sunflosan

Summary:

Soonyoung thought that this good bye was a well-prepared good bye for both him and jihoon. Until the point that he miss that guy so much and find out lee jihoon has already blocked his name from his memory.

... “Kwon Soonyoung, 27 tahun, dan hari senin.”


Masih hari yang sama, seperti hari-hari biasanya. Matahari sudah lama kembali ke peraduannya dan sekarang giliran bulan yang menggantikan posisinya. Sudah meninggi di atasnya, sudah cukup untuk membuat bayangan terbentuk dari benda yang ada di bawahnya. Tidak ketinggalan, bintang yang terhampar dan angin dingin malam hari, serta jalur pejalan kaki di luar yang mulai sepi.

Sudah hampir jam sembilan malam, malah tinggal beberapa detik lagi. Seharusnya, itu juga jadwal tutup dari toko pastry bernama 'Lee's' ini. Sebenarnya, penjaga laki-laki yang mengenakan apron biru di pinggangnya juga sudah bersiap sedari tadi. Namun satu pengunjung berkemeja dengan lengan tergulung itu, masih setia berada disana. Duduk tepat di sebelah kaca besar dengan tatapan bergantian ke cangkir kopi di hadapannya, kemudian ke jalan di luar, begitu seterusnya. Dan itulah satu-satunya alasan mengapa si penjaga toko yang sekaligus anak dari pemilik toko ini, menunda untuk membalik papan open di pintu tokonya.

Oh—

Nafas Jihoon tercekat begitu tiba-tiba objek fokus tatapannya menatap balik. Ya, si pria bermuka murung itu menyadari tatapannya, kemudian selang beberapa detik tersenyum kaku.p

“Ah, sudah sepi ya? Maaf,”

Pria itu terburu-buru bangkit dari kursinya dan membungkuk ke arah si penjaga toko. Singkat, hingga Jihoon baru tersadar ketika bel gantung di pintunya berbunyi, menandakan seseorang yang baru saja keluar dari ruangan ini.

Jarum jam terus berputar, waktu tidak berhenti. Sudah cukup untuk Jihoon memproses kejadian yang baru saja terjadi. Kebiasaan orang-orang masa kini yang terlalu banyak melamun, bahkan hingga lupa bahwa langit telah berganti warna dan hari hampir beganti. Jihoon tidak mau ambil pusing mengurus permasalahan orang lain dan kembali menyelesaikan pekerjaannya.

Meja terakhir yang masih berantakan, dengan beberapa cangkir kopi dan satu piring kecil yang isinya baru berkurang sedikit. Semua itulah benda yang ditinggalkan pria berkemeja barusan dengan kesadaran yang terlihat masih kurang terkumpul.

Oh, ternyata ada satu benda lagi.

Sebuah tas laptop, lengkap dengan isinya.


Soonyoung tidak pernah mengira bahwa mencintai seseorang yang jelas sama-sama manusia bisa semenyakitkan ini, meskipun ia tidak pernah berpikiran untuk nencintai malaikat ataupun iblis. Meskipun sudah lebih dari setahun dia melepaskan diri dari mantan pacarnya, namun satu hari dimana senyum itu kembali terlihat —namun dengan makna yang berbeda, tetap saja berhasil menghacurkan pertahanan yang sudah dibangun selama ini.

Ia berulang kali menarik nafas dalam. Menahannya sebentar, kemudian menghembuskannya perlahan seakan semua pikiran ruwet bak benang kusutnya hari ini ikut keluar. Tidak ada yang lebih menenangkan untuknya dari pada angin segar di malam hari dan keheningan yang mendominasi, jika harinya sudah terlalu berat.

Setidaknya untuk saat ini, hanya itu. Ia masih belum menemukan orang lain untuk menggantikan posisi perempuan yang menemaninya selama dua tahun itu.

“AAAAAA—”

“HEY!”

Usahanya berteriak untuk melampiaskan semua emosinya berakhir sia-sia. Seorang pria dengan apron biru di pinggangnya kini sudah berdiri di belakang bangku pinggir waduk yang ia duduki dan membentak ketika ia berteriak.

“Are you ok??”

Tapi setelah bentakan, pertanyaan selanjutnya dari pria itu sukses membuat Soonyoung terdiam dan memperhatikan.

“Hey, kok sekarang ngelamun?”

Soonyoung mendengar, namun ia mengabaikan. Satu di pikiran dia sebelumnya adalah pria ini hanyalah orang yang akan merusak malam tenangnya. Namun semua itu berganti dalam sekedip mata hanya karena pertanyaan 'are you okay' dan raut wajah yang sedikit khawatir.

Oh, he just a stranger, Kwon. You moved? He might be curious at you, not so care at all.

“Ada apa?”

Tanpa menjawab satu pun pertanyaan, Soonyoung bertanya balik, membuat pria tersebut sedikit terkejut dan menyodorkan bawaannya dan apa yang menjadi tujuannya kesini.

“Ini, tadi ketinggalan di meja toko. Punya anda, kan? Coba dicek dulu..”

“Oh??? Sebentar,” jawab Soonyoung, langsung berlari ke mobilnya dan kembali lagi.

“Iya, itu punya saya,” kata Soonyoung lagi, sambil menerima laptopnya, “padahal kalo nanti saya inget, saya pasti bakalan balik ke toko pastry-mu dan cari laptop ini. Terima kasih sudah repot-repot nganter.”

“Ya, memang sedikit repot, tapi gaapa. Sebelumnya maaf, tapi lebih baik kamu jangan terus-terusan disini sendirian kalo lagi banyak pikiran.”

“Kenapa?”

“Kalo ada apa-apa, bahaya, soalnya kamu sendirian.”

“Kalo begitu, kamu aja yang temenin saya?”

Tawa Soonyoung terdengar setelah pertanyaan terlontar ke lawan bicaranya saat ini. Berbanding terbalik dengan pria di depannya yang malah mengernyitkan dahinya, sambil meminta penjelasan dari si pelontar pertanyaan secara tersirat dengan ekspresi wajahnya.

“Hahahaha, saya bercanda. Terima kasih udah bikin saya ketawa.”

“Tapi saya serius bingung, apa maksud kamu?”

Pria itu ternyata menanggapi pertanyaan Soonyoung dengan serius. Soonyoung yang masih tertawa, terpaksa harus mengendalikan tawanya dan berhenti.

“Ngga.. saya pikir, saya cuma butuh temen buat cerita. Orang yang ga dikenal, pasti sarannya lebih luas karena ga memihak siapapun di cerita itu.” jelas Soonyoung yang setelahnya dibuat terkejut dengan pria pastry— yang melangkah menuju bangku yang sebelumnya ia duduki.

“Ceritalah,”

Setelah diminta, Soonyoung pun bergabung di samping -pria pastry itu, duduk menghadap permukaan waduk yang tenang di sekitar pukul 10 malam.

Detik dan menit bergantian mengisi, hingga akhirnya Soonyoung mengakhiri ceritanya dengan helaan napas panjang. Semua beban di punggungnya seperti baru saja terbebas dan benang kusut di otaknya, sudah kembali terurai. Pria pastry ini memang orang asing baginya, namun bercerita dengan orang asing dan mendapat pandangan dari sisinya tanpa memihak, adalah hal yang ingin Soonyoung lakukan sejak lama.

“Sebenernya, bisa aja saya bantu kamu ngelupain dia. Selama menurutmu itu baik buatmu, saya bisa bantu karena itu berarti saya juga melakukan kebaikan.”

Begitulah jawaban dari si pria pastry setelah menyimak rangkaian cerita Soonyoung.


Sejak malam itu, Soonyoung dengan pria pastry— yang akhirnya ia ketahui bernama Lee Jihoon itu, mulai saling mengenal dan akrab. Mereka saling menyimpan kontak dan Soonyoung jadi lebih sering mampir ke toko pastry milik keluarga bermarga Lee itu.

Bukan tanpa alasan, ini berkat ungkapan Jihoon malam itu kepadanya, yang mengatakan:

'

Iya, itu. Katanya, Lee Jihoon ini akan membantu Soonyoung mengobati luka lama dengan mantan kekasihnya itu, jika dirinya berkenan. Yang Soonyoung mau adalah melupakan, itu berarti harus ada orang lain untuk mengalihkan pikirannya tentang sang mantan, kan? Kalau begitu, Jihoon menyanggupinya.

'Lalu bagaimana

Siapapun tidak ada yang pernah berhasil menerka bagaimana tiga kepastian yang diberikan pemilik semesta yaitu; rezeki, kematian, dan jodoh, akan mendatangi tuannya. Meskipun pada akhirnya akan datang juga, namun jalannya tidak pernah disangka.

Sama halnya dengan pertemuan Soonyoung, pria 26 tahun yang sehari-harinya hanya berkutat dengan dokumen dan tugas yang terus berdatangan, dengan pria yang berusia satu tahun lebih tua darinya, Lee Jihoon, yang belakangan ia ketahui sebagai penulis lagu yang paling romantis yang pernah Soonyoung kenal.

Tin tin

“Bentar!”

Sedikit throwback ke beberapa tahun yang lalu, dimana Jihoon menemui Soonyoung yang hampir kehilangan kesadarannya karena mabuk berat, di salah satu gay bar di kota tempat tinggalnya yang merupakan milik temannya, Jun. Tidak ada satu pun niat buruk yang terlintas di benak Jihoon begitu melihat Soonyoung yang saat itu bahkan kesusahan untuk bangkit dari tempat duduknya. Yang ada hanya perasaan kasihan karena pasti dia akan kesulitan untuk kembali ke rumahnya dengan keadaan seperti ini.

Yang lebih membuat Jihoon pada hari itu kasihan dan memutuskan untuk mengantar Soonyoung pulang adalah bagaimana Jihoon menyadari bahwa saat itu Soonyoung sendirian. Dan terdengar dari racauannya, ia sedang lelah dengan pekerjaan dan nasibnya yang tidak kunjung memiliki pasangan.

“Soonyoung, tepat waktu!”

Jihoon setengah berlari setelah menutup pagar rumah mereka dan menghampiri Soonyoung yang baru saja keluar dari dalam mobil.

“Untung rumah ini masih aman,” ujar Soonyoung yang langsung mendapat jitak jari tengah di dahi atasnya dari Jihoon.

Kembali lagi ke kejadian empat tahun yang lalu hingga akhirnya Jihoon benar-benar memutuskan untuk mengantar Soonyoung pulang, tanpa imbalan, tanpa paksaan. Pemilik bar, Jun, yang dititipkan mobil Soonyoung olehnya pun sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Jihoon yang diluar kebiasaannya ini.

“Ada niat ga bener ya, lo?” tanya Jun setelah berhasil menangkap kunci mobil Soonyoung yang dilemparkan Jihoon.

“Nope. Lagian dia keliatan straight, mau ngarep apa gue?” jawab Jihoon sambil berusaha memapah Soonyoung, membantu pria itu berdiri. “Gue nitip mobil dia. Besok, gue bawa dia kesini lagi buat ambil.” lanjutnya, seraya berjalan keluar.

“Aman. Dia juga harus aman ya, Hoon!” teriak Jun kepada Jihoon yang semakin menjauh.

Malam itu, tanpa mengenal siapa Soonyoung, Jihoon memapah pria asing itu ke dalam mobilnya, ke kursi penumpang yang berada tepat di sebelah kursi kemudi. Tentu saja, dengan beribu penolakan dari Soonyoung yang belum sepenuhnya sadar, bahkan hingga ia terduduk di dalam mobil, setelah Jihoon selesai memasangkan sabuk pengaman, Soonyoung masih melakukan penolakan ditambah racauan yang membuat Jihoon semakin kasihan.

“Aduh..... Serius,,, kamu ga perlu anter saya pulang.. Saya,, bisa sendiri....”

Kata demi kata terputus-putus meskipun masih dapat ditangkap dengan jelas maksud dari perkataannya oleh Jihoon.

“Ga lah, mana bisa gue biarin orang mabok buat nyetir? Lo nabrak orang, orang itu mati, gue yang ngerasa bersalah.”

*“Hadu....... Seandainya kamu itu pacar saya,,,, pasti saya ga akan segan sama kamu... Kapan ya saya punya pacar......?”

Jihoon hanya menatap pria di depannya yang mulai memegang kepalanya dan bersandar. Mungkin habis putus? begitu pikir Jihoon, kemudian mulai memacu gas mobilnya.

“Gue baru selesai beres-beres, hehe. Gue masakin mi-nya sekarang aja, ya?”

“Beneran saya pulang kerja dikasi mi instan?”

“Udah gue bilang, jangan protes!”

.

Siapapun tidak ada yang pernah berhasil menerka bagaimana tiga kepastian yang diberikan pemilik semesta yaitu; rezeki, kematian, dan jodoh, akan mendatangi tuannya. Meskipun pada akhirnya akan datang juga, namun jalannya tidak pernah disangka.

Sama halnya dengan pertemuan Soonyoung, pria 26 tahun yang sehari-harinya hanya berkutat dengan dokumen dan tugas yang terus berdatangan, dengan pria yang berusia satu tahun lebih tua darinya, Lee Jihoon, yang belakangan ia ketahui sebagai penulis lagu yang paling romantis yang pernah Soonyoung kenal.

Tin tin

“Bentar!”

Sedikit throwback ke beberapa tahun yang lalu, dimana Jihoon menemui Soonyoung yang hampir kehilangan kesadarannya karena mabuk berat, di salah satu gay bar di kota tempat tinggalnya yang merupakan milik temannya, Jun. Tidak ada satu pun niat buruk yang terlintas di benak Jihoon begitu melihat Soonyoung yang saat itu bahkan kesusahan untuk bangkit dari tempat duduknya. Yang ada hanya perasaan kasihan karena pasti dia akan kesulitan untuk kembali ke rumahnya dengan keadaan seperti ini.

Yang lebih membuat Jihoon pada hari itu kasihan dan memutuskan untuk mengantar Soonyoung pulang adalah bagaimana Jihoon menyadari bahwa saat itu Soonyoung sendirian. Dan terdengar dari racauannya, ia sedang lelah dengan pekerjaan dan nasibnya yang tidak kunjung memiliki pasangan.

“Soonyoung, tepat waktu!”

Jihoon setengah berlari setelah menutup pagar rumah mereka dan menghampiri Soonyoung yang baru saja keluar dari dalam mobil.

“Untung rumah ini masih aman,” ujar Soonyoung yang langsung mendapat jitak jari tengah di dahi atasnya dari Jihoon.

Kembali lagi ke kejadian empat tahun yang lalu hingga akhirnya Jihoon benar-benar memutuskan untuk mengantar Soonyoung pulang, tanpa imbalan, tanpa paksaan. Pemilik bar, Jun, yang dititipkan mobil Soonyoung olehnya pun sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Jihoon yang diluar kebiasaannya ini.

“Ada niat ga bener ya, lo?” tanya Jun setelah berhasil menangkap kunci mobil Soonyoung yang dilemparkan Jihoon.

“Nope. Lagian dia keliatan straight, mau ngarep apa gue?” jawab Jihoon sambil berusaha memapah Soonyoung, membantu pria itu berdiri. “Gue nitip mobil dia. Besok, gue bawa dia kesini lagi buat ambil.” lanjutnya, seraya berjalan keluar.

“Aman. Dia juga harus aman ya, Hoon!” teriak Jun kepada Jihoon yang semakin menjauh.

Malam itu, tanpa mengenal siapa Soonyoung, Jihoon memapah pria asing itu ke dalam mobilnya, ke kursi penumpang yang berada tepat di sebelah kursi kemudi. Tentu saja, dengan beribu penolakan dari Soonyoung yang belum sepenuhnya sadar, bahkan hingga ia terduduk di dalam mobil, setelah Jihoon selesai memasangkan sabuk pengaman, Soonyoung masih melakukan penolakan ditambah racauan yang membuat Jihoon semakin kasihan.

“Aduh..... Serius,,, kamu ga perlu anter saya pulang.. Saya,, bisa sendiri....”

Kata demi kata terputus-putus meskipun masih dapat ditangkap dengan jelas maksud dari perkataannya oleh Jihoon.

“Ga lah, mana bisa gue biarin orang mabok buat nyetir? Lo nabrak orang, orang itu mati, gue yang ngerasa bersalah.”

*“Hadu....... Seandainya kamu itu pacar saya,,,, pasti saya ga akan segan sama kamu... Kapan ya saya punya pacar......?”

Jihoon hanya menatap pria di depannya yang mulai memegang kepalanya dan bersandar. Mungkin habis putus? begitu pikir Jihoon, kemudian mulai memacu gas mobilnya.

“Gue baru selesai beres-beres, hehe. Gue masakin mi-nya sekarang aja, ya?”

“Beneran saya pulang kerja dikasi mi instan?”

“Udah gue bilang, jangan protes!”

Siapapun tidak ada yang pernah berhasil menerka bagaimana tiga kepastian yang diberikan pemilik semesta yaitu; rezeki, kematian, dan jodoh, akan mendatangi tuannya. Meskipun pada akhirnya akan datang juga, namun jalannya tidak pernah disangka.

Sama halnya dengan pertemuan Soonyoung, pria 26 tahun yang sehari-harinya hanya berkutat dengan dokumen dan tugas yang terus berdatangan, dengan pria yang berusia satu tahun lebih tua darinya, Lee Jihoon, yang belakangan ia ketahui sebagai penulis lagu yang paling romantis yang pernah Soonyoung kenal.

Tin tin

“Bentar!”

Sedikit throwback ke beberapa tahun yang lalu, dimana Jihoon menemui Soonyoung yang hampir kehilangan kesadarannya karena mabuk berat, di salah satu gay bar di kota tempat tinggalnya yang merupakan milik temannya, Jun. Tidak ada satu pun niat buruk yang terlintas di benak Jihoon begitu melihat Soonyoung yang saat itu bahkan kesusahan untuk bangkit dari tempat duduknya. Yang ada hanya perasaan kasihan karena pasti dia akan kesulitan untuk kembali ke rumahnya dengan keadaan seperti ini.

Yang lebih membuat Jihoon pada hari itu kasihan dan memutuskan untuk mengantar Soonyoung pulang adalah bagaimana Jihoon menyadari bahwa saat itu Soonyoung sendirian. Dan terdengar dari racauannya, ia sedang lelah dengan pekerjaan dan nasibnya yang tidak kunjung memiliki pasangan.

“Soonyoung, tepat waktu!”

Jihoon setengah berlari setelah menutup pagar rumah mereka dan menghampiri Soonyoung yang baru saja keluar dari dalam mobil.

*“Untung rumah ini masih aman,” ujar Soonyoung yang langsung mendapat jitak jari tengah di dahi atasnya dari Jihoon.*

Kembali lagi pada kejadian 4 tahun yang lalu

— ...

Jihoon, this is too short.” ucap Soonyoung sembari bersama Jihoon memeriksa polaroid hasil jepretan Bumzu-hyung yang baru beberapa menit pergi. Tangannya tidak diam, melainkan menyentuh —sedikit menarik, objek yang dimaksud dari perkataannya barusan.

“Dikira lo ngga?” tanya Jihoon balik setelah selesai melihat polaroid mereka dan kembali menyalakan handphone, mengembalikan fokusnya.

“Tapi itu banget-banget, pendeknya. Gue bisa begini,” ucapnya sambil mengelus paha dalam Jihoon, lembut, “... atau bahkan begini.” sambungnya, dengan tangan yang kini sudah meremas kejantanan Jihoon dari luar celananya.

“Soonyoung, stop. Gue lagi fokus.”

Namun, dibanding mendengar ucapan Jihoon, tangan Soonyoung malah menyelinap masuk dari bawah celana Jihoon, dan menggoda kemaluan yang sekarang tinggal terbungkus sehelai kain —yang bahkan bisa dilepaskan kapan saja.

You can just keep working, while i'm doing my job too, down here.” jawab Soonyoung sambil menyandarkan tubuhnya ke sisi Jihoon.

“Argh Soonyoung,”

Dengan kasar, Jihoon menarik wajah Soonyoung dan mendekatinya. Menempelkan bibirnya kepada ranum milik Soonyoung —sebentar dan menggigit bagian bawahnya. “... I swear, you will play with me after my works end, ya? Just stay still and quite, so I can finish my work quickly and you can start the game, too. Okay?” ucap Jihoon setelahnya.

Promise me, then?”

Jihoon tesenyum sambil pelan-pelan mengeluarkan tangan Soonyoung yang masih menempel di bagian bawahnya, “You know me, Kwon. Ten minutes?” tanyanya.

Seven.

Okay, i'll make it five, tiger. Thank you. jawab Jihoon dilanjut mengecup bibir Soonyoung —lagi, dan kembali kepada layar gadget di hadapannya.

— ...


Ide Soonyoung ternyata tidak buruk juga. Sebenarnya di awal dia mengusulkan ide ini, tidak mendapat sambutan dari Jihoon, karena dalam pikiran Jihoon pasti kelanjutan ceritanya adalah, “Jihoon, ini gimana sih kok airnya udah kering aja, padahal cuma aku tinggal buka twitter,” atau “Jihoon, aku bosen deh kok ga mateng-mateng? Aku tunggu kamu aja, ya?”

But gladly, instead of that, Soonyoung terlihat menikmati beberapa pekerjaan kecil yang diperintahkannya, seperti menyiapkan bahan dan alat, melarutkan maizena, serta memarut keju. Tidak ada protes yang keluar dari mulutnya atau alis mata yang tiba-tiba menukik karena kesal. Yang ada, tawa dan sentuhan kecil keisengannya kepada Jihoon, yang membuat Jihoon tidak bisa menyangkal bahwa dia menyukainya.

“Soonyoung,

It is almost 1 am, but...

“Jihoon, ayo pulang...”

Dua member yang merangkap sebagai produser dan koreografer, juga jangan lupakan posisi mereka sebagai leader dari masing-masing tim mereka, masih berkutat di dalam studio. Oh, atau mungkin lebih tepatnya hanya Jihoon yang masih berkutat dengan laptop di pangkuannya dan mengabaikan Soonyoung di sampingnya.

“Udah gue bilang kalo mau pulang, duluan aja. Ini gue nanggung kalo ga dikelarin,”

Ya, tanpa pandangan yang beralih dan semakin fokus kepada layar di hadapannya, Jihoon memberi jawaban atas permintaan Soonyoung.

Soonyoung sebenarnya sudah lelah. Bolak-balik ia melemaskan bokongnya yang sudah panas —kelamaan duduk dengan berdiri, kemudian memutari studio, kemudian duduk lagi, begitu seterusnya sampai kantuknya kembali datang dan ia mengalihkan perhatiannya kepada benda yang lain.

Cekrek

Suara kamera yang seharusnya tidak kencang, menjadi terdengar di tengah senyapnya suasana di sekitar. Itu Soonyoung. Demi menghilangkan kantuk dan berjaga untuk rekan —re: pacar seperjuangannya, ia mencari sesuatu yang lebih menarik dan ditemukannya lah sebuah kamera polaroid yang diingatnya milik Bumzu-hyung yang tertinggal.

“Soonyoung, lo ngapain, sih? Itu punya Bumzu-hyung.”

Akhirnya, Jihoon yang sedari tadi tidak bisa dan tidak mau diganggu itu pun menoleh, tertarik perhatiannya karena suara kamera yang terdengar, terlebih perasaannya yang mengatakan bahwa dialah objek dari jepretan kamera Soonyoung.

Sebagai balasan, Soonyoung hanya memberikan hehehehe-nya sambil menunggu selembar polaroid keluar. Wajah excitednya lucu —setidaknya begitu kesan Jihoon yang sekilas melihatnya, meskipun matanya sudah semakin rapat karena kantuk yang ditahan. Tapi terima kasih, senyum Jihoon jadi terukir setelah melihat wajah itu.

“Tebak, gue foto apa?” tanya Soonyoung sambil mengibas polaroidnya pelan.

“Gue,”

“Kok tau? Cakep deh.”

Meskipun Soonyoung sudah memancing dengan pujian, Jihoon tetap saja tidak menoleh. Netranya masih lurus ke depan, fokus ke garis gelombang suara yang tergambar di layar laptopnya.

Namun tanpa permisi, Soonyoung menyodorkan polaroid hasil jepretannya itu ke hadapan Jihoon. Refleks, kelopak mata Jihoon langsung membelalak begitu menemukan —tentu saja sesuai tebakannya, dirinya yang tengah memangku laptop menjadi fokus dari polaroid tersebut.

Rambutnya yang mulai panjang, pandangannya yang tidak bisa diganggu, baju hitam dan celana super pendek dengan warna senada, dan oh tentu saja...

“Lo kenapa demen banget pake celana sependek itu, sih? Paha lo kemana-mana.”

... kaki, terutama paha mulus pria itu yang hanya tertutup kain minimal yang terlalu tinggi. Itu lebih dan terlalu menarik perhatian Soonyoung.

“Ribet aja,”

Cold Night, Cold Feeling.


“Oh—”

Ketika langit malam nampak berkabut dan bulan tidak nampak dengan jelas seperti biasanya.

”... Soonyoung.”

Kabut yang berasal dari hawa dingin bulan desember, ternyata tidak mengaburkan pandangan pria bersyal tebal ini untuk mengenali sosok yang tengah berdiri di bawah lampu jalan itu.

Namanya Jihoon. Ia menghampiri pria bertubuh lebih tinggi darinya itu dan menyapanya. Memulai basa-basi kecil seperti, dari mana, mau kemana, dan menanyakan kabar, yang sebenarnya hanya sebagai pengulur waktu di malam yang semakin larut ini.

“Malem ini dingin banget. Biasanya lo kalo dingin-dingin kan paling mager keluar. Tumben banget,”

Biasanya.. Jihoon tau dia tidak seharusnya membawa kata itu untuk memulai pembahasan lain dan membiarkan Soonyoung melanjutkan perjalanannya malam itu. Namun, tetap saja...

Tangan yang tidak mengenakan sarung tangan itu dimasukkan lebih dalam ke dalam kantong mantel. Jihoon sudah terlihat seperti mantel yang tengah berjalan. Pun karena dagunya hampir tertutup semua oleh syal, ia juga jadi terlihat seperti penguin. Tidak tau apa Soonyoung masih gemas dengan Jihoon yang seperti ini atau tidak.

Sinar rembulan malam ini memang tidak seterang biasanya, namun keduanya berdiri tepat di bawah lampu jalan yang sekitarnya adalah jalan sepi dan gelap. Setidaknya, cahaya itu cukup untuk menyinari keduanya yang sekarang membeku entah karena hawa dingin atau karena hawa canggung di sekitar mereka.

Namun Soonyoung, ia mengambil inisiatifnya. Tubuhnya perlahan mendekati Jihoon, kedua tangannya pun tertuntun untuk beristirahat di bahu pria yang ada di hadapannya ini. Namun, netranya menolak untuk bertemu dengan Jihoon. Pandangnya hanya berfokus kepada satu titik yang ia tuju, bibir pucat yang hampir membeku milik Jihoon.

Soonyoung menyentuh bibir ranum yang sedikit pucat itu dengan lembut. Perlakuannya tidak pernah berubah dan selalu selembut itu, seperti ciuman yang selalu Jihoon dapatkan sebelum tidur. Pelan, lembut, menenangkan. Rasanya jiwa Jihoon seperti terbang, kembali ke hari dimana kupu-kupu senantiasa berterbangan di perutnya, ke hari dimana jantungnya selalu berdesir meskipun setiap hari adalah hari yang sama dengan orang yang dia cintai. Jihoon, benar-benar kembali merasakannya. Ia kembali kepada hari itu.

Mengakhiri ciuman itu adalah pilihan yang tepat. Sangat tepat sebelum keduanya melupakan fakta bahwa masa ini bukanlah masa yang sama. Jihoon perlahan membuka matanya, menatap sayu pria yang kembali membuat jarak di depan dia.

“Kenapa? Kangen?”

Soonyoung menggeleng, “Gue emang ga pernah suka sama hawa dingin, tapi badan gue selalu lebih kuat daripada badan lo kalo di cuaca dingin...”

Nadanya tergantung, itu yang membuat Jihoon dia dan menunggu kelanjutannya.

”... tadi bibir lo pucet, kering juga, kaya mau beku.”

Kelanjutannya tersampaikan. Semoga itu adalah alasan yang paling jujur dari Soonyoung, setidaknya meskipun Jihoon mengharapkan jawaban yang lain.

“Kalo gitu makasih, karena masih peduli sama gue.”

“Sama-sama. Kalo gitu, gue jalan dulu.”

“Soonyoung!”

Sebelum Soonyoung benar-benar pergi, Jihoon meraih tangan Soonyoung, menahannya, dan mencoba mengubah takdir mereka yang sudah terlanjur terjadi.

Can we go back to that time?”

Mendengar pertanyaan itu, Soonyoung hanya bisa tertawa kecil. “Bukannya nasi udah jadi bubur?” tanyanya balik, hanya sedikit menoleh.

“T—tapi bubur masih dinikmati kan??”

Apa-apaan dengan pertanyaan itu..

“Kalo gitu, kita sama-sama nikmati aja bubur yang udah terlanjur jadi ini. Thanks ya, buat tawarannya.”

Akhirnya Soonyoung menoleh, mempertemukan netra mereka. Tersenyum dengan senyum yang juga Jihoon rindukan. Namun rangkaian kata yang keluar dari mulutnya...

Soonyoung menyentuh tangan dingin Jihoon, yang sejak tadi ia sembunyikan di dalam saku mantelnya. Mencoba menghangatkan dan seharusnya berhasil. Namun lagi-lagi perkataannya hanya membuat Jihoon semakin membeku. “Jaga diri, ya.” begitu katanya sebelum kembali melepas tangan Jihoon dan pergi.

Di bawah temaramnya lampu jalan dan di penghujung bulan desember yang semakin dingin, Jihoon, bukan hanya kembali ke hari-hari yang menyenangkan bersama mantan indahnya, namun juga datang ke hari dimana ia mengetahui bahwa Soonyoung sangat membenci dirinya.

—fin.

Cold Night, Cold Feeling.


“Oh—”

Ketika langit malam nampak berkabut dan bulan tidak nampak dengan jelas seperti biasanya.

”... Soonyoung.”

Kabut yang berasal dari hawa dingin bulan desember, ternyata tidak mengaburkan pandangan pria bersyal tebal ini untuk mengenali sosok yang tengah berdiri di bawah lampu jalan itu.

Namanya Jihoon. Ia menghampiri pria bertubuh lebih tinggi darinya itu dan menyapanya. Memulai basa-basi kecil seperti, dari mana, mau kemana, dan menanyakan kabar, yang sebenarnya hanya sebagai pengulur waktu di malam yang semakin larut ini.

“Malem ini dingin banget. Biasanya lo kalo dingin-dingin kan paling mager keluar. Tumben banget,”

Biasanya.. Jihoon tau dia tidak seharusnya membawa kata itu untuk memulai pembahasan lain dan membiarkan Soonyoung melanjutkan perjalanannya malam itu. Namun, tetap saja...

Tangan yang tidak mengenakan sarung tangan itu dimasukkan lebih dalam ke dalam kantong mantel. Jihoon sudah terlihat seperti mantel yang tengah berjalan. Pun karena dagunya hampir tertutup semua oleh syal, ia juga jadi terlihat seperti penguin yang sedang berjalan-jalan. Tidak tau apa Soonyoung masih gemas dengan Jihoon yang seperti ini atau tidak.

Sinar rembulan malam ini memang tidak seterang biasanya, namun keduanya berdiri tepat di bawah lampu jalan yang sekitarnya adalah jalan sepi dan gelap. Setidaknya, cahaya itu cukup untuk menyinari keduanya yang sekarang membeku entah karena hawa dingin atau karena hawa canggung di sekitar mereka.

Namun Soonyoung, mengambil inisiatifnya. Tubuhnya perlahan mendekati Jihoon, kedua tangannya pun tertuntun untuk beristirahat di bahu pria yang ada di hadapannya ini. Namun, netranya menolak untuk bertemu dengan Jihoon. Pandangnya hanya berfokus kepada satu titik yang ia tuju, bibir pucat yang hampir membeku milik Jihoon.

Soonyoung menyentuh bibir ranum yang sedikit pucat itu dengan lembut. Perlakuannya tidak pernah berubah dan selalu selembut itu, seperti ciuman yang selalu Jihoon dapatkan sebelum tidur. Pelan, lembut, menenangkan. Rasanya jiwa Jihoon terbang, kembali ke hari dimana kupu-kupu senantiasa berterbangan di perutnya, ke hari dimana jantungnya selalu berdesir meskipun setiap hari adalah hari yang sama dengan orang yang dia cintai. Jihoon, benar-benar kembali merasakannya. Ia kembali kepada hari itu.

Mengakhiri ciuman itu adalah pilihan yang tepat. Sangat tepat sebelum keduanya melupakan fakta bahwa masa ini bukanlah masa yang sama. Jihoon perlahan membuka matanya, menatap sayu pria yang kembali membuat jarak di depan dia.

“Kenapa? Kangen?”

Soonyoung menggeleng, “Gue emang ga pernah suka sama hawa dingin, tapi badan gue selalu lebih kuat daripada badan lo kalo di cuaca dingin...”

Nadanya tergantung, itu yang membuat Jihoon dia dan menunggu kelanjutannya.

”... tadi bibir lo pucet, kering juga kaya mau beku.”

Kelanjutannya tersampaikan. Semoga itu adalah alasan yang paling jujur dari Soonyoung.

“Kalo gitu makasih, karena udah peduli sama gue.”

“Sama-sama. Kalo gitu, gue jalan dulu.”

“Soonyoung!”

Sebelum Soonyoung benar-benar pergi, Jihoon meraih tangan Soonyoung, menahannya, dan mencoba mengubah takdir mereka yang sudah terlanjur terjadi.

“Can we go back to that time?”

Mendengar pertanyaan itu, Soonyoung hanya bisa tertawa kecil. “Bukannya nasi udah jadi bubur?” tanyanya balik tanpa menoleh.

“T—tapi bubur masih dinikmati kan??”

Apa-apaan, pertanyaan yang terus dibalas oleh pertanyaan lain. Mau sampai kapan, sementara udara semakin dingin.

“Kalo gitu, kita sama-sama nikmati aja bubur yang udah terlanjur jadi ini. Thanks ya, buat tawarannya.”

Akhirnya Soonyoung menoleh, mempertemukan netra mereka. Tersenyum dengan senyum yang juga Jihoon rindukan. Namun rangkaian kata yang keluar dari mulutnya...

Soonyoung menyentuh tangan dingin Jihoon, yang sejak tadi ia sembunyikan di dalam saku mantelnya. Mencoba menghangatkan dan seharusnya berhasil. Namun lagi-lagi perkataannya hanya membuat Jihoon semakin membeku. “Jaga diri, ya.” begitu katanya sebelum kembali melepas tangan Jihoon dan pergi.

Di bawah temaramnya lampu jalan dan di penghujung bulan desember yang semakin dingin, Jihoon, bukan hanya kembali ke hari-hari yang menyenangkan bersama mantan indahnya, namun juga datang ke hari dimana ia mengetahui bahwa Soonyoung sangat membenci dirinya.

—fin.

Cold Night, Cold Feeling.


“Oh—”

Ketika langit malam nampak berkabut dan bulan tidak nampak dengan jelas seperti biasanya.

”... Soonyoung.”

Kabut yang berasal dari hawa dingin bulan desember, ternyata tidak mengaburkan pandangan pria bersyal tebal ini untuk mengenali sosok yang tengah berdiri di bawah lampu jalan itu.

Namanya Jihoon. Ia menghampiri pria bertubuh lebih tinggi darinya itu dan menyapanya. Memulai basa-basi kecil seperti, 'dari mana', 'mau kemana', dan menanyakan kabar, yang sebenarnya hanya sebagai pengulur waktu di malam yang semakin larut ini.

“Malem ini dingin banget. Biasanya lo kalo dingin-dingin kan paling mager keluar. Tumben banget,”

'Biasanya'.. Jihoon tau dia tidak seharusnya membawa kata itu untuk memulai pembahasan lain dan membiarkan Soonyoung melanjutkan perjalanannya malam itu. Namun, tetap saja...

Tangan yang tidak mengenakan sarung tangan itu dimasukkan lebih dalam ke dalam kantong mantel. Jihoon sudah terlihat seperti mantel yang tengah berjalan. Pun karena dagunya hampir tertutup semua oleh syal, ia juga jadi terlihat seperti penguin yang sedang berjalan-jalan. Tidak tau apa Soonyoung masih gemas dengan Jihoon yang seperti ini atau tidak.

Sinar rembulan malam ini memang tidak seterang biasanya, namun keduanya berdiri tepat di bawah lampu jalan yang sekitarnya adalah jalan sepi dan gelap. Setidaknya, cahaya itu cukup untuk menyinari keduanya yang sekarang membeku entah karena hawa dingin atau karena hawa canggung di sekitar mereka.

Namun Soonyoung, mengambil inisiatifnya. Tubuhnya perlahan mendekati Jihoon, kedua tangannya pun tertuntun untuk beristirahat di bahu pria yang ada di hadapannya ini. Namun, netranya menolak untuk bertemu dengan Jihoon. Pandangnya hanya berfokus kepada satu titik yang ia tuju, bibir pucat yang hampir membeku milik Jihoon.

Soonyoung menyentuh bibir ranum yang sedikit pucat itu dengan lembut. Perlakuannya tidak pernah berubah dan selalu selembut itu, seperti ciuman yang selalu Jihoon dapatkan sebelum tidur. Pelan, lembut, menenangkan. Rasanya jiwa Jihoon terbang, kembali ke hari dimana kupu-kupu senantiasa berterbangan di perutnya, ke hari dimana jantungnya selalu berdesir meskipun setiap hari adalah hari yang sama dengan orang yang dia cintai. Jihoon, benar-benar kembali merasakannya. Ia kembali kepada hari itu.

Mengakhiri ciuman itu adalah pilihan yang tepat. Sangat tepat sebelum keduanya melupakan fakta bahwa masa ini bukanlah masa yang sama. Jihoon perlahan membuka matanya, menatap sayu pria yang kembali membuat jarak di depan dia.

“Kenapa? Kangen?”

Soonyoung menggeleng, “Gue emang ga pernah suka sama hawa dingin, tapi badan gue selalu lebih kuat daripada badan lo kalo di cuaca dingin...”

Nadanya tergantung, itu yang membuat Jihoon dia dan menunggu kelanjutannya.

”... tadi bibir lo pucet, kering juga kaya mau beku.”

Kelanjutannya tersampaikan. Semoga itu adalah alasan yang paling jujur dari Soonyoung.

“Kalo gitu makasih, karena udah peduli sama gue.”

“Sama-sama. Kalo gitu, gue jalan dulu.”

“Soonyoung!”

Sebelum Soonyoung benar-benar pergi, Jihoon meraih tangan Soonyoung, menahannya, dan mencoba mengubah takdir mereka yang sudah terlanjur terjadi.

“Can we go back to that time?”

Mendengar pertanyaan itu, Soonyoung hanya bisa tertawa kecil. “Bukannya nasi udah jadi bubur?” tanyanya balik tanpa menoleh.

“T—tapi bubur masih dinikmati kan??”

Apa-apaan, pertanyaan yang terus dibalas oleh pertanyaan lain. Mau sampai kapan, sementara udara semakin dingin.

“Kalo gitu, kita sama-sama nikmati aja bubur yang udah terlanjur jadi ini. Thanks ya, buat tawarannya.”

Akhirnya Soonyoung menoleh, mempertemukan netra mereka. Tersenyum dengan senyum yang juga Jihoon rindukan. Namun rangkaian kata yang keluar dari mulutnya...

Soonyoung menyentuh tangan dingin Jihoon, yang sejak tadi ia sembunyikan di dalam saku mantelnya. Mencoba menghangatkan dan seharusnya berhasil. Namun lagi-lagi perkataannya hanya membuat Jihoon semakin membeku. “Jaga diri, ya.” begitu katanya sebelum kembali melepas tangan Jihoon dan pergi.

Di bawah temaramnya lampu jalan dan di penghujung bulan desember yang semakin dingin, Jihoon, bukan hanya kembali ke hari-hari yang menyenangkan bersama mantan indahnya, namun juga datang ke hari dimana ia mengetahui bahwa Soonyoung sangat membenci dirinya.

—fin.