#Fuwa-fuwa time#
Soonyoung tidak pernah tau kalau menyatakan cinta itu ternyata semendebarkan ini. Jihoon pun sama, ia tidak pernah tau, mendapat pernyataan cinta akan semenggemaskan ini.
Rabu sore, setelah kuliah, di parkiran umum kampus.
“Hahaha kenapa sih, Young?”
Bukan hanya Soonyoung, tapi juga Jihoon.
Tentu saja.
'Oh Jihoon? Palingan dia lagi sama Soonyoung,'
'Kalo Jihoon ga bisa dihubungi setelah ngampus, coba hubungin Soonyoung aja. Biasanya dia nongkrong bareng Soonyoung.'
Dan lain sebagainya.
Siapapun tau, Lee Jihoon semester 3 kelas B dan Soonyoung dari kelas serta angkatan yang sama, memang layaknya perangko dan amplop. Bukan hanya dekat karena memang satu kelas di hampir semua mata kuliah, melainkan juga karena Jihoon yang selalu menumpang Soonyoung saat pulang kuliah, supaya terbebas beberapa kilometer dari macetnya kota metropolitan.
Bukan karena rumah mereka yang berdekatan, tetapi karena jalan pulang Jihoon satu arah dengan Soonyoung. Jadi Soonyoung memberi tumpangan kepada Jihoon hingga halte terakhir yang ia lewati. Setelahnya, Soonyoung menurunkan Jihoon di halte tersebut, kemudian melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Jihoon pun sama. Masih jauh perjalanan menuju rumahnya dan itu harus ia tempuh dengan kendaraan umum. Setidaknya dengan tumpangan dari Soonyoung, waktu tempuh ke rumahnya jadi berkurang 30 menit dibanding yang seharusnya.
“Ga kenapa-kenapa. Kamu bisa tidur semalem?”
Dahi Jihoon mengernyit mendengar pertanyaan Soonyoung itu. Meski Soonyoung tidak bisa melihatnya karena Jihoon tengah mengenakan helmnya, tapi Soonyoung tetap berlanjut dengan tawanya yang belum berhenti sejak mereka keluar dari ruang kelas.
“Loh, emangnya kenapa aku ga bisa tidur?”
Tawa Soonyoung akhirnya berhenti, diikuti oleh Jihoon yang ikut diam setelah helmnya terpasang rapi di kepalanya, menunggu jawaban Soonyoung atas pertanyaannya.
“Ku kira kamu ga bisa tidur karena omongan di chat semalem, hahaha..” jawab Soonyoung diakhir tawa lagi sambil memberi isyarat pada Jihoon untuk segera menaiki motornya.
“Enak aja. Yang confess siapa, masa yang ga bisa tidur siapa?”
Soonyoung tersenyum mendengar pertanyaan itu, namun ia tidak menjawab. Jihoon sudah rapi di belakangnya dan siap untuk kapanpun dibawa olehnya ke tujuan berikutnya. Namun Soonyoung malah diam. Motornya dibiarkan hidup dengan mesin yang sudah bekerja dan keduanya yang duduk di atas motor.
“Soonyoung, kok diem? Kamu gugup, ya?” ledek Jihoon dengan suara lebih keras agar tidak kalah dengan suara mesin motor.
Butuh beberapa menit sebelum Jihoon akhirnya mendapat jawaban dari Soonyoung,
“Aku ngga gugup sih, Ji. Cuma takut kamu nolak aku, hahaha.”
Dan begitulah Soonyoung dengan karakter uniknya.
Sebelumnya Jihoon tidak pernah mengenal Soonyoung. Yang ia tau, Kwon Soonyoung semester 1 dari Kelas A adalah anak yang biasa disebut oleh dosen-dosen untuk dijadikan contoh atau sekedar menyebut karena memang ia adalah murid yang paling dosen itu ingat. Jihoon mengenal wajahnya, namun hanya sekedar kenal wajah dan nama. Tidak ada hal spesial kepada Soonyoung selama semester 1 dan Jihoon pun sudah cukup sibuk dengan rentetan tugas meskipun di semester awal.
Semester 2 pun sama. Namun kali ini, mereka jadi lebih sering berkomunikasi karena terikat di satu divisi dalam kepanitiaan acara yang mereka ikuti. Jihoon mengenal Soonyoung, begitu pun sebaliknya, meskipun jika telpon, chat, atau ngobrol di kampus, selalu tentang progress kerja mereka. Di luar itu, keduanya memang bukan tipe orang yang senang bercerita atau membahas sesuatu dengan orang yang tidak begitu dekat.
Sampai akhirnya semester 3, itu berarti tahun kedua di dunia perkuliahan. Jihoon sudah lebih beradaptasi dengan lingkungannya. Dulu, ia dekat dengan beberapa anak dari kelas yang sama dengannya. Namun di semester ini, ia lebih menjadi mahasiswa independen yang akan berteman dengan siapapun dan tidak ingin terlalu dekat dengan siapapun. Begitulah ia memutuskan untuk ke depannya.
Tapi di semester 3 ini, Jihoon satu kelas dengan Kwon Soonyoung. Laki-laki yang di semester lalu banyak bekerja sama dengannya, sekaligus laki-laki yang namanya selalu ia dengar hampir di setiap kelas dari dosen-dosen yang mengajar. Jihoon si murid rata-rata, mengakui bagaimana karakter Soonyoung dan kecerdasaannya. Ia mulai menaruh perhatian khusus kepada Soonyoung, terutama begitu Soonyoung menghampirinya ketika ia sedang menunggu bus pengumpan transjakarta, di halte dekat kampus mereka, dengan wajah suntuk.
“Loh, Jihoon?”
“Eh, Soonyoung?”
“Oh iya bener deh Jihoon. Tadi aku takut salah orang. Selamat sore, Jihoon.”
“Se-selamat sore, Soonyoung.”
Untuk pertama kalinya, Jihoon mengucapkan salam ketika bertemu teman sepantarannya.
“Kamu nunggu tj, Jihoon?”
Jihoon menjawab dengan anggukan, “Dari tadi tumben ga dateng-dateng.. Biasanya ga selama ini,” lanjutnya menjelaskan.
“Wah.. Kamu udah nunggu berapa lama?”
“Hampir 1 jam.. Kamu sendiri kenapa baru pulang? Kan kelas udah selesai dari tadi.”
Soonyoung melepas helmnya, “Oh, itu tadi aku bantuin Bu Yuni sebentar. Jihoon, satu jam lama banget.... Kamu kenapa ga naik kendaraan lain?” tanyanya.
“Mau naik ojek? Sampe mana? Ahahaha. Rumahku jauh kalo mau naik ojek sampe rumah, uhm.. Young? Soon? Eh, enaknya panggil kamu apa kalo sepenggal doang begitu, ya?”
“Hahaha, apa aja, Jihoon.”
“Kalo gitu, Young?”
“Boleh.”
Keduanya hanya tersenyum. Setelahnya, Jihoon kembali diam sambil mengedarkan pandangan tak tenangnya ke arah jalan, berharap bus yang ditunggunya segera tiba.
Karena Soonyoung malah melepas helmnya dan memarkirkan motornya dengan lebih nyaman dari sebelumnya. Ia tidak enak jika membuat Soonyoung jadi menemaninya menunggu bus yang tidak tau apakah akan datang atau tidak.
“Aku sebenernya maunya kamu bareng sama aku aja, Ji. Biar ga kelamaan nunggu lagi. Kamu pulang ke arah mana emangnya?” tanya Soonyoung memecah hening.
Jihoon menjelaskan sedikit lokasi rumahnya yang lumayan jauh dari kampus ini, beserta jalan yang biasa ia lewati dengan bus, —lebih tepatnya halte-halte yang biasa ia lewati karena ia tidak begitu paham daerah di Jakarta. Soonyoung hanya menjawab dengan oh panjang sambil memikirkan sesuatu.
“Kita sebenernya searah, Ji. Ya ga searah banget, cuma aku bisa bawa kamu sampe grogol. Setelah itu aku ke arah Jakarta barat sana, kamu ke arah Tangerang, kan?”
“Oh, iya, aku tau. Aku lewat situ juga bener,”
“Tapi kamu ga bawa helm ya, Ji? Aku ga berani bonceng orang di jalan besar tanpa pake helm..”
Jihoon yang awalnya sudah berharap banyak akan mengakhiri penantian busnya ini, jadi kembali lesu disadarkan oleh kenyataan. Ya mana mungkin dia membawa helm tanpa ada tujuan dan hanya berharap seseorang akan memberikan tumpangan kepadanya? Ya lucu..
“Bener juga ya, hahaha. Yaudah lah, mau gimana. Young, kamu pulang duluan aja. Palingan bentar lagi busnya dateng. Udah mau malem ini, ntar kamu kemaleman.”
“Gapapa deh Ji, aku nemenin sampe busnya dateng aja sekalian. Kamu keberatan, ga?”
“Ngga sih, tapi aku ga enak sama kamu, Soonyoung.. Pulang aja gapapa, serius deh.”
“Gitu ya?”
Jihoon menjawab dengan anggukan mantap. Ya, memang sepertinya lebih baik kalau Soonyoung langsung pulang saja dibandingkan ia harus memutar otak untuk mencari topik pembicaraan agar mereka berdua tidak hening. Jihoon capek, ia sedang tidak terlalu minat untuk terlibat dalam obrolan-obrolan yang tidak begitu ia pahami.
“Kalo gitu, besok kamu bawa helm aja, Ji. Biar seterusnya kamu bareng sama aku, jadi ga nunggu busnya selama ini. Kamu ada helm kan di rumah?”
Bagai melihat pelangi setelah hujan, hati Jihoon selalu tersentuh dengan orang-orang baik yang bersedia menawarkan kebaikan untuk dirinya yang sok kuat ini.
“Gapapa?”
“Ya gapapa. Kan searah juga.”
Huhu benar-benar, jika Jihoon berani, Jihoon rasanya ingin memeluk Soonyoung dan berterima kasih atas kebaikannya barusan.
“Makasih banyak, Soonyoung.”
“Sama-sama.”
Motor Soonyoung menepi setelah sekitar lima menit perjalanan dari kampus. Bukan cafe biasa yang mereka kunjungi hampir seminggu sekali, melainkan tukang siomay pinggir jalan dengaan tukang es liang teh yang juga berada tidak jauh dari sana.
“Gapapa kan disini?” tanya Soonyoung sambil mematikan motornya.
“Aku baru mau tanya, ku kira kamu mau ke cafe yang biasa.” jawab Jihoon.
“Libur dulu, ya? Kemarin kan kita baru dari sana, haha. Kamu pernah bilang juga kan kalo kesana jangan sering-sering.”
Jihoon turun dari motor dan melepas helmnya, diikuti Soonyoung yang juga melepas helm kemudian menyisir rambutnya sambil berkaca di spion motor.
“Aku pikir kamu mau traktir aku kesana supaya aku ga nolak kamu, hahaha..”
Soonyoung menunda kegiatannya sebentar, menatap pantulan Jihoon di kaca spion sambil berkata, “Hm, aku pikir kamu ga semurah itu buat terima aku cuma gara-gara aku traktir disana. Bener, ga?” kemudian kembali merapikan rambut apa adanya dengan jari-jarinya.
Jihoon tidak menjawab. Ia hanya mengangguk beberapa kali sambil tersenyum dan berjalan ke sisi trotoar dekat tukang siomay.
Soonyoung mengekor di belakang, kemudian bergabung dengan Jihoon yang sudah duduk di pinggir jalan. Keduanya diam, sebelum akhirnya tukang siomay di samping mereka-lah yang mengacaukan keheningan disana.
“Dek, siomay?”
“Boleh deh, bang. Young, mau juga?” tawar Jihoon kepada Soonyoung.
“Kamu aja, Ji. Aku mau minum aja.” Soonyoung menjawab sambil bangkit ke arah tukang es liang teh.
“Oh, oke. Satu aja kalo gitu, bang.”
“Siap, dek.”
Sementara Jihoon menunggu siomaynya siap, tidak lama Soonyoung sudah kembali membawa dua gelas es liang teh yang embunnya membuat siapapun yang melihatnya menjadi haus. Soonyoung menyodorkan salah satu gelas kepada Jihoon sebelum ia duduk di sebelah laki-laki itu.
“Berapa, nih?” tanya Jihoon sambil menerima esnya.
“Satu gelas,”
“Ya hm oke, gue minum, ya.”
Soonyoung tidak menjawab dan hanya memperhatikan Jihoon yang sedang meminum es yang diberikannya.
“Dek, ini siomaynya.”
Ya, lagi-lagi abang tukang siomay meruntuhkan sedikit tembok kecanggungan yang sudah mulai terasa di antara keduanya. Entahlah terima kasih atau maaf yang harus diucapkan keduanya kepada tukang siomay ini, yang jelas kehadirannya yang hanya sekilas sedikit membuat mereka bernapas dan bisa berpikir apa yang akan dibicarakan selanjutnya.
“Oke. Makasih, bang.”
Dan setelahnya, tentu saja tukang siomay tidak turut dalam perbincangan mereka. Pada akhirnya, kendali kapal dikembalikan kepada sang nahkoda.
Sebenarnya Soonyoung merasa bodoh, bahkan sejak awal dia memiliki pikiran untuk mengirim pesan itu, kemudian berakhir dengan benar-benar mengirimkannya, melihat reaksi Jihoon, sampai akhirnya pada sore ini, sama-sama terdiam dengan Jihoon yang sibuk dengan siomaynya dan dirinya yang menyusun skenario bagaimana hari ini akan berakhir untuknya dan Jihoon.
“Young, kalo mau siomaynya bilang aja. Takutnya kamu kelaperan, nanti kita gabisa pulang. Kamu tau kan, aku ga bisa naik motor.”
Soonyoung tau, dia dan Jihoon bukanlah orang yang mudah mengutarakan sesuatu. Pun ketika hari ini. Dia tau dirinya kesulitan untuk memulai dan dia juga tau bahwa Jihoon mengetahuinya. Itulah mengapa Jihoon berusaha menyibukkan dirinya dengan sepiring siomay di hadapannya sambil sesekali berbicara untuk menenangkan dirinya.
“Jihoon,”
Setelah tarikan dan hembusan napas ke sekian, akhirnya Soonyoung menyebut nama itu. Yang dipanggil hanya menoleh dengan pipi yang penuh dan tangan yang memegang sendok, bermaksud memberi gesture menawarkan siomaynya kepada Soonyoung.
“Ngga, terima kasih. Aku mau tanya,”
“Hm?”
“Gimana pendapat kamu soal yang aku bilang semalem?”
Soonyoung menggigit bibir bawahnya usai menyakan hal tersebut. Ia berusaha keras menahan mimik wajahnya namun tetap saja dapat ditangkap jelas oleh Jihoon bagaimana gugupnya Soonyoung. Jihoon hanya tertawa sambil menyelesaikan kunyahan siomay yang masih ada di dalam mulutnya.
“Sebentar ya, satu suap lagi.”
Begitu kata Jihoon dan hap, satu suapan terakhir dengan bumbu kacang yang paling banyak akhirnya masuk ke dalam mulut Jihoon. Ia segera bangkit dan mengembalikan piring kotornya sebelum memulai pembicaraan selanjutnya dan membuat Soonyoung semakin gugup.
Sekarang Jihoon sudah kembali duduk di sebelah Soonyoung. Tidak bisa dipungkiri, meskipun niat awal Soonyoung tidak mau terlalu ambil serius dengan pernyataan ini, tapi jantungnya tetap saja berdegup lebih cepat dari biasanya. Huh, Soonyoung mulai berpikir apakah ini keputusan yang tepat untuk mengungkapkannya atau sebaiknya dipendam saja supaya dia dan Jihoon tetap sedekat ini?
“Ini aku udah boleh jawab?” tanya Jihoon yang langsung dijawab dengan anggukan Soonyoung.
“Hm.. kamu mau kita pacaran, kah?”
“I.. ya? Menurutmu, aku cocok ga buat jadi pacarmu?”
Soonyoung dibuat kaget dengan respon Jihoon yang bukannya menjawab, malah tertawa. Bahkan Jihoon tertawa sambil menutup matanya dan menunduk.
“Jihoon, kenapa?”
Jihoon kembali bangkit, memberikan isyarat kepada Soonyoung bahwa semuanya baik-baik saja.
“Emangnya menurut kamu, aku cocok jadi pacar kamu?” Jihoon bertanya balik.
Soonyoung mengedarkan pandangnya ke jalan, kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang berkelut dengan ruwetnya ibukota. Seketika ia mengucap syukur di dalam hati bahwa karena ini semua pertemuan yang direncanakan jauh sebelumnya mereka hadir disini, tanpa keduanya ketahui.
Macet, Jakarta, Lee Jihoon.
Oh, dan secangkir kopi di setiap pekan dengan rangkaian topik yang selalu membuat Soonyoung nyaman ketika bersama Jihoon.
“Hm, cocok. Karena aku selalu mikir kalo kita itu punya jalan pikiran yang searah. Pun kalo misalnya kita berbeda pendapat, masing-masing dari kita mengkritisinya tanpa menjatuhkan. Aku selalu ngerasa ngalir dan nyaman kalo ngobrol sama kamu. Terus juga, aku pengen aja jadi orang pertama yang selalu bisa nolong kamu kalo kamu lagi kesulitan.”
Senyum di wajah Jihoon mengembang. Layaknya aroma bunga yang menenangkan, begitupun garis melengkung dari bibir Jihoon, sama adanya. Menenangkan. Dan kali ini, terlalu membahagiakan.
Meski ia belum tau pasti, apa jawaban dari si pemilik senyum atas permintaannya dari semalam.
“Aku butuh alasan lain untuk aku bilang iya. Karena sejujurnya aku belom pernah pacaran, jadi aku berharap banyak kalo kita beneran jadi. Kira-kira, timbal balik apa yang harus aku kasih ke kamu secara intens?”
Soonyoung kembali berpikir sebelumnya bibirnya asal mengeluarkan kata-kata yang mungkin akan menjebaknya. Ia tidak pernah menyangka kalau menembak atau mengajak seseorang untuk berpacaran akan serumit ini. Sejauh yang pernah ia coba, ia hanya mendapat penolakan, tanpa ada interogasi sejenis ini sebelumnya.
Tapi kejujuran, adalah hal yang selalu ingin Soonyoung terapkan untuk dirinya.
“Aku butuh afeksi, Jihoon. Mungkin kamu bisa kasih itu secara intens. Afeksi, apresiasi, support system. Dan yang aku tau, kamu bisa kasih itu bahkan mengkritik kesalahanku tanpa menjatuhkanku. Aku butuh orang kaya gitu. Semoga kamu bersedia.”
Jihoon hanya tersenyum sambil sedikit tertawa. Hari ini, Soonyoung merasa Jihoon banyak tertawa dan wajahnya berseri dari biasanya. Soonyoung sebenarnya mau merasa pede kalau itu karena dirinya, namun tunggu dulu, deh sampai Jihoon mengiyakan dan mereka benar-benar menjalin hubungan, baru Soonyoung bisa pede-pede atau bahkan pamer kepada orang lain bahwa status lajangnya sudah usai.
“Ini..” Jihoon menggantung ucapannya dan menyesap es liang teh yang masih tersisa setengah gelas melalui sedotannya, “... ambil ini sebagai bentuk afeksi pertama.” ucapnya setelahnya sambil menyodorkan gelas es liang teh itu.
“Aku kan.. ada?” tanya Soonyoung ragu, sambil menunjukkan gelas es nya yang berisi lebih banyak dari punya Jihoon.
“Huh, aku bilang minum ini sebagai afeksi pertama dariku. Ayo,”
Soonyoung menurut perkataan Jihoon dan meminum es liang teh yang diberikan oleh Jihoon meskipun dia masih memilikinya. Wajah bingungnya tergambar jelas sambil menyesap es dari sedotan yang sama dengan yang digunakan Jihoon sebelumnya dan lagi-lagi, itu membuat Jihoon tertawa.
“Gimana?” tanya Jihoon usai Soonyoung meminum es tersebut.
“Rasanya? Sama aja kaya punyaku, Ji..”
“Iya aku tau, kan kamu yang beliin di satu penjual yang sama. Ku kira kamu bakalan jawab rasanya lebih manis karena minumnya sambil ngeliatin dan diliatin aku.”
Muka Soonyoung berubah panik, sepertinya ia baru saja memberikan jawaban yang salah.
Tapi lagi-lagi..
“Ahahahahaha, Soonyoung.. Kamu emang harus diprotect banget. Yaudah lah, ayo kita pulang aja. Udah malem aja nih, ga berasa.”
.. Ya, Jihoon tertawa lagi. Kali ini malah sambil bangkit ke arah motor Soonyoung, mengambil helm, dan mengenakannya dengan rapi.
Padahal Jihoon belum memberikan jawabannya.
“Eh, mau pulang sekarang?” tanya Soonyoung tanpa beranjak dari tempatnya.
“Udah malem, besok masih kuliah, kan? Rumahku masih jauh, Young. Hahahaha..”
Oh, iya. Soonyoung hampir lupa waktu dan fakta bahwa perjalanan Jihoon sampai rumahnya masih jauh. Jadi, iya kembali menurut ajakan tidak langsung Jihoon itu untuk menyudahi waktu mereka hari ini.
Soonyoung mengenakan helmnya dengan malas. Ia ingin mendesak Jihoon untuk memberikan jawaban, namun rasanya tidak mungkin karena ia sudah salah memberikan jawaban di pertanyaan yang Jihoon berikan. Dan lagi, sudah malam, besok masih kuliah dan Jihoon harus segera pulang.
“Soonyoung,”
Panggilan untuknya membuatnya spontan menoleh ke arah sumber suara.
“Masih belom tau, maksudnya afeksi pertama dari es tadi itu?”
“Belum,”
Jihoon kembali tertawa. Entahlah itu tawa yang ke-berapa darinya hari ini.
“Itu indirect kiss, Soonyoung.”