sunflosan

Soonyoung sedikit terkejut.

Notifikasi yang akhir-akhir ini sedang menjadi favoritnya, muncul di tengah kelas yang sedang berjalan dan ia tidak tahan untuk tidak membalasnya. Apalagi pesannya,

Mau dipanggil sayang atau Soonyoung…

Mungkin bukan hanya saat kelas, saat langit hampir runtuh pun, Soonyoung akan tetap memilih untuk membalas pesan itu secepat mungkin dan menjawab kata sayang.

Namun ketika akhirnya kelas berakhir dan jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 3, Soonyoung baru menyadari kebodohannya. Ia mengiyakan dijemput oleh Jihoon disaat ia membawa motor untuk kuliah hari ini. Sekarang ia hanya bisa bingung setengah mati di hadapan motornya di parkiran ini, sementara Jihoon mungkin sebentar lagi akan menghubunginya bahwa dia sudah sampai di kampus Soonyoung.

“Ini motor gue ditinggal gapapa kali, ya?”

Soonyoung menggumam sendiri sambil memperhatikan motonya.

“Sebenernya bisa gue bawa aja, sih, tapi jadi ngerepotin Jihoon udah dateng ke sini, terus gue batal liat Jihoon nyetir..” lanjutnya.

Dan benar saja, tidak lama berselang, ponselnya bergetar dan nama Jihoon yang menghias layar kunci ponselnya dengan pesan singkat di bawahnya, mengatakan bahwa dirinya sudah sampai dan sedang menunggu Soonyoung di dekat gerbang utama. Mampus lo, Soonyoung, rutuknya dalam hati, masih belum menemukan keputusan yang akan diambilnya.

“Ah yaudah lah, masa gue batal disetirin Jihoon.” ujar Soonyoung kemudian membalas pesan singkat Jihoon dan pergi meninggalkan motornya.

Soonyoung hanya perlu berjalan sebentar karena lokasi parkir motor dan gerbang utama tidak begitu jauh. Begitu sampai di gerbang pun ia hanya melihat-lihat sebentar sampai akhirnya menemukan sedan hitam yang digambarkan oleh Jihoon sebagai mobilnya. Langsung Soonyoung menghampiri mobil itu dan membuka pintu depan samping kemudinya.

“Permisi mas, atas nama Soonyoung?” tanya Soonyoung begitu membuka pintu mobilnya dan menemukan kekasihnya di bangku kemudi.

“Bukan, ini pesanan atas nama sayang, pacar saya.” jawab Jihoon sambil tersenyum.

Mendengar itu Soonyoung menjawab, “Oh iya, nama saya Soonyoung sayang, kalo pacar saya yang panggil.” katanya diakhiri dengan tawa, kemudian langsung masuk ke dalam mobil.

Kurang lebih 45 menit perjalanan mereka habiskan dari kampus Soonyoung hingga sampai ke rumah Jihoon. Tidak terlalu jauh sebenarnya, namun cukup memakan waktu karena lalu lintas yang tidak begitu lancar. Maklum saja, ibukota di sore hari kerja, sudah pasti begitu. Untung saja masih jam 3-an, jadi belum terlalu macet dan padat.

Sesampainya di tujuan, Jihoon turun dari mobil, disusul Soonyoung yang juga melakukan hal yang sama dan membuntuti Jihoon di belakang. Ia mengikuti Jihoon hingga ke depan pintu, yang kemudian pintunya dibuka.

“Mau di kamar atau di ruang tengah aja?” tanya Jihoon sambil menoleh ke belakang, ke arah Soonyoung.

Sementara yang ditanya malah bingung. Ia bahkan tidak tahu apa tujuan Jihoon mengajaknya ke sini, sekarang malah menanyakan kamar atau ruang tengah.

“Emangnya kita mau ngapain, sih, yang?” akhirnya Soonyoung bertanya lagi, penasaran.

Dan jawaban Jihoon juga sama, pacaran fisik, katanya.

“Aduh sumpah kamu jangan ngada-ngada ya, Jihoon, aku deg-degan lagi ini.”

Mendengar jawaban Soonyoung, Jihoon tertawa. Namun ia tidak menjawab dan malah masuk ke dalam rumahnya sambil menggandeng tangan Soonyoung. Soonyoung tentu saja kaget karena tangannya tiba-tiba digenggam dan ditarik. Tapi ia tidak menolak, dan lagi-lagi hanya mengekor Sang pacar.

“Di ruang tengah sini aja, deh, kalo di kamar takut kamu ngapa-ngapain.” kata Jihoon dengan nada sedikit meledek.

“Lagian kalo mau ngapa-ngapain, ya tinggal ngapa-ngapain aja kan bisa, ga usah liat tempat.”

“Emang mau ngapain?”

Ditanya balik, Soonyoung malah diam dengan suara cekikik tawanya yang terdengar samar di telinga Jihoon.

“Kamu duduk aja, kalo mau nyalain TV, tinggal nyalain aja, remotenya di situ.” ucap Jihoon sambil menunjuk lokasi remote yang berada di atas meja kecil di bawah TV. “Aku ambil minuman dulu.” lanjutnya, kemudian berlalu meninggalkan Soonyoung di sana.

Soonyoung melakukan apa yang Jihoon katakan. Ia mengambil remote TV yang tergeletak dan menyalakan TV-nya sebelum duduk. Tidak lama Jihoon datang dengan jus jambu kemasan siap minum dan dua gelas yang dibawanya dengan sebuah nampan. Tidak lupa camilan yang pantang absen untuk menemani minuman dan waktu bersantai mereka.

Jihoon ikut duduk di sebelah Soonyoung setelah meletakkan semua yang ia bawa dari dapur di atas meja ruang tengah itu. Soonyoung berkata terima kasih, kemudian lanjut kembali menatap TV yang dinyalakannya, sambil meminum jus yang dibawa Jihoon.

Tidak, Soonyoung tidak benar-benar ingin menonton TV. Ia hanya sedang bingung apa yang akan mereka —atau tepatnya Jihoon lakukan kepadanya, apalagi Jihoon yang sudah mengundangnya ke sana.

Sementara di sebelahnya, Jihoon kembali memperbaiki posisi duduknya, kali ini lebih dekat kepada Soonyoung, kemudian pelan-pelan menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki yang sering ia panggil sayang itu.

“Kalo orang pacaran lagi berduaan itu, ngapain aja, ya, sayang?” tanya Jihoon di posisinya yang sekarang sudah merangkul tangan Soonyoung, masih bersandar di sana.

Soonyoung yang mendapat perlakuan seperti itu, sedari tadi hanya bisa membungkam bibirnya, berusaha menahan tawanya karena sosok Jihoon yang selama ini selalu ia anggap paling dewasa dan dominan di antara mereka, malah berubah menjadi bayi kecil yang seakan haus afeksi.

“Ya kaya gini aja, yang. Habis itu…” ucapan Soonyoung menggantung, membuat Jihoon yang tadinya bersandar itu jadi bangkit dan menoleh ke arah Soonyoung.

“Habis itu?”

“Habis itu..” Soonyoung melanjutkan sambil membawa sebuah keripik dengan jarinya ke hadapan mulut Jihoon, berniat menyuapi kekasihnya yang sedang manja itu. “Habis itu suap-suapan kaya gini.” lanjutnya yang langsung disambut oleh Jihoon yang tersenyum kemudian membuka mulutnya.

Sambil mengunyah makanannya, “Ini TMI banget sih, tapi kamu 'kan tau aku ga pernah pacaran, nah orang tuaku juga bukan orang yang gampang showing their affection gitu. Apalagi tahun lalu aku resmi sendirian, ga ada mereka lagi. Jadi bisa dibilang apa ya, I'm kinda craving for it. Once I realized I'm no longer alone, I'm having you, aku jadi pengen kaya gini buat bales perasaan kesepian itu, hahaha. Kamu ga keberatan, 'kan?” ucap Jihoon, panjang.

Setelah mendengar itu, Soonyoung malah melepas tangannya dari rangkulan Jihoon. Jihoon yang terkejut malah dibuat semakin terkejut ketika ternyata Soonyoung melepas tangannya untuk merangkul seluruh badannya, membawa tubuh Jihoon semakin intim ke dalam pelukan Soonyoung.

“Ga keberatan kok, apalagi orangnya kamu. Dan lagi, itu bukan TMI buatku, tapi a very useful information. Aku jadi ga takut buat kaya nempel-nempel gini ke kamu.” jawab Soonyoung.

Jihoon mengangkat kedua kakinya ke atas sofa yang mereka duduki. Membuat dirinya semakin kecil sehingga semakin mudah untuk dirinya dipeluk oleh Soonyoung. Hangat, dan yang pasti, Jihoon merasa sangat disayang.

“Aku juga mau TMI.” kata Soonyoung.

“Kenapa?”

“Kamu tau 'kan aku punya motor? Sebenernya aku bawa motor, hehehe..”

“Loh, terus motormu di mana? Ditinggal di kampus?” tanya Jihoon.

“Iya. Aku titipin ke ruang sekret, hehe. Ada untungnya jadi anak UKM.”

“Parah banget, kamu hahaha, emangnya ga sempit motor ditaro sana?”

“Ketambahan motor satu doang mah masih aman kok, lagi pula biasanya rame cuma sampe jam 9an aja. Jam 10 'kan kampus tutup, nah biasanya yang stay paling 1-2 orangan..” jelas Soonyoung.

Jihoon mendengarkan cerita Soonyoung sambil sedikit tertawa, masih di dalam posisinya yang sebelumnya, “Kenapa kamu ga bilang aja kalo bawa motor? 'Kan aku harusnya ga usah jemput juga.” tanyanya.

“Kamu ga ikhlas jemput aku, emang?”

“Apa sih yang ngga buat kamu, sayang.”

Mendengar itu, Soonyoung spontan menepis wajah Jihoon sambil tertawa, sementara Jihoon hanya tertawa mengetahui Soonyoung yang mungkin sekarang sedang salah tingkah gemas.

“Kurang-kurangin gombal, Jihoon.”

“Tapi kamu suka, gimana aku mau berenti?”

“Siapa bilang aku suka?”

“Sikap kamu.”

“Sotoy.”

Jihoon hanya kembali tertawa.

“Terus jadi kenapa? Kamu belum jawab.” tanya Jihoon lagi sambil melepas pelukan Soonyoung untuk mengambil gelas jusnya.

“Ah itu, gatau aku lupa banget aku bawa motor. Pas kamu bilang mau jemput, aku kaya langsung iyain aja. Sekarang mendingan kamu ngaku, kamu pake ilmu gendam, 'kan?” tanya Soonyoung balik sambil menahan dagu Jihoon dengan tangannya, membuat pipi Jihoon terlihat menggemaskan dan bibirnya sedikit mengerucut ke depan.

“Iya, aku pake gendam yang mempannya di kamu doang.” jawab Jihoon.

Soonyoung yang sudah membuat Jihoon menjadi terlihat menggemaskan, malah tidak tahan sendiri. Ia buru-buru melepaskan tangannya dari dagu Jihoon sebelum ia larut membawa sosok menggemaskan itu ke perlakuan yang mungkin lebih intim dan khawarir membuat laki-laki yang belum pernah pacaran itu menjadi tidak nyaman.

Namun kebalikannya, seolah mengetahui pikiran yang ada di kepala Sang kekasih, Jihoon malah spontan menanyakan apa yang terlintas di benaknya sendiri.

“Kukira kamu mau cium aku, sayang.”

Pipinya memanas, namun ia tidak tahu apakah mereka memerah atau tidak, yang jelas menghadapi sikap Jihoon yang seperti ini secara langsung —yang biasanya hanya via chat, ternyata berkali-kali lipat blushingnya.

“Aku belum pernah ci—”

Ya, pada akhirnya Soonyoung mengalahkan perasaan merah padamnya dan membungkam bibir Jihoon dengan bibirnya. Sebuah kecupan beberapa detik yang berhasil membuat Jihoon mematung bahkan di waktu setelahnya.

“Aku ga akan kalah dari kamu. Aku gamau blushing sendirian terus.”

Jihoon masih bergeming. Ia hanya mendengarkan ucapan Soonyoung barusan tanpa membalas dengan apapun dan hanya dengan tatapan ke mata Soonyoung.

Soonyoung sadar penuh Jihoon menatapnya, maka dari itu ia malah menantang pacarnya itu, “Apa? Mau lagi?” tanya Soonyoung.

Yang ditanya mengangguk sambil menjawab singkat, mau.

Soonyoung hanya tersenyum setelahnya, sedikit diselingi dengan tawa kecil. Ia tidak menghiraukan jawaban singkat dengan wajah penuh harap dari Jihoon barusan, melainkan bersandar di sofa sambil kembali mengambil seruput jusnya yang tersisa sedikit di gelas.

“Kalo mau lagi, kamu aja yang ambil.” lagi-lagi Soonyoung menantang dengan nada penuh ledek kepada lawan bicaranya.

Alih-alih membalas dengan perkataan, Jihoon malah membalas Soonyoung dengan sebuah tindakan. Ia kembali memperbaiki posisi duduknya —malah kali ini berpindah ke atas paha Soonyoung yang masih bersandar di sofa itu. Soonyoung yang sangat terkejut, sama sekali tidak menyangka bahwa Jihoon akan berani melakukannya duluan, hanya bisa terdiam dan pasrah akan apa yang Jihoon lakukan setelahnya.

Tentu saja setelahnya adalah Jihoon yang benar mempertemukan kedua bibir mereka lagi. Mencari kembali sensasi yang sebelumnya Soonyoung cicipi ke dirinya, yang ternyata sangat menagihkan itu. Ia hanya memberikan kecupan basah di sana, sambil sesekali menggigit pelan bibir bawah Soonyoung yang kenyal lembut itu.

Namun tidak lama Soonyoung mengambil alih. Ia memeluk Jihoon yang berada di atas pangkuannya, membawa tubuh itu semakin dekat bahkan menempel kepadanya. Ciuman di atas sana jadi ia yang memimpin. Bibirnya tidak henti mengecup dan memberikan kenikmatan pada bibir Jihoon dengan sesekali lidahnya yang ia mainkan di dalam mulut Sang lawan main. Rasa dari jus jambu yang manis, sedikit menjadi bumbu permainan basah mereka yang membuat keduanya semakin mabuk akan perlakuan masing-masing.

Ciuman tersebut berakhir dengan untaian saliva keduanya yang menjulur dari mulut masing-masing. Wajah Jihoon memerah, matanya sayu, napasnya sedikit terengah, namun ia terlihat menikmati permainan yang ia mulai dan Soonyoung akhiri itu.

“Itu yang orang pacaran lakuin, sayang?” tanya Jihoon dengan suara pelan.

“Iya, sayang. Kamu suka?” Soonyoung menjawab dan bertanya balik.

Jihoon menjawab dengan pelukan. Tubuhnya sengaja ia ambrukkan kepada Soonyoung di hadapannya yang tentu saja dengan mudah disambut oleh Soonyoung dengan pelukan yang senada. Tidak disangka, Jihoon yang terlihat sangat dewasa dan cukup dominan di kehidupan sehari-harinya, bisa menjadi semanja ini hanya karena ia membutuhkan sebuah afeksi.

Setelahnya, Soonyoung bertekad di dalam hatinya. Berkata bahwa mulai hari ini, dialah yang akan mencintai Jihoon dan memberikan Jihoon kasih sayang sebanyak dan sebesar yang Jihoon butuhkan. Satu bulan perkenalan, satu minggu sudah menjadi pacar, dan semoga akan berlanjut terus sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.

Yang pasti, hari-hari menyenangkan akan hadir setelah ini.

“Kalo itu yang orang-orang pacaran lakuin, aku sekarang ngerasa seneng karena pacarannya sama kamu.” ujar Jihoon singkat, masih sambil memeluk Soonyoung.

“Beneran?”

“Bener. Malem ini kamu nginep sini aja, ya, jadi besok pagi langsung aku anter ke kampus.” kata Jihoon lagi.

“Mau pacaran semaleman, ya?”

“Iya.”

Dan begitulah pacaran fisik pertama mereka setelah resmi menjadi sepasang kekasih yang sekaligus menjadi pengalaman romansa pertama Jihoon.

fin.

Soonyoung sedikit terkejut.

Notifikasi yang akhir-akhir ini sedang menjadi favoritnya, muncul di tengah kelas yang sedang berjalan dan ia tidak tahan untuk tidak membalasnya. Apalagi pesannya,

Mau dipanggil sayang atau Soonyoung…

Mungkin bukan hanya saat kelas, saat langit hampir runtuh pun, Soonyoung akan tetap memilih untuk membalas pesan itu secepat mungkin dan menjawab kata sayang.

Namun ketika akhirnya kelas berakhir dan jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 3, Soonyoung baru menyadari kebodohannya. Ia mengiyakan dijemput oleh Jihoon disaat ia membawa motor untuk kuliah hari ini. Sekarang ia hanya bisa bingung setengah mati di hadapan motornya di parkiran ini, sementara Jihoon mungkin sebentar lagi akan menghubunginya bahwa dia sudah sampai di kampus Soonyoung.

“Ini motor gue ditinggal gapapa kali, ya?”

Soonyoung menggumam sendiri sambil memperhatikan motonya.

“Sebenernya bisa gue bawa aja, sih, tapi jadi ngerepotin Jihoon udah dateng ke sini, terus gue batal liat Jihoon nyetir..” lanjutnya.

Dan benar saja, tidak lama berselang, ponselnya bergetar dan nama Jihoon yang menghias layar kunci ponselnya dengan pesan singkat di bawahnya, mengatakan bahwa dirinya sudah sampai dan sedang menunggu Soonyoung di dekat gerbang utama. Mampus lo, Soonyoung, rutuknya dalam hati, masih belum menemukan keputusan yang akan diambilnya.

“Ah yaudah lah, masa gue batal disetirin Jihoon.” ujar Soonyoung kemudian membalas pesan singkat Jihoon dan pergi meninggalkan motornya.

Soonyoung hanya perlu berjalan sebentar karena lokasi parkir motor dan gerbang utama tidak begitu jauh. Begitu sampai di gerbang pun ia hanya melihat-lihat sebentar sampai akhirnya menemukan sedan hitam yang digambarkan oleh Jihoon sebagai mobilnya. Langsung Soonyoung menghampiri mobil itu dan membuka pintu depan samping kemudinya.

“Permisi mas, atas nama Soonyoung?” tanya Soonyoung begitu membuka pintu mobilnya dan menemukan kekasihnya di bangku kemudi.

“Bukan, ini pesanan atas nama sayang, pacar saya.” jawab Jihoon sambil tersenyum.

Mendengar itu Soonyoung menjawab, “Oh iya, nama saya Soonyoung sayang, kalo pacar saya yang panggil.” katanya diakhiri dengan tawa, kemudian langsung masuk ke dalam mobil.

Kurang lebih 45 menit perjalanan mereka habiskan dari kampus Soonyoung hingga sampai ke rumah Jihoon. Tidak terlalu jauh sebenarnya, namun cukup memakan waktu karena lalu lintas yang tidak begitu lancar. Maklum saja, ibukota di sore hari kerja, sudah pasti begitu. Untung saja masih jam 3-an, jadi belum terlalu macet dan padat.

Sesampainya di tujuan, Jihoon turun dari mobil, disusul Soonyoung yang juga melakukan hal yang sama dan membuntuti Jihoon di belakang. Ia mengikuti Jihoon hingga ke depan pintu, yang kemudian pintunya dibuka.

“Mau di kamar atau di ruang tengah aja?” tanya Jihoon sambil menoleh ke belakang, ke arah Soonyoung.

Sementara yang ditanya malah bingung. Ia bahkan tidak tahu apa tujuan Jihoon mengajaknya ke sini, sekarang malah menanyakan kamar atau ruang tengah.

“Emangnya kita mau ngapain, sih, yang?” akhirnya Soonyoung bertanya lagi, penasaran.

Dan jawaban Jihoon juga sama, pacaran fisik, katanya.

“Aduh sumpah kamu jangan ngada-ngada ya, Jihoon, aku deg-degan lagi ini.”

Mendengar jawaban Soonyoung, Jihoon tertawa. Namun ia tidak menjawab dan malah masuk ke dalam rumahnya sambil menggandeng tangan Soonyoung. Soonyoung tentu saja kaget karena tangannya tiba-tiba digenggam dan ditarik. Tapi ia tidak menolak, dan lagi-lagi hanya mengekor Sang pacar.

“Di ruang tengah sini aja, deh, kalo di kamar takut kamu ngapa-ngapain.” kata Jihoon dengan nada sedikit meledek.

“Lagian kalo mau ngapa-ngapain, ya tinggal ngapa-ngapain aja kan bisa, ga usah liat tempat.”

“Emang mau ngapain?”

Ditanya balik, Soonyoung malah diam dengan suara cekikik tawanya yang terdengar samar di telinga Jihoon.

“Kamu duduk aja, kalo mau nyalain TV, tinggal nyalain aja, remotenya di situ.” ucap Jihoon sambil menunjuk lokasi remote yang berada di atas meja kecil di bawah TV. “Aku ambil minuman dulu.” lanjutnya, kemudian berlalu meninggalkan Soonyoung di sana.

Soonyoung melakukan apa yang Jihoon katakan. Ia mengambil remote TV yang tergeletak dan menyalakan TV-nya sebelum duduk. Tidak lama Jihoon datang dengan jus jambu kemasan siap minum dan dua gelas yang dibawanya dengan sebuah nampan. Tidak lupa camilan yang pantang absen untuk menemani minuman dan waktu bersantai mereka.

Jihoon ikut duduk di sebelah Soonyoung setelah meletakkan semua yang ia bawa dari dapur di atas meja ruang tengah itu. Soonyoung berkata terima kasih, kemudian lanjut kembali menatap TV yang dinyalakannya, sambil meminum jus yang dibawa Jihoon.

Tidak, Soonyoung tidak benar-benar ingin menonton TV. Ia hanya sedang bingung apa yang akan mereka —atau tepatnya Jihoon lakukan kepadanya, apalagi Jihoon yang sudah mengundangnya ke sana.

Sementara di sebelahnya, Jihoon kembali memperbaiki posisi duduknya, kali ini lebih dekat kepada Soonyoung, kemudian pelan-pelan menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki yang sering ia panggil sayang itu.

“Kalo orang pacaran lagi berduaan itu, ngapain aja, ya, sayang?” tanya Jihoon di posisinya yang sekarang sudah merangkul tangan Soonyoung, masih bersandar di sana.

Soonyoung yang mendapat perlakuan seperti itu, sedari tadi hanya bisa membungkam bibirnya, berusaha menahan tawanya karena sosok Jihoon yang selama ini selalu ia anggap paling dewasa dan dominan di antara mereka, malah berubah menjadi bayi kecil yang seakan haus afeksi.

“Ya kaya gini aja, yang. Habis itu…” ucapan Soonyoung menggantung, membuat Jihoon yang tadinya bersandar itu jadi bangkit dan menoleh ke arah Soonyoung.

“Habis itu?”

“Habis itu..” Soonyoung melanjutkan sambil membawa sebuah keripik dengan jarinya ke hadapan mulut Jihoon, berniat menyuapi kekasihnya yang sedang manja itu. “Habis itu suap-suapan kaya gini.” lanjutnya yang langsung disambut oleh Jihoon yang tersenyum kemudian membuka mulutnya.

Sambil mengunyah makanannya, “Ini TMI banget sih, tapi kamu 'kan tau aku ga pernah pacaran, nah orang tuaku juga bukan orang yang gampang showing their affection gitu. Apalagi tahun lalu aku resmu sendirian, ga ada mereka lagi. Jadi bisa dibilang apa ya, I'm kinda craving for it. Once I realized I'm no longer alone, I'm having you, aku jadi pengen kaya gini buat bales perasaan kesepian itu, hahaha. Kamu ga keberatan, 'kan?” ucap Jihoon, panjang.

Setelah mendengar itu, Soonyoung malah melepas tangannya dari rangkulan Jihoon. Jihoon yang terkejut malah dibuat semakin terkejut ketika ternyata Soonyoung melepas tangannya untuk merangkul seluruh badannya, membawa tubuh Jihoon semakin intim ke dalam pelukan Soonyoung.

“Ga keberatan kok, apalagi orangnya kamu. Dan lagi, itu bukan TMI buatku, tapi a very useful information. Aku jadi ga takut buat kaya nempel-nempel gini ke kamu.” jawab Soonyoung.

Jihoon mengangkat kedua kakinya ke atas sofa yang mereka duduki. Membuat dirinya semakin kecil sehingga semakin mudah untuk dirinya dipeluk oleh Soonyoung. Hangat, dan yang pasti, Jihoon merasa sangat disayang.

“Aku juga mau TMI.” kata Soonyoung.

“Kenapa?”

“Kamu tau 'kan aku punya motor? Sebenernya aku bawa motor, hehehe..”

“Loh, terus motormu di mana? Ditinggal di kampus?” tanya Jihoon.

“Iya. Aku titipin ke ruang sekret, hehe. Ada untungnya jadi anak UKM.”

“Parah banget, kamu hahaha, emangnya ga sempit motor ditaro sana?”

“Ketambahan motor satu doang mah masih aman kok, lagi pula biasanya rame cuma sampe jam 9an aja. Jam 10 'kan kampus tutup, nah biasanya yang stay paling 1-2 orangan..” jelas Soonyoung.

Jihoon mendengarkan cerita Soonyoung sambil sedikit tertawa, masih di dalam posisinya yang sebelumnya, “Kenapa kamu ga bilang aja kalo bawa motor? 'Kan aku harusnya ga usah jemput juga.” tanyanya.

“Kamu ga ikhlas jemput aku, emang?”

“Apa sih yang ngga buat kamu, sayang.”

Mendengar itu, Soonyoung spontan menepis wajah Jihoon sambil tertawa, sementara Jihoon hanya tertawa mengetahui Soonyoung yang mungkin sekarang sedang salah tingkah gemas.

“Kurang-kurangin gombal, Jihoon.”

“Tapi kamu suka, gimana aku mau berenti?”

“Siapa bilang aku suka?”

“Sikap kamu.”

“Sotoy.”

Jihoon hanya kembali tertawa.

“Terus jadi kenapa? Kamu belum jawab.” tanya Jihoon lagi sambil melepas pelukan Soonyoung untuk mengambil gelas jusnya.

“Ah itu, gatau aku lupa banget aku bawa motor. Pas kamu bilang mau jemput, aku kaya langsung iyain aja. Sekarang mendingan kamu ngaku, kamu pake ilmu gendam, 'kan?” tanya Soonyoung balik sambil menahan dagu Jihoon dengan tangannya, membuat pipi Jihoon terlihat menggemaskan dan bibirnya sedikit mengerucut ke depan.

“Iya, aku pake gendam yang mempannya di kamu doang.” jawab Jihoon.

Soonyoung yang sudah membuat Jihoon menjadi terlihat menggemaskan, malah tidak tahan sendiri. Ia buru-buru melepaskan tangannya dari dagu Jihoon sebelum ia larut membawa sosok menggemaskan itu ke perlakuan yang mungkin lebih intim dan khawarir membuat laki-laki yang belum pernah pacaran itu menjadi tidak nyaman.

Namun kebalikannya, seolah mengetahui pikiran yang ada di kepala Sang kekasih, Jihoon malah spontan menanyakan apa yang terlintas di benaknya sendiri.

“Kukira kamu mau cium aku, sayang.”

Pipinya memanas, namun ia tidak tahu apakah mereka memerah atau tidak, yang jelas menghadapi sikap Jihoon yang seperti ini secara langsung —yang biasanya hanya via chat, ternyata berkali-kali lipat blushingnya.

“Aku belum pernah ci—”

Ya, pada akhirnya Soonyoung mengalahkan perasaan merah padamnya dan membungkam bibir Jihoon dengan bibirnya. Sebuah kecupan beberapa detik yang berhasil membuat Jihoon mematung bahkan di waktu setelahnya.

“Aku ga akan kalah dari kamu. Aku gamau blushing sendirian terus.”

Jihoon masih bergeming. Ia hanya mendengarkan ucapan Soonyoung barusan tanpa membalas dengan apapun dan hanya dengan tatapan ke mata Soonyoung.

Soonyoung sadar penuh Jihoon menatapnya, maka dari itu ia malah menantang pacarnya itu, “Apa? Mau lagi?” tanya Soonyoung.

Yang ditanya mengangguk sambil menjawab singkat, mau.

Soonyoung hanya tersenyum setelahnya, sedikit diselingi dengan tawa kecil. Ia tidak menghiraukan jawaban singkat dengan wajah penuh harap dari Jihoon barusan, melainkan bersandar di sofa sambil kembali mengambil seruput jusnya yang tersisa sedikit di gelas.

“Kalo mau lagi, kamu aja yang ambil.” lagi-lagi Soonyoung menantang dengan nada penuh ledek kepada lawan bicaranya.

Alih-alih membalas dengan perkataan, Jihoon malah membalas Soonyoung dengan sebuah tindakan. Ia kembali memperbaiki posisi duduknya —malah kali ini berpindah ke atas paha Soonyoung yang masih bersandar di sofa itu. Soonyoung yang sangat terkejut, sama sekali tidak menyangka bahwa Jihoon akan berani melakukannya duluan, hanya bisa terdiam dan pasrah akan apa yang Jihoon lakukan setelahnya.

Tentu saja setelahnya adalah Jihoon yang benar mempertemukan kedua bibir mereka lagi. Mencari kembali sensasi yang sebelumnya Soonyoung cicipi ke dirinya, yang ternyata sangat menagihkan itu. Ia hanya memberikan kecupan basah di sana, sambil sesekali menggigit pelan bibir bawah Soonyoung yang kenyal lembut itu.

Namun tidak lama Soonyoung mengambil alih. Ia memeluk Jihoon yang berada di atas pangkuannya, membawa tubuh itu semakin dekat bahkan menempel kepadanya. Ciuman di atas sana jadi ia yang memimpin. Bibirnya tidak henti mengecup dan memberikan kenikmatan pada bibir Jihoon dengan sesekali lidahnya yang ia mainkan di dalam mulut Sang lawan main. Rasa dari jus jambu yang manis, sedikit menjadi bumbu permainan basah mereka yang membuat keduanya semakin mabuk akan perlakuan masing-masing.

Ciuman tersebut berakhir dengan untaian saliva keduanya yang menjulur dari mulut masing-masing. Wajah Jihoon memerah, matanya sayu, napasnya sedikit terengah, namun ia terlihat menikmati permainan yang ia mulai dan Soonyoung akhiri itu.

“Itu yang orang pacaran lakuin, sayang?” tanya Jihoon dengan suara pelan.

“Iya, sayang. Kamu suka?” Soonyoung menjawab dan bertanya balik.

Jihoon menjawab dengan pelukan. Tubuhnya sengaja ia ambrukkan kepada Soonyoung di hadapannya yang tentu saja dengan mudah disambut oleh Soonyoung dengan pelukan yang senada. Tidak disangka, Jihoon yang terlihat sangat dewasa dan cukup dominan di kehidupan sehari-harinya, bisa menjadi semanja ini hanya karena ia membutuhkan sebuah afeksi.

Setelahnya, Soonyoung bertekad di dalam hatinya. Berkata bahwa mulai hari ini, dialah yang akan mencintai Jihoon dan memberikan Jihoon kasih sayang sebanyak dan sebesar yang Jihoon butuhkan. Satu bulan perkenalan, satu minggu sudah menjadi pacar, dan semoga akan berlanjut terus sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.

Yang pasti, hari-hari menyenangkan akan hadir setelah ini.

“Kalo itu yang orang-orang pacaran lakuin, aku sekarang ngerasa seneng karena pacarannya sama kamu.” ujar Jihoon singkat, masih sambil memeluk Soonyoung.

“Beneran?”

“Bener. Malem ini kamu nginep sini aja, ya, jadi besok pagi langsung aku anter ke kampus.” kata Jihoon lagi.

“Mau pacaran semaleman, ya?”

“Iya.”

Dan begitulah pacaran fisik pertama mereka setelah resmi menjadi sepasang kekasih yang sekaligus menjadi pengalaman romansa pertama Jihoon.

Pertengkaran, selisih paham, perbedaan pendapat, kalau kata orang, itu hal yang biasa jika di dalam sebuah hubungan. Benar adanya, karena itupun yang Jihoon alami dan rasakan selama hampir 3 tahun menjalin hubungan dengan kekasihnya yang sekarang, Soonyoung. Pertengkaran receh seperti hari ini, bahkan sampai pertengkaran yang hampir membuat hubungan mereka selesai, itu semua sudah mereka lewati.

Tapi meskipun itu adalah hal yang biasa, meskipun itu adalah hal receh yang mungkin saja bisa membaik seiring berjalannya waktu, terima kasih pada pribadi keduanya, hal itu tidak pernah mereka anggap sepele. Pasti, salah satu dari keduanya akan berinisiatif untuk menyelesaikan masalahnya dan meminta maaf kepada yang lainnya. Hanya masalah kepala saja, siapa yang paling dulu dingin, biasanya yang akan menginisiasi hal tersebut.

Pun dengan Jihoon saat ini. Ia akui, ia memang sedikit berlebihan ketika menegur Soonyoung. Dan Soonyoung pun benar, Jihoon bukannya memberi apresiasi terlebih dahulu kepada Soonyoung yang jelas-jelas baru selesai tampil, malah membuat Soonyoung semakin lelah dengan menegurnya seperti itu. Meski, perbuatan Soonyoung tidak bisa dibenarkan, namun Jihoon yang membenarkan, juga tidak sepenuhnya bersih dari kesalahan.

Bukannya tidak mau, alasan ia tidak ikut Soonyoung ke lokasi Soonyoung tampil adalah karena deadline pekerjaannya yang tiba-tiba dimajukan menjadi hari ini. Jadi, mau tidak mau, hari kemarinlah Jihoon mengejar untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bukan pekerjaan yang berat, sih, Jihoon hanya menjadi freelancer di salah satu portal berita sebagai salah seorang penulis artikel website di tahun akhirnya sebagai mahasiswa. Namun meskipun begitu, tentu saja Jihoon harus bersikap profesional terhadap pekerjaannya dan menyelesaikan sesuai dengan ketentuan dari sana. Lagi pula, acara Soonyoung tidak mengharuskan dirinya hadir dengan sangat, jadi, ia memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya dibandingkan menemani Soonyoung.

Ya, Jihoon harap sore ini kepala Soonyoung sudah cukup dingin untuk membahas hal ini. Dan yang lebih penting, semoga Soonyoung sudah pulang karena sekarang ia sudah kembali berada di depan pintu kosan Soonyoung yang tertutup setelah semalam harus pulang lagi karena Soonyoung yang bermalam di rumah Jun.

Tangan kanannya mengepal, kemudian mengetuk pintu berwarna putih itu. Sementara tangan kirinya membawa sebuah plastik, sedikit oleh-oleh yang diharapkan akan mereka nikmati setelah mereka sudah berbaikan nantinya.

Tanpa membutuhkan waktu yang lama, pintu itu terbuka. Dilihatnya Soonyoung yang berdiri dengan tampilan biasanya, celana selutut dengan kaus tanpa lengan berwarna hitam. Ia tidak menyambut bahkan berucap apa-apa dan langsung kembali masuk, tanpa menyilahkan Jihoon untuk masuk.

Jihoon menutup pintu, kemudian melihat Soonyoung yang kembali ke hadapan laptopnya, menonton sesuatu, mengabaikan dirinya. Ia mengerti, Soonyoung masih kesal padanya. Jadi, Jihoon hanya berlalu tanpa berbicara, ke dapur untuk mengambil sesuatu sebelum ia kembali menghadapi bayi harimaunya yang sedang merajuk itu.

Tidak sampai 5 menit, Jihoon kembali, dan kini sudah duduk di sebelah Soonyoung. Soonyoung masih mengabaikannya dan fokus kepada film yang sedang ditontonnya sejak Jihoon belum sampai tadi. Jihoon tentu tidak mau ini berlanjut. Ia yang sudah selesai mengeluarkan beberapa kudapan manis yang dibawanya, akhirnya melepas earphone yang menutup lubang telinga Soonyoung, dan membuat Soonyoung kesal.

“Apaan, sih?” ujar Soonyoung kesal.

“Ini, gue bawa red velvet, ga mau?”

“Makan aja sendiri. Gue ga ganggu lu, kok lu ganggu gue?”

We need to talk before it's getting worse, Young.”

“Apa yang getting worse?”

“Cara ngomong lu aja kaya gitu, ya berarti lagi ga baik-baik aja.”

Soonyoung menghela napas. Ia memperbaiki posisi duduknya dan akhirnya menjeda film yang ditontonnya, kemudian menghadap kepada Jihoon.

“Apa?” tanya Soonyoung.

“Gue minta maaf.” Jihoon memulai. Ia mengesampingkan egonya tentang apapun yang ia ingin tunjuk sebagai kesalahan Soonyoung dan meminta maaf terlebih dahulu.

“Gue minta maaf karena gue gabisa hadir nemenin lu. Kaya yang gue bilang sebelumnya, ada kerjaan dadakan yang butuh kelar cepet dan gue cuma karyawan freelance yang emang lagi butuh duit dan ilmu dari sana, jadi gue gabisa ngapa-ngapain selain memenuhi tanggungan itu. Gue minta maaf. Kemarin, gue anggap lu udah gapapa soal ini, tapi ga nyangka lu dragging out lagi masalah itu, ya, gue tau pasti lu kesel banget sama gue yang malah gabisa hadir.” sambung Jihoon, panjang.

“Gue juga minta maaf karena bener apa yang lu bilang, gue bukannya apresiasi lu malah nunjuk kesalahan lu. Not to mention that what i pointing at about you was right, but i'm not the most right, perfect here too, gue ada salah ke lu, jadi gue minta maaf.”

“Gue harap,” Jihoon sedikit menjeda ucapannya, “Lo bersedia buat maafin gue dan koreksi diri juga perihal apa yang gue omongin kemaren. Karena, gue cuma bermaksud ngelurusin sikap lu, bukan cari-cari kesalahan lu. I'm all care for you and i hope you know it.”

Mendengar Jihoon yang menjelaskan panjang lebar, membuat Soonyoung menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia terlihat sedang mengontrol dirinya dan ingin merespon perkataan Jihoon.

“Sekarang kerjaan lu udah kelar?” tanya Soonyoung balik.

“Aman, makanya gue bisa ke sini.”

Usai jawaban dari Jihoon, Soonyoung mendekatkan posisi duduknya kepada Jihoon.

“Lu tau, gue ga bisa marah lama-lama ke lu, apalagi iya, you are the most care for me. Thank you udah ingetin gue, gue usahain ga akan ulangi itu. Gue minta maaf buat semuanya.”

Senyuman di wajah Jihoon terukir. Ia merasa lega karena emosi Soonyoung sudah mereda dan bisa menerima permintaan maaf sekaligus mengakui kesalahannya.

“Maafin, ga ya?” ledek Jihoon.

“Harusnya gue yang nanya kaya gitu, apalagi lu udah bawa-bawa red velvet kaya gini. Ini buat nyogok gue, kan?”

“Sembarang. Ini hadiah buat lu karena udah tampil kemaren sekaligus buat nunjukin, ini gaji gue di kerjaan dadakan kemaren langsung turun bayarannya.” Jihoon menjawab dengan berapi-api.

“Oh? Wow.. keren juga kantor lu, langsung dibayar gini.”

“Iya lah. Profesional tuh.”

“Iya-iya, udah dong maafin gue. Kemaren gue emosi karena capek juga. Coba kalo ada lu, pasti gue ga seemosi itu.”

“Tuh kan?” ujar Jihoon sambil menunjuk mulut Soonyoung yang baru saja kembali mengungkit masalah yang baru saja selesai.

Sorry, cimol...... udah, udah, sekarang kita tutup masalah itu, kita maaf-an aja?” kata Soonyoung sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

Jihoon yang melihat itu menjadi tertawa, namun tetap menyambut kelingking Soonyoung, membuat jari kelingking mereka berkait.

“Udah nih ya, berarti? Ga ada nginep di rumah Jun lagi?”

“Ga ada, mau nginep di rumah cimol aja. Kangen banget udah seharian ngambek—”

“Eh!!!”

Jihoon spontan menahan kedua bahu Soonyoung yang ingin memeluknya karena di hadapan mereka masih ada kue-kue yang dibeli Jihoon.

“Makanan gue ancur nanti ih! Bisa santuy dikit ga, sih?” protes Jihoon sambil mengangkat kue-kuenya dan berpindah posisi.

Yang dimarahi bukannya menyesal atau sedih, melainkan tersenyum. Pasalnya, Jihoon bukan berpindah kemana-mana dengan membawa kue-kue yang dibelinya, melainkan pindah ke persis di depan Soonyoung, membelakanginya, dan bersandar kepada tubuh bagian depan Soonyoung seolah-olah Soonyoung-lah bangku yang ia duduki. Soonyoung hanya membiarkannya dan memeluk kekasihnya itu dari belakang sambil mengayunkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri, pelan.

“Hih, apa nih, peluk-peluk?”

“Kangen cimol bulet. Eh iya..”

Mendengar Soonyoung yang tiba-tiba seperti teringat sesuatu, Jihoon spontan menoleh ke belakang, memastikan.

Namun alih-alih mendapati Soonyoung yang sedang bingung atau mengingat sesuatu dari 'eh iya'-nya tadi, Jihoon malah dibuat kaget dengan Soonyoung yang meraup pipinya dengan bibirnya. Menggigit-gigit gemas gumpalan kenyal berwarna putih, yang semula menginisiasi panggilan Cimol dari Soonyoung itu. Jihoon tidak bisa berbuat banyak, apalagi dengan kedua tangannya yang memegang piring berisi kue itu, yang membuat ia akhirnya hanya menerima dan ikut larut pada suasana hangat yang kini sudah memenuhi ruang kamar kos Soonyoung.


Pertengkaran, selisih paham, perbedaan pendapat, kalau kata orang, itu hal yang biasa jika di dalam sebuah hubungan. Benar adanya, karena itupun yang Jihoon alami dan rasakan selama hampir 3 tahun menjalin hubungan dengan kekasihnya yang sekarang, Soonyoung. Pertengkaran receh seperti hari ini, bahkan sampai pertengkaran yang hampir membuat hubungan mereka selesai, itu semua sudah mereka lewati.

Tapi meskipun itu adalah hal yang biasa, meskipun itu adalah hal receh yang mungkin saja bisa membaik seiring berjalannya waktu, terima kasih pada pribadi keduanya, hal itu tidak pernah mereka anggap sepele. Pasti, salah satu dari keduanya akan berinisiatif untuk menyelesaikan masalahnya dan meminta maaf kepada yang lainnya. Hanya masalah kepala saja, siapa yang paling dulu dingin, biasanya yang akan menginisiasi hal tersebut.

Pun dengan Jihoon saat ini. Ia akui, ia memang sedikit berlebihan ketika menegur Soonyoung. Dan Soonyoung pun benar, Jihoon bukannya memberi apresiasi terlebih dahulu kepada Soonyoung yang jelas-jelas baru selesai tampil, malah membuat Soonyoung semakin lelah dengan menegurnya seperti itu. Meski, perbuatan Soonyoung tidak bisa dibenarkan, namun Jihoon yang membenarkan, juga tidak sepenuhnya bersih dari kesalahan.

Bukannya tidak mau, alasan ia tidak ikut Soonyoung ke lokasi Soonyoung tampil adalah karena deadline pekerjaannya yang tiba-tiba dimajukan menjadi hari ini. Jadi, mau tidak mau, hari kemarinlah Jihoon mengejar untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bukan pekerjaan yang berat, sih, Jihoon hanya menjadi freelancer di salah satu portal berita sebagai salah seorang penulis artikel website di tahun akhirnya sebagai mahasiswa. Namun meskipun begitu, tentu saja Jihoon harus bersikap profesional terhadap pekerjaannya dan menyelesaikan sesuai dengan ketentuan dari sana. Lagi pula, acara Soonyoung tidak mengharuskan dirinya hadir dengan sangat, jadi, ia memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya dibandingkan menemani Soonyoung.

Ya, Jihoon harap sore ini kepala Soonyoung sudah cukup dingin untuk membahas hal ini. Dan yang lebih penting, semoga Soonyoung sudah pulang karena sekarang ia sudah kembali berada di depan pintu kosan Soonyoung yang tertutup setelah semalam harus pulang lagi karena Soonyoung yang bermalam di rumah Jun.

Tangan kanannya mengepal, kemudian mengetuk pintu berwarna putih itu. Sementara tangan kirinya membawa sebuah plastik, sedikit oleh-oleh yang diharapkan akan mereka nikmati setelah mereka sudah berbaikan nantinya.

Tanpa membutuhkan waktu yang lama, pintu itu terbuka. Dilihatnya Soonyoung yang berdiri dengan tampilan biasanya, celana selutut dengan kaus tanpa lengan berwarna hitam. Ia tidak menyambut bahkan berucap apa-apa dan langsung kembali masuk, tanpa menyilahkan Jihoon untuk masuk.

Jihoon menutup pintu, kemudian melihat Soonyoung yang kembali ke hadapan laptopnya, menonton sesuatu, mengabaikan dirinya. Ia mengerti, Soonyoung masih kesal padanya. Jadi, Jihoon hanya berlalu tanpa berbicara, ke dapur untuk mengambil sesuatu sebelum ia kembali menghadapi bayi harimaunya yang sedang merajuk itu.

Tidak sampai 5 menit, Jihoon kembali, dan kini sudah duduk di sebelah Soonyoung. Soonyoung masih mengabaikannya dan fokus kepada film yang sedang ditontonnya sejak Jihoon belum sampai tadi. Jihoon tentu tidak mau ini berlanjut. Ia yang sudah selesai mengeluarkan beberapa kudapan manis yang dibawanya, akhirnya melepas earphone yang menutup lubang telinga Soonyoung, dan membuat Soonyoung kesal.

“Apaan, sih?” ujar Soonyoung kesal.

“Ini, gue bawa red velvet, ga mau?”

“Makan aja sendiri. Gue ga ganggu lu, kok lu ganggu gue?”

We need to talk before it's getting worse, Young.”

“Apa yang getting worse?”

“Cara ngomong lu aja kaya gitu, ya berarti lagi ga baik-baik aja.”

Soonyoung menghela napas. Ia memperbaiki posisi duduknya dan akhirnya menjeda film yang ditontonnya, kemudian menghadap kepada Jihoon.

“Apa?” tanya Soonyoung.

“Gue minta maaf.” Jihoon memulai. Ia mengesampingkan egonya tentang apapun yang ia ingin tunjuk sebagai kesalahan Soonyoung dan meminta maaf terlebih dahulu.

“Gue minta maaf karena gue gabisa hadir nemenin lu. Kaya yang gue bilang sebelumnya, ada kerjaan dadakan yang butuh kelar cepet dan gue cuma karyawan freelance yang emang lagi butuh duit dan ilmu dari sana, jadi gue gabisa ngapa-ngapain selain memenuhi tanggungan itu. Gue minta maaf. Kemarin, gue anggap lu udah gapapa soal ini, tapi ga nyangka lu dragging out lagi masalah itu, ya, gue tau pasti lu kesel banget sama gue yang malah gabisa hadir.” sambung Jihoon, panjang.

“Gue juga minta maaf karena bener apa yang lu bilang, gue bukannya apresiasi lu malah nunjuk kesalahan lu. Not to mention that what i pointing at about you was right, but i'm not the most right, perfect here too, gue ada salah ke lu, jadi gue minta maaf.”

“Gue harap,” Jihoon sedikit menjeda ucapannya, “Lo bersedia buat maafin gue dan koreksi diri juga perihal apa yang gue omongin kemaren. Karena, gue cuma bermaksud ngelurusin sikap lu, bukan cari-cari kesalahan lu. I'm all care for you and i hope you know it.”

Mendengar Jihoon yang menjelaskan panjang lebar, membuat Soonyoung menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia terlihat sedang mengontrol dirinya dan ingin merespon perkataan Jihoon.

“Sekarang kerjaan lu udah kelar?” tanya Soonyoung balik.

“Aman, makanya gue bisa ke sini.”

Usai jawaban dari Jihoon, Soonyoung mendekatkan posisi duduknya kepada Jihoon.

“Lu tau, gue ga bisa marah lama-lama ke lu, apalagi iya, you are the most care for me. Thank you udah ingetin gue, gue usahain ga akan ulangi itu. Gue minta maaf buat semuanya.”

Senyuman di wajah Jihoon terukir. Ia merasa lega karena emosi Soonyoung sudah mereda dan bisa menerima permintaan maaf sekaligus mengakui kesalahannya.

“Maafin, ga ya?” ledek Jihoon.

“Harusnya gue yang nanya kaya gitu, apalagi lu udah bawa-bawa red velvet kaya gini. Ini buat nyogok gue, kan?”

“Sembarang. Ini hadiah buat lu karena udah tampil kemaren sekaligus buat nunjukin, ini gaji gue di kerjaan dadakan kemaren langsung turun bayarannya.” Jihoon menjawab dengan berapi-api.

“Oh? Wow.. keren juga kantor lu, langsung dibayar gini.”

“Iya lah. Profesional tuh.”

“Iya-iya, udah dong maafin gue. Kemaren gue emosi karena capek juga. Coba kalo ada lu, pasti gue ga seemosi itu.”

Pertengkaran, selisih paham, perbedaan pendapat, kalau kata orang, itu hal yang biasa jika di dalam sebuah hubungan. Benar adanya, karena itupun yang Jihoon alami dan rasakan selama hampir 3 tahun menjalin hubungan dengan kekasihnya yang sekarang, Soonyoung. Pertengkaran receh seperti hari ini, bahkan sampai pertengkaran yang hampir membuat hubungan mereka selesai, itu semua sudah mereka lewati.

Tapi meskipun itu adalah hal yang biasa, meskipun itu adalah hal receh yang mungkin saja bisa membaik seiring berjalannya waktu, terima kasih pada pribadi keduanya, hal itu tidak pernah mereka anggap sepele. Pasti, salah satu dari keduanya akan berinisiatif untuk menyelesaikan masalahnya dan meminta maaf kepada yang lainnya. Hanya masalah kepala saja, siapa yang paling dulu dingin, biasanya yang akan menginisiasi hal tersebut.

Pun dengan Jihoon saat ini. Ia akui, ia memang sedikit berlebihan ketika menegur Soonyoung. Dan Soonyoung pun benar, Jihoon bukannya memberi apresiasi terlebih dahulu kepada Soonyoung yang jelas-jelas baru selesai tampil, malah membuat Soonyoung semakin lelah dengan menegurnya seperti itu. Meski, perbuatan Soonyoung tidak bisa dibenarkan, namun Jihoon yang membenarkan, juga tidak sepenuhnya bersih dari kesalahan.

Bukannya tidak mau, alasan ia tidak ikut Soonyoung ke lokasi Soonyoung tampil adalah karena deadline pekerjaannya yang tiba-tiba dimajukan menjadi hari ini. Jadi, mau tidak mau, hari kemarinlah Jihoon mengejar untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bukan pekerjaan yang berat, sih, Jihoon hanya menjadi freelancer di salah satu portal berita sebagai salah seorang penulis artikel website di tahun akhirnya sebagai mahasiswa. Namun meskipun begitu, tentu saja Jihoon harus bersikap profesional terhadap pekerjaannya dan menyelesaikan sesuai dengan ketentuan dari sana. Lagi pula, acara Soonyoung tidak mengharuskan dirinya hadir dengan sangat, jadi, ia memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya dibandingkan menemani Soonyoung.

Ya, Jihoon harap sore ini kepala Soonyoung sudah cukup dingin untuk membahas hal ini. Dan yang lebih penting, semoga Soonyoung sudah pulang karena sekarang ia sudah kembali berada di depan pintu kosan Soonyoung yang tertutup setelah semalam harus pulang lagi karena Soonyoung yang bermalam di rumah Jun.

Tangan kanannya mengepal, kemudian mengetuk pintu berwarna putih itu. Sementara tangan kirinya membawa sebuah plastik, sedikit oleh-oleh yang diharapkan akan mereka nikmati setelah mereka sudah berbaikan nantinya.

Tanpa membutuhkan waktu yang lama, pintu itu terbuka. Dilihatnya Soonyoung yang berdiri dengan tampilan biasanya, celana selutut dengan kaus tanpa lengan berwarna hitam. Ia tidak menyambut bahkan berucap apa-apa dan langsung kembali masuk, tanpa menyilahkan Jihoon untuk masuk.

Jihoon menutup pintu, kemudian melihat Soonyoung yang kembali ke hadapan laptopnya, menonton sesuatu, mengabaikan dirinya. Ia mengerti, Soonyoung masih kesal padanya. Jadi, Jihoon hanya berlalu tanpa berbicara, ke dapur untuk mengambil sesuatu sebelum ia kembali menghadapi bayi harimaunya yang sedang merajuk itu.

Tidak sampai 5 menit, Jihoon kembali, dan kini sudah duduk di sebelah Soonyoung. Soonyoung masih mengabaikannya dan fokus kepada film yang sedang ditontonnya sejak Jihoon belum sampai tadi. Jihoon tentu tidak mau ini berlanjut. Ia yang sudah selesai mengeluarkan beberapa kudapan manis yang dibawanya, akhirnya melepas earphone yang menutup lubang telinga Soonyoung, dan membuat Soonyoung kesal.

“Apaan, sih?” ujar Soonyoung kesal.

“Ini, gue bawa red velvet, ga mau?”

“Makan aja sendiri. Gue ga ganggu lu, kok lu ganggu gue?”

We need to talk before it's getting worse, Young.”

“Apa yang getting worse?”

“Cara ngomong lu aja kaya gitu, ya berarti lagi ga baik-baik aja.”

Soonyoung menghela napas. Ia memperbaiki posisi duduknya dan akhirnya menjeda film yang ditontonnya, kemudian menghadap kepada Jihoon.

“Apa?” tanya Soonyoung.

“Gue minta maaf.” Jihoon memulai. Ia mengesampingkan egonya tentang apapun yang ia ingin tunjuk sebagai kesalahan Soonyoung dan meminta maaf terlebih dahulu.

“Gue minta maaf karena gue gabisa hadir nemenin lu. Kaya yang gue bilang sebelumnya, ada kerjaan dadakan yang butuh kelar cepet dan gue cuma karyawan freelance yang emang lagi butuh duit dan ilmu dari sana, jadi gue gabisa ngapa-ngapain selain memenuhi tanggungan itu. Gue minta maaf. Kemarin, gue anggap lu udah gapapa soal ini, tapi ga nyangka lu dragging out lagi masalah itu, ya, gue tau pasti lu kesel banget sama gue yang malah gabisa hadir.” sambung Jihoon, panjang.

“Gue juga minta maaf karena bener apa yang lu bilang, gue bukannya apresiasi lu malah nunjuk kesalahan lu. Not to mention that what i pointing at about you was right, but i'm not the most right, perfect here too, gue ada salah ke lu, jadi gue minta maaf.”

“Gue harap,” Jihoon sedikit menjeda ucapannya, “Lo bersedia buat maafin gue dan koreksi diri juga perihal apa yang gue omongin kemaren. Karena, gue cuma bermaksud ngelurusin sikap lu, bukan cari-cari kesalahan lu. I'm all care for you and i hope you know it.”

Mendengar Jihoon yang menjelaskan panjang lebar, membuat Soonyoung menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia terlihat sedang mengontrol dirinya dan ingin merespon perkataan Jihoon.

“Sekarang kerjaan lu udah kelar?” tanya

When the camera is off..


Tiba saat kamera dimatikan, setelah Soonyoung mengucap salam perpisahan kepada penonton yang nanti akan menjadi penikmat video yang dibuatnya tadi, Soonyoung buru-buru berbalik, melempar kupluk yang dikenakannya sembarang, dan memeluk Jihoon yang berada di belakangnya.

“Hah? Soon—???”

Kulit keduanya yang tidak memakai pembatas apapun, lantas bersentuhan. Suhu dari masing-masing bertukar dan menguar hingga menimbulkan kehangatan, meskipun sebelumnya Jihoon sempat terkejut.

Kedua tangan Soonyoung yang semula memeluk, melingkar di leher Jihoon, perlahan turun hingga kedua telapak tangan besar itu menyentuh bongkahan sintal yang terbentuk indah kesukaan Soonyoung.

“Soonyoung!!”

“Ji, maaf banget tapi dari tadi gue nahan buat ga pegang ini huhu...”

Tangannya mulai lihai meremas bagian belakang itu dengan kepala Soonyoung yang bersandar di bahu Jihoon dan mata yang berulang terpejam sebab sensasi menyenangkan yang selalu ia dapatkan dari kegiatan ini. Jihoon yang sejak awal hanya melontarkan protes pun lama-lama takluk hingga lenguhan tipis mulai terdengar.

“Tangan lo ke sini aja, Ji.” ucap Soonyoung, menghentikan gerakan tangannya, kemudian memindahkan posisi tangan Jihoon yang sebelumnya kurang begitu nyaman, untuk melingkari lehernya, mengait di sana. Tidak ada penolakan dari laki-laki yang memakai celana pendek berwarna ungu itu, melainkan hanya menurut kepada ucapan dan tuntunan Soonyoung.

Kini posisi keduanya sudah lebih nyaman. Setelahnya, Soonyoung menunduk kepada yang lebih muda, mengarahkan wajah mereka mendekat untuk meraup belah bibir merah muda Jihoon yang merekah. Lagi, tentu saja tidak ada penolakan dan ciuman panas itu tidak terelakkan.

Soonyoung mendominasi kegiatan itu. Mengulum, menggigit kecil, kemudian masuk lagi untuk bermain dengan lidah Jihoon yang tidak melawan, bertukar saliva tanpa ada rasa enggan. Hanya ada kenikmatan dan hal-hal memabukkan di antara mereka berdua saat ini, yang membuat waktu di sekitar terasa berhenti dan memihak kepada mereka.

“Mmmh.. ha—mmh”

Lenguhan Jihoon berulang kali lolos setiap mulutnya memiliki kesempatan untuk bersuara. Badan yang lebih besar mendorongnya perlahan, hingga kini tubuhnya bersandar penuh di cermin besar ruangan gym yang sepi itu. Apa yang Soonyoung lakukan, selalu membuatnya kalah dan takluk meski sekeras apapun ia berusaha melawan.

Ciuman itu belum juga usai, meskipun memang Soonyoung tidak setega itu untuk terus memerangi bibir dan lidah Jihoon bergantian. Berulang kali, ia memberikan jeda kepada permainan itu untuk membiarkan Jihoon menghirup oksigen dengan sesekali menciumi pipi, rahang, hingga leher Sang Kekasih bergantian, lalu kembali lagi ke titik awal yang tidak pernah membuatnya bosan.

Jihoon mendorong bahu Soonyoung. Ia mulai merasa lelah dan tidak bisa mengimbangi permainan Soonyoung yang entah kapan berakhirnya. Mengetahui itu, Soonyoung langsung menghentikan ciumannya yang membuat untaian saliva keduanya menjalar sebagai tanda berakhirnya kegiatan itu.

Soonyoung tersenyum melihat Jihoon yang sedang berusaha mengendalikan napasnya. Laki-laki itu terengah dengan kepala yang bersandar kepada cermin di belakangnya dan bahu yang terus bergerak naik turun, senada dengan irama napasnya.

“You're so hot, sexy, and pretty, Ji. I wonder what was God thinking while creating you.” ujar Soonyoung sambil menyeka basah di sekitar bibir Jihoon dengan tangannya, tanpa menanggalkan tatapannya yang sejak awal terpaku kepada kekasih di hadapannya itu.

“Berisik.” balas Jihoon singkat.

“Hahahahaha.” begitulah balasan Soonyoung ketika Jihoon sedang berusaha menyembunyikan semburat merah di telinganya. Gemas, namun Soonyoung paham bahwa begitulah bahasa cinta Jihoon.

“Cium sini, Ji?” pintanya lanjut, sambil mengarahkan pipi kanannya ke hadapan Jihoon, meminta pacar lucunya itu untuk meninggalkan jejak bibirnya di sana.

Jihoon yang belum selesai tersipu dengan pujian Soonyoung, sudah harus memajukan bibir bawahnya lagi, menghela napas kasar, kesal, dengan sikap Soonyoung. Namun tetap, lagi, dan selalu, Soonyoung akan menang dan Jihoon akan menurut. Pipi Soonyoung yang sudah berada persis di hadapannya, ia kecup dengan bibirnya yang sudah membengkak akibat permainan Soonyoung sebelumnya. Meskipun tidak meninggalkan bekas, namun kecupan itu terasa di sana dan membuat garis bibir Soonyoung tertarik hingga melukiskan senyum di wajah tampan laki-laki gemini itu.

“Makasih, Ji.”

“Um.” jawab Jihoon singkat sambil mengangguk, “Yaudah, ayo sekarang balik.” ajaknya sambil mulai berjalan. Namun langkahnya terhenti begitu tangannya ditahan oleh Soonyoung yang seolah tidak membiarkannya pergi.

“Apa?” tanya Jihoon, sedikit menoleh.

“Nanti mandi bareng, ya?” pinta Soonyoung.

Meskipun bukan sekali dua kali Soonyoung meminta seperti itu dan bukannya tidak pernah juga mereka melakukan itu, namun tetap saja ketika Soonyoung meminta, Jihoon tidak memiliki cukup alasan untuk menolaknya. Ia mengangguk sambil memberi jawaban singkat, “Iya”.

Soonyoung tersenyum mendengar jawaban yang sudah diperkirakannya. Ia kembali menahan Jihoon, namun kini menghadapkan tubuh Si Pacar yang lebih kecil darinya itu untuk menghadap sepenuhnya kepadanya.

“Apa la—”

Bukan, bukan ada ronde kedua dari ciuman panas seperti tadi. Soonyoung hanya sedikit merapikan penampilan Jihoon. Lagi, ia mengusap bekas-bekas di sekitar bibir Jihoon, kemudian merapikan rambut hitamnya yang cukup berantakan, dan memakaikan topinya kembali di saat sebelumnya topi itu sudah jatuh sembarang di tengah permainan mereka.

“Pacar gue lucu banget.” ujar Soonyoung sambil mencubit pipi berisi Jihoon.

“Iya, emang gue lucu.”

Soonyoung tertawa kecil membalasnya, kemudian menyejajarkan posisi dengan Jihoon, lalu menggandeng tangannya.

“Nanti pas mandi kita mau ngapa-ngapain dulu, ga?”

“Bantu gue gosok gigi aja.”

“Oh ciuman lagi, tapi sambil telanjang?”

Mendengar pertanyaan itu, spontan Jihoon menoleh ke samping sambil melepas tangannya yang digenggam Soonyoung. Alih-alih sikap lemah lembut yang didapatkan, apalagi setelah ciuman ekstra panjang mereka sebelumnya, Jihoon malah dengan ringannya mengayunkan tangannya itu ke arah kepala Sang Kekasih, menempeleng hingga Soonyoung terhuyung, sambil berkata,

“Ga gitu maksud gue.”

The morning after a longing


Sebuah minggu pagi yang tenang meski sebenarnya sudah hampir siang, dengan keduanya yang bermalasan di atas sofa sambil membiarkan televisi di hadapan menyala tanpa perhatian yang berarti dan Soonyoung yang terus bercerita tentang kegiatannya selama ditinggalkan oleh Jihoon.

Beberapa kali Jihoon mengerjapkan matanya, mencoba menahan kantuk supaya tetap bisa mendengarkan cerita dan suara Soonyoung yang seminggu sebelumnya hanya bisa ia dengar melalui telpon. Sebelum kembali sama-sama disibukkan dengan pekerjaan yang menunggu, hari ini mereka ingin menjadikan waktu untuk keduanya bersama selama seharian penuh dengan melepaskan tanggung jawab apapun yang selama seminggu penuh sudah memaksa mereka untuk terpisah.

But of course as Jihoon arrived home after his bussiness trip semalam, Soonyoung benar-benar melampiaskan kerinduan yang sudah dipendamnya. Ia mencumbu kekasihnya hingga nafsu liarnya tidak lagi tertahan. When Jihoon supposed to rest, there is Soonyoung forced to fuck him hard. Sudah pasti itulah yang menjadi alasan dirinya sangat mengantuk dan lelah pagi ini. Ya meskipun Jihoon sempat tertidur juga beberapa jam setelah kegiatan panas mereka, tapi tetap saja, Jihoon after a long trip and one week without his boyfie, should be treated by a full of sugar such as cuddling, hugging while sleeping, showered by kiss before bed, etc. But instead of that, Soonyoung malah membiarkan Jihoon beristirahat hanya setelah mendapatkan satu ronde olahraga keras yang berhasil membuat napasnya tersengal dan dadanya berdebar. I don't think it is a good decision, even Jihoon enjoyed the pleasure after it.

Dan sekarang Soonyoung mendapati Jihoon yang matanya sudah terpejam. Punggungnya bersandar sepenuhnya dan kepalanya ditahan oleh bantal yang ia selipkan di antara punggung dan sandaran sofa. Melihatnya, perhatian yang sebelumnya ditujukan kepada bulu ayam yang dimainkannya, sekarang sepenuhnya terfokus kepada figur kekasih di atasnya. Soonyoung yang sebelumnya membiarkan kepalanya berada di atas paha Jihoon perlahan bangkit, mempertipis jarak, dan memperhatikan Jihoon dengan seksama sambil duduk di sebelahnya.

Setelah beberapa menit hanya menatap lelakinya yang tertidur sambil duduk itu, Soonyoung merasa gemas. Namun tetap saja Soonyoung adalah Soonyoung. Keisengannya mulai muncul. Ia mengarahkan bulu yang dipegangnya ke pipi Jihoon. Mengusap, memainkannya di sana dengan lembut, berharap Jihoon merasa geli dan terusik dari tidurnya.

Namun ternyata cara itu tidak berhasil. Meski begitu, Soonyoung tetap mencoba dengan terus menggerakkan bulu yang dipegangnya hampir ke seluruh wajah Jihoon. Pipi kanan dan kiri, kening, bahkan leher sekalipun tidak absen dari jangkauan si bulu halus ini. Sampai akhirnya Soonyoung mencoba cara terakhir yang sudah ia siapkan jika Jihoon tidak kunjung bangun setelah berbagai cara sebelumnya. Kini ia mengarahkan bulu itu ke depan lubang hidung Jihoon dan menggerakkannya perlahan, membiarkan ujung bulu halus itu bergerak mengenai hidung sang kekasih.

Dan ya, berhasil. Sesuai dengan dugaannya, ini adalah cara yang akan ia gunakan jika cara sebelumnya masih gagal. Sekarang Jihoon sudah membuka matanya dengan menemukan Soonyoung yang sedang tertawa gemas di sebelahnya, menertawai dirinya yang terbangun akibat perbuatan Soonyoung tadi.

“Soonyoung???”

Soonyoung masih tertawa, tidak peduli bagaimana kesal Jihoon diganggu ketika terlelap.

“Ahahaha, aduh, kamu lucu banget. Lagian salah kamu sendiri, aku lagi cerita malah ditinggal tidur.” ujar Soonyoung setelah berhenti dari tawanya.

Tanpa memberikan jawaban kepada Soonyoung, Jihoon bergerak. Ia mendorong tubuh Soonyoung dengan kedua tangannya, memaksa yang lebih tua untuk berbaring di atas sofa dengan dirinya yang bertumpu penuh pada kedua lengannya sambil mengukung Soonyoung dari atas.

Soonyoung yang terkejut hanya membuka lebar matanya saat melihat pemandangan wajah Jihoon dari bawah yang sudah lama tidak ia jumpai. Tatapannya yang lurus dan tegas, urat tangan yang terlukis di lengannya yang kini terlihat oleh Soonyoung sedang mengunci dirinya di bawah, sepertinya Soonyoung harus paham tentang apa yang akan terjadi setelah ini.

“Sayang,” panggil Jihoon dengan suara rendahnya tepat di telinga Soonyoung.

“Kamu tau kan, seharusnya ga ganggu macan yang lagi tidur?”

Mendengar itu, Soonyoung hanya bisa menelan liurnya hingga suaranya bisa terdengar oleh dirinya sendiri. Seperti pada waktu yang pernah mereka lewati sebelumnya, jika Jihoon sudah seperti ini, sepertinya tidak ada pilihan bagi Soonyoung yang akan membuatnya terbebas dari yang katanya macan yang sedang tidur.

Beberapa detik setelah sejenak hening, Soonyoung semakin gelisah karena sekarang Jihoon sudah mulai menciumi pipinya. Setiap inci wajah Soonyoung tidak terlepas dari ciuman yang dihujani oleh bibir tipis Jihoon. Sampai akhirnya tiba di permukaan yang cukup tebal dan kenyal kesukaan Jihoon, bibir Soonyoung. Ia melakukannya dengan lebih lembut lagi sambil memberikan gigitan-gigitan kecil di selanya. Soonyoung tidak bisa berbuat apa-apa melainkan menikmati apa yang Jihoon lakukan kepadanya saat ini.

Mungkin setelah semalam dirinya yang dipuaskan atas kerinduan yang ditahan, kini giliran Jihoon yang harus menuntaskan perasaan itu dan menyelesaikan semuanya.

Ciuman itu berakhir setelah Jihoon juga berhasil memainkan lidah Soonyoung yang membuat untaian liur menjadi penghubung mulut mereka yang sudah tidak lagi terkait. Jihoon menatap Soonyoung dalam diamnya, kemudian tersenyum sambil menyeka basah liur mereka yang berantakan di sekitar bibir Soonyoung.

“Tolong temenin aku.”

Terdengar sebuah perintah dengan mata sayunya, namun apa yang dilakukan Jihoon setelahnya malah membuat Soonyoung terkejut.

Yang Soonyoung kira akan ada ronde selanjutnya dari permainan semalam dengan mereka yang bertukar posisi, sebaliknya, Jihoon malah menjatuhkan dirinya ke atas tubuh Soonyoung yang sedari tadi sudah terbaring di bawahnya. Soonyoung yang bingung hanya menerima tubuh Jihoon di atasnya, dengan kepala Jihoon yang juga berada di atas dadanya.

“Sayang, kamu ngapain?”

“Mau ngelanjutin tidurku lah, kamu pikir aku mau apa?”

Soonyoung yang mendapat pertanyaan balik setelah melontarkan pertanyaan kepada Jihoon malah kembali tertawa. Seharusnya ia tidak memikirkan hal lain dan sadar kalau kekasihnya ini pasti lelah, ditambah karena nafsunya semalam yang memaksa Jihoon untuk berusaha terlalu keras disaat dia harus istirahat.

Soonyoung tidak berniat memindahkan Jihoon-nya sama sekali. Namun kini ia mengangkat kedua kakinya agar kaki Jihoon berada di tengah. Setelahnya, kaki yang diangkatnya itu kembali diturunkan dengan posisi yang kini merangkul Jihoon layaknya merangkul sebuah guling. Sementara lengannya juga tidak mau kalah dengan memeluk tubuh bagian atas yang lebih muda, sambil berulang-ulang mengelusnya. Jihoon yang menyadari Soonyoung menerimanya, juga memperbaiki posisinya supaya lebih nyaman berada di dalam pelukan Soonyoung dan memejamkan matanya barang beberapa semenit.

Sleep, sleep well my sweetie. You've did well 'till today.


fin, sunflosan.

Hari hampir berganti. Sudut yang terbentuk dari jarum panjang dan pendek jam di dinding sudah terlalu lancip. Di pertengahan angka 11 dan 12 jarum pendek berada, sementara jarum panjang perlahan bergerak dengan pasti hingga sekarang menunjuk angka 10. Sudah seharusnya manusia mengistirahatkan diri, menikmati malam yang diberikan sebagai waktu yang paling nyaman dan tenang untuk memulihkan seluruh raga yang terkuras karena padatnya kegiatan selama satu hari.

Sudah kurang lebih 1 bab Soonyoung habiskan, bahkan sekarang sudah halaman kedua dari bab selanjutnya dari buku yang tengah ia baca. Ia memaksa matanya untuk tetap terjaga, menunggu laki-lakinya menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya tidak dibawa pulang, agar bisa tidur bersama, terlelap bersama menjelajahi alam mimpi yang mungkin saja akan lebih indah dari dunia sekeliling mereka.

“Yang, kamu belum?”

Mata Soonyoung sudah tidak lagi kuat untuk membaca. Fokusnya juga sudah tidak lagi terjaga untuk mencerna kata demi kata yang dirangkai menjadi kalimat di sana. Ia meletakkan bukunya dan menatap Jihoon yang terlihat sangat lelah di meja kerjanya.

“Udahan, Soon. Ini aku lagi otw matiin laptopnya. Lag banget.” ujar Jihoon dari seberang sana.

Soonyoung yang mendengar itu mengangguk, kemudian bangkit meraih gelas air putih di atas nakas dan beranjak menghampiri Jihoon, bermaksud membantu merapikan berkas-berkas yang berceceran di atas meja.

“Jangan! Itu aku aja yang beresin. Kamu taro gelas kopi ini aja, sama nanti beresin laptopnya ke laci. Makasih Soonyoung, sayang.”

Lagi-lagi Soonyoung mengangguk dan menurut perintah Jihoon. Memang sebaiknya ia tidak menyentuh berkas-berkas itu karena kalau sampai tidak ditata dengan benar, tentu itu akan menjadi masalah baru untuk Jihoon di waktu yang akan datang.

Tidak lama, Soonyoung kembali dari dapur dengan gelas lain yang terisi penuh dengan air putih. Bukan untuk dirinya karena miliknya masih ada di atas nakasnya, namun itu untuk Jihoon. Ia kemudian bergegas menggulung kabel charger laptop yang terurai dan merapikan laptop Jihoon ke dalam laci. Sementara Jihoon, sudah selesai dengan kertas-kertas pentingnya yang tidak lagi terlihat menumpuk di atas meja.

“Sayang, aku tunggu di kasur, ya.”

“Iya, Soonyoung. Makasih ya udah nungguin. Bentar ya, aku cucian dulu.”

Setelahnya, Soonyoung kembali ke atas kasur. Ia melepas atasannya, menyisakan dirinya yang hanya mengenakan celana pendek. Memang sudah biasa ia tidur seperti ini jika udara tidak dingin. Sekarang, ia hanya perlu menunggu Jihoon dan segera melepaskan kantuknya yang sedari tadi sudah menjagalnya.

Jihoon kembali dari toilet kecil di kamar itu dengan atasan hitam yang lebih besar dari ukuran tubuhnya dan celana pendek yang hampir tidak terlihat. Ia langsung duduk di atas kasur, meminum air putih yang dibawakan Soonyoung, dan segera merebahkan dirinya di sebelah sang pacar.

“Soonyoung, aku capek.” ujar Jihoon sambil memeluk Soonyoung.

“Ya capek, lah. Pulang kerja itu waktunya istirahat, bukan pindah tempat kerja. Bawa pulang kerjaan mah sama aja kamu kerja.”

“Ih Soonyoung, tapi kalo aku ga gini, nanti numpuk banget besok. Aku lebih males kalo kelamaan di kantor. Gabisa curi-curi liat kamu kalo lagi capek. Kan kalo di rumah, capek juga nanti dicium sama kamu.”

Soonyoung berhasil dibuat tertawa oleh kata-kata Jihoon. Yang niat awalnya ingin sedikit keras dalam mengingatkan Jihoon, malah jadi mleyot dengan mendengar gombalan kekasihnya itu. Jihoon memang sudah tahu Soonyoung dan bagaimana menghadapi dirinya, jadi ya seperti inilah.

“Sekarang mau dicium berarti?” tanya Soonyoung balik.

Ghost Of Smile


Gelap, namun bukan sebab malam yang menyelimuti.

“Ay,”

Tapi itulah yang Soonyoung dapati begitu membuka pintu kamar yang beberapa waktu terakhir ini menjadi tempat keduanya —sebagai sepasang kekasih— untuk beristirahat.

Tidak salah ingat, kamar ini adalah kamar yang selalu terisi dengan tawa dan senyum dari keduanya untuk keduanya. Juga yang menjadi saksi peluk hangat, cium manja, dan pergumulan panas dua manusia yang terikat perasaan indah. Serta yang menjadi tempat mereka melepas emosi sebagai sewajarnya manusia; sedih, senang, marah, kesal; baik itu karena hubungan dengan manusia lain yang tidak bisa dihindari atau karena kerikil kecil yang menghadang di sepanjang jalan hubungan mereka.

Tapi hari ini, Soonyoung seperti melihat sesuatu yang berbeda.

Soonyoung duduk di tepi kasur, di sisi lain yang bersebrangan dari posisi Jihoon meringkuk di dalam selimutnya. Ia belum bertanya kepada satu-satunya penghuni kamar selain dia itu. Soonyoung malah menelisik ruang ini dengan pandangnya yang dilekatkan pada setiap detail sudut-sudut kamar yang berantakan.

Mereka pernah bertengkar dan Soonyoung tidak pernah mengingatnya lagi jika masalahnya sudah selesai. Namun melihat ini, Soonyoung jadi mengingat bahwa bahkan kamar mereka hari ini terlihat lebih parah dibanding ketika mereka bertengkar hebat dulu.

Pasang baju dan celana yang berserakan, sisa makanan instan beserta bungkusnya yang menumpuk, cahaya yang hanya bersumber dari ventilasi kecil di atas jendela, ditambah bau apek yang dulu selalu Jihoon koreksi kepada Soonyoung. Tidak disangka, semua itu yang menjadi pemandangan di depan matanya, di dalam kamar mereka.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Soonyoung melihat kekacauan di kamar mereka seperti ini.

Mungkin sudah hampir 2 bulan yang lalu? Soonyoung tidak terlalu ingat.

“Ayang,”

Namun perasaannya kembali perih, lagi dan lagi. Hatinya terasa seperti teriris setiap menemukan Jihoon-nya yang menjadi seperti ini..

... karena dirinya.

Soonyoung beranjak dari sana, berjalan ke arah jendela dan perlahan membuka gorden yang menghalangi sinar matahari pagi.

“Ay, cerah, nih. Jalan, yuk?”

Meski senyum dan nada yang riang berusaha ia keluarkan, namun jawaban tidak didapat. Ajakan Soonyoung dibiarkan bersambut dengan angin, membuat hening berlanjut menguar di sekitar mereka.

Soonyoung tidak akan menyerah. Kini ia mengambil sebuah jaket yang tergeletak sembarang di lantai dan membawanya kepada Jihoon.

“Ini jaket gue kenapa ikutan di lantai deh?”

Usai meletakkan jaketnya di atas kasur, di samping tempatnya duduk, tangannya bergerak menyentuh gundukan selimut yang ia yakini sebagai bahu Jihoon. Soonyoung mengusap dan menepuknya perlahan, hingga berhasil. Jihoon menurunkan selimutnya sampai akhirnya kedua mata sembabnya dapat terlihat oleh Soonyoung.

Soonyoung hanya memperhatikan gerak Jihoon. Pria kesayangannya itu mulai bergerak malas meraba permukaan kasur, mencari sesuatu. Tanpa peduli dengan kehadiran Soonyoung, Jihoon menyalakan ponsel pintarnya yang membuat wajah berantakannya semakin jelas terlihat berkat sinar dari gadget itu.

“Ay, Jihoon.. ada yang mau gue omongin sama lo.”

Begitu ucap Soonyoung dengan nada yang serius namun tetap lembut. Meski begitu, Jihoon masih bergeming dengan fokusnya yang masih kepada layar terang di tangannya.

“Maafin gue ya, karena udah bikin—”

Kata-kata Soonyoung terhenti begitu ia kembali mendengar suara isakan,

... lagi.

Suara sesak napas karena menahan emosi yang akan meluap, kembali terdengar— atau malah bukan akan meluap, namun sudah tidak ada lagi yang diluapkannya karena sudah terlalu banyak sejak hari Jihoon memulai.

Yang ada hanya tinggal isakan, napas yang berusaha ditarik dalam agar emosinya kembali stabil.

Jihoon yang Soonyoung kenal selalu menjadi pribadi yang kuat dan menguatkan. Dia jarang sekali menangis dan akan selalu menangis di dalam dekapan Soonyoung, itu pun setelah dipaksa untuk bercerita. Namun akhir-akhir ini, bahkan hingga hari ini, Jihoon terlalu sering mengeluarkan air matanya yang hanya membuat dirinya semakin terpuruk dan tidak kunjung beranjak dari keadaan yang memang tidak bisa mereka tolak.

Soonyoung adalah pelakunya dan Soonyoung tahu persis. Maka dari itu, ia selalu datang ke sini, mencoba mengajak kekasihnya itu berbicara baik-baik. Tapi tidak ada balasan, tidak ada perhatian yang sepadan, bahkan tidak pula didengarkan.

Meski setiap harinya selalu sama, Soonyoung terus membuka pintu itu. Meski ia harus kembali merasa sakit melihat Jihoon-nya yang kacau, Soonyoung terus mengajak Jihoon berbicara dan mengajaknya keluar untuk menikmati cuaca yang cerah. Meski semuanya terlihat sia-sia, Soonyoung tetap harus meluruskan semuanya. Berkata maaf dan meminta Jihoon untuk melanjutkan semuanya dengan harapan yang lebih baik.

Jihoon menyeka air matanya. Ia meletakkan kembali ponselnya dan kini duduk bersandar pada hard board kasurnya. Soonyoung yang terlampau senang melihat Jihoon yang akhirnya bangun, spontan berhambur memeluk, mendekap tubuh Jihoon sambil berulang kali menciumi puncak kepala kekasihnya itu.

“Soonyoung..”

Gumaman itu tentu didengar Soonyoung. Jihoon balas memeluk, tidak kalah eratnya dibanding bagaimana Soonyoung melakukannya. Mendapati itu, Soonyoung tersenyum dalam diamnya dan pelan-pelan air mata mengalir tanpa seizinnya.

“Soonyoung, maafin gue.”

Soonyoung menggeleng, ia senang Jihoon kembali berbicara, ia senang Jihoon kembali merasa, namun ia tidak senang dengan perasaan bersalah yang menghantui Jihoon. Dia tidak seharusnya merasakan hal itu.

“Ay, lo tau kan, selama manusia hidup, pasti mereka pernah ngelakuin kesalahan? Sama aja kaya berantem kecilnya kita karena gue kebanyakan makan makanan manis atau karena gue yang larang lo minum cola terlalu banyak. Dan semuanya itu udah diatur sedemikian rupa, sampe semuanya kejadian jadi si A, si B. Jadi lo ga perlu ngerasa bersalah dan minta maaf sama sesuatu yang bukan salah lo itu, ya?” ucap Soonyoung panjang.

Jihoon melepas pelukannya. Ia kembali bersandar sambil mengatur napasnya perlahan, sementara Soonyoung hanya memperhatikan.

Yang diperhatikan tidak terlalu memberikan tindak-tanduk istimewa atau untuk mengharapkan Jihoon menyadari dirinya, itu terlalu susah. Namun berapa detikan jam berlalu, akhirnya diamnya mereka memberikan hasil.

Senyum Jihoon kembali terlihat, bunga di hati Soonyoung kembali merekah.

Pria itu kembali menyeka matanya, membersihkan sisa air mata dan rasa mengganggu di matanya. Kemudian ia bangun dari sana, beranjak ke arah jendela kamar dan perlahan membukanya.

“Soonyoung, hari ini cerah. Mau main ke luar?”


“Jihoon, lo warnain rambut kapan, ih?? Kok gue ga inget, ya.. Terus juga ini lebih panjang?? Kenapa ga kasih tau gue dulu..?”

“Jihoon, lo pake kaos tangan pendek gini, nanti kulit lo rusak..”

“Jihoon, nanti mampir beli kue, ya? Jangan omelin gue, please, gue mau makan enak. Yaaa?”

Soonyoung terus merengek. Menyebutkan hal yang menarik perhatiannya mulai dari yang ada pada diri mereka, hingga apapun yang mereka lewati dan lihat sepanjang perjalanan. Begitu pun ketika mereka melewati toko kue yang selalu Soonyoung singgahi, Jihoon yang sempat berhenti di depannya dan tersenyum, tentu saja membuat Soonyoung senang dan berharap mereka akan mampir setelah ini dan menikmati sepotong kue dengan minuman hangat di sana.

“Jihoon, tapi kalo gue boleh jujur, lo beneran cakep banget deh rambutnya kaya gini. Ga sia-sia kan, gue minta lo begini kemaren, hahaha.”

Untuk perkara satu itu, Soonyoung memang terlampau senang. Permintaannya tempo hari lalu memang bukanlah tanpa alasan dan lihatlah bagaimana Jihoon terlihat lebih menawan dari yang biasanya ketika rambutnya memanjang dan berwarna pirang.

Hal itu membuat Soonyoung terus tersenyum di sepanjang jalan. Pun karena Jihoon yang juga terlihat lebih baik, Soonyoung sangat mensyukurinya.

Di tengah perjalanan, mereka melipir ke sebuah toko bunga. Bukan hal yang biasa mereka lakukan, namun Soonyoung tetap mengikuti Jihoon hingga Jihoon selesai memesan sebuah buket dandelion.

“Bunganya bagus, kan? Lo suka ga?”

“Suka! Aneh kalo gue bilang gasuka dikasih bunga sama pacar gue yang paling ganteng.” jawab Soonyoung yang terlalu antusias mendengar pertanyaan itu, sambil mengangguk cepat. Ia hanya tidak mengira, bunga itu dibeli untuknya.

Keduanya kembali melanjutkan perjalanan hingga langkah kaki mereka memasuki sebuah kawasan yang sebelumnya sangat dihindari oleh Jihoon, namun pada akhirnya Jihoon datangi demi Soonyoung, demi masa depan mereka.

Jihoon terhenti pada sebuah objek yang tidak pernah ia harapkan untuk ia hampiri dalam waktu dekat ini. Namun karena sebuah keharusan, akhirnya Jihoon berdiri di sini, menatapnya sambil lagi, air matanya keluar.

“Soonyoung, gue dateng, nih.”

Yang disapa hanya tersenyum, dengan bibir yang sedikit bergetar. Matanya ikut berkaca sambil berusaha menahan agar air itu tidak mengalir bebas dan membuat Jihoon kembali bersedih.

“Selamat datang, Ayang!”

Meski sudah tau mereka akan ke mana hari ini dan Soonyoung yang mengekor di belakang Jihoon sejak dari rumah, namun Soonyoung tetap menyambut tamu yang paling ia tunggu itu dengan hangat. Mungkin tidak lagi bisa sehangat matahari atau sehangat Soonyoung yang biasanya, karena dirinya sudah tidak mungkin bersinar seterang Soonyoung yang dulu lagi.

“Liat gue bawa apa,” kata Jihoon sambil meletakkan buket bunga yang dibeli tadi di hadapannya, ”... cheesy banget gasih gue ngasi ginian...” lanjutnya lagi disambung tawa.

“Seumur-umur, lo ga pernah kasih gue bunga, Jihoon. Makasih, ya.”

Jihoon tersenyum dan mengangguk, kemudian memperbaiki posisinya.

Kini pacarnya itu sudah jongkok di sana dengan lebih nyaman. Soonyoung ingin menahannya, namun tidak keburu karena air mata Jihoon kembali jatuh meski bibirnya masih tersenyum.

“Soonyoung, apa kabar?

... maaf banget gue baru ke sini hari ini. Maaf juga gue ga cukup kuat ketika lo pergi, hahahaha, padahal dulu yang cengeng tuh lo, ya..

... liat, gue bahkan lupa beberapa minggu yang lalu gue sempet warnain rambut gue saking frustasinya gue ditinggal lo. Gue pengen lo liat rambut gue kaya gini dan sekarang kesampean, kan? Tapi sayang banget lo ga bisa pegang, hahahaha. Tapi gausah pegang juga deh, ini rambut gue lagi ga keurus banget hehe

... Soonyoung, doain gue semoga gue kuat, ya. Lo samperin gue kapan aja, tetep kasih semangat ke gue juga biar gue ga mleyot. Tetep jadi bulol-nya gue, tetep jadi Soonyoung yang senyum dan sok ganteng, ya.

Dada Soonyoung kembali sakit, ia tidak kuat melihat Jihoon yang menahan emosinya dan terus berbicara meski suaranya bergetar.

“Eh iya, nanti gue mau mampir ah, ke toko kue yang biasa lo mampir itu. Gue mau cobain kue yang selalu lo beli itu hahahaha, mari kita buktiin, emangnya seenak itu?”

Soonyoung ikut tertawa mendengarnya, meski senyum getir yang selanjutnya ia lihat di wajah Jihoon.

Jihoon-nya menunduk, ia terlihat sudah tidak lagi memasang topeng di wajahnya.

Soonyoung yang sudah ikut berjongkok di hadapan Jihoon sejak tadi, kini malah duduk agar keduanya semakin dekat, agar wajah Jihoon dapat semakin intens ditatapnya, agar ia bisa dengan mudah membantu Jihoon menyeka air mata itu.

Meski tidak mungkin.

“Jihoon, makasih ya udah ngajak gue jalan hari ini. Gue seneng banget akhirnya lo mau ngomong sama gue lagi dan mau nemuin gue. Tau ga sih, gue takut lo gamau ngomong sama gue selamanya.. Pasti gue jadi orang yang paling menyedihkan banget kalo lo sampe begitu.

... Oh iya, lo jangan minta maaf terus ya, jangan ngerasa bersalah juga. Ga ada yang perlu rasa bersalah dari lo karena ya emang lo ga salah apa-apa. It's okay, kok, lo ga harus selalu kuat. Makasih udah bangkit hari ini dan bisa terima semuanya. Ke depannya, gapapa kalo lo mau nangis, kalo lo gamau senyum, kalo lo mau ngadu ke gue, jangan pernah sungkan, ya? Karena gue udah gabisa maksa lo lagi kaya dulu.

... Yang perlu lo inget, gue ga kemana-mana. Jadi, keep up, ya! Gue malah sedih kalo lo sedih terus karena inget gue.. Lo itu kuat dan selalu kuatin gue dari dulu, jadi gue yakin banget lo bakalan terus kuat ke depannya. Gue selalu doain lo, kok. Tapi jangan lupa doain gue juga, ya, hahahaha.”

Kini gantian, Soonyoung yang tersenyum getir usai menyelesaikan kalimat panjangnya. Ia meraih dagu Jihoon, sedikit menariknya agar wajahnya tidak lagi tertunduk. Tangannya yang lain juga turut andil, menyeka air mata di kedua pipi kekasihnya.

“Udah, angkat dagunya, tunjukin muka cowok Soonyoung yang paling ganteng ini. Ini juga kenapa pipi bisa basah? Udah yuk senyum lagi,”

Soonyoung malah tertawa sendiri usai menyuruh Jihoon tersenyum sambil mencubit daerah pipi dekat bibir Jihoon. Senyuman terpaksa terbentuk dan tawa lain juga terdengar dari Jihoon.

Setelahnya diam kembali menguar. Dengan Jihoon yang menatap bunga yang tergeletak di depannya dan Soonyoung yang masih menatap sendu Jihoon.

Hingga sebuah kata yang sama terdengar dari mulut mereka,

“Gue sayang sama lo, Ji, Soon

Akhirnya, kata itu terdengar, terutama dari bibir Jihoon. Setelah mungkin 2 bulan yang lalu Jihoon terakhir mendengarnya dari Soonyoung atau Soonyoung yang bahkan lupa kapan ia mendengar Jihoon sejujur itu mengungkapkan perasaan yang selalu gagal ia sembunyikan itu.

Keduanya tersenyum setelahnya. Lebih teduh, lebih ikhlas, kali ini benar-benar sebuah senyum yang biasa menghias wajah mereka ketika mereka menghabiskan waktu berdua seperti dulu.

Soonyoung yang tidak kuat dengan diam di sekitar mereka, akhirnya menjadi Soonyoung yang biasanya. Tangannya mengangkat dan ia mengacak rambut pirang panjang Jihoon. Tangan yang sudah gemas sedari tadi akhirnya bisa lepas dan berhasil menyentuh rambut yang selalu ingin ia lihat dari sang kekasih itu.

“Gausah ketawain gue ya, Soonyoung. Rambut gue beneran berantakan ini, elah.” ujar Jihoon sambil merapikan rambutnya. Sementara Soonyoung hanya tertawa geli melihat Jihoon yang kesal.

“Yaudah ya, gue harus beres-beres kamar lagi. Gue cuma beberes sendirian, ga ada lo yang bisa gue suruh-suruh, jadi perlu ekstra waktu. Jadi, gue balik dulu.”

Bukan ini yang Soonyoung ingin dengar, tapi entah kenapa rasanya sangat tenang mendengar Jihoon mengatakan itu.

Mungkin lebih tepatnya, mendengar Jihoon yang akhirnya bisa menerima keadaan yang sudah tidak lagi sama.

Jihoon benar-benar bangkit dari posisinya. Berdiri menghadap nisan yang tertulis nama lengkap Soonyoung beserta tanggal lahir dan tanggal berpulangnya.

Kali ini, Soonyoung benar-benar harus berpisah dengan Jihoon. Bukan hanya tidak lagi didengar dan tidak disadari kehadirannya, namun juga menyadari bahwa mereka telah berada di kehidupan yang berbeda.

“See you, bulol.”

Dan sosok itu pun berbalik, punggungnya perlahan menjauh. Jihoon-nya sudah menjadi lebih baik dari setelah hari di mana ia meninggalkannya, namun tidak bisa ia menyembunyikan perasaan sakitnya lagi untuk berpisah selama-lamanya dari Jihoon.

“Jihoon, terus bahagia, ya.”


Sebenarnya Jihoon sedikit ragu dengan tangkapan matanya yang melihat pria berkemeja putih di seberangnya adalah Kwon Soonyoung, salah satu dosen muda di kampusnya yang sangat terkenal terutama di kalangan mahasiswa perempuan. Sudah pasti karena paras dan posturnya yang hampir sempurna, namun tambahan lagi karena kepribadiannya yang cukup santai namun tetap berwibawa dan berbagai pencapaian pribadi lainnya yang membuat ia sering diagungkan oleh mahasiswa jika dibandingkan dengan dosen kampusnya yang lain.

Namun jumat malam ini, sepertinya seluruh image itu akan gugur bersamaan dengan bertemunya tatap mereka meski dari bangku yang berjauhan. Gay bar, tempat Jihoon biasa melepas lelahnya dunia dan menikmati sisi lain dari sandiwara tak berkesudahan ini, tidak disangkanya juga menjadi tempat ia menemukan puncak dari drama yang dimainkan oleh dosen muda tampan, si pemilik hati hampir seluruh wanita di kampusnya. Pasalnya, dapat dipastikan jika berita ini tersebar, maka semua image serba bagusnya itu akan segera runtuh dan patah hati jamaah juga akan terjadi hingga menjadi berita paling favorit di kampusnya nanti.

Itu tadi. Sekarang, Jihoon sudah berdiri di depan pintu bertuliskan 3G, seperti yang disampaikan dosennya itu melalui ruang obrolan pertama mereka. Selain karena ingin melihat secara langsung bagaimana pria dewasa itu mengatasi situasi tak terduga ini, Jihoon juga penasaran dalam konteks personal kepada Bapak Kwon ini.

Tanpa bisa disembunyikan, ia akui jantungnya berdegup lebih kencang dari beberapa menit yang lalu. Jihoon memutuskan untuk menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum mengetuk dan menunggu balasan dari seseorang yang mungkin sudah menunggunya.

“Masuk”

Suara dari dalam menjawab dan benar terdengar seperti Kwon Soonyoung. Jihoon memutar knop pintu dan membukanya perlahan. Tidak salah, pria yang dilihatnya tadi adalah Soonyoung yang sekarang tengah menunggunya sambil duduk di atas kasur.

Jihoon berusaha menyembunyikan gugupnya. Ia langsung menutup pintu dan memutar kunci yang tergantung di pintu hingga terdengar bunyi klek tanda pintu teesebut tidak bisa dibuka sembarang dari luar. Setelahnya ia berbalik, beradu tatap dengan dosennya yang tidak berbeda di penampilannya, namun cukup berbeda aura di sekitarnya.

“Saya kira kamu bakalan langsung masuk aja, sama ga sopannya seperti ketika kamu chat saya dan menyebut lo-gue sebagai kata ganti.” sambut dosennya itu, masih duduk di atas kasur.

“Jadi apa yang mau Pak Soonyoung ini lakukan?”

Soonyoung bangkit dari posisi duduknya, perlahan berjalan mendekati Jihoon.

“Buru-buru banget? Apa kamu emang udah expect something makanya langsung nyamperin ke sini?”

“Gue cuma memenuhi undangan dari dosen gue, Pak Soonyoung.” jawab Jihoon dengan menegaskan panggilan kepada lawan bicaranya.

“Udah pake lo-gue, jadi panggil Soonyoung aja, gausah pake embel-embel pak.”

“Gue gamau membiasakan manggil kaya gitu.”

“Ya udah, mulai malam ini kita buat biar terbiasa?”

Jihoon tercekat ketika pernyataannya malah dibuat skak mat dan Soonyoung mulai mendekati wajahnya.