Summary:
Soonyoung thought that this good bye was a well-prepared good bye for both him and jihoon. Until the point that he miss that guy so much and find out lee jihoon has already blocked his name from his memory.
... “Kwon Soonyoung, 27 tahun, dan hari senin.”
Masih hari yang sama, seperti hari-hari biasanya. Matahari sudah lama kembali ke peraduannya dan sekarang giliran bulan yang menggantikan posisinya. Sudah meninggi di atasnya, sudah cukup untuk membuat bayangan terbentuk dari benda yang ada di bawahnya. Tidak ketinggalan, bintang yang terhampar dan angin dingin malam hari, serta jalur pejalan kaki di luar yang mulai sepi.
Sudah hampir jam sembilan malam, malah tinggal beberapa detik lagi. Seharusnya, itu juga jadwal tutup dari toko pastry bernama 'Lee's' ini. Sebenarnya, penjaga laki-laki yang mengenakan apron biru di pinggangnya juga sudah bersiap sedari tadi. Namun satu pengunjung berkemeja dengan lengan tergulung itu, masih setia berada disana. Duduk tepat di sebelah kaca besar dengan tatapan bergantian ke cangkir kopi di hadapannya, kemudian ke jalan di luar, begitu seterusnya. Dan itulah satu-satunya alasan mengapa si penjaga toko yang sekaligus anak dari pemilik toko ini, menunda untuk membalik papan open di pintu tokonya.
Oh—
Nafas Jihoon tercekat begitu tiba-tiba objek fokus tatapannya menatap balik. Ya, si pria bermuka murung itu menyadari tatapannya, kemudian selang beberapa detik tersenyum kaku.p
“Ah, sudah sepi ya? Maaf,”
Pria itu terburu-buru bangkit dari kursinya dan membungkuk ke arah si penjaga toko. Singkat, hingga Jihoon baru tersadar ketika bel gantung di pintunya berbunyi, menandakan seseorang yang baru saja keluar dari ruangan ini.
Jarum jam terus berputar, waktu tidak berhenti. Sudah cukup untuk Jihoon memproses kejadian yang baru saja terjadi. Kebiasaan orang-orang masa kini yang terlalu banyak melamun, bahkan hingga lupa bahwa langit telah berganti warna dan hari hampir beganti. Jihoon tidak mau ambil pusing mengurus permasalahan orang lain dan kembali menyelesaikan pekerjaannya.
Meja terakhir yang masih berantakan, dengan beberapa cangkir kopi dan satu piring kecil yang isinya baru berkurang sedikit. Semua itulah benda yang ditinggalkan pria berkemeja barusan dengan kesadaran yang terlihat masih kurang terkumpul.
Oh, ternyata ada satu benda lagi.
Sebuah tas laptop, lengkap dengan isinya.
Soonyoung tidak pernah mengira bahwa mencintai seseorang yang jelas sama-sama manusia bisa semenyakitkan ini, meskipun ia tidak pernah berpikiran untuk nencintai malaikat ataupun iblis. Meskipun sudah lebih dari setahun dia melepaskan diri dari mantan pacarnya, namun satu hari dimana senyum itu kembali terlihat —namun dengan makna yang berbeda, tetap saja berhasil menghacurkan pertahanan yang sudah dibangun selama ini.
Ia berulang kali menarik nafas dalam. Menahannya sebentar, kemudian menghembuskannya perlahan seakan semua pikiran ruwet bak benang kusutnya hari ini ikut keluar. Tidak ada yang lebih menenangkan untuknya dari pada angin segar di malam hari dan keheningan yang mendominasi, jika harinya sudah terlalu berat.
Setidaknya untuk saat ini, hanya itu. Ia masih belum menemukan orang lain untuk menggantikan posisi perempuan yang menemaninya selama dua tahun itu.
“AAAAAA—”
“HEY!”
Usahanya berteriak untuk melampiaskan semua emosinya berakhir sia-sia. Seorang pria dengan apron biru di pinggangnya kini sudah berdiri di belakang bangku pinggir waduk yang ia duduki dan membentak ketika ia berteriak.
“Are you ok??”
Tapi setelah bentakan, pertanyaan selanjutnya dari pria itu sukses membuat Soonyoung terdiam dan memperhatikan.
“Hey, kok sekarang ngelamun?”
Soonyoung mendengar, namun ia mengabaikan. Satu di pikiran dia sebelumnya adalah pria ini hanyalah orang yang akan merusak malam tenangnya. Namun semua itu berganti dalam sekedip mata hanya karena pertanyaan 'are you okay' dan raut wajah yang sedikit khawatir.
Oh, he just a stranger, Kwon. You moved? He might be curious at you, not so care at all.
“Ada apa?”
Tanpa menjawab satu pun pertanyaan, Soonyoung bertanya balik, membuat pria tersebut sedikit terkejut dan menyodorkan bawaannya dan apa yang menjadi tujuannya kesini.
“Ini, tadi ketinggalan di meja toko. Punya anda, kan? Coba dicek dulu..”
“Oh??? Sebentar,” jawab Soonyoung, langsung berlari ke mobilnya dan kembali lagi.
“Iya, itu punya saya,” kata Soonyoung lagi, sambil menerima laptopnya, “padahal kalo nanti saya inget, saya pasti bakalan balik ke toko pastry-mu dan cari laptop ini. Terima kasih sudah repot-repot nganter.”
“Ya, memang sedikit repot, tapi gaapa. Sebelumnya maaf, tapi lebih baik kamu jangan terus-terusan disini sendirian kalo lagi banyak pikiran.”
“Kenapa?”
“Kalo ada apa-apa, bahaya, soalnya kamu sendirian.”
“Kalo begitu, kamu aja yang temenin saya?”
Tawa Soonyoung terdengar setelah pertanyaan terlontar ke lawan bicaranya saat ini. Berbanding terbalik dengan pria di depannya yang malah mengernyitkan dahinya, sambil meminta penjelasan dari si pelontar pertanyaan secara tersirat dengan ekspresi wajahnya.
“Hahahaha, saya bercanda. Terima kasih udah bikin saya ketawa.”
“Tapi saya serius bingung, apa maksud kamu?”
Pria itu ternyata menanggapi pertanyaan Soonyoung dengan serius. Soonyoung yang masih tertawa, terpaksa harus mengendalikan tawanya dan berhenti.
“Ngga.. saya pikir, saya cuma butuh temen buat cerita. Orang yang ga dikenal, pasti sarannya lebih luas karena ga memihak siapapun di cerita itu.” jelas Soonyoung yang setelahnya dibuat terkejut dengan pria pastry— yang melangkah menuju bangku yang sebelumnya ia duduki.
“Ceritalah,”
Setelah diminta, Soonyoung pun bergabung di samping -pria pastry itu, duduk menghadap permukaan waduk yang tenang di sekitar pukul 10 malam.
Detik dan menit bergantian mengisi, hingga akhirnya Soonyoung mengakhiri ceritanya dengan helaan napas panjang. Semua beban di punggungnya seperti baru saja terbebas dan benang kusut di otaknya, sudah kembali terurai. Pria pastry ini memang orang asing baginya, namun bercerita dengan orang asing dan mendapat pandangan dari sisinya tanpa memihak, adalah hal yang ingin Soonyoung lakukan sejak lama.
“Sebenernya, bisa aja saya bantu kamu ngelupain dia. Selama menurutmu itu baik buatmu, saya bisa bantu karena itu berarti saya juga melakukan kebaikan.”
Begitulah jawaban dari si pria pastry setelah menyimak rangkaian cerita Soonyoung.
Sejak malam itu, Soonyoung dengan pria pastry— yang akhirnya ia ketahui bernama Lee Jihoon itu, mulai saling mengenal dan akrab. Mereka saling menyimpan kontak dan Soonyoung jadi lebih sering mampir ke toko pastry milik keluarga bermarga Lee itu.
Bukan tanpa alasan, ini berkat ungkapan Jihoon malam itu kepadanya, yang mengatakan:
'
Iya, itu. Katanya, Lee Jihoon ini akan membantu Soonyoung mengobati luka lama dengan mantan kekasihnya itu, jika dirinya berkenan. Yang Soonyoung mau adalah melupakan, itu berarti harus ada orang lain untuk mengalihkan pikirannya tentang sang mantan, kan? Kalau begitu, Jihoon menyanggupinya.
'Lalu bagaimana