gue ampuni saat ini, pergi dari hidup Hazen dan Raden selamanya, kalo sampai kalian balik, gue beneran cari lo semua dan bikin kalian jadi bangkai.”

Asahi dan teman-temannya meremang mendengar deep voice Marvin yang menyapa telinga mereka, terasa seperti perintah mutlak yang tidak bisa dibantah. Oleh karena itu, 13 lelaki disana hanya bisa mengangguk patah-patah. Takut Marvin akan nekat meloloskan peluru ke kepala mereka jika melawan.

Thanks, gue bisa lawan Asahi sampe mampus sendiri tanpa bantuan lo. Tapi gue juga sangat berterimakasih sama lo karena gue jadi hemat tenaga buat ospek besok.” Bisiknya lirih sembari berjalan keluar dari pabrik gula itu.

“Gak usah sok jagoan lo, masih bocah. Bukannya fokus ospek, malah adu jotos. Lo pikir keren? Apa kata kating besok liat muka lo biru biru ungu bengkak begini hah?”

Hazen terkekeh. Untuk pertama kalinya Hazen mendengar Marvin berbicara sedikit manusiawi karena ada emosi dibalik perkataannya. “Gampang, gue atlet Judo udah biasa berantem juga. Poles concelar tebel aja udah beres.”

“Serah lo aja.”

“Er━kak, lo nggak akan laporin gue ke pihak kampus kan karena kejadian ini?”

“Bukan urusan gue, selama lo gak bawa-bawa nama almet buat nakal, gue nggak berhak laporin lo ke kampus.”

Hazen menyunggingkan senyum lalu mengangguk. “Lo orang baik ternyata.”

Marvin tidak menanggapi lagi setelah keduanya sampai di depan motor Ninja merahnya. “Gue bawa motor, lo masih kuat duduk kan?”

“Masih lah, gue nih nggak pingsan, gue masih kuat jalan balik ke rumah asal lo tau.”

Marvin merotasikan matanya lalu menaiki motor dan memasang helm full face nya.

“Naik, udah malem. Lo masih harus bangun pagi besok.”

Hazen menaiki boncengan di belakang Marvin, berpegangan pada kedua pundak Marvin yang terlapisi jaket kulit Hitam nya.

“Gue mau ngebut, rumah lo jauh dari sini kalo lo lupa.”

“Ya ngebut aja sih, gue nggak ada bilang apa-apa?”

Marvin berdecak, ia tidak suka bertele-tele seperti ini.

“Pegangan, disini. Gue bukan tukang ojol.” Ucapnya meraih kedua tangan Hazen yang ada di pundaknya dan melingkarkan ke pinggangnya dengan erat.

Hazen sempat blank beberapa detik, sampai suara knalpot motor Marvin membuyarkan semuanya. Hazen mengeratkan pelukannya di perut Marvin. Merapatkan tubuhnya yang sedikit kedinginan. Long coat yang ia pakai terasa percuma saja, karena ini benar-benar dingin jika terkena angin malam secara langsung seperti ini.

Terasa Hazen sudah siap dibawa pergi, Marvin melajukan gas nya meninggalkan pabrik gula itu dengan kecepatan tinggi.

Flo ·ᴥ·

Hazen mengeluarkan earphone dari saku coat coklat nya, belum sempat ia memasangkan di kedua telinganya, tiba-tiba suara berat lelaki di sampingnya menyapa gendang telinganya. Membuat tangan Hazen mengambang di udara dan turun lalu menoleh ke samping.

“Kak Marvin manggil gue?”

“Siapa lagi?” Jawabnya sembari menaikkan sebelah alisnya, dan menyesap latte dengan santai kemudian.

Sabar, Hazen mengelus dada nya, iya dia itu tau jika disini hanya mereka berdua. Namun kan Hazen hanya ragu saja jika lelaki itu mengajaknya bicara, apa salahnya dia tanya begitu? Bisa tidak jika Marvin menjawab dengan muka yang ramah bukannya sok iyes seperti itu? Membuat kedua mata indah Hazen sepet saja.

“O-oh hehe. Kenapa ya kak?” Tanya Hazen masih mencoba bersikap sopan kepada senior songong nya itu.

“Tadi ada temen, kok sendiri?”

Hazen mau murka saja, kenapa Marvin singkat-singkat sekali sih jika berbicara? Meski Hazen mengerti maksudnya, tapi itu sangat tidak enak di dengar, sungguh. Menahan kedongkolannya, Hazen menjawab disertai senyum tipis yang tak kentara. “Oh Raden, dia beli Chatime kak, ngantri katanya jadi lama.” Ucap Hazen TMI.

Marvin mengangguk saja setelah menghabiskan satu gelas latte coklat dingin nya. Kemudian keadaan jadi diam lagi karena Marvin tidak mengajaknya berbicara lagi, lelaki itu kembali fokus main ponselnya.

Hazen tidak suka ini, dia benci kesunyian, ke awkward an, kediaman, dia itu inginnya rame bukan sepi. Mau tak mau, Hazen buka mulut untuk mengajak Marvin berbicara lagi, itung-itung basa-basi sama senior nggak ada salahnya.

“Kak Marvin kesini jalan-jalan atau ngapain?”

“Nggak.”

“Trus ngapain dong kak?”

“Belanja.”

Hazen melirik di sekitar Marvin, namun tak ada satu kantong belanja pun disana. Hazen mengernyit heran.

“Belanja apa? Nggak ada kantong belanjaannya tuh.”

“Nanti.”

Sudah cukup, Hazen kesal. Berbicara dengan Marvin membuang tenaga nya saja. Ia memilih diam dan akan memasang earphone lagi, tapi Marvin membuka suara lagi, membuat Hazen urung kembali memasang earphone nya.

“Kemana?”

“Hah? Apanya Kak?”

“Habis ini.”

“Maksud lo, gue habis ini mau kemana, gitu kak?”

“Iya.”

Hazen menghela nafas, sungguh cobaan berat berbicara dengan Marvin ini. Malam natal nya yang indah jadi suram seketika karena berbicara dengan Marvin.

“Kayaknya mau makan, Raden bilang mau ke food court soalnya.”

“Oh.”

Hanya seperti itu tanggapan dari Marvin. Emang apa yang diharapkan Hazen?

Tiba-tiba dering notifikasi nya bunyi, Hazen memeriksa ponselnya ternyata ada DM dari Raden.

Raden @rade_en

│Zen, karena food court nya deket Chatime, │lo yang kesini aja ya? Gue mager nyamperin lo hehe │cepetan, gue udah laper banget ini, fc nya rame njir │ada kak marvin ya disitu? ajak sekalian gih 09:45 PM

Hazen mendelik tajam membaca pesan dari Raden. “Wtf? Apa-apaan pake ajak-ajak nih orang? Ya kali gue nawarin ikut makan bareng? Mau ditaruh mana muka gue anjinggg.” Teriak batin Hazen menggebu-gebu.

│Zen, cepet anjing jangan di read doang bangsat │Gak dateng 10 menit lagi, gue ngambek │gak mau buka block imess lo! 09:46 PM

Kesabaran Hazen memang sedang di uji oleh dua manusia beda spesies itu. Satunya spesies batu, satunya spesies singa ngamuk. Sungguh malang sekali nasib Hazen malam ini.

Hazen @zen_hazen

│Ya, otw. Btw Marvin udah pulang, dia gada disini │jadi gue kesana sendirian ok? │sebelah mana lo? biar gue gak susah nyarinya, │lo kan kecil banget mana keliatan 09:47 PM

Raden @rade_en

│Jangan bohong lo, kalo kak Marvin │masih disana, ajak aja. │gue ntar berdiri samping counter Chatime │itung-itung biar akrab sama senior, ajak aja │dia pembimbing kelompok lo kalo lo lupa │yang sopan dikit 09:48 PM

Hazen @zen_hazen

│iya iya ah bawel lo │otw ini, tapi kalo marvin gak mau yaudah ya? │yakali gue maksa? kayak apaan anjing 09:49 PM

Raden @rade_en

│iya, ditawarin dulu Zen yang penting 09:50 PM

Hazen @zen_hazen

│hmm ya 09:50 PM

Hazen melirik Marvin yang diam dan bermain ponsel, entah apa yang dimainkan lelaki paras dingin itu. Yang jelas, Hazen sekarang lagi mikir gimana cara ngajak Marvin berbicara.

“Er⏤kak, gue mau ke food court sekarang. Lo mau ikut makan bareng gue sama Raden nggak?”

Marvin mendongak dan menoleh, menatap kedua iris hazel Hazen yang memancarkan sedikit keraguan dari sorotnya. Namun juga ada harapan sedikit disana.

“Gapapa?”

“Ma-maksudnya?”

“Gue ikut?”

Hazen menggaruk belakang kepalanya, pusing sendiri sama susunan kata-kata Marvin ini.

“Iya kak, gapapa. Gue kan nawarin, lo juga sendirian disini. Bukannya seru kalo rame-rame di malam natal begini?”

“Ok.” Ucap Marvin lalu berdiri dan berjalan mendahului Hazen yang masih terbengong tak beranjak dari tempat duduknya.

Seperkian detik akhirnya Hazen sadar dari lamunannya, ia pun ikut berdiri dan mengejar langkah besar Marvin yang sudah sedikit jauh disana. Mensejajari langkah Marvin sehingga keduanya berjalan berdampingan.

Terlihat sempurna, baik dari belakang ataupun depan. Marvin dan Hazen adalah perpaduan sempurna dan sedap untuk dipandang mata oleh semua orang disana.

Sepanjang keduanya berjalan berdampingan, tidak ada yang buka suara, hanya fokus dengan jalan masing-masing yang santai. Hazen melupakan 10 menit yang dijanjikannya kepada Raden untuk cepat sampai kesana saking berantahkan pikirannya yang terlibat awkward moment seperti ini dengan Marvin.

Tak berbeda jauh dengan Marvin, lelaki itu diam-diam sedang memikirkan sesuatu sejak tadi ia berjalan berdampingan dengan Hazen.

Saat di kampus, Hazen memang terlihat seperti remaja beranjak dewasa yang sok keren dan songong namun terlihat dewasa ketika memakai setelan hitam putih, menandakan bahwa dirinya bukanlah ABG lagi seperti saat SMA. Namun ternyata, Hazen memiliki sisi lain jika diluar? Marvin berpikir jika Hazen itu⏤cute?

Itu yang dipikirkan Marvin ketika melihat penampilan Hazen dengan long coat warna coklat nya. Sangat kontras dengan rambut coklat madunya, dan tentu saja ditambah kedua iris mata hazel nya.

Jika begini, Hazen tidak terlihat menjengkelkan seperti tadi pagi yang menatap dirinya penuh kebencian dan dendam kesumat. Yang Marvin lihat saat ini adalah, Hazen yang sopan, tatapannya yang lembut, ramah, dan welcome kepada dirinya.

Marvin dan Hazen berjalan tanpa bicara bahkan saat sudah sampai di food court. Disana, Raden sudah menenteng dua kantong plastik bersisi dua gelas Chatime sambil melambaikan tangan kepada Hazen serta Marvin untuk cepat menghampirinya.

“Ayo kak, Raden udah nunggu.” Ucapnya menarik pergelangan tangan Marvin tanpa sadar, itu spontan dan Hazen tidak menyadari akan hal itu.

Sedangkan Marvin, ia sudah tertarik oleh Hazen, tenaga Hazen memang besar sampai Marvin saja sudah ikut berjalan mengikuti langkahnya dengan pergelangan tangan kanan nya yang digenggam oleh Hazen, menghampiri Raden.

Sesampainya disana, Hazen melepas tangannya dengan santai. Seolah-olah itu tadi bukan apa-apa. Marvin diam, tidak mengeluarkan kata-kata apapun. Raden tersenyum canggung menyapa Marvin.

“Hai kak, gue⏤Raden, temennya Hazen.”

“Iya tau, tadi siang kan udah liat.”

Raden menatap Hazen yang duduk di depannya, samping Hazen itu Marvin.

“O-oh iya bener juga. Em⏤kak Marvin mau pesen apa? Biar gue yang pesenin.” Tanya Raden.

“Eh gausah Den, biar gue aja. Lo kan udah ngantri di Chatime dari tadi pasti capek berdiri kan? Gue aja yang pesenin makanannya. Lo mau apa?”

Raden tersenyum lebar. “Ah elo mah peka juga ternyata ya, gue mau Rappoki Cheese.

“Oke.” Hazen menoleh ke samping, “Kak Marvin mau makan apa? Sama minumnya juga apa?”

“Gue sendiri aja.”

“Jangan kak, biar Hazen aja, kan sekalian, Hazen yang traktir.” Kata Raden.

Hazen melirik Raden tajam, Raden menjulurkan lidahnya mengejek. Hazen tersenyum meringis. “Iya kak gue yang traktir, jangan sungkan kak. Di luar begini kita bukan senior junior lagi, kita bisa jadi temen.”

“Ya udah, samain aja kayak lo. Tapi gue bayar sendiri ntar.”

“O-oke, nanti lo bayar sendiri gapapa. Tapi gue mau makan Sushi Tei. Lo mau kak?”

“Ya, mau.”

“Minumnya apa kak?”

“Gue beli sendiri aja.”

“Oh, yaudah.” Hazen beranjak berdiri dari duduknya untuk memesankan makanan mereka bertiga meninggalkan Marvin dan Raden disana.

“Kak Marv.”

Marvin menoleh setelah bayangan punggung Hazen tertelan keramaian. Ia menatap Raden penuh tanya.

“Kenapa?”

Raden menyunggingkan senyum simpulnya. “Hazen, dia emang keliatan songong dan gak bersahabat. Biang onar ataupun cowok yang nakal gitu lah maksudnya. Itu wajar kalo orang yang belum kenal Hazen suka liat dia kayak gitu⏤

tapi, Hazen nggak gitu kok sebenernya Kak. Hazen itu orang paling welcome, loyal, royal, bersahabat, dan siap sedia buat bantu siapapun yang butuh bantuan dalam keadaan apapun. Dia itu paling ngerti sama orang-orang terdekatnya, hatinya lembut. Meski⏤dia emang cowok paling ngeselin karena isengnya yang kebangetan, kalo udah bego ya kadang bego banget, tapi sebenernya otaknya encer kok. Dan dia juga punya jiwa pemimpin yang bagus, waktu SMA, dia aktif banyak organisasi dari pecinta alam, PMR, KIR, Paskibra, dan jadi ketua OSIS bahkan ketua Pramuka. Everyone like him and want to being his friend.”

Raden menghela nafas sejenak dan mengalihkan matanya ke orang lalu lalang di sekitarnya. “Dia terlalu baik jadi orang, terkadang baiknya itu membuat orang lain merasa⏤menjadi orang paling spesial buat dia, hanya karena dia terlalu baik dan menerima semua orang yang ingin masuk ke dalam hidupnya, menjadi temannya, menjadi sahabatnya.”

Marvin menatap Raden dengan kernyitan di dahinya, agaknya ia sedikit mengerti dengan apa yang dimaksud Raden. “This is called friendzone,” batinnya sembari mengangguk kecil.

“Hazen punya cita-cita jadi Arsitek, tapi Ayahnya nggak ngebolehin dan Hazen dituntut buat jadi penerus Ayahnya di perusahaan, mangkanya ia masuk jurusan Manajemen Bisnis. Gue kasian sama Hazen, tapi Hazen bilang gakpapa, karena kata dia, Kak Devon udah susah ngurus semua perusahaan Ayahnya yang ada di luar negeri, jadi Hazen mau bantu Ayahnya untuk ngurus beberapa perusahaan yang ada di Indonesia.”

Marvin hanya mendengarkan penjelasan panjang Raden yang tiba-tiba tanpa diminta, entah apa motivasi Raden memberitahunya tapi Marvin sedikit⏤tercengang dengan kenyataan itu.

“Jadi? Maksud lo ngasih tau gue ini buat apa?”

Raden kembali menaruh atensinya kepada Marvin lalu meringis lebar. “Kayaknya Kak Marvin tertarik sama Hazen.”

“Hah? Maksud lo?”

“Tertarik buat jadiin Hazen ketua angkatan 22. Iya kan?”

Marvin mengerjapkan matanya beberapa kali lalu berdeham. “Ya⏤bisa dibilang gitu. Gue liat ada potensi dari Hazen buat jadi pemimpin yang loyal dan bertanggung jawab.”

Raden mengangguk menyetujui pendapat Marvin. “Iya, gue yakin Hazen bisa. Tapi gue liat Kak Marvin juga sedikit ragu sama Hazen, mangkanya gue cerita itu tadi. Tapi jangan bilang-bilang Hazen ya Kak? Nanti gue dicincang sama dia hehe.”

Marvin hanya tersenyum sedikit⏤sekali, bahkan tidak bisa dilihat Raden.

“Kayaknya gue beneran salah nilai Hazen...”, batinnya menopang dagu menatap Hazen yang berjalan ke arahnya yang membawa nomor meja.

Flo ─── ∙ ~εïз~ ∙ ───