sunflosan

Pukul 3 sore, cahaya matahari masih bersinar. Mereka terlihat menelisik dari sela-sela gorden, menembus jendela ruangan hingga sampai ke dalamnya. Tidak cukup terang, sih, sehingga lampu sebagai penerang, harus dinyalakan untuk mendukung pekerjaan yang masih Jihoon lakukan.

Kira-kira 15 menit setelah pesan dari rekannya, Soonyoung —sekaligus pacarnya, tiba. Dan di kisaran waktu itulah, di tengah heningnya ruang studio yang hanya diisi olehnya, suara derap kaki di luar, samar terdengar.

Kemungkinan besar, itu adalah Soonyoung.

Tidak, dapat dipastikan itu Soonyoung.

Karena setelah suara derap kakinya berhenti terdengar, suara khasnya yang berteriak “Jihoonie~” terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan wajah pria yang sudah Jihoon duga.

“Oh, Soonyoung.”

Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Soonyoung memasuki ruangan itu dan menutup pintu. Tanpa ragu, ia langsung menghampiri Jihoon yang tidak bergerak sesenti pun dari meja kerjanya atas kehadiran dirinya.

“Sayang,”

Soonyoung memeluk Jihoon dari belakang, mengalungkan kedua lengannya di leher Sang Kekasih dan bermanja di sana.

Sementara yang dipeluk, tidak ingin kalah, ia membalas afeksi dari pacarnya itu dengan memiringkan dan menyandarkan kepalanya agar menempel pada lengan Soonyoung. Tidak ketinggalan, jari jemari yang semula berkutat dengan papan ketik di atas meja, kini sudah berpindah untuk mengusap lembut telapak tangan yang mengalung bebas di lehernya itu.

“Udah makan?” tanya Soonyoung sambil melepas pelukannya, kemudian pelan-pelan memutar kursi yang diduduki Jihoon agar menghadapnya.

Yang ditanya hanya menggeleng.

“Loh, kan kebiasaan banget.. Lo kalo ga ada gue udah mati kali, nih. Ayo, makan dulu.” ujar Soonyoung sambil meraih pergelangan tangan Jihoon, bermaksud mengajak.

“Bawa apa emang?”

“Burger tiga, french fries big size, sama cola.”

“Oke. Mau pangku sekarang dulu.” pinta Jihoon sambil sedikit mendongak untuk menatap Soonyoung yang berdiri di hadapannya.

Soonyoung menggeleng, “Gue bilang apa tadi di chat?” tanyanya.

Jihoon mengingat sebentar usai pertanyaan dari Soonyoung ia dengar. Setelahnya, ia melepas tangan Soonyoung yang masih memeganginya, sambil berkata, “Males.” kemudian memutar kursinya lagi, kembali menghadap meja kerjanya.

Helaan napas terdengar dari Soonyoung. Ia lantas kembali membalik kursi yang Jihoon duduki dan berjongkok di hadapannya.

“Yaudah abis lo makan aja? Ga tega juga gue ngebiarin anak yang kangen banget sama gue ini. Yuk?”

Jihoon mendengus, namun tetap saja, ia akhirnya bangkit dan berpindah ke tempat duduk yang lebih luas untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Soonyoung.

Ketika Soonyoung sibuk menyiapkan makanan, sebaliknya, Jihoon malah diam dan memerhatikan kekasihnya itu.

“Gimana so far?” tanya Jihoon yang membuat Soonyoung tersenyum sambil menyodorkan burger milik Jihoon.

“Aman. Thanks to you.” jawab Soonyoung.

“Kok gue?? Kalian yang udah kerja keras, kok. Good job, Soon.” ujar Jihoon sambil menepuk pundak Soonyoung, pelan.

“Tapi sepi ga ada lo.”

“Halah, padahal lo terus yang berisik di antara kita-kita.”

“Emang gue doang yang ngerasa sepi, sih, kayanya. Kaya ga ada yang nemenin aja, hahaha..”

You dumb.”

I am, your one and only dummyoung.”

Jihoon hanya tersenyum sambil menggeleng mendengar jawaban Soonyoung. Sambil melanjutkan makannya, mereka terlibat dalam percakapan-percakapan lain.

Anyway, Ji,” Soonyoung mulai memindahkan obrolan. “Hari ini gue ga bisa lama-lama.” sambungnya.

“Masih ada schedule, ya?”

Sadly, yes. Sorry, ya? Gue jadi ga bisa lama-lama dan—”

Ucapan Soonyoung terhenti, Jihoon yang menyelanya.

“Udah, no need to be sorry. Kerja aja yang bener.”

Soonyoung menoleh, menatap Jihoon yang masih menyantap burger yang dipegangnya dengan sesekali mengambil kentang goreng yang berada di atas meja. Merasa diperhatikan, Jihoon akhirnya juga menoleh.

“Apa?” tanya Jihoon, nadanya sedikit menantang.

“Lo kangen gue ga, sih?”

“Iya.”

“Bagus, deh, gue kira gue doang. Soalnya gue gemes banget liat lo ngunyah, manyun-manyun bibirnya gitu.”

“Dasar. Liatin bibir aja terus.”

Mendengar jawaban Jihoon, Soonyoung hanya tertawa. Tentu saja ia tidak bisa menahan untuk tidak merasa gemas kepada laki-laki yang hanya lebih muda 5 bulan darinya ini.

Hingga tak terasa, suap terakhir sudah tiba di mulut Jihoon. Ia menghabiskan dua buah burger yang dibawa Soonyoung beserta kentang goreng porsi besar yang dimakan bersama Soonyoung. Dirinya sudah kenyang, ternyata sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sebelumnya, ia hanya tidak terlalu merasakan rasa laparnya itu.

“Satunya ga lo makan?” tanya Jihoon sambil merapikan bekas makannya.

“Buat lo aja nanti kalo iseng.”

“Oh, oke, thanks.”

Setelahnya, Soonyoung berdiri lebih dulu dari sana dan pergi ke meja kerja Jihoon. Jihoon tidak terlalu memberi perhatian kepada laki-laki itu, meskipun setelahnya ia ikut bangkit untuk membuang sampah bekas makannya.

Tentu saja ia juga ke meja kerjanya. Ternyata Soonyoung sudah duduk di kursi miliknya dan dengan tangan terbuka, Soonyoung menyilahkan Jihoon untuk melakukan apa yang ia pinta sebelumnya.

Tanpa ragu, tanpa permisi, Jihoon langsung naik ke atas kursi yang sama. Ia duduk di atas pangkuan Soonyoung dan memeluk laki-laki gemini itu. Kepalanya ia sandarkan ke bahu Sang Kekasih, mencari kenyamanan untuk ia rasakan sebentar, sebelum akhirnya kekasihnya ini kembali pergi.

“Tadi kenyang, ga, hm?”

“Huum.”

“Kangen sama Soonyoung, ya?”

“Huum.”

Aigooo..”

Jawaban-jawaban singkat dari Jihoon, lantas tidak membuat Soonyoung merasa kesal, melainkan sebaliknya malah bertambah gemas. Ia mengeratkan pelukan di tubuh Jihoon, sambil sesekali mengusap lembut punggung laki-laki yang sudah berjuang sangat keras itu.

“Abis gue tinggal, jangan lupa istirahat, ya. Burgernya dimakan lagi atau ga makan keluar aja minta temenin siapa, kek. Jangan udah ngurung di dalem sini terus, makan juga telat, tidur kurang, yang ada ga jadi comeback nanti kita kalo produsernya sakit.”

Jihoon mengangkat kepalanya dari sandaran, usai Soonyoung mengucap kalimat yang cukup panjang itu. Masih di atas pangkuan Soonyoung, Jihoon bermaksud membungkam mulut laki-laki yang sedari tadi berisik menasihatinya terus itu dengan bibirnya.

Ciuman itu dimulai, kedua bibir itu bertemu sekilas. Jihoon langsung dapat melihat senyum tipis Soonyoung, setelah ia menyudahi perbuatan yang berlangsung tidak lebih dari dua detik itu.

“Tadi gue yang dibilang liatin bibir terus, ternyata lo yang mau ciuman, ya?” tanya Soonyoung sambil sedikit terkekeh.

Sebelum menjawab, Jihoon kembali memeluk, “Ngga. Itu barusan karena lo bawel, berisik.” jawabnya.

Soonyoung hanya kembali tertawa kecil. Ia mencoba melepas pelukan Jihoon dan membawa laki-laki itu kembali duduk tegak seperti sebelumnya.

Tanpa aba-aba lagi, Soonyoung memegang wajah Jihoon. Pelan-pelan memiringkan kepalanya, kemudian meraup bibir tipis kekasih yang sudah menggodanya terlebih dahulu itu.

Waktu terasa melambat, dengan tempo santai yang diberikan Soonyoung pada permainannya. Ia terus bergantian mencium bibir atas, kemudian bawah, sambil sesekali menggigit dan memainkan lidahnya pada lidah Jihoon. Bukan permainan yang menuntut, namun cukup menggairahkan pasangan yang sudah lama tidak meluangkan waktu bersama karena kesibukan masing-masingnya ini.

Dirasa sudah cukup, Soonyoung melepas tautan mereka. Ia menyeka basah di sekitar bibir kekasihnya akibat perbuatan yang dilakukannya barusan.

“Sayang, gue kangen… banget.” ujar Soonyoung, seraya memeluk Jihoon.

Jihoon menepuk pelan puncak kepala Sang Pacar yang sekarang sedang menenggelamkan wajahnya pada leher Sang Produser. Ia menyisir helai surai Soonyoung perlahan, bermaksud memberikan pernyataan yang senada dengan apa yang diucapkan Soonyoung barusan kepadanya. Tanpa kata, namun sama hangatnya.

Dengan suara yang samar dan sedikit terpendam, tanpa merubah posisinya, Soonyoung berucap.

“Tapi Jihoonie, abis ini temenin gue rap bentar, ya.”

Jihoon hanya bisa menghela napas mendengar ucapan Soonyoung. Ia lantas mendekap kepala Soonyoung lebih dalam dengan kedua lengan yang penuh dengan otot matang itu. Sementara Soonyoung yang mendapat perlakuan itu hanya tertawa dengan suara yang lagi-lagi teredam.

“Ahahahaha, please head lock me, sir.”

“Ga bisa keluar hidup-hidup lo, Soon.”

Pukul 3 sore, cahaya matahari masih bersinar. Mereka terlihat menelisik dari sela-sela gorden, menembus jendela ruangan hingga sampai ke dalamnya. Tidak cukup terang, sih, sehingga lampu sebagai penerang, harus dinyalakan untuk mendukung pekerjaan yang masih Jihoon lakukan.

Kira-kira 15 menit setelah pesan dari rekannya, Soonyoung —sekaligus pacarnya, tiba. Dan di kisaran waktu itulah, di tengah heningnya ruang studio yang hanya diisi olehnya, suara derap kaki di luar, samar terdengar.

Kemungkinan besar, itu adalah Soonyoung.

Tidak, dapat dipastikan itu Soonyoung.

Karena setelah suara derap kakinya berhenti terdengar, suara khasnya yang berteriak “Jihoonie~” terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan wajah pria yang sudah Jihoon duga.

“Oh, Soonyoung.”

Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Soonyoung memasuki ruangan itu dan menutup pintu. Tanpa ragu, ia langsung menghampiri Jihoon yang tidak bergerak sesenti pun dari meja kerjanya atas kehadiran dirinya.

“Sayang,”

Soonyoung memeluk Jihoon dari belakang, mengalungkan kedua lengannya di leher Sang Kekasih dan bermanja di sana.

Sementara yang dipeluk, tidak ingin kalah, ia membalas afeksi dari pacarnya itu dengan memiringkan dan menyandarkan kepalanya agar menempel pada lengan Soonyoung. Tidak ketinggalan, jari jemari yang semula berkutat dengan papan ketik di atas meja, kini sudah berpindah untuk mengusap lembut telapak tangan yang mengalung bebas di lehernya itu.

“Udah makan?” tanya Soonyoung sambil melepas pelukannya, kemudian pelan-pelan memutar kursi yang diduduki Jihoon agar menghadapnya.

Yang ditanya hanya menggeleng.

“Loh, kan kebiasaan banget.. Lo kalo ga ada gue udah mati kali, nih. Ayo, makan dulu.” ujar Soonyoung sambil meraih pergelangan tangan Jihoon, bermaksud mengajak.

“Bawa apa emang?”

“Burger tiga, french fries big size, sama cola.”

“Oke. Mau pangku sekarang dulu.” pinta Jihoon sambil sedikit mendongak untuk menatap Soonyoung yang berdiri di hadapannya.

Soonyoung menggeleng, “Gue bilang apa tadi di chat?” tanyanya.

Jihoon mengingat sebentar usai pertanyaan dari Soonyoung ia dengar. Setelahnya, ia melepas tangan Soonyoung yang masih memeganginya, sambil berkata, “Males.” kemudian memutar kursinya lagi, kembali menghadap meja kerjanya.

Helaan napas terdengar dari Soonyoung. Ia lantas kembali membalik kursi yang Jihoon duduki dan berjongkok di hadapannya.

“Yaudah abis lo makan aja? Ga tega juga gue ngebiarin anak yang kangen banget sama gue ini. Yuk?”

Jihoon mendengus, namun tetap saja, ia akhirnya bangkit dan berpindah ke tempat duduk yang lebih luas untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Soonyoung.

Ketika Soonyoung sibuk menyiapkan makanan, sebaliknya, Jihoon malah diam dan memerhatikan kekasihnya itu.

“Gimana so far?” tanya Jihoon yang membuat Soonyoung tersenyum sambil menyodorkan burger milik Jihoon.

“Aman. Thanks to you.” jawab Soonyoung.

“Kok gue?? Kalian yang udah kerja keras, kok. Good job, Soon.” ujar Jihoon sambil menepuk pundak Soonyoung, pelan.

“Tapi sepi ga ada lo.”

“Halah, padahal lo terus yang berisik di antara kita-kita.”

“Emang gue doang yang ngerasa sepi, sih, kayanya. Kaya ga ada yang nemenin aja, hahaha..”

You dumb.”

I am, your one and only dummyoung.”

Jihoon hanya tersenyum sambil menggeleng mendengar jawaban Soonyoung. Sambil melanjutkan makannya, mereka terlibat dalam percakapan-percakapan lain.

Anyway, Ji,” Soonyoung mulai memindahkan obrolan. “Hari ini gue ga bisa lama-lama.” sambungnya.

“Masih ada schedule, ya?”

Sadly, yes. Sorry, ya? Gue jadi ga bisa lama-lama dan—”

Ucapan Soonyoung terhenti, Jihoon yang menyelanya.

“Udah, no need to be sorry. Kerja aja yang bener.”

Soonyoung menoleh, menatap Jihoon yang masih menyantap burger yang dipegangnya dengan sesekali mengambil kentang goreng yang berada di atas meja. Merasa diperhatikan, Jihoon akhirnya juga menoleh.

“Apa?” tanya Jihoon, nadanya sedikit menantang.

“Lo kangen gue ga, sih?”

“Iya.”

“Bagus, deh, gue kira gue doang. Soalnya gue gemes banget liat lo ngunyah, manyun-manyun bibirnya gitu.”

“Dasar. Liatin bibir aja terus.”

Mendengar jawaban Jihoon, Soonyoung hanya tertawa. Tentu saja ia tidak bisa menahan untuk tidak merasa gemas kepada laki-laki yang hanya lebih muda 5 bulan darinya ini.

Hingga tak terasa, suap terakhir sudah tiba di mulut Jihoon. Ia menghabiskan dua buah burger yang dibawa Soonyoung beserta kentang goreng porsi besar yang dimakan bersama Soonyoung. Dirinya sudah kenyang, ternyata sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sebelumnya, ia hanya tidak terlalu merasakan rasa laparnya itu.

“Satunya ga lo makan?” tanya Jihoon sambil merapikan bekas makannya.

“Buat lo aja nanti kalo iseng.”

“Oh, oke, thanks.”

Setelahnya, Soonyoung berdiri lebih dulu dari sana dan pergi ke meja kerja Jihoon. Jihoon tidak terlalu memberi perhatian dan ikut bangkit, namun untuk membuang sampah bekas makannya.

Tentu saja ia juga ke meja kerjanya. Ternyata Soonyoung sudah duduk di kursi miliknya dan dengan tangan terbuka, Soonyoung menyilahkan Jihoon untuk melakukan apa yang ia pinta sebelumnya.

Tanpa ragu, tanpa permisi, Jihoon langsung naik ke atas kursi yang sama. Ia duduk di atas pangkuan Soonyoung dan memeluk laki-laki gemini itu. Kepalanya ia sandarkan ke bahu Sang Kekasih, mencari kenyamanan untuk ia rasakan sebentar, sebelum akhirnya kekasihnya ini kembali pergi.

“Tadi kenyang, ga, hm?”

“Huum.”

“Kangen sama Soonyoung, ya?”

“Huum.”

Aigooo..”

Jawaban-jawaban singkat dari Jihoon, lantas tidak membuat Soonyoung merasa kesal, melainkan sebaliknya malah bertambah gemas. Ia mengeratkan pelukan di tubuh Jihoon, sambil sesekali mengusap lembut punggung laki-laki yang sudah berjuang sangat keras itu.

“Abis gue tinggal, jangan lupa istirahat, ya. Burgernya dimakan lagi atau ga makan keluar aja minta temenin siapa, kek. Jangan udah ngurung di dalem sini terus, makan juga telat, tidur kurang, yang ada ga jadi comeback nanti kita kalo produsernya sakit.”

Jihoon mengangkat kepalanya dari sandaran, usai Soonyoung mengucap kalimat yang cukup panjang itu. Masih di atas pangkuan Soonyoung, Jihoon bermaksud membungkam mulut laki-laki yang sedari tadi berisik menasihatinya terus dengan sebuah ciuman.

Kedua bibir itu bertemu sekilas. Jihoon langsung dapat melihat senyum tipis Soonyoung, setelah ia menyudahi perbuatan yang berlangsung tidak lebih dari dua detik itu.

“Tadi gue yang dibilang liatin bibir terus, ternyata lo yang mau ciuman, ya?” tanya Soonyoung sambil sedikit terkekeh.

Sebelum menjawab, Jihoon kembali memeluk, “Ngga. Itu barusan karena lo bawel, berisik.” jawabnya.

Soonyoung hanya kembali tertawa kecil. Ia mencoba melepas pelukan Jihoon dan membawa laki-laki itu kembali duduk tegak seperti sebelumnya.

Tanpa aba-aba lagi, Soonyoung memegang wajah Jihoon. Pelan-pelan memiringkan kepalanya, kemudian meraup bibir tipis kekasih yang sudah menggodanya terlebih dahulu itu.

Waktu terasa melambat, dengan tempo santai yang diberikan Soonyoung pada permainannya. Ia terus bergantian mencium bibir atas, kemudian bawah, sambil sesekali menggigit dan memainkan lidahnya pada lidah Jihoon. Bukan permainan yang menuntut, namun cukup menggairahkan pasangan yang sudah lama tidak meluangkan waktu bersama karena kesibukan masing-masingnya ini.

Dirasa sudah cukup, Soonyoung melepas tautan mereka. Ia menyeka basah di sekitar bibir kekasihnya akibat perbuatan yang dilakukannya barusan.

“Sayang, gue kangen… banget.” ujar Soonyoung, seraya memeluk Jihoon.

Jihoon menepuk pelan puncak kepala Sang Pacar yang sekarang sedang menenggelamkan wajahnya pada leher Sang Produser. Ia menyisir helai surai Soonyoung perlahan, bermaksud memberikan pernyataan yang senada dengan apa yang diucapkan Soonyoung barusan kepadanya.

Dengan suara yang samar dan sedikit terpendam, tanpa merubah posisinya, Soonyoung berucap.

“Jihoonie, abis ini temenin gue rap bentar.”

Jihoon hanya bisa menghela napas mendengar ucapan Soonyoung. Ia lantas mendekap kepala Soonyoung lebih dalam dengan kedua lengan yang penuh dengan otot matang itu. Sementara Soonyoung yang mendapat perlakuan itu hanya tertawa dengan suara yang lagi-lagi teredam.

“Ahahahaha, please head lock me, sir.”

Pukul 3 sore, cahaya matahari masih bersinar. Mereka terlihat menelisik dari sela-sela gorden, menembus jendela ruangan hingga sampai ke dalamnya. Tidak cukup terang, sih, sehingga lampu sebagai penerang, harus dinyalakan untuk mendukung pekerjaan yang masih Jihoon lakukan.

Kira-kira 15 menit setelah pesan dari rekannya, Soonyoung —sekaligus pacarnya, tiba. Dan di kisaran waktu itulah, di tengah heningnya ruang studio yang hanya diisi olehnya, suara derap kaki di luar, samar terdengar.

Kemungkinan besar, itu adalah Soonyoung.

Tidak, dapat dipastikan itu Soonyoung.

Karena setelah suara derap kakinya berhenti terdengar, suara khasnya yang berteriak “Jihoonie~” terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan wajah pria yang sudah Jihoon duga.

“Oh, Soonyoung.”

Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Soonyoung memasuki ruangan itu dan menutup pintu. Tanpa ragu, ia langsung menghampiri Jihoon yang tidak bergerak sesenti pun dari meja kerjanya atas kehadiran dirinya.

“Sayang,”

Soonyoung memeluk Jihoon dari belakang, mengalungkan kedua lengannya di leher Sang Kekasih dan bermanja di sana.

Sementara yang dipeluk, tidak ingin kalah, ia membalas afeksi dari pacarnya itu dengan memiringkan dan menyandarkan kepalanya agar menempel pada lengan Soonyoung. Tidak ketinggalan, jari jemari yang semula berkutat dengan papan ketik di atas meja, kini sudah berpindah untuk mengusap lembut telapak tangan yang mengalung bebas di lehernya itu.

“Udah makan?” tanya Soonyoung sambil melepas pelukannya, kemudian pelan-pelan memutar kursi yang diduduki Jihoon agar menghadapnya.

Yang ditanya hanya menggeleng.

“Loh, kan kebiasaan banget.. Lo kalo ga ada gue udah mati kali, nih. Ayo, makan dulu.” ujar Soonyoung sambil meraih pergelangan tangan Jihoon, bermaksud mengajak.

“Bawa apa emang?”

“Burger tiga, french fries big size, sama cola.”

“Oke. Mau pangku sekarang dulu.” pinta Jihoon sambil sedikit mendongak untuk menatap Soonyoung yang berdiri di hadapannya.

Soonyoung menggeleng, “Gue bilang apa tadi di chat?” tanyanya.

Jihoon mengingat sebentar usai pertanyaan dari Soonyoung ia dengar. Setelahnya, ia melepas tangan Soonyoung yang masih memeganginya, sambil berkata, “Males.” kemudian memutar kursinya lagi, kembali menghadap meja kerjanya.

Helaan napas terdengar dari Soonyoung. Ia lantas kembali membalik kursi yang Jihoon duduki dan berjongkok di hadapannya.

“Yaudah abis lo makan aja? Ga tega juga gue ngebiarin anak yang kangen banget sama gue ini. Yuk?”

Jihoon mendengus, namun tetap saja, ia akhirnya bangkit dan berpindah ke tempat duduk yang lebih luas untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Soonyoung.

Ketika Soonyoung sibuk menyiapkan makanan, sebaliknya, Jihoon malah diam dan memerhatikan kekasihnya itu.

“Gimana so far?” tanya Jihoon yang membuat Soonyoung tersenyum sambil menyodorkan burger milik Jihoon.

“Aman. Thanks to you.” jawab Soonyoung.

“Kok gue?? Kalian yang udah kerja keras, kok. Good job, Soon.” ujar Jihoon sambil menepuk pundak Soonyoung, pelan.

“Tapi sepi ga ada lo.”

“Halah, padahal lo terus yang berisik di antara kita-kita.”

“Emang gue doang yang ngerasa sepi, sih, kayanya. Kaya ga ada yang nemenin aja, hahaha..”

You dumb.”

I am, your one and only dummyoung.”

Jihoon hanya tersenyum sambil menggeleng mendengar jawaban Soonyoung. Sambil melanjutkan makannya, mereka terlibat dalam percakapan-percakapan lain.

Anyway, Ji,” Soonyoung mulai memindahkan obrolan. “Hari ini gue ga bisa lama-lama.” sambungnya.

“Masih ada schedule, ya?”

Sadly, yes. Sorry, ya? Gue jadi ga bisa lama-lama dan—”

Ucapan Soonyoung terhenti, Jihoon yang menyelanya.

“Udah, no need to be sorry. Kerja aja yang bener.”

Soonyoung menoleh, menatap Jihoon yang masih menyantap burger yang dipegangnya dengan sesekali mengambil kentang goreng yang berada di atas meja. Merasa diperhatikan, Jihoon akhirnya juga menoleh.

“Apa?” tanya Jihoon, nadanya sedikit menantang.

“Lo kangen gue ga, sih?”

“Iya.”

“Bagus, deh, gue kira gue doang. Soalnya gue gemes banget liat lo ngunyah, manyun-manyun bibirnya gitu.”

“Dasar. Liatin bibir aja terus.”

Mendengar jawaban Jihoon, Soonyoung hanya tertawa. Tentu saja ia tidak bisa menahan untuk tidak merasa gemas kepada laki-laki yang hanya lebih muda 5 bulan darinya ini.

Tak terasa, suap terakhir sudah tiba di mulut Jihoon. Ia menghabiskan dua buah burger yang dibawa Soonyoung beserta kentang goreng porsi besar yang dimakan bersama Soonyoung. Dirinya sudah kenyang, ternyata sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sebelumnya, ia hanya tidak terlalu merasakan rasa laparnya itu.

“Satunya ga lo makan?” tanya Jihoon sambil merapikan bekas makannya.

“Buat lo aja nanti kalo iseng.”

“Oh, oke, thanks.”

Setelahnya, Soonyoung berdiri lebih dulu dari sana dan pergi ke meja kerja Jihoon. Jihoon tidak terlalu memberi perhatian dan ikut bangkit, namun untuk membuang sampah bekas makannya.

Tentu saja ia juga ke meja kerjanya. Ternyata Soonyoung sudah duduk di kursi miliknya dan dengan tangan terbuka, Soonyoung menyilahkan Jihoon untuk melakukan apa yang ia pinta sebelumnya.

Tanpa ragu, tanpa permisi, Jihoon langsung naik ke atas kursi yang sama. Ia duduk di atas pangkuan Soonyoung dan memeluk laki-laki gemini itu. Kepalanya ia sandarkan ke bahu Sang Kekasih, mencari kenyamanan untuk ia rasakan sebentar, sebelum akhirnya kekasihnya ini kembali pergi.

“Tadi kenyang, ga, hm?”

“Huum.”

“Kangen sama Soonyoung, ya?”

“Huum.”

Aigooo..”

Jawaban-jawaban singkat dari Jihoon, lantas tidak membuat Soonyoung merasa kesal, melainkan sebaliknya malah bertambah gemas. Ia mengeratkan pelukan di tubuh Jihoon, sambil sesekali mengusap lembut punggung laki-laki yang sudah berjuang sangat keras itu.

“Abis gue tinggal, jangan lupa istirahat, ya. Burgernya dimakan lagi atau ga makan keluar aja minta temenin siapa, kek. Jangan udah ngurung di dalem sini terus, makan juga telat, tidur kurang, yang ada ga jadi comeback nanti kita kalo produsernya sakit.”

Jihoon mengangkat kepalanya dari sandaran, usai Soonyoung mengucap kalimat yang cukup panjang itu. Masih di atas pangkuan Soonyoung, Jihoon bermaksud membungkam mulut laki-laki yang sedari tadi berisik menasihatinya terus dengan sebuah ciuman.

Kedua bibir itu bertemu sekilas. Jihoon langsung dapat melihat senyum tipis Soonyoung, setelah ia menyudahi perbuatan yang berlangsung tidak lebih dari dua detik itu.

“Tadi gue yang dibilang liatin bibir terus, ternyata lo yang mau ciuman, ya?” tanya Soonyoung sambil sedikit terkekeh.

Sebelum menjawab, Jihoon kembali memeluk, “Ngga. Itu barusan karena lo bawel, berisik.” jawabnya.

Soonyoung hanya kembali tertawa kecil. Ia mencoba melepas pelukan Jihoon dan membawa laki-laki itu kembali duduk tegak seperti sebelumnya.

Tanpa aba-aba lagi, Soonyoung memegang wajah Jihoon. Pelan-pelan memiringkan kepalanya, kemudian meraup bibir tipis kekasih yang sudah menggodanya terlebih dahulu itu.

Waktu terasa melambat, dengan tempo santai yang diberikan Soonyoung pada permainannya. Ia terus bergantian mencium bibir atas, kemudian bawah, sambil sesekali menggigit dan memainkan lidahnya pada lidah Jihoon. Bukan permainan yang menuntut, namun cukup menggairahkan pasangan yang sudah lama tidak meluangkan waktu bersama karena kesibukan masing-masingnya ini.

Dirasa sudah cukup, Soonyoung melepas tautan mereka. Ia menyeka basah di sekitar bibir kekasihnya akibat perbuatan yang dilakukannya barusan.

“Sayang, gue kangen… banget.” ujar Soonyoung, seraya memeluk Jihoon.

Jihoon menepuk pelan puncak kepala Sang Pacar yang sekarang sedang menenggelamkan wajahnya pada leher Sang Produser. Ia menyisir helai surai Soonyoung perlahan, bermaksud memberikan pernyataan yang senada dengan apa yang diucapkan Soonyoung barusan kepadanya.

Dengan suara yang samar dan sedikit terpendam, tanpa merubah posisinya, Soonyoung berucap.

“Jihoonie, abis ini temenin gue rap bentar.”

Jihoon hanya bisa menghela napas mendengar ucapan Soonyoung. Ia lantas mendekap kepala Soonyoung lebih dalam dengan kedua lengan yang penuh dengan otot matang itu. Sementara Soonyoung yang mendapat perlakuan itu hanya tertawa dengan suara yang lagi-lagi teredam.

“Ahahahaha, please head lock me, sir.”

Pukul 3 sore, cahaya matahari masih bersinar. Mereka terlihat menelisik dari sela-sela gorden, menembus jendela ruangan hingga sampai ke dalamnya. Tidak cukup terang, sih, sehingga lampu sebagai penerang, harus dinyalakan untuk mendukung pekerjaan yang masih Jihoon lakukan.

Kira-kira 15 menit setelah pesan dari rekannya, Soonyoung —sekaligus pacarnya, tiba. Dan di kisaran waktu itulah, di tengah heningnya ruang studio yang hanya diisi olehnya, suara derap kaki di luar, samar terdengar.

Kemungkinan besar, itu adalah Soonyoung.

Tidak, dapat dipastikan itu Soonyoung.

Karena setelah suara derap kakinya berhenti terdengar, suara khasnya yang berteriak “Jihoonie~” terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan wajah pria yang sudah Jihoon duga.

“Oh, Soonyoung.”

Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Soonyoung memasuki ruangan itu dan menutup pintu. Tanpa ragu, ia langsung menghampiri Jihoon yang tidak bergerak sesenti pun dari meja kerjanya atas kehadiran dirinya.

“Sayang,”

Soonyoung memeluk Jihoon dari belakang, mengalungkan kedua lengannya di leher Sang Kekasih dan bermanja di sana.

Sementara yang dipeluk, tidak ingin kalah, ia membalas afeksi dari pacarnya itu dengan memiringkan dan menyandarkan kepalanya agar menempel pada lengan Soonyoung. Tidak ketinggalan, jari jemari yang semula berkutat dengan papan ketik di atas meja, kini sudah berpindah untuk mengusap lembut telapak tangan yang mengalung bebas di lehernya itu.

“Udah makan?” tanya Soonyoung sambil melepas pelukannya, kemudian pelan-pelan memutar kursi yang diduduki Jihoon agar menghadapnya.

Yang ditanya hanya menggeleng.

“Loh, kan kebiasaan banget.. Lo kalo ga ada gue udah mati kali, nih. Ayo, makan dulu.” ujar Soonyoung sambil meraih pergelangan tangan Jihoon, bermaksud mengajak.

“Bawa apa emang?”

“Burger tiga, french fries big size, sama cola.”

“Oke. Mau pangku sekarang dulu.” pinta Jihoon sambil sedikit mendongak untuk menatap Soonyoung yang berdiri di hadapannya.

Soonyoung menggeleng, “Gue bilang apa tadi di chat?” tanyanya.

Jihoon mengingat sebentar usai pertanyaan dari Soonyoung ia dengar. Setelahnya, ia melepas tangan Soonyoung yang masih memeganginya, sambil berkata, “Males.” kemudian memutar kursinya lagi, kembali menghadap meja kerjanya.

Helaan napas terdengar dari Soonyoung. Ia lantas kembali membalik kursi yang Jihoon duduki dan berjongkok di hadapannya.

“Yaudah abis lo makan aja? Ga tega juga gue ngebiarin anak yang kangen banget sama gue ini. Yuk?”

Jihoon mendengus, namun tetap saja, ia akhirnya bangkit dan berpindah ke tempat duduk yang lebih luas untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Soonyoung.

Ketika Soonyoung sibuk menyiapkan makanan, sebaliknya, Jihoon malah diam dan memerhatikan kekasihnya itu.

“Gimana so far?” tanya Jihoon yang membuat Soonyoung tersenyum sambil menyodorkan burger milik Jihoon.

“Aman. Thanks to you.” jawab Soonyoung.

“Kok gue?? Kalian yang udah kerja keras, kok. Good job, Soon.” ujar Jihoon sambil menepuk pundak Soonyoung, pelan.

“Tapi sepi ga ada lo.”

“Halah, padahal lo terus yang berisik di antara kita-kita.”

“Emang gue doang yang ngerasa sepi, sih, kayanya. Kaya ga ada yang nemenin aja, hahaha..”

You dumb.”

I am, your one and only dummyoung.”

Jihoon hanya tersenyum sambil menggeleng mendengar jawaban Soonyoung. Sambil melanjutkan makannya, mereka terlibat dalam percakapan-percakapan lain.

Anyway, Ji,” Soonyoung mulai memindahkan obrolan. “Hari ini gue ga bisa lama-lama.” sambungnya.

“Masih ada schedule, ya?”

Sadly, yes. Sorry, ya? Gue jadi ga bisa lama-lama dan—”

Ucapan Soonyoung terhenti, Jihoon yang menyelanya.

“Udah, no need to be sorry. Kerja aja yang bener.”

Soonyoung menoleh, menatap Jihoon yang masih menyantap burger yang dipegangnya dengan sesekali mengambil kentang goreng yang berada di atas meja. Merasa diperhatikan, Jihoon akhirnya juga menoleh.

“Apa?” tanya Jihoon, nadanya sedikit menantang.

“Lo kangen gue ga, sih?”

“Iya.”

“Bagus, deh, gue kira gue doang. Soalnya gue gemes banget liat lo ngunyah, monyong-monyong bibirnya.”

“Dasar. Liatin bibir aja terus.”

Mendengar jawaban Jihoon, Soonyoung hanya tertawa. Tentu saja ia tidak bisa menahan untuk tidak merasa gemas kepada laki-laki yang hanya lebih muda 5 bulan darinya ini.

Tak terasa, suap terakhir sudah tiba di mulut Jihoon. Ia menghabiskan dua buah burger yang dibawa Soonyoung beserta kentang goreng porsi besar yang dimakan bersama Soonyoung. Dirinya sudah kenyang, ternyata sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sebelumnya, ia hanya tidak terlalu merasakan rasa laparnya itu.

“Satunya ga lo makan?” tanya Jihoon sambil merapikan bekas makannya.

“Buat lo aja nanti kalo iseng.”

“Oh, oke, thanks.”

Setelahnya, Soonyoung berdiri lebih dulu dari sana dan pergi ke meja kerja Jihoon. Jihoon tidak terlalu memberi perhatian dan ikut bangkit, namun untuk membuang sampah bekas makannya.

Tentu saja ia juga ke meja kerjanya. Ternyata Soonyoung sudah duduk di kursi miliknya dan dengan tangan terbuka, Soonyoung menyilahkan Jihoon untuk melakukan apa yang ia pinta sebelumnya.

Tanpa ragu, tanpa permisi, Jihoon langsung naik ke atas kursi yang sama. Ia duduk di atas pangkuan Soonyoung dan memeluk laki-laki gemini itu. Kepalanya ia sandarkan ke bahu Sang Kekasih, mencari kenyamanan untuk ia rasakan sebentar, sebelum akhirnya kekasihnya ini kembali pergi.

“Tadi kenyang, ga, hm?”

“Huum.”

“Kangen sama Soonyoung, ya?”

“Huum.”

Aigooo..”

Jawaban-jawaban singkat dari Jihoon, lantas tidak membuat Soonyoung merasa kesal, melainkan sebaliknya malah bertambah gemas. Ia mengeratkan pelukan di tubuh Jihoon, sambil sesekali mengusap lembut punggung laki-laki yang sudah berjuang sangat keras itu.

“Abis gue tinggal, jangan lupa istirahat, ya. Burgernya dimakan lagi atau ga makan keluar aja minta temenin siapa, kek. Jangan udah ngurung di dalem sini terus, makan juga telat, tidur kurang, yang ada ga jadi comeback nanti kita kalo produsernya sakit.”

Jihoon mengangkat kepalanya dari sandaran, usai Soonyoung mengucap kalimat yang cukup panjang itu. Masih di atas pangkuan Soonyoung, Jihoon bermaksud membungkam mulut laki-laki yang sedari tadi berisik menasihatinya terus dengan sebuah ciuman.

Kedua bibir itu bertemu sekilas. Jihoon langsung dapat melihat senyum tipis Soonyoung, setelah ia menyudahi perbuatan yang berlangsung tidak lebih dari dua detik itu.

“Tadi gue yang dibilang liatin bibir terus, ternyata lo yang mau ciuman, ya?” tanya Soonyoung sambil sedikit terkekeh.

Sebelum menjawab, Jihoon kembali memeluk, “Ngga. Itu barusan karena lo bawel, berisik.” jawabnya.

Soonyoung hanya kembali tertawa kecil. Ia mencoba melepas pelukan Jihoon dan membawa laki-laki itu kembali duduk tegak seperti sebelumnya.

Tanpa aba-aba lagi, Soonyoung memegang wajah Jihoon. Pelan-pelan memiringkan kepalanya, kemudian meraup bibir tipis kekasih yang sudah menggodanya terlebih dahulu itu.

Waktu terasa melambat, dengan tempo santai yang diberikan Soonyoung pada permainannya. Ia terus bergantian mencium bibir atas, kemudian bawah, sambil sesekali menggigit dan memainkan lidahnya pada lidah Jihoon. Bukan permainan yang menuntut, namun cukup menggairahkan pasangan yang sudah lama tidak meluangkan waktu bersama karena kesibukan masing-masingnya ini.

Dirasa sudah cukup, Soonyoung melepas tautan mereka. Ia menyeka basah di sekitar bibir kekasihnya akibat perbuatan yang dilakukannya barusan.

“Sayang, gue kangen… banget.” ujar Soonyoung, seraya memeluk Jihoon.

Jihoon menepuk pelan puncak kepala Sang Pacar yang sekarang sedang menenggelamkan wajahnya pada leher Sang Produser. Ia menyisir helai surai Soonyoung perlahan, bermaksud memberikan pernyataan yang senada dengan apa yang diucapkan Soonyoung barusan kepadanya.

Dengan suara yang samar dan sedikit terpendam, tanpa merubah posisinya, Soonyoung berucap.

“Jihoonie, abis ini temenin gue rap bentar.”

Jihoon hanya bisa menghela napas mendengar ucapan Soonyoung. Ia lantas mendekap kepala Soonyoung lebih dalam dengan kedua lengan yang penuh dengan otot matang itu. Sementara Soonyoung yang mendapat perlakuan itu hanya tertawa dengan suara yang lagi-lagi teredam.

“Ahahahaha, please head lock me, sir.”

Pukul 3 sore, cahaya matahari masih bersinar. Mereka terlihat menelisik dari sela-sela gorden, menembus jendela ruangan hingga sampai ke dalamnya. Tidak cukup terang, sih, sehingga lampu sebagai penerang, harus dinyalakan untuk mendukung pekerjaan yang masih Jihoon lakukan.

Kira-kira 15 menit setelah pesan dari rekannya, Soonyoung —sekaligus pacarnya, tiba. Dan di kisaran waktu itulah, di tengah heningnya ruang studio yang hanya diisi olehnya, suara derap kaki di luar, samar terdengar.

Kemungkinan besar, itu adalah Soonyoung.

Tidak, dapat dipastikan itu Soonyoung.

Karena setelah suara derap kakinya berhenti terdengar, suara khasnya yang berteriak “Jihoonie~” terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan wajah pria yang sudah Jihoon duga.

“Oh, Soonyoung.”

Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Soonyoung memasuki ruangan itu dan menutup pintu. Tanpa ragu, ia langsung menghampiri Jihoon yang tidak bergerak sesenti pun dari meja kerjanya atas kehadiran dirinya.

“Sayang,”

Soonyoung memeluk Jihoon dari belakang, mengalungkan kedua lengannya di leher Sang Kekasih dan bermanja di sana.

Sementara yang dipeluk, tidak ingin kalah, ia membalas afeksi dari pacarnya itu dengan memiringkan dan menyandarkan kepalanya agar menempel pada lengan Soonyoung. Tidak ketinggalan, jari jemari yang semula berkutat dengan papan ketik di atas meja, kini sudah berpindah untuk mengusap lembut telapak tangan yang mengalung bebas di lehernya itu.

“Udah makan?” tanya Soonyoung sambil melepas pelukannya, kemudian pelan-pelan memutar kursi yang diduduki Jihoon agar menghadapnya.

Yang ditanya hanya menggeleng.

“Loh, kan kebiasaan banget.. Lo kalo ga ada gue udah mati kali, nih. Ayo, makan dulu.” ujar Soonyoung sambil meraih pergelangan tangan Jihoon, bermaksud mengajak.

“Bawa apa emang?”

“Burger tiga, french fries big size, sama cola.”

“Oke. Mau pangku sekarang dulu.” pinta Jihoon sambil sedikit mendongak untuk menatap Soonyoung yang berdiri di hadapannya.

Soonyoung menggeleng, “Gue bilang apa tadi di chat?” tanyanya.

Jihoon mengingat sebentar usai pertanyaan dari Soonyoung ia dengar. Setelahnya, ia melepas tangan Soonyoung yang masih memeganginya, sambil berkata, “Males.” kemudian memutar kursinya lagi, kembali menghadap meja kerjanya.

Helaan napas terdengar dari Soonyoung. Ia lantas kembali membalik kursi yang Jihoon duduki dan berjongkok di hadapannya.

“Yaudah abis lo makan aja? Ga tega juga gue ngebiarin anak yang kangen banget sama gue ini. Yuk?”

Jihoon mendengus, namun tetap saja, ia akhirnya bangkit dan berpindah ke tempat duduk yang lebih luas untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Soonyoung.

Ketika Soonyoung sibuk menyiapkan makanan, sebaliknya, Jihoon malah diam dan memerhatikan kekasihnya itu.

“Gimana so far?” tanya Jihoon yang membuat Soonyoung tersenyum sambil menyodorkan burger milik Jihoon.

“Aman. Thanks to you.” jawab Soonyoung.

“Kok gue?? Kalian yang udah kerja keras, kok. Good job, Soon.” ujar Jihoon sambil menepuk pundak Soonyoung, pelan.

“Tapi sepi ga ada lo.”

“Padahal lo terus yang berisik di antara kita-kita.”

“Emang gue doang yang ngerasa sepi. Kaya ga ada yang nemenin aja, haha.”

You dumb.”

I am, your one and only dummyoung.”

Jihoon hanya tersenyum sambil menggeleng mendengar jawaban Soonyoung. Sambil melanjutkan makannya, mereka terlibat dalam percakapan-percakapan lain.

Anyway, Ji,” Soonyoung mulai memindahkan obrolan. “Hari ini gue ga bisa lama-lama.” sambungnya.

“Masih ada schedule, ya?”

Sadly, yes. Sorry, ya? Gue jadi ga bisa lama-lama dan—”

Ucapan Soonyoung terhenti, Jihoon yang menyelanya.

“Udah, no need to be sorry. Kerja aja yang bener.”

Soonyoung menoleh, menatap Jihoon yang masih menyantap burger yang dipegangnya dengan sesekali mengambil kentang goreng yang berada di atas meja. Merasa diperhatikan, Jihoon akhirnya juga menoleh.

“Apa?” tanya Jihoon, nadanya sedikit menantang.

“Lo kangen gue ga, sih?”

“Iya.”

“Bagus, deh, gue kira gue doang. Soalnya gue gemes banget liat lo ngunyah, monyong-monyong bibirnya.”

“Dasar. Liatin bibir aja terus.”

Mendengar jawaban Jihoon, Soonyoung hanya tertawa. Tentu saja ia tidak bisa menahan untuk tidak merasa gemas kepada laki-laki yang hanya lebih muda 5 bulan darinya ini.

Tak terasa, suap terakhir sudah tiba di mulut Jihoon. Ia menghabiskan dua buah burger yang dibawa Soonyoung beserta kentang goreng porsi besar yang dimakan bersama Soonyoung. Dirinya sudah kenyang, ternyata sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sebelumnya, ia hanya tidak terlalu merasakan rasa laparnya itu.

“Satunya ga lo makan?” tanya Jihoon sambil merapikan bekas makannya.

“Buat lo aja nanti kalo iseng.”

“Oh, oke, thanks.”

Setelahnya, Soonyoung berdiri lebih dulu dari sana dan pergi ke meja kerja Jihoon. Jihoon tidak terlalu memberi perhatian dan ikut bangkit, namun untuk membuang sampah bekas makannya.

Tentu saja ia juga ke meja kerjanya. Ternyata Soonyoung sudah duduk di kursi miliknya dan dengan tangan terbuka, Soonyoung menyilahkan Jihoon untuk melakukan apa yang ia pinta sebelumnya.

Tanpa ragu, tanpa permisi, Jihoon langsung naik ke atas kursi yang sama. Ia duduk di atas pangkuan Soonyoung dan memeluk laki-laki gemini itu. Kepalanya ia sandarkan ke bahu Sang Kekasih, mencari kenyamanan untuk ia rasakan sebentar, sebelum akhirnya kekasihnya ini kembali pergi.

“Tadi kenyang, ga, hm?”

“Huum.”

“Kangen sama Soonyoung, ya?”

“Huum.”

Aigooo..”

Jawaban-jawaban singkat dari Jihoon, lantas tidak membuat Soonyoung merasa kesal, melainkan sebaliknya malah bertambah gemas. Ia mengeratkan pelukan di tubuh Jihoon, sambil sesekali mengusap lembut punggung laki-laki yang sudah berjuang sangat keras itu.

“Abis gue tinggal, jangan lupa istirahat, ya. Burgernya dimakan lagi atau ga makan keluar aja minta temenin siapa, kek. Jangan udah ngurung di dalem sini terus, makan juga telat, tidur kurang, yang ada ga jadi comeback nanti kita kalo produsernya sakit.”

Jihoon mengangkat kepalanya dari sandaran, usai Soonyoung mengucap kalimat yang cukup panjang itu. Masih di atas pangkuan Soonyoung, Jihoon bermaksud membungkam mulut laki-laki yang sedari tadi berisik menasihatinya terus dengan sebuah ciuman.

Kedua bibir itu bertemu sekilas. Jihoon langsung dapat melihat senyum tipis Soonyoung, setelah ia menyudahi perbuatan yang berlangsung tidak lebih dari dua detik itu.

“Tadi gue yang dibilang liatin bibir terus, ternyata lo yang mau ciuman, ya?” tanya Soonyoung sambil sedikit terkekeh.

Sebelum menjawab, Jihoon kembali memeluk, “Ngga. Itu barusan karena lo bawel, berisik.” jawabnya.

Soonyoung hanya kembali tertawa kecil. Ia mencoba melepas pelukan Jihoon dan membawa laki-laki itu kembali duduk tegak seperti sebelumnya.

Tanpa aba-aba lagi, Soonyoung memegang wajah Jihoon. Pelan-pelan memiringkan kepalanya, kemudian meraup bibir tipis kekasih yang sudah menggodanya terlebih dahulu itu.

Waktu terasa melambat, dengan tempo santai yang diberikan Soonyoung pada permainannya. Ia terus bergantian mencium bibir atas, kemudian bawah, sambil sesekali menggigit dan memainkan lidahnya pada lidah Jihoon. Bukan permainan yang menuntut, namun cukup menggairahkan pasangan yang sudah lama tidak meluangkan waktu bersama karena kesibukan masing-masingnya ini.

Dirasa sudah cukup, Soonyoung melepas tautan mereka. Ia menyeka basah di sekitar bibir kekasihnya akibat perbuatan yang dilakukannya barusan.

“Sayang, gue kangen… banget.” ujar Soonyoung, seraya memeluk Jihoon.

Jihoon menepuk pelan puncak kepala Sang Pacar yang sekarang sedang menenggelamkan wajahnya pada leher Sang Produser. Ia menyisir helai surai Soonyoung perlahan, bermaksud memberikan pernyataan yang senada dengan apa yang diucapkan Soonyoung barusan kepadanya.

Dengan suara yang samar dan sedikit terpendam, tanpa merubah posisinya, Soonyoung berucap.

“Jihoonie, abis ini temenin gue rap bentar.”

Jihoon hanya bisa menghela napas mendengar ucapan Soonyoung. Ia lantas mendekap kepala Soonyoung lebih dalam dengan kedua lengan yang penuh dengan otot matang itu. Sementara Soonyoung yang mendapat perlakuan itu hanya tertawa dengan suara yang lagi-lagi teredam.

“Ahahahaha, please head lock me, sir.”

Soonyoung masih setia berdiri di depan pintu rumah Jihoon, dengan motornya yang terparkir di halaman depan yang tidak begitu luas. Tangannya masih memegang ponselnya, sesekali mengeceknya, barangkali ada balasan dari ruang obrolan yang dimulainya beberapa menit yang lalu kepada Si Tuan Rumah.

Detik berjalan menit, menit juga terus berjalan. Namun panggilannya ke Sang Pemilik Rumah sekaligus kekasihnya itu tak kunjung membuahkan hasil. Itu membuat Soonyoung semakin yakin bahwa Jihoon sedang tidak berada di rumah atau.. dia betul-betul marah kepadanya.

Tangkai bunga mawar putih yang dibawanya seolah ikut layu, bersamaan dengan perasaannya yang semakin tidak karuan. Ia tahu persis ini kesalahannya, namun ia tidak menyangka bahwa hal inilah yang akan membawa mereka ke perpisahan. Tidak, itu baru pikiran terburuk Soonyoung. Ia takut, khawatir, cemas, dan entah kata apalagi yang bisa menggambarkan perasaannya sore ini untuk bertemu dengan Jihoon dan membahas kelanjutan dari hubungan mereka.

Namun berkat kesabarannya, akhirnya penantian Sonyoung tiba pada akhirnya. Sebuah taksi memarkirkan diri di depan pintu gerbang dan terlihatlah sosok yang sedari tadi Soonyoung tunggu kehadirannya. Lelakinya yang sudah ia rindukan sejak lama, juga lelakinya yang sempat ia buat kesal dan sedih karena perlakuan bodoh dirinya tempo hari lalu.

Jihoon mendekat— tepatnya ke arah pintu yang memang berada di dekat tempat Soonyoung berdiri. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, hampir sama seperti ketika ia menembak Jihoon hari itu. Meskipun yang hari ini, perasaan khawatir lebih mendominasinya.

“Hai, Jihoon.. kamu abis dari mana?” Soonyoung menginisiasi pertanyaan, kepada Jihoon yang kini tengah membuka pintu rumahnya.

“Rumah sakit.” jawab Jihoon singkat.

Mendengarnya, mata Soonyoung semakin terbuka lebar. Ia terkejut karena sudah sejauh ini ia dari Jihoon, bahkan ketika Jihoon sakit pun ia tidak mengetahuinya.

“Sakit? Kamu pasti kecapekan..”

“Banyak pikiran juga. Kamu apa kabar? Udah sembuh?”

Pertanyaan Jihoon tidak langsung dijawab Soonyoung karena Soonyoung yang bingung dengan maksud pertanyaan itu.

“Aku ga sakit.. dan ga ada bilang sakit juga ke kamu akhir-akhir ini..”

Not physically, sih. Ada apa?”

Oh, bentuk sarkas Jihoon. Jihoon-nya yang memang selalu apa adanya, jujur, dan spontan terhadap apa yang dirasakannya. Harusnya Soonyoung lebih mengerti bahwa semuanya juga kembali merujuk kepada dirinya beberapa hari yang lalu.

“Aku mau ngomong sama kamu. Tapi karena kamu sakit, jadi ditunda aja kayanya gapapa. Aku jagain kamu hari ini... boleh?” tanya Soonyoung ragu.

Tanpa menjawab, Jihoon malah langsung masuk ke dalam rumahnya yang sudah terbuka, tanpa menutup pintunya. Melihat itu, Soonyoung mengira bahwa Jihoon menyilahkannya untuk masuk dan menemaninya. Ya, semoga ini awal yang baik untuk mereka memulai kembali.

“Duduk aja, gausah kaya ga pernah ke sini, deh.” ucap Jihoon ketika keduanya sudah berada di dalam, melihat Soonyoung yang hanya berdiri diam, bingung.

“I.. iya. Jihoon, tapi kamu mau istirahat sekarang, kah? Atau mau makan dulu?”

Jihoon menggeleng, “Ngga, aku udah makan di luar sebelum pulang tadi dan sekarang mau minum obat aja. Gatau abis minum obat bakalan tidur atau ngga. Omongin sekarang aja kalo ada yang mau diomongin, sebelum aku lanjut tidur.” ujar Jihoon panjang.

Setelahnya, Soonyoung menghirup napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia menepuk ruang kosong di sebelahnya agar Jihoon duduk di sana, di sampingnya. Dan tanpa banyak kata-kata, Jihoon hanya menurut, yang membuat mereka kini duduk berhadapan di atas sofa ruang tengah rumah Jihoon.

“Aku mau minta maaf.”

“Beneran udah sembuh?” Jihoon menanyakan pertanyaan yang sama, yang dijawab oleh anggukan Soonyoung.

“Kemarin kenapa? Naksir lagi sama mantan?”

Soonyoung yang sebelumnya sedikit tertunduk, perlahan mengangkat kepalanya. Meski sedikit ragu dan malu, ia berusaha mengungkapkan dan menceritakan kepada kekasihnya yang sudah menunggu jawaban darinya ini.

“Aku sadar, I didn't miss him, but our memories. Setelah aku sadar beberapa hari tanpa kamu and was kinda more intense with him, karena event ini juga, aku akhirnya sadar kalo dia emang udah ga sama dan ga akan bisa penuhi standarku apalagi yang udah penuh sama kamu. Waktu kamu pecah emosi hari itu, aku sadar aku bener-bener bodoh, meskipun aku bersyukur karena udah berani jujur dan bener aja responsmu begitu.” jelas Soonyoung.

“Begitu gimana?”

“Kamu ga langsung putusin aku dan malah kasih aku waktu buat mikir. I was totally a fool. Bisa-bisanya ga sadar udah disayang sama orang kaya kamu..”

“Kamu pikir aku pacaran cuma buat seneng-seneng terus putus?”

I don't think so, kaya bukan kamu..”

“Iya. Jadi aku berusaha sebisa mungkin buat kendaliin diriku dan ngasih waktu buat kita sama-sama introspeksi diri. Mungkin bukan kamu yang sepenuhnya salah, aku juga gabisa di sana selalu pas kamu sibuk dan capek, jadi.. ya sebenernya balik lagi gimana kita handle diri kita yang sama-sama capek dan gabisa dateng buat satu sama lain.”

Soonyoung mengangguk, kemudian meraih telapak tangan Jihoon.

“Maafin aku, ya? Ayo kita baikan.”

“Aku ga pernah marah sama kamu.”

“Bohong.”

“Cuma segini.” kata Jihoon sambil menunjukkan ibu jari dan telunjuknya yang hampir mengatup rapat ke depan wajah Soonyoung. Keduanya tertawa setelahnya, kemudian berakhir dengan Soonyoung yang memeluk Jihoon.

“Ngapain peluk-peluk? Ga malu?”

Mengabaikan pertanyaan Jihoon, “Badan kamu anget, ih.” jawab Soonyoung.

“Iya, aku meriang, demam nih.”

“Merindukan kasih sayang?”

“Itu salah satunya.”

Keduanya terkekeh setelah mendengar pengakuan Jihoon. Soonyoung yang masih sangat rindu dan merasa bersalah kepada kekasihnya ini, perlahan melepas pelukannya dan berganti mengecup kening Sang Kekasih. Jihoon hanya terdiam, menerima perlakuan Lelaki-nya yang sudah lama tidak ia jumpai, hingga kecupan itu berpindah ke bibir dan perlahan berubah menjadi ciuman.

Tapi tidak berlangsung lama. Begitu Soonyoung memulai, ia juga yang langsung menghentikannya dalam sekejap, membuat Jihoon sedikit kecewa dan seolah memberikan tanda tanya di atas kepalanya.

“Mulut kamu, napas kamu panas. It feels weird— aduh!”

Belum selesai Soonyoung berkomentar, Jihoon malah meninju pelan bahu kekasihnya itu yang membuat keduanya kembali tertawa. Jihoon memang sedang demam, jadi wajar saja jika mulut dan napas yang keluar darinya menjadi panas.

“Jahat, kamu.”

“Kaya naga.”

“Gausah cium-cium aku.”

“Halah, mana bisa? Pasti kamu kangen banget sama bibirku. Sini aku pelukin aja, sama cium pipi, jidat, mata, idung kamu biar cepet sembuh.”


Soonyoung masih setia berdiri di depan pintu rumah Jihoon, dengan motornya yang terparkir di halaman depan yang tidak begitu luas. Tangannya masih memegang ponselnya, sesekali mengeceknya, barangkali ada balasan dari ruang obrolan yang dimulainya beberapa menit yang lalu kepada Si Tuan Rumah.

Detik berjalan menit, menit juga terus berjalan. Namun panggilannya ke Sang Pemilik Rumah sekaligus kekasihnya itu tak kunjung membuahkan hasil. Itu membuat Soonyoung semakin yakin bahwa Jihoon sedang tidak berada di rumah atau.. dia betul-betul marah kepadanya.

Tangkai bunga mawar putih yang dibawanya seolah ikut layu, bersamaan dengan perasaannya yang semakin tidak karuan. Ia tahu persis ini kesalahannya, namun ia tidak menyangka bahwa hal inilah yang akan membawa mereka ke perpisahan. Tidak, itu baru pikiran terburuk Soonyoung. Ia takut, khawatir, cemas, dan entah kata apalagi yang bisa menggambarkan perasaannya sore ini untuk bertemu dengan Jihoon dan membahas kelanjutan dari hubungan mereka.

Namun berkat kesabarannya, akhirnya penantian Sonyoung tiba pada akhirnya. Sebuah taksi memarkirkan diri di depan pintu gerbang dan terlihatlah sosok yang sedari tadi Soonyoung tunggu kehadirannya. Lelakinya yang sudah ia rindukan sejak lama, juga lelakinya yang sempat ia buat kesal dan sedih karena perlakuan bodoh dirinya tempo hari lalu.

Jihoon mendekat— tepatnya ke arah pintu yang memang berada di dekat tempat Soonyoung berdiri. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, hampir sama seperti ketika ia menembak Jihoon hari itu. Meskipun yang hari ini, perasaan khawatir lebih mendominasinya.

“Hai, Jihoon.. kamu abis dari mana?” Soonyoung menginisiasi pertanyaan, kepada Jihoon yang kini tengah membuka pintu rumahnya.

“Rumah sakit.” jawab Jihoon singkat.

Mendengarnya, mata Soonyoung semakin terbuka lebar. Ia terkejut karena sudah sejauh ini ia dari Jihoon, bahkan ketika Jihoon sakit pun ia tidak mengetahuinya.

“Sakit? Kamu pasti kecapekan..”

“Banyak pikiran juga. Kamu apa kabar? Udah sembuh?”

Pertanyaan Jihoon tidak langsung dijawab Soonyoung karena Soonyoung yang bingung dengan maksud pertanyaan itu.

“Aku ga sakit.. dan ga ada bilang sakit juga ke kamu akhir-akhir ini..”

Not physically, sih. Ada apa?”

Oh, bentuk sarkas Jihoon. Jihoon-nya yang memang selalu apa adanya, jujur, dan spontan terhadap apa yang dirasakannya. Harusnya Soonyoung lebih mengerti bahwa semuanya juga kembali merujuk kepada dirinya beberapa hari yang lalu.

“Aku mau ngomong sama kamu. Tapi karena kamu sakit, jadi ditunda aja kayanya gapapa. Aku jagain kamu hari ini... boleh?” tanya Soonyoung ragu.

Tanpa menjawab, Jihoon malah langsung masuk ke dalam rumahnya yang sudah terbuka, tanpa menutup pintunya. Melihat itu, Soonyoung mengira bahwa Jihoon menyilahkannya untuk masuk dan menemaninya. Ya, semoga ini awal yang baik untuk mereka memulai kembali.

“Duduk aja, gausah kaya ga pernah ke sini, deh.” ucap Jihoon ketika keduanya sudah berada di dalam, di ruang tengah.

“I.. iya. Jihoon, tapi kamu mau istirahat sekarang, kah? Atau mau makan dulu?”

Jihoon menggeleng, “Ngga, aku udah makan di luar sebelum pulang tadi dan sekarang mau minum obat aja. Gatau abis minum obat bakalan tidur atau ngga. Omongin sekarang aja kalo ada yang mau diomongin, sebelum aku lanjut tidur.” ujar Jihoon panjang.

Setelahnya, Soonyoung menghirup napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia menepuk ruang kosong di sebelahnya agar Jihoon duduk di sana, di sampingnya. Dan tanpa banyak kata-kata, Jihoon hanya menurut, yang membuat mereka kini duduk berhadapan di atas sofa ruang tengah rumah Jihoon.

“Aku mau minta maaf.”

“Beneran udah sembuh?” Jihoon menanyakan pertanyaan yang sama, yang dijawab oleh anggukan Soonyoung.

“Kemarin kenapa? Naksir lagi sama Mingyu?”

Soonyoung yang sebelumnya sedikit tertunduk, perlahan mengangkat kepalanya. Meski sedikit ragu dan malu, ia berusaha mengungkapkan dan menceritakan kepada kekasihnya yang sudah menunggu jawaban darinya ini.

“Aku sadar, I didn't miss him. I miss our memories. Setelah aku sadar beberapa hari tanpa kamu and was kinda more intense with him karena event ini, aku akhirnya sadar kalo dia emang udah ga sama dan ga akan bisa penuhi standarku yang udah penuh sama kamu. Waktu kamu pecah emosi hari itu, aku sadar aku bener-bener bodoh, meskipun aku bersyukur karena udah berani jujur dan bener aja responsmu begitu.” jelas Soonyoung.

“Begitu gimana?”

“Kamu ga langsung putusin aku dan malah kasih aku waktu buat mikir. I was totally a fool. Bisa-bisanya ga sadar udah disayang sama orang kaya kamu..”

“Kamu pikir aku pacaran cuma buat seneng-seneng terus putus?”

“Ngga..”

“Iya. Jadi aku berusaha sebisa mungkin buat kendaliin diriku dan ngasih waktu buat kita sama-sama introspeksi diri.”

Soonyoung mengangguk, kemudian meraih telapak tangan Jihoon.

“Baikan, ya?”

“Aku ga pernah marah sama kamu.”

“Bohong.”

“Cuma segini.” kata Jihoon sambil menunjukkan ibu jari dan telunjuknya yang hampir mengatup rapat ke depan wajah Soonyoung. Keduanya tertawa setelahnya, kemudian berakhir dengan Soonyoung yang memeluk Jihoon.

“Ngapain peluk-peluk?”

“Badan kamu anget, ih.”

“Iya, aku meriang, demam nih.”

“Merindukan kasih sayang?”

“Itu salah satunya.”

Keduanya tertawa pelan setelah itu. Soonyoung yang masih sangat rindu dan merasa bersalah kepada kekasihnya ini, perlahan melepas pelukannya dan berganti mengecup bibir Sang Kekasih. Jihoon hanya terdiam, menerima perlakuan Lelaki-nya yang sudah lama tidak ia jumpai, hingga kecupan itu perlahan berubah menjadi ciuman.

Tapi tidak berlangsung lama. Begitu Soonyoung memulai, ia juga yang langsung menghentikannya, membuat Jihoon sedikit kecewa dan seolah memberikan tanda tanya di atas kepalanya.

“Mulut kamu, napas kamu panas. It feels weird— aduh!”

Belum selesai Soonyoung berkomentar, Jihoon malah meninju pelan bahu kekasihnya itu, yang membuat keduanya tertawa. Jihoon memang sedang demam, jadi wajar saja jika mulut dan napas yang keluar darinya menjadi panas.

“Jahat, kamu.”

“Itu aku jujur, loh.. aku peluk sama cium-cium pipi kamu aja, ya. Sini-sini..”


Soonyoung masih setia berdiri di depan pintu rumah Jihoon, dengan motornya yang terparkir di halaman depan yang tidak begitu luas. Tangannya masih memegang ponselnya, sesekali mengeceknya, barangkali ada balasan dari ruang obrolan yang dimulainya beberapa menit yang lalu kepada Si Tuan Rumah.

Detik berjalan menit, menit juga terus berjalan. Namun panggilannya ke Sang Pemilik Rumah sekaligus kekasihnya itu tak kunjung membuahkan hasil. Itu membuat Soonyoung semakin yakin bahwa Jihoon sedang tidak berada di rumah atau.. dia betul-betul marah kepadanya.

Tangkai bunga mawar putih yang dibawanya seolah ikut layu, bersamaan dengan perasaannya yang semakin tidak karuan. Ia tahu persis ini kesalahannya, namun ia tidak menyangka bahwa hal inilah yang akan membawa mereka ke perpisahan. Tidak, itu baru pikiran terburuk Soonyoung. Ia takut, khawatir, cemas, dan entah kata apalagi yang bisa menggambarkan perasaannya sore ini untuk bertemu dengan Jihoon dan membahas kelanjutan dari hubungan mereka.

Namun berkat kesabarannya, akhirnya penantian Sonyoung tiba pada akhirnya. Sebuah taksi memarkirkan diri di depan pintu gerbang dan terlihatlah sosok yang sedari tadi Soonyoung tunggu kehadirannya. Lelakinya yang sudah ia rindukan sejak lama, juga lelakinya yang sempat ia buat kesal dan sedih karena perlakuan bodoh dirinya tempo hari lalu.

Jihoon mendekat— tepatnya ke arah pintu yang memang berada di dekat tempat Soonyoung berdiri. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, namun hampir sama seperti ketika ia menembak Jihoon hari itu. Meskipun yang hari ini, perasaan khawatir lebih mendominasinya.

“Hai, Jihoon.. kamu abis dari mana?” Soonyoung menginisiasi pertanyaan, kepada Jihoon yang kini tengah membuka pintu rumahnya.

“Rumah sakit.” jawab Jihoon singkat.

Mendengarnya, mata Soonyoung semakin terbuka lebar. Ia terkejut karena sudah sejauh ini ia dari Jihoon, bahkan ketika Jihoon sakit pun ia tidak mengetahuinya.

“Sakit? Kamu pasti kecapekan..”

“Banyak pikiran juga. Kamu apa kabar? Udah sembuh?”

Pertanyaan Jihoon tidak langsung dijawab Soonyoung karena Soonyoung yang bingung dengan maksud pertanyaan itu.

“Aku ga sakit.. dan ga ada bilang sakit juga ke kamu akhir-akhir ini..”

Not physically, sih. Ada apa?”

Oh, bentuk sarkas Jihoon. Jihoon-nya yang memang selalu apa adanya, jujur, dan spontan terhadap apa yang dirasakannya. Harusnya Soonyoung lebih mengerti bahwa semuanya juga kembali merujuk kepada dirinya beberapa hari yang lalu.

“Aku mau ngomong sama kamu. Tapi karena kamu sakit, jadi ditunda aja kayanya gapapa. Aku jagain kamu hari ini... boleh?” tanya Soonyoung ragu.

Tanpa menjawab, Jihoon malah langsung masuk ke dalam rumahnya yang sudah terbuka, tanpa menutup pintunya. Melihat itu, Soonyoung mengira bahwa Jihoon menyilahkannya untuk masuk dan menemaninya. Ya, semoga ini awal yang baik untuk mereka memulai kembali.

“Duduk aja, gausah kaya ga pernah ke sini, deh.” ucap Jihoon ketika keduanya sudah berada di dalam, di ruang tengah.

“I.. iya. Jihoon, tapi kamu mau istirahat sekarang, kah? Atau mau makan dulu?”

Jihoon menggeleng, “Ngga, aku udah makan di luar sebelum pulang tadi dan sekarang mau minum obat aja. Gatau abis minum obat bakalan tidur atau ngga. Omongin sekarang aja kalo ada yang mau diomongin, sebelum aku lanjut tidur.” ujar Jihoon panjang.

Setelahnya, Soonyoung menghirup napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia menepuk ruang kosong di sebelahnya agar Jihoon duduk di sana, di sampingnya. Dan tanpa banyak kata-kata, Jihoon hanya menurut, yang membuat mereka kini duduk berhadapan di atas sofa ruang tengah rumah Jihoon.

“Aku mau minta maaf.”

“Beneran udah sembuh?” Jihoon menanyakan pertanyaan yang sama, yang dijawab oleh anggukan Soonyoung.

“Kemarin kenapa? Naksir lagi sama Mingyu?”

Soonyoung yang sebelumnya sedikit tertunduk, perlahan mengangkat kepalanya. Meski sedikit ragu dan malu, ia berusaha mengungkapkan dan menceritakan kepada kekasihnya yang sudah menunggu jawaban darinya ini.

“Aku sadar, I didn't miss him. I miss our memories. Setelah aku sadar beberapa hari tanpa kamu and was kinda more intense with him karena event ini, aku akhirnya sadar kalo dia emang udah ga sama dan ga akan bisa penuhi standarku yang udah penuh sama kamu. Waktu kamu pecah emosi hari itu, aku sadar aku bener-bener bodoh, meskipun aku bersyukur karena udah berani jujur dan bener aja responsmu begitu.” jelas Soonyoung.

“Begitu gimana?”

“Kamu ga langsung putusin aku dan malah kasih aku waktu buat mikir. I was totally a fool. Bisa-bisanya ga sadar udah disayang sama orang kaya kamu..”

“Kamu pikir aku pacaran cuma buat seneng-seneng terus putus?”

“Ngga..”

“Iya. Jadi aku berusaha sebisa mungkin buat kendaliin diriku dan ngasih waktu buat kita sama-sama introspeksi diri.”

Soonyoung mengangguk, kemudian meraih telapak tangan Jihoon.

“Baikan, ya?”

“Aku ga pernah marah sama kamu.”

“Bohong.”

“Cuma segini.” kata Jihoon sambil menunjukkan ibu jari dan telunjuknya yang hampir mengatup rapat ke depan wajah Soonyoung. Keduanya tertawa setelahnya, kemudian berakhir dengan Soonyoung yang memeluk Jihoon.

“Ngapain peluk-peluk?”

“Badan kamu anget, ih.”

“Iya, aku meriang, demam nih.”

“Merindukan kasih sayang?”

“Itu salah satunya.”

Keduanya tertawa pelan setelah itu. Soonyoung yang masih sangat rindu dan merasa bersalah kepada kekasihnya ini, perlahan melepas pelukannya dan berganti mengecup bibir Sang Kekasih. Jihoon hanya terdiam, menerima perlakuan Lelaki-nya yang sudah lama tidak ia jumpai, hingga kecupan itu perlahan berubah menjadi ciuman.

Tapi tidak berlangsung lama. Begitu Soonyoung memulai, ia juga yang langsung menghentikannya, membuat Jihoon sedikit kecewa dan seolah memberikan tanda tanya di atas kepalanya.

“Mulut kamu, napas kamu panas. It feels weird— aduh!”

Belum selesai Soonyoung berkomentar, Jihoon malah meninju pelan bahu kekasihnya itu, yang membuat keduanya tertawa. Jihoon memang sedang demam, jadi wajar saja jika mulut dan napas yang keluar darinya menjadi panas.

“Jahat, kamu.”

“Itu aku jujur, loh.. aku peluk sama cium-cium pipi kamu aja, ya. Sini-sini..”


Hari ini 15 Januari dan Soonyoung harus menunggu.

15 Januari, dua tahun yang lalu tepatnya, adalah hari di mana Jihoon mengungkapkan perasaannya kepada Soonyoung setelah Soonyoung memendam perasaan yang sama setelah beberapa waktu. Tidak menyangka, hari itu penantiannya membuahkan hasil. Ia yang sebelumnya berniat menyatakan perasaannya duluan, malah harus mendapat pernyataan itu dari orang yang disukainya lebih dulu.

“Jihoon..”

Sederhana, sih, tidak ada yang perlu dipermasalahkan juga, karena toh kalau mereka memang saling suka, siapapun yang menyatakan duluan, mereka akan tetap berakhir bersama seperti hari ini.

“Sebentar, Young.”

Di dua tahun setelahnya dan tepatnya hari ini, mereka masih bersama sebagai sepasang kekasih, terikat dalam suatu hubungan yang memang dihendaki oleh keduanya.

Dan hari ini juga, mereka berniat merayakan itu.

Bukan sebuah perayaan besar, sih, mereka hanya akan menghabiskan waktu bersama saja. Setidaknya setelah hampir sebulanan ini mereka jarang ngobrol atau sekedar peluk cium biasa, yang tentu saja karena proyeknya ini.

Namun sayangnya, sangat disayangkan, Soonyoung malah harus menunggu lelakinya itu menyelesaikan pekerjaannya yang sudah mepet deadline. Pekerjaan sebagai produser ini mengharuskan dirinya untuk meminta sedikit waktu di hari jadi mereka untuk berkelut dengan seperangkat peralatan compose-nya, yang berakibat pada Soonyoung yang merasa diabaikan.

Meskipun begitulah perasaannya sekarang, kesal, tapi Soonyoung tidak dapat menyembunyikan bagaimana ia juga senang melihat Jihoon yang menikmati kegiatan yang disukainya ini. Tapi ada satu hal yang mencuri perhatian Soonyoung..

Ia mengambil ponselnya yang bolak-balik ia mainkan, letakkan di atas meja, mainkan lagi, begitu seterusnya karena bosan, dan membuka aplikasi kamera di sana. Ia mengubah mode kameranya menjadi video dan merekam sesuatu.

Bukan apa-apa, Soonyoung juga masih duduk rapi di atas sofa studio Jihoon, persis di belakang Jihoon, mengawasi. Namun yang menjadi fokus kamera Soonyoung bukanlah Jihoon, melainkan kaki Jihoon di bawah yang terus bergerak menyesuaikan ritme lagu.

“Passionate Jihoon will always look sexy for me.. Look at his toes, hahaha.” gumam Soonyoung tanpa berhenti merekam videonya.

Ia jadi teringat sebuah kejadian yang berhubungan dengan dirinya dan kaki Jihoon itu, dan sekarang ia berpikir untuk mengulangnya lagi.

Ketika Soonyoung sedang larut dalam pikirannya sendiri sambil melihat video yang direkamnya barusan, Jihoon ternyata sudah selesai dan tengah berdiri di hadapannya, ikut memperhatikan video yang diambilnya.

“What's wrong with my toes? Kamu bisa rekam mukaku aja padahal?”

“Hah, kok kamu udah di sini?”

“Kamu mau nunggu lagi emangnya? Masih untung aku kasian loh, sama pacarku ini.”

Soonyoung hanya terkekeh dan merangkul pinggang Jihoon, masih dalam posisi duduknya.

“Iya, aku bete nungguin kamu. Sebagai permintaan maaf, aku punya satu hal yang mau aku lakuin sama kamu.” ujar Soonyoung.

Jihoon menundukkan kepalanya, melihat kekasihnya yang tengah bergelendot di bawahnya sambil memajukan bibirnya yang hanya membuat dia terlihat semakin menggemaskan.

“Sex?”

Pertanyaan Jihoon yang spontan itu, lantas membuat Soonyoung spontan memukul pantat kekasihnya itu pelan, yang disusul tawa oleh keduanya.

“Hahaha, kalo bukan terus apa?” tanya Jihoon lagi.

“I want your toes playing with me.”

Hari ini 15 Januari dan Soonyoung harus menunggu.

15 Januari, dua tahun yang lalu tepatnya, adalah hari di mana Jihoon mengungkapkan perasaannya kepada Soonyoung setelah Soonyoung memendam perasaan yang sama setelah beberapa waktu. Tidak menyangka, hari itu penantiannya membuahkan hasil. Ia yang sebelumnya berniat menyatakan perasaannya duluan, malah harus mendapat pernyataan itu dari orang yang disukainya lebih dulu.

“Jihoon..”

Sederhana, sih, tidak ada yang perlu dipermasalahkan juga, karena toh kalau mereka memang saling suka, siapapun yang menyatakan duluan, mereka akan tetap berakhir bersama seperti hari ini.

“Sebentar, Young.”

Di dua tahun setelahnya dan tepatnya hari ini, mereka masih bersama sebagai sepasang kekasih, terikat dalam suatu hubungan yang memang dihendaki oleh keduanya.

Dan hari ini juga, mereka berniat merayakan itu.

Namun sayangnya, sangat disayangkan, Soonyoung malah harus menunggu lelakinya itu menyelesaikan pekerjaannya yang sudah mepet deadline. Pekerjaan sebagai produser ini mengharuskan dirinya untuk meminta sedikit waktu di hari jadi mereka untuk berkelut dengan seperangkat peralatan compose-nya, yang berakibat pada Soonyoung yang merasa diabaikan.

Meskipun begitulah perasaannya sekarang, kesal, tapi Soonyoung tidak dapat menyembunyikan bagaimana ia juga senang melihat Jihoon yang menikmati kegiatannya ini. Namun satu hal yang mencuri perhatian Soonyoung..

Ia mengambil ponselnya yang bolak-balik ia mainkan, letakkan di atas meja, mainkan, begitu seterusnya, dan membuka aplikasi kamera di sana. Ia mengubah mode kameranya menjadi video dan merekam sesuatu di sana.

Bukan apa-apa, Soonyoung juga masih duduk rapi di atas sofa studio Jihoon, persis di belakang Jihoon, mengawasi. Namun yang menjadi fokus kamera Soonyoung bukanlah Jihoon, melainkan kaki Jihoon di bawah yang terus bergerak menyesuaikan ritme lagu.