Sunsine


Hari ini tepat hari untuk sidang terakhir perceraian Mama dan Papanya, hari ini Willa berangkat bersama Mamanya dan Sheren.

Mamanya duduk di bangku samping kemudi sementara ia dan Sheren duduk di bangku penumpang.

“Ngga usah tegang gitu mukanya, kamu bukan mau perang,” cicit Sheren.

“Diem ish, bawel!” omel Willa.

“Tenang aja, ngga bakal di tanyain macem-macem kok,” sahut Mamanya sambil menatap Willa dari kaca spion.

“Ngga usah tegang-tegang banget nanti kamu malah kebelet pas udah duduk di kursi saksi,” canda Sheren yang mendapat tatapan tajam dari Willa.

“Kita sudah sampai, Bu!” seru sang sopir setelah memarkirkan mobil.

“Ayo.”

Willa dan Sheren segera turun dari mobil dan berjalan di sisi kiri kanan Tante Jasmine.

Sheren fokus mengetik sesuatu di handphonenya sementara Willa fokus menenangkan dirinya sendiri yang sejak tadi gugup.

“Nala ngirim aku pesan, katanya dia, Ray sama Yudith bakal nyusul kesini. Kamu ngasih tau mereka?” ujar Sheren.

“Iya, mereka juga yang nanya pagi tadi di sekolah,” jawab Willa.

“Nala, Ray sama Yudith di kasih tau, tapi Kiran engga,” cicit Sheren.

Willa mendelik, “Diem.”

“Kata Sheren kamu sama Kiran lagi marahan, belum baikan juga?” tanya Mamanya.

“Udah, Mama ngga usah fokus ke hal yang lain, fokus buat sidang ini aja,” celetuk Willa.

“Ngga baik loh marahan gitu.”

Willa hanya diam sambil dalam hatinya sudah mendongkol dan mengomeli Sheren.

“Ada om Renold, Tan!” sahut Sheren saat melihat sosok pria tinggi bersama dengan seorang wanita berdiri tidak jauh dari ruang persidangan.

Willa otomatis ikut menoleh, benar. Itu Papanya bersama dengan Istrinya. Untung saja si kembar tidak ikut datang jadi dia tidak perlu melihat wajah kedua saudara tirinya itu.

“Tante Stevy udah ada disini kan, Ma?” tanya Willa.

“Udah kok, ayo samperin dulu Papa kamu.”

Willa hanya bisa mendengus pasrah saat ia di tarik oleh Mamanya untuk menghampiri Papanya itu. Sheren membiarkan keluarga itu berbincang sebentar sebelum mereka memasuki ruang sidang.

Lagipula ada seseorang yang ia tunggu.

Sheren menjauh dari ruang persidangan saat kedua orang tua Willa memasuki ruang sidang dan membiarkan Willa berdiri di depan pintu sambil menunggu dirinya di panggil.

Ia duduk di kursi tunggu sambil memainkan handphonenya saat ketiga temannya yang lain datang.

“Sidangnya udah mulai belum?” tanya Nala setelah duduk di sebelah Sheren.

“Udah, baru aja mulai kayaknya,” jawab Sheren.

“Itu butuh waktu berapa lama sih?” timpal Ray. Sheren mengangkat kedua bahunya.

“Tergantung sih, 2-3 jam mungkin? Ngga tau juga, gue lupa,” balas Yudith.

“Semoga aja si Willa mulutnya ngga typo pas ngomong nanti,” ujar Nala menatap Willa yang sedang berdiri di depan pintu ruang sidang.

45 menit setelah jalannya sidang Willa di panggil menuju ke dalam ruang sidang dan 10 menit kemudian Kiran datang.

Sheren melambaikan tangannya ke udara, “Kiran, here!”

Nala, Yudith dan Ray menoleh dengan kompak.

“Sher, lo yang minta Kiran datang kesini?” celetuk Nala.

“Iya, kenapa?”

“Lo kan tau Willa sama Kiran masih berantem, ngapain lo ngajak dia kesini!?”

“Justru itu aku minta Kiran datang kesini hari ini,” sambar Sheren. “Udah, kalian diem aja.”

Ketiganya kembali diam dan hanya menatap Kiran sekilas, bukan mereka marah padanya, tidak! Itu sudah berlalu dan lagipula ini masalah antara Willa dan Kiran jadi mereka tidak mau ikut campur lagi.

Sheren terus mengajak Kiran mengobrol karena dia tau Kiran pasti gugup. Tujuannya hanya satu, membuat kedua orang ini berdamai sebelum dia melanjutkan pendidikannya di luar negeri nanti.

Sekitar 4 jam mereka menunggu sambil sesekali bercanda, pintu ruang sidang terbuka dan menampakkan Papanya Willa yang keluar lalu berjalan menemui istrinya, tante Kiran.

Kedua orang tua itu mulai mendekat ke arah mereka berlima, Om Renold tersenyum tipis menatap teman-teman putrinya yang ia kenal, Kiran juga tersenyum kecil menatap Tantenya itu yang sudah mulai pergi.

“Itu Willa sama Tante Jasmine!” seru Yudith. Mereka dengan cepat menghampiri Willa dan Mamanya terkecuali Kiran yang masih diam di tempatnya.

“Eh, kalian udah ada? Udah lama?” tanya Tante Jasmine.

“Lumayan sih, tapi ngga apa-apa kok, Tan!” balas Ray.

“Heh, mulut lo ngga typo kan tadi?” celetuk Yudith.

“Sembarangan lo kalo ngomong!” omel Willa.

“Terus gimana hasil akhirnya?” tanya Nala.

Willa melirik Mamanya sekilas, “Udah resmi pisah kok.”

Terlihat wajah lega dari ketiganya temannya itu.

“Syukur deh,” ucap Ray.

“Oh iya, ada Kiran tuh, Tan.” timpal Sheren sambil menunjuk Kiran di belakang.

Willa diam.

Tante Jasmine dengan senang menghampiri Kiran yang berdiri sendiri itu.

“Hai, sayang! Gimana kabarnya? Kok ngga pernah main lagi ke rumah?” seru Tante Jasmine.

“Baik tante, lagi sibuk aja akhir-akhir ini jadi ngga sempet main,” ucap Kiran membalas pelukan hangat wanita paruh baya itu.

“Lagi sibuk apa karna lagi marahan sama Willa, hmm?”

Kiran kaget, bagaimana bisa Tante Jasmine tahu kalau hubungannya dan Willa sedang tidak baik-baik saja.

“Ngga usah kaget gitu, tante tau kok.”

“Maaf ya, Tan,” lirih Kiran. “Ini juga salah Kiran kok jadi Kiran ngerti.”

It's okay, emang Willa aja yang susah di bilangin, pasti capek kan ngadapin dia?”

Kiran tertawa canggung, “Ngga apa-apa kok Tante.”

“Samperin sana, ngomong baik-baik,” ucap Sheren.

Willa mendelik, “Ngga.” Kemudian ia melangkah mendekati Kiran dan Mamanya dengan wajah tanpa ekspresi.

“Gue bilang juga apa, Willa kalau udah di kecewain sama orang tuh bakal susah di suruh baikan,” ucap Nala.

“Ma, ayo pulang!” celetuk Willa.

“Ngga mau cari makan dulu? Ini ada Kiran sama yang lain loh.”

“Ngga, aku capek pengen pulang.”

“Willa—”

“Kalau gitu aku aja yang pulang duluan,” ujar Willa.

Dengan cepat Kiran meraih lengan Willa dan menahannya, “Aku aja yang pulang, temenin Mama kamu sama yang lain makan.”

Willa menepis pegangan tangan Kiran di lengannya dengan kasar lalu kembali berjalan meninggalkan gedung. Sheren mendengus kesal sebelum akhirnya menyusul Willa.

“Willa!” teriak Sheren. “Willa stop!”

“Ck, Dwilla Wirawan i said stop!” omel Sheren menahan bahu Willa.

“Apa lagi? Kenapa!?” ketus Willa.

“Kamu yang kenapa!? Kiran kesini punya maksud baik tapi kamu malah kayak gitu ke dia!”

“Kenapa? Kamu masih marah sama dia?”

I'm not!”

“Terus kenapa? Benci? Ngga suka?!”

“Aku bilang engga, Sheren!” bentak Willa.

“Ya terus kenapa!?”

“Aku kecewa! Aku kecewa sama dia! Ngga ada aku marah ataupun benci ke dia karna aku ngga bisa!” teriak Willa dengan wajah frustasinya.

“Aku cuman kecewa karna dia ngga jujur ke aku dari awal saat dia tau dan sadar!”

“Kamu sendiri tahu kalau lebih baik aku di buat marah daripada harus di buat kecewa sama orang terdekat aku, Sher.”

“Aku ngga gampang buat maafin orang yang udah buat aku kecewa,” lirih Willa.

“Tapi setidaknya kamu tuh dengerin dulu penjelasan dari Kiran,” ucap Sheren.

“Yang jadi masalah disini adalah kamu yang keras kepala dan ngga mau dengerin penjelasan orang lain!”

“Aku ngga ngerti lagi sama isi kepala kamu, Wil!” tukas Sheren lalu pergi meninggalkan Willa sendirian.

Willa membanting handphonenya ke lantai lalu terjongkok sambil meremas kepalanya yang sakit.


Hari ini tepat hari untuk sidang terakhir perceraian Mama dan Papanya, hari ini Willa berangkat bersama Mamanya dan Sheren.

Mamanya duduk di bangku samping kemudi sementara ia dan Sheren duduk di bangku penumpang.

“Ngga usah tegang gitu mukanya, kamu bukan mau perang,” cicit Sheren.

“Diem ish, bawel!” omel Willa.

“Tenang aja, ngga bakal di tanyain macem-macem kok,” sahut Mamanya sambil menatap Willa dari kaca spion.

“Ngga usah tegang-tegang banget nanti kamu malah kebelet pas udah duduk di kursi saksi,” canda Sheren yang mendapat tatapan tajam dari Willa.

“Kita sudah sampai, Bu!” seru sang sopir setelah memarkirkan mobil.

“Ayo.”

Willa dan Sheren segera turun dari mobil dan berjalan di sisi kiri kanan Tante Jasmine.

Sheren fokus mengetik sesuatu di handphonenya sementara Willa fokus menenangkan dirinya sendiri yang sejak tadi gugup.

“Nala ngirim aku pesan, katanya dia, Ray sama Yudith bakal nyusul kesini. Kamu ngasih tau mereka?” ujar Sheren.

“Iya, mereka juga yang nanya pagi tadi di sekolah,” jawab Willa.

“Nala, Ray sama Yudith di kasih tau, tapi Kiran engga,” cicit Sheren.

Willa mendelik, “Diem.”

“Kata Sheren kamu sama Kiran lagi marahan, belum baikan juga?” tanya Mamanya.

“Udah, Mama ngga usah fokus ke hal yang lain, fokus buat sidang ini aja,” celetuk Willa.

“Ngga baik loh marahan gitu.”

Willa hanya diam sambil dalam hatinya sudah mendongkol dan mengomeli Sheren.

“Ada om Renold, Tan!” sahut Sheren saat melihat sosok pria tinggi bersama dengan seorang wanita berdiri tidak jauh dari ruang persidangan.

Willa otomatis ikut menoleh, benar. Itu Papanya bersama dengan Istrinya. Untung saja si kembar tidak ikut datang jadi dia tidak perlu melihat wajah kedua saudara tirinya itu.

“Tante Stevy udah ada disini kan, Ma?” tanya Willa.

“Udah kok, ayo samperin dulu Papa kamu.”

Willa hanya bisa mendengus pasrah saat ia di tarik oleh Mamanya untuk menghampiri Papanya itu. Sheren membiarkan keluarga itu berbincang sebentar sebelum mereka memasuki ruang sidang.

Lagipula ada seseorang yang ia tunggu.

Sheren menjauh dari ruang persidangan saat kedua orang tua Willa memasuki ruang sidang dan membiarkan Willa berdiri di depan pintu sambil menunggu dirinya di panggil.

Ia duduk di kursi tunggu sambil memainkan handphonenya saat ketiga temannya yang lain datang.

“Sidangnya udah mulai belum?” tanya Nala setelah duduk di sebelah Sheren.

“Udah, baru aja mulai kayaknya,” jawab Sheren.

“Itu butuh waktu berapa lama sih?” timpal Ray. Sheren mengangkat kedua bahunya.

“Tergantung sih, 2-3 jam mungkin? Ngga tau juga, gue lupa,” balas Yudith.

“Semoga aja si Willa mulutnya ngga typo pas ngomong nanti,” ujar Nala menatap Willa yang sedang berdiri di depan pintu ruang sidang.

45 menit setelah jalannya sidang Willa di panggil menuju ke dalam ruang sidang dan 10 menit kemudian Kiran datang.

Sheren melambaikan tangannya ke udara, “Kiran, here!”

Nala, Yudith dan Ray menoleh dengan kompak.

“Sher, lo yang minta Kiran datang kesini?” celetuk Nala.

“Iya, kenapa?”

“Lo kan tau Willa sama Kiran masih berantem, ngapain lo ngajak dia kesini!?”

“Justru itu aku minta Kiran datang kesini hari ini,” sambar Sheren. “Udah, kalian diem aja.”

Ketiganya kembali diam dan hanya menatap Kiran sekilas, bukan mereka marah padanya, tidak! Itu sudah berlalu dan lagipula ini masalah antara Willa dan Kiran jadi mereka tidak mau ikut campur lagi.

Sheren terus mengajak Kiran mengobrol karena dia tau Kiran pasti gugup. Tujuannya hanya satu, membuat kedua orang ini berdamai sebelum dia melanjutkan pendidikannya di luar negeri nanti.

Sekitar 4 jam mereka menunggu sambil sesekali bercanda, pintu ruang sidang terbuka dan menampakkan Papanya Willa yang keluar lalu berjalan menemui istrinya, tante Kiran.

Kedua orang tua itu mulai mendekat ke arah mereka berlima, Om Renold tersenyum tipis menatap teman-teman putrinya yang ia kenal, Kiran juga tersenyum kecil menatap Tantenya itu yang sudah mulai pergi.

“Itu Willa sama Tante Jasmine!” seru Yudith. Mereka dengan cepat menghampiri Willa dan Mamanya terkecuali Kiran yang masih diam di tempatnya.

“Eh, kalian udah ada? Udah lama?” tanya Tante Jasmine.

“Lumayan sih, tapi ngga apa-apa kok, Tan!” balas Ray.

“Heh, mulut lo ngga typo kan tadi?” celetuk Yudith.

“Sembarangan lo kalo ngomong!” omel Willa.

“Terus gimana hasil akhirnya?” tanya Nala.

Willa melirik Mamanya sekilas, “Udah resmi pisah kok.”

Terlihat wajah lega dari ketiganya temannya itu.

“Syukur deh,” ucap Ray.

“Oh iya, ada Kiran tuh, Tan.” timpal Sheren sambil menunjuk Kiran di belakang.

Willa diam.

Tante Jasmine dengan senang menghampiri Kiran yang berdiri sendiri itu.

“Hai, sayang! Gimana kabarnya? Kok ngga pernah main lagi ke rumah?” seru Tante Jasmine.

“Baik tante, lagi sibuk aja akhir-akhir ini jadi ngga sempet main,” ucap Kiran membalas pelukan hangat wanita paruh baya itu.

“Lagi sibuk apa karna lagi marahan sama Willa, hmm?”

Kiran kaget, bagaimana bisa Tante Jasmine tahu kalau hubungannya dan Willa sedang tidak baik-baik saja.

“Ngga usah kaget gitu, tante tau kok.”

“Maaf ya, Tan,” lirih Kiran. “Ini juga salah Kiran kok jadi Kiran ngerti.”

It's okay, emang Willa aja yang susah di bilangin, pasti capek kan ngadapin dia?”

Kiran tertawa canggung, “Ngga apa-apa kok Tante.”

“Samperin sana, ngomong baik-baik,” ucap Sheren.

Willa mendelik, “Ngga.” Kemudian ia melangkah mendekati Kiran dan Mamanya dengan wajah tanpa ekspresi.

“Gue bilang juga apa, Willa kalau udah di kecewain sama orang tuh bakal susah di suruh baikan,” ucap Nala.

“Ma, ayo pulang!” celetuk Willa.

“Ngga mau cari makan dulu? Ini ada Kiran sama yang lain loh.”

“Ngga, aku capek pengen pulang.”

“Willa—”

“Kalau gitu aku aja yang pulang duluan,” ujar Willa.

Dengan cepat Kiran meraih lengan Willa dan menahannya, “Aku aja yang pulang, temenin Mama kamu sama yang lain makan.”

Willa menepis pegangan tangan Kiran di lengannya dengan kasar lalu kembali berjalan meninggalkan gedung. Sheren mendengus kesal sebelum akhirnya menyusul Willa.

“Willa!” teriak Sheren. “Willa stop!”

“Ck, Dwilla Wirawan i said stop!” omel Sheren menahan bahu Willa.

“Apa lagi? Kenapa!?” ketus Willa.

“Kamu yang kenapa!? Kiran kesini punya maksud baik tapi kamu malah kayak gitu ke dia!”

“Kenapa? Kamu masih marah sama dia?”

I'm not!”

“Terus kenapa? Benci? Ngga suka?!”

“Aku bilang engga, Sheren!” bentak Willa.

“Ya terus kenapa!?”

“Aku kecewa! Aku kecewa sama dia! Ngga ada aku marah ataupun benci ke dia karna aku ngga bisa!” teriak Willa dengan wajah frustasinya.

“Aku cuman kecewa karna dia ngga jujur ke aku dari awal saat dia tau dan sadar!”

“Kamu sendiri tahu kalau lebih baik di buat marah daripada harus di buat kecewa sama orang terdekat aku, Sher.”

“Aku ngga gampang buat maafin orang yang udah buat aku kecewa,” lirih Willa.

“Tapi setidaknya kamu tuh dengerin dulu penjelasan dari Kiran,” ucap Sheren.

“Yang jadi masalah disini adalah kamu yang keras kepala dan ngga mau dengerin penjelasan orang lain!”

“Aku ngga ngerti lagi sama isi kepala kamu, Wil!” tukas Sheren lalu pergi meninggalkan Willa sendirian.

Willa membanting handphonenya ke lantai lalu terjongkok sambil meremas kepalanya yang sakit.


“Gue kok jadi gugup gini ya?” celetuk Willa membuat ketiga temannya menatap dirinya dengan jengah.

Entah sudah keberapa kalinya Willa mengatakan hal yang sama selama 2 jam terakhir ini.

“Itu pertanyaan yang baru aja lo lontarin dari 2 jam yang lalu, capek gue dengernya!” omel Ray.

“Sheren jadi kan pulangnya hari ini? Nanti dia sampainya jam berapa sih?” tanya Yudith.

“Iya jadi, gak tau juga gue, mungkin agak sorean dikit,” jawab Nala.

“Ini kok pada asik sendiri sih? Ini gue gimana nanti?!” sela Willa dengan wajah kesalnya.

“Yaelah ngajak balikan mah gampang, tegang amat lo! Belum juga lamaran,” ejek Yudith.

Nala hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah ketiga temannya yang lain ini.

Keempatnya kembali duduk aman dan tentram di dalam mobil, sambil Ray dan Yudith yang menyiapkan kata-kata untuk Willa walau lebih banyak tidak benarnya.

Berakhir dengan Willa memukul kepala keduanya dengan keras.

Lokasi turnamennya tidak terlalu jauh dan hanya butuh waktu sekitar 2 jam perjalanan menggunakan mobil.

Saat sampai ada banyak orang yang mulai memasuki lokasi pertandingan final volly ball putra dan putri tingkat SMA itu termasuk Willa dkk.

“Ayo buruan, nanti kita ngga dapat tempat duduk yang bagus!” ucap Nala menarik ketiga temannya.

“Ngomong-ngomong, Wil, terus itu soal chat si Kayla semalam gimana?” sahut Ray.

“Gak tau, gue ngga mau ngurusin itu anak, hari ini gue cuman pengen fokus ke Kiran,” balas Willa.

“Kalau dia macam-macam lagi biar gue yang jambak rambutnya kali ini,” timpal Nala.

“Wkwkwk hajar, Nalasya Mahanta!” sorak Ray.

Keempatnya berjalan masuk ke dalam lapangan indoor bersama dengan para penonton lainnya, kepala mereka bergerak kesana kemari menatap kerumunan orang yang sangat banyak.

“Willa, Ray, Yudith, sini!” panggil Nala yang sudah memilih tempat duduk paling strategis.

Willa menatap ke sekeliling sebelum ikut menyusul kedua temannya. Siapa yang di cari? Tentu saja Kiran. Tapi tampaknya tim yang bertanding belum ada jadi Willa segera menyusul teman-temannya.

“Santai aja, nikmatin dulu pertandingannya,” ucap Ray sambil menepuk bahu Willa.

Tidak berapa lama kedua tim volly putri memasuki lapangan bersama dengan pelatih dan manajer masing-masing.

Willa tersenyum saat melihat Kiran yang sedang mengobrol dengan teman-temannya itu.

“Ran, Willa tuh,” bisik Achel yang tidak sengaja melihat Willa di bangku penonton.

“Hah? Dimana?”

“Bangku penonton, arah jam 3.”

Kiran menoleh, benar saja ada Willa dan teman-temannya disana. Willa tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya.

Kiran ikut tersenyum dan membalas lambaian tangan Willa. Matanya fokus melihat gerakan bibir Willa yang mengatakan sesuatu padanya.

Semangat cantiknya aku.

Bohong jika Kiran tidak salah tingkah dengan kalimat yang di ucapkan Willa padanya itu.

“Oke girls! Denger, yang main pertama itu Kiran, Achel, Mikha, Rei dan Oliv, kita harus menang di set pertama dan set kedua jadi sebisa mungkin jangan membuang poin, paham?” ucap Coach Andy.

“Paham coach!”

“Yaudah, ayo pemanasan dulu. Selangkah lagi, kita pasti bisa!”

Kedua tim mulai melakukan pemanasan, suara para penonton pun mulai menggema bahkan lebih keras daripada pertandingan kemarin.

Willa dkk ikut gugup melihat kedua tim mulai memasuki lapangan, pertandingan hari ini antara hidup dan mati karena kedua tim ini berasal dari sekolah yang dari tahun kemarin selalu menjadi rival dan selalu bertemu di babak final, entah siapa yang akan menang kali ini.

Peluit di tiup bola service pertama dari tim lawan di layangkan ke tim SMA Kwangya.

Pukulan demi pukulan, smash demi smash, kedua tim itu bermain dengan sangat sengit membuat para penonton merasakan ketegangan yang sama.

“1...2...3...MASUK!” teriak Ray dan Yudith secara bersamaan saat Mikha berhasil melakukan smash. Keduanya melompat-lompat kecil dengan semangat.

Sementara Willa hanya duduk sambil meremas tangannya, padahal yang bertanding bukan dia tapi malah dia yang ikut gugup.

Pertandingan final putri itu semakin menegang saat skor set kedua tim itu berakhir dengan skor yang sama yaitu 2-2. Set terakhir akan menjadi penentu kali ini.

Kiran yang berada di bangku pemain menatap tim-nya yang mulai kesusahan karena serangan bertubi-tubi yang di berikan tim lawan.

Kiran menoleh, melihat skor di set terakhir, 14-14. Kemudian tatapan mengarah pada ketiga temannya yang berada di lapangan, ketiganya dengan kompak mengangguk pelan.

“Coach, 2 poin terakhir percayain ke aku, Gigi, Mikha dan Achel,” sahut Kiran. Coach Andy menoleh dan menganggukan kepalanya.

Kedua tim sama-sama melakukan pergantian pemain, Kiran menarik nafasnya dalam-dalam sebelum masuk ke dalam lapangan dan bergabung dengan timnya.

“2 poin terakhir, masih inget strategi andalan kita kan?” ucap Kiran. Ketiganya mengangguk dengan mantap.

“Oke, kita pakai 2 strategi yang jarang kita keluarin. Gi, lo yang pimpin kali ini. Michelle, kamu fokus sama posisi kamu sebagai libero, selebihnya biar kita berempat yang selesain.”

“I–iya kak,” balas Michelle takjub menatap keempat kakak kelasnya yang tampak jauh lebih serius.

Peluit di tiup, bola service dari tim lawan di layangkan. Dengan cepat Kiran dan teman-temannya mengambil posisi.

“Selesain dalam sekali,” bisik Achel.

Bola di ambil dengan mulus oleh Michelle dan mengarah langsung pada Gigi. Kiran, Achel dan Mikha siap dengan posisi menyerang dari tiga arah yang berbeda.

THREE!” teriak Gigi memberikan umpan.

Ketiganya berlari secara bersamaan ke arah bola membuat tim lawan kebingungan untuk melakukan blocking ke arah mana.

Mikha melompat lebih dulu yang kemudian di susul oleh Kiran.

“Sekarang!” teriak tim lawan.

Kiran tersenyum miring melihat tim lawan yang melakukan blocking padanya, tepat seperti dugaan. Saat middle blocker tim lawan sudah melompat tepat di saat itu juga Achel yang berada di sisi kanan lapangan melompat dan melayangkan pukulan smashnya dengan kencang, bola jatuh tepat disudut lapangan tim lawan yang kosong.

Teriakan dari para pendukung SMA Kwangya bergema di seluruh sudut lapangan, termasuk Willa yang sedari tadi diam.

Good job, guys!” seru Kiran. Michelle terdiam dengan tatapan takjubnya. Jadi ini alasan kenapa kenapa mereka berempat sering di sebut pilar utama tim volly ball sekolahnya.

“Satu poin lagi, kita pasti bisa kan?” sahut Mikha.

“Pasti bisa! Kita selesain dalam 3 kali main, ngerti kan maksud gue?” ucap Kiran.

“Oke, girls, serangan terakhir. Wings!” Gigi menatap ketiga temannya.

Mereka kembali ke posisi masing-masing. Peluit terakhir di set terakhir berbunyi, Kiran melakukan service dengan santai dan mengambil posisinya.

Seperti yang mereka rencanakan, selesaikan dalam 3 kali main. Jadi selama 2 kali main mereka hanya bertahan saat tim lawan terus melakukan serangan. Michelle sedikit kewalahan dengan bola smash yang selalu di arahkan padanya.

Saat smash yang berikutnya Michelle sedikit kaget yang membuat bolanya malah mengenai kepalanya. Kiran dengan cepat berlari ke belakang, mengambil bolanya dan memukul ke depan net.

Gigi berlari mendekat ke arah bola, ayo selesain sekarang.

WINGS!” teriak Gigi.

Achel berlari dari arah kanan, Mikha dari arah kiri dan Kiran yang menerobos ke arah tengah. Tim lawan siap dengan posisi masing-masing, tapi masalahnya disini adalah mereka tidak tau siapa yang akan melakukan smash.

Wings itu salah satu dari sekian banyak formasi menyerang dari mereka berempat yang sering di gunakan, tapi walaupun sering mereka pakai dan di ketahui oleh setiap tim lawan, ada satu hal yang tidak bisa mereka tebak yaitu siapa yang akan melakukan pukulan smash kali ini.

“Kiri!” Middle blocker tim lawan melompat menghalagi Mikha.

Mikha tersenyum kecil, “Right there.”

Kedua middle blocker tim lawan itu seketika menoleh ke arah Kiran dengan kompak, lalu merengut dengan kesal. Mereka salah lagi.

Kiran melayangkan pukulan smashnya dengan kencang ke arah libero tim lawan, bola itu tepat mengenai kepalanya dan melayang ke luar lapangan.

Peluit panjang di tiup, pertandingan final volly ball putri di menangkan oleh SMA Kwangya.

Semua murid SMA Kwangya yang menonton pada hari itu berteriak dengan keras dan berhamburan turun ke arah lapangan.

Sekolah mereka menang lagi. Kemenangan selama 4 tahun berturut-turut di setiap turnamen.

Willa, Nala, Yudith dan Ray ikut turun menuju ke lapangan merayakan kemenangan tim sekolah mereka.

Kiran mengedarkan pandangannya ke seluruh lapangan mencari seseorang yang sejak awal tadi mendukungnya dari bangku penonton.

Right here!” seru Willa melambaikan tangannya ke udara.

Kiran tersenyum lalu berlari dan memeluk Willa dengan perasaan bahagianya.

“Keren, cantiknya aku hebat banget tadi selama pertandingan,” ucap Willa lalu melepaskan pelukannya.

Menatap Kiran dengan penuh rasa bangga sambil memperbaiki rambut Kiran yang sedikit berantakan.

“Hebat banget ih, bangga aku!” seru Willa.

“Yang lain juga hebat kok,” balas Kiran.

“Iya, tapi buat aku kamu jauh jauh jauh lebih hebat dan keren!” Willa memberikan 2 jempol pada Kiran sambil tersenyum.

“Ohiya, aku tunggu di luar ya? Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucap Willa.

“Mau ngomong apa?” tanya Kiran menaikan satu alisnya.

“Ada pokoknya, kamu ganti baju dulu.”

“Nala, Ray, Yudith, ayo!” panggil Willa. “Bye, aku tunggu di luar!”

Willa tersenyum lalu keluar bersama dengan ketiga temannya.

Kiran mengerutkan dahinya bingung, hal apa yang ingin di bicarakan oleh Willa padanya?

“Kiran, sayang!” Panggilan dari suara yang cukup familiar itu membuat Kiran berbalik dan melihat Mamanya bersama dengan tante Laras dan tentu saja suami serta sepupunya.

“Selamat sayang! Ya ampun, Mama bangga banget sama kamu!” seru Mamanya.

“Selamat ya sayang, kamu tadi keren loh mainnya,” ucap tante Laras.

“Makasih tante,” balas Kiran. “Kayla sama kak Sheila mana? Kok ngga ada?”

“Kak Sheila di Surabaya, kakak cuman nitip salam aja buat lo, kalau Kayla gue gak tau dia dimana tapi tadi ada sih,” jawab Kalendra.

Kiran mengangguk pelan, perasaannya tiba-tiba saja jadi tidak enak sekarang.


Willa berdiri sambil memegang bucket bunga tidak jauh dari tempat parkir. Sebuah senyuman terukir di wajahnya yang cantik.

Tidak sabar menunggu Kiran datang untuk menemuinya.

“Hai, Willa!”

Pandangan Willa yang tadinya fokus pada bunga di tangannya kini beralih menatap seseorang di depannya.

It's her, Kayla.

“Pas banget gue ketemu lo disini,” seru Kayla. “Chat gue yang semalam masuk kan?”

“Langsung to the point aja, gue gak ada waktu ngurusin lo,” timpal Willa.

Kayla tertawa kecil, “Calm down, gue kesini cuman mau ngomong sama lo aja bukan mau ngajak berantem.”

Willa mendengus malas.

“Btw, Papa ada loh disini, nonton pertandingan keponakan tirinya,” ucap Kayla. Willa mengerutkan dahinya bingung.

“Oh, gue lupa lo belum tau ya? Atau emang belum di kasih tau?”

“Lo ngomong apa sih? Ngga jelas tau ngga!” ketus Willa.

“Menurut lo ngapain gue kesini nonton pertandingan yang bagi gue itu ngga penting-penting banget kalau bukan karna ada sepupu tersayang gue yang main? Bareng sama Papa juga lagi?”

Kayla berjalan mendekat ke arah Willa dan menatap bucket bunga.

“Lo mau tau sesuatu ngga? Tapi jangan kaget ya?” ucap Kayla.

“Kirana, cewek yang lagi lo deketin sekarang itu sepupu gue sama Kalen, Mama gue dan Mamanya Kiran itu saudara,” bisik Kayla.

Willa terdiam cukup lama mendengar ucapan Kayla, mencoba mencerna semua kalimat itu.

“Gue tau lo pasti ngga bakal percaya, tapi gue ngomong yang sebenarnya, lo bisa tanya ke kak Sheila kalau ngga percaya.”

“Kiran sebenarnya udah tau ini kok dari lama, inget waktu lo mukul Kalen di cafe dulu? Iya, Kiran udah tau sejak hari itu kalau lo itu saudara tirinya gue sama Kalen dan dia juga udah tau sepupunya dan keluarga tantenya ini adalah orang yang paling lo benci,” lanjut Kayla.

“Gue pikir Kiran udah ngasih tau lo soal ini karna lo berdua yang keliatan deket banget.”

Willa menatap kosong bucket bunga yang di genggamnya, tidak tau harus bereaksi seperti apa.

“Kiran belum ngasih tau ke lo ya? Oh, atau mungkin dia ngga mau kasih tau ke lo?” ucap Kayla.

Well, apapun itu yang pasti gue udah ngasih tau ke lo soal ini, jadi lo harus berterima kasih ke gue ngga sih?”

Mendengar itu Willa langsung menatap Kayla dengan penuh amarah, entah kenapa amarahnya semakin besar sekarang.

“Lo mau ketemu sama Kiran kan sekarang? Lo bisa tanya langsung ke dia kok,” ucap Kayla. “Gue pergi dulu, good luck!”

Kayla kembali masuk ke dalam meninggalkan Willa yang terdiam mematung di tempatnya.

Tidak lama kemudian Kiran muncul dengan baju yang sudah dia ganti sebelumnya.

“Hey! Kok ngelamun? Kenapa?” seru Kiran dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

“Ngga apa-apa,” balas Willa.

“Oh iya, kamu mau ngomong apa tadi?” tanya Kiran.

Willa diam menatap bucket bunga yang ia genggam. Kiran ikut menatap bucket bunga itu dengan senyuman riangnya.

“Kiran...”

“Iya?”

“Aku mau nanya sesuatu ke kamu,” ujar Willa.

“Nanya aja.”

“Kayla dan Kalen siapanya kamu? Kamu punya hubungan apa sama mereka?” tanya Willa dengan wajah seriusnya.

Kiran terdiam, senyumannya seketika hilang berganti dengan ekspresi tegang dan terkejutnya.

“Apa bener mereka berdua sepupu kamu? Bener kalau Mama kamu saudaranya tante Laras?”

“Willa—”

“Aku cuman mau kamu jawab pertanyaan aku, Ran,” potong Willa.

“Iya atau ngga kalau mereka berdua sepupu kamu?!”

Kiran diam, dia tidak tau harus mengatakan apa, dia tidak tau kalau momen ini akan terjadi sekarang, terjadi di waktu yang tidak tepat.

“Kiran jawab aku!” teriak Willa sambil mencengkram kedua bahu Kiran.

“Lihat dan jawab aku, Kiran. Tolong bilang ke aku kalau semua itu bohong,” lirih Willa.

“Ma–maaf....” hanya itu kata yang keluar dari mulut Kiran.

Willa melepaskan cengkramannya lalu tertawa canggung.

“Jadi bener? Jadi bener semua yang di bilang Kayla itu? Mereka berdua sepupu kamu dan tante laras itu tante kamu?” lirih Willa.

“Willa dengerin aku dulu...”

“Kamu udah tau selama ini tapi kamu sembunyiin semuanya dari aku? Kiran, aku percaya sama kamu selama ini tapi kamu malah hancurin kepercayaan aku!”

“Willa...”

“Jadi selama ini usaha aku buat balik lagi ke kamu itu ngga ada gunanya? Semua usaha yang aku keluarin selama ini malah ngga ada gunanya tau ngga!” tekas Willa.

“Kamu udah tau semuanya tapi kamu sembunyiin ini dari aku!”

“Willa please dengerin aku dulu,” ujar Kiran.

“Dengerin apa lagi? Kamu pembohong tau ngga! Kamu sama aja kayak mereka!” bentak Willa.

“Kamu tau? Hari ini seharusnya aku ngajak kamu buat mulai semuanya lagi dari awal, bunga ini harusnya jadi saksinya, tapi kamu....”

“Kamu ngehancurin semuanya, Kiran!” teriak Willa dengan penuh emosi.

“Kamu sama aja kayak sepupu-sepupu kamu dan tante kamu itu, kalian semua sama aja tau ngga!”

“Kalian semuanya, keluarga kamu sama-sama penghancur kebahagiaan orang lain!”

“Willa!”

“Ahh, apa mungkin Mama kamu juga sama aja kayak tante kamu itu? Jadi orang yang ngehancurin keluarga orang lain.”

“Willa stop!”

“Ngehancurin kebahagiaan dan kehidupan orang lain, karna darah ngga pernah bohong kan? Mama kamu pasti sama aja kayak Tante kamu itu, munafik, ngga tau di—”

PLAK

Satu tamparan keras melayang tepat di pipi kiri Willa.

“Aku bilang stop! Ngga semua orang bisa kamu samain kayak gitu, Willa! Mama aku bukan orang yang kayak gitu!” tekas Kiran dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya.

“Aku ngga akan diam aja kalau kamu udah bawa-bawa Mama aku! Kamu udah keterlaluan tau ngga, aku kecewa sama kamu!”

“Aku yang lebih kecewa sama kamu Kiran! Kamu nyembuyiin fakta dari aku dan terus bersikap seolah ngga ada apa-apa! Buat apa? Supaya kamu bisa mempengaruhi aku buat berdamai sama keluarga tante kamu itu? Iya?!”

Willa meremas bucket bunga itu lalu melemparnya ke tanah, menginjaknya hingga tak berbentuk lagi.

“Mulai hari ini jangan pernah lo hubungin gue atau muncul di hadapan gue lagi,” tegas Willa.

“Buat liat muka lo lagi aja gue muak tau ngga,” lanjut Willa lalu meninggalkan Kiran sendiri.

Willa kembali ke dalam mobil tempat ketiga temannya berkumpul. Willa masuk ke dalam mobil dan membanting pintu mobilnya membuat mereka bertiga terkejut.

“Anjing! Lo bisa ngga sih nutup pintunya santai aja?!” omel Ray.

“Gimana? Berhasil ngga?” tanya Yudith.

Bukannya di jawab Willa malah menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu menangis dengan kencang. Sontak ketiganya kaget sambil berusaha menenangkan Willa.

Sementara di tempat tadi Kiran juga menangis dengan posisi berjongkok sambil memeluk kedua kakinya.

Selesai, semuanya sudah selesai. Semuanya selesai tanpa adanya kata perpisahan, yang ada hanyalah pertengkaran dan tangisan.


“Gue kok jadi gugup gini ya?” celetuk Willa membuat ketiga temannya menatap dirinya dengan jengah.

Entah sudah keberapa kalinya Willa mengatakan hal yang sama selama 2 jam terakhir ini.

“Itu pertanyaan yang baru aja lo lontarin dari 2 jam yang lalu, capek gue dengernya!” omel Ray.

“Sheren jadi kan pulangnya hari ini? Nanti dia sampainya jam berapa sih?” tanya Yudith.

“Iya jadi, gak tau juga gue, mungkin agak sorean dikit,” jawab Nala.

“Ini kok pada asik sendiri sih? Ini gue gimana nanti?!” sela Willa dengan wajah kesalnya.

“Yaelah ngajak balikan mah gampang, tegang amat lo! Belum juga lamaran,” ejek Yudith.

Nala hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah ketiga temannya yang lain ini.

Keempatnya kembali duduk aman dan tentram di dalam mobil, sambil Ray dan Yudith yang menyiapkan kata-kata untuk Willa walau lebih banyak tidak benarnya.

Berakhir dengan Willa memukul kepala keduanya dengan keras.

Lokasi turnamennya tidak terlalu jauh dan hanya butuh waktu sekitar 2 jam perjalanan menggunakan mobil.

Saat sampai ada banyak orang yang mulai memasuki lokasi pertandingan final volly ball putra dan putri tingkat SMA itu termasuk Willa dkk.

“Ayo buruan, nanti kita ngga dapat tempat duduk yang bagus!” ucap Nala menarik ketiga temannya.

“Ngomong-ngomong, Wil, terus itu soal chat si Kayla semalam gimana?” sahut Ray.

“Gak tau, gue ngga mau ngurusin itu anak, hari ini gue cuman pengen fokus ke Kiran,” balas Willa.

“Kalau dia macam-macam lagi biar gue yang jambak rambutnya kali ini,” timpal Nala.

“Wkwkwk hajar, Nalasya Mahanta!” sorak Ray.

Keempatnya berjalan masuk ke dalam lapangan indoor bersama dengan para penonton lainnya, kepala mereka bergerak kesana kemari menatap kerumunan orang yang sangat banyak.

“Willa, Ray, Yudith, sini!” panggil Nala yang sudah memilih tempat duduk paling strategis.

Willa menatap ke sekeliling sebelum ikut menyusul kedua temannya. Siapa yang di cari? Tentu saja Kiran. Tapi tampaknya tim yang bertanding belum ada jadi Willa segera menyusul teman-temannya.

“Santai aja, nikmatin dulu pertandingannya,” ucap Ray sambil menepuk bahu Willa.

Tidak berapa lama kedua tim volly putri memasuki lapangan bersama dengan pelatih dan manajer masing-masing.

Willa tersenyum saat melihat Kiran yang sedang mengobrol dengan teman-temannya itu.

“Ran, Willa tuh,” bisik Achel yang tidak sengaja melihat Willa di bangku penonton.

“Hah? Dimana?”

“Bangku penonton, arah jam 3.”

Kiran menoleh, benar saja ada Willa dan teman-temannya disana. Willa tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya.

Kiran ikut tersenyum dan membalas lambaian tangan Willa. Matanya fokus melihat gerakan bibir Willa yang mengatakan sesuatu padanya.

Semangat cantiknya aku.

Bohong jika Kiran tidak salah tingkah dengan kalimat yang di ucapkan Willa padanya itu.

“Oke girls! Denger, yang main pertama itu Kiran, Achel, Mikha, Rei dan Oliv, kita harus menang di set pertama dan set kedua jadi sebisa mungkin jangan membuang poin, paham?” ucap Coach Andy.

“Paham coach!”

“Yaudah, ayo pemanasan dulu. Selangkah lagi, kita pasti bisa!”

Kedua tim mulai melakukan pemanasan, suara para penonton pun mulai menggema bahkan lebih keras daripada pertandingan kemarin.

Willa dkk ikut gugup melihat kedua tim mulai memasuki lapangan, pertandingan hari ini antara hidup dan mati karena kedua tim ini berasal dari sekolah yang dari tahun kemarin selalu menjadi rival dan selalu bertemu di babak final, entah siapa yang akan menang kali ini.

Peluit di tiup bola service pertama dari tim lawan di layangkan ke tim SMA Kwangya.

Pukulan demi pukulan, smash demi smash, kedua tim itu bermain dengan sangat sengit membuat para penonton merasakan ketegangan yang sama.

“1...2...3...MASUK!” teriak Ray dan Yudith secara bersamaan saat Mikha berhasil melakukan smash. Keduanya melompat-lompat kecil dengan semangat.

Sementara Willa hanya duduk sambil meremas tangannya, padahal yang bertanding bukan dia tapi malah dia yang ikut gugup.

Pertandingan final putri itu semakin menegang saat skor set kedua tim itu berakhir dengan skor yang sama yaitu 2-2. Set terakhir akan menjadi penentu kali ini.

Kiran yang berada di bangku pemain menatap tim-nya yang mulai kesusahan karena serangan bertubi-tubi yang di berikan tim lawan.

Kiran menoleh, melihat skor di set terakhir, 14-14. Kemudian tatapan mengarah pada ketiga temannya yang berada di lapangan, ketiganya dengan kompak mengangguk pelan.

“Coach, 2 poin terakhir percayain ke aku, Gigi, Mikha dan Achel,” sahut Kiran. Coach Andy menoleh dan menganggukan kepalanya.

Kedua tim sama-sama melakukan pergantian pemain, Kiran menarik nafasnya dalam-dalam sebelum masuk ke dalam lapangan dan bergabung dengan timnya.

“2 poin terakhir, masih inget strategi andalan kita kan?” ucap Kiran. Ketiganya mengangguk dengan mantap.

“Oke, kita pakai 2 strategi yang jarang kita keluarin. Gi, lo yang pimpin kali ini. Michelle, kamu fokus sama posisi kamu sebagai libero, selebihnya biar kita berempat yang selesain.”

“I–iya kak,” balas Michelle takjub menatap keempat kakak kelasnya yang tampak jauh lebih serius.

Peluit di tiup, bola service dari tim lawan di layangkan. Dengan cepat Kiran dan teman-temannya mengambil posisi.

“Selesain dalam sekali,” bisik Achel.

Bola di ambil dengan mulus oleh Michelle dan mengarah langsung pada Gigi. Kiran, Achel dan Mikha siap dengan posisi menyerang dari tiga arah yang berbeda.

THREE!” teriak Gigi memberikan umpan.

Ketiganya berlari secara bersamaan ke arah bola membuat tim lawan kebingungan untuk melakukan blocking ke arah mana.

Mikha melompat lebih dulu yang kemudian di susul oleh Kiran.

“Sekarang!” teriak tim lawan.

Kiran tersenyum miring melihat tim lawan yang melakukan blocking padanya, tepat seperti dugaan. Saat middle blocker tim lawan sudah melompat tepat di saat itu juga Achel yang berada di sisi kanan lapangan melompat dan melayangkan pukulan smashnya dengan kencang, bola jatuh tepat disudut lapangan tim lawan yang kosong.

Teriakan dari para pendukung SMA Kwangya bergema di seluruh sudut lapangan, termasuk Willa yang sedari tadi diam.


Sheren berjalan menyusuri koridor lantai dasar setelah kembali dari perpustakaan, matanya menangkap sosok Kiran yang berada di lapangan volly bersama anggota timnya.

Langkahnya berbelok menuju lapangan volly, 10 menit lagi bel istrahat akan berbunyi jadi dia memilih untuk menemui Kiran sambil menunggu jam istrahat.

“Hey!” sapa Sheren saat Kiran dan ketiga temannya itu menepi di pinggir lapangan untuk istrahat sejenak.

Keempatnya menoleh dengan serentak.

“Lah? Ngapain kesini? Sekarang bukannya jam pelajaran Bahasa Indonesia ya?” celetuk Mikha.

“Iya sih, tadi aku habis dari perpustakaan tapi ngeliat kalian lagi latihan yaudah aku kesini aja sambil nunggu bel istirahat bunyi,” balas Sheren.

“Buset, berani amat bolos,” tawa Achel.

“Duduk, Sher!” seru Kiran memberikan sedikit ruang untuk tempat Sheren duduk.

“Gue mau beli minum di kantin, ada yang mau ikut?” timpal Gigi.

“Gue! Gue sekalian mau beli puding yang sering di ceritain sama anak-anak lain!” ujar Mikha.

“Gue juga ikut deh.”

“Lo mau nitip apaan, Ran? Nanti gue beliin,” tanya Gigi.

“Ngga usah, minuman gue masih ada kok,” balas Kiran.

“Oh yaudah, nitip Kiran bentar ya, Sher!”

Sheren tersenyum tipis lalu mengangguk.

“Seru ngga sih punya temen kayak mereka? Asik aja aku lihatnya,” seru Sheren menatap ketiga teman Kiran yang pergi menuju kantin.

“Seru sih tapi kadang suka bikin emosi juga kelakuannya,” ucap Kiran di iringi tawa di akhir kalimatnya.

“Ohiya, kemarin Willa nya aku pinjam bentar, ngga apa-apa kan?”

Kiran terkekeh pelan, “Ya ngga apa-apa, dia kan temen kamu juga.”

“Willa sempet ngamuk ke aku 3 hari yang lalu karna aku bilang kalau dia mau lepasin kamu aku yang bakal rebut kamu dari dia,” canda Sheren. Kiran tertawa mendengarnya.

“Willa juga bilang gitu kemarin ke aku, yaudah aku terusin aja becandanya, lucu aja ngeliat dia cemburu gitu.”

“Soal aku yang pernah bilang ke kamu kalau kita saingan, aku bercanda kok itu,” ucap Sheren.

Kiran menatap Sheren seketika sambil mengerutkan dahinya bingung.

Well, iya sih aku suka sama Willa but she's not my type.”

“Hah? Gimana?”

“Maksud aku dia bukan tipe yang mau aku jadiin pacar, Willa lebih cocok jadi sahabat aku aja sih, jadi nanti kalau kalian berdua udah resmi jangan cemburu kalau aku deket sama dia,” jelas Sheren sambil tertawa kecil.

Kiran mengerjapkan matanya berkali-kali. Beban pikirannya seakan berkurang sedikit sekarang.

“Ngomong-ngomong Willa itu tipe orang yang ngga suka kalau di bohongin, dia juga ngga suka kalau ada sesuatu yang di sembunyiin dari dia, jadi kalau bisa kamu harus hindarin hal yang kayak gitu. Jangan sampai hubungan kalian nanti retak karna hal itu,” ucap Sheren sambil menatap Kiran dengan senyuman tulusnya.

Kiran terdiam mendengarnya, entah Sheren sedang memberinya saran atau tidak tapi Kiran merasa sedang di beri peringatan penting dari Sheren.

Sheren kemudian bangkit dari tempat duduknya lalu menyentuh bahu Kiran dengan lembut.

“Aku yakin kok kalian berdua bisa balik lagi ya walaupun jalannya agak susah.” Sheren tersenyum hangat.

“Aku balik kelas duluan ya, semangat latihannya!”

Kiran masih terdiam di tempatnya duduk, menatap punggung Sheren yang mulai menghilang dari pandangannya. Tepat setelah Sheren tidak terlihat lagi bel istrahat berbunyi.

“Heh! Ngapain lo ngelamun gitu?” celetuk Gigi menepuk bahu Kiran dengan sedikit kencang.

“Sheren mana? Padahal gue beliin dia puding juga, kok udah ngga ada?” ujar Mikha.

“Sheren udah balik tadi, baru aja,” jawab Kiran.

“Noh, gebetan lo dateng!” kata Achel menunjuk Willa dengan dagunya.

“Hai cantik!” seru Willa dengan suara kerasnya itu, membuat anggota tim Kiran yang lain menoleh ke arah mereka.

“Idiiih males banget gue kalau udah bucin mode on gini!” cibir Achel.

“Udahlah tinggalin aja mereka berdua, najis gue liatnya,” desis Mikha.

Willa hanya tertawa melihat reaksi reaksi dari tiga teman Kiran itu.

“Gimana latihannya? Jangan capek-capek loh,” ujar Willa.

“Ya namanya juga latihan udah pasti ada capeknya dong, gimana sih?” balas Kiran.

Willa tertawa kecil lalu mengacak pelan puncak kepala Kiran, “Gemes banget sih.”

“Latihan hari ini ngga sampai sore kan?” tanya Willa.

“Iya, istrahat kedua nanti udah selesai kok latihannya.”

“Kenapa?”

“Aku mau ngajak kamu jalan sama nonton sore nanti, udah lama kita ngga jalan bareng,” jawab Willa.

“Tapi aku mau di peluk dulu, bisa ngga?”

Willa tersenyum, “Bisa dong, sini!”

Willa merentangkan kedua tangannya ke samping memberikan ijin pada Kiran untuk memeluknya.

Kiran tersenyum tipis lalu masuk ke dalam pelukan Willa, meletakan dagunya di bahu kanan Willa dan menutup kedua matanya.

“Jangan kelamaan ya? Aku malu di liatin banyak orang,” bisik Willa. Kiran tertawa pelan dan menganggukan kepalanya.


Seperti yang di rencanakan, Willa mengajak Kiran untuk jalan-jalan sore ini. Sebelum pergi ke mall keduanya sempat singgah di kedai es krim yang waktu itu ingin di datangi oleh Kiran.

Kedai itu ngga terlalu jauh dari mall jadi Willa sudah lebih dulu memarkirkan mobilnya di parkiran mall.

“Kamu mau rasa apa?” tanya Kiran.

“Samain kayak punya kamu aja deh,” jawab Willa.

Kiran mengangguk, “Mas, es krim rasa vanilla nya dua ya.”

“Iya, mbak!”

“Kita mau nonton apa?”

“Tadinya sih aku mau nonton film horor tapi ngga jadi karna kamu suka kagetan orangnya.”

Kiran memukul bahu Willa lalu menatapnya dengan tajam.

“Hehe bercanda kok! Aku mesen tiket buat nonton spiderman no way home,” ucap Willa.

“Ini mbak, es krimnya!”

“Makasih mas, kembaliannya di ambil aja.”

Willa menyodorkan selembar uang berwarna merah lalu mengambil es krimnya dan memberikan satu pada Kiran.

“Ayo, kita lihat-lihat dulu di dalam sebelum filmnya mulai!”

Willa meraih tangan Kiran dan menggenggamnya dengan erat, mengabaikan orang-orang yang menatap mereka.

Kiran tersenyum melihat tangannya yang di genggam oleh Willa, ada rasa hangat dan tenang yang dia rasakan tapi itu tidak berlangsung lama saat mengingat ucapan Sheren di sekolah tadi.

“Willa...”

“Iya?” sahut Willa menatap Kiran.

“Ngga apa-apa, aku cuman seneng aja bisa jalan lagi sama kamu.”

“Ughh, gemes banget! Jadi pacar aku aja lah sekarang!” ucap Willa gemas.

Kiran tertawa canggung, “Haha apa sih! Stop bikin orang salah tingkah sama omongan kamu kayak gitu!”

Willa tertawa gemas lalu mencubit pipi Kiran dengan pelan.

“Waaah, kebetulan macam apa ini!”

Tawa Willa dan Kiran seketika terhenti saat mendengar sebuah suara dari arah depan mereka.

Di depan mereka berdiri dua orang yang mereka kenal dengan baik, sedang tersenyum menatap keduanya.

Itu Kalendra dan Kayla.

“Wow, kebetulan banget kita berempat ketemu disini,” seru Kayla.

“Gue agak kaget loh, soalnya terakhir kali kita ketemu tuh pas makan malam belum lama ngga sih? Yang kata lo makan malam terakhir karna nyokap lo udah gugat cerai Papa?” ucap Kalendra.

Kiran menatap Willa dengan cepat, dia tidak tau dengan yang satu ini.

“Btw, kabarnya tante Emily gimana, Ran? Udah lama ngga ketemu, kangen aja,” timpal Kayla dengan senyuman di wajahnya.

Kiran melotot kaget, nafasnya tercekat, menatap kedua sepupunya itu dengan tidak percaya.

'Ngga, jangan sekarang.'


Sesaat setelah mendapat pesan dari kakak sepupunya itu Willa langsung berlari mengambil kunci mobilnya dan dengan cepat menuju garasi.

Willa benar-benar sangat panik sekarang, dia takut, takut jika terjadi sesuatu pada Mamanya. Satu badannya bergetar dengan hebat meski sudah berusaha untuk ia tahan.

Saat berada di lampu merah Willa membuka handphonenya lagi, melihat pesan baru dari kakak sepupunya itu lalu membuka room chat Papanya. Willa mengirim pesan pada Papanya berharap itu akan mendapat respon, tapi belum ada tanda-tanda pesannya telah di baca oleh Papanya.

Willa mendesah pasrah, ia segera melajukan mobilnya saat lampu hijau sudah menyala.

20 menit setelahnya Willa sampai di rumah sakit tempat Mamanya di rawat. Willa berlari sekencang mungkin menerobos setiap orang yang ada disana.

“Willa, disini!” panggil Ghea saat melihat Willa yang baru saja keluar dari lift itu menoleh ke kanan dan ke kiri.

“Kak Ghea! Dimana? Mama dimana?” tanya Willa dengan panik.

“Hey, tenang dulu, atur dulu nafasnya,” ujar Ghea.

“Ngga bisa kak!”

Calm down, okay? Mama kamu udah ngga apa-apa sekarang.”

Terlihat dari raut wajah Willa yang sangat panik dan ingin menangis di satu waktu. Ghea menarik Willa ke dalam pelukannya dan menepuk punggung adik sepupunya itu dengan pelan agar menjadi sedikit lebih tenang.

“Gimana? Feel better, now?” bisik Ghea. Willa mengangguk pelan.

Ghea melepaskan pelukannya lalu memegang kedua bahunya.

“Kamu ngga perlu khawatir, Mama kamu udah dapat penanganan tadi, sekarang Mama kamu lagi istrahat,” ucap Ghea.

“Mama ngga bakal kenapa-kenapa kan kak?” tanya Willa dengan suara bergetarnya.

“Mama kamu ngga bakal kenapa-kenapa kok, nanti juga selama beberapa hari ke depan bakal sembuh,” jawab Ghea.

“Udah, jangan nangis, ngga apa-apa kok.”

Willa mengangguk lalu menyeka air matanya yang sempat jatuh tadi.

“Masuk gih ke dalam, kakak beliin kamu minum dulu di kantin.”

Ghea mengusap pipi Willa dan menyuruhnya masuk sebelum dia pergi ke kantin untuk membeli minum.

Willa membuka pintu kamar inap Mamanya dan melihat sang Mama yang sedang tertidur dengan nyaman di ranjang. Dia duduk di kursi sebelah ranjang dan menggenggam tangan Mamanya.

“Ma, maafin Willa telat ya? Willa ngga tau kalau Mama masuk rumah sakit,” gumam Willa.

“Jangan sakit, Willa ngga punya siapa-siapa kalau Mama ninggalin Willa.”

Sedetik kemudian Willa ingat kalau dia tadi sempat mengirim pesan ke Papanya. Willa meraih handphone dari saku celananya dan membuka room chat Papanya.

Masih sama seperti tadi, pesannya tidak di baca sama sekali oleh Papanya.

Willa kesal, sangat kesal. Bahkan di saat Mamanya sakit pun Papanya itu tidak peduli sama sekali.

She hates her father even more now, hates him so much.


Willa berjalan menuju kelasnya dengan raut wajah yang terlihat sangat lelah. Tidak ada senyuman sama sekali dari wajahnya seperti hari-hari biasa.

Dia ingin menangis saat ini juga tapi dia tidak bisa, entah hatinya yang sudah mati rasa atau bagaimana dia juga tidak tahu.

“Ran, Willa tuh,” bisik Achel mencolek bahu Kiran saat melihat Willa memasuki kelasnya.

“Yaudah biarin aja,” balas Kiran tanpa menoleh.

“Tapi itu Willa kayak beda deh, Ran,” timpal Mikha.

“Beda kenapa?”

“Keliatan murung gitu anaknya,” ucap Gigi.

Kiran seketika langsung menoleh, benar saja Willa tampak berbeda dari yang kemarin.

“Samperin sana, galau kali karna lo cuekin dari kemarin,” ucap Achel.

“Lo sih, katanya ngga bakal marah, tapi malah nyuekin dia seharian full,” cicit Mikha.

“Samperin sana, temen-temenya belum pada dateng buat ngehibur dia.” Gigi mendorong Kiran yang mau tidak mau Kiran juga berjalan menghampiri Willa di tempat duduknya.

“Willa,” panggil Kiran. Willa menoleh lalu tersenyum tipis.

Kiran menarik satu kursi di sebelah dan mendekat ke arah Willa.

“Kamu kenapa? Kok murung gitu?” tanya Kiran.

“Pasti karna kemarin aku nyuekin kamu ya? Maaf, aku ngga ada maksud kayak gitu.”

“Ngga kok, Kiran. Aku ngga apa-apa, aku cuman kecapean aja bukan karna kamu,” balas Willa sambil tersenyum.

Kiran menangkup wajah Willa dengan kedua tangannya, mengelus pipi Willa dengan lembut.

“Beneran? Bener cuman kecapean aja? Bukan karna ada masalah lain?” ujar Kiran.

Nala, Sheren, Ray dan Yudith baru saja memasuki kelas saat melihat adegan Kiran yang sedang menangkup wajah Willa dan mengelus pipinya.

Ray dan Yudith saling berbisik satu sama lain sebelum akhirnya Nala menjewer telinga mereka berdua.

Sementara Sheren masih menatap keduanya yang tampak serius mengobrol itu.

“Willa, kamu pernah janji kan bakal ceritain semua masalah kamu ke aku? Aku tau kamu bukan karna lagi kecapean aja sekarang,” ucap Kiran.

Willa menundukkan kepalanya yang kemudian di angkat kembali oleh Kiran.

“Willa...”

“Maaf, yang kali ini aku belum bisa cerita ke kamu,” balas Willa.

Kiran tersenyum kecil, “It's okay, take your time. Kamu bisa ceritain itu ke aku lain kali, tapi jangan murung terus, oke?”

Willa mengangguk pelan.

“Yaudah, aku balik ke tempat duduk aku ya? Kamu jangan murung lagi,” ujar Kiran.

“Iya.”

Kiran berdiri dan kembali ke tempat duduknya. Dia sedikit kaget saat melihat Sheren, Nala, Ray dan Yudith yang sudah berada di dalam kelas.

“Pagi Kiran!” sapa Sheren dengan senyuman lebarnya.

Kiran juga ikut tersenyum, “Pagi juga, Sheren.”

Lalu tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Kiran kembali dengan teman-temannya dan Sheren yang kini menatap Willa.


Jam istrahat sudah di mulai 10 menit yang lalu dan disinilah Sheren dan Willa duduk.

Di salah satu gazebo dekat lapangan futsal.

So, what's wrong with you? Did something happen to you to make your face look so sad like this? tanya Sheren pada Willa yang tengah menunduk.

Mereka sudah berteman sejak kecil, Sheren adalah salah satu teman masa kecilnya sama seperti Nala, jadi dia tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu padanya.

Apapun itu.

“Mama aku masuk rumah sakit semalam,” ujar Willa membuat Sheren kaget.

What?! Kenapa ngga ngasih tau ke aku, Willa!”

“Ngga sempet, Ren. Aku udah terlanjur panik.”

“Aku ngirim pesan ke Papa tapi ngga di baca sama sekali, bahkan sampai detik ini pesan aku ngga di baca.”

“Aku....”

Kalimat Willa tertahan, bahunya bergetar menandakan bahwa dia sedang menangis.

“Aku cuman mau Papa dateng lihat Mama, aku ngga apa-apa kalau emang Papa ngga mau ketemu sama aku, Mama lagi butuh Papa sekarang,” lirih Willa menahan suara tangisnya.

“Kenapa? Kenapa harus aku yang ngerasain semua ini? Kenapa harus keluarga aku? Masih banyak keluarga lain di luar sana tapi kenapa harus aku dan keluarga aku?” tangis Willa yang sudah tidak sanggup menahannya lagi.

Sheren menarik Willa ke dalam pelukannya, mengusap dan menepuk pelan punggung dan bahunya. Membiarkan Willa mengeluarkan semua tangisannya.

It's okay, i'm here for you. You have me and i will always be there for you!” bisik Sheren yang masih terus memeluk Willa.

Dan semua itu di lihat langsung oleh Kiran yang tadinya ingin menyusul Willa untuk memberikan dia sandwich dan air mineral.

Kedua tangannya yang memegang sandwich dan air mineral terkulai


Sesaat setelah mendapat pesan dari kakak sepupunya itu Willa langsung berlari mengambil kunci mobilnya dan dengan cepat menuju garasi.

Willa benar-benar sangat panik sekarang, dia takut, takut jika terjadi sesuatu pada Mamanya. Satu badannya bergetar dengan hebat meski sudah berusaha untuk ia tahan.

Saat berada di lampu merah Willa membuka handphonenya lagi, melihat pesan baru dari kakak sepupunya itu lalu membuka room chat Papanya. Willa mengirim pesan pada Papanya berharap itu akan mendapat respon, tapi belum ada tanda-tanda pesannya telah di baca oleh Papanya.

Willa mendesah pasrah, ia segera melajukan mobilnya saat lampu hijau sudah menyala.

20 menit setelahnya Willa sampai di rumah sakit tempat Mamanya di rawat. Willa berlari sekencang mungkin menerobos setiap orang yang ada disana.

“Willa, disini!” panggil Ghea saat melihat Willa yang baru saja keluar dari lift itu menoleh ke kanan dan ke kiri.

“Kak Ghea! Dimana? Mama dimana?” tanya Willa dengan panik.

“Hey, tenang dulu, atur dulu nafasnya,” ujar Ghea.

“Ngga bisa kak!”

Calm down, okay? Mama kamu udah ngga apa-apa sekarang.”

Terlihat dari raut wajah Willa yang sangat panik dan ingin menangis di satu waktu. Ghea menarik Willa ke dalam pelukannya dan menepuk punggung adik sepupunya itu dengan pelan agar menjadi sedikit lebih tenang.

“Gimana? Feel better, now?” bisik Ghea. Willa mengangguk pelan.

Ghea melepaskan pelukannya lalu memegang kedua bahunya.

“Kamu ngga perlu khawatir, Mama kamu udah dapat penanganan tadi, sekarang Mama kamu lagi istrahat,” ucap Ghea.

“Mama ngga bakal kenapa-kenapa kan kak?” tanya Willa dengan suara bergetarnya.

“Mama kamu ngga bakal kenapa-kenapa kok, nanti juga selama beberapa hari ke depan bakal sembuh,” jawab Ghea.

“Udah, jangan nangis, ngga apa-apa kok.”

Willa mengangguk lalu menyeka air matanya yang sempat jatuh tadi.

“Masuk gih ke dalam, kakak beliin kamu minum dulu di kantin.”

Ghea mengusap pipi Willa dan menyuruhnya masuk sebelum dia pergi ke kantin untuk membeli minum.

Willa membuka pintu kamar inap Mamanya dan melihat sang Mama yang sedang tertidur dengan nyaman di ranjang. Dia duduk di kursi sebelah ranjang dan menggenggam tangan Mamanya.

“Ma, maafin Willa telat ya? Willa ngga tau kalau Mama masuk rumah sakit,” gumam Willa.

“Jangan sakit, Willa ngga punya siapa-siapa kalau Mama ninggalin Willa.”

Sedetik kemudian Willa ingat kalau dia tadi sempat mengirim pesan ke Papanya. Willa meraih handphone dari saku celananya dan membuka room chat Papanya.

Masih sama seperti tadi, pesannya tidak di baca sama sekali oleh Papanya.

Willa kesal, sangat kesal. Bahkan di saat Mamanya sakit pun Papanya itu tidak peduli sama sekali.

She hates her father even more now, hates him so much.


Willa berjalan menuju kelasnya dengan raut wajah yang terlihat sangat lelah. Tidak ada senyuman sama sekali dari wajahnya seperti hari-hari biasa.

Dia ingin menangis saat ini juga tapi dia tidak bisa, entah hatinya yang sudah mati rasa atau bagaimana dia juga tidak tahu.

“Ran, Willa tuh,” bisik Achel mencolek bahu Kiran saat melihat Willa memasuki kelasnya.

“Yaudah biarin aja,” balas Kiran tanpa menoleh.

“Tapi itu Willa kayak beda deh, Ran,” timpal Mikha.

“Beda kenapa?”

“Keliatan murung gitu anaknya,” ucap Gigi.

Kiran seketika langsung menoleh, benar saja Willa tampak berbeda dari yang kemarin.

“Samperin sana, galau kali karna lo cuekin dari kemarin,” ucap Achel.

“Lo sih, katanya ngga bakal marah, tapi malah nyuekin dia seharian full,” cicit Mikha.

“Samperin sana, temen-temenya belum pada dateng buat ngehibur dia.” Gigi mendorong Kiran yang mau tidak mau Kiran juga berjalan menghampiri Willa di tempat duduknya.

“Willa,” panggil Kiran. Willa menoleh lalu tersenyum tipis.

Kiran menarik satu kursi di sebelah dan mendekat ke arah Willa.

“Kamu kenapa? Kok murung gitu?” tanya Kiran.

“Pasti karna kemarin aku nyuekin kamu ya? Maaf, aku ngga ada maksud kayak gitu.”

“Ngga kok, Kiran. Aku ngga apa-apa, aku cuman kecapean aja bukan karna kamu,” balas Willa sambil tersenyum.

Kiran menangkup wajah Willa dengan kedua tangannya, mengelus pipi Willa dengan lembut.

“Beneran? Bener cuman kecapean aja? Bukan karna ada masalah lain?” ujar Kiran.

Nala, Sheren, Ray dan Yudith baru saja memasuki kelas saat melihat adegan Kiran yang sedang menangkup wajah Willa dan mengelus pipinya.

Ray dan Yudith saling berbisik satu sama lain sebelum akhirnya Nala menjewer telinga mereka berdua.

Sementara Sheren masih menatap keduanya yang tampak serius mengobrol itu.

“Willa, kamu pernah janji kan bakal ceritain semua masalah kamu ke aku? Aku tau kamu bukan karna lagi kecapean aja sekarang,” ucap Kiran.

Willa menundukkan kepalanya yang kemudian di angkat kembali oleh Kiran.

“Willa...”

“Maaf, yang kali ini aku belum bisa cerita ke kamu,” balas Willa.

Kiran tersenyum kecil, “It's okay, take your time. Kamu bisa ceritain itu ke aku lain kali, tapi jangan murung terus, oke?”

Willa mengangguk pelan.

“Yaudah, aku balik ke tempat duduk aku ya? Kamu jangan murung lagi,” ujar Kiran.

“Iya.”

Kiran berdiri dan kembali ke tempat duduknya. Dia sedikit kaget saat melihat Sheren, Nala, Ray dan Yudith yang sudah berada di dalam kelas.

“Pagi Kiran!” sapa Sheren dengan senyuman lebarnya.

Kiran juga ikut tersenyum, “Pagi juga, Sheren.”

Lalu tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Kiran kembali dengan teman-temannya dan Sheren yang kini menatap Willa.


Jam istrahat sudah di mulai 10 menit yang lalu dan disinilah Sheren dan Willa duduk.

Di salah satu gazebo dekat lapangan futsal.

So, what's wrong with you? Did something happen to you to make your face look so sad like this? tanya Sheren pada Willa yang tengah menunduk.

Mereka sudah berteman sejak kecil, Sheren adalah salah satu teman masa kecilnya sama seperti Nala, jadi dia tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu padanya.

Apapun itu.

“Mama aku masuk rumah sakit semalam,” ujar Willa membuat Sheren kaget.

What?! Kenapa ngga ngasih tau ke aku, Willa!”

“Ngga sempet, Ren. Aku udah terlanjur panik.”

“Aku ngirim pesan ke Papa tapi ngga di baca sama sekali, bahkan sampai detik ini pesan aku ngga di baca.”

“Aku....”

Kalimat Willa tertahan, bahunya bergetar menandakan bahwa dia sedang menangis.

“Aku cuman mau Papa dateng lihat Mama, aku ngga apa-apa kalau emang Papa ngga mau ketemu sama aku, Mama lagi butuh Papa sekarang,” lirih Willa menahan suara tangisnya.

“Kenapa? Kenapa harus aku yang ngerasain semua ini? Kenapa harus keluarga aku? Masih banyak keluarga lain di luar sana tapi kenapa harus aku dan keluarga aku?” tangis Willa yang sudah tidak sanggup menahannya lagi.

Sheren menarik Willa ke dalam pelukannya, mengusap dan menepuk pelan punggung dan bahunya. Membiarkan Willa mengeluarkan semua tangisannya.

It's okay, i'm here for you. You have me and i will always be there for you!” bisik Sheren yang masih terus memeluk Willa.

Dan semua itu di lihat langsung oleh Kiran yang tadinya ingin menyusul Willa untuk memberikan dia sandwich dan air mineral.

Kedua tangannya yang memegang sandwich dan air mineral terkulai lemas ke bawah.

It's hurt.


“Kita ke mall aja ngga apa-apa kan?” seru Chaewon sambil fokus ke jalanan di depannya.

“Ngga apa-apa kak, kan kakak yang ngajak,” balas Minju.

Chaewon melirik ke kaca spion menatap Rina yang sedang sibuk mengobrol dengan Winter di bangku belakang.

“Seru banget ya yang berdua di belakang,” celetuk Chaewon.

“Kamu fokus nyetir aja, nanti malah nabrak bahaya,” ucap Rina membuat Chaewon mendengus pelan.

Minju tertawa pelan melihat raut kesal Chaewon.

“Biarin aja kak, mereka keliatan seru gitu ngobrolnya,” ucap Minju. “Udah lama juga aku ngga liat Winter seaktif itu ngomongnya.”

Chaewon hanya bisa mengangguk pasrah dan kembali fokus menyetir.

“Di Kanada aku punya 2 anak anjing sama 3 kucing, tiap minggu pengasuhnya ngirim foto mereka ke aku. Nih lihat,” ujar Rina menunjukkan foto-foto hewan peliharaannya itu pada Winter.

“Ihh, yang ini lucu! Namanya siapa kak?” seru Winter menunjuk seekor anak anjing.

“Snowie, karna bulu-bulunya putih kayak salju jadi aku namain dia Snowie,” balas Rina.

“Lucu.”

“Mau lihat yang lain juga?” Winter mengangguk dengan semangat.

Rina kemudian menunjukkan semua foto-foto kucing dan anak anjingnya itu, melihat Winter yang sangat antusias membuat Rina tersenyum lembut.

“Nah, kita udah nyampe!” celetuk Chaewon. “Mau bareng-bareng aja atau mencar?”

“Mencar aja deh,” jawab Rina.

“Oke, kalau gitu kamu sama Winter aku sama Minju.”

Mereka mengangguk kecil lalu keluar dari mobil dan masuk ke dalam mall bersama-sama sebelum akhirnya mereka berpencar.

“Kita mau kemana dulu kak?” tanya Winter.

“Terserah kamu mau kemana, aku ikut aja,” jawab Rina.

“Aku sih mau nyari satu buku yang dari kemarin mau aku beli, ngga apa-apa?”

“Ngga apa-apa kok, ayo!”

Winter mengangguk lalu berjalan beriringan dengan Rina. Terkadang dia menatap Rina dari samping, rasanya seperti mimpinya selama ini akhirnya terwujud.

Mall hari itu terlihat sangat ramai, ada banyak orang yang berkeliaran di setiap sudut mall, kadang mereka juga saling bertabrakan dengan orang lain membuat Rina sangat risih.

“Winter?”

“Iya?”

“Maaf ya kalau aku lancang, bilang aja kalau kamu emang ngga nyaman,” ucap Rina tiba-tiba.

Winter mengerutkan keningnya dengan bingung sampai akhirnya tangannya di genggam oleh Rina dan menariknya untuk lebih dekat lagi.

Seulas senyum terlukis di wajahnya. Ini bukan pertama kalinya Rina menggenggam tangannya tapi entah kenapa yang kali ini jauh lebih berkesan untuk Winter.

“Kak Rina!”

“Iya, Win? Kamu ngga nyaman ya? Maaf, tapi nanti setelah sampai di toko bukunya aku pasti lepasin tangan kamu kok.”

Winter terkekeh, “Ngga kak, ngga apa-apa. Aku nyaman kok kayak gini.”

“Aku cuman mau nanya aja.”

“Nanya apa?”

“Aku ngga tau harus mulai dari mana....”

“Tapi, gimana cara kakak buat memulai sesuatu yang baru? Memulai awal yang baru tanpa harus takut kakak salah langkah?”

“Memulai awal yang baru?” Rina berfikir sejenak, mencoba menyusun jawaban di kepalanya.

“Hmm, gimana ya...” gumam Rina.

“Pertama, lupain semua apa yang pernah terjadi di belakang, lupain hal-hal yang bikin kita sakit, memang sih semua itu ngga gampang, tapi yang namanya melakukan sesuatu pasti harus ada yang di korbanin kan?”

“Terus, harus bisa berdamai sama diri kita sendiri di masa lalu, kalau kita ngga bisa berdamai sama diri sendiri percuma aja kita ngebuka lembar yang baru tapi masih membawa sesuatu yang membuat kita terluka,” lanjut Rina.

“Yang pasti jangan takut buat melangkah, mau salah ataupun engga terus aja melangkah, hidup itu kayak kita belajar naik sepeda, takut buat mulai karna nanti pas jatuh pasti sakit tapi justru kalau kita ngga belajar kita ngga bakal pernah tau gimana hasilnya. Jadi, berani aja dulu sekalipun nanti prosesnya panjang.”

Winter tersenyum, “Makasih kak buat sarannya.”

“Kita emang baru kenal, aku juga ngga terlalu tau soal kamu, ngga tau apa yang udah terjadi sama kamu di masa lalu, tapi kalau kamu butuh seseorang buat berbagi cerita atau berbagi apapun aku bisa jadi orang itu,” ujar Rina menatap Winter.

“Sebagai seorang teman?”

Rina terdiam cukup lama sebelum akhirnya tertawa kecil dan mengangguk pelan.

“Hm, sebagai teman.”

Mendengar itu Winter tersenyum manis, senyuman yang sudah lama tidak pernah dia tunjukkan kepada siapapun setelah kecelakaan itu.

Now Winter found someone who can help her to start a new beginning together.


Pagi menyapa kota Jakarta, sinar mentari menerangi setiap sudut Ibu Kota Indonesia dengan indahnya. Udara yang sejuk serta kicauan burung di pepohonan membuat suasana salah satu Rumah Sakit terbesar di Jakarta tampak nyaman.

Aktivitas yang sempat berhenti semalaman kini mulai berjalan sebagaimana mestinya.

Gadis bersurai hitam panjang itu tengah berbaring sambil menyenderkan punggungnya di ranjang yang sudah di atur sedemikian rupa untuk di jadikan tempat sandaran.

Salah satu perawat masuk ke dalam ruangan dan menyapanya dengan ramah. Berjalan menuju jendela dan membuka tirainya dengan sekali sentakan.

“Aku udah bisa pulang hari ini kan, Sus?” tanya gadis bersurai hitam itu.

“Nanti akan ada pemeriksaan lanjutan, kalau Dokternya bilang udah bisa pulang kamu hari ini bisa pulang kok,” jawab sang Suster.

“Padahal aku udah baik-baik aja,” gumamnya lalu mengambil buku di atas meja nakas.

Sang perawat tersenyum simpul mendengar ocehan kecil darinya.

“Jadwal pemeriksaan lanjutannya nanti jam 11 pagi, jangan terlalu capek, okay?”

Sang perawat kemudian keluar meninggalkan gadis itu sendirian. Helaan nafasnya terdengar dengan jelas, ini sangat membosankan baginya.

Ia mengalihkan pandangannya dari buku dan kemudian menatap ke arah luar jendela, pemandangan di sekitar rumah sakit terpampang indah di depan matanya, tidak setelah secara tiba-tiba ada gadis yang berpakaian pasien sedang bergelantungan dengan tali yang bagian bawahnya terdapat papan sebagai tempat duduk.

Ia begitu kaget, karena orang gila mana yang bergelantungan seperti itu? Apa dia tidak takut jatuh dari sana?

Gadis yang sedang bergelantungan itu tersenyum dengan lebar kepadanya sambil melambaikan salah satu tangannya.

'Orang gila' Begitu pikirnya.

“Halooo! Denger suara aku ngga?” teriak gadis yang sedang bergelantungan itu dengan kencang tapi tidak mendapat respon sama sekali.

“Kok sombong banget? Di sapa tapi ngga nyapa balik,” gumamnya.

“Hellooo! Keyrin Amanda Dinata! Nice to meet you!” sapanya sekali lagi sambil melambai dengan dengan semangat.

Lagi dan lagi balasan yang dia dapatkan hanyalah gerutan kening kebingungan dari sang gadis yang berada di dalam sana.

“Apa semua orang-orang pintar di sekolah kayak gini sifatnya? Di sapa tapi ngga nyapa balik.”

Bukannya sombong ataupun tidak ingin menyapa balik, tapi kaca jendela itu kedap suara jadi gadis bersurai hitam itu tidak mendengar apapun yang dia ucapkan baru saja.

“Wynne! Ya ampun, kamu ngapain disana? Kalau kamu jatuh saya yang bisa di tuntut!” Teriakan salah satu suster dari rooftop rumah sakit itu membuat Wynne, si gadis yang tengah bergelantungan itu menengok ke atas.

“Loh? Salah siapa coba aku kayak gini? Yang ngelarang aku makan hamburger tadi siapa? Yang ngelarang aku keluar juga tadi siapa?!” teriaknya kembali.

“Iya, iya, itu salah saya! Saya yang ngelarang, tapi tolong naik lagi ya?”

“Ngga mau! Pokoknya aku mau makan hamburger sekarang juga!”

“Aduh, nanti aja ya kalau udah keluar dari rumah sakit?”

“Ngga! Bodo amat, aku maunya sekarang!” tekas Wynne sambil menggoyangkan talinya membuat sang suster panik setengah mati apalagi saat tali yang di gunakan Wynne itu mengendur dan membuatnya jatuh ke bawah.

Keyrin melotot kaget saat Wynne melesat jatuh ke bawah, dengan refleks ia bangkit dari ranjangnya dan berlari kemudian membuka salah satu jendela.

Ia bernafas lega saat melihat Wynne baik-baik saja di bawah sana.

She's totally crazy,” kekeh Keyrin.


Keyrin Amanda Dinata, mungkin nama itu tidak asing lagi untuk para murid dari SMA Pelita Bangsa. Siapa yang tidak kenal dengan murid peraih juara 1 paralel di sekolah? Murid dengan segudang prestasi dan juga terkenal ramah tidak mungkin tidak ada yang mengenalnya.

Berbeda dengan wajahnya yang sedikit terlihat dingin dan jutek sebenarnya Keyrin adalah orang yang hangat, ramah, dan friendly. Semua murid sekolah mengenalnya termasuk Wynne.

“Makannya besok-besok kamu ngga usah cari masalah lagi, kemarin kaki kamu yang patah besok leher kamu yang patah!”

Wynne terkekeh pelan mendengar omelan dari temannya, Nindya.

“Ya jangan di doain juga leher aku yang patah nanti,” ucap Wynne.

“Makannya kalau aku bilangin tuh jangan ngeyel!”

“Iya, iya, ngga lagi-lagi deh,” balas Wynne. “Ngomong-ngomong, kemarin aku ketemu sama Keyrin di rumah sakit.”

“Iya, Keyrin emang sempat drop minggu kemarin jadi langsung di rujuk ke rumah sakit, kayaknya udah seminggu dia di rawat,” ucap Nindya.

“Katanya sih DBD atau apa gitu aku lupa, tapi hari ini dia udah masuk sekolah sih.”

Wynne terdiam sejenak, “Aku jarang ketemu sama dia, katanya anak-anak lain dia ramah tapi kok pas aku sapa kemarin dia malah ngga nyapa balik, malah diem aja ngeliatin aku gelantungan di luar jendela kamarnya.”

“Kamu ngapain gelantungan segala? Cari mati?!”

Wynne meringis saat Nindya berteriak tepat di telinganya.

“Buat seneng-seneng aja kok, yakali aku mau mati muda.”

Nindya menggelengkan kepalanya, ada-ada saja kelakuan temannya ini.

“Dia ngga nyapa kamu tuh bukan karna dia sombong atau gimana, kaca jendela rumah sakit tuh emang rata-rata kedap suara, Wynne!” jelas Nindya.

“Oh gitu.” Wynne menganggukan kepalanya dengan kecil.

“Lagian ya dia pasti kaget ngeliat kamu yang gelantungan di luar jendela kamarnya.”

Wynne terkekeh pelan, benar juga. Pasti Keyrin menganggapnya orang aneh atau orang gila sehingga lambaian tangannya tidak di balas.

Seketika matanya menangkap sosok Keyrin yang sedang berjalan tepat di depan tidak jauh dari tempatnya berada. Wynne jadi teringat sesuatu.

“Nin, kamu duluan ke kelas aja, nanti aku nyusul!” celetuk Wynne.

“Kamu mau kemana?!”

“Perpustakaan!”

Nindya mengerutkan keningnya dengan bingung, sejak kapan temannya itu tertarik mengunjungi perpustakaan pagi-pagi seperti ini?

Wynne berlari mengejar Keyrin yang sedang menuju ke perpustakaan mengabaikan tatapan murid-murid lain yang heran.

Dia diam-diam mengikuti Keyrin dari belakang sampai mereka tiba di salah satu rak buku barulah Wynne berani menyapanya.

“Hai!” sapa Wynne dengan senyum dan lambaian yang sama seperti kemarin.

“H–hai?” balas Keyrin.

“Inget aku ngga? Yang kemarin gelantungan di rumah sakit?”

Keyrin diam sejenak lalu membuka mulutnya sedetik kemudian.

“Ahh, iya inget,” balas Keyrin sambil terkekeh pelan, mengingat betapa gilanya Wynne kemarin.

“Bagus kalau masih inget! Aku Wynne, dari kelas 11 IPS 4!” seru Wynne.

“Keyrin.” balasnya menerima uluran tangan Wynne.

Well, tujuan aku nyamperin kamu kesini karna aku mau balikin buku diary kamu yang ngga sengaja aku temuin di rooftop rumah sakit.” Wynne mengambil buku diary berwarna biru dari dalam tasnya dan memberikan kembali pada Keyrin.

“Dan maaf karna udah lancang baca isinya,” lanjutnya.

Keyrin membulatkan matanya sebelum dengan ragu meraih buku diarynya.

“Kamu...udah baca? Semuanya?” tanya Keyrin.

Wynne mengangguk, “Hm, kayaknya ngga ada yang tau ya soal penyakit kamu itu? Tadi temen aku bilang kamu masuk rumah sakit karna DBD.”

“Wynne...”

“Iya?”

“Kamu bisa kan jaga rahasia ini dari semua orang? Termasuk itu ke orang tua aku?”

Wynne terdiam menatap Keyrin. Cukup lama dia berfikir, kenapa harus di rahasiakan?

“Kasih aku alasan kenapa aku harus rahasiain ini dari semua orang?”

Keyrin mengembuskan nafasnya dengan pelan lalu tersenyum simpul, “Aku cuman pengen ngejalanin hari-hari aku tanpa di khawatirin sama orang-orang, baik itu teman-teman aku, orang tua ataupun keluarga. Aku cuman pengen ngejalanin kehidupan yang normal.”

Bohong jika Wynne tidak tersentuh dengan keinginan kecil dari Keyrin itu.

“Berapa lama lagi waktu yang kamu punya?”

“Kurang dari sebulan lagi, maybe?”

“Emang udah ngga bisa di sembuhin lagi?”

“Kalau soal itu aku ngga tau, Dokter cuman minta aku buat jangan lupa buat cuci darah kalau udah jadwalnya,” jawab Keyrin.

Wynne menjulurkan tangannya pada Keyrin membuat gadis itu bingung di buatnya.

“Katanya kamu pengen kan ngejalanin kehidupan kamu dengan normal? Karna kita udah saling kenal, aku yang bakal nemenin kamu, aku bakal temenin kamu kemana aja yang kamu mau, gimana?”

“Oh, tenang aja, aku pinter jaga rahasia kok!”

Entah kenapa ada keinginan besar dalam diri Wynne untuk lebih dekat dengan Keyrin dan menemaninya selama sisa waktu hidupnya.

Mungkin karna Wynne tau rasanya berada di posisi Keyrin seperti apa, tetap tersenyum dan bertingkah seolah dirinya baik-baik saja padahal dia sedang di kejar oleh waktu. Wynne tau perasaan itu, karena kakaknya juga seperti itu dulu.

“Itu berarti ayo berteman dan aku bakal temenin kamu di selama sisa waktu hidup kamu!” seru Wynne dengan senyuman lebarnya.

Keyrin ikut tersenyum dan membalas uluran tangan Wynne. Setidaknya ada seseorang yang menemaninya di selama sisa waktu hidupnya itu.

Dan begitulah hubungan mereka berdua terjalin.


“Jadi, kita mau kemana hari ini?” sahut Wynne setelah menjemput Keyrin di rumahnya.

Sudah seminggu sejak perkenalan mereka di perpustakaan saat itu, Wynne dan Keyrin menghabiskan waktu mereka dengan mengunjungi setiap tempat yang ingin di kunjungi oleh Keyrin

Hubungan mereka juga tidak canggung walaupun mereka baru seminggu saling mengenal.

“Aquarium, kita bisa kan kesana? Aku udah lama pengen kesana,” seru Keyrin.

“Aquarium? Oke! Ayo jalan sekarang!” balas Wynne dengan semangat lalu meraih tangan Keyrin untuk di genggam.

Keyrin merasa sangat senang dia bahkan tidak pernah merasa sesenang ini sebelumnya.

Keduanya kemudian mengunjungi salah satu Aquarium besar yang berada di Jakarta itu. Pandangan mereka tidak pernah lepas dari satwa-satwa air yang berada di dalam aquarium, baik itu ikan-ikan kecil, ikan pari dan lain sebagainya.

“Woaah, ini bener-bener cantik!” takjub Keyrin. Wynne mengangguk setuju.

Tidak pernah dia melihat hal yang sangat cantik dan indah seperti ini. Benar-benar menakjubkan.

Selesai bersenang-senang di aquarium kini keduanya sedang duduk sambil menikmati es krim di salah satu kedai es krim pinggir jalan. Melihat orang-orang yang berlalu lalang.

“Kamu ngga apa-apa kan makan es krim?” tanya Wynne.

“Ya ngga apa-apa, ngga usah khawatir,” jawab Keyrin dengan kekehan kecilnya.

“Cantik,” ujar Wynne.

“Hah?”

“Kamu cantik kalau ketawa gitu.”

Keyrin tersenyum tipis lalu melanjutkan menikmati es krim coklatnya. Menghirup udara segar di sore hari ini.

Sangat damai.

Di minggu kedua, mereka menghabiskan waktu untuk bermain di semua wahana permainan, termasuk roller coaster yang sebenarnya Keyrin tidak suka karna dia takut akan ketinggian.

Tapi dengan kalimat meyakinkan dari Wynne akhrinya Keyrin mau yang mana di sepanjang roller coasternya bergerak Keyrin tidak melepaskan genggaman tangannya dari Wynne.

“Kamu tadi lihat ngga pemandangannya dari atas? Cantik banget! Ngga nyesel kan ikut sama aku tadi?” seru Wynne. Keyrin hanya tertawa kecil dan mengangguk.

Apa Keyrin bisa jujur? Bahwa sebenarnya Wynne cukup menarik perhatiannya. Wynne sangat tau bagaimana cara membuatnya senang dan tertawa.

Wynne sangat menyenangkan and she like her. Kepribadian cerah yang di miliki Wynne lah yang membuat Keyrin tertarik. Bahkan sejak pertama kali Keyrin melihat Wynne di rumah sakit saat itu dia sudah tertarik dengan tingkah konyol Wynne.

“Besok aku harus ke rumah sakit lagi,” ujar Keyrin menghentikan ocehan dari Wynne tentang wahana-wahana yang akan mereka naiki selanjutnya.

“Berapa lama lagi kamu di rawat disana?” tanya Wynne.

“Aku ngga tau,” jawab Keyrin.

“Oke, karna besok kamu harus di rawat lagi ayo kita senang-senang hari ini! Sampai malam pun bakal aku temenin!” seru Wynne.

Keyrin tersenyum, “Makasih, Wyn!”

“Ayo!” Wynne menarik tangan Keyrin dan melanjutkan aktivitas mereka sore hari itu.

Berapa lama pun akan Wynne lakukan jika itu bisa membuat Keyrin senang.

Malam harinya mereka berdua berjalan di trotoar jalan sambil melihat langit yang tampak banyak bintang. Sangat cantik.

“Aku ngga pernah lihat langit malam yang secantik ini, benar-benar indah,” ucap Keyrin. Wynne mengangguk setuju.

“Oh? Ada bintang jatuh! Katanya kalau ada bintang jatuh terus kita buat permohonan nanti permohonan itu bakal terkabul,” seru Wynne.

“Oh ya?”

“Hm!”

“Kalau gitu aku mau buat permohonan dulu.”

Wynne kemudian menyatukan kedua tangannya dan menutup matanya sambil berdoa dalam hati.

Keyrin tersenyum melihatnya dan berkata, “Semoga penyakitnya bisa cepet sembuh.”

Wynne membuka matanya lalu menatap Keyrin.

“Itu kan permohonan kamu?” ujar Keyrin sambil tersenyum manis.

“Waaah, udara malam ini sejuk banget, cocok buat jalan-jalan kayak gini!” seru Keyrin menghirup udara malam ini dengan dalam.

Wynne terdiam dan tersadar bahwa Keyrin lebih dari kata cantik. Keyrin, sangat indah seperti kumpulan bintang di langit sana.

Dia sangat ingin Keyrin bisa terus hidup lebih lama. Sangat ingin.


Sudah satu jam Wynne menemani Keyrin yang berada di kamar inapnya, menemani Keyrin untuk sekedar mengobrol atau membahas tentang sekolah hari ini.

“Ngga tau, sekolah kayaknya ngebosenin, aku selalu kena hukum,” dengus Wynne dengan kesal.

Keyrin tertawa kecil, “Kamu aja yang bandel, guru ngga mungkin ngehukum murid kalau bukan muridnya yang cari masalah.”

“Iya deh, murid teladan mah beda ya,” ujar Wynne.

“Haha apa sih,” tawa Keyrin.

“Itu buah dari aku jangan lupa di makan.” Keyrin tersenyum kecil dan mengangguk.

“Wyn...”

“Hm? Kenapa?”

“Kamu...apa kamu ngga penasaran pendapat aku tentang kamu?” tanya Keyrin.

“Huh?”

“Menurut kamu, gimana cara aku ngelihat kamu.”

“Uhmm...ngga tau, maybe like a close friends?” balas Wynne.

“Eungh, no.”

“Eh? Terus apa?” Wynne mengerutkan keningnya dengan bingung.

Sedetik kemudian Keyrin tertawa meledek, “Ngga, ngga bakal aku kasih tau!”

“Loh? Kok gitu?!” protes Wynne semakin membuat Keyrin tertawa jahil.

“Mungkin aku bakal nulis jawabannya di buku diary aku, kamu bisa baca itu kalau aku udah ngga ada nanti,” balas Keyrin.

Wynne tertawa canggung, “Ngomong apaan sih.”

Melihat ekspresi Wynne yang berubah jadi datar dan sedih itu membuat Keyrin tersenyum tipis. Mengenal Wynne dan menghabiskan hari-harinya bersama Wynne adalah salah satu kebahagiaan tersendiri untuk Keyrin.

Pagi itu Wynne datang ke rumah sakit untuk menemani Keyrin yang mengatakan sangat kesepian karena tidak ada yang menemaninya. Walaupun itu adalah hari sekolah Wynne lebih memilih untuk menemani Keyrin.

Karena itu adalah janjinya untuk memani Keyrin setiap saat.

Wynne membuka pintu kamar inap Keyrin dan mendapati Keyrin yang sedang menari-nari kecil sambil menghadap ke arah jendela.

Lucu. Wynne tertawa kecil melihatanya.

Keyrin tidak menyadari kehadiran Wynne sampai akhirnya dia berbalik dan melihat Wynne yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya.

“Wynne!”

“Hahaha, pagi, Rin!” sapa Wynne.

“Kok ngga bilang-bilang kalau mau kesini!”

“Sengaja, mau kasih kejutan ke kamu.”

“Emang kamu ngga ke sekolah?” tanya Keyrin yang berusaha menghilangkan rasa malunya.

“Ngga, aku bisa kapan aja ke sekolah, tapi buat nemuin kamu...”

“Aku ngga tau kapan bisa ketemu dan lihat kamu lagi jadi setelah kamu ngirim pesan yang bilang kesepian aku lebih milih buat datang kesini,” jelas Wynne.

“Ngga apa-apa kan aku bolos sekolah demi nemenin kamu disini?”

Jujur saja, Keyrin benar-benar sangat terharu dengan ucapan Wynne baru saja. Ingin rasanya dia menangis tapi dia tidak ingin menangis di depan Wynne.

“Kamu bener-bener sepengen itu aku terus hidup?”

“Hm, aku pengen kamu terus hidup.”

Keyrin tersenyum manis, sangat manis.

“Wynne, aku boleh peluk kamu ngga?”

Wynne mengangguk, “Boleh.”

Ia tersenyum lalu berjalan menghampiri Wynne dan memeluknya dengan hangat. Meletakan dagunya di bahu kiri Wynne.

“Makasih udah mau temenin aku selama ini, aku ngga tau apa jadinya kalau kamu ngga ada buat nemenin aku di sisa-sisa waktu hidup aku. Semua waktu yang kamu kasih ke aku selama ini adalah harta karun dan kebahagiaan tersendiri buat aku, makasih ya,” bisik Keyrin.

Wynne membalas pelukan Keyrin dan memeluknya dengan erat. Tidak ada kata yang dia keluarkan selain anggukan kepala.

Maka di hari itu Wynne menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk menemani Keyrin melakukan hal apapun yang dia inginkan.


Pagi itu sebelum menemui Keyrin lagi di rumah sakit Wynne menyempatkan untuk membeli bunga amarilis putih. Keyrin mengatakan padanya bahwa dia menyukai bunga itu jadi hari ini Wynne akan membelikan bunga amarilis untuk Keyrin.

Langkah kakinya sangat bersemangat saat memasuki loby rumah sakit, senyumannya tidak pernah pudar dari wajahnya saat melihat bunga amarilis putih di tangannya.

Dengan perasaan yang amat sangat senang Wynne menuju ke lantai 3 tempat kamar Keyrin berada. Dia terus mencium aroma bunga amarilis yang khas itu, Wynne tidak sabar untuk menemui Keyrin dan memberikan bunga ini padanya.

“Bagaimana bisa saya tidak di beritahu perihal penyakit putri saya?!”

Sebuah suara sentakan membuat Wynne menghentikan langkah kakinya, di depan sana tepat di depan kamar Keyrin ada seorang wanita paruh baya dan juga seorang Dokter yang sedang berdiri.

“Kenapa? Kenapa kalian baru memberitahu saya setelah Keyrin pergi? Kenapa?!” tangis wanita paruh baya itu dengan histeris.

“Atas nama rumah sakit ini saya minta maaf! Saya tidak tau kalau ternyata putri anda tidak pernah memberi tahu tentang penyakitnya ini pada anda.”

Tangan kanan Wynne yang sedang memegang bucket bunga itu terjatuh ke bawah. Langkah kakinya dia percepat.

“Dokter, Key...Keyrin, dia kenapa?” tanya Wynne mengabaikan Ibu Keyrin yang berada di sampingnya.

“Saya mohon maaf karena tidak bisa membantu teman kamu lagi.” Hanya itu yang bisa di ucapkan oleh sang Dokter.

Membuat dunia Wynne hancur seketika. Baru saja kemarin dia menemani Keyrin, baru saja kemarin mereka berdua tertawa bersama, baru saja kemarin Wynne bercanda riang bersama Keyrin.

Sekarang Keyrin pergi, dia pergi setelah berjuang melawan penyakit gagal ginjal kronisnya, dia pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan untuk Wynne dan orang-orang terdekatnya.


Pemakaman Keyrin di adakan hari itu juga dan di datangi oleh semua guru, teman-teman sekelasnya dan juga beberapa murid lain yang mengenalnya dengan baik.

Kedua sahabat dekat Keyrin menangis dengan kencang di depan makamnya tidak percaya jika sosok kesayangan mereka itu pergi untuk selamanya bahkan tanpa mereka tau jika Keyrin menderita penyakit yang cukup serius.

Wynne? Dia memilih untuk mengurung dirinya di dalan kamar tanpa berniat untuk keluar. Rasanya dia tidak sanggup melangkahkan kakinya keluar.

Keyrin sudah pergi tapi dia bahkan tidak berani untuk keluar dan tidak menangis sedikitpun, bukan dia tidak mau menangis tapi dia tidak bisa.

3 hari Wynne mengurung dirinya dalam kamar sampai Nindya datang dan mengatakan bahwa Ibu dari Keyrin ingin menemuinya.

“Wyn, Mamanya Keyrin mau ketemu sama kamu, ada sesuatu yang mau beliau kasih ke kamu,” ucap Nindya.

“Buku diary Keyrin,” lanjutnya.

Tidak ada balasan dari Wynne.

Nindya menghembuskan nafasnya dengan pasrah, mungkin Wynne masih membutuhkan waktu sendiri.

Beberapa saat kemudian pintu kamar itu terbuka dan menampilkan sosok Wynne.

“Wyn—”

“Aku bisa kesana sendiri,” potong Wynne.

“Okay, hati-hati.” Hanya itu yang bisa Nindya ucapkan sebagai temannya.

Dia tidak ingin membuat Wynne semakin sedih lagi.

Dengan pakaian seadanya tetapi tetap rapih, Wynne datang menemui Ibu Keyrin di rumahnya. Saat sampai disana dan di persilahkan untuk duduk Wynne hanya diam menatap meja di depannya.

“Ini buku diary Keyrin, awalnya saya ngga tau siapa nama yang Keyrin tulis di buku diary itu. Gina yang memberitahu saya tentang siapa nama yang ada di dalam diary itu.”

Ibu Keyrin menyodorkan buku diary berwarna biru milik Keyrin pada Wynna. Dengan pelan dia membuka halaman diary itu satu persatu.

'Wynne, aku tau ini agak sedikit terlambat tapi makasih buat semua yang udah kamu lakuin ke aku, nemenin aku kemana aja aku mau, ngabisin waktu bareng aku, makasih banget. Aku senang bisa ketemu dan kenalan sama kamu. Wynne, aku minta maaf kalau aku ngga bisa bilang langsung soal ini ke kamu, aku sayang kamu lebih dari sekedar seorang teman, i like you Wynne'

Tangan Wynne bergetar setelah membaca isi diary itu. Rasanya dia tidak sanggup lagi.

“Tante, maaf kalau saya sedikit lancang, tapi...apa saya bisa menangis? Sekali saja,” tanya Wynne dengan suaranya yang bergetar.

Wanita paruh baya di depannya itu kemudian mengangguk pelan menjawab pertanyaan Wynne.

Dan detik itu juga Wynne menangis dengan kencang. Air matanya yang sempat tertahan selama beberapa hari ini, tangisannya yang tidak bisa keluar sekarang semua itu keluar dengan sendirinya.

Tangisan itu adalah tangisan pertama Wynne untuk seseorang, bahkan saat kakaknya pergi sama seperti Keyrin dia tidak mengeluarkan tangisannya.

Dadanya terasa sangat sesak dan perih, benar-benar seperih itu sampai dia tidak bisa menghentikan tangisannya.

Wynne bahkan belum mengatakan hal yang sama pada Keyrin, Wynne juga ingin mengatakan bahwa dia sangat menyayangi Keyrin walaupun waktu yang mereka habiskan hanya singkat.

Kisah mereka bahkan baru saja di mulai tapi waktu dan takdir berkata lain, membawa salah satu dari mereka pergi jauh untuk selamanya.

End


Rabu pagi ini ekspresi Kiran masih sama, karena Willa masih belum mau di ajak mengobrol berdua. Padahal ini sudah 4 hari dari sejak mereka berantem (dikit) waktu itu.

Kiran melangkah dengan sedikit tak bersemangat, matanya menatap tanah memikirkan cara untuk meminta maaf.

“Jangan cepet-cepet bisa ngga sih! Kalau aku kesasar gimana?!”

“Salah kamu sendiri kenapa jalannya lambat?”

Kiran mengangkat kepalanya, dia sangat mengenal suara itu. Dengan cepat Kiran menoleh ke belakang dan benar saja itu Willa dan Sheren.

Eh? Tunggu dulu! Sheren?

“Oh? Kiran! Good morning!” seru Sheren saat matanya menangkap sosok Kiran yang tidak jauh dari mereka.

Surprise! Mulai hari ini aku sekolah disini, kita juga sekelas by the way,” ujar Sheren.

“Ahh, gitu ya? Semoga betah ya,” balas Kiran dengan kedua matanya yang menatap Willa sesekali.

“Kamu masih mau ngomong disini atau aku tinggal?” celetuk Willa menatap Sheren dengan kesal.

“Iya, iya, tapi kita bertiga sam—”

“Buruan!” ketus Willa yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkan Sheren dan Kiran.

“Willa! Tungguin dong!” teriak Sheren. “Kiran, ayo! Mau ke kelas kan?”

“Duluan aja, aku mau nunggu temen-temen aku dulu,” ucap Kiran.

“Oh, yaudah. See you in the class, Kiran!”

Sheren berlari menyusul Willa yang sudah berada di depan sementara Kiran hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan pelan.

Dengan tidak semangat Kiran kembali berjalan setelah Willa dan Sheren tidak terlihat lagi di hadapannya. Dia ingin menangis saat itu juga rasanya.

.

Di kelas Kiran terus menatap Willa yang mana tentu saja tidak di tatap balik oleh Willa, dia sibuk mengobrol dengan Sheren dan ketiga temannya yang lain.

“Sheren kalau gue lihat humble banget ya orangnya, tadi pas gue ke ruang guru sempet paspasan sama dia eh dia senyumin gue,” ujar Mikha.

“Lo bertiga daripada ngomongin Sheren terus mending bantuin gue,” celetuk Kiran.

“Bantuin gimana lagi? Lo aja di cuekin si Willa terus, jalan satu-satunya lo harus ngomong langsung sama dia,” timpal Gigi.

“Istrahat nanti coba aja ajak dia ngobrol lagi, hari ini kita ada ekskul volly, jangan sampe lo ilang fokus di lapangan nanti,” sambung Achel.

Kiran merengut kesal, udah puluhan kali dia nyoba buat ngajak Willa ngomong berdua tapi tetap aja di tolak.

Jam istrahat tiba dan Kiran masih belum berani, takut jika Willa menolak lagi. Selama di cafetaria sekolah pun mereka duduk terpisah. Willa disana dan Kiran disini.

Iri saja melihat Willa yang tampak nyaman mengobrol dengan Sheren, iri menuju cemburu lebih tepatnya.

“Lo belum ngomong lagi sama Kiran? Ini udah berapa hari lo diemin dia terus, kasian tau!” ujar Yudith.

“Wil, lo ngga kasian gitu liat si Kiran yang kayak mau nangis tiap lo nyuekin dia? Kan udah kita kasih tau omongin baik-baik dulu,” celetuk Ray.

“Willa mah kepala batu harus ada yang ngomelin dia dulu baru di denger,” dengus Nala.

“Wil, Kiran ngga sepenuhnya salah loh? Lagian janji itu kan harus di tepatin juga,” ucap Sheren. “Tadi pagi juga aku liat Kiran sedih gitu, ngomong baik-baik dulu gih.”

“Iya, Sher, tapi nanti aja kalau sekarang ngga mau,” balas Willa.

“Tuh, Kiran nungguin lo lagi!” timpal Ray menunjuk Kiran di depan dengan dagunya.

“Sher, kamu aja deh yang nasehatin dia, gue capek!” ujar Nala lalu menarik Yudith dan Ray.

“Willa, aku ngga mau ya kamu jadi marah-marahan gini sama Kiran,” ucap Sheren.

“Kan aku udah bilang ka—”

“Willa,” sahut Kiran.

“Hei! Mau ngomong sama Willa kan? Nih ngomong aja, aku ke kelas duluan ya!” seru Sheren.

“Ngga.”

Langkah kaki Sheren terhenti lalu berbalik dan menatap Willa dengan tajam.

“A–aku masih mau ngerjain tugas, nanti aja kita ngomongnya!” lanjut Willa lalu pergi.

“Loh? Kok? Willa! Wil, kok malah pergi sih?!” teriak Sheren.

Bingung mau menyusul Willa atau tetap disitu menemani Kiran.

“Kiran, maaf ya soal Willa barusan, tapi nanti dia pasti mau dengerin kamu kok,” ucap Sheren.

“Ngga apa-apa, Sher, aku ngerti kok,” balas Kiran sambil senyum tapi matanya kelihatan ingin menangis.

Sheren juga bingung, ternyata keras kepalanya Willa melebih keras kepala kakaknya.

Kiran sebenarnya ingin marah juga karena Willa yang tidak mau di ajak bicara, padahal dia sudah punya niat baik untuk bicara baik-baik dan minta maaf.

Tidak mau tambah pusing lagi Kiran menyerah, mungkin memang harus menunggu mood Willa membaik dulu. Jadi sampai pulang sekolah dan lanjut ekskul, Kiran tidak lagi mencoba untuk memaksa Willa bicara.

Seperti kata Achel tadi pagi, dia tidak boleh hilang fokus saat di lapangan, harus profesional.

“Gue istrahat dulu bentar, lo bertiga yang lanjutin deh,” ucap Kiran.

“Jangan lama lo istrahatnya, gantian!” omel Gigi.

“Iya ih, bawel!” dengus Kiran.

Kaki jenjangnya berjalan menuju kursi panjang tempat mereka menaruh barang-barang.

Kiran duduk dan meregangkan sedikit otot-otot bahunya. Kedua tangannya terulur ke belakang merapihkan ikatan rambutnya.

Saat selesai merapihkan ikatan rambutnya, kening Kiran merengut bingung melihat uluran tangan seseorang menyerahkan minuman isotonik padanya.

Kiran mengangkat kepalanya dan menemukan Willa yang sedang berdiri sambil menggaruk tengkuk belakang lehernya.

“Ini buat kamu, ma–maaf kalau aku udah agak keterlaluan ke kamu, maaf juga udah nyuekin kamu beberapa hari ini,” ucap Willa.

Kiran masih tediam di tempatnya sambil menatap Willa, dia tidak tau harus bereaksi bagaimana.

Melihat Kiran yang hanya diam saja, Willa beranjak duduk di sebelah Kiran meletakan minuman isotonik itu di bawah lalu mengambil handuk dari tas Kiran dan kemudian menyeka keringat Kiran yang bercucuran.

“Kamu ngga gerah apa itu keringatnya gak di lap dulu? Aku yang ngeliatnya gerah,” ucap Willa.

Tangisannya yang sudah dia tahan selama beberapa hari ini akhirnya tumpah juga. Setelah beberapa hari akhirnya Willa yang datang lebih dulu dan bicara dengannya.

Kiran menangis dengan kencang seperti anak kecil, membuat Willa kalang kabut.

“Hei, hei, kok malah nangis sih? Aku kan gak ngomelin kamu?” ucap Willa sambil menangkup wajah Kiran dengan kedua tangannya.

“Maafin aku huuuaaa...jangan diemin aku lagi!” tangis Kiran.

“Iya, iya, aku maafin! Udah jangan nangis lagi, malu di lihatin sama junior-junior kamu tuh,” bujuk Willa.

“Maafin aku hiks...”

“Iya, Kiran aku maafin, udah ah jangan nangis.”

Willa kemudian membawa Kiran ke dalam pelukannya dan mengusap punggung sang kapten tim volly putri itu.

“Udah, jangan nangis lagi, nanti jelek,” hibur Willa sambil menyeka air mata Kiran dan mencubit pelan kedua pipinya.

Kiran yang masih sesegukan itu mengusap mata dan hidungnya dengan punggung tangan, sama seperti yang di lakukan anak kecil saat selesai menangis.

Kalau begini Willa jadi gemas sendiri melihat tingkah Kirana.

Ingin rasanya Willa mengecup kedua pipi gemas Kiran itu, tapi dia ingat ada banyak orang sekarang di sekeliling mereka. Jadi dia memilih untuk menahan keinginannya itu.

“Kalau kayak gini malah kamu yang bayi gedenya sekarang,” goda Willa lalu tertawa pelan.

Lucu.