Sunsine


“Oh! Hello crackhead!” seru Sheren saat melihat Willa baru saja keluar dari kamar mandi.

“Udah lama disini?” tanya Willa.

“Ngga juga sih,” jawab Sheren lalu kembali membaca buku yang dia ambil tadi dari rak bukunya Willa.

“Ohiya, aku belum sempet kasih tau ke kamu kemarin kalau hari ini Kiran gak bisa dateng nemuin kamu, katanya sih udah ada janji sama orang lain,” celetuk Sheren.

“Sama siapa?”

I don't know,” balas Sheren sambil mengangkat kedua bahunya.

Willa menghembuskan nafasnya dengan berat, tentu saja Sheren mendengar itu.

“Kenapa?”

“Ngga, aku cuman ngerasa bersalah aja karna udah cuekin dia kemarin gara-gara rasa kesel aku ke papa,” jelas Willa.

Sheren menutup buku yang dia baca lalu pindah untuk duduk di sebelah Willa.

“Kamu sesayang itu ya sama Kiran?” tanya Sheren. Willa mengangguk pelan.

She's so lucky!” seru Sheren. “Well, itu juga bukan salah kamu sih, dia juga pasti bakal ngerti kok.”

“Semoga aja,” gumam Willa.

“Saingan aku kayaknya berat banget ya, apa aku harus jadi pemain volly juga biar bisa di taksir sama kamu?” celetuk Sheren.

Mendengar itu Willa langsung menoyor kepala Sheren dengan pelan. Kebiasaanya yang satu ini memang tidak pernah hilang sepertinya.

Sheren tertawa kecil, “I'm just kidding, dummy!”

“Salah sendiri pindah ke US ngga bilang-bilang, udah gitu hilang tanpa kabar sama sekali pula,” dengus Willa.

“Waah, jadi maksudnya kalau aku ngga pindah ke US secara tiba-tiba kamu bakal suka sama aku gitu?” canda Sheren.

“Uhmm...maybe?”

Sheren tertawa mengejek lalu melempar bantal sofa pada Willa dengan kencang.

“Ngomong-ngomong handphone kamu dari tadi bunyi, kayaknya sih ada pesan masuk,” ucap Sheren yang kembali melanjutkan bacaanya.

“Kirana, she is very lucky because she can make someone like you open your heart to girls.”

Willa berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke meja belajar untuk memeriksa handphonenya apa benar ada pesan atau tidak.

Baru melihat layar handphonenya saja Willa sudah mengerutkan dahinya bingung, apalagi dengan pesan Ray.

“Pesan dari siapa?” tanya Sheren.

“Nala, Ray sama Yudith,” jawab Willa sambil jari-jarinya mencari aplikasi burung biru itu.

Willa penasaran dengan pesan dari Ray, kenapa ngga boleh lihat twitter? Dan saat aplikasi burung biru itu terbuka disitulah Willa paham.

“Sheren, siap-siap. Kita keluar sekarang,” ucap Willa dengan suara beratnya.

“Huh? Mau kemana?”


Kiran sampai di rumah adik tiri Mamanya atau lebih tepatnya di rumah sepupu kembarnya sambil membawa box pizza ukuran besar.

“Loh? Kiran?” seru Sheila.

“Sore kak Shei ku yang paling cantik!” sapa Kiran dengan gembira dan memeluk kakak sepupunya itu.

“Alen sama Ila ada di rumah kan?”

“Ada, tadi mereka juga udah ganti baju, kalian mau keluar ya?”

“Hah? Aku kesini karna di minta sama mereka berdua, katanya Ila lagi sensi makannya aku kesini sambil bawa pizza pesanannya dia.”

“Lah, pas kakak tanya mereka bilangnya mau keluar bareng kamu,” ucap Sheila.

“Eh, udah dateng lo?” sahut Kalendra yang turun dari lantai atas bersama Kayla.

“Nih, pizza yang lo mau!” ujar Kiran.

“Kasih ke kakak aja, kita bertiga cari makan di luar sekalian quality time,” kata Kayla.

“Ish, tau gitu gue pakai baju yang bagusan dikit,” dengus Kiran.

“Ngapain? Lo udah cantik kayak gini, udah ayo nanti keburu malam!”

Kayla mengambil box pizza dari tangan Kiran dan di berikan pada kakaknya.

“Bilangin ke Mama sama Papa aku sama Kalen keluar bareng Kiran ya, kak!” pamit Kayla.

“Hati-hati!” teriak Sheila.

Melihat pizza di tangannya, Sheila jadi teringat Willa. Dia belum sempat mengucapkan kata selamat atas kemenangan Willa di turnamen kemarin.

Walaupun sedikit kesal Kiran tetap mengikuti kedua sepupunya ini yang membawanya entah kemana, dia juga tidak tau mereka akan mencari makan dimana

“Gue mau nanya sesuatu deh, mumpung lo berdua ada di depan mata gue saat ini!” celetuk Kiran memajukan sedikit badannya ke depan lalu melirik Kayla dan Kalendra yang duduk di samping kiri dan kanan secara bergantian.

“Lo kalau nanya soal Willa gue pukul ya! Jangan nyebut nama dia dulu, gue gak mau mood gue makin ancur,” timpal Kayla yang seolah tau pertanyaan dari Kiran itu apa.

“Kok lo tau sih gue mau nanya soal Willa?” ujar Kiran.

Kalendra tertawa, “Mending lo kali ini ngalah aja, daripada nanti moodnya si Ila makin gak bagus.”

Kiran mendelik, padahal dia hanya ingin membantu jika mereka memang punya masalah. Karna nanti dia sendiri yang akan pusing.

Sekitar 20 menit mencari tempat yang pas untuk mereka habiskan waktu bersama, akhirnya mobil mereka berhenti di salah satu cafe.

Cukup ramai tapi setidaknya cafe ini terlihat sangat besar dan luas. Saat masuk ke dalam cafe ternyata ada cukup banyak orang yang mengenal Kiran bahkan sampai meminta foto bersama dan juga tanda tangan.

Selesai mengadakan jumpa fans dadakan ketiganya memilih untuk duduk di bagian luar cafe dengan tujuan nanti tidak di ganggu oleh fans-fans Kiran.

“Fans lo banyak banget padahal artis aja bukan,” ujar Kalendra.

“Gue kan cantik yah, jadi jangan heran sih fans gue banyak,” timpal Kiran.

“Dih, sombong!” ketus Kayla.

Berbeda dengan Triple K yang sedang tertawa bersama seolah tidak ada beban yang mereka tanggung, Sheren malah merasa hawa-hawa Willa yang sekarang sangat tidak bersahabat.

Dari mereka masuk mobil sampai sekarang mereka tiba di salah satu parkiram cafe yang Sheren juga ngga tau ini dimana, ekspresi Willa itu sudah menyeramkan sangag berbeda saat di rumah tadi.

“Willa, kita sebenarnya mau kemana sih?” sahut Sheren ikut turun dari mobil dan mengekori Willa dari belakang.

“Kamu mau nyari siapa di—oh? Itu Kiran bukan?”

Sheren menunjuk tempat Kiran duduk bersama Kayla dan Kalendra. Kedua mata Willa mengikuti arah telunjuk Sheren.

Benar saja itu Kiran.

Dengan langkah yang terburu-buru Willa mendekat ke arah mereka bertiga, Sheren berlari kecil mengejar Willa.

“Jadi ini orang yang janjian sama kamu?” sahut Willa.

Kiran menoleh, kaget melihat Willa dan Sheren yang berada di belakangnya.

“Wi–Willa? Kok kamu bisa ada disini?”

“Aku udah pernah bilang kan jangan deket-deket sama mereka? Kenapa sekarang malah keluar bareng mereka berdua?” tekas Willa.

“Wil, itu...aku—”

“Ayo, pulang sekarang!” Willa meraih lengan Kiran dan mengajaknya pulang tapi dengan cepat di tahan oleh Kalendra.

“Weits, sabar dong! Lo gak liat dia lagi bareng gue sama Kayla?”

Sheren yang tidak paham dengan situasi antara mereka berempat hanya bisa diam memantau.

“Gue ngga ngomong sama lo, jadi lo diem!” ketus Willa lalu menarik Kiran secara paksa dari sana. Sheren menyusul, Kayla dan Kalendra juga ikut menyusul di belakangnya.

“Willa, tunggu dulu,” ujar Kiran.

“Tunggu apa? Aku kan udah minta kamu buat jauhin mereka, aku udah bilang aku ngga suka liat kamu deket sama mereka berdua, terus sekarang apa? Kamu malah nolak buat ketemu sama aku dan malah pergi keluar bareng mereka!” bentak Willa.

Kiran kaget, karna ini pertama kalinya Willa membentaknya, ini kali pertama juga dia melihat Willa sangat emosi.

“Di saat aku butuh kamu, kamu malah pergi keluar bareng orang lain, kamu lebih milih buat nolak ketemu sama aku dan pergi bareng mereka, kamu pikir aku suka?!”

“Kamu kenapa sih?” kata Kiran.

“Kamu yang kenapa? Udah jelas aku gak suka kamu deket-deket sama mereka, aku—”

“Kamu kenapa? Kenapa aku harus jauh-jauh dari mereka? Kenapa aku gak bisa deket sama mereka? Kenapa?!” potong Kiran.

“Setiap kali aku tanyain kamu soal ini kamu ngga pernah ngasih jawaban yang bener! Kamu marah karna aku jalan keluar bareng mereka tanpa ngasih tau ke kamu tapi kamu sendiri gimana? Kamu bilangnya mau istrahat tapi kamu malah jalan keluar bareng Sheren!”

“Apa aku marah? Engga! Kamu bohongin aku dan itu jauh lebih buat aku kecewa tau ngga!”

“Lo kok ngga sopan banget sih? Kiran tuh lagi bareng kita kenapa malah lo tarik seenaknya?” celetuk Kalendra.

Willa memejamkam matanya mencoba untuk menahan emosinya.

“Lo ngga usah ikut campur!” tekas Willa.

“Harus lah, Kiran perginya bareng gue jadi dia tanggung jawab gue!” timpal Kalendra menarik Kiran kembali.

“Gue bilang lo ngga usah ikut campur anjing!”

Bertepatan dengan teriakannya itu satu pukulan melayang tepat di rahang kiri Kalendra sampai membuat cowok tinggi itu tersungkur di tanah.

“Alen!”

Oh my good Willa! What are you doing?!” Sheren yang kaget langsung menarik Willa menjauh sebelum Kalendra di pukul lagi.

“Willa! Kamu tuh apa-apaan sih?!” teriak Kiran.

“Kamu belain dia? Kamu belain dia daripada aku?!”

“Itu karna kamu yang salah, Willa!”

“Lo kalau kesel karna Papa ngga ngucapin selamat ngga usah main pukul gini dong!” sentak Kayla.

“Kenapa? Lo ngga terima Papa cuman ngucapin selamat sama kita? Lo harusnya sadar Papa ngga pernah nganggap lo sebagai anaknya!”

PYAAAR

Kepala Kiran serasa mau pecah saat itu juga. Dia terdiam seribu bahasa dan menatap Willa, Kalendra, Kayla secara bergantian.

Kiran mulai berfikir dengan keras, Willa yang tidak suka dengan Kayla dan Kalendra. Cerita Nala tentang Willa yang sama sekali tidak pernah akur dengan saudara tirinya begitu juga dengan kedua sepupunya ini yang tidak pernah akur dengan saudara tiri mereka. Sikap dan tatapan Willa yang tiba-tiba menjadi dingin setiap bertemu Kayla dan Kalendra.

Kalendra yang tiba-tiba menanyakan perihal hubungannya Willa dan dia, Willa yang pernah bilang kalau saudara tirinya itu adalah saudara kembar sepasang.

Sekarang dia tau bahwa Kayla dan Kalendra itu saudara tiri Willa yang sering di ceritakan oleh Willa. Kenapa dia bisa tidak menyadari benang-benang merahnya.

Dia harus bagaimana sekarang?

“Jadi ini, saudara tirinya yang di ceritain Willa waktu itu,” batin Sheren menatap Kayla dan Kalendra dengan tajam.

“Karna kita baru kali ini ketemu, aku bakal lupain apa yang udah kamu bilang tadi, tapi lain kali aku pastiin kamu ngga bisa ngomong sembarangan lagi,” sela Sheren sambil tersenyum, menahan Willa agar tidak menyerang lagi.

“Kiran, kamu obatin dulu temen kamu itu, kalau udah selesai langsung nyusul kita aja ya?” ucap Sheren. “Willa biar aku yang urus.”

“Ngga perlu nyusul, lagian aku bukan siapa-siapanya dia,” celetuk Willa lalu pergi meninggalkan mereka.

“Maaf ya, Kiran! Nanti aku chat kamu lagi kalau moodnya Willa udah agak mendingan!” ucap Sheren kemudian berlari menyusul Willa.

“Kenapa....”

“Kenapa ngga pernah bilang ke gue kalau Willa tuh saudara tiri lo berdua?!” teriak Kiran.

“Kenapa lo berdua ngga pernah ngasih tau gue kalau Papanya Willa itu bokap lo berdua juga? Kenapa?!”

“Ran, kok lo jadi marah gini sih? Kita ini sepupu lo!”

“Justru itu! Justru karna lo berdua itu sepupu gue semuanya jadi kacau tau ngga!” bentak Kiran.

“Jadi selama ini....”

“Kata-kata lo tadi udah keterlaluan tau ngga! Lo harusnya ngga ngeluarin kata-kata itu kalau dari sejak lo lahir lo udah dapat kasih sayang dari om Renold!” ucap Kiran.

Kiran memijit keningnya, tidak tau harus bagaimana sekarang. Semuanya jadi rumit.


“Oh! Hello crackhead!” seru Sheren saat melihat Willa baru saja keluar dari kamar mandi.

“Udah lama disini?” tanya Willa.

“Ngga juga sih,” jawab Sheren lalu kembali membaca buku yang dia ambil tadi dari rak bukunya Willa.

“Ohiya, aku belum sempet kasih tau ke kamu kemarin kalau hari ini Kiran gak bisa dateng nemuin kamu, katanya sih udah ada janji sama orang lain,” celetuk Sheren.

“Sama siapa?”

I don't know,” balas Sheren sambil mengangkat kedua bahunya.

Willa menghembuskan nafasnya dengan berat, tentu saja Sheren mendengar itu.

“Kenapa?”

“Ngga, aku cuman ngerasa bersalah aja karna udah cuekin dia kemarin gara-gara rasa kesel aku ke papa,” jelas Willa.

Sheren menutup buku yang dia baca lalu pindah untuk duduk di sebelah Willa.

“Kamu sesayang itu ya sama Kiran?” tanya Sheren. Willa mengangguk pelan.

She's so lucky!” seru Sheren. “Well, itu juga bukan salah kamu sih, dia juga pasti bakal ngerti kok.”

“Semoga aja,” gumam Willa.

“Saingan aku kayaknya berat banget ya, apa aku harus jadi pemain volly juga biar bisa di taksir sama kamu?” celetuk Sheren.

Mendengar itu Willa langsung menoyor kepala Sheren dengan pelan. Kebiasaanya yang satu ini memang tidak pernah hilang sepertinya.

Sheren tertawa kecil, “I'm just kidding, dummy!”

“Salah sendiri pindah ke US ngga bilang-bilang, udah gitu hilang tanpa kabar sama sekali pula,” dengus Willa.

“Waah, jadi maksudnya kalau aku ngga pindah ke US secara tiba-tiba kamu bakal suka sama aku gitu?” canda Sheren.

“Uhmm...maybe?”

Sheren tertawa mengejek lalu melempar bantal sofa pada Willa dengan kencang.

“Ngomong-ngomong handphone kamu dari tadi bunyi, kayaknya sih ada pesan masuk,” ucap Sheren yang kembali melanjutkan bacaanya.

“Kirana, she is very lucky because she can make someone like you open her heart to girls.”

Willa berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke meja belajar untuk memeriksa handphonenya apa benar ada pesan atau tidak.

Baru melihat layar handphonenya saja Willa sudah mengerutkan dahinya bingung, apalagi dengan pesan Ray.

“Pesan dari siapa?” tanya Sheren.

“Nala, Ray sama Yudith,” jawab Willa sambil jari-jarinya mencari aplikasi burung biru itu.

Willa penasaran dengan pesan dari Ray, kenapa ngga boleh lihat twitter? Dan saat aplikasi burung biru itu terbuka disitulah Willa paham.

“Sheren, siap-siap. Kita keluar sekarang,” ucap Willa dengan suara beratnya.

“Huh? Mau kemana?”


Kiran sampai di rumah adik tiri Mamanya atau lebih tepatnya di rumah sepupu kembarnya sambil membawa box pizza ukuran besar.

“Loh? Kiran?” seru Sheila.

“Sore kak Shei ku yang paling cantik!” sapa Kiran dengan gembira dan memeluk kakak sepupunya itu.

“Alen sama Ila ada di rumah kan?”

“Ada, tadi mereka juga udah ganti baju, kalian mau keluar ya?”

“Hah? Aku kesini karna di minta sama mereka berdua, katanya Ila lagi sensi makannya aku kesini sambil bawa pizza pesanannya dia.”

“Lah, pas kakak tanya mereka bilangnya mau keluar bareng kamu,” ucap Sheila.

“Eh, udah dateng lo?” sahut Kalendra yang turun dari lantai atas bersama Kayla.

“Nih, pizza yang lo mau!” ujar Kiran.

“Kasih ke kakak aja, kita bertiga cari makan di luar sekalian quality time,” kata Kayla.

“Ish, tau gitu gue pakai baju yang bagusan dikit,” dengus Kiran.

“Ngapain? Lo udah cantik kayak gini, udah ayo nanti keburu malam!”

Kayla mengambil box pizza dari tangan Kiran dan di berikan pada kakaknya.

“Bilangin ke Mama sama Papa aku sama Kalen keluar bareng Kiran ya, kak!” pamit Kayla.

“Hati-hati!” teriak Sheila.

Melihat pizza di tangannya, Sheila jadi teringat Willa. Dia belum sempat mengucapkan kata selamat atas kemenangan Willa di turnamen kemarin.

Walaupun sedikit kesal Kiran tetap mengikuti kedua sepupunya ini yang membawanya entah kemana, dia juga tidak tau mereka akan mencari makan dimana

“Gue mau nanya sesuatu deh, mumpung lo berdua ada di depan mata gue saat ini!” celetuk Kiran memajukan sedikit badannya ke depan lalu melirik Kayla dan Kalendra yang duduk di samping kiri dan kanan secara bergantian.

“Lo kalau nanya soal Willa gue pukul ya! Jangan nyebut nama dia dulu, gue gak mau mood gue makin ancur,” timpal Kayla yang seolah tau pertanyaan dari Kiran itu apa.

“Kol lo tau sih gue mau nanya soal Willa?” ujar Kiran.

Kalendra tertawa, “Mending lo kali ini ngalah aja, daripada nanti moodnya si Ila makin gak bagus.”

Kiran mendelik, padahal dia hanya ingin membantu jika mereka memang punya masalah. Karna nanti dia sendiri yang akan pusing.

Sekitar 20 menit mencari tempat yang pas untuk mereka habiskan waktu bersama, akhirnya mobil mereka berhenti di salah satu cafe.

Cukup ramai tapi setidaknya cafe ini terlihat sangat besar dan luas. Saat masuk ke dalam cafe ternyata ada cukup banyak orang yang mengenal Kiran bahkan sampai meminta foto bersama dan juga tanda tangan.

Selesai mengadakan jumpa fans dadakan ketiganya memilih untuk duduk di bagian luar cafe dengan tujuan nanti tidak di ganggu oleh fans-fans Kiran.

“Fans lo banyak banget padahal artis aja bukan,” ujar Kalendra.

“Gue kan cantik yah, jadi jangan heran sih fans gue banyak,” timpal Kiran.

“Dih, sombong!” ketus Kayla.

Berbeda dengan Triple K yang sedang tertawa bersama seolah tidak ada beban yang mereka tanggung, Sheren malah merasa hawa-hawa Willa yang sekarang sangat tidak bersahabat.

Dari mereka masuk mobil sampai sekarang mereka tiba di salah satu parkiram cafe yang Sheren juga ngga tau ini dimana, ekspresi Willa itu sudah menyeramkan sangag berbeda saat di rumah tadi.

“Willa, kita sebenarnya mau kemana sih?” sahut Sheren ikut turun dari mobil dan mengekori Willa dari belakang.

“Kamu mau nyari siapa di—oh? Itu Kiran bukan?”

Sheren menunjuk tempat Kiran duduk bersama Kayla dan Kalendra. Kedua mata Willa mengikuti arah telunjuk Sheren.

Benar saja itu Kiran.

Dengan langkah yang terburu-buru Willa mendekat ke arah mereka bertiga, Sheren berlari kecil mengejar Willa.

“Jadi ini orang yang janjian sama kamu?” sahut Willa.

Kiran menoleh, kaget melihat Willa dan Sheren yang berada di belakangnya.

“Wi–Willa? Kok kamu bisa ada disini?”

“Aku udah pernah bilang kan jangan deket-deket sama mereka? Kenapa sekarang malah keluar bareng mereka berdua?” tekas Willa.

“Wil, itu...aku—”

“Ayo, pulang sekarang!” Willa meraih lengan Kiran dan mengajaknya pulang tapi dengan cepat di tahan oleh Kalendra.

“Weits, sabar dong! Lo gak liat dia lagi bareng gue sama Kayla?”

Sheren yang tidak paham dengan situasi antara mereka berempat hanya bisa diam memantau.

“Gue ngga ngomong sama lo, jadi lo diem!” ketus Willa lalu menarik Kiran secara paksa dari sana. Sheren menyusul, Kayla dan Kalendra juga ikut menyusul di belakangnya.

“Willa, tunggu dulu,” ujar Kiran.

“Tunggu apa? Aku kan udah minta kamu buat jauhin mereka, aku udah bilang aku ngga suka liat kamu deket sama mereka berdua, terus sekarang apa? Kamu malah nolak buat ketemu sama aku dan malah pergi keluar bareng mereka!” bentak Willa.

Kiran kaget, karna ini pertama kalinya Willa membentaknya, ini kali pertama juga dia melihat Willa sangat emosi.

“Di saat aku butuh kamu, kamu malah pergi keluar bareng orang lain, kamu lebih milih buat nolak ketemu sama aku dan pergi bareng mereka, kamu pikir aku suka?!”

“Kamu kenapa sih?” kata Kiran.

“Kamu yang kenapa? Udah jelas aku gak suka kamu deket-deket sama mereka, aku—”

“Kamu kenapa? Kenapa aku harus jauh-jauh dari mereka? Kenapa aku gak bisa deket sama mereka? Kenapa?!” potong Kiran.

“Setiap kali aku tanyain kamu soal ini kamu ngga pernah ngasih jawaban yang bener! Kamu marah karna aku jalan keluar bareng mereka tanpa ngasih tau ke kamu tapi kamu sendiri gimana? Kamu bilangnya mau istrahat tapi kamu malah jalan keluar bareng Sheren!”

“Apa aku marah? Engga! Kamu bohongin aku dan itu jauh lebih buat aku kecewa tau ngga!”

“Lo kok ngga sopan banget sih? Kiran tuh lagi bareng kita kenapa malah lo tarik seenaknya?” celetuk Kalendra.

Willa memejamkam matanya mencoba untuk menahan emosinya.

“Lo ngga usah ikut campur!” tekas Willa.

“Harus lah, Kiran perginya bareng gue jadi dia tanggung jawab gue!” timpal Kalendra menarik Kiran kembali.

“Gue bilang lo ngga usah ikut campur anjing!”

Bertepatan dengan teriakannya itu satu pukulan melayang tepat di rahang kiri Kalendra sampai membuat cowok tinggi itu tersungkur di tanah.

“Alen!”

Oh my good Willa! What are you doing?!” Sheren yang kaget langsung menarik Willa menjauh sebelum Kalendra di pukul lagi.

“Willa! Kamu tuh apa-apaan sih?!” teriak Kiran.

“Kamu belain dia? Kamu belain dia daripada aku?!”

“Itu karna kamu yang salah, Willa!”

“Lo kalau kesel karna Papa ngga ngucapin selamat ngga usah main pukul gini dong!” sentak Kayla.

“Kenapa? Lo ngga terima Papa cuman ngucapin selamat sama kita? Lo harusnya sadar Papa ngga pernah nganggap lo sebagai anaknya!”

PYAAAR

Kepala Kiran serasa mau pecah saat itu juga. Dia terdiam seribu bahasa dan menatap Willa, Kalendra, Kayla secara bergantian.

Kiran mulai berfikir dengan keras, Willa yang tidak suka dengan Kayla dan Kalendra. Cerita Nala tentang Willa yang sama sekali tidak pernah akur dengan saudara tirinya begitu juga dengan kedua sepupunya ini yang tidak pernah akur dengan saudara tiri mereka. Sikap dan tatapan Willa yang tiba-tiba menjadi dingin setiap bertemu Kayla dan Kalendra.

Kalendra yang tiba-tiba menanyakan perihal hubungannya Willa dan dia, Willa yang pernah bilang kalau saudara tirinya itu adalah saudara kembar sepasang.

Sekarang dia tau bahwa Kayla dan Kalendra itu saudara tiri Willa yang sering di ceritakan oleh Willa. Kenapa dia bisa tidak menyadari benang-benang merahnya.

Dia harus bagaimana sekarang?

“Jadi ini, saudara tirinya yang di ceritain Willa waktu itu,” batin Sheren menatap Kayla dan Kalendra dengan tajam.

“Karna kita baru kali ini ketemu, aku bakal lupain apa yang udah kamu bilang tadi, tapi lain kali aku pastiin kamu ngga bisa ngomong sembarangan lagi,” sela Sheren sambil tersenyum, menahan Willa agar tidak menyerang lagi.

“Kiran, kamu obatin dulu temen kamu itu, kalau udah selesai langsung nyusul kita aja ya?” ucap Sheren. “Willa biar aku yang urus.”

“Ngga perlu nyusul, lagian aku bukan siapa-siapanya dia,” celetuk Willa lalu pergi meninggalkan mereka.

“Maaf ya, Kiran! Nanti aku chat kamu lagi kalau moodnya Willa udah agak mendingan!” ucap Sheren kemudian berlari menyusul Willa.

“Kenapa....”

“Kenapa ngga pernah bilang ke gue kalau Willa tuh saudara tiri lo berdua?!” teriak Kiran.

“Kenapa lo berdua ngga pernah ngasih tau gue kalau Papanya Willa itu bokap lo berdua juga? Kenapa?!”

“Ran, kok lo jadi marah gini sih? Kita ini sepupu lo!”

“Justru itu! Justru karna lo berdua itu sepupu gue semuanya jadi kacau tau ngga!” bentak Kiran.

“Jadi selama ini....”

“Kata-kata lo tadi udah keterlaluan tau ngga! Lo harusnya ngga ngeluarin kata-kata itu kalau dari sejak lo lahir lo udah dapat kasih sayang dari om Renold!” ucap Kiran.

Kiran memijit keningnya, tidak tau harus bagaimana sekarang. Semuanya jadi rumit.

“Pagi!” seru Kiran saat membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.

“Pagi juga cantik!” balas Willa dengan senyum manisnya.

“Coba lihat sini tangannya.” Willa menyodorkan tangannya pada Kiran.

“Perbannya di ganti kan?” tanya Kiran. Willa mengangguk kecil.

“Masih sakit?”

“Udah ngga kok, kan aku udah bilang ngga usah khawatir,” ucap Willa.

“Aku cuman pengen ngecek aja, kalau makin parah nanti kamu gak bisa ikut turnamennya,” celoteh Kiran.

Willa tertawa kecil, “Hahaha, iya bawel!”

Kiran hanya mendengus pelan saat Willa mencubit hidungnya dengan gemas.

Keduanya turun tepat di depan gerbang sekolah setelah sampai, sebelum turun dari mobil Willa meminta sang sopir untuk menjemput mereka saat pulang sekolah nanti yang kemudian di angguki oleh sang sopir.

“Hari ini pelajarannya apa aja?” tanya Willa.

“Kamu ngga lihat jadwal?” Willa menggelengkan kepalanya dengan asal.

Mau heran tapi ini Willa, jadi Kiran hanya bisa tersenyum kecil lalu menggenggam tangan Willa.

“Jam pertama sih ada Bahasa Indonesia, terus ada Geografis, Sejarah, sama kelas musik,” ujar Kiran menjabarkan satu persatu mata pelajaran kelas mereka hari ini.

“Kelas musik? Asik, bisa main alat musik lagi,” seru Willa.

No! Ngga ada ya, pokoknya kamu ngga usah macem-macem di kelas musik nanti, tangan kamu belum pulih total. Ngga boleh pokoknya!” timpal Kiran sambil menatap Willa dengan seram.

Membantah pun tidak ada gunanya, sudah pasti Kiran akan terus mengawasinya selama kelas musik nanti.

Dari depan gerbang sekolah sampai di dalam kelas Willa menekuk wajahnya dengan malas. Semalam sudah di omeli Nala sekarang Kiran juga terus mengoceh melarangnya untuk melakukan ini itu yang bisa membahayakan tangannya.

“Masih pagi udah kusut aja tuh muka, kenapa lo? Gak di kasih morning kiss sama si Kiran?” canda Ray.

“Mulutnya!” omel Nala.

“Becanda,” kekeh Ray.

Sementara Willa di sambut ketiga temannya dengan senyuman berbeda lagi dengan ketiga teman Kiran. Mereka menatap Kiran dengan begitu tajam, seolah siap untuk memangsanya.

Tapi kembali lagi, mereka tidak berani melawan Kiran.

“Kenapa lo bertiga? Gitu banget ngeliatin gue,” celetuk Kiran lalu duduk di kursinya.

“Ngga usah ngeliatin gue kayak gitu! Gue colok mata lo satu-satu, mau?!” gertak Kiran yang ternyata berhasil.

“Awas aja lo ember ke Nada,” dengus Achel.

Kiran tertawa kecil, ternyata ketiga temannya ini masih dendam padanya perihal yang semalam di grup chat.

“Ngga nyangka gue, ternyata temen-temen gue nih cupu semua,” tawa Kiran.

“Ngga jadi balikan sama Willa baru tau rasa lo, Ran,” ujar Mikha.

“Lo ngomong kayak gitu sekali lagi gue kasih tau Ray lo majang fotonya di loker ruang ganti!” ancam Kiran. “Lo berdua juga!”

Apakah mereka bertiga takut? Tentu saja iya. Kiran kalau sudah dalam mode senggol bacok tidak ada yang berani melawan, termasuk Willa sendiri.


Bel pulang sekolah berbunyi seluruh siswa Kwangya International High School berhamburan keluar dari kelas mereka termasuk Willa, Kiran dkk.

Seperti janjinya semalam, Willa akan mengajak Kiran ke rumahnya untuk melihat kucingnya yang baru saja di beli.

“Kata Willa dia mau ngajak lo main ke rumahnya ya?” sahut Ray. Kiran mengangguk menjawab pertanyaan Ray.

“Gue tau sih lo sama Willa tuh ngga beda jauh kaya nya, tapi nanti jangan kaget ngelihat pekarangan sama rumahnya Willa,” ucap Ray sambil tertawa kecil.

Kiran mengangkat satu alisnya, “Kenapa emang?”

“Soalnya nanti lo bakal ngelewatin hutan, perkebunan buah, air terjun, kebun bunga, dan danau,” timpal Yudith lalu tertawa bersama Ray.

“Ngaco! Ngga usah ngarang!” celetuk Kiran.

“Ngga percaya dia,” tawa Ray.

“Kiran, ayo! Mobilnya udah ada!” panggil Willa yang ternyata sudah berada di depan mereka.

“Nyet, gue duluan ya!” teriak Willa.

“Nyat nyet, lama-lama gue santet juga lo!” ketus Nala.

Mobil jemputan Willa dan Kiran itu kemudian mulai meninggalkan halaman sekolah.

Di dalam mobil Willa menatap handphonenya sambil sesekali tertawa kecil, menarik perhatian Kiran yang penasaran.

“Serius banget, lagi chat-an sama siapa?” sahut Kiran.

“Hah? Ahh ini, lagi chat-an sama temen lama aku,” balas Willa. Kiran mengangguk pelan lalu kembali fokus melihat jalanan.

Melihat respon Kiran yang terlampau santai itu membuat Willa mengalihkan pandangannya pada Kiran.

Karena tidak ingin membuat Kiran merasa kesal, Willa menyimpan handphonenya dan menggenggam tangan Kiran.

“Nanti kamu dateng ngga ke pertandingan aku minggu depan?” tanya Willa membuka topik obrolan.

“Ngga tau sih, pertandingannya bentrok sama jam sekolah kan? Terus juga di hari rabu aku ada ekskul volly,” jawab Kiran. “Pengen dateng, tapi kejauhan juga.”

It's okay, nanti aku kabar-kabarin aja kalau tim kita menang,” ucap Willa.

Kiran tertawa gemas saat Willa memainkan jari-jari tangannya seperti mainan bayi.

Atensi Kiran teralihkan saat mobil mereka melewati gerbang rumah Willa yang cukup besar itu. Seketika mata Kiran melotot kaget melihat pekarangan rumah Willa.

Saat mulai melewati gerbang besar tadi mobil mereka kini melewati hutan-hutan kecil, bahkan ada air terjun mini juga disana. Tidak lama terpampanglah berbagai macam pohon buah, sama seperti yang di katakan Ray dan Yudith tadi.

Melewati perkebunan buah mini itu, kini dia di sambut dengan halaman rumah yang di penuhi berbagai macam bunga, barulah setelah itu mereka sampai di rumah utama.

“Ayo turun, Mama mungkin masih di kantor tapi rumah aku rame kok sama pelayan,” ucap Willa di selingi tawa.

“Aku kira Ray sama Yudith bercanda pas bilang rumah kamu harus ngelewatin, hutan-hutan, kebun buah dan bunga,” celetuk Kiran random.

“Tapi ada satu yang ngga bener sih, kita ngga perlu ngelewatin danau.”

Willa tertawa mendengar ucapan Kiran itu. Sepertinya dia harus sering mengajak Kiran ke rumahnya.

“Ngelewatin danau juga kok, tapi bukan rumah yang utama. Rumah yang satunya lagi, di belakang,” kata Willa sambil menarik Kiran masuk ke dalam rumah.

“Serius ada danaunya?” tanya Kiran.

“Ada, kecil tapi ngga gede banget kok. Sekitar 15 menit dari sini kalau jalan kaki aja, ada lapangam golf juga, kalau kamu mau lihat aku bisa bawa kamu kesana.”

Kiran menggeleng dengan cepat.

Padahal keluarganya juga kaya, termasuk dalam salah satu keluarga terkaya di Indonesia, tapi Kiran masih saja kaget.

Tapi yah di atas Bratadikara masih ada Wirawan.

“Kalau gitu kenapa Papanya malah selingkuh sama perempuan lain? Padahal bisa hidup enak,” gumam Kiran sepelan mungkin agae tidak di dengar oleh Willa.

Keduanya kemudian masuk ke dalam lift menuju ke lantai 2, kamar Willa berada. Kalau yang ini Kiran tidak akan kaget karna rumahnya juga punya lift agar lebih menghemat waktu dan tenaga.

“Ayo masuk, maaf ya kalau agak berantakan. Aku lupa beresin tadi pagi,” ucap Willa membuka pintu kamarnya.

“Ngga apa-apa,” balas Kiran. “Kenapa ngga minta di beresin sama pelayan aja?”

“Aku ngga suka barang-barang aku di pegang sama orang lain, kecuali kamu sama Mama boleh kok.”

“Ck, gombal!” Kiran mendelik.

“Kamu jalan lurus aja, kucing aku ada di sebelah tv.” Kiran mengangguk dengan semangat.

Fakta bahwa dia menyukai kucing memang sudah bukan rahasia umum lagi sebenarnya apalagi untuk Willa. Sejak masih dalam masa-masa pacaran dulu mereka berdua sering pergi ke cat cafe.

Kedua matanya berbinar melihat kucing lucu berbulu putih dan tebal yang berada di kandang itu.

“Ihh gemes kayak kamu!” seru Kiran mengambil kucing itu dari kandangnya dan memeluknya.

“Gemes banget, namanya siapa?”

Willa yang baru kembali dari ruang gantinya itu mendekat dan berjongkok di sebelah Kiran.

“Dia belum punya nama, rencananya sih mau aku namain Kirana,” jawab Willa.

Kiran memelototi Willa saat mendengar jawabannya.

“Bercanda, kamu yang namain dong, aku ngga punya ide buat namain dia.”

“Ini jantan kan yah? Abby aja gimana?”

“Bagus sih, tapi aku kurang suka.”

Kiran kembali berfikir lalu menjentikan jarinya saat menemukan satu nama lagi.

“Milo aja kalai gitu, namanya lucu sama kayak dia.”

Willa tersenyum manis, “Boleh, bagus namanya.”

Willa mengusap-ngusap kepala Kiran dengan gemas.

“Aku ganti baju dulu, sekalian nanti aku cariin baju ganti buat kamu.”

Kiran mengangguk, “Iya.”

Pandangannya tidak lepas dari Milo yang tampaknya senang berada di pelukan Kiran.

“Habis ini nanti gantian peluknya aku, jangan Milo terus. Aku cemburuan orangnya,” sahut Willa lalu berjalan meninggalkan Kiran yang sekarang memandangnya dengan aneh.

Tidak mau ambil pusing Kiran kembali bermain dengan Milo, memijatnya bahkan menciumnnya dengan gemas.

Pintu kamar Willa terbuka menampakkan wujud wanita dengan setelah jas kantor yang masih lengkap.

“Waaah, rumah lagi kedatangan tamu ya?”

Kiran dengan cepat menoleh ke belakang dan menemukan sosok wanita yang mungkin berusia tidak jauh dengan Mamanya.

“Ahh, siang tante! Saya Kiran, teman sekelasnya Willa!” seru Kiran.

“Willa nya kemana? Kok sendiri aja mainnya?”

“Itu—”

“Loh Mama? Kok tumben jam segini udah di rumah?” sahut Willa.

“Kebetulan kerjaan di kantor udah selesai, jadi Mama pulang lebih awal,” balas Mamanya. “Kamu ngga pernah bilang ke Mama kalau punya temen secantik ini!”

Kiran yang mendengar itu merasa malu.

“Kiran, kenalin ini Mama aku dan Ma, ini Kiran. Bukan temen sih Ma, tapi calon pacar!”

“Willa!” semprot Kiran.

Mamanya Willa tertawa pelan melihat Kiran yang memarahi dan memukul Willa.

“Ya ampun, berarti Mama ganggu waktu kalian berdua dong? Aduh, maaf ya sayang tante ngga tau.”

“E—engga kok tante! Willa mulutnya emang suka sembarangan kalau ngomong!” ucap Kiran.

“Haha, yaudah kalian main aja dulu. Mama ke kamar dulu ya sayang!”

“Iya, Ma!”

Setelah Mamanya keluar dari kamar Kiran langsung memukul bahu Willa dengan bantal sofa.

“Kamu tuh yang bener aja dong kalau ngomong!” omel Kiran.

Willa terkekeh, “Aku kan ngasih tau doang ke Mama.”

“Aku malu Willa kalau kamu langsung ngomong gitu!”

“Yaudah iya maaf, ngga lagi-lagi deh,” ucap Willa sambil memeluk Kiran.

“Sekarang gantian peluk aku, biarin aja Milo main sendiri.”

“Kamu kan ngajak aku kesini buat lihatin Milo ke aku,” ucap Kiran.

“Itu alibi aja sih, aslinya aku pengen berdua aja sama kamu,” kata Willa.

“Tapi aku belum ganti baju, Willa!”

“Ngga apa-apa, nanti aja ganti bajunya, sekarang peluk aku juga kayak kamu meluk Milo tadi.”

“Ngga mau, dasar manja!” ketus Kiran.

Mendengar penolakan Kiran itu Willa dengan gemas menggesekkan wajahnya di bahu Kiran membuat si pemilik bahu itu tertawa karena geli.

“Kalau kamu nolak aku gak bakal lepasin pelukan aku loh, serius nih aku!”

“Haha...iya, iya! Manja banget kenapa sih?”

Mau tidak mau Kiran menuruti permintaan Willa itu, tidak lama karena mereka kembali bermain dengan Milo dan juga kucing Willa yang lain.

Puas bermain dengan kucing-kucing Willa, Kiran memperhatikan semua panahan yang terpajang di kamar Willa itu termasuk satu yang sudah rusak.

“Yang itu kok rusak, Wil?” sahut Kiran.

Willa menoleh, “Iya, itu panahan yang di rusak saudara tiri aku. Inget kan malam aku nelfon kamu buat datengin aku?”

Ahh, benar. Malam itu, saat Willa menangis dengan kencang di pelukannya.

“Kenapa ngga kamu buang aja?”

“Itu pemberian dari Papa, ngga mungkin aku buang. Karna aku cuman punya satu barang dari Papa.”

Kiran menyesali pertanyaan bodohnya itu. Seharusnya dia tidak perlu bertanya.

“Permisi non, di bawah ada tamu. Ibu minta non turun sebentar!” sahut salah satu pelayan.

Kiran dan Willa menatap satu sama lain selama beberapa detik.

“Yaudah, nanti saya turun.” Pelayan itu mengangguk paham lalu keluar dari kamar.

“Ayo turun, udah mau jam makan siang juga, jadi sekalian aja!” ucap Willa menarik Kiran untuk turun ke bawah.

Kali ini Willa dan Kiran turun menggunakan tangga, dari atas sini Willa bisa melihat ada seseorang yang sedang mengobrol dengan Mamanya itu.

“Siapa tamunya, Ma?” tanya Willa saat sudah sampai di lantai dasar.

Cewek yang tadinya asik mengobrol dengan Mamanya langsung berbalik saat mendengar suara Willa.

“Willa! I miss you so much crackhead!” teriaknya lalu berlari ke arah Willa dan memeluknya dengan erat.

Crackhead? SHEREN?!” heboh Willa saat tau siapa yang sedang memeluknya ini.

Yes, it's me!”

Willa melepaskan pelukan mereka lalu menatap Sheren dengan seksama dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Why?”

“Ini beneran Sheren? Beneran Sheren Zefanya Pramono? Anak yang rambutnya kuncir dua?” seru Willa. “Terus kacamata kamu juga mana? Kok sekarang malah jadi cantik gini sih?”

Melihat interaksi dua manusia di depannya saat ini membuat Kiran mengerutkan keningnya dengan bingung.

Pertama, dia tidak mengenali siapa cewek yang bernama Sheren ini. Kedua, Willa se-excited itu setelah bertemu dengan Sheren Sheren ini, melupakan dirinya yang masih berada di sebelahnya.

Who's Sheren? Mereka berdua terlihat sangat akrab satu sama lain, seperti sudah saling kenal dengan waktu yang cukup lama.


Setelah menghabiskan makanannya dan meminum obat Kaluna tersenyum kepada perawat serta mengucapkan terima kasih.

“Kalau gini terus kamu pasti bisa keluar dengan cepat,” seru salah satu perawat.

“Semoga aja!” balas Kaluna.

Kedua perawat itu keluar dari kamar Kaluna meninggalkan cewek itu sendiri.

Kaluna meraih buku notes yang di berikan Oceana padanya, membaca kembali 5 alasan kenapa dia harus tetap hidup yang di tulis sendiri oleh Oceana. Tapi alasan kelima belum di tulis lagi oleh Oceana, padahal dia juga ingin tau apa alasan kelimanya.

“Pagi Luna!”

Mendengar suara yang sangat dia kenal itu Kaluna langsung menoleh, benar saja itu adalah Oceana, karena hanya Oceana yang memanggilnya Luna.

“Cea!” seru Kaluna.

“Ayo ganti baju, kita jalan-jalan di luar hari ini,” ucap Oceana yang membuat Kaluna sedikit kaget.

“Jalan-jalan di luar?”

Oceana mengangguk, “Aku pernah janji kan bakal bawa kamu jalan-jalan di luar? Ayo ganti bajunya, aku tunggu di luar ya?”

Kaluna tersenyum dengan lebar tapi sedetik kemudian senyumannya luntur.

“Kenapa?”

“Kalau ngga di ijinin gimana?” tanya Kaluna dengan wajah sedihnya.

“Aku udah ijin kok ke Dokter Fany dan katanya boleh asalkan kita pulangnya ngga malem banget,” jawab Oceana. Kaluna kembali tersenyum lalu mengangguk dengan semangat.

“Oke! Tunggu 5 menit aku pasti udah selesai!” seru Kaluna. Oceana tertawa gemas melihatnya.

“Yaudah, aku tunggu ya.”

Oceana kembali berjalan keluar dari kamar Kaluna dan menunggu Kaluna. Sesekali dia menyapa perawat yang lewat, sudah bukan hal yang baru lagi melihat Oceana di rumah sakit ini karena memang selama sebulan Oceana sering datang kesini untuk sekedar bermain bersama Kaluna.

“Cea, udah!” sahut Kaluna yang sudah siap dengan pakaiannya yang rapih, bukan baju pasien lagi.

“Cantik,” puji Oceana membuat Kaluna tersipu malu.

“Ayo, ada banyak yang harus kamu coba hari ini!” seru Oceana lalu menggenggam tangan Kaluna dan membawanya pergi keluar dari rumah sakit.

Oceana mengajak Kaluna ke tempat-tempat yang mungkin belum pernah di kunjungi oleh Kaluna, mereka juga pergi ke mall untuk bermain di timezone.

“Kita ke timezone, kamu pernah kesana ngga?”

Kaluna mengangguk, “Dulu aku pernah kesana sekali, udah lama aku ngga ke timezone lagi.”

“Berarti udah pas dong yah aku ngajak kamu kesini,” seru Oceana.

Genggaman tangan keduanya tidak pernah lepas bahkan dari saat meninggalkan rumah sakit tadi sampai di timezone.

“Kamu mau main apa?” tanya Oceana.

“Pum it up, boleh ngga?”

“Ya boleh, ayo!” balas Oceana.

Keduanya berjalan menuju tempat pump it up dan bermain dengan semangat. Kadang suara tawa mereka terdengar oleh pengunjung lainnya.

Jujur saja ini adalah hari yang sangat di tunggu-tunggu oleh Kaluna, saat dimana dia bermain lagi dengan leluasa tanpa memikirkan hal yang lain dan dia sangat berterima kasih pada Oceana yang sudah mengajaknya bersenang-senang di luar.

Puas bermain pump it up mereka berdua kembali mencoba permainan yang lain, seperti basket, balapan, tembak-tembakan dan lain sebagianya. Mereka berdua tertawa dengan bahagia melupakan masalah mereka sejenak.

Selesai dari timezone Oceana mengajak Kaluna untuk membeli boneka agar bisa menemani dia tidur di malam hari.

“Cea?” sahut Kaluna.

“Iya?”

“Kamu belum nulis lagi alasan kelimanya apa, masih empat loh,” ujar Kaluna.

“Ohiya bener juga,” gumam Oceana.

“Nanti deh pulang dari kita jalan-jalan hari ini aku kasih tau ke kamu,” ucap Oceana.

“Besok peringatan kematian adik kamu kan? Jangan lupa dateng loh,” kata Kaluna.

“Iya, inget kok,” balas Oceana lalu kembali mengajak Kaluna untuk pergi ke tempat lain setelah memberikan Kaluna sebuah boneka.

Oceana membawa Kaluna membeli makanan di pinggir jalan, Oceana juga membelikan Kaluna es krim mengingat saat itu es krimnya tidak jadi dia kasih karena Kaluna sedang kumat.

Mereka berdua menghabiskan waktu seharian penuh dan mencoba semua yang ingin di coba Kaluna, saat ini mereka berdua sedang duduk sambil menyantap sate di pinggir jalan.

“Habis ini kita balik ya? Udah mulai gelap juga,” ucap Oceana.

Kaluna yang masih sibuk mengunyah itu mengangguk pelan.

“Ngga usah buru-buru juga makannya, tuh malah jadi belepotan gini,” tawa Oceana sambil membersihkan ujung bibir Kaluna yang terkena saus kacang.

“Nih, minum!”

Kaluna meraih botol mimum dari tangan Oceana dan meneguknya dengan pelan. Oceana berdiri dan membereskan sisa makan mereka berdua kemudian membayarnya.

“Ayo pulang,” ucap Oceana mengulurkan tangannya.

Kaluna tersenyum lalu menerima uluran tangan Oceana dan menyisipkan jari-jarinya di ruas jari-jari Oceana.

“Kalau aku udah keluar dari rumah sakit nanti temenin aku terus ya?” ucap Kaluna. Oceana tersenyum tipis dan mengangguk.

“Aku ngga bisa janji, tapi aku bakal berusaha buat temenin kamu,” balas Oceana.

Rasanya Kaluna tidak ingin waktu bergulir dengan cepat hari ini, dia ingin waktu berhenti agar dia bisa terus merasakan perasaan bahagia ini.

Tepat jam 6 sore mereka sampai di depan rumah sakit, itu berarti sudah saatnya Oceana berpamitan pada Kaluna.

“Luna...”

“Iya?”

Oceana mengangkat jari kelingkingnya di depan Kaluna.

“Janji ke aku kalau kamu harus terus bahagia, janji kamu bakal tetep hidup dan tetep bertahan, janji kamu harus kuat, janji kamu ngga boleh nyerah, janji kamu harus bisa ngeraih cita-cita kamu sebagai Dokter Psikolog!” ucap Oceana.

Kaluna tersenyum dan mengaitkan jari kelingkingnya, “Aku janji bakal terus bahagia, aku janji ngga akan nyerah dan terus hidup, aku janji bakal terus kuat, aku janji bakal raih cita-cita aku!”

Setelah mengucapkan janjinya itu Kaluna tertawa kecil.

Oceana melepaskan kaitan jari mereka lalu mendekat ke arah Kaluna. Memberikan kecupan di bibir Kaluna, walaupun sempat kaget Kaluna diam dan membiarkan Oceana menciumnya.

“Alasan kelima kenapa kamu harus tetap hidup...”

It's because i love you!” ucap Oceana dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

Degupan jantung Kaluna berdetak jauh lebih kencang dari hari-hari biasanya. Ini adalah kali pertama ada yang menciumnnya dan juga menyatakan perasaan padanya.

Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya.

Kaluna tersenyum lalu memeluk Oceana dengan erat.

“Makasih buat semuanya, Cea. I love you too,” bisik Kaluna.

Oceana membalas pelukan Kaluna sebelum akhirnya dia lepaskan karena sudah waktunya Kaluna masuk ke dalam.

“Makasih buat bonekanya, aku bakal jaga ini dengan baik. Sampai ketemu besok!” seru Kaluna kemudian masuk ke dalam rumah sakit.

Oceana melambaikan tangannya ke udara menatap Kaluna sebelum akhirnya menghilang dari pandangannya.

“Kamu harus tetap hidup, Luna.”


Pagi ini seperti biasa rumah sakit terlihat ramai oleh para pasien dan perawat. Dokter Fany menyapa para perawat dan pasien yang berpapasan dengannya.

Melihat Kaluna yang pulang dengan perasaan bahagianya semalam membuat Dokter Fany ikut bahagia, Oceana memang membawa pengaruh besar untuk Kaluna.

“Pagi Dokter!” sapa perawat.

“Pagi!” balasnya.

“Berita terkini hari ini, salah seorang nelayan menemukan sosok mayat yang mengapung di tengah laut pagi hari ini. Nelayan tersebut mengatakan bahwa dia melihat mayat itu terombang ambing di tengah laut saat dia kembali dari memancing. Pihak kepolisian langsung menuju ke TKP dan membawa mayat tersebut ke rumah sakit terdekat. Setelah di indentifikasi korban merupakan seorang remaja berusia 19 tahun putri ketiga dari Dion Maheswara, Oceana Maheswara. Sekian dari kami kembali ke studio!”

Berita di tv itu seakan memberikan sambaran petir bagi Dokter Fany dan beberapa perawat yang menonton. Tentu saja mereka mengenal korban yang di beritakan itu. Oceana sangat dekat dengan para perawat disana jadi tidak heran jika mereka mengenalnya.

“O—Oceana...Oceana?” gumam Dokter Fany.

Tidak jauh di depannya ada Kaluna yang ternyata juga mendengar berita dari tv itu, tatapannya kosong, boneka yang di berikan Oceana padanya semalam jatuh dari genggamannya.

Dokter Fany kaget melihat Kaluna yang berdiri tidak jauh darinya, dengan cepat Dokter Fany menghampiri Kaluna dan memeluknya dengan erat, berharap dia tidak kumat lagi.

“Kaluna, dengerin saya...”

“Oceana...dia ngga mungkin pergi kan, Dok? Dia udah janji buat bertahan sama-sama, dia janji bakal ngelaluin semua ini bareng aku, Dok,” ujar Kaluna.

“Sssttt...sssstt, tenang ya? Ada saya disini,” bisik Dokter Fany.

“Oceana ngga mungkin pergi gitu aja, Dok, dia ngga mungkin pergi gitu aja, dia bilangnya cuman mau datengin adiknya hari ini bukan pergi hiks...” tangis Kaluna.

“Dia udah janji bakal temenin aku setelah keluar dari sini hiks...kenapa sekarang malah pergi?” Tangisan Kaluna semakin deras mengingat semua yang sudah dia lakukan bersama Oceana.

“Cea, kamu juga udah janji sama saya buat tetap bertahan, tapi kenapa kamu malah ingkarin janji kamu sendiri? Sekarang lihat, kamu bukan cuman ninggalin saya aja, tapi kamu juga ninggalin Kaluna,” batin Dokter Fany.

“Oceana jahat, dia ninggalin aku sendiri lagi, dia ngingkarin janjinya, Dok. Oceana jahat hiks...” tangis Kaluna.

“Iya dia jahat, dia jahat udah ninggalin kamu dan saya, dia juga jahat karna ngga nepatin janjinya,” ucap Dokter Fany berusaha menenangkan Kaluna. Karna jika Kaluna kumat siapa yang bisa menenangkannya selain Oceana?

“Kamu tenang ya? Ada saya disini, sssttt!” ujar Dokter Fany.

Kaluna masih terus menangia di pelukan Dokter Fany, melampiaskan emosinya saat ini ke tangisan dan memeluk sang Dokter dengan erat.

Baru kemarin dia bisa merasakan bagaimana rasanya di cintai oleh seseorang tapi sekarang Tuhan mengambil orang itu darinya. Setidak pantas itukah dia untuk bahagia? Kenapa Tuhan tega mengambilnya?

.



.

7 Years Later

Wanita berambut hitam legam nan panjang dengan balutan jas putih kebanggannya berjalan sambil menyapa beberapa orang yang berpapasan dengannya.

Senyuman manisnya dia berikan kepada setiap orang yang bertemu sapa dengannya. Kaki panjang itu melangkah masuk ke dalam ruangannya, meletakan tasnya kemudian memeriksa jadwalnya.

“Permisi, Dok?”

“Iya, silahkam masuk!” serunya.

“Hari ini anda ada janji temu dengan beberapa pasien dan kebetulan sudah ada 2 pasien yang datang.”

“20 menit lagi ya, saya belum sempat sarapan pagi dari rumah, tidak masalah kan?”

“Baik, Dok. Tidak masalah, silahkan nikmati sarapan pagi anda dulu. Saya pamit!”

Dokter cantik itu tersenyum ramah pada perawat yang baru saja keluar dari ruangannya.

Iya, Kaluna menepati janjinya untuk tetap hidup dan meraih cita-citanya sebagai Dokter Psikolog walaupun dia harus melewati jalan yang panjang.

Kaluna menepati janjinya pada Oceana untuk jangan menyerah pada mimpi dan hidupnya. Berkat Oceana dia bisa sampai pada titik ini.

“Cea, kamu pasti bangga kan sekarang? Lihat, aku sekarang berhasil ngeraih cita-cita aku, aku juga sekarang punya banyak kucing loh di apartemen,” seru Kaluna sambil menatap langit dari jendela ruangannya.

“Aku berhasil ngelaluin semuanya, setiap kali aku mulai capek aku selalu inget 5 alasan kenapa aku harus tetap hidup. Makasih karna udah buatin itu buat aku.”

“Kamu pasti bahagia kan disana? Terus perhatiin aku dari atas sana ya? Aku bakal terus buat kamu bangga sama aku!” ucap Kaluna dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.

Even from that day until now I still love you and thank you for wanting to love me first.”

I love you Oceana Maheswara. See you in the next life!”

“Sampai kapan aku bilang kalau bukan aku yang bunuh Seana?! Aku juga sayang sama Seana, aku ngga mungkin bunuh adik aku sendiri!” amuk Oceana di depan orang tua dan kedua kakaknya.

Dia sudah lelah karena selalu di tuduh sebagai pembunuh Seana, adiknya sendiri.

“Lo emang ngga bunuh Seana dengan tangan lo, tapi lo penyebab Seana meninggal! Kalau aja lo ngga biarin dia berenang sendiri di laut, kalau aja lo ngga ninggalin dia sendiri disana mungkin Seana masih ada bareng kita disini!” bentak Langit.

“Aku udah larang Seana buat berenang di laut kak, aku gak tau kalau dia bakal nekat berenang sendiri di laut saat aku pergi ke toilet, aku ngga ada maksud buat Seana pergi ninggalin kita,” tangis Oceana.

“Tapi kenyataannya lo lalai sebagai kakaknya, Cea! Lo ninggalin dia dan ngebiarin dia tenggelam disana!” timpal Rainy. “Lo udah buat Seana pergi tau ngga!”

“Sudah cukup! Minggu depan peringatan 2 tahun kematian Seana dan Papa ngga mau denger kalian berantem! Papa ngga mau denger alasan-alasan itu lagi, paham?!” lerai Papanya menghentikan perdebatan ketiga kakak beradik itu.

Oceana berlari menuju ke kamarnya, menumpahkan semua air matanya yang tertahan. Oceana membanting pintu kamarnya dan meringkuk di lantai, memeluk kedua kakinya.

Sakit, rasanya sangat sakit sampai Oceana tidak bisa menahannya lagi.

“Seana, kakak udah ngga tahan lagi, semua orang nyalahin kakak, apa iya kakak yang buat kamu pergi? Kakak minta maaf kalau emang iya kakak yang buat kamu pergi, maafin kakak,” tangis Oceana.

“Maaf ngga bisa jagain kamu, Sean. Kakak minta maaf hiks...”

“Apa kakak harus ikut nyusul kamu biar orang rumah ngga perlu nyalahin kakak lagi? Kakak ngerasa udah ngga ada yang perduli lagi ke kakak, Se.”

Malam itu dimana Oceana berada di titik terbawahnya, dia menangis tanpa henti. Sekuat apapun dia ada saatnya dia tidak bisa menahan semuanya sendiri.


Kaluna terlihat sedang duduk di salah satu bangku panjang yang berada di taman belakang sambil menggambar di buku sketsa pemberian Oceana padanya.

Angin sore itu memberikan ketenangan untuknya dan kabar baiknya adalah kondisinya perlahan mulai membaik, Kaluna sudah tidak pernah mengamuk dengan tiba-tiba lagi, Kaluna sudah bisa mengontrol emosinya dengan baik, luka-luka gores di lengannya juga sudah mulai mengering.

“Lagi ngapain nih?” seruan dari Oceana membuat Kaluna mengangkat kepalanya ke atas dan mendapati Oceana sedang tersenyum ke arahnya.

“Cea!” seru Kaluna yang langsung memeluknya dengan erat.

“Hahaha, kangen banget ya?” tawa Oceana.

“Iya, dari pagi aku nungguin kamu tau,” dengus Kaluna.

“Maaf, aku harus kuliah dulu,” ucap Oceana lalu duduk di sebelah Kaluna.

“Gimana hari ini?” tanya Oceana.

“Jauh lebih dari kata baik!” jawab Kaluna.

“Kamu tau? Dokter Fany muji aku katanya aku udah jauh lebih baik sekarang, emosi aku juga mulai stabil lagi, katanya aku makin kuat juga sekarang haha...”

Oceana tersenyum menatap Kaluna yang terus bercerita dengan semangat. Raut wajahnya juga jauh lebih cerah sekarang.

Kaluna, orang pertama yang berhasil membuat Oceana jatuh hati padanya. Orang pertama yang berhasil membuat Oceana tidak memperdulikan orang-orang di luar sana dan orang pertama yang berhasil merebut hatinya.

Sebulan sejak mereka berkenalan dan berteman membuay Oceana sangat nyaman saat bersama Kaluna, sangat nyaman bahkan lebih nyaman di banding saat dia berada di rumah.

“Orang tua aku semalam datang lagi tapi kamu tenang aja, aku gak akan dengan mudah terpengaruh sama kata-kata mereka. Kamu pernah bilang kalau aku harus kuat kan? Aku harus kuat dan buktiin ke mereka kalau aku bisa, mereka dan dunia harus tau kalau aku jauh lebih kuat sekarang!”

“Bener! Kamu jangan terpengaruh lagi sama omongan-omongan ngga berguna dari orang tua kamu ataupun orang lain, kamu harus tunjukkin ke satu dunia kalau kamu itu kuat sekarang!” ucap Oceana.

“Apa aku juga bisa sekuat kamu, Lun? Apa aku juga bisa terus bertahan kayak kamu?” batin Oceana.

“Cea? Cea!” celetuk Kaluna.

“Hah? Kenapa?”

“Kok ngelamun sih? Ngelamunin apa?”

“Ah, engga. Aku cuman mikir aja, minggi depan peringatan kematian 2 tahun adik aku, apa aku harus ikut juga?”

“Kamu punya adik?”

Oceana tertawa pelan, “Aku belum cerita ya? Iya, aku dulu punya adik setahun di bawah aku. Tapi dia udah meninggal dari 2 tahun yang lalu.”

Mendengar itu Kaluna menjadi sedih, selama ini Oceana selalu menghiburnya saat dia sedih tapi dia bahkan tidak tau kalau Oceana menyimpan kesedihannya sendirian.

“Adik aku namanya Seana, namanya mirip kan sama nama aku? Dia meninggal karena tenggelam di laut.”

“Dan minggu depan itu peringatan kematiannya, aku ngga tau apa aku harus datang atau ngga. Menurut kamu aku harus datang ngga?”

“Harus! Cea, dia adik kamu jadi kamu harus datang. Ngedenger kamu cerita soal adik kamu dengan ekspresi kayak gini aku yakin kamu sayang banget sama dia, bener kan?” ujar Kaluna. Oceana mengangguk kecil.

“Kamu harus datang, dia pasti juga lagi nunggu kamu, soal aku kamu ngga perlu khawatir, aku udah bisa jaga diri aku sendiri kok sekarang.” ucap Kaluna.

“Butuh pelukan?” Oceana menoleh menatap Kaluna yang sekarang merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum.

Oceana ikut tersenyum lalu masuk ke dalam pelukan Kaluna. Hangat, sangat hangat.

Kaluna memeluk Oceana dengan erat sambil sesekali menepuk-nepuk pelan punggungnya. Oceana yang berada di dalam pelukan Kaluna itu menenggelamkan wajahnya di bahu Kaluna.

Untuk kali ini saja apakah Oceana bisa meminta agar waktu di dunia ini berhenti sebentar? Pelukan Kaluna benar-benar membuatnya sangat tenang.


“Cea, kamu udah ngga sering minum obat kamu lagi?” tanya Dokter Fany.

“Kata Dokter kan aku minum obatnya kalau lagi kumat aja, aku lagi gak kumat kok akhir-akhir ini,” jawab Oceana.

“Dokter juga lihat sendiri kan kalau aku baik-baik aja selama main bareng Kaluna akhir-akhir ini?” lanjutnya.

“Cea, Mama kamu nelfon saya dan bilang kamu sering terjaga di malam hari, kamu sering nangis juga tapi setelah Mama kamu lihat besok paginya, obat kamu gak berkurang sama sekali.”

Oceana menundukkan kepalanya dengan dalam, “Aku cuman butuh orang buat dengerin aku, bukan obatnya. Aku cuman butuh orang rumah buat meluk aku di malam hari setiap aku kebangun karna mimpi buruk lagi, tapi gak ada satupun yang datang dan masuk ke kamar.”

“Cuman Blue yang selalu nemenin dan dengerin aku nangis.”

Dokter Fany bangkit dari tempat duduknya lalu berjongkok di depan Oceana dan menggenggam tangannya.

“Cea, kamu lupa kalau dulu kamu pernah cerita ke saya kamu pengen banget jadi seniman? Bikin pameran lukisan punya kamu sendiri? Kamu mau lepasin semua itu?” ujar Dokter Fany.

“Saya tau pasti sulit buat ngelaluin semua ini sendiri, tapi kamu masih punya saya, kamu juga punya Kaluna kan? Kalian sama-sama janji buat ngelaluin semua ini sama-sama kan? Jadi, tolong jangan pernah lewatin buat minum obatnya ya? Jangan nyakitin diri kamu sendiri lagi, kalau Kaluna tau justru kamu yang sering ngelukain diri kamu dia pasti marah.”

Oceana menatap Dokter Fany lalu mengangguk dengan pelan.

“Yaudah sana, Kaluna pasti udah nungguin kamu. Kalau saya ngga sibuk saya bakal gabung bareng kalian,” seru Dokter Fany.

“Makasih Dokter!” ucap Oceana lalu pamit untuk keluar.

Oceana menarik nafasnya dengan dalam kemudian membuangnya sebelum pergi menemui Kaluma di taman belakang rumah sakit.

Akhir-akhir ini Kaluna memang sering menghabiskan waktunya di taman belakang, sebelum Oceana datang dia akan di temani oleh 2 perawat dan memantaunya dari jauh dan saat Oceana datang kedua perawat itu akan pergi karna mereka percaya Oceana bisa menjaga Kaluna.

“Luna!” seru Oceana sambil berlari dengan semangat ke arah Kaluna dan memeluknya sejenak.

“Cea, saran kamu yang kemarin ternyata berhasil!” seru Kaluna.

“Ohya? Saran yang mana? Aku lupa deh,” ujar Oceana.

“Yang itu loh, kalau emosi aku mulai ngga stabil lagi aku harus tarik nafas dalam-dalam dan mikirin sesuatu yang bikin aku seneng terus lampiasin emosi aku ke lukisan aja,” jelas Kaluna.

“Waah, hebat! Sekarang kamu udah bisa kontrol emosi sendiri!” ucap Oceana sambil mengelus kepala Kaluna dengan sayang.

“Kalau boleh tau hal apa yang bikin kamu seneng itu?” tanya Oceana.

“Kamu,” jawab Kaluna yang tatapannya masih fokus pada kucing di depannya.

“Aku?”

“Iya, kamu. Dari awal kita kenalan sampai jadi teman itu bener-bener buat aku seneng, kamu yang selalu ngajarin aku sesuatu yang baru, kamu yang selalu ingetin aku buat jangan nyerah, kamu yang selalu ingetin aku tentang mimpi dan cita-cita aku, semuanya! Semua yang udah kamu kasih dan lakuin ke aku itu kenangan yang bahagia dan selalu bikin aku seneng.”

Oceana tersenyum lembut, seberpengaruh itu ternyata dia buat hidup orang lain.

“Itu karna kita ngga beda jauh dan juga dulu waktu aku masih disini aku gak punya temen sama sekali, jadi pas pertama kali ngelihat kamu aku ngerti perasaan kamu waktu itu. Ngga punta temen buat di ajak main dan ngobrol tuh gak enak, jadi aku ngga mau kamu ngerasain apa yang pernah aku rasain dulu.”

“Kalau gitu kamu berhasil, karna setelah kenal dan temenan sama kamu aku ngga pernah ngerasa kesepian lagi!” seru Kaluna.

“Oh iya dong! Oceana gitu!” ujar Oceana sambil memukul pelan dadanya dengan sedikit bangga.

Keduanya kemudian tertawa bersama, rasanya seperti tidak ada beban lagi.

“Cea, kamu punya cita-cita ngga?”

“Punya, aku pengen jadi seniman. Seniman yang bisa semuanya, aku bisa main musik, nyanyi juga aku bisa terus aku juga pinter ngelukis,” jawab Oceana.

“Ihh, keren! Kata Dokter Fany kalau kita bener-bener nenukin itu pasti bakal terwujud!”

“Kamu udah tau kan kalau cita-cita aku tuh pengen jadi Dokter? Setelah aku pikir-pikir kayaknya bakalan keren kalau jadi Dokter Psikolog, supaya aku bisa bantu orang-orang yang sama seperti kita, walaupun gak bisa ngobatin langsung seenggaknya aku bisa jadi tempat mereka ngeluarin semua keluh kesah dan beban pikiran mereka biar kedepannya mereka gak semakin parah,” ucap Kaluna.

“Aku bisa ngga ya?”

“Pasti bisa dong!” Oceana yang baru akan membuka suara kaget melihat Dokter Fany yang kini berada di belakang mereka.

“Dokter?” celetuk Kaluna sedikit kaget.

“Saya bisa ikut duduk disini kan?”

“Bisa kok, Dok!” balas Kaluna.

Dokter Fany tersenyum lalu ikut duduk di rerumputan bersama Oceana dan Kaluna.

“Ini, saya tadi beli rotinya di depan.” Dokter Fany memberikan roti dan air mineral pada Oceana dan Kaluna.

“Makasih Dokter!” seru Oceana.

“Tadi katanya Kaluna pengen jadi Dokter Psikolog ya?” Kaluna yang sedang mengunyah roti itu mengangguk dengan semangat.

“Kalau boleh tau kenapa nih Kaluna pengen jadi Dokter Psikolog? Waktu itu kan bilangnya pengen jadi pramugari,” ujar Dokter Fany.

“Aku berubah pikiran setelah ngelihat Dokter Fany yang selalu bantuin dan ngerawat pasien-pasien disini. Dari pagi sampai malam Dokter masih terus ngerawat kita sekalipun ada yang sering ngga sengaja mukul atau ngelukain Dokter,” balas Kaluna.

“Aku juga mikir kalau aku jadi Dokter Psikolog mungkin aku bisa bantu orang-orang di luar sana yang sama seperti aku dan Cea. Aku pengen bantu buat ngeringanin beban pikiran mereka juga sebelum jadi lebih parah.”

Dokter Fany tersenyum dengan bangga lalu mengelus kepala Kaluna.

“Kalau gitu Kaluna mulai sekarang ngga boleh nyakitin diri sendiri lagi, harus minum obatnya tepat waktu, harus bisa kontrol emosinya. Saya yakin Kaluna pasti bisa jadi lebih baik dari yang sekarang dan bisa ngeraih cita-cita yang Kaluna mau, jadi harus tetap bertahan, oke?”

Kaluna tersenyum dan mengangguk dengan semangat mengiyakan ucapan Dokter Fany.

“Kamu juga, Cea. Ngga boleh nyerah juga, Kaluna aja bisa sampai sini kan berkat kamu juga!”

Oceana tertawa kecil, “Haha, iya!”

Kaluna dan Oceana kembali tertawa bersama dan bermain dengan kucing-kucing itu sementara Dokter Fany menatap keduanya dengan teduh dan tenang.

Sebagai Dokter dari mereka rasanya dia senang melihat keduanya jauh lebih baik sekarang.

“Cea, kamu udah ngga sering minum obat kamu lagi?” tanya Dokter Fany.

“Kata Dokter kan aku minum obatnya kalau lagi kumat aja, aku lagi gak kumat kok akhir-akhir ini,” jawab Oceana.

“Dokter juga lihat sendiri kan kalau aku baik-baik aja selama main bareng Kaluna akhir-akhir ini?” lanjutnya.

“Cea, Mama kamu nelfon saya dan bilang kamu sering terjaga di malam hari, kamu sering nangis juga tapi setelah Mama kamu lihat besok paginya, obat kamu gak berkurang sama sekali.”

Oceana menundukkan kepalanya dengan dalam, “Aku cuman butuh orang buat dengerin aku, bukan obatnya. Aku cuman butuh orang rumah buat meluk aku di malam hari setiap aku kebangun karna mimpi buruk lagi, tapi gak ada satupun yang datang dan masuk ke kamar.”

“Cuman Blue yang selalu nemenin dan dengerin aku nangis.”

Dokter Fany bangkit dari tempat duduknya lalu berjongkok di depan Oceana dan menggenggam tangannya.

“Cea, kamu lupa kalau dulu kamu pernah cerita ke saya kamu pengen banget jadi seniman? Bikin pameran lukisan punya kamu sendiri? Kamu mau lepasin semua itu?” ujar Dokter Fany.

“Saya tau pasti sulit buat ngelaluin semua ini sendiri, tapi kamu masih punya saya, kamu juga punya Kaluna kan? Kalian sama-sama janji buat ngelaluin semua ini sama-sama kan? Jadi, tolong jangan pernah lewatin buat minum obatnya ya? Jangan nyakitin diri kamu sendiri lagi, kalau Kaluna tau justru kamu yang sering ngelukain diri kamu dia pasti marah.”

Oceana menatap Dokter Fany lalu mengangguk dengan pelan.

“Yaudah sana, Kaluna pasti udah nungguin kamu. Kalau saya ngga sibuk saya bakal gabung bareng kalian,” seru Dokter Fany.

“Makasih Dokter!” ucap Oceana lalu pamit untuk keluar.

Oceana menarik nafasnya dengan dalam kemudian membuangnya sebelum pergi menemui Kaluma di taman belakang rumah sakit.

Akhir-akhir ini Kaluna memang sering menghabiskan waktunya di taman belakang, sebelum Oceana datang dia akan di temani oleh 2 perawat dan memantaunya dari jauh dan saat Oceana datang kedua perawat itu akan pergi karna mereka percaya Oceana bisa menjaga Kaluna.

“Luna!” seru Oceana sambil berlari dengan semangat ke arah Kaluna dan memeluknya sejenak.

“Cea, saran kamu yang kemarin ternyata berhasil!” seru Kaluna.

“Ohya? Saran yang mana? Aku lupa deh,” ujar Oceana.

“Yang itu loh, kalau emosi aku mulai ngga stabil lagi aku harus tarik nafas dalam-dalam dan mikirin sesuatu yang bikin aku seneng terus lampiasin emosi aku ke lukisan aja,” jelas Kaluna.

“Waah, hebat! Sekarang kamu udah bisa kontrol emosi sendiri!” ucap Oceana sambil mengelus kepala Kaluna dengan sayang.

“Kalau boleh tau hal apa yang bikin kamu seneng itu?” tanya Oceana.

“Kamu,” jawab Kaluna yang tatapannya masih fokus pada kucing di depannya.

“Aku?”

“Iya, kamu. Dari awal kita kenalan sampai jadi teman itu bener-bener buat aku seneng, kamu yang selalu ngajarin aku sesuatu yang baru, kamu yang selalu ingetin aku buat jangan nyerah, kamu yang selalu ingetin aku tentang mimpi dan cita-cita aku, semuanya! Semua yang udah kamu kasih dan lakuin ke aku itu kenangan yang bahagia dan selalu bikin aku seneng.”

Oceana tersenyum lembut, seberpengaruh itu ternyata dia buat hidup orang lain.

“Itu karna kita ngga beda jauh dan juga dulu waktu aku masih disini aku gak punya temen sama sekali, jadi pas pertama kali ngelihat kamu aku ngerti perasaan kamu waktu itu. Ngga punta temen buat di ajak main dan ngobrol tuh gak enak, jadi aku ngga mau kamu ngerasain apa yang pernah aku rasain dulu.”

“Kalau gitu kamu berhasil, karna setelah kenal dan temenan sama kamu aku ngga pernah ngerasa kesepian lagi!” seru Kaluna.

“Oh iya dong! Oceana gitu!” ujar Oceana sambil memukul pelan dadanya dengan sedikit bangga.

Keduanya kemudian tertawa bersama, rasanya seperti tidak ada beban lagi.

“Cea, kamu punya cita-cita ngga?”

“Punya, aku pengen jadi seniman. Seniman yang bisa semuanya, aku bisa main musik, nyanyi juga aku bisa terus aku juga pinter ngelukis,” jawab Oceana.

“Ihh, keren! Kata Dokter Fany kalau kita bener-bener nenukin itu pasti bakal terwujud!”

“Kamu udah tau kan kalau cita-cita aku tuh pengen jadi Dokter? Setelah aku pikir-pikir kayaknya bakalan keren kalau jadi Dokter Psikolog, supaya aku bisa bantu orang-orang yang sama seperti kita, walaupun gak bisa ngobatin langsung seenggaknya aku bisa jadi tempat mereka ngeluarin semua keluh kesah dan beban pikiran mereka biar kedepannya mereka gak semakin parah,” ucap Kaluna.

“Aku bisa ngga ya?”

“Pasti bisa dong!” Oceana yang baru akan membuka suara kaget melihat Dokter Fany yang kini berada di belakang mereka.

“Dokter?” celetuk Kaluna sedikit kaget.

“Saya bisa ikut duduk disini kan?”

“Bisa kok, Dok!” balas Kaluna.

Dokter Fany tersenyum lalu ikut duduk di rerumputan bersama Oceana dan Kaluna.

“Ini, saya tadi beli rotinya di depan.” Dokter Fany memberikan roti dan air mineral pada Oceana dan Kaluna.

“Makasih Dokter!” seru Oceana.

“Tadi katanya Kaluna pengen jadi Dokter Psikolog ya?” Kaluna yang sedang mengunyah roti itu mengangguk dengan semangat.

“Kalau boleh tau kenapa nih Kaluna pengen jadi Dokter Psikolog? Waktu itu kan bilangnya pengen jadi pramugari,” ujar Dokter Fany.

“Aku berubah pikiran setelah ngelihat Dokter Fany yang selalu bantuin dan ngerawat pasien-pasien disini. Dari pagi sampai malam Dokter masih terus ngerawat kita sekalipun ada yang sering ngga sengaja mukul atau ngelukain Dokter,” balas Kaluna.

“Aku juga mikir kalau aku jadi Dokter Psikolog mungkin aku bisa bantu orang-orang di luar sana yang sama seperti aku dan Cea. Aku pengen bantu buat ngeringanin beban pikiran mereka juga sebelum jadi lebih parah.”

Dokter Fany tersenyum dengan bangga lalu mengelus kepala Kaluna.

“Kalau gitu Kaluna mulai sekarang ngga boleh nyakitin diri sendiri lagi, harus minum obatnya tepat waktu, harus bisa kontrol emosinya. Saya yakin Kaluna pasti bisa jadi lebih baik dari yang sekarang dan bisa ngeraih cita-cita yang Kaluna mau, jadi harus tetap bertahan, oke?”

Kaluna tersenyum dan mengangguk dengan semangat mengiyakan ucapan Dokter Fany.

“Kamu juga, Cea. Ngga boleh nyerah juga, Kaluna aja bisa sampai sini kan berkat kamu juga!”

Oceana tertawa kecil, “Haha, iya!”

Kaluna dan Oceana kembali tertawa bersama dan bermain dengan kucing-kucing itu sementara Dokter Fany menatap keduanya dengan teduh dan tenang.

Sebagai Dokter dari mereka rasanya dia senang melihat keduanya jauh lebih baik sekarang.

Kehidupan setiap orang itu tidak ada yang tau kecuali dirinya sendiri, tidak terlihat seperti punya masalah bukan berarti dia tidak memiliki masalah sama sekali.

Begitu juga dengan Oceana. Walaupun dia yang lebih sering memberi Kaluna kata penyemangat tapi dia juga nyatanya butuh itu untuk dirinya sendiri.

Di rumahnya dia sering di acuhkan oleh saudara-saudari dan orang tuanya, Oceana juga sering di salahkan atas kematian adiknya 2 tahun lalu. Kehilangan sang adik di usianya yang 17 tahun lalu di tuduh sebagai pembunuh dari sang adik adalah pukulan terbesar untuknya.

Setiap malam Oceana sering menangis sendirian dan juga bermimpi buruk akan peristiwa kematian adiknya tapi tidak ada satupun orang yang mau tau bahkan menghiburnya, justru malah sebaliknya.

“Kalau gitu bisa balikin Seana lagi ngga? Kalau ngga bisa jangan harap gue sama kak Rainy bakal anggap lo ada! Harusnya lo aja yang mati bukan Seana.”

Kalimat itu yang sering kali dia dapat dari sang kakak. Mamanya? Percuma, mamanya emang tidak sekejam kedua kakaknya itu tapi mamanya bahkan tidak mau mendengar kesusahannya.

Oceana depresi karena tekanan dari keluarganya sendiri, beberapa kali dia pernah ingin mengakhiri hidupnya tapi Tuhan masih sayang padanya dengan tidak membiarkannya dia pergi begitu saja.

Setelah berkonsultasi dengan Dokter Fany, Oceana sekarang lebih sering menghabiskan malam buruknya dengan berbicara bersama kucing peliharaannya yang dia beli.

Blue, namanya. Kucing Oceana yang sering menemaninya saat depresinya mulai kumat lagi dan mimpi buruk itu menghantuinya kembali.

“Blue, menurut kamu aku ini kakak yang jahat ngga sih? Kata mereka Seana meninggal karena aku, mereka juga ngga ada yang peduli lagi sama aku, apa aku sebaiknya ikut nyusul Seana aja ya?” ucap Oceana. “Tapi gimana nanti sama Mama? Aku tau walaupun Mama ngga seperhatian ke aku kayak dulu, aku yakin Mama masih perhatian dikit ke aku. Iya kan, Blue?”

Kucing berbulu putih lebat itu mengeong pelang dan mengusap-ngusapkan kepalanya di wajah Oceana.

“Jadi menurut kamu aku nyusul Seana aja atau ngga? Aku capek setiap hari harus mimpiin hal yang sama.”

Tanpa Oceana sadari di balik pintu kamarnya ada sang Mama yang diam-diam selalu berdiri disana menunggu Oceana kembali tertidur.

Mamanya sayang padanya hanya saja kematian Seana meninggalkan luka yang dalam untuk Mamanya dan membuat Mamanya itu sedikit kecewa pada Oceana.


Kaluna terlihat bermain dengan para kucing di taman belakang rumah sakit. Kemarin Oceana memberikan mainan kucing padanya dan sekarang sedang dia gunakan untuk bermain dengan kucing-kucing ini.

“Miauw...haha lucu!” seru Kaluna.

“Kaluna!” sahut Oceana yang datang sambil membawa tas kandang kucing di tangannya.

“Kemarin aku udah janji ke kamu buat kasih lihat kucing aku kan? Nih, aku bawa!” ucap Oceana.

“Ihh lucu banget, bulunya juga lebat! Siapa namanya?”

“Blue.”

“Blue? Hai, Blue! Salam kenal, aku Kaluna!”

“Cea, kucing kamu lucu banget!”

“Kamu mau coba gendong?” ujar Oceana.

“Boleh?” tanya Kaluna.

“Ya boleh, nih, di kamu gendong dulu. Aku mau kasih makan kucing-kucing yang lain.”

Kaluna dengan senang mengambil Blue dari Oceana dan menggendongnya. Bulunya sangat putih bersih dan lebat.

“Aku jadi pengen punya kucing kayak gini juga nanti,” ucap Kaluna.

“Makannya kamu harus tetep hidup, kalau kamu berhasil buat terus bertahan kamu bisa melihara kucing sebanyak yang kamu mau,” seru Oceana.

“Hahaha, iya, aku juga udah mikir-mikir, kalau aku pergi sekarang aku ngga bakalan bisa punya kucing kayak gini nanti.” Oceana tersenyun teduh mendengar ucapan Kaluna.

“Sini, aku juga mau kasih mereka makan!” seru Kaluna yang ikut memberi makan kucing-kucing rumah sakit itu dengan Blue yang masih berada di pelukannya.

Oceana dan Kaluna menghabiskan waktu mereka dengan bermain bersama para kucing.

“Kamu sering ngajak Blue ngobrol ngga?” tanya Kaluna.

“Sering, aku ngajak Blue ngobrol setiap malam kalau aku kebangun karna mimpi buruk atau pas aku lagi down, rasanya semua beban aku ilang setelah cerita ke Blue,” jawab Oceana.

“Gemes, aku jadi ngga sabar pengen bisa melihara kucing setelah keluar dari sini!”

“Kalau gitu kamu harus sering minum obatnya dan kontrol emosi kamu.”

“Jadi kamu harus tetep hidup walau alasan yang satu ini cuman sepele, tapi nanti kamu bakal ngerasa sebagian beban kamu hilang setelah punya kucing dan cerita semua ke dia.”

“Blue, doain aku biar bisa survive kayak babu kamu itu ya? Nanti aku cariin temen baru buat kamu,” ucap Kaluna.

“Kamu juga harus tetep bertahan sampai aku punya banyak kucing nanti, kalau ngga ada tempat yang bisa kamu ceritain tentang masalah kamu, aku siap kok dengerin itu semua. Kita berjuang sama-sama kan?”

Oceana tertawa pelan saat Kaluna menyodorkan jari kelingking padanya.

“Iya, aku pasti nanti cerita!” balas Oceana mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Kaluna.

Pagi ini suasana sarapan pagi di kediaman Maheswara terlihat agak sedikit berbeda dari biasanya, karena Oceana yang tampak lebih bersemangat dari hari biasanya.

Kedua orang tuanya dan kedua kakaknya menatap Oceana dengan aneh.

“Pagi-pagi udah semangat aja, kesambet setan lo?!” ketus Langit, kakak laki-lakinya.

“Papa dapat telfon dari kampus kalau kamu akhir-akhir ini sering ngga masuk kelas, kemana aja?” sahut sang kepala keluarga.

“Paling juga main sama temen-temennya yang suka bolos,” timpal Rainy, sang kakak tertua.

“Oceana, Papa sama Mama udah kuliahin kamu susah-susah, jangan kecewain kita.”

Oceana mendengus kecil, inilah yang dia tidak suka saat berada di rumah.

“Pa, dari awal juga Cea udah bilang kalau Cea ngga cocok sama jurusan yang Papa Mama pilihin. Aku maunya masuk seni, Pa!” ucap Oceana.

“Mama sama Papa sengaja masukin kamu ke jurusan yang sekarang karna itu jurusan impian Seana,” timpal Mamanya.

“Jadi aku di masukin kesana karna Sean?”

“Ngga usah nyalahin Mama atau Papa, ini semua juga karna diri lo sendiri, kalau Sean ngga meninggal karna lo semuanya bakal baik-baik aja sekarang,” tekas Langit.

“Padahal udah ratusan kali aku bilang kalau bukan aku yang bunuh Sean,” gumam Oceana sepelan mungkin.

Sekuat apapun Oceana bertahan pada akhirnya dia hanya memiliki dirinya sendiri.


Oceana kembali menginjakkan kakinya ke rumah sakit seperti hari-hari yang sebelumnya.

“Selamat pagi!” sapa Oceana pada resepsionis.

“Mau ketemu Kaluna lagi?” sahut sang resepsionis yang tampaknya sudah begitu hafal dengan maksud kedatangan Oceana.

“Iya, hahaha. Duluan ya sus!” seru Oceana.

Dengan senyum merekah dan kedua tangannya yang memegang es krim Oceana masuk ke dalam lift, menuju ke lantai 3.

Orang-orang dalam lift menyapa Oceana secara bergantian dan mengucapkan kalimat yang sama seperti resepsionis tadi.

TING

Pintu lift terbuka setelah sampai di lantai 3, Oceana keluar dari dalam lift dan kembali membalikkan badannya.

“Semangat berkerja Dokter-Dokter dan semua perawat!” seru Oceana membuat tenaga medis di dalam lift tertawa.

“Dokter Fany!” Oceana berlari menuju ke arah dokternya itu dengan senyum yang masih mengembang.

“Cea! Pas sekali kamu datang, ayo ikut saya sebentar!”

“Huh? Kenapa?”

Oceana hanya diam saat Dokter Fany menarik lengannya dan berlari menuju salah satu kamar yang begitu familiar untuknya.

“Cea dengerin saya, di dalam sana Kaluna mengamuk lagi, setiap ada yang masuk selalu di lemparin sama semua barang yang ada, kamu bisa kan masuk ke dalam dan tenangin dia?”

“Kaluna...kumat lagi ya, Dok?” lirih Oceana.

“Iya, kayaknya semalam dia lupa buat minum obatnya. Tolong ya?” Oceana mengangguk pelan.

Sedih rasanya saat mendengar bahwa Kaluna kumat lagi, padahal beberapa hari terakhir kemarin dia baik-baik saja.

Oceana membuka pintu kamar dan masuk ke dalam dengan masih membawa es krim di tangannya.

“Kaluna?” sahut Oceana pelan.

“Keluar! Udah aku bilang aku ngga mau ketemu siapapun! Keluar!” teriak Kaluna sambil melemparkan beberapa barang ke arah Oceana.

“Hey, ini aku Oceana!” ujar Oceana.

“Keluar aku bilang!” bentak Kaluna.

“Kaluna, ini aku? Calm down, okay?” seru Oceana. “Lihat, aku bawain es krim buat kamu, kamu pengen makan es krim kan akhir-akhir ini?”

“Keluar hiks...tinggalin aku sendiri tolong,” tangis Kaluna.

Oceana perlahan mendekat ke arah Kaluna, menjauhkan benda-benda tajam yang mungkin bisa saja dia gunakan untuk melukai dirinya sendiri.

“Kaluna ki—Tangan kamu kenapa, Kaluna?!” Oceana seketika menjatuhkan es krim di kedua tangannya dan langsung berlari mendekati Kaluna.

Di lihatnya ada begitu banyak luka gores di lengan kiri Kaluna yang rata-rata masih basah dan mengeluarkan darah segar.

What are you doing?!” tekas Oceana yang dengan cepat mengambil sapu tangannya dari tas dan meletakkannya di lengan kiri Kaluna.

“Cea...hiks kenapa semua orang jahat ke aku? Apa aku udah buat salah? Hiks...kenapa mereka setega ini ke aku?” tangis Kaluna.

“Ssstt ssstt...tenang dulu, ya? Udah jangan nangis lagi,” ujar Oceana menenangkan Kaluna.

“Kamu tenang dulu terus cerita ke aku pelan-pelan, oke?” Sambil menenangkan Kaluna, Oceana membersihkan darah dari lengan Kaluna dengan sapu tangannya.

“Semalam Mama datang jengukin aku bareng sama kakak, aku fikir mereka kesini karna kangen sama aku tapi ternyata ngga, Cea...”

“Mama malah marah-marah dan bilang aku anak yang ngga berguna, kakak juga bilang aku anak yang bawa sial, gila dan cuman bikin malu keluarga, mereka bilang akan lebih baik kalau aku mati aja, Cea,” tangis Kaluna.

Hati Oceana ikut sakit mendengar pengakuan Kaluna itu, benar-benar sakit sampai dia mau marah.

“Emang bener harusnya dari dulu aku mati aja,” lirih Kaluna.

“Hey! Kamu udah lupa apa yang aku bilang pas kita di taman? Kamu udah lupa isi dari notes yang aku tulis buat kamu?” celetuk Oceana.

“Kaluna, di dunia ini semua orang berhak buat hidup, mau serendah apapun derajat kita Tuhan ngga pernah bilang kan kita ngga pantes buat tetap hidup? Kaluna, kamu ngga boleh nyerah gitu aja, karna apa? Karna kamu itu berharga, Kaluna!”

“Kamu itu sangat berharga, lebih berharga dari siapapun di dunia ini, jadi jangan pernah mikir buat menyerah, paham?”

“Hey, lihat aku! Kaluna, look at me! Coba hal apa yang pernah aku bilang ke kamu saat kita di taman?”

Kaluna masih diam dan terseguk pelan.

“Kaluna Anindya?”

“Ada 5 alasan kenapa aku harus tetap hidup dan ngga boleh nyerah, kalau udah mulai capek cukup inget dan di baca lagi,” ucap Kaluna pelan.

That's right! Kamu harus selalu inget itu!” seru Oceana.

“Kalau kamu susah buat ngontrol emosi kamu, cukup inget saran aku ini. Tarik nafas kamu dalam-dalam, pikirin hal yang bikin kamu senang, terus buang nafasnya pelan-pelan, terus di ulangin sampai kamu merasa tenang. Jangan pernah lukain tangan kamu lagi, kamu bisa luapin emosi kamu itu dengan cara lain yang ngga berbahaya, contohnya di tuangin aja ke dalam lukisan, kamu suka ngegambar kan?” Kaluna mengangguk pelan.

“Nah, kamu bisa luapin emosi kamu itu dengan ngegambar kayak biasanya, buku sketsa yang aku kasih masih ada kan? Kamu bisa ngegambar dengan leluasa di situ saat kamu mau luapin emosi kamu, jangan ngegores tangan kamu lagi.”

You are very precious, Kaluna. Katanya mau berjuang bareng aku kan?”

“Maaf,” lirih Kaluna.

“Ngga apa-apa, ini bukan salah kamu juga,” balas Oceana lalu menarik Kaluna ke dalam pelukannya.

“Jangan kayak gini lagi ya? Kamu itu berharga, kamu berharga buat Dokter Fany, kamu berharga juga buat aku, jadi jangan berfikir buat pergi lagi, oke?”

Kaluna yang berada di dalam pelukan Oceana itu mengangguk pelan sambil sesegukan.

“Sekarang kita temuin Dokter Fany dulu ya buat obatin tangan kamu? Nanti bisa infeksi kalau di biarin.”

“Tapi aku takut, kalau Dokter Fany marah gimana?” gumam Kaluna.

“Engga, Dokter Fany ngga bakalan marahin kamu kok,” balas Oceana.

“Ayo.” Oceana menarik Kaluna untuk berdiri dan keluar dari kamar agar luka di tangannya bisa segera di tangani.

Terkadang kalau kamu mulai merasa ngga pantes buat hidup cukup inget, kamu itu berharga jadi jangan sia-siain itu.

Pagi ini suasana sarapan pagi di kediaman Maheswara terlihat agak sedikit berbeda dari biasanya, karena Oceana yang tampak lebih bersemangat dari hari biasanya.

Kedua orang tuanya dan kedua kakaknya menatap Oceana dengan aneh.

“Pagi-pagi udah semangat aja, kesambet setan lo?!” ketus Langit, kakak laki-lakinya.

“Papa dapat telfon dari kampus kalau kamu akhir-akhir ini sering ngga masuk kelas, kemana aja?” sahut sang kepala keluarga.

“Paling juga main sama temen-temennya yang suka bolos,” timpal Rainy, sang kakak tertua.

“Oceana, Papa sama Mama udah kuliahin kamu susah-susah, jangan kecewain kita.”

Oceana mendengus kecil, inilah yang dia tidak suka saat berada di rumah.

“Pa, dari awal juga Cea udah bilang kalau Cea ngga cocok sama jurusan yang Papa Mama pilihin. Aku maunya masuk seni, Pa!” ucap Oceana.

“Mama sama Papa sengaja masukin kamu ke jurusan yang sekarang karna itu jurusan impian Seana,” timpal Mamanya.

“Jadi aku di masukin kesana karna Sean?”

“Ngga usah nyalahin Mama atau Papa, ini semua juga karna diri lo sendiri, kalau Sean ngga meninggal karna lo semuanya bakal baik-baik aja sekarang,” tekas Langit.

“Padahal udah ratusan kali aku bilang kalau bukan aku yang bunuh Sean,” gumam Oceana sepelan mungkin.

Sekuat apapun Oceana bertahan pada akhirnya dia hanya memiliki dirinya sendiri.


Oceana kembali menginjakkan kakinya ke rumah sakit seperti hari-hari yang sebelumnya.

“Selamat pagi!” sapa Oceana pada resepsionis.

“Mau ketemu Kaluna lagi?” sahut sang resepsionis yang tampaknya sudah begitu hafal dengan maksud kedatangan Oceana.

“Iya, hahaha. Duluan ya sus!” seru Oceana.

Dengan senyum merekah dan kedua tangannya yang memegang es krim Oceana masuk ke dalam lift, menuju ke lantai 3.

Orang-orang dalam lift menyapa Oceana secara bergantian dan mengucapkan kalimat yang sama seperti resepsionis tadi.

TING

Pintu lift terbuka setelah sampai di lantai 3, Oceana keluar dari dalam lift dan kembali membalikkan badannya.

“Semangat berkerja Dokter-Dokter dan semua perawat!” seru Oceana membuat tenaga medis di dalam lift tertawa.

“Dokter Fany!” Oceana berlari menuju ke arah dokternya itu dengan senyum yang masih mengembang.

“Cea! Pas sekali kamu datang, ayo ikut saya sebentar!”

“Huh? Kenapa?”

Oceana hanya diam saat Dokter Fany menarik lengannya dan berlari menuju salah satu kamar yang begitu familiar untuknya.

“Cea dengerin saya, di dalam sana Kaluna mengamuk lagi, setiap ada yang masuk selalu di lemparin sama semua barang yang ada, kamu bisa kan masuk ke dalam dan tenangin dia?”

“Kaluna...kumat lagi ya, Dok?” lirih Oceana.

“Iya, kayaknya semalam dia lupa buat minum obatnya. Tolong ya?” Oceana mengangguk pelan.

Sedih rasanya saat mendengar bahwa Kaluna kumat lagi, padahal beberapa hari terakhir kemarin dia baik-baik saja.

Oceana membuka pintu kamar dan masuk ke dalam dengan masih membawa es krim di tangannya.

“Kaluna?” sahut Oceana pelan.

“Keluar! Udah aku bilang aku ngga mau ketemu siapapun! Keluar!” teriak Kaluna sambil melemparkan beberapa barang ke arah Oceana.

“Hey, ini aku Oceana!” ujar Oceana.

“Keluar aku bilang!” bentak Kaluna.

“Kaluna, ini aku? Calm down, okay?” seru Oceana. “Lihat, aku bawain es krim buat kamu, kamu pengen makan es krim kan akhir-akhir ini?”

“Keluar hiks...tinggalin aku sendiri tolong,” tangis Kaluna.

Oceana perlahan mendekat ke arah Kaluna, menjauhkan benda-benda tajam yang mungkin bisa saja dia gunakan untuk melukai dirinya sendiri.

“Kaluna ki—Tangan kamu kenapa, Kaluna?!” Oceana seketika menjatuhkan es krim di kedua tangannya dan langsung berlari mendekati Kaluna.

Di lihatnya ada begitu banyak luka gores di lengan kiri Kaluna yang rata-rata masih basah dan mengeluarkan darah segar.

What are you doing?!” tekas Oceana yang dengan cepat mengambil sapu tangannya dari tas dan meletakkannya di lengan kiri Kaluna.

“Cea...hiks kenapa semua orang jahat ke aku? Apa aku udah buat salah? Hiks...kenapa mereka setega ini ke aku?” tangis Kaluna.

“Ssstt ssstt...tenang dulu, ya? Udah jangan nangis lagi,” ujar Oceana menenangkan Kaluna.

“Kamu tenang dulu terus cerita ke aku pelan-pelan, oke?” Sambil menenangkan Kaluna, Oceana membersihkan darah dari lengan Kaluna dengan sapu tangannya.

“Semalam Mama datang jengukin aku bareng sama kakak, aku fikir mereka kesini karna kangen sama aku tapi ternyata ngga, Cea...”

“Mama malah marah-marah dan bilang aku anak yang ngga berguna, kakak juga bilang aku anak yang bawa sial, gila dan cuman bikin malu keluarga, mereka bilang akan lebih baik kalau aku mati aja, Cea,” tangis Kaluna.

Hati Oceana ikut sakit mendengar pengakuan Kaluna itu, benar-benar sakit sampai dia mau marah.

“Emang bener harusnya dari dulu aku mati aja,” lirih Kaluna.

“Hey! Kamu udah lupa apa yang aku bilang pas kita di taman? Kamu udah lupa isi dari notes yang aku tulis buat kamu?” celetuk Oceana.

“Kaluna, di dunia ini semua orang berhak buat hidup, mau serendah apapun derajat kita Tuhan ngga pernah bilang kan kita ngga pantes buat tetap hidup? Kaluna, kamu ngga boleh nyerah gitu aja, karna apa? Karna kamu itu berharga, Kaluna!”

“Kamu itu sangat berharga, lebih barharga dari siapapun di dunia ini, jadi jangan pernah mikir buat menyerah, paham?”

“Hey, lihat aku! Kaluna, look at me! Coba hal apa yang pernah aku bilang ke kamu saat kita di taman?”

Kaluna masih diam dan terseguk pelan.

“Kaluna Anindya?”

“Ada 5 alasan kenapa aku harus tetap hidup dan ngga boleh nyerah, kalau udah mulai capek cukup inget dan di baca lagi,” ucap Kaluna pelan.

That's right! Kamu harus selalu inget itu!” seru Oceana.

“Kalau kamu susah buat ngontrol emosi kamu, cukup inget saran aku ini. Tarik nafas kamu dalam-dalam, pikirin hal yang bikin kamu senang, terus buang nafasnya pelan-pelan, terus di ulangin sampai kamu merasa tenang. Jangan pernah lukain tangan kamu lagi, kamu bisa luapin emosi kamu itu dengan cara lain yang ngga berbahaya, contohnya di tuangin aja ke dalam lukisan, kamu suka ngegambar kan?” Kaluna mengangguk pelan.

“Nah, kamu bisa luapin emosi kamu itu dengan ngegambar kayak biasanya, buku sketsa yang aku kasih masih ada kan? Kamu bisa ngegambar dengan leluasa di situ saat kamu mau luapin emosi kamu, jangan ngegores tangan kamu lagi.”

You are very precious, Kaluna. Katanya mau berjuang bareng aku kan?”

“Maaf,” lirih Kaluna.

“Ngga apa-apa, ini bukan salah kamu juga,” balas Oceana lalu menarik Kaluna ke dalam pelukannya.

“Jangan kayak gini lagi ya? Kamu itu berharga, kamu berharga buat Dokter Fany, kamu berharga juga buat aku, jadi jangan berfikir buat pergi lagi, oke?”

Kaluna yang berada di dalam pelukan Oceana itu mengangguk pelan sambil sesegukan.

“Sekarang kita temuin Dokter Fany dulu ya buat obatin tangan kamu? Nanti bisa infeksi kalau di biarin.”

“Tapi aku takut, kalau Dokter Fany marah gimana?” gumam Kaluna.

“Engga, Dokter Fany ngga bakalan marahin kamu kok,” balas Oceana.

“Ayo.” Oceana menarik Kaluna untuk berdiri dan keluar dari kamar agar luka di tangannya bisa segera di tangani.

Terkadang kalau kamu mulai merasa ngga pantes buat hidup cukup inget, kamu itu berharga jadi jangan sia-siain itu.