Pagi menyapa kota Jakarta, sinar mentari menerangi setiap sudut Ibu Kota Indonesia dengan indahnya. Udara yang sejuk serta kicauan burung di pepohonan membuat suasana salah satu Rumah Sakit terbesar di Jakarta tampak nyaman.
Aktivitas yang sempat berhenti semalaman kini mulai berjalan sebagaimana mestinya.
Gadis bersurai hitam panjang itu tengah berbaring sambil menyenderkan punggungnya di ranjang yang sudah di atur sedemikian rupa untuk di jadikan tempat sandaran.
Salah satu perawat masuk ke dalam ruangan dan menyapanya dengan ramah. Berjalan menuju jendela dan membuka tirainya dengan sekali sentakan.
“Aku udah bisa pulang hari ini kan, Sus?” tanya gadis bersurai hitam itu.
“Nanti akan ada pemeriksaan lanjutan, kalau Dokternya bilang udah bisa pulang kamu hari ini bisa pulang kok,” jawab sang Suster.
“Padahal aku udah baik-baik aja,” gumamnya lalu mengambil buku di atas meja nakas.
Sang perawat tersenyum simpul mendengar ocehan kecil darinya.
“Jadwal pemeriksaan lanjutannya nanti jam 11 pagi, jangan terlalu capek, okay?”
Sang perawat kemudian keluar meninggalkan gadis itu sendirian. Helaan nafasnya terdengar dengan jelas, ini sangat membosankan baginya.
Ia mengalihkan pandangannya dari buku dan kemudian menatap ke arah luar jendela, pemandangan di sekitar rumah sakit terpampang indah di depan matanya, tidak setelah secara tiba-tiba ada gadis yang berpakaian pasien sedang bergelantungan dengan tali yang bagian bawahnya terdapat papan sebagai tempat duduk.
Ia begitu kaget, karena orang gila mana yang bergelantungan seperti itu? Apa dia tidak takut jatuh dari sana?
Gadis yang sedang bergelantungan itu tersenyum dengan lebar kepadanya sambil melambaikan salah satu tangannya.
'Orang gila' Begitu pikirnya.
“Halooo! Denger suara aku ngga?” teriak gadis yang sedang bergelantungan itu dengan kencang tapi tidak mendapat respon sama sekali.
“Kok sombong banget? Di sapa tapi ngga nyapa balik,” gumamnya.
“Hellooo! Keyrin Amanda Dinata! Nice to meet you!” sapanya sekali lagi sambil melambai dengan dengan semangat.
Lagi dan lagi balasan yang dia dapatkan hanyalah gerutan kening kebingungan dari sang gadis yang berada di dalam sana.
“Apa semua orang-orang pintar di sekolah kayak gini sifatnya? Di sapa tapi ngga nyapa balik.”
Bukannya sombong ataupun tidak ingin menyapa balik, tapi kaca jendela itu kedap suara jadi gadis bersurai hitam itu tidak mendengar apapun yang dia ucapkan baru saja.
“Wynne! Ya ampun, kamu ngapain disana? Kalau kamu jatuh saya yang bisa di tuntut!” Teriakan salah satu suster dari rooftop rumah sakit itu membuat Wynne, si gadis yang tengah bergelantungan itu menengok ke atas.
“Loh? Salah siapa coba aku kayak gini? Yang ngelarang aku makan hamburger tadi siapa? Yang ngelarang aku keluar juga tadi siapa?!” teriaknya kembali.
“Iya, iya, itu salah saya! Saya yang ngelarang, tapi tolong naik lagi ya?”
“Ngga mau! Pokoknya aku mau makan hamburger sekarang juga!”
“Aduh, nanti aja ya kalau udah keluar dari rumah sakit?”
“Ngga! Bodo amat, aku maunya sekarang!” tekas Wynne sambil menggoyangkan talinya membuat sang suster panik setengah mati apalagi saat tali yang di gunakan Wynne itu mengendur dan membuatnya jatuh ke bawah.
Keyrin melotot kaget saat Wynne melesat jatuh ke bawah, dengan refleks ia bangkit dari ranjangnya dan berlari kemudian membuka salah satu jendela.
Ia bernafas lega saat melihat Wynne baik-baik saja di bawah sana.
“She's totally crazy,” kekeh Keyrin.
Keyrin Amanda Dinata, mungkin nama itu tidak asing lagi untuk para murid dari SMA Pelita Bangsa. Siapa yang tidak kenal dengan murid peraih juara 1 paralel di sekolah? Murid dengan segudang prestasi dan juga terkenal ramah tidak mungkin tidak ada yang mengenalnya.
Berbeda dengan wajahnya yang sedikit terlihat dingin dan jutek sebenarnya Keyrin adalah orang yang hangat, ramah, dan friendly. Semua murid sekolah mengenalnya termasuk Wynne.
“Makannya besok-besok kamu ngga usah cari masalah lagi, kemarin kaki kamu yang patah besok leher kamu yang patah!”
Wynne terkekeh pelan mendengar omelan dari temannya, Nindya.
“Ya jangan di doain juga leher aku yang patah nanti,” ucap Wynne.
“Makannya kalau aku bilangin tuh jangan ngeyel!”
“Iya, iya, ngga lagi-lagi deh,” balas Wynne. “Ngomong-ngomong, kemarin aku ketemu sama Keyrin di rumah sakit.”
“Iya, Keyrin emang sempat drop minggu kemarin jadi langsung di rujuk ke rumah sakit, kayaknya udah seminggu dia di rawat,” ucap Nindya.
“Katanya sih DBD atau apa gitu aku lupa, tapi hari ini dia udah masuk sekolah sih.”
Wynne terdiam sejenak, “Aku jarang ketemu sama dia, katanya anak-anak lain dia ramah tapi kok pas aku sapa kemarin dia malah ngga nyapa balik, malah diem aja ngeliatin aku gelantungan di luar jendela kamarnya.”
“Kamu ngapain gelantungan segala? Cari mati?!”
Wynne meringis saat Nindya berteriak tepat di telinganya.
“Buat seneng-seneng aja kok, yakali aku mau mati muda.”
Nindya menggelengkan kepalanya, ada-ada saja kelakuan temannya ini.
“Dia ngga nyapa kamu tuh bukan karna dia sombong atau gimana, kaca jendela rumah sakit tuh emang rata-rata kedap suara, Wynne!” jelas Nindya.
“Oh gitu.” Wynne menganggukan kepalanya dengan kecil.
“Lagian ya dia pasti kaget ngeliat kamu yang gelantungan di luar jendela kamarnya.”
Wynne terkekeh pelan, benar juga. Pasti Keyrin menganggapnya orang aneh atau orang gila sehingga lambaian tangannya tidak di balas.
Seketika matanya menangkap sosok Keyrin yang sedang berjalan tepat di depan tidak jauh dari tempatnya berada. Wynne jadi teringat sesuatu.
“Nin, kamu duluan ke kelas aja, nanti aku nyusul!” celetuk Wynne.
“Kamu mau kemana?!”
“Perpustakaan!”
Nindya mengerutkan keningnya dengan bingung, sejak kapan temannya itu tertarik mengunjungi perpustakaan pagi-pagi seperti ini?
Wynne berlari mengejar Keyrin yang sedang menuju ke perpustakaan mengabaikan tatapan murid-murid lain yang heran.
Dia diam-diam mengikuti Keyrin dari belakang sampai mereka tiba di salah satu rak buku barulah Wynne berani menyapanya.
“Hai!” sapa Wynne dengan senyum dan lambaian yang sama seperti kemarin.
“H–hai?” balas Keyrin.
“Inget aku ngga? Yang kemarin gelantungan di rumah sakit?”
Keyrin diam sejenak lalu membuka mulutnya sedetik kemudian.
“Ahh, iya inget,” balas Keyrin sambil terkekeh pelan, mengingat betapa gilanya Wynne kemarin.
“Bagus kalau masih inget! Aku Wynne, dari kelas 11 IPS 4!” seru Wynne.
“Keyrin.” balasnya menerima uluran tangan Wynne.
“Well, tujuan aku nyamperin kamu kesini karna aku mau balikin buku diary kamu yang ngga sengaja aku temuin di rooftop rumah sakit.” Wynne mengambil buku diary berwarna biru dari dalam tasnya dan memberikan kembali pada Keyrin.
“Dan maaf karna udah lancang baca isinya,” lanjutnya.
Keyrin membulatkan matanya sebelum dengan ragu meraih buku diarynya.
“Kamu...udah baca? Semuanya?” tanya Keyrin.
Wynne mengangguk, “Hm, kayaknya ngga ada yang tau ya soal penyakit kamu itu? Tadi temen aku bilang kamu masuk rumah sakit karna DBD.”
“Wynne...”
“Iya?”
“Kamu bisa kan jaga rahasia ini dari semua orang? Termasuk itu ke orang tua aku?”
Wynne terdiam menatap Keyrin. Cukup lama dia berfikir, kenapa harus di rahasiakan?
“Kasih aku alasan kenapa aku harus rahasiain ini dari semua orang?”
Keyrin mengembuskan nafasnya dengan pelan lalu tersenyum simpul, “Aku cuman pengen ngejalanin hari-hari aku tanpa di khawatirin sama orang-orang, baik itu teman-teman aku, orang tua ataupun keluarga. Aku cuman pengen ngejalanin kehidupan yang normal.”
Bohong jika Wynne tidak tersentuh dengan keinginan kecil dari Keyrin itu.
“Berapa lama lagi waktu yang kamu punya?”
“Kurang dari sebulan lagi, maybe?”
“Emang udah ngga bisa di sembuhin lagi?”
“Kalau soal itu aku ngga tau, Dokter cuman minta aku buat jangan lupa buat cuci darah kalau udah jadwalnya,” jawab Keyrin.
Wynne menjulurkan tangannya pada Keyrin membuat gadis itu bingung di buatnya.
“Katanya kamu pengen kan ngejalanin kehidupan kamu dengan normal? Karna kita udah saling kenal, aku yang bakal nemenin kamu, aku bakal temenin kamu kemana aja yang kamu mau, gimana?”
“Oh, tenang aja, aku pinter jaga rahasia kok!”
Entah kenapa ada keinginan besar dalam diri Wynne untuk lebih dekat dengan Keyrin dan menemaninya selama sisa waktu hidupnya.
Mungkin karna Wynne tau rasanya berada di posisi Keyrin seperti apa, tetap tersenyum dan bertingkah seolah dirinya baik-baik saja padahal dia sedang di kejar oleh waktu. Wynne tau perasaan itu, karena kakaknya juga seperti itu dulu.
“Itu berarti ayo berteman dan aku bakal temenin kamu di selama sisa waktu hidup kamu!” seru Wynne dengan senyuman lebarnya.
Keyrin ikut tersenyum dan membalas uluran tangan Wynne. Setidaknya ada seseorang yang menemaninya di selama sisa waktu hidupnya itu.
Dan begitulah hubungan mereka berdua terjalin.
“Jadi, kita mau kemana hari ini?” sahut Wynne setelah menjemput Keyrin di rumahnya.
Sudah seminggu sejak perkenalan mereka di perpustakaan saat itu, Wynne dan Keyrin menghabiskan waktu mereka dengan mengunjungi setiap tempat yang ingin di kunjungi oleh Keyrin
Hubungan mereka juga tidak canggung walaupun mereka baru seminggu saling mengenal.
“Aquarium, kita bisa kan kesana? Aku udah lama pengen kesana,” seru Keyrin.
“Aquarium? Oke! Ayo jalan sekarang!” balas Wynne dengan semangat lalu meraih tangan Keyrin untuk di genggam.
Keyrin merasa sangat senang dia bahkan tidak pernah merasa sesenang ini sebelumnya.
Keduanya kemudian mengunjungi salah satu Aquarium besar yang berada di Jakarta itu. Pandangan mereka tidak pernah lepas dari satwa-satwa air yang berada di dalam aquarium, baik itu ikan-ikan kecil, ikan pari dan lain sebagainya.
“Woaah, ini bener-bener cantik!” takjub Keyrin. Wynne mengangguk setuju.
Tidak pernah dia melihat hal yang sangat cantik dan indah seperti ini. Benar-benar menakjubkan.
Selesai bersenang-senang di aquarium kini keduanya sedang duduk sambil menikmati es krim di salah satu kedai es krim pinggir jalan. Melihat orang-orang yang berlalu lalang.
“Kamu ngga apa-apa kan makan es krim?” tanya Wynne.
“Ya ngga apa-apa, ngga usah khawatir,” jawab Keyrin dengan kekehan kecilnya.
“Cantik,” ujar Wynne.
“Hah?”
“Kamu cantik kalau ketawa gitu.”
Keyrin tersenyum tipis lalu melanjutkan menikmati es krim coklatnya. Menghirup udara segar di sore hari ini.
Sangat damai.
Di minggu kedua, mereka menghabiskan waktu untuk bermain di semua wahana permainan, termasuk roller coaster yang sebenarnya Keyrin tidak suka karna dia takut akan ketinggian.
Tapi dengan kalimat meyakinkan dari Wynne akhrinya Keyrin mau yang mana di sepanjang roller coasternya bergerak Keyrin tidak melepaskan genggaman tangannya dari Wynne.
“Kamu tadi lihat ngga pemandangannya dari atas? Cantik banget! Ngga nyesel kan ikut sama aku tadi?” seru Wynne. Keyrin hanya tertawa kecil dan mengangguk.
Apa Keyrin bisa jujur? Bahwa sebenarnya Wynne cukup menarik perhatiannya. Wynne sangat tau bagaimana cara membuatnya senang dan tertawa.
Wynne sangat menyenangkan and she like her. Kepribadian cerah yang di miliki Wynne lah yang membuat Keyrin tertarik. Bahkan sejak pertama kali Keyrin melihat Wynne di rumah sakit saat itu dia sudah tertarik dengan tingkah konyol Wynne.
“Besok aku harus ke rumah sakit lagi,” ujar Keyrin menghentikan ocehan dari Wynne tentang wahana-wahana yang akan mereka naiki selanjutnya.
“Berapa lama lagi kamu di rawat disana?” tanya Wynne.
“Aku ngga tau,” jawab Keyrin.
“Oke, karna besok kamu harus di rawat lagi ayo kita senang-senang hari ini! Sampai malam pun bakal aku temenin!” seru Wynne.
Keyrin tersenyum, “Makasih, Wyn!”
“Ayo!” Wynne menarik tangan Keyrin dan melanjutkan aktivitas mereka sore hari itu.
Berapa lama pun akan Wynne lakukan jika itu bisa membuat Keyrin senang.
Malam harinya mereka berdua berjalan di trotoar jalan sambil melihat langit yang tampak banyak bintang. Sangat cantik.
“Aku ngga pernah lihat langit malam yang secantik ini, benar-benar indah,” ucap Keyrin. Wynne mengangguk setuju.
“Oh? Ada bintang jatuh! Katanya kalau ada bintang jatuh terus kita buat permohonan nanti permohonan itu bakal terkabul,” seru Wynne.
“Oh ya?”
“Hm!”
“Kalau gitu aku mau buat permohonan dulu.”
Wynne kemudian menyatukan kedua tangannya dan menutup matanya sambil berdoa dalam hati.
Keyrin tersenyum melihatnya dan berkata, “Semoga penyakitnya bisa cepet sembuh.”
Wynne membuka matanya lalu menatap Keyrin.
“Itu kan permohonan kamu?” ujar Keyrin sambil tersenyum manis.
“Waaah, udara malam ini sejuk banget, cocok buat jalan-jalan kayak gini!” seru Keyrin menghirup udara malam ini dengan dalam.
Wynne terdiam dan tersadar bahwa Keyrin lebih dari kata cantik. Keyrin, sangat indah seperti kumpulan bintang di langit sana.
Dia sangat ingin Keyrin bisa terus hidup lebih lama. Sangat ingin.
Sudah satu jam Wynne menemani Keyrin yang berada di kamar inapnya, menemani Keyrin untuk sekedar mengobrol atau membahas tentang sekolah hari ini.
“Ngga tau, sekolah kayaknya ngebosenin, aku selalu kena hukum,” dengus Wynne dengan kesal.
Keyrin tertawa kecil, “Kamu aja yang bandel, guru ngga mungkin ngehukum murid kalau bukan muridnya yang cari masalah.”
“Iya deh, murid teladan mah beda ya,” ujar Wynne.
“Haha apa sih,” tawa Keyrin.
“Itu buah dari aku jangan lupa di makan.” Keyrin tersenyum kecil dan mengangguk.
“Wyn...”
“Hm? Kenapa?”
“Kamu...apa kamu ngga penasaran pendapat aku tentang kamu?” tanya Keyrin.
“Huh?”
“Menurut kamu, gimana cara aku ngelihat kamu.”
“Uhmm...ngga tau, maybe like a close friends?” balas Wynne.
“Eungh, no.”
“Eh? Terus apa?” Wynne mengerutkan keningnya dengan bingung.
Sedetik kemudian Keyrin tertawa meledek, “Ngga, ngga bakal aku kasih tau!”
“Loh? Kok gitu?!” protes Wynne semakin membuat Keyrin tertawa jahil.
“Mungkin aku bakal nulis jawabannya di buku diary aku, kamu bisa baca itu kalau aku udah ngga ada nanti,” balas Keyrin.
Wynne tertawa canggung, “Ngomong apaan sih.”
Melihat ekspresi Wynne yang berubah jadi datar dan sedih itu membuat Keyrin tersenyum tipis. Mengenal Wynne dan menghabiskan hari-harinya bersama Wynne adalah salah satu kebahagiaan tersendiri untuk Keyrin.
•
Pagi itu Wynne datang ke rumah sakit untuk menemani Keyrin yang mengatakan sangat kesepian karena tidak ada yang menemaninya. Walaupun itu adalah hari sekolah Wynne lebih memilih untuk menemani Keyrin.
Karena itu adalah janjinya untuk memani Keyrin setiap saat.
Wynne membuka pintu kamar inap Keyrin dan mendapati Keyrin yang sedang menari-nari kecil sambil menghadap ke arah jendela.
Lucu. Wynne tertawa kecil melihatanya.
Keyrin tidak menyadari kehadiran Wynne sampai akhirnya dia berbalik dan melihat Wynne yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya.
“Wynne!”
“Hahaha, pagi, Rin!” sapa Wynne.
“Kok ngga bilang-bilang kalau mau kesini!”
“Sengaja, mau kasih kejutan ke kamu.”
“Emang kamu ngga ke sekolah?” tanya Keyrin yang berusaha menghilangkan rasa malunya.
“Ngga, aku bisa kapan aja ke sekolah, tapi buat nemuin kamu...”
“Aku ngga tau kapan bisa ketemu dan lihat kamu lagi jadi setelah kamu ngirim pesan yang bilang kesepian aku lebih milih buat datang kesini,” jelas Wynne.
“Ngga apa-apa kan aku bolos sekolah demi nemenin kamu disini?”
Jujur saja, Keyrin benar-benar sangat terharu dengan ucapan Wynne baru saja. Ingin rasanya dia menangis tapi dia tidak ingin menangis di depan Wynne.
“Kamu bener-bener sepengen itu aku terus hidup?”
“Hm, aku pengen kamu terus hidup.”
Keyrin tersenyum manis, sangat manis.
“Wynne, aku boleh peluk kamu ngga?”
Wynne mengangguk, “Boleh.”
Ia tersenyum lalu berjalan menghampiri Wynne dan memeluknya dengan hangat. Meletakan dagunya di bahu kiri Wynne.
“Makasih udah mau temenin aku selama ini, aku ngga tau apa jadinya kalau kamu ngga ada buat nemenin aku di sisa-sisa waktu hidup aku. Semua waktu yang kamu kasih ke aku selama ini adalah harta karun dan kebahagiaan tersendiri buat aku, makasih ya,” bisik Keyrin.
Wynne membalas pelukan Keyrin dan memeluknya dengan erat. Tidak ada kata yang dia keluarkan selain anggukan kepala.
Maka di hari itu Wynne menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk menemani Keyrin melakukan hal apapun yang dia inginkan.
Pagi itu sebelum menemui Keyrin lagi di rumah sakit Wynne menyempatkan untuk membeli bunga amarilis putih. Keyrin mengatakan padanya bahwa dia menyukai bunga itu jadi hari ini Wynne akan membelikan bunga amarilis untuk Keyrin.
Langkah kakinya sangat bersemangat saat memasuki loby rumah sakit, senyumannya tidak pernah pudar dari wajahnya saat melihat bunga amarilis putih di tangannya.
Dengan perasaan yang amat sangat senang Wynne menuju ke lantai 3 tempat kamar Keyrin berada. Dia terus mencium aroma bunga amarilis yang khas itu, Wynne tidak sabar untuk menemui Keyrin dan memberikan bunga ini padanya.
“Bagaimana bisa saya tidak di beritahu perihal penyakit putri saya?!”
Sebuah suara sentakan membuat Wynne menghentikan langkah kakinya, di depan sana tepat di depan kamar Keyrin ada seorang wanita paruh baya dan juga seorang Dokter yang sedang berdiri.
“Kenapa? Kenapa kalian baru memberitahu saya setelah Keyrin pergi? Kenapa?!” tangis wanita paruh baya itu dengan histeris.
“Atas nama rumah sakit ini saya minta maaf! Saya tidak tau kalau ternyata putri anda tidak pernah memberi tahu tentang penyakitnya ini pada anda.”
Tangan kanan Wynne yang sedang memegang bucket bunga itu terjatuh ke bawah. Langkah kakinya dia percepat.
“Dokter, Key...Keyrin, dia kenapa?” tanya Wynne mengabaikan Ibu Keyrin yang berada di sampingnya.
“Saya mohon maaf karena tidak bisa membantu teman kamu lagi.” Hanya itu yang bisa di ucapkan oleh sang Dokter.
Membuat dunia Wynne hancur seketika. Baru saja kemarin dia menemani Keyrin, baru saja kemarin mereka berdua tertawa bersama, baru saja kemarin Wynne bercanda riang bersama Keyrin.
Sekarang Keyrin pergi, dia pergi setelah berjuang melawan penyakit gagal ginjal kronisnya, dia pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan untuk Wynne dan orang-orang terdekatnya.
Pemakaman Keyrin di adakan hari itu juga dan di datangi oleh semua guru, teman-teman sekelasnya dan juga beberapa murid lain yang mengenalnya dengan baik.
Kedua sahabat dekat Keyrin menangis dengan kencang di depan makamnya tidak percaya jika sosok kesayangan mereka itu pergi untuk selamanya bahkan tanpa mereka tau jika Keyrin menderita penyakit yang cukup serius.
Wynne? Dia memilih untuk mengurung dirinya di dalan kamar tanpa berniat untuk keluar. Rasanya dia tidak sanggup melangkahkan kakinya keluar.
Keyrin sudah pergi tapi dia bahkan tidak berani untuk keluar dan tidak menangis sedikitpun, bukan dia tidak mau menangis tapi dia tidak bisa.
3 hari Wynne mengurung dirinya dalam kamar sampai Nindya datang dan mengatakan bahwa Ibu dari Keyrin ingin menemuinya.
“Wyn, Mamanya Keyrin mau ketemu sama kamu, ada sesuatu yang mau beliau kasih ke kamu,” ucap Nindya.
“Buku diary Keyrin,” lanjutnya.
Tidak ada balasan dari Wynne.
Nindya menghembuskan nafasnya dengan pasrah, mungkin Wynne masih membutuhkan waktu sendiri.
Beberapa saat kemudian pintu kamar itu terbuka dan menampilkan sosok Wynne.
“Wyn—”
“Aku bisa kesana sendiri,” potong Wynne.
“Okay, hati-hati.” Hanya itu yang bisa Nindya ucapkan sebagai temannya.
Dia tidak ingin membuat Wynne semakin sedih lagi.
Dengan pakaian seadanya tetapi tetap rapih, Wynne datang menemui Ibu Keyrin di rumahnya. Saat sampai disana dan di persilahkan untuk duduk Wynne hanya diam menatap meja di depannya.
“Ini buku diary Keyrin, awalnya saya ngga tau siapa nama yang Keyrin tulis di buku diary itu. Gina yang memberitahu saya tentang siapa nama yang ada di dalam diary itu.”
Ibu Keyrin menyodorkan buku diary berwarna biru milik Keyrin pada Wynna. Dengan pelan dia membuka halaman diary itu satu persatu.
'Wynne, aku tau ini agak sedikit terlambat tapi makasih buat semua yang udah kamu lakuin ke aku, nemenin aku kemana aja aku mau, ngabisin waktu bareng aku, makasih banget. Aku senang bisa ketemu dan kenalan sama kamu. Wynne, aku minta maaf kalau aku ngga bisa bilang langsung soal ini ke kamu, aku sayang kamu lebih dari sekedar seorang teman, i like you Wynne'
Tangan Wynne bergetar setelah membaca isi diary itu. Rasanya dia tidak sanggup lagi.
“Tante, maaf kalau saya sedikit lancang, tapi...apa saya bisa menangis? Sekali saja,” tanya Wynne dengan suaranya yang bergetar.
Wanita paruh baya di depannya itu kemudian mengangguk pelan menjawab pertanyaan Wynne.
Dan detik itu juga Wynne menangis dengan kencang. Air matanya yang sempat tertahan selama beberapa hari ini, tangisannya yang tidak bisa keluar sekarang semua itu keluar dengan sendirinya.
Tangisan itu adalah tangisan pertama Wynne untuk seseorang, bahkan saat kakaknya pergi sama seperti Keyrin dia tidak mengeluarkan tangisannya.
Dadanya terasa sangat sesak dan perih, benar-benar seperih itu sampai dia tidak bisa menghentikan tangisannya.
Wynne bahkan belum mengatakan hal yang sama pada Keyrin, Wynne juga ingin mengatakan bahwa dia sangat menyayangi Keyrin walaupun waktu yang mereka habiskan hanya singkat.
Kisah mereka bahkan baru saja di mulai tapi waktu dan takdir berkata lain, membawa salah satu dari mereka pergi jauh untuk selamanya.
End