Sunsine


“Oke cukup sekian pertemuan kita pada hari ini sampai ketemu minggu depan!”

“Terima kasih pak!”

“Ohiya, Giselle, tolong habis ini kamu hubungin Karina atau orang tuanya, tanyakan kenapa dia tidak masuk hari ini.”

Giselle mengangguk pelan, “Iya pak!”

Setelah kepergian sang guru Yeji dan Nakyung seketika menoleh ke arah Giselle dengan raut wajah seolah bertanya 'Karina dimana sih?'

“Kemana sih dia? Masa udah ngelewatin kuis dia mau ngelewatin ujian harian juga? UTS bentar lagi dia malah bolos,” sahut Nakyung.

“Ya gue juga gak tau, Kyung. Tadi pagi udah gue chat tapi belom di read juga dari tadi,” balas Giselle.

“Udah nanya ke Winter belum?” tanya Yeji dengan sedikit berbisik.

“Udah, tapi anaknya juga gak tau Karina dimana. Malahan dia tadi mau nitip krimnya Karina ke gue.”

Ketiganya tampak berfikir keras, gak biasanya Karina hilang kabar kayak gini. Biasanya juga kalau gak masuk selalu ngasih tau di grup chatnya mereka.

Sama seperti Giselle, Nakyung dan Yeji, Winter juga sama bingungnya merempet ke khawatir sih sebenernya. Selama kelas berlangsung matanya tidak pernah lepas dari benda pipih persegi yang berada di genggaman tangannya.

Bahkan saat jam istrahat, di laboratorium, dan saat kuis pun tidak sedetikpun pandangan Winter beralih dari benda elektronik itu.

“Kak Karin kemana sih,” gumam Winter.

“Win! Woy, Winter!” celetuk Ryujin.

“H—hah? Kenapa?”

“Udah bel pulang, lo masih mau di kelas apa gimana? Anak-anak lain udah pada bubar noh!”

Winter mengarahkan atensinya pada seisi kelas, benar saja murid-murid yang lain sudah tidak ada dan hanya meninggalkan Winter beserta keempat temannya.

“Lo kenapa sih? Dari tadi pagi sampe sekarang ngeliatin hp mulu?” tanya Ningning.

“Kak Karin ngga masuk hari ini, pesan aku sama kak Giselle juga ngga di respon sama sekali,” jawab Winter dengan raut khawatirnya.

Mereka berempat terdiam lalu saling melirik satu sama lain seolah sedang berkomunikasi menggunakan telepati.

“Lagi males kali, udah ayo nanti keburu hujan makin deres tuh,” timpal Chaeryeong sambil menunjuk keluar jendela dimana hujan sedang turun.

“Kamu pulang bareng siapa, Win?” sahut Minju.

“Sopir, Ju. Udah ada di depan juga!” Minju mengangguk pelan.

Kelima kawan itupun segera berjalan keluar dari ruang kelas menuju ke tempat parkir sekolah yang berada di luar gedung.

“Ketemu besok yoww!” teriak Ryujin yang segera masuk ke dalam mobil Chaeryeong bersama dengan Minju.

“Win, gue duluan ya!” pamit Ningning.

“Iya, Ning, hati-hati!”

Setelah kepergian teman-temannya, Winter masuk ke dalam mobilnya. Baru saja keluar dari pintu gerbang sekolah hujan tiba-tiba saja turun dengan deras membuat beberapa murid memilih untuk berteduh di tempat tempat yang kering.

“Pak, kak Karin ada nelfon bapak ngga hari ini?” tanya Winter.

“Ngga ada tuh, non. Kenapa non?”

“Kak Karin ngga masuk sekolah, Pak. Udah aku chat tapi ngga di bales,” jelas Winter lalu kembali diam menatap jalanan yang sudah di basahi oleh air hujan.

Semenit kemudian ada telfon masuk ke hp Winter, itu nomor rumahnya Karina.

“Iya, halo?”

”....”

“Serius, bi? Terus sekarang kak Karin gimana?”

”....”

“Aku kesana sekarang, tolong jagain kak Karin sampai aku datang yang, Bi!”

Setelah telfonnya terputus Winter segera memberitahu sang sopir untuk ke rumah Karina secepat mungkin. Selama dalam perjalanan Winter terus memainkan jari-jarinya, keadaan saat dimana dia merasa sangat gugup dan ketakutan.

Sesaat setelah sampai di depan pintu utama rumah Karina, Winter dengan cepat turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah.

“Kak Karin dimana?” tanya Winter dengan nafasnya yang tersengal-sengal pada pelayan di rumah.

“Ada di kamarnya, non.”

Dengan tergesa-gesa Winter berlari ke kamar Karina yang berada di lantai 2. Sebelum masuk Winter mengatur nafasnya terlebih dahulu.

Di lihatnya Karina sedang terbaring di tempat tidurnya bersama sang pengasuh yang berdiri di samping bednya.

“Bibi?” panggil Winter sambil menepuk bahunya pelan.

“Loh, non udah berapa lama disini?”

“Baru aja kok, Bi,” balas Winter. “Kak Karin kenapa?”

“Bibi juga gak tau, pagi tadi non Karina emang udah keliatan pucat gitu, non. Terus tau-tau pas pulang udah basah kuyup semua.”

“Bajunya udah di ganti?”

“Udah kok, non. Baru aja bibi ganti.” Winter mengangguk pelan lalu mengambil alih handuk untuk kompresan dari tangan sang pengasuh.

“Biar Winter aja, Bi. Bibi ke bawah aja buatin kak Karin soup,” ucap Winter.

“Siap, non!”

Winter menatap kepergian pengasuh Karina itu lalu duduk di tepi ranjang Karina dengan seragam sekolah yang masih menempel di badannya.

Punggung tangannya ia tempelkan di dahi Karina, panas, itulah yang Winter rasakan. Wajah Karina juga tampak sangat pucat.

Dengan perlahan Winter meletakan kompresan itu di dahi Karina agar tidak membangunkannya, tapi tetap saja kedua mata itu terbuka dengan pelan.

“Kak?” ucap Winter dengan lembut sambil mengelus pelan pipi Karina.

Namun satu kata yang keluar dari mulut Karina membuat ekspetasinya hancur seketika.

“Minjeong?” lirih Karina

Sebisa mungkin Winter tersenyum menanggapi sahutan Karina.

“Iya?”

“Ini beneran kamu?” Karina perlahan bangkit dari tidurnya lalu memegang bahu Winter.

'Apa Karina sedang berhalusinasi sekarang?' itulah pertanyaan yang ada di kepala Winter saat ini.

“I–ini beneran kamu?” ujar Karina dengan matanya yang mulai berair. Winter hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

Seketika tubuh Winter menegang saat Karina yang tiba-tiba saja memeluknya. Jujur saja, ini adalah pertama kalinya Karina memeluknya dan itu terasa sangat nyaman. Sungguh.

“Maaf hiks maafin aku, maaf karna ngga bisa jagain kamu, tolong jangan ninggalin aku lagi, Jeong!” tangis Karina memeluk Winter dengan sangat erat.

Winter membalas pelukan Karina dan mengusap-ngusap punggung Karina dengan halus.

“Ngga, aku ngga akan ninggalin kakak,” bisik Winter. “I'm here, okay?”

Winter tersenyum miris, ia mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di bahu Karina, menumpahkan seluruh tangisannya.

Pelukan Karina, adalah satu dari banyaknya hal yang sangat Winter inginkan. Walaupun Karina memeluk dirinya karena menganggapnya sebagai Minjeong, tidak apa-apa.

Karena Winter sangat ingin mendapat pelukan dari Karina meski hanya sesaat.


Terhitung sudah 4 hari semenjak kejadian di makam waktu itu baik Karina dan Winter tidak pernah bertemu face to face bahkan sekalipun di sekolah.

Winter sudah tidak pernah menghubungi Karina —karena masih belum berani— dan Karina pun tidak pusing akan hal itu.

“Masih belum baikan lo berdua?” seru Yeji menatap Giselle dan Karina secara bergantian.

“Males gue baikan sama orang kayak dia,” sahut Giselle cuek dan terus mengerjakan bagiannya.

Giselle, Karina, Yeji dan Nakyung saat ini berada di rumah Karina untuk menyelesaikan tugas kelompok mereka.

Nakyung mendengus kecil, “Lo berdua kayak anak kecil tau ngga, kalau punya masalah tuh di selesain baik-baik bukan malah diam-diaman kayak gini.”

“Ceramahin temen lo aja, Kyung. Gue sih ngga ngerasa punya salah, dia-nya aja yang baperan,” timpal Karina.

Mendengar hal itu seketika Giselle menatap tajam Karina yang duduk tepat di depannya.

buk

Bantal sofa itu melayang tepat di wajah Karina dengan cukup keras hingga membuat si korban meringis.

“Apa sih! Gue diam aja padahal!” omel Karina.

“Itu buat lo yang suka gak sadar diri, atau mau gue tambah lagi?” sungut Giselle.

“Tuh, liat! Temen lo ini aja yang gak jelas,” ucap Karina.

Yeji dan Nakyung yang duduk di antara keduanya hanya bisa menggelengkan kepala mereka.

“Emang bener apa kata orang, cewek kalau berantem tuh ribet gak ada yang mau ngalah,” cicit Nakyung.

“Btw, Gi, lo udah mukul kepalanya Karina belum?” sahut Yeji tiba-tiba setelah dia teringat akan cuitan Giselle di twitter beberapa hari yang lalu.

“OH IYA BENER!” celetuk Giselle

“Yeji!” tegur Nakyung.

“Gue kan cuman nanya, Kyung. Lagian kan dia minta di ingetin,” balas Yeji jujur.

Karina tidak paham apa yang sedang di bicarakan oleh ketiga temannya ini sampai akhirnya satu pukulan keras melayang di kepalanya membuat Karina berteriak dengan kesal.

THE HELL GISELLE! WHAT ARE YOU DOING!” teriak Karina. “SAKIT ANJING!”

“Kemarin gue lupa buat mukul lo dan mumpung kita lagi ngumpul jadi sekalian aja gue pukul lo sekarang,” ucap Giselle santai kemudian kembali duduk di tempatnya yang tadi.

Thank's Ji, karna udah di ingetin.” Yeji mengedipkan satu matanya dan memberikan jempol pada Giselle.

“Bangsat, kalau gue geger otak gimana?!” amuk Karina.

“Ya bagus, kalau perlu sih lo amnesia juga sekalian biar gak bikin orang lain sakit hati sama kelakuan dan kata-kata lo,” balas Giselle. “Itu sakitnya belum seberapa loh? Itu mah cuman sakit fisik doang, masih bisa ilang rasa sakitnya.”

Mengerti akan ucapan Giselle, Karina hanya diam dan menatapnya dengan tajam.

“Udah gak usah di terusin lagi berantemnya, lama-lama lo berdua yang gue hajar!” lerai Nakyung. “Buruan kerjain bagian kalian masing-masing!”

Mereka bertiga langsung menuruti ucapan Nakyung sebelum cewek berkepala kecil itu benar-benar akan menghajar mereka.

Sementar itu di dapur Maminya Karina sibuk membuatkan cemilan untuk putri dan teman-temannya dengan di temani oleh Winter sejak 10 menit yang lalu.

“Kemarin Mami ngga sempat buat nemuin kamu, maaf ya sayang,” ucap Tiffany.

“Ngga apa-apa, Mi. Pasti Mami juga capek habis dari penerbangan jauh,” balas Winter.

Tiffany tersenyum manis, “Gimana kamu sama Karina? Baik-baik aja?”

“Aah...itu, baik-baik aja kok, Mi!” ujar Winter.

“Bener? Kamu ngga perlu takut ngomong ke Mami kalau Karina ngelakuin hal yang buruk sama kamu.”

Winter tersenyum simpul, teringat akan kejadian di makam saat itu. Winter bukannya takut tapi dia tidak ingin Karina semakin membencinya jika dia mengatakan hal ini pada Tiffany, sudah pasti Karina akan di marahi oleh Maminya dan jika itu terjadi Karina akan semakin membencinya.

Winter tidak ingin itu terjadi.

“Bener kok, Mi. Semuanya baik-baik aja,” ucap Winter tersenyum untuk meyakinkan Tiffany.

“Syukur kalau gitu,” ucap Tiffany lega. “Yaudah, ini kamu tolong anter cemilannya ke kamar Karina ya? Ada temen-temennya yang dateng buat kerja kelompok.”

Mendengar itu membuat Winter kaget, dia belum siap jika harus bertemu Karina sekarang apalagi di depan teman-temannya. Kadang Winter lupa kalau Tiffany tidak tau Karina dan dia merahasiakan hubungan mereka dari seluruh murid di sekolah, yang tahu hanyalah Giselle dan Ningning.

“Winter? Kok ngelamun? Kamu ngga apa-apa?”

“Aahh, i–iya Mi? Iya, aku anterin sekarang!” celetuk Winter dan langsung membawa nampan itu ke kamar Karina di lantai atas.

'Tuhan, kali ini aja tolong jangan bikin aku kena masalah lagi'

Winter menarik nafasnya sebelum melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar Karina.

Tok Tok

“Eumm, pe–permisi! I–ini ada cemilan dari Mami buat kakak,” ucap Winter meletakan nampannya sambil menundukkam kepalanya.

“Mami?” gumam Yeji.

“Loh, Winter?” gumam Nakyung yang juga sama kagetnya seperti Yeji saat melihat keberadaan Winter di kamar Karina.

Gimana bisa?

“Makasih ya, Win!” seru Giselle.

“Kalau gitu aku balik ke bawah dulu kak.”

Dengan terburu-buru Winter segera keluar dari kamar Karina sebelum hal yang tidak dia inginkan terjadi.

“Ngga usah bengong gitu, makan aja tuh gorengannya!” celetuk Karina menyadarkan Yeji dan Nakyung dari lamunannya.

“Kok Winter bisa ada di rumah lo? Kalian saling kenal? Kok di sekolah kayak orang ngga saling kenal sih?” tanya Yeji sambil mengambil satu gorengan dan mengunyahnya.

“Iya, kok gue gak tau kalau lo kenal Winter?” timpal Nakyung.

“Iyalah kenal, orang Winter tunangannya Karina kok,” ucap Giselle dengan santai tanpa sadar bahwa dia baru saja melakukan satu kebodohan.

Nakyung dan Yeji terdiam membatu, tangan Nakyung yang memegang gorengan terhenti tepat di depan mulutnya, begitu juga dengan kunyahan Yeji yang berhenti setelah mendengar kalimat Giselle.

Karina? Dia melotot kaget ke arah Giselle, menatap temannya itu dengan penuh amarah.

“Eh? Gu–gue....gue baru aja ngomong apaan tadi?” cicit Giselle setelah menyadarinya.

“Winter...Winter tunangannya Karina,” ulang Nakyung.

Dengan cepat Giselle langsung menatap Karina yang sekarang sedang mengatupkan kedua rahangnya.

“Rin, sumpah gue ngga sengaja, serius! Gue—”

Karina langsung menyumpal mulut Giselle dengan memasukan 2 gorengan yang baru saja di antarkan oleh Winter tadi lalu memukul kepala Giselle dengan bantal sofa.

“KARIN SERIUS GUE NGGA SENGAJA!”

“HARUSNYA GUE NGGA USAH PERCAYA SAMA LO GISELLE MONYET!

“GUE NGGA SENGAJA!”

Langkah Winter terhenti mendengar suara teriakan dari lantai atas itu lalu memiringkan kepalanya berfikir mungkin itu hanya perkelahian kecil seperti yang sudah-sudah antara Giselle dan Karina.


Beberapa murid heboh dengan postingan Karina pagi tadi, sebagian dari mereka patah hati dan sebagiannya lagi heboh karena merasa tidak asing dengan cewek yang ada di dalam foto itu.

It's kinda familiar

Tapi lebih heboh Ryujin dkk saat melihat Ningning yang meninggalkan komentar di postingan Karina. Dari sejak dia masuk ke dalam kelas sampai bel pulang berbunyi teman-temannya terus menanyakan hal yang sama padanya.

“Lo kenal kak karina? Kok bisa?”

Tapi Ningning hanya diam tidak menggubris ocehan Ryujin dan Chaeryeong.

“Udah ya, gue sama Winter lagi buru-buru. Nanti aja ceritanya, bye!” ucap Ningning lalu menarik lengan Winter keluar dari dalam kelas.

“Kalian berdua malah heboh sama komentarnya Ningning, padahal ada yang lebih bikin penasaran,” timpal Minju.

“Apaan?” tanya Chaeryeong.

“Cewek yang ada di foto bareng kak Karina itu, kalian ngerasa gak sih kalau mukanya tuh agak familiar?”

Familiar gimana maksudnya?”

“Kayak mirip seseorang, Ryu.”

“Ya iya mirip siapa, Minju!” ujar Ryujin gemas.

Minju cukup lama menatap kedua temannya, “Winter.”

Giliran Ryujin dan Chaeryeong sekarang yang terdiam mematung sambil otak mereka memproses apa yang baru saja di katakan Minju.

Sementara itu di koridor Yeji terus mengoceh membuat Karina dan Giselle kesal.

“Lo tau Jihoon kan, Rin? Anak kelas sebelah? Dia tadi nanyain lo terus ke gue soal foto yang lo posting pagi tadi,” sahut Nakyung. “Patah hati sih kayaknya dia.”

“Jadi itu pacar lo apa mantan pacar lo?” timpal Yeji.

“Apa sih! Dia bukan mantan pacar gue!” omel Karina.

“Berarti pacar dong?”

“Ck, ngga juga!”

“Terus?”

“Ah udahlah, bacot banget lo dari tadi!” amuk Karina yang hanya di tertawai oleh Giselle dan Nakyung.

“Ayo buruan, nanti kita telat!”

“Iya-iya, buru-buru amat sih buk!” canda Giselle menyusul Karina yang sudah berjalan lebih dulu.

“Gue sama Karin duluan, kapan-kapan aja kita main berempat. Bye, rakyat jelataku!” teriak Giselle.

“Monyet!” balas Yeji.


Winter sudah siap dengan pakaian serba hitamnya, dia duduk dengan rasa gugupnya. Bahkan sejak meninggalkan halaman rumahnya Winter terus memainkan jari-jarinya, keadaan saat dimana dia merasa gugup.

“Ngga usah gugup gitu, kita mau ketemu sama kakak lo bukan sama malaikat maut,” ucap Ningning.

“Aku takut aja kita nanti pas-pasan sama kak Karin,” gumam Winter.

“Ya terus kenapa? Win, ngga selamanya lo bakal sembunyi-sembunyi terus.”

Winter hanya menundukkan kepalanya dan menghembuskan nafasnya dengan berat.

“Udah tenang aja, ada gue bareng lo. Jangan kusut gitu muka lo, masa mau ketemu kakak lo malah kayak gitu ekspresinya!”

Mendengar itu Winter mengangkat kepalanya kembali dan menatap Ningning dengan seulas senyum.

“Mama sama Bunda kapan baliknya?” tanya Ningning.

“Besok katanya,” jawab Winter.

Ningning menganggukkan kepalanya, tidak ingin mengajak Winter banyak mengobrol lagi karna dia tahu temannya itu sedang panik sekarang.

15 menit setelahnya mereka berdua sampai di tempat pemakaman umum, terlihat raut cemas dan gugup dari wajah Winter. Mengerti akan hal itu Ningning dengan cepat meraih tangan Winter dan menggenggamnya dengan erat.

“Gapapa, santai aja,” ucap Ningning.

Winter hanya diam sambil mengikuti langkah Ningning dari belakang.

“Nah, udah sampe!” seru Ningning. “Gue ngga tau bunga kesukaan lo itu apaan, jadi jangan protes kalau tiap tahun gue bawa bunga yang beda terus.”

Winter terkekeh pelan mendengar ucapan Ningning lalu menaruh bunga lily putih di makam saudarinya.

“Udah 3 tahun rumah sunyi, tapi ngga apa-apa, ada Ningning yang bikin rumah rame lagi,” ucap Winter.

“Iyalah, gue kan anaknya Mama sama Bunda juga!” celetuk Ningning.

“Aku juga udah baca semua surat-surat yang kamu tulis buat aku. Makasih!”

Ningning menatap Winter yang tersenyum tipis sambil mengelus batu nisan yang terukir nama Kim Minjeong.

Cukup lama terdiam, keduanya di kagetkan dengan lengan seseorang yang meletakan bunga lily putih di atas makam.

“Hai, kirain tadi masih di rumah!” sapa Giselle dengan senyum lebarnya.

“Kakak kapan sampainya?” tanya Winter.

“Baru aja, tadi harus jemput Karina dulu!” Winter mengangguk paham.

“Kalau gitu aku sama Ningning balik duluan ya kak,” ucap Winter.

“Loh? Kok cepet banget? Gak mau bareng aja?”

Winter sekilas menatap Karina yang masih diam melihat makam di depannya.

“Ngga usah kak, aku sama Ning duluan aja.”

“Kenapa?”

Suara berat itu menghentikan langkah Winter dan Ningning yang akan beranjak dari sana.

“Kenapa cepet banget pulangnya? Apa karna lo takut? Takut ngeliat orang yang lo buat mati?”

“Karin! Ngomong apa sih lo!” tekas Giselle.

“Atau lo takut ngebayangin yang seharusnya ada di dalam sana itu lo?”

“Kak, omongan lo bisa di jaga ngga?!” tegur Ningning kesal.

“Ma–maaf...” gumam Winter.

“Maaf lo ngga bisa bikin Minjeong balik lagi! Maaf lo ngga bisa ngubah kenyataan kalau penyebab Minjeong meninggal itu lo!”

“Karina, diem! Win, yaudah kamu pulang aja ya, nanti ketemu di sekolah besok,” ujar Giselle.

“Apa sih, Gi! Ini semua tuh salahnya dia! Salah dia Minjeong meninggal!” desis Karina.

“Karina, it's not her fault! Can't you stop it?”

“Ngga! it's her fault! Kalau aja Minjeong ngga pergi ke bandara buat jemput dia, Minjeong masih ada sampai sekarang!” amuk Karina.

“Lo mau tau kenapa gue ngga pernah suka sama lo? Itu karna yang buat gue kehilangan Minjeong dan harus terpaksa nerima pertunangan bodoh itu ya lo! Semua karna lo! Harusnya gue gak perlu dengerin kata Mami buat gak ngasih tau lo kalau Minjeong di tabrak di bandara waktu dia mau ngejemput lo!”

“Lo, penyebab kenapa Minjeong berakhir disini!”

“Karina, gue bilang stop!” bentak Giselle.

“Harusnya lo emang ngga perlu datang waktu itu, harusnya lo ngga perlu ada di kehidupan gue dan Minjeong!”

PLAK!

Satu tamparan keras melayang di pipi kanan Karina dengan mulus. Bukan Winter ataupun Giselle pelakunya, tapi Ningning.

Stop ngomong yang ngga masuk akal ke Winter! Gue tau lo emang ngga pernah suka sama Winter, kak, tapi bukan berarti lo bisa ngomong seenaknya kayak tadi!” ucap Ningning.

“Kalau emang kakak ngga suka dan ngga mau pertahanin status kakak sama Winter yang sekarang, cukup minta aunty Tiffany buat ngeakhirin semuanya!”

Setelah mengatakan hal itu Ningning dengan cepat menarik Winter untuk pergi darisana sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi lagi.

Winter terus diam, bahkan setelah berada di dalam mobil pun Winter tetap diam. Rasanya sangat sakit, saking sakitnya Winter tidak bisa mengeluarkan air matanya.

“Win, dengerin gue! Lo jangan dengerin apa kata kak Karin tadi, itu semua—”

“Bener. Itu semua bener,” potong Winter. “Iya kan?”

Ningning menggeleng dengan tegas, “No, it's not your fault!”

“Kak Karin bukan orang yang suka bohong, Ning. Ini semua emang salah aku, aku bahkan ngga tau kalau waktu itu Minjeong datang buat jemput aku di bandara.”

It's my fault! Minjeong meninggal itu semua karna aku, Ning,” tangis Winter pecah setelah tadi berusaha ia tahan. Terlalu sakit untuknya menahan semuanya.

“Sssttt, it's not your fault. Tolong jangan nyalahin diri kamu sendiri,” bisik Ningning sambil memeluk Winter dan mengusap-ngusap punggung Winter agar kembali tenang.

'Minjeong, maaf. Ini semua emang salahku, maaf'


“Kok kantin rame banget sih? Tumben amat?” celetuk Yeji.

“Sumpah gue lapar, tapi ini manusia-manusianya gak mau berkurang dikit gitu dari sini?” ucap Nakyung.

Karina hanya memandang kesal ke arah Giselle. Seharusnya temannya ini menyetujui idenya untuk makan di luar sekolah saja.

“Ck, liat kan? Udah gue bilang kita makan di luar aja, keras kepala sih lo!” omel Karina pada Giselle.

“Ya ma–eh? Itu kan Minju!” ujar Giselle saat melihat salah satu teman Ningning itu berlari mendekati kerumunan di tengah kantin.

“Kok lari? Mau nerobos masuk apa gimana?”

Keempatnya masih terdiam di tempat sampai ada satu suara yang membuat mereka menoleh ke belakang.

“MINGGIR! MINGGIR LO SEMUA SEBELUM GUE PATAHIN KEPALA LO SATU-SATU!”

Iya, itu suara Ryujin yang juga ikut berlari sama seperti Minju tadi di ikuti dengan kedua temannya di belakang.

“Perasaan gue kok gak enak ya,” seru Nakyung.

“Yang! Ada yang ribut lagi di tengah kantin!” teriak seseorang yang muncul dari kerumunan para murid, siapa lagi kalau bukan Lee Chaeyoung.

“Udah gue duga, pasti Winter lagi kan salah satunya?”

“Kok tau?!”

“Tadi temen-temennya lari sambil teriak-teriak.”

“Ay–”

“Bego! Bukannya di pisahin malah di tonton!” potong Giselle yang langsung berlari ke tengah kantin sambil menarik lengan Karina.

“Apaan sih anjir, lo semua tuh pada gak capek apa nyari masalah mulu sama temen gue!” cerca Ryujin.

“Temen lo duluan yang mulai!”

“Yang numpahin kuah bakso kan kamu, Tan!” ucap Winter dengan tenang.

“Ya itu juga karna lo yang mulai!”

Winter mendengus pelan, ada saja orang yang mencari masalah dengannya padahal saling menyapa saja tidak pernah.

“Ini kenapa setiap orang yang nyari masalah sama Winter alasannya sama mulu sih? Gak ada yang baru gitu alasannya?” celetuk Chaeryeong.

“Udah, aku ngga mau bikin keributan. Apalagi ini di kantin, ada banyak murid yang mau makan. Sekarang aku tanya, salahnya aku ke kamu itu apa?”

“Itu karna lo nempel sama Heeseung, lo ganjen! Lo bahkan dateng ke sekolah bareng dia pagi ini! Gue gak suka lo deket-deket sama Heeseung!” bentak Tania.

“Aku sama Heeseung itu temen, apa yang salah kalau aku deket sama dia? Aku ngga ganjen, aku deket sama Heeseung itu ada batasnya juga dan soal yang pagi tadi, Heeseung ngajak aku berangkat ke sekolah malam sebelumnya. Apa sopan kalau nolak ajakan temen sendiri buat berangkat ke sekolah bareng?” jelas Winter.

“Alah! Jelas-jelas selama ini lo yang terus deketin dia!”

“Heh! Tuh mulut bisa diem gak? Sembarangan kalau ngomong!” amuk Ningning.

“Anjir, gak ada yang niat buat misahin tuh orang berdua?” celetuk Giselle.

“Ssstt, udah diem aja! Gue mau liat siapa yang menang!” canda Yeji.

“Anak setan lo!”

Berbeda dengan Giselle yang terlihat panik, Karina justru terlihat biasa saja bahkan dia tidak ada niat sama sekali untuk turun tangan.

Itu bukan urusannya juga.

“Rin it–”

“Bukan urusan gue!” potong Karina dengan wajah datarnya.

“Bener-bener gak punya hati nih cewek” desis Giselle dalam hatinya.

“Oke, terus mau kamu sekarang apa?” tanya Winter.

“Jauh-jauh lo dari Heeseung!”

“Ngga bisa, Heeseung itu temen aku.”

“Tuh kan! Emang lo-nya aja yang ganjen, dasar PHO lo! Sok suci padahal busuk!”

“PHO? Emang aku ngerusak hubungan siapa? Emang kamu siapanya Heeseung? Kamu pacarnya? Tunangannya? Engga kan?” ucap Winter. “Heeseung aja ngga terlalu deket sama kamu, kalian ngga punya hubungan apa-apa tapi kenapa malah ngelarang aku deket sama Heeseung?”

“Kamu bukan siapa-siapanya Heeseung jadi kamu ngga punya hak buat nyuruh aku jauhin Heeseung.”

“Keren,” gumam Yeji.

“Kurang ajar lo!” PLAK

Satu tamparan mendarat tepat di pipi kiri Winter dengan mulus, semua murid yang berada disitu terkejut terkecuali Karina yang masih tetap tidak bergeming.

“Win!”

“Anjir, emang nyari perkara ya lo sama gue!” umpat Ryujin.

Tebak apa yang terjadi? Iya, Ryujin bersama Ningning, Chaeryeong dan Minju yang notabenya tidak suka terlibat dalam pertengkaran sekarang sedang saling tampar dan jambak-menjambak melawan Tania bersama geng-nya.

“Eh itu kok di liatin doang sih? Pisahin kek!” seru Giselle.

“Ini urusan adek kelas, Gis. Kita yang kakak kelas gak boleh ikut campur nanti malah jadi ribut antar angkatan,” timpal Nakyung.

“Bodo amat anjir, nanti anak orang ma–”

“STOP!”

Satu teriakan itu membuat kedua kelompok terhenti. Winter melangkahkan kakinya mendekat ke tempat Tania berada.

“Aku selalu diam aja bukan berarti aku takut buat ngelawan. Aku di besarin dengan kasih sayang, ngga pernah sekalipun di pukul sama orang tua atau keluarga aku, tapi kamu yang bukan siapa-siapa malah lancang nampar aku,” ucap Winter.

PLAK!

“Itu karena udah nampar aku.”

PLAK!

“Dan itu karena udah nuduh aku sebagai PHO.”

Seluruh murid tampak takjub melihat pemandangan yang baru saja mereka lihat. Sesuatu yang mungkin hanya bisa mereka lihat satu kali seumur hidup mereka. Winter yang akhirnya membalas setelah selama ini selalu diam.

Karina yang melihat itu terdiam mematung, sepintas potongan memori muncul di kepalanya saat Winter menampar Tania dengan keras. Dia teringat akan seseorang, seseorang yang pernah melakukan hal yang sama seperti tadi.

Saat Winter berbalik tatapannya tidak sengaja bertemu langsung dengan tatapan Karina yang terdiam melihatnya saat ini.

'No! They're different!'

“G–gue duluan ke kelas!” celetuk Karina tiba-tiba lalu meninggalkan ketiga temannya yang lain.

“Heh! Lo kan belum makan!” teriak Giselle.

“Gue gak lapar!” balas Karina.


Bel pulang sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu, ruang kelas mulai sunyi karena satu per satu murid sudah keluar kareba ingin cepat-cepat kembali ke rumah masing-masing.

Hanya tersisa Winter dan Heeseung yang baru saja selesai membersihkan kelas.

“Win, soal yang di kantin tadi aku minta maaf ya,” sahut Heeseung.

Winter menoleh, “Hah? Itu kan bukan salah kamu, kenapa harus minta maaf?”

“Ya aku ngerasa bersalah aja karna jadi penyebab Tania nampar kamu.”

“Ngga apa-apa kok, kan bukan kamu juga yang nampar aku,” tawa Winter.

Pandangan Heeseung tertuju pada pipi kiri Winter yang tampaknya masih merah, tanpa sadar tangannya terangkat dan mengelus pelan pipi Winter dengan lembut.

“Masih sakit ya?” tanya Heeseung.

“H–hah? Aahh, u–udah ngga apa-apa kok,” jawab Winter.

“Ah‐maaf! Aku gak maksud kayak tadi!”

“Ahaha, ngga apa-apa kok aku ngerti. Makasih ya!”

Heeseung tersenyum dan mengangguk pelan.

“Udah sore, aku anterin ke rumah ya?”

“Eumh, ngga usah. Aku udah ada janji pulang sama kak Karin soalnya.”

“Oh, yaudah. Aku balik duluan ya, kamu hati-hati, kasih tau aku kalau udah di rumah!” seru Heeseung.

“Iya, kamu juga hati-hati di jalan!”

Winter tersenyum sambil melambaikan tangannya ke udara. Setelah Heeseung tidak terlihat Winter segera menuju ke ruang latihan club dance.

Kakak sama Karin lagi latihan di ruang dance, kesini aja kalau urusan kamu udah selesai.

Itu adalah pesan yang dia terima dari Giselle 5 menit yang lalu, Winter terlalu takut jika harus mengirim pesan pada Karina apalagi hanya untuk bertanya dimana gadis itu berada.

Saat sudah sampai di depan ruang dance, Winter sedikit mengintip dari sela-sela pintu yang dia buka perlahan. Terlihat Karina yang masih asik menggerakkan badannya mengikuti alunan musik yang menggema di dalam ruangan itu.

“Tunggu disini aja kali yah? Kalau aku masuk nanti di tanyain macem-macem, kak Karin ngga mau kalau ada yang tau soal hubungan aku sama dia,” gumam Winter lalu kembali menutup pintu itu dengan pelan kemudiam duduk di kursi tunggu yang berada di samping pintu.

Winter menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi juga kepalanya di dinding, menutup kedua matanya lalu tersenyum tipis.

'Kamu lihat kan? Aku udah berani sekarang, ngga kayak dulu yang selalu takut buat maju. Tapi aku masih takut buat ngehadapin kak Karin.'

Tanpa sadar Winter malah tertidur karna kelelahan setelah membersihkan kelas tadi.

Tidak lama berselang beberapa murid yang merupakan anak club dance mulai keluar dari dalam ruangan dan kaget melihat Winter tertidur dengan posisi duduk di kursi tunggu.

“Loh, Winter ngapain disini?” bisik salah satu dari murid-murid itu.

“Ngga tau, ada yang mau di temuin kali. Udah-udah ayo jalan, jangan berisik nanti dia bangun!”

“Gue du–eh? Winter? Kok malah ketiduran disini?” ucap Giselle. “Kok gak masuk aja ke dalam tadi?”

Karina menatap Winter dalam diam, tidak memperdulikan Giselle yang terus mengoceh dari tadi.

“Lo pulang aja,” ucap Karina.

“Terus ini Winter gimana? Gue bangunin dulu deh,” balas Giselle.

Karina menahan tangan Giselle dengan cepat, “Ngga usah.”

“Eh? Lo gila ya? Terus maksudnya lo bakal ninggalin dia sendiri disini gitu?”

“Brisik lo! Udah sih pulang aja.”

“Ngga! Nurutin ucapan lo tuh sama aja nurutin apa kata setan!”

“Setan kok ngatain setan,” gumam Karina.

“Lo pulang aja sana, biar gue yang bangunin dia.”

“Bener ya? Lo bangunin? Awas aja lo tinggalin di sekolah sendirian,” ucap Giselle.

“Iya dih, cerewet banget sih lo! Sana pergi!”

“Di bangunin nanti jangan kasar!”

“Iya anjir! Gue gak sejahat itu juga ya!” omel Karina.

“Oke, gue pulang duluan. Awas lo kalau bohong, bakal gue tanyain langsung ke Winter nanti!” Selesai mengucapkan hal itu Giselle segera pergi meninggalkan keduanya.

Karina kembali menatap Winter yang masih tertidur dengan pulasnya.

“Heh, bangun! Lo mau sampai kapan tidur disini!” ujar Karina sambil menekan lengan Winter dengan pelan.

“Heh ba–” Belum sempat melanjutkan kalimatnya Karina sadar akan sesuatu.

Gadis itu kemudian beralih ke depan Winter dan berjongkok di hadapan gadis berpipi gembul itu. Pipi kirinya masih merah bekas dari tamparan saat di kantin tadi.

Doesn't it hurt?” gumam Karina sepelan mungkin.

Melihat Winter yang tertidur begitu pulas membuat Karina mendengus kecil. Sepertinya dia akan terlambat untuk pulang ke rumah hari ini.

Dengan sedikit malas Karina berdiri dan kemudian duduk di sebelah Winter, sesaat setelah dia duduk kepala Winter terjatuh ke bahunya.

“Dasar nyusahin,” cerca Karina lalu membuka handphonenya untuk untuk bermain game.

Selama kurang lebih 1 jam berada di posisi yang sama membuat Karina kelelahan apalagi bahunya. Merasa karna sudah sangat kelelahan dan ingin cepat pulang, Karina menekan pipi kiri Winter dengan pelan agar gadis itu segera bangun.

“Heh bangun, gue udah capek tau ngga!” omel Karina.

“Ck, Kim Winter bangun!” ucap Karina sekali lagi dengan sedikit keras menekan pipi kiri Winter itu.

“Ssshhh!” ringis Winter saat merasakan sakit pada pipi bekas tamparan Tania.

Karina yang melihat ekspresi kesakitan Winter juga ikut meringis kecil.

“Ba–bangun, udah mau malam!” ucap Karina saat melihat Winter mulai membuka matanya.

“Kakak ya yang nekan pipi aku?” gerutu Winter.

Ah, dia terlihat sangat lucu dengan ekspresinya yang saat ini.

Karina segera menggelengkan kepalanya mengusir segala pikiran tentang Winter di kepalanya.

So–sorry, lagian salah sendiri gue bangunin gak bangun-bangun!”

“Kan bisa agak lembut dikit bangunin aku,” ucap Winter dengan cemberut.

“Bawel, ayo pulang! Gue terlambat pulang karna lo yang tidurnya udah kayak kebo!” decak Karina lalu berjalan meninggalkan Winter di belakang.

“Ya maaf,” gumam Winter kemudian mengikuti langkah Karina yang sudah lebih dulu berjalan di depan.


Winter mengerjapkan matanya berkali-kali melihat notif pesan yang baru saja masuk di handphonenya. Tidak berapa lama kemudian sebuah telfon masuk dan menampilkan wajah Karina di layar benda pipih persegi itu.

“I—iya halo kak?”

“Lo ngapain sih? Gue ngechat kok di read doang gak ada?”

“Ahh itu, maaf kak aku lagi di dapur tadi.”

“Kebiasaan banget banyak alasan!”

Setelahnya terdengar suara telfon di matikan secara sepihak.

“Sabar win, sabar!” gumam Winter.

“Aaaaaaakkkkkhhhhh! Gak bisa!” teriak Winter dengan frustasi.

“Tapi aku sayang banget sama kak Karin.”

Jika Ningning berada dengannya saat ini sudah bisa dipastikan gadis itu akan menelfon kekasih—ralat—tunangannya buat nasehatin Karina.

“Kamu bisa balik lagi aja gak sih? Aku gak bisa nanganin kak Karin sendirian,” lirih Winter.

“Ngapain berdiri kayak patung gitu!”

Sebuah suara berat dari arah belakang membuat Winter terlonjak kaget dan hampir saja melempar handphonenya.

“Kak?”

“Buruan ganti baju,” ucap Karina to the point.

Yah orang yang membuat Winter terlonjak kaget tadi adalah tunangannya sendiri. Karina Hwang.

“Ganti baju? Buat apa?” tanya Winter.

“Ck, tinggal ganti baju doang kenapa harus banyak tanya sih?”

“Tapi aku udah ada janji sama temen-temen aku sekarang, kak.”

Karina memicingkan matanya dengan penuh selidik. Terakhir kali Winter berkata perihal temannya, itu adalah seorang pria.

“Batalin! Mami minta aku buat ngajak kamu keluar,” tekas Karina.

“Tapi kak—”

“Cepetan ganti baju atau gue balik sekarang juga!” potong Karina yang mau tidak mau Winter menganggukan kepalanya dengan pelan.

Tidak lupa juga dia mengabarkan di grup chat bahwa dia belum bisa untuk hari ini karena ada urusan mendadak.

Selagi menunggu Winter selesai berganti pakaian, Karina menatap satu persatu foto yang terpajang di rumah gadis bermarga Kim itu.

Kadang senyumannya terukir di wajah cantiknya tapi setelah itu kembali ekspresi dinginnya.

'Tidak banyak yang berubah, masih sama seperti dulu'

“Kak, aku udah selesai!” sahut Winter.

Karina hanya menatap Winter sekilas lalu berjalan lebih dulu meninggalkan gadis itu sendiri di belakang.

Hembusan berat nafas Winter terdengar.

'Yah, harus tetap sabar'

Winter kemudian mengikuti Karina dari belakang, tidak berniat untuk cepat-cepat menyusul gadis jakung itu dan berjalan beriringan.

“Masuk!” ucap Karina sambil membukakan pintu mobil untuk Winter.

Yaah, walaupun terkesan sangat cuek dan dingin pada Winter setidaknya gadis itu masih ada sedikit rasa perhatiannya.

Winter masuk ke dalam mobil yang kemudian di susul oleh Karina yang kini sudah berada di bangku kemudi.

“Kita mau kemana kak?” tanya Winter setelah mereka meninggalkan halaman rumahnya.

“Kemana aja yang lo mau,” jawab Karina.

“Hah?”

Winter mengerjapkan kedua matanya berkali-kali sembari mencerna jawabab dari Karina tadi.

“Gue baru aja seminggu lebih disini, jadi gue gak tau tempat-tempat yang bisa di kunjungin,” lanjut Karina.

Winter membuka sedikit mulutnya dan mengangguk pelan.

“Kakak udah makan belum? Kalau belum kita makan dulu, aku tau restoran sederhana yang makanannya enak di sekitar sini,” ucap Winter.

“Belum.”

“Yaudah, aku masukin lokasinya aja ya di gps mobil? Biar kakak gampang nyarinya!”

“Ya.”

Winter memasukan titik koordinat dari lokasi restoran yang akan mereka kunjungi sebelum kembali duduk diam memandangi jalanan kota yang terlihat cukup ramai.

Selama dalam perjalanan tidak ada obrolan yang terjadi di antara mereka berdua, bahkan saat sampai di restoran pun mereka hanya diam. Sesekali Winter yang berbicara untuk sekedar menanyakan Karina ingin memesan makanan apa.

Jujur saja Winter sebenarnya ingin mengobrol banyak dengan Karina, tapi itu semua dia urungkan mengingat Karina yang tidak begitu menyukainya atau dalam kata lain 'Karina tidak ingin di ajak bicara oleh Winter'

Setelah selesai dengan urusan makan, mereka kembali melanjutkan jalan-jalannya. Hanya beberapa tempat saja yang mereka kunjungi dan setelah itu Winter meminta untuk segera pulang. Kenapa? Karena sangat canggung rasanya, Winter tidak tahan dengan situasi seperti ini.

“Makasih kak udah ngajak keluar hari ini, maaf juga kalau kakak ngelakuin ini karna terpaksa di suruh mami,” ucap Winter.

“Aku masuk dulu, kakak hati-hati di jalan.” Winter membuka pintu mobilnya dan kemudian terhenti. “Ohiya, kalau kakak emang gak mau pergi bareng aku nanti gak apa-apa kok. Kakak bisa pergi bareng kak Giselle aja!”

Setelah mengatakan itu Winter turun dari mobil dan berjalan lurus masuk ke dalam rumahnya tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.

Sementara Karina hanya diam menatap punggung mungil Winter yang sudah menghilang di balik pintu.

“Yaudah sih,” gumam Karina lalu menancapkan gas mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Winter.

'Kayaknya aku udah ngambil langkah yang salah, Jeong.'

Winter menundukkan kepalanya dengan lemas lalu berjalan gontai menuju ke kamarnya.


Tahun ajaran baru dimulai, seperti biasa seluruh murid sekolah baik itu yang berada di bangku sekolah dasar, menengah pertama ataupun menengah atas satu persatu mulai menuju sekolah masing-masing untuk awal semester yang baru. Tidak terkecuali dengan salah satu SMA Elit di Indonesia ini, dimana jika kamu ingin menjadi bagian dari sekolah ini kamu harus memiliki:

  1. Kecerdasan
  2. Kekayaan
  3. Kekuasaan

Kamu memiliki salah satu dari 3 poin di atas, mungkin itu sudah cukup. Tapi jika memiliki ketiganya maka bisa di pastikan hidupmu selama berada di sekolah itu akan terjamin dengan sangat baik.

Oke kembali ke pembahasan awal

Mobil-mobil mewah satu persatu mulai memasuki halaman sekolah yang sangat luas itu, beberapa murid di antar langsung orang tuanya dan ada juga yang hanya di antarkan oleh sang sopir ataupun Personal Assistant

Saat memasuki dalam gedung sekolah tepatnya di lobi para murid di sambut oleh sebuah layar lcd yang super besar. Para murid baru yang tidak lain dan tidak bukan adalah murid-murid kelas 10 merasa sedikit bingung karena ada begitu murid yang berdiri tepat di depan layar lcd besar itu.

“Minggir-minggir! Jangan ngalangin jalan elah! Nyusahin aja lo semua!” teriak William yang menerobos masuk dan di ikuti oleh beberapa orang di belakangnya.

“Kalau di angkatannya kita sih gue udah bisa tebak siapa-siapa aja yang masuk 10 besar, gue cuman penasaran aja sama angkatannya si Jason,” ucap Samuel kepada teman di sebelahnya.

“Ayo taruhan, $10.000 si Dion yang bakal peringkat 1!” celetuk Jake.

“Oke, $20.000 Kavindra yang dapet!” timpal Jay.

Mendengar taruhan kedua temannya itu Samuel tersenyum miring.

Deal, $50.000 Sena yang peringkat 1!”

“Woy, lo pasang siapa?” tanya Jake.

Sergio tersenyum simpul, “Jessi. $100.000 lo bertiga bisa ambil dari gue kalau ternyata bukan Jessi yang dapat.”

“Oke deal!”

Layar LCD itu kemudian menyala dan langsung menampakkan peringkat secara keseluruhan untuk kelas 12, yang mana peringkat ini juga sebagai penentuan siapa 10 besar murid yang akan berada dalam kelas khusus, atau yang biasa di sebut kelas VIP oleh seisi sekolah.

Hingga tiba saatnya giliran untuk kelas 11 yang memang sangat di nantikan oleh para senior mereka. Satu persatu nama dari murid kelas 11 mulai tertera dari peringkat paling bawah hingga yang paling atas. Banyak yang kaget sebab dalam list 10 besar tertera 13 nama murid disana.

“Gila, ini pertama kalinya gue liat dalem list 10 besar ada yang peringkatnya double!” bisik Lucy.

Sementara Sergio tersenyum penuh kemenangan melihat nama Jessi yang berada di puncak list peringkat.

“Udah gue duga sih Jessi yang bakal peringkat 1,” ucap Jasmine.

“Sena! Anjir lo peringkat 3, Sen!” heboh Danica melihat peringkat temannya ini melonjak drastis dari semester kemarin. Sofia yang juga teman Sena ikut melompat bahagia bersama kedua temannya itu.

“Wow, peringkat lo turun banget bro,” ucap Daniello dengan sedikit nada mengejek pada Dion.

Top 10 rank of 11th grade

  1. Jessica Kim
  2. Jason Kim
  3. Sena Yoon
  4. Wilona Park
  5. Dion Kim
  6. Jasmine Ahn
  7. Aluna Shin
  8. Kavindra Yoo & Sofia Kim
  9. Sagara Ahn & Danica Kim
  10. Daniello Keum & William Jang

Jujur saja Sena masih tidak percaya dengan peringkatnya yang sangat tinggi itu, dia tidak menyangka bahwa peringkatnya di ujian akhir saat kelas 10 kemarin membawanya masuk ke dalam posisi 10 besar yang mana Sena berhak masuk ke dalam kelas yang menjadi impian semua murid.

“Anjir, gue gak nyangka bisa masuk ke kelas impian gue dari kelas 10 kemarin,” seru Sofia.

“Sen, lo harus pertahanin sih peringkat lo saat ini. Apalagi sekarang dapat beasiswa penuh karna berhasil masuk ke peringkat 3 teratas,” ucap Danica.

“Iya, Dan. Tanpa lo minta pun bakal gue pertahanin biar bokap gue gak capek-capek lagi buat kerja pagi sampai malam.” Sena tersenyum bahagia menatap kedua temannya yang berada satu kelas dengan dirinya.

“Wuiiih, ini nih yang berhasil ngerebut peringkatnya Dion sekaligus ngelengserin Kavin dari peringkat bertahannya!”

“Wil, mending lo diem dan urusin peringkat lo sendiri,” sahut Kavin.

“Santai bro, sensi amat dah!” tawa William. “Btw, selamat ya buat lo bertiga.”

Sena, Sofia dan Danica hanya menatap heran pada William.

“Paling juga semester pertama nanti turun drastis peringkatnya,” celetuk Jason dengan sedikit tawa mengejeknya.

“Mulut lo gak bisa di kontrol dikit apa? Lagian lo juga dapat peringkat 2 berkat bantuan kembaran lo,” timpal Aluna.

“Lo—”

“Jason Kim get your finger down from Aluna's face, Mami never taught us to point people's faces at random!” sahut Jessi.

Mendengar teguran dari saudari kembarnya itu Jason menurunkan jari telunjuknya sambil menahan rasa kesalnya.

Sena, Danica dan Sofia terdiam mematung melihat apa yang baru saja terjadi di depan mereka.

“Hai, Gue Jasmine. Teman kelas kalian yang baru!”

“Kalau ngga salah ini pertama kalinya kalian masuk 10 besar kan?” tanya Jasmine.

“Iya, kemarin kita bertiga peringkatnya di bawah 10 besar,” jawab Sofia.

“Woaah, berarti ini pertama kalinya kan kalian ngerasain gimana jadi murid dari VIP Class?” timpal Aluna.

“Aluna stop it!” tegur Jessi.

Why? I'm just asking.” ucap Aluna. “Gimana perasaannya bisa masuk VIP Class? Seneng gak?”

“H—huh?”

“Aluna Shin, please stop!”

Come on, Jes. I'm just asking how they feel after getting into this class. I'm just curious because only certain students can enter this class.”

What do you mean 'only certain students can enter this class'?” sahut Dion

“Mereka ngomongin apaan? Gue gak ngerti?” bisik Sofia.

“Jangan tanya gue, ya mana gue tau anjir,” balas Danica.

“Ck, gak usah sok pura-pura gak tau gitu kali. Yang di maksud Aluna tuh only students from wealthy families can enter this class.” ucap Daniello.

“Sstt, okay stop it. Semoga betah ya guys di kelas sini, soalnya bayarnya pake mental,” lerai Jasmine lalu mendorong Aluna untuk segera duduk di tempat duduknya di susul dengan Jessi di belakangnya.

Where's Wilona? Wilona Park where are you?” teriak Jasmine.

Here!”

“Kok gue malah takut ya ada di kelas sini?” bisik Sena.

“Sama! Merinding gue ngeliat murid-muridnya,” ujar Sofia.

“Lah, lo berdua kenapa malah ketakutan gini? Biasa aja kali ah,” ucap Danica dengan santai.

“Dan, anjir! Anaknya ketua yayasan sama cucunya pemilik sekolah ada di kelas ini!” rutuk Sofia.

“Ya terus?”

Sena dan Sofia menggelengkan kepalanya dengan pelan. Yang namanya Danica tuh emang susah di kasih tau.

“Udah, ngga usah ngobrol lagi. Gurunya bentar lagi datang,” ucap Sena.

'Semoga aja semuanya lancar' batin Sena.


Minju menyadari perubahan raut wajah Winter yang tadinya ikut tertawa bersama mereka tiba-tiba menjadi murung. 1 tahun berteman dengan Winter membuat Minju cukup mengenal gadis betambut pendek itu.

“Win, kamu gak apa-apa?” sahut Minju

“Huh? Engga kok, ngga apa-apa!” balas Winter.

“Kamu lagi punya masalah ya? Dari kemarin kamu sering tiba-tiba murung loh.”

Mendengar ucapan Minju ketiga temannya yang lain ikut menoleh ke arah tempat duduk Winter dan Minju.

“Lo kenapa lagi? Sakit?” ujar Ningning.

“Gak apa-apa kok, aku gak apa-apa serius!” ucap Winter.

“Kalau ada masalah ngomong aja, jangan di sembunyiin. Nanti gue sama yang lain gak bisa bantuin lo kalau lagi ada masalah,” timpal Ryujin.

“Iya, aku pasti cerita kok.”

Ningning menatap Winter dengan seksama, bisa saja Winter membohongi tiga temannya yang lain tapi tidak dengan dirinya.

“Kebiasaan banget nyembunyiin masalah, kapan lo bahagia kalau gini terus, Win.”

Bel istrahat berbunyi dengan keras membuat Ryujin berteriak dengan kencang.

“Gak usah teriak juga!” omel Chaeryeong

“Hehe, ayo ke kantin! Perut gue udah keroncongan dari tadi.”

Winter tersenyum kecil, setidaknya masih ada keempat temannya ini yang selalu menghiburnya.

Kelimanya bergegas keluar dari ruang kelas mengukuti teman-teman kelas mereka yang lain. Ada begitu banyak murid yang berkeliaran di koridor sekolah, berlomba-lomba untuk datang ke kantin.

“Murid baru yang rame di base sekolah tadi pagi tuh temennya kak Giselle ya?” sahut Chaeryeong

“Kayaknya sih iya, pas ketemu tadi akrab banget,” balas Ryujin.

“Aku fikir kita udah gak bisa pindah sekolah kalau udah kelas 3,” timpal Minju.

“Bisa, tapi sebelum masuk semester kedua. Dia kan masuknya pas semester pertama baru mulai,” jelas Ningning.

“Cantik banget, kalau gue pepet gimana? Pas gak?” seru Ryujin.

“Sebelum ngomong tuh ngaca dulu!” ujar Ningning.

“Lah, kenapa? Orang gue juga cakep kok!”

“Cakep kalau di liat dari ujung menara eiffel!”

Winter tertawa melihat pertengkaran kecil keduanya.

“Aku aja yang udah 3 tahun jadi tunangannya gak pernah tanggapin, Jin.” batin Winter sambil tersenyum miris


“Alaaah bilang aja kalau lo suka sama Winter. Ngaku lo!” ejek Giselle.

“Udah gue bilang ngga!” tekas Karina.

“Lo suka sama Winter?” celetuk Lia.

“Engga yang, itu Giselle aja yang suka nyari perkara sama Karina,” ucap Yeji.

Karina menatap Giselle dengan tajam. Kalau saja hanya ada mereka berdua disini, sudah bisa di pastikan Karina akan memukul teman masa kecilnya ini.

“Panjang umur, baru aja di omongin anaknya udah muncul tuh,” seru Nakyung.

Karina ikut menoleh ke arah pandangan yang sama dengan teman-teman barunya. Di depan sana ada Winter bersama teman-temannya yang baru saja memasuki kantin.

“Tapi sekalipun banyak orang yang suka sama Winter ada beberapa juga yang ngga suka sama dia, kadang ada yang nunjukkin rasa gak sukanya itu secara terang-terangan,” ucap Nakyung.

“Iya sih, tahun kemarin tuh lututnya sampai lecet karna sengaja di dorong,” tambah Yeji.

“Terus, manfaatnya di kasih tau ke gue apaan?” timpal Karina dengan wajah datarnya.

“Anjir, hati lo udah mati apa gimana!” gerutu Giselle.

“Iya, udah lama mati hati gue.”

Giselle hanya menggeleng melihat tingkah temannya ini.

Tidak lama setelahnya terdengar suara mangkuk jatuh di iringi dengan suara ringisan.

“Anjing! Lo buta apa gimana? Winter segede gini gak bisa lo liat?!” teriak Ryujin.

Seisi kantin langsung menatap sekumpulan orang yang tidak lain adalah Winter bersama dengan teman-temannya dan Viona dkk.

Minju dan Chaeryeong membantu Winter membersihkan seragamnya yang basah, sementara Ryujin dan Ningning maju untuk melabrak Viona dkk.

“Karin, tunangan lo di ganggu anjir! Bantuin kek!” bisik Giselle pelan.

“Bukan urusan gue,” balas Karina singkat padat dan menusuk.

“Bener-bener manusia gak punya hati lo!”

Karina hanya diam dan kembali menyantap makanannya yang sempat ia diamkan.

“Udah, Jin. Gapapa kok,” ucap Winter.

“Kita langsung ke UKS aja, gue khawatir kulitnya Winter melepuh karna kena kuah bakso tadi,” timpal Chaeryeong.

“Awas lo semua habis ini! Gue tandain satu-satu muka lo!” ancam Ningning.

“Ikut gue!” celetuk Giselle yang langsung menarik lengan Karina setelah melihat Ningning dkk pergi meninggalkan kantin.

“Apaan sih, gue masih makan!” dengus Karina.

“Mau kemana lo berdua?” teriak Yeji.

“Lagi ada urusan penting, lo bertiga lanjutin aja makannya!” balas Giselle.

Karina terus mengoceh saat Giselle menariknya di sepanjang lorong koridor sekolah.

“Lo mau bawa gue kemana sih!” omel Karina.

“Tunggu gue disini! Awas aja lo gue balik udah gak ada!” ucap Giselle lalu masuk ke dalam apotek sekolah.

“Dasar cewek gila!” gumam Karina.

5 menit kemudian Giselle keluar dengan satu tas kresek di tangan sebelah kanannya.

“Nih, ambil!”

Karina mengerutkan dahinya bingung, “Buat apaan? Gue gak sakit.”

“Ck, buat Winter lah. Gue tadi liat kakinya kena pecahan mangkuk.”

“Ya terus ngapain lo ngasih ini ke gue? Yang kena pecahan dia bukan gue.”

“Demi Tuhan Karina! Lo tuh peka dikit kek, dia tuh tunangan lo. Sekali aja lo perhatiin dia apa gak bisa?”

“Gak!” timpal Karina.

“Kalau emang lo khawatir ya lo aja yang kasih ke dia, kenapa harus gue yang ngasih?”

“Kepala lo emang batu banget,” dengus Giselle. “Oke, gue yang ngasih tapi lo tetep ikut gue ke UKS sekarang.”

Karina hanya merotasi kedua matanya malas, jika di tolak lagi pasti Giselle akan lebih cerewet jadi Karina tidak punya pilihan selain mengikuti Giselle dari belakang.

“Gue bener-bener gak ngerti sama lo, padahal mereka berdua sama aja gak ada yang beda. Winter sama-”

Stop it Aeri! They are both different, don't ever equate the two because after all Winter will never be like her!” potong Karina dengan wajah datarnya.

“Yeah whatever.”

Keduanya sampai di depan pintu UKS tetapi hanya Giselle yang masuk karna Karina memilih untuk menunggu diluar.

Sambil menunggu, Karina mengambil kalung liontin dari saku roknya dan menatap foto seseorang di dalam liontin tersebut.

I don't know how hard I hold it all but every time I see her face I get more emotional and my hatred for her is bigger than before.” gumam Karina

“Itu kakinya beneran gapapa kan?” ujar Giselle.

Mendengar suara Giselle, Karina langsung memasukkan kembali kalung liontinnya ke dalam saku.

“Loh? Kak Karin ngapain disitu?” celetuk Ryujin setelah menyadari kehadiran Karina tepat di sebelah pintu masuk.

Karina mengabaikan pertanyaan Ryujin dan menatap Winter dengan datar.

“Urusan lo udah selesai kan? Gue balik ke kelas duluan,” ucap Karina pada Giselle.

“Makin hari tuh kelakuan makin kayak setan aja,” monolog Giselle menatap kepergian Karina.

“Kakak duluan ya, Win. Itu obatnya jangan lupa di olesin ke lukanya!”

“Iya kak, makasih kak!” ucap Winter.

Giselle melambaikan tangannya pada keempat orang lainnya, sementara Winter hanya bisa menatap punggung Karina dengan pasrah.

Home


Winter tertawa pelan membaca pesan dari grup chatnya bersama dengan teman-temannya. Beberapa detik kemudian senyumannya menghilang bersamaan dengan chat Ningning muncul di layar atas handphonenya.

“Pak, macetnya masih lama ngga? Kak Karin udah nunggu lama di bandara, aku takutnya nanti kak Karin di ganggu sama orang asing,” sahut Winter setelah membaca pesan Ningning.

“Udah ngga terlalu non, sebentar lagi kita juga sampai di bandara kok non.”

“Yaudah, tetep hati-hati ya pak!”

Sang sopir tersenyum sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan.

Winter kembali menatap jalan raya dengan kaca jendela yang dia turunkan sedikit. Ada begitu banyak yang dia pikirkan sekarang, berbagai pikiran negatif muncul terus di dalam kepalanya.

“Pak?”

“Iya non?”

“Menurut bapak Winter udah ngambil keputusan yang bener ngga?” tanya Winter yang kini matanya fokus menatap sang sopir di kursi kemudi.

“Maksud nona gimana?”

“Bapak pasti tau apa yang Winter maksud. Semuanya, keputusan yang dari awal sampai sekarang Winter ambil.”

Sang sopir melirik ke arah kaca spion menatap sang majikan yang juga sedang menatap ke arahnya.

Sedetik kemudian seulas senyum terukir di wajah sang sopir.

Non Winter udah ngambil keputusan yang bener kok. Bapak kan udah sering bilang dari dulu, apapun keputusan yang non Winter ambil selama itu membuat orang lain dan non bahagia itu udah bener,” jelas sang sopir yang kembali membuat Winter berfikir keras.

“Sebenarnya Winter gak begitu bahagia seperti yang orang-orang lihat pak,” gumam Winter.

Non Karina cuman butuh waktu aja, percaya sama bapak.”

Winter menatap sang sopir yang tengah tersenyum menatapnya lewat kaca spion.

“Makasih pak udah selalu dengerin Winter curhat.”

“Sama-sama non.”

Percakapan keduanya terhenti saat sudah sampai di depan pintu masuk utama bandara.

Winter turun di ikuti dengan sang sopir yang berjalan di belakangnya. Kedua bola mata Winter tidak berhenti melihat setiap orang yang berada di kursi tunggu bandara, mencari sosok yang sudah 2 tahun ini tidak dia lihat.

Senyumannya merekah saat menemukan sosok yang dia cari.

“Kak Karin!” seru Winter sambil melambaikan tangan kanannya ke udara lalu segera menghampiri gadis berambut panjang berwarna ash grey itu.

“Kak-”

“Kok lama banget sih? Kan gue udah bilang jangan lama?!” potong Karina.

“Maaf kak, jalanannya tadi sedikit macet.”

“Bukan urusan gue!”

Winter hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Karina tanpa berniat untuk membalasnya.

“Ayo pak, saya capek pengen langsung istrahat!” ujar Karina.

“Iya, non. Mari!” Sang sopir mengambil alih 2 koper besar milik Karina.

Sementara Karina tanpa banyak basa-basi langsung pergi melewati Winter begitu saja.

“Ayo, non. Nanti bisa telat balik ke sekolah,” ucap sang sopir sambil menepuk bahu Winter dengan pelan.

Winter hanya mengangguk dan berjalan beriringan dengan sang sopir.

Saat berada di dalam mobil pun Winter hanya terdiam menutup mulutnya dengan rapat.

“Lo masih sekolah tapi bisa-bisanya nurutin permintaan Mami buat jemput gue di bandara,” ujar Karina.

“Ngga apa-apa kak. Mami khawatir soalnya ngga ada yang bisa jemput kakak di bandara hari ini, jadi Mami minta aku buat jemput kakak,” jelas Winter.

“Jangan fikir karna lo bela-belain jemput gue di bandara di sela-sela waktu sekolah gue bakal luluh gitu aja,” timpal Karina.

“Ngga bakal. Never!”

Winter tersenyum kecil, “Iya kak, aku tau kok.”

Bibirnya bisa saja tersenyum tapi tidak dengan hatinya yang sedang meringis kesakitan.