sunflosan

Selamat pagi, dari Soonyoung yang mau ndusel


Padahal masih setengah delapan, —oh ralat jam setengah delapan kurang 6 menit, dan Soonyoung sudah chat yang aneh-aneh.

Manusia yang kerap mengakui dirinya sebagai harimau itu memang bahasa cinta —atau istilah kerennya love languange-nya adalah afeksi fisik.

Jadi, Jihoon sudah terbiasa dengan bentuk permintaan sepele seperti ini.

Tapi mungkin sangat berarti untuk dia. Mungkin semacam charger kalau itu handphone?

Lagi pula, selama permintaan Soonyoung tidak merugikannya and as long as his bae will be happy, Jihoon tidak pernah mempermasalahkannya. Malah dia akan merasa kecewa dan marah kepada dirinya sendiri jika Soonyoung sampai meminta hal sejenis itu kepada orang lain.

Tentu bukan waktu yang lama untuk suara Soonyoung terdengar dari balik pintu kamar Jihooon, karena mereka pun berada di satu lantai dengan jarak kamar yang tidak jauh. Bahkan Jihoon belum sempat mengubah posisi dan masih terbaring dengan selimut yang menutup seluruh tubuhnya. Bersamaan dengan panggilan dari suara tidak asing itu menghilang, pintu kamarnya terbuka dan tertutup dalam jangka waktu yang singkat. Kemudian pada detik berikutnya, tidak perlu dijelaskan lagi siapa yang sudah berdiri memperhatikan kemul tebal yang menampakkan wajah menggemaskan pagi harinya Lee Jihoon.

Karena sebelumnya sudah mendapat izin, jadilah Soonyoung langsung menyibak selimut Jihoon dan bergabung disana. Tubuhnya perlahan menindih Jihoon dengan wajah yang langsung ia tenggelamkan di bahu sang pacar. Iya, pacar. Mungkin sedikit menjadi rahasia umum karena siapapun dapat melihat kedekatan dan afeksi spesial antara mereka berdua, namun yang asti seluruh member sudah mengetahui hal ini dan selalu memaklumi ketika mereka melakukan hal yang melewati batas dari kata teman.

Ya karena mereka memang sudah lebih dari teman? Hihi.

Soonyoung menghirup dalam-dalam aroma yang keluar dari perpotongan bahu dan leher Jihoon yang sudah terbuka begitu saja karena atasan tipis yang dikenakan Jihoon sedikit longgar. Hal yang sama pun dilakukan oleh Jihoon. Bau khas Soonyoung di pagi hari, tidak pernah mengganggunya. Ditambah rambut tebal dan halus yang memberikan kenyamanan tersendiri ketika ia sentuh. Soonyoung di pagi hari, setelah bangun tidur, terlalu sayang untuk diabaikan sebelum ia berubah menjadi Hoshi di depan kamera dengan 1001 tingkahnya yang membuat geleng-geleng kepala.

“Kamu ga mandi dulu sebelum kesini?” Jihoon membuka suara.

“Nggalah, udah kebelet.”

“Pantesan bau. Belom mandi rupanya,”

Here, a denial Lee Jihoon, a tsundere one.

“Kalo bau, gausah cium-cium leherku kaya gitu.”

Tanggapan Soonyoung dibalas dengan cekikik kecil Jihoon, sambil seluruh jemarinya tidak ada yang absen untuk menyisir dan memainkan rambut kecoklatan Soonyoung.

“Jihoon kamu sayang aku ga?”

“Satu hari ga boleh absen nanya itu kah? Pertanyaan ituuuu terus yang kamu tanya, sampe bosen jawabnya.”

“Buat mastiin aja, Seokmin belum ambil kamu.”

“Yang ada Seokmin itu ngambil kamu, kemarin siapa yang selca sambil tiduran berdua?”

“Hihi pancinganku berhasil, berarti Jihoon masih sayang sama Soonyoung.”

Posisinya sudah sedikit berubah. Soonyoung beralih ke sisi Jihoon dan memeluknya dari samping.

“Jihoon,

... udah lama kita ga itu..”

Jihoon menoleh, memastikan wajah apa yang sedang dipasang Soonyoung sekarang. Sementara yang ditatap malah mengecup bibir yang menatap. Sekilas. Hanya bermaksud melunturkan tatapan Jihoon yang tiba-tiba menyelidiki itu.

“Soonyoung???”

Morning sex,”

“Kalo lagi ga butuh ga usah. Udah bagus kita ga biasain itu.” tolak Jihoon secara halus.

“Butuh, udah bangun juga. Ayo tanggung jawab tundukin lagi.”

“Ga ada yang bangunin padahal dari tadi?”

“Ada, dari tadi kan aku gesek-gesek sama punya kamu, emang ga berasa??”

“Mesum.”

Soonyoung hanya menjawab dengan hehehe yang dilanjutkan dengan pemberian kecupan lagi, namun kali ini mendarat di pipi Jihoon.

“Kamu juga ga pernah nolak?”

Hand job ya?”

“Huh, aku mau liat muka kamu kok malah hand job..” protes Soonyoung dengan wajah 100% gemas namun Jihoon tau pasti itu hanya dibuat-buat.

“Ini kamu liat mukaku nihhh,” Jihoon malah menyodorkan wajahnya ke Soonyoung.

Alih-alih menuruti permintaan Soonyoung, Jihoon malah membawa Soonyoung ke dekapannya supaya manusia itu tidak mengucapkan permintaan aneh lagi. Mau tidak mau, Soonyoung menerimanya karena tidak mungkin juga menolak Jihoon yang memeluknya seperti ini.

“Udah ya, udah impas. Udah dipeluk,”

“Yah, gapapa deh hand job dari pada ngga sama sekali.”

...

Ya, Bulol—


Pukul 1 dini hari dan kedua mata mereka masih terjaga.

Bukan berarti mereka baru selesai melakukan sesuatu, ya meskipun Soonyoung dengan santainya bertelanjang dada dan Jihoon yang memang sudah kebiasaannya tidur dengan celana yang terlampau pendek.

Tolong dicatat: hal itu hanya mereka lakukan ketika mereka tidur bersama.

Yang sejak tadi mereka lakukan hanyalah terlarut dalam pembicaran ngalor ngidul, mulai dari lelah hari ini, kenangan masa lalu, sampai kekhawatiran masa depan. Sambil yang lebih muda memeluk si berisik yang telanjang dada itu dengan tangan dan kaki yang protektif, hampir mengunci tubuh Soonyoung kepada tubuhnya.

Sementara Soonyooung, jarinya memainkan surai hitam kekasihnya yang mulai memanjang, sesekali mengusapnya, menepuk pelan kening yang biasa ia hujani kecupan itu, dan menciumi aroma segar yang terkuar dari sana. Aroma mint dari shampo favorit Soonyoung yang harus Jihoon gunakan sebelum mereka seperti ini. Alasannya, supaya Soonyoung tambah tenang jika menghirup aromanya saat cuddle seperti ini.

“Btw request gue di tweet itu serius, loh. Pirang-in rambut lo dong.. Pasti cantik.”

“Gue gamau keseringan ganti warna rambut kaya lo, ah. Ntar rambut gue rusak juga lo yang ngeluh.”

“Nggalah.. Rambut gue aja masih sehat, alus, tebel gini, kok. Lo aja yang lebay. Kapan-kapan, ya? Hehehe. Atau ga kita kembaran aja jadinya,”

“Apaan, jadi pasangan bule?”

“Iya lah blonde couple hits of the year hahahahaha,”

Jihoon hanya tersenyum membalas ungkapan Soonyoung barusan. Perkataan Soonyoung itu terkadang aneh, asal keluar tanpa dipikirkan. Tapi terkadang juga...

“Bulol.”

... membuat Jihoon memutar otak untuk memahaminya.

“Iya, lo.”

“Ngga tau, itu kita.”

“Lo doang, bukan kita.” Jihoon masih membantah.

Namun tiba-tiba Soonyoung memperbaiki posisinya. Ia berbaring ke samping menghadap Jihoon dan menyetarakan wajah mereka. Menatap manik mata Jihoon yang selalu paling indah di mata Soonyoung dan membuat Jihoon salah tingkah, untuk kesekian kali.

Ya, meskipun sudah bersama Soonyoung sejak SMA dan menjalin hubungan hampir 2 tahun, Jihoon selalu tetap salah tingkah dan membuat Soonyoung gemas.

“Ay, lo sadar gasih kalo di antara kita sebenernya yang bucin itu lo?”

“Coba kasih penguatan supaya gue bilang iya.”

“Yeu dasar. Contoh sederhana aja, lo keseringan salah tingkah kalo gue ngapa-ngapain lo. Iya ga?”

Jihoon mendengus, “Itu gabisa disebut bucin.”

“Yah ngelak aja. Nih ya, selama ini lo itu bakalan ngelakuin apa aja buat gue gasih? Nemenin gue makan malem meskipun lo udah makan, atau kaya sekarang, nemenin gue melek dan ngeladenin gue ngomong, padahal lo udah ngantuk, kan? Ngaku lo.”

Hal yang Soonyoung sebutkan itu sejujurnya kurang jika dibandingkan dengan yang sebenarnya Jihoon lakukan. Menjemput Soonyoung yang tiba-tiba kumat datang ke bar dan mabuk berat, ke pastry cafe meskipun dia tidak begitu menyukai kue dan teman-temannya, dan lain sebagainya yang jika Jihoon pikirkan sendiri, dia sadar kalau dia yang sebenarnya menyandang status bucin di antara keduanya.

“Oke, gue akuin. Terus?”

“Hahahaha akhirnya diakuin... Nih ya, bulol. Bu kan bucin dan lol-nya apa?”

“Tolol.”

“Hush, kasar banget ngomongnya. Bukan lah,”

“Terus apa?”

“Biasanya, LOL itu artinya laugh out loud kan.. Alias ketawa ngakak. Tapi LOL disini, artinya beda. LOL, love out loud.”

Betul kan, ini membuat Jihoon memutar otak.

“Ya, terserah lo deh.”

“Eh, dengerin gue.. Kan gue belom bilangin artinya,”

“Ya deh, apa artinya?”

“Cinta yang disuarakan.”

...

... hening.

“Bilang asik dong, Jihooonnnn. Garing bangettt.”

“ASIKKK.”

Keduanya tertawa dengan Jihoon yang masih have no idea what Soonyoung's BULOL means.

Love out loud itu artinya cinta yang disuarakan, bisa juga cinta yang banget-banget. Tapi kalo ngomongin cinta yang disuarakan itu, fits well with me ga sih? Ga geer tapi emang bener kan? Yang sering berisik bilang sayang itu gue, yang confidently bilang 'gue pacar Lee Jihoon' dan akuin kalo gue sayang sama lo ke orang-orang, juga gue kan? Jadi lol itu buat gue gitu...” jelas Soonyoung panjang. Jihoon menaruh perhatian penuh dan memikirkan kata-kata itu dalam diamnya.

“Jadi, what you want to tell is bulol itu love languange kita toward each other?” simpul Jihoon yang langsung mendapat anggukan mantap dari Soonyoung.

Oh, God. How can Soonyoung being so genius?

Lagi, Jihoon hanya tersenyum mengakui pemikiran Soonyoung yang memang terkadang membuat otaknya bekerja dua kali lipat itu. Tapi Jihoon selalu jatuh cinta dengan setiap persona dan pesona Soonyoung bagaimana pun bentuknya. Indeed, he is the bucin one as Soonyoung said before.

Masih berbaring, namun lebih mendekat. Jihoon mengarahkan wajahnya kepada Soonyoung.

Siapa yang bisa menebak kelanjutan ceritanya?

Tentu saja. Rasanya kurang jika momen seperti ini tidak diakhiri dengan sebuah ciuman bibir yang sama-sama mereka sukai.

Diawali dengan kecupan ringan, kemudian berhenti sejenak untuk menyamankan posisi, lalu berlanjut menjadi lumatan yang lebih dalam.

Soonyoung, dengan seluruh kepribadian, bahkan detail tubuh yang menjadi favorit Jihoon di seluruh dunia ini.

Dan Jihoon, dengan semua perhatian dan kasih sayang tersiratnya yang selalu membuat Soonyoung menjadi makhluk paling bersyukur di alam semesta ini.

Jihoon mengakhiri ciuman itu terlebih dahulu. Dengan tubuh yang berada di atas Soonyoung, ia berbaring disana. Jarinya pelan-pelan mengait pada jari Soonyoung dan matanya perlahan memejam.

“Kapan-kapan, nanti gue warnai rambut gue kaya yang lo pengen.

“Tuhkan bucin, hahahaha. Sayang deh sama Jihoon.”

ya indeed, it is their love languange tho.

Incomplete, 96z au.

Hari ini mungkin adalah hari yang paling buruk untuk Soonyoung.

Sudah tau di jam pertama akan ada kuis, tapi malamnya ia malah sibuk dengan layar ponselnya, bertukar kabar dengan seseorang yang jauh disana sampai lupa waktu.

Katanya, video call malam itu sebagai janji karena ia sudah belajar untuk kuis hari ini. Namun, apa gunanya jika setelah belajar malah bertelepon ria hingga pukul 2 dini hari yang membuat paginya malah terlambat bangun dan sekarang tertinggal kereta pagi yang biasa ia naiki.

Tapi, tidak mungkin juga ia menyalahkan seseorang yang menelponnya malam itu.

Bersama sejak kaki belajar berpijak sampai pertemuan terakhir mereka ketika tahun pertama kuliah. Mulai hari itu, Soonyoung sudah tidak pernah menemuinya lagi hingga hari ini dan menyimpan rindu yang siap meledak kapanpun ada sesuatu yang memancingnya. Seperti malam kemarin.

Namanya Jeon Wonwoo. Seorang figur sahabat yang tidak pernah absen menemani Soonyoung ketika senang atau sedih. Yang tidak pernah lepas kehadirannya untuk memberi dan diberi, kepada dan oleh Soonyoung. Yang baru disadari Soonyoung beberapa tahun terakhir ini bahwa Wonwoo adalah sosok yang paling berharga kedua setelah orang tuanya. Pun yang memberikan kenyamanan sewaktu singgah dan ruang kosong di hati Soonyoung begitu dia memutuskan untuk pergi.

Oh, kembali ke hari ini. Soonyoung masih bingung dan panik di pintu masuk stasiun.

“Ah, sialan! Dimana sih???”

Sudah hampir sepuluh menit ia habiskan untuk mengudak tasnya, mencari sebilah plastik yang tidak lain adalah kartu akses masuk stasiun. Padahal biasanya ia simpan di dompet bersama kartu lainnya. Tapi apa? Di hari seperti ini malah hilang dan di dalam tasnya pun sedari tadi tidak terlihat.

not us, soonhoon.

Jihoon tidak pernah menyangka bahwa akhirnya akan seperti ini. “Selamat pagi, Tuan.” “Pagi.” Seorang pria berseragam rapi berwarna hitam putih yang baru saja menyapa, mendekat kepada Jihoon dengan tangan yang membawa nampan. Nampan itu berisikan beberapa roti dan segelas susu yang menjadi menu rutin sarapan Jihoon. Nampannya diletakkan di atas nakas yang berada tepat di sebelah ranjang tidur Jihoon. Sementara pria yang membawanya, mendekat kepada Jihoon dan mengusap pipi Sang Tuan Muda, pelan. Setelahnya, ia mendekatkan wajahnya dan mencium kening Jihoon dengan bibirnya. Lembut. Perlakuan seperti itu yang selalu diberikan oleh pria ini sejak Jihoon kecil, sejak sepuluh tahun yang lalu. Kedua netra itu bertemu, kemudian segaris senyum terukir, menghias wajah keduanya. “Bagaimana tidur anda, Tuan?” “Selalu nyenyak. Apalagi jika di malamnya, kamu datang untuk menemani saya.” Pria itu duduk di tepi kasur, di sebelah Jihoon yang masih terbalut selimut dengan wajah bantalnya. Selalu, nyaman yang dirasakan disaat berdua tanpa siapapun di sekitar mereka seperti ini. Hal itu berlaku untuk keduanya. Namun, sebuah perasaan getir kembali muncul. Tidak, selalu muncul dan tentu saja tidak pernah berpindah dari tempatnya. Rasa bersalah dan kekhawatiran untuk diketahui, karena bagaimanapun juga hubungan ini pasti ditentang oleh siapapun kecuali keduanya. Soonyoung pun tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya akan seperti ini. Dirinya terlahir di keluarga Kwon yang sudah tiga generasi menjadi pelayan setia untuk salah satu keluarga kerajaan di Negeri Eneresta, yaitu keluarga Lee. Ia menjadi generasi ketiga yang tumbuh di lingkungan bangsawan dengan status pelayannya. Kakeknya yang telah wafat, tentu saja lebih dulu menyelesaikan tugasnya sebagai tangan kanan keluarga kerajaan ini. Sekarang giliran ayahnya, dan nanti tentu saja tiba gilirannya untuk mengabdi sepenuhnya kepada kerajaan ini. Dan hal itu telah dimulainya dari sepuluh tahun yang lalu, dengan menjadi pelayan pribadi dari putra tunggal keluarga kerajaan, Lee Jihoon. Namun, bukan itu duduk permasalahannya, bukan itu hal yang tidak disangkanya. Soonyoung menerima dengan baik keadaannya di tengah keluarga Kwon dan didikan ayahnya yang sejak dini telah menerapkan kepadanya mengenai kepatuhan dan pengabdian kepada keluarga kerajaan yang dilayaninya ini. Ayahnya selalu berkata bahwa keluarganya, terutama dirinya, patut bersyukur dengan keadaan ini. Karena tidak semua klan biasa seperti mereka bisa mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari keluarga kerajaan di negeri ini. Dan Soonyoung, menerapkan itu dalam kehidupannya, menjalani harinya dengan sepenuh hati sebagai bagian dari dayang keluarga kerajaan. Hingga pada akhirnya ketika ia lulus dari pendidikan formal di usia 18, Soonyoung memulai kegiatannya untuk sepenuhnya mengabdi dengan menjadi pelayan pribadi penerus kerajaan tunggal, Lee Jihoon. Dan disaat itulah semua bermula. “Perkenalkan, saya Kwon Soonyoung.” Pemuda di depannya, menatap tajam. Pupilnya menelusuri setiap detail tubuh Soonyoung dari atas hingga bawah. Tidak tau harus bertindak apa, tubuh Soonyoung hanya merespon dengan getaran yang nampak samar dari luar pakaiannya di beberapa tempat. Ia gugup. Otaknya terus mencari tau apa yang harus dilakukan, diucapkan, atau setidaknya tidak membuatnya malu. “Bagaimana saya sebaiknya memanggil anda?” Usia yang terpaut 6 tahun ini

...

Jihoon tidak pernah menyangka, ia akan terikat oleh perasaan terlarang ini.

“Bolehkah saya mencintai anda, Soonyoung?”

Lee Jihoon, seorang penerus tunggal dari Kerajaan Enerias. Umurnya masih 20 tahun, namun cara didik keluarga kerajaan yang sudah diterimanya sejak dini, membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, baik itu pemikiran maupun perbuatannya.

Pertanyaan itu disampaikannya di usia ke-19 kepada pelayan pribadinya, Kwon Soonyoung.

Hubungan Keluarga Kwon dengan Keluarga Kerajaan Enerias, bagaikan seutuh tubuh manusia dengan tangan kanannya. Tubuh akan selalu membutuhkan tangan kanannya dan tangan kanan tidaklah bernilai jika ia tidak berada pada sebuah tubuh yang utuh.

Sebuah pengabdian seutuhnya dari Keluarga Kwon kepada Keluarga Kerajaan Enerias.

Sementara Soonyoung, putra dari Tuan Kwon ini sudah menjadi pelayan pribadi Jihoon sejak 10 tahun yang lalu. Di usia 20, ia memperlakukan Jihoon layaknya Tuan Muda dengan segala kepatuhan dan kesabarannya terhadap Tuan Muda kecil, tidak lupa kasih sayang seperti halnya memperlakukan adik kandung sendiri.

Namun, semakin lama perasaan sayang itu semakin meluap dan menyebar ke setiap inci tubuhnya. Ditambah dengan didikan Tuan Kwon yang selalu memerintahkan dirinya untuk mengabdi dan patuh terhadap Keluarga Kerajaan, membuat Soonyoung semakin mempersembahkan dirinya dan rela melakukan apapun demi kebahagiaan Jihoon.

Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasakan perasaan bersalah setiap kali jantungnya berdesir begitu tatapnya bertemu dengan netra indah Sang Tuan Muda. Ia merasa bersalah ketika telinganya memerah begitu Jihoon memberikan pujian terhadapnya. Ia merasa bersalah telah membiarkan bunga-bunga di taman hatinya tumbuh bermekaran dan memberikan semerbak yang memabukkan di setiap harinya. Soonyoung merasa bersalah, namun ia menyukai ini.

Pertanyaan Jihoon hari itu semakin membuat dirinya takut, khawatir, namun tentu saja bahagia. Dirinya tidak bisa menahan otot di sekitar bibirnya untuk tidak tersenyum mendengar pertanyaan itu.

“Apa tidak apa-apa, Tuan?”

...

Mata Jihoon suntuk. Sejak pagi dan baru berakhir beberapa menit yang lalu, matanya tanpa henti menatap layar komputer dan tumpukan naskah secara bergantian. Beberapa gelas kopi hitam juga sudah menemaninya terjaga dan berkat mereka lah mata Jihoon masih kuat untuk membawanya pulang dengan selamat selarut ini.

Jihoon ingat, di dalam sana ada suaminya yang mungkin sedang tertidur, karena hari sudah hampir berganti, ditambah dengan kondisinya yang sedang tidak baik. Jihoon sedikit merasa bersalah karena tidak bisa merawat Soonyoung yang mengaku kepala pusing beberapa jam yang lalu.

...

“Dulu itu, kenapa kita putus, ya?”

Angin yang berhembus terdengar seperti bisikan di telinga yang membawa jawaban dari masa lalu. Diam yang menyelimuti sejak mereka menginjakkan kaki di tepi sungai ini, berasal dari sebuah kecanggungan karena pertemuan yang kembali terjadi sejak empat tahun yang lalu.

“Ternyata empat tahun itu cepat, ya?”

Masih pria yang sama dengan pria yang melontarkan pertanyaan tak terjawab sebelumnya, dengan pria lainnya yang tidak kunjung membuka mulut selain hai di awal.

“Gimana belajarnya?”

Tanpa mengalihkan pandangan, akhirnya pria yang lebih mungil membuka suara. “Lancar, sesuai rencana.” jawabnya singkat.

“Syukur, deh. Oh iya, soal pertanyaan semalem itu aku serius.”

Akhirnya dia menoleh. Pria dengan kemeja besar sebagai luaran dan kaos hitam di dalamnya menghela napas, bersiap dengan tanggapannya kepada pernyataan barusan.

“Kangen sama saya?”

“Iya. Kamu iya ga?”

“Saya pikir udah ga boleh lagi,”

Jawaban dengan nada menggantung itu, disambut oleh tawa dari lawan bicara. Bukan hal yang seharusnya ditertawakan sebenarnya. Tapi tawa itu setidaknya sedikit memecah tembok kecanggungan yang terbangun di antara mereka.

“Tapi Ji, ternyata kata orang-orang itu ada benernya juga. Buktinya kita masih ketemu hari ini meskipun empat tahun udah ga ketemu.”

Pria yang dipanggil Ji itu kembali menghela napas, “Jadi?” tanyanya.

“Jadi, apa perasaan kamu masih sama kaya waktu kita terakhir ketemu sebelum ini?”

Pertanyaan macam apa itu. Susah-susah ia berjuang sendirian selama empat tahun di negeri orang, belajar tanpa ada orang yang diharapkan memberi support disaat lelah, atau seseorang yang bisa sedikit menghibur di waktu luang dengan panggilan video, atau mungkin seseorang yang diharapkan untuk ditemui saat liburan datang, semua itu tidak ada sejak pertemuan terakhir mereka dan sebuah alasan konyol dibalik perpisahan itu.

Dan bodohnya, itu disetujuinya.

Kemudian setelah empat tahun dia menahan perasaan rindu, menahan diri untuk tidak mengirim pesan atau memulai panggilan lebih dulu, dengan ringannya pria di hadapannya ini menanyakan hal seperti itu.

“Saya bingung harus jawab apa. Kamu itu ga berubah, selalu aneh. Saya selalu butuh waktu lama buat pikirin jawaban apa yang harus saya kasih ke kamu.”

Ahahahaha menjadi jawaban lagi. Tawa dari pria aneh itu masih terdengar sama. Sangat renyah, lepas, riang, tidak berubah. Dan harusnya perasaan dirinya juga tidak berubah.

Jika ia tidak berbohong pada perasannya.

“Kemarin saya sempet pacaran sama orang lain disana. Mungkin sekitar dua tahun.”

“Wow..”

“Orang korea juga. Sama-sama pelajar asing.”

Soonyoung mendadak berubah setelahnya. Tawa yang sedari tadi dikeluarkan sebagai jawaban untuk Jihoon, tiba-tiba berubah menjadi diam dengan pandangan menatap lurus kepada permukaan tenang air dan langit yang semakin jingga, bergantian.

“Oh.. aku ga nyangka, haha. Ternyata cepet banget kamu lupain aku,”

Salah siapa mengakhiri.

“Padahal perasaanku hari ini masih sama kaya waktu pertama liat kamu, kaya pas setiap hari jadi pacar kamu, kaya pas terakhir kita ketemu.”

Ini kenapa suasananya..

Rentetan kalimat itu menyisakan tanda tanya dan menghadirkan kembali suasana canggung yang sudah dipecahkan sebagian. Namun tidak lagi sampai akhirnya Soonyoung memberanikan diri untuk mendekat kepada Jihoon dan mengatakan..

“I love you,”

.. sambil mengecup sejenak surai hitam Jihoon dari samping. Damai, tenang, namun sebuah tempat di hatinya berdesir. Perasaan yang sudah hampir hilang, perlahan meluap lagi.

“Dan sepertinya akan selalu kaya gitu, setiap kali aku ketemu sama kamu. Ga peduli apa status di antara kita atau antara kamu sama orang lain.”

Kwon Soonyoung dengan segala keanehannya dan perasaannya yang dalam kepada dirinya. Jihoon tau, dan akan selalu mengetahuinya.

Bibirnya masih terbungkam. Jihoon hanya sedang mengendalikan detak jantungnya yang mungkin saja bisa terdengar oleh Soonyoung dan merangkai kalimat untuk dilontarkannya kepada pria yang sudah menjadi mantannya ini.

“Kalo aku ngelakuin kaya tadi ke kamu, apa ada yang bakal marah?”

Telinganya memanas mendengar itu. Entahlah apakah Soonyoung melihat merah telinganya atau tidak. Yang jelas Soonyoung hari ini..

Jihoon sangat-sangat merindukannya.

Mengapa hanya itu? Saya rindu pelukan.

Tapi tentu saja tidak tersampaikan, hanya sebagai gumam dalam hati.

Soonyoung meraih tangan Jihoon. Mengusapnya pelan sebelum ia mengusak rambut Jihoon dan bangkit dari duduknya.

“Mau kemana?” tanya Jihoon spontan. Ia belum mau hari ini berakhir.

“Pergi sebentar. Nanti aku balik lagi kalo semua udah siap. Terima kasih udah sempetin dateng kesini, Ji.”

Kalimatnya berakhir dengan sebuah senyum. Setelahnya ia berbalik, benar-benar berniat pergi dari tepi sungai itu.

“Soonyoung!”

Yang dipanggil hanya menoleh, menunggu lanjutan dari panggilan itu.

“Terima kasih sudah menjaga perasaan kamu.”

Lagi, senyum itu terlihat. Kali ini lebih mekar dan berseri dibanding yang sebelumnya. Jihoon benar-benar merindukan senyum itu dan ia bersyukur, kembalinya ia kesini benar-benar sebuah pilihan yang tepat.

“Sama-sama!”

...

...

note kecil: wz, dilafalkan wuzi hs606 dilafalkan heis rezero


Untuk kesekian kalinya, wz, kembali menerima pekerjaan penuh risiko ini.

“Apa anda bisa?”

Senyum miring terpatri jelas di wajahnya begitu sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal, tiba-tiba memberikan sebuah tugas yang sudah lama ia nantikan.

“Saya pikir, anda tidak lagi memerlukan jawaban.”

Prof. Kwon Soonyoung, seorang ilmuwan negara yang bekerja di Laboratorium Pusat Penelitian Negara, sekaligus seorang dark hacker yang menyalahgunakan posisinya sebagai Kepala Laboratorium Pusat, untuk segala kepentingan dan kesenangan pribadinya.

Di dunia bawah tanah, ia terkenal sebagai peretas ulung yang ditakuti, bahkan dihindari oleh kalangannya. Namun, hanya sedikit yang mengetahui identitas aslinya di dunia nyata bahwa ia adalah seorang Kepala Laboratorium Pusat.

Kebusukan dan kemunafikan itulah yang menjadi dendam pribadi wz,. Namun ia tidak memiliki waktu untuk menuntaskan dendam itu hanya untuk kepuasan pribadinya. Baru sekarang, dendamnya bisa dituntaskan karena ada seseorang yang secara langsung meminta kepadanya untuk mengeksekusi ilmuwan bermuka dua itu.

Berbekal sebuah senapan, pisau lipat, serta perlengkapan ringkas lainnya. wz, tidak memerlukan terlalu banyak perlengkapan untuk mencabut nyawa korbannya, karena ia telah terlatih melakukan ini. Puluhan bahkan ratusan nyawa telah melayang di tangannya semenjak pekerjaan ini ditekuninya 10 tahun yang lalu. Nominal yang diterima sebagai imbalannya pun bukanlah jumlah yang bisa dijangkau oleh kalangan biasa. Maka dari itu, wz, dikenal sebagai malaikat maut bayaran di kalangan menengah keatas yang mayoritas memiliki urusan pribadi dengan rivalnya.

Jarum pendek dari jam di tangannya menunjuk kepada angka 1. Namun, langit di sekitarnya masih sangat pekat. Ya, ini jam 1 dini hari dan wz, akan menjalankan misinya pada waktu ini. Waktu dimana Prof. Kwon Soonyoung sedang berubah menjadi identitas hs606 dan berada di markas tersembunyinya.

Berkat bantuan dari partner lamanya, wz, dapat dengan mudah mendapatkan lokasi dari kandang mangsanya itu. Inisial nu adalah teman lamanya yang kini berubah menjadi partner setia ketika ia menjalankan misinya. Hacker dunia bawah yang pamornya belum setenar hs606, namun dapat dengan mudah meretas sistem koneksi hs606 dan menemukan lokasinya.

Deru mobilnya berhenti terdengar di jarak 1 km dari sebuah bangunan sederhana di sebuah pulau yang bahkan tidak tercantum di peta. Itu kediaman hs606 dan hanya sampai sinilah batas mobil dapat membawanya. Sistem keamanan yang dipasang oleh hs606 di jarak 1 km dari kediamannya, menghendaki kendaraan bermesin jenis apapun kehilangan fungsinya dikarenakan daya magnetnya yang terlalu kuat. wz, mengetahuinya berkat rekannya yang telah memetakan pulau itu dan beragam sistem keamanan yang dibuat oleh hs606. Big thanks to nu dan sudah dipastikan nu akan mendapat imbalan yang melimpah dari hasil kerjanya yang sempurna ini.

Wait here, baby. I won't let you wait me for a long time. Maybe it just takes, 30 minutes?

wz, bergumam kepada setir mobil itu sambil mengelusnya pelan. Mobil yang baru saja dibelinya sesaat sebelum ia menginjakkan kakinya disini ini, sudah ia berikan kasih sayang layaknya mobil koleksinya yang lain. Tapi karena tugas ini terlalu berisiko, wz, memutuskan untuk membeli mobil ini dan menjadikannya rekan di tempat yang ancamannya bisa saja datang diluar perkiraannya. Jika nantinya mereka bisa keluar dari pulau ini dengan sukses, mobil merah ini akan berjajar bersama dengan bayinya yang lain di markasnya sana.

Dirinya terpaksa berjalan. 1 km, sebenarnya bukanlah jarak yang dekat apalagi dengan berjalan kaki. Tapi mau tidak mau, wz, melakukannya demi pekerjaan ini dan dendam pribadinya kepada si profesor munafik itu. wz, memang membenci siapapun yang tidak bisa berkhianat, apalagi hs606 ini bekerja untuk negara sebagai Kepala Laboratorium Pusat dan dirinya yang lain itu sangatlah berbanding terbalik.

Dan dendam pribadi lainnya.


“Tuan Heis, ada yang berhasil meretas sistem keamanan bagian luar!”

“Eish, bisa diam tidak, sih!? Tanpa kamu kasih tau juga saya sudah tau!”

Pandangannya tidak beralih sama sekali dari deretan layar dengan ribuan kode yang manusia awam tidak mengerti. Suara android yang memanggilnya pun hanya membuat dirinya semakin panik. Beberapa alarm keamanan yang tiba-tiba berbunyi di ruangan itu, semakin membuat konsentrasi Heis buyar dan semuanya jadi kacau.

*“Ahahahaha, ada apa dengan number one dark hacker kita, Heis Rezero?”*

Tawa dan ejekan itu menggema, bersama dengan suara bising seperti dengung sistem error. Suaranya berasal dari semua pengeras suara yang sebelumnya tersambung pada alarm sistem keamanan. Semua sistemnya berhasil diretas oleh satu pihak ini, pihak yang sedari tadi bermain-main dengannya dan ternyata menjebaknya.

“Ternyata tidak perlu keahlian khusus untuk mengalahkan seorang Heis Rezero.”

Dirinya berusaha fokus. Jemarinya sibuk mengetikkan berbagai macam kode lain untuk melakukan proteksi terhadap serangan tiba-tiba ini dan mencegah dari kemungkinan bahaya yang lain.

“Heis, usahamu sia-sia. Sebentar lagi akan ada malaikat maut yang menjemputmu dan hidupmu akan segera berakhir.”

Tidak peduli. Heis berusaha memahami kerusakan pada sistemnya dan memperbaiki secepatnya. Ia tidak mau peduli dengan semua ancaman yang dilontarkan manusia pengecut ini. Lagi pula, apa tujuan dia menyerang sistem seorang Heis? Jika itu tujuan main-main, maka manusia pengecut ini benar-benar berada dalam bahaya.

“ARGH! Bau apa ini!???? Heta, apa alat filtrasi udara ruangan ini juga dirusak olehnya!? Saya tidak bisa berkonsentrasi!” suaranya kencang berteriak kepada android yang menjadi asisten pribadinya itu.

“Tidak ada kerusakan sama sekali, Tuan.”

“ARGH, mana mungkin???”

Konsentrasi Heis memang sudah buyar sejak beberapa menit yang lalu dan konyolnya itu adalah karena sebuah aroma manis yang jarang sekali ia temukan. Parahnya, semakin lama aroma ini semakin menguat dan otaknya seperti kehilangan fungsi. Jarinya terus menghantam keyboard, namun dirinya mati-matian menahan napas supaya tidak mencium aroma ini. Tapi tentu saja, Heis tidak mampu menahan napas terlalu lama dan berakhir dengan aroma itu yang terus menusuk indera penciumannya. Ditambah dengan suara dengung yang belum berakhir, otaknya sudah 404 not found.

“Tidak perlu panik, Heis. Aku akan berhenti melakukan ini jika mautmu sudah hampir datang. Tenang, saja.”

Lucu. Bagaimana Heis bisa tenang ketika sistemnya diretas dan seseorang bisa saja benar-benar datang seperti apa yang dikatakan manusia pengecut itu? Tidak, Heis tidak takut. Namun dia hanya panik karena semua ini diluar perkiraannya. Ketika langit masih pekat dan waktu masih terbilang terlalu dini, apa manusia pengecut ini memang sengaja untuk menyerang dirinya?

Tiba-tiba suara dengung itu berhenti terdengar. Sekiranya, ini lebih baik dari sebelumnya. Namun sialnya, aroma itu malah semakin menyengat. Apa yang menjadi sumbernya?

“Tuan, *

...

Aku tidak memerlukan apapun sekarang, yang aku butuhkan hanyalah dirimu yang terbebas dari rasa sakit itu.

Sudah hampir satu bulan Jihoon terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan beberapa alat dokter yang terhubung kepada dirinya. Sudah hampir satu bulan juga, Soonyoung banyak bercerita di sebelah raga yang tak berdaya ini. Menceritakan bagaimana harinya berjalan, mengungkapkan bagaimana perasaannya, meskipun Soonyoung tidak tau pasti apakah Jihoon mendengarnya atau tidak.

Namun satu hal yang pasti, selama satu bulan itu juga mata Soonyoung menjadi teramat sembab dan membengkak. Tangisnya yang selalu ia tumpahkan saat berada di luar ruang rawat Jihoon, terus menerus mengalir meskipun keadaan ini hampir membiasakan dirinya. Soonyoung lelah dan hanya ingin Jihoon tersadar dari tidur panjangnya.

“Dokter, sampai kapan Jihoon akan terus seperti ini?”

“Kami tidak mengetahuinya, Soonyoung. Kami akan mengusahakan yang terbaik untuk menolong Jihoon. Bantulah dengan doa agar Jihoon bisa cepat sadar.”

Tanpa disuruh pun, Soonyoung sudah melakukan itu. Doanya terpanjat ke langit bahkan hampir setiap detik setelah keadaan Jihoon seperti ini. Namun asanya hampir habis. Hanya lelah yang tersisa bersama dengan cinta yang terus mengalir.

Apa kamu menderita dengan keadaan seperti ini?

Jihoon selalu terlihat tenang, meskipun di sebelahnya, Soonyoung sudah hampir stress karena mendengar suara alat-alat kedokteran yang dia tidak mengerti makna dari setiap bunyi dan tanda yang dikeluarkannya. Soonyoung selalu berpikir bahwa, pasti tidurnya Jihoon tidak tenang. Karena sebelumnya, Jihoon akan selalu terbangun ketika mereka tidur bersama hanya karena Soonyoung yang terbangun untuk mengambil air putih di dapur.

Tiba-tiba di benak Soonyoung, terlintas sesuatu.

Aku akan membebaskanmu dari rasa sakit ini, Jihoon.

Soonyoung sudah tidak tahan melihat Jihoon-nya seperti ini setiap hari. Rasa sakit yang Jihoon rasakan selama satu bulan ini, pasti lebih parah berkali lipat daripada perasaan sakit yang dirasakannya ketika melihat Jihoon tidak sadarkan diri.

Hingga kelam pikirnya datang dan menguasai alam bawah sadarnya. Sebuah niatan suci namun dengan cara yang tidak tepat, apakah benar akan membuat Jihoon bahagia?

Sebentar lagi, Jihoon.

Di suatu malam yang sunyi, Soonyoung melakukannya.

Satu persatu, semuanya dilepaskan. Hingga pada akhirnya terlihat jelas ukiran senyum di bibir sang kekasih yang tidak lagi tertutup apapun.

Soonyoung tidak lagi terganggu dengan bunyi alat kedokteran yang biasa mengganggu tidur mereka. Dan Jihoon, sekarang bisa tidur dengan lebih nyenyak tanpa gangguan dari siapa dan apapun.

Aku sudah membebaskanmu, Jihoon. Tidurlah dengan nyenyak. Aku ingin kita terbangun di satu tempat yang sama dan bercanda ria seperti biasa. Sampai jumpa.

Begitulah ucapnya sebelum pada akhirnya kelopak matanya terpejam, bibirnya ikut tersenyum bersama Jihoon, dan dari pergelangan tangannya mengalir sebuah cairan pekat.

Sebuah awal dari kehidupan yang lebih tenang, yang diciptakan oleh Soonyoung untuk keduanya.

...

...

Hari ini bukan hari yang buruk. Setidaknya. Bahkan Soonyoung sangat terkesan dengan kemampuan Mingyu dalam dunia fotografi. Dia bisa mengambil gambar yang terlihat profesional bahkan saat sang model tidak terlalu percaya dengan dirinya.

Ya, itu Soonyoung sendiri.

Sejujurnya semua ini berjalan tanpa rencana. Yang direncanakan hanyalah apa yang menjadi konten gose hari ini. Selebihnya, mengalir seperti air. Tanpa rencana dan bagusnya, berjalan lancar.

Termasuk kepada apa yang ia kenakan saat ini.

“Udahan kan, ya? Gue ganti baju, ya.”

“Yaelah hyung, buru-buru banget. Mumpung Mingyu masih megang kamera, gamau foto-foto lagi? Lo keren pake baju kaya gitu, tau.”

Itu suara Minghao yang sukses membuat dirinya kembali merasa 'apa iya?' Meskipun semua member berkata bahwa dirinya sangat cocok dengan pakaian seperti ini, tapi rasanya sekarang bukan saatnya dia menunjukkan otot perutnya yang belum sempurna ini. Yang ada malah membuat malu.... Dan ya, sekarang Soonyoung agak kurang percaya diri dan ingin cepat-cepat menjadi dirinya yang biasa.

“Skip deh, gue duluan ya. Kalian kalo masih mau foto-foto ya silahkan.. Nanti gue nyusul pake baju biasa aja.. Gausa kuatir, gue tetep ganteng ✨.”

Sekiranya wajah Soonyoung bisa digambarkan dengan emoji itu. Bagaimanapun juga, Soonyoung tetap Soonyoung yang biasanya. Hoshi dengan bright vibenya.

...

Sekarang Soonyoung sudah berdiri mematut diri di hadapan cermin yang hampir setinggi badannya. Masih dengan stelan denim yang atasannya terlalu “ke atas” sehingga perutnya dapat terlihat dengan sempurna tanpa ada halangan yang menutupi.

Soonyoung mengangkat lengannya, memposisikan lengannya di depan keningnya sambil mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih nakal. Pikirnya, ya seperti ini harusnya ia bergaya di depan kamera Mingyu. Tapi bagaimana, dia belum siap untuk menunjukkan tubuhnya yang belum terbentuk sempurna itu.

“Lo tuh sebenernya ganteng, Soonyoung.. Kenap—”

“Iya,”

Soonyoung terperanjat begitu suara yang lain di luar sana memberikan sahutan atas gumamnya barusan.

“Siapa?”

“Jihoon. Bukain dong, gue juga mau liat, katanya Soonyoung ganteng.”

Jihoon berkata sambil mengetuk pintu ruang ganti yang berisi Soonyoung.

Soonyoung membuka pintunya. Kepalanya mengintip dari dalam dengan pintu yang sedikit terbuka. Ia memperhatikan keadaan di sekitar ruang tersebut untuk memastikan apakah ada orang lain selain Jihoon atau tidak.

“Gada orang.” ucap Jihoon sambil mendorong kepala Soonyoung dan memaksa dirinya untuk ikut masuk ke dalam ruang kecil itu.

Jihoon mengunci pintu, sementara Soonyoung hanya memperhatikan pria yang lebih mungil darinya ini, berbuat apa yang dia kehendaki.

“Kenapa liatin gue?”

“Lo mau ngapain? Jangan ngada-ngada deh, ini ruangan kecil.” jawab Soonyoung. Bukannya menjawab, Jihoon malah membalikkan tubuh Soonyoung agar menghadap ke cermin, kemudian memegang kedua lengannya dengan mantap.

“Bagus, kok. Gada yang bilang tubuh lo jelek. Even foto yang diambil Mingyu juga hasilnya bagus.”

“Kalo lo yang ngomong, sih..”

“Ah, mau ditunjukin lagi lebih bagusnya tubuh lo itu gimana?”

Wajah Jihoon ikut nampak di cermin itu, bersandar di lengan Soonyoung sambil memeluk orang yang dicintainya itu dari belakang. Matanya menatap mata Soonyoung melalui pantulan di cermin, yang meskipun begitu, sama sekali tidak mengurangi keindahan netra hitam yang tertutup kelopak agak sipit.

“Bentar deh,”

Setelahnya, Jihoon keluar dari ruang kecil itu meninggalkan Soonyoung dengan sejuta tanda tanya di benaknya.

Tidak perlu waktu yang lama hingga pada akhirnya Jihoon kembali ke dalam fitting room itu. Masih ada Soonyoung di dalamnya, tapi pria itu sedang duduk di samping cermin, seperti menunggu ayah yang hendak menjemputnya.

“Pake ini dulu biar makin ganteng.”

Jihoon menyodorkan water spray yang sebelumnya ia gunakan untuk menata surai member lainnya. Ia sadar, Soonyoung belum mendapat usakan jemari lentiknya di rambut hitam itu. Jadi sepertinya sekarang inilah waktunya Jihoon mengubah Soonyoung menjadi pria yang paling indah yang hanya dilihat oleh dirinya seorang.

“Berdiri, cepet.” perintahnya.

Soonyoung hanya tersenyum sambil menuruti perintah dari Jihoon. Perbedaan tinggi antara keduanya membuat Soonyoung sedikit menundukkan kepalanya begitu Jihoon mulai menata rambutnya. Satu kali, dua kali, tangan Jihoon terlalu terampil melakukannya. Jemarinya menelisik di antara helai rambut Soonyoung dan mengusaknya acak. Basah, namun tidak lepek. Sangat pas. Entah Jihoon memiliki kemampuan ini dari mana, yang jelas Soonyoung pun sedikit terkejut mengetahuinya.

“Jihoon, lo ngapain sih?”

“Bikin lo makin ganteng, biar lo pede, terus gue doang yang bisa ngeliatnya.”

Soonyoung terkekeh mendengar jawaban itu. Pandangnya lurus menatap netra Jihoon yang masih fokus dengan sisir dan surai miliknya. Indah. Ditambah dengan kacamata yang masih setia menggantung di hidungnya. Jihoon menjadi terlihat manis dan dewasa disaat yang bersamaan.

“Lo manis banget, kenapa deh?”

“Sekarang lo ngomong gini. Dari tadi kemana aja?”

“Kalo tadi itu harus ngendaliin. Kalo gue terlalu gemes sama lo, bisa bahaya.”

Jihoon menggeleng. Ia menghentikan kegiatannya, kemudian menangkup wajah Soonyoung. Memperhatikan hasil dari pekerjaan tangannya yang membuat Soonyoung terlihat semakin seksi dengan rambut basah yang mengacak.

“Ganteng banget.” ucap Jihoon sambil menepuk pipi Soonyoung, gemas. Soonyoung hanya tersenyum kemudian menoleh ke cermin di sampingnya. Melihat rupanya yang sedari tadi mendapat pujian bertubi-tubi dari si mungil Jihoon, teman yang dicintainya.

“Jadi ini penampilan gue yang ganteng, yang cuma bisa diliat lo doang?”

“Ngga, masih ada lagi.”

Jihoon meraih tengkuk leher Soonyoung, memaksanya untuk menundukkan kepalanya dan menempelkan bibir keduanya. Kakinya sedikit menjinjit, meskipun begitu, bibirnya dapat dengan tepat merasakan ranumnya bibir Soonyoung yang selalu menagihkan. Ciuman yang awalnya hanya sebagai pancingan, berakhir menjadi lumatan-lumatan panas yang saling mendominasi. Seakan sebagai ajang pembuktian, bahwa siapalah yang paling dominan disini. Di tengah pergulatan kedua lidah mereka di dalam sana, tanpa sadar Jihoon terus memajukan tubuhnya ke arah Soonyoung hingga Soonyoung terpojok, bersandar pada dinding tipis ruang ganti itu.

Soonyoung menyambut. Tangannya merengkuh pinggang ramping Jihoon, membawanya lebih intim. Jihoon pun menanggapinya dengan mengalungkan kedua tangannya pada leher Soonyoung. Panas. Di ruang sempit ini, keduanya diburu oleh hawa nafsu yang semakin membara. Decapan dari kedua bibir yang saling bersentuhan pun menjadi irama yang mengiringi perbuatan yang tidak direncanakan ini.

Ciuman tersebut diakhiri begitu oksigen dirasa lebih dibutuhkan daripada kelanjutan dari ini. Untaian saliva yang terurai dari kedua bibir, menjadi penandanya. Keduanya tergesa menghirup oksigen di sekitar sambil bertukar tatap, seolah begitulah cara yang tepat untuk mengutarakan kenikmatan yang baru saja dirasakan.

“How was it, Ji? Is that what you've planned for coming here?”

“Hah, kurang lebih. But, is it better to do it more?”

Sebuah senyuman terukir di wajah Soonyoung. Ia meraih kepala Jihoon, mendekatkannya, dan mencium keningnya. Lembut dan dalam, begitulah kesannya. Setelahnya, ia berbisik dengan suara yang dalam.

“Do you mind if everyone will see how bad you are after i break you?”

Jihoon bergidik. Ia hanya bisa meneguk salivanya sambil menghela napas panjang.

“Ya, okay.... maybe tonight. But..”

Lagi, jemari Jihoon kembali melakukan tugasnya. Setelah mereka berhasil merubah tampilan Soonyoung dengan rambut basah yang seksi itu, kini dengan cekatan membuka benik kancing jaket denim yang dikenakan Soonyoung. Soonyoung kembali diam, mengawasi bagaimana Jihoon membuka kancing itu dan perlahan menyibak denim dari tubuhnya.

“Jihoon really.. what are you doing?”

Tubuh bagian atas Soonyoung sekarang sudah tidak lagi tertutup apapun. Polos dan putih, layaknya sebuah kanvas. Dan yang pasti, indah. Jihoon memandanginya sebentar setelah ia berhasil melepas denim itu dari tubuh Soonyoung.

“Huh Soonyoung, you're really....”

Jihoon kembali meraih tubuh Soonyoung, berdiri di belakangnya, menghadapkannya kepada cermin.

“Look, how beautiful you are, Soonyoung.”

Tangannya memeluk Soonyoung dari belakang. Telapak tangannya menyentuh lembut permukaan dada Soonyoung. Sementara kepalanya bersandar di belakang, sesekali menghirup aroma natural tubuh Soonyoung.

“Jihoon, jangan aneh-aneh.”

“Ngga, cuma kaya gini doang kok, sebentar.”

Sebentar katanya. Tapi hingga sekarang, dia masih belum beranjak dari posisinya.

“Lee Jihoon, how to say i love you without saying it?”

“Ya tunjukin dengan perbuatan.”

“Am i did it?”

“Uhm.”

“How about you?”

“Only you can feel it.” ucapan itu ditutup dengan rengkuhan yang semakin erat dari Jihoon.

Jawabannya sudah jelas, bukan?

...

“Hoshi-hyung! Lo liat Uji-hyung, ga? Gue mau minta dibenerin nih rambutnya.”

Suara Seokmin membuat keduanya terkejut. Jihoon buru-buru melepaskan tangannya dari Soonyoung, tapi Soonyoung menahannya.

“Ya, Seokmin! We're inside!” teriak Soonyoung.

“Heh?????! Are you fucking there, hyung???? Ga kenal tempat banget, heuh. Oke gue keluar aja daripada denger hal menjijikan dari kalian.”

Hehehehehe...