Sunsine

Willa tertawa setelah melihat pesan terakhir dari Kiran, dirinya yang sedikit lagi sampai di aula terpaksa harus turun kembali ke tempat parkir. Willa memang sengaja memarkirkan motornya dengan miring karena tau Kiran pasti akan memarkirkan motornya di tempat itu.

Menjahili Kirana adalah kegiatan penting setiap pagi oleh Willa.

Sementara di tempat parkir Kiran duduk di motornya sambil menunggu Willa datang, sebenarnya dia bisa saja meminta bantuan pada satpam sekolah atau murid yang lewat tetapi masalahnya adalah Willa mengunci stir motornya jadi dengan sangat terpaksa Kiran harus menunggu Willa datang.

“Pagi cantik, udah kayak tukang parkir aja,” sapa Willa dengan senyuman yang menurut Kiran itu menyebalkan.

“Ck, buruan di benerin itu parkirannya!” cicit Kiran.

“Di balas dulu kek sapaannya,” ucap Willa.

“Wil, buruan sebelum aku mukul kamu beneran pagi ini.”

“Serem ya, pantesan aja masih jomblo sampai sekarang,” canda Willa.

Kiran menutup kedua matanya mencoba mengontrol emosinya yang mungkin sebentar lagi akan meledak.

“Kamu tuh daripada nyerocos terus mending buruan lurusin posisi motor kamu sekarang,” dengus Kiran.

“Iya sabar, buru-buru banget sih. Ngobrol dulu kek, ngga kangen apa sama mantannya,” kata Willa.

“Engga.”

Willa hanya tertawa kecil lalu membuka kunci stir motornya dan melakukan hal yang di perintahkan Kiran.

“Mau aku bantuin ngga markirin motornya?” tanya Willa.

“Ngga usah, aku bisa sendiri,” tolak Kiran.

Willa menganggukkan kepala lalu mundur memberikan ruang untuk Kiran, tapi seperti dugaannya Kiran pasti kesusahan memarkirkan motornya.

“Makannya kalau di tawarin tuh ngga usah gengsi, sini biar aku aja,” celetuk Willa mendorong Kiran dengan pelan dan segera memarkirkan honda scoopy milik Kiran.

“Tuh, stirnya jangan lupa di kunci.”

“Hm, makasih,” balas Kiran sedikit gengsi.

“Itu ngga gratis loh, harus ada bayarannya,” ucap Willa dengan jahil.

Kiran memutar bola matanya dengan malas, “Yaudah, ini mau di bayar berapa mbak? Saya lagi ngga ada uang 2 ribuan sekarang.”

Willa terkekeh, “Kalau ngga ada uang 2 ribuan, bayarnya pake ciuman aja!”

“Maunya di cium dimana mbak?” sahut Kiran.

LAH! MALAH DI LADENIN.

“Disini dong mbak, hehe!” seru Willa sambil menunjuk bibirnya.

Kiran tersenyum lalu mendekat ke arah Willa, melihat itu Willa juga ikut tersenyum kemudian menutup matanya.

PLAK!

Suara tamparan di bahu Willa itu terdengar dengan kencang, sang korban seketika meringis kesakitan dan mengelus-ngelus bahunya.

“KIRANA! SAKIT HEY!” teriak Willa.

“Makannya lain kali jangan jahilin aku lagi, atau mau aku tambah di bahu yang sebelah lagi?” Willa dengan cepat menggelengkan kepalanya dengan tegas.

“Bagus, kalau gitu see you when i see you bocil,” seru Kiran lalu meninggalkan Willa di tempat parkir.

Sementara Willa masih terus mengelus bahunya yang baru saja di pukul oleh Kiran barusan. Bayangkan saja, Kiran itu seorang pemain Volleyball yang mana tangannya selalu di gunakan untuk memukul bola dengan keras dan baru saja Kiran melayangkan pukulannya itu di bahu Willa.

Sudah terbayangkan bukan betapa sakitnya bahu Willa sekarang?

Ujian Tengah Semester 1 sudah selesai sejak Jum'at minggu kemarin dan di hari senin ini para murid PJIHS kembali masuk sebagaimana biasa. Para murid yang ujiannya tidak memenuhi nilai standar KKM mulai hari ini di minta untuk melakukan perbaikan nilai terutama murid-murid kelas 12.

Seperti biasa pagi ini Karina mengajak Winter untuk berangkat ke sekolah bersama tapi di tolak lagi dengan alasan Heeseung sudah mengajaknya lebih dulu semalam, alhasil Karina hanya bisa mengangguk dan mengucapkan 'Oke' sebelum akhirnya pergi lebih dulu.

Rasa kesal dan cemburu mungkin ada tapi Karina tidak terlalu terbawa akan perasaannya dan memang 'tidak harus' sama sekali.

Karina lebih dulu sampai di sekolah, setelah memarkirkan dan turun dari mobilnya tidak lama kemudian Heeseung dan Winter juga sampai tapi mereka berhenti di depan gerbang sekolah.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh itu Karina memperhatikan keduanya yang tampak tengah mengobrol.

“Kenapa ngga masuk aja sih, ngapain masih ngobrol depan gerbang sekolah,” dengus Karina lalu berjalan menuju arah gerbang sekolah.

Baik Heeseung dan Winter terlihat tengah serius membicarakan sesuatu. Winter yang berdiri di sisi jalan itu mengambil sebuah note dari dalam tasnya dan memberikannya pada Heeseung. Karina mendengus sebal dan berniat untuk segera masuk.

Tapi niatnya terhenti saat melihat dua pengendara motor yang sedang ugal-ugalan di jalanan menuju ke arah Heeseung dan Winter berada sekarang.

'Deg!'

Dengan sangat cepat Karina berlari menuju ke arah Winter, “No, not again!”

Tepat saat salah satu pengendara motor itu hampir saja menabrak Winter, Karina menarik lengannya sekencang mungkin hingga Winter berada di sisinya.

Winter tentu saja kaget, kaget melihat kedua pengendara motor itu dan kaget saat lengannya di tarik oleh Karina.

“Kamu mau mati, hah?!” bentak Karina dengan keras.

“Kamu ngapain berdiri di sisi jalan kayak gitu? Kamu tau ngga kalau itu bahaya buat kamu?!”

“Kak—”

“Lihat! Kamu hampir aja di tabrak tadi tau ngga! Kalau ngga ada aku gimana? Kamu mau berakhir di rumah sakit?!”

“Kak, maaf itu—”

“Lo diem!” potong Karina sambil menatap Heeseung dengan tajam.

“Lo harusnya sadar Winter bisa celaka kalau berdiri di sisi jalan kayak tadi, tapi kenapa malah lo biarin dia berdiri disana?!”

“Kak, udah! Heeseung ngga ada maksud apa-apa!” ujar Winter.

“Lo hampir aja buat nyawa orang melayang karna tingkah ceroboh lo itu!” tekas Karina.

“Kak aku bilang udah!” celetuk Winter.

“Dan kamu! Kamu tuh harusnya langsung masuk aja ke dalam, kenapa masih berhenti disini!” bentak Karina. “Kamu....”

Karina tidak mampu melanjutkan kalimatnya lagi, tenggorokannya tercekat, sekelebat pertanyaan terus berputar di dalam kepalanya.

'Gimana kalau tadi dia telat narik Winter?' 'Gimana kalau tadi dia memilih untuk membiarkan Heeseung dan Winter tetap berada di tempat mereka yang tadi?' 'Gimana kalau Winter beneran ketabrak tadi?'

Wajah Karina seketika pucat, tangannya bergetar bahkan telapak tangannya yang sedang menggenggam lengan Winter sekarang terasa sangat dingin. Karina terdiam, pikiran dan tatapannya kosong.

Winter yang menyadari perubahan raut wajah Karina itu perlahan mengangkat tangan kirinya dengan niat untuk mengecek suhu tubuh tunangannya itu, tapi dengan cepat Karina menepisnya.

Don't touch me!” tekas Karina lalu melepaskan genggamannya dan segera berbalik.

Kedua kakinya terasa sangat lemas, dengan sedikit tertatih Karina melewati rombongan murid yang menatap mereka setelah suara bentakan keras Karina terdengar.

Dari kejauhan Giselle melihat Karina yang berjalan memasuki gedung sekolah, dia teringat akan ucapan Karina 2 hari yang lalu.

“Dia minta buat ngebatalin pertunangannya not because her doesn't love me anymore.”

“And I can't let go of her until she really let me go first.”

“Tuhan, di kehidupan yang selanjutnya tolong jangan buat hamba jadi temennya Karina lagi,” gumam Giselle. “Pusing beneran ini kepala.”

Winter berjalan menuju ruang kelasnya dengan Heeseung di sebelahnya. Sejak dari gerbang sekolah tadi Winter terus melamun memikirkan kejadian tadi.

“Winter?”

Heeseung dan Winter dengan kompak menoleh ke belakang, menatap orang yang memanggilnya.

“Kak Giselle?” gumam Winter.

“Boleh ngobrol berdua ngga? Bentar doang kok,” ucap Giselle.

Winter mengangguk, “Boleh kak, mau ngobrol dimana?”

“Disini aja ngga apa-apa,” balas Giselle.

“Yaudah aku masuk ke kelas duluan ya, Win? Permisi kak!” pamit Heeseung.

“Kakak mau ngobrol soal apa?”

“Euhm, mau nanya aja sih sebenernya. Karna makin kesini malah kakak yang makin pusing.”

“Waktu kamu mutusin buat batalin pertunangannya tuh kamu bener-bener mau putus because you don't have any feelings anymore for Karina atau karna ada alasan lain?” tanya Giselle dengan sangat hati-hati.

It's because I'm so tired of everything that kak Karin has done all this time to me, not because I don't have any feelings for her anymore,” jawab Winter.

She's my first love, jadi aku yakin kakak pasti ngerti.”

“Mau seberapa sering aku maksain diri buat makin benci ke kak Karin itu semua sia-sia kak, dan aku fikir setelah sikap kak Karin agak sedikit berubah aku bisa sedikit lega tapi makin kesini entah kenapa aku malah makin kesel karena tiap aku bareng sama kak Karin dia sering nyebut nama Minjeong terus,” jelas Winter.

“Mungkin sikapnya berubah karena dia nganggap aku sebagai penggantinya Minjeong ngga sih kak?” lanjut Winter.

Giselle hanya diam dan tersenyun kecil menanggapi ucapan Winter. Dia sedikit mengerti sekarang.

“Ohiya, tadi kakak ngelihat kamu, Heeseung sama Karina di gerbang sekolah, murid lain juga pada ngeliatin kalian, kenapa?” tanya Giselle mengalihkan topik.

“Itu...tadi aku hampir di tabrak sama motor terus kak Karin malah marah-marah ke aku sama Heeseung,” jawab Winter dengan cemberut.

Giselle tertawa kecil, dia jadi teringat sesuatu tentang 2 tahun yang lalu.


“Rin, Winter kecelakaan! Dia di tabrak sama mobil, gue udah nelfon orang tuanya tapi ngga ada satupun yang ngangkat!”

Saat itu jam 12 siang yang mana Karina baru saja menuju ke kantin sekolahnya untuk makan siang. Namun setelah mendengar ucapan Giselle itu dengan cepat Karina berbalik arah kembali menuju ke dalam kelasnya untuk mengambil tas ransel dan berlari meninggalkan gedung sekolahnya.

Karina berlari secepat mungkin di sela-sela ia menelfon seseorang untuk segera menyiapkan jet pribadi di bandara saat itu juga. Karina kembali ke apartemennya hanya untuk mengganti seragam sekolah dan mengambil paspornya.

Dia benar-benar sangat panik dan ketakutan saat itu, di jalan menuju bandara Karina meminta supir taksi untuk menyetir secepat mungkin. Tepat saat pukul 1 siang Karina terbang dari Melbourne menuju ke Jakarta dengan jet pribadi keluarganya.

Selama berada di dalam pesawat yang mana penerbangannya memakan waktu 10 jam lebih semakin membuat Karina ketakutan tiada henti, dia terus menyatukan dan mengepal kedua tangannya memohon sesuatu pada Tuhan. Karina sama sekali tidak menyentuh makanan ataupun minuman yang di berikan oleh pramugari padanya bahkan dia juga tidak tidur selama 10 jam lebih penerbangan.

Pukul 23.40 WIB Karina tiba di bandara Soekarna-Hatta dan tepat pukul 00.00 WIB Karina sampai di rumah sakit yang sudah di kirimkan oleh Giselle alamatnya.

“Where is Winter?!” tanya Karina sesaat setelah dia menginjakkan kakinya di rumah sakit ini.

“Hey, tenang dulu, calm down!” ucap Giselle.

“Gi, gue lagi ngga pengen bercanda!” teriak Karina.

“Dia udah di pindahin ke ruang inap, Rin. Tapi sampai sekarang belum bangun,” jelas Giselle.

“How can this happen? You promised you would take care of Winter as long as I wasn't here, now why is it like this?!”

“Karin, gue juga ngga tau kalau semuanya bakal jadi kayak gini, gue juga kaget pas Ningning nelfon ngasih tau Winter di tabrak sama mobil.”

“Terus dimana orang yang nabrak dia?”

“Belum ketemu, orangnya kabur dan polisi masih nyari sampai sekarang.”

“Damn it!” umpat Karina.

Giselle yang melihat kedua tangan Karina bergetar hebat segera mengelus bahu sang teman dan menuntunnya untuk duduk menenangkan dirinya terlebih dahulu.


I really don't understand you Karin, if you really like her you should say it, not the other way around,” gumam Giselle sambil menatap Winter.

“Yaudah kalau gitu kakak balik ke kelas deh ya, semangat ngadepin Karina!” ucap Giselle di selingi dengan candaan di akhir kalimat.

“Hahaha iya, kakak juga!” balas Winter.

Giselle mengelus bahu Winter sebelum akhirnya dia pergi menuju ke kelasnya yang berada di lantai 3.

Karina saat ini berdiri tepat di depan pintu kamar Winter, cukup lama dia berdiri disana tanpa melakukan apapun.

Tangan kanannya perlahan terangkat,

Tok! Tok!

“Iya, siapa? Masuk aja, pintunya ngga di kunci,” sahut Winter dari dalam kamarnya setelah mendengar suara ketukan pintu.

Karina menarik nafasnya pelan dan di hembuskan kembali sebelum akhirnya membuka pintu dan masuk ke dalam kamar Winter.

“Kak Karin? Ngapain kesini?” ujar Winter sedikit ketus.

“Lagi ngapain? Sibuk ngga?” tanya Karina.

Winter mendengus pelan, dia mengira Karina akan mengucapkan kata maaf setelah waktu itu tiba-tiba marah padanya.

“Baca buku,” jawab Winter yang kembali menatap bukunya.

“Ganti bajunya, temenin aku keluar hari ini.”

“Ngga mau, aku males keluar!” sela Winter.

Stop ngambeknya dan cepet ganti baju!” ucap Karina.

“Kakak tuh yah!” omel Winter. “Seenggaknya minta maaf dulu ke aku, apa susahnya sih?!”

Karina diam menatap Winter, “Ngga mau ikut? Yaudah.”

Winter tercengang mendengar kalimat yang keluar dari bibir Karina itu. Sepertinya sangat susah membuat seorang Karina mengeluarkan kata 'maaf' dari mulutnya.

Karina berbalik, “Cepet ganti baju sebelum aku berubah pikiran!”

“Iya..iya aku ganti baju sekarang! Puas?!” teriak Winter dengan kesal.

Mendengar itu Karina hanya mengangkat kedua bahunya lalu berjalan keluar dari kamar Winter. Setelah menutup kembali pintu kamarnya Karina menatap pintu kamar di sebelahnya, perlahan ia berjalan mendekat ke kamar yang berada tepat di sebelah kamar Winter.

Selama 10 menit Karina hanya menatap pintu kamar itu, mengumpulkan seluruh keberaniannya tangan Karina terangkat mencoba untuk meraih ganggang pintu kamar tersebut.

“Emang ngga bosan ya cuman ngeliatin pintu kamarnya dari kemarin? Kenapa ngga masuk aja?” celetuk Winter yang sudah berganti pakaian.

“Ngga berani aja. Ayo berangkat,” balas Karina lalu berjalan mendahului Winter.

Sedikit bingung tapi akhirnya Winter menyusul Karina di depannya, entah kemana mereka akan pergi sekarang.

“Kamu mau kemana?” tanya Karina setelah keduanya berada di dalam mobil.

“Hah? Kan kakak yang ngajak keluar,” ujar Winter.

“Sebenernya aku juga bingung mau kemana,” sahut Karina.

“Ke mall aja deh, aku lagi pengen main,” saran Winter yang sibuk dengan sabuk pengamannya.

Dengan cepat Karina membantu Winter memasangkan sabuk pengamannya.

“Gimana? Udah kan?” tanya Karina.

“I–iya, udah,” jawab Winter sedikit gugup.

Kemudian mobil milik Karina itu mulai meninggalkan halaman rumah Winter.

Selama dalam perjalanan keduanya hanya saling diam tapi terkadang Karina menanyakan beberapa hal, seperti kesiapannya untuk UTS nanti atau ekskul dan les apa saja yang dia ikuti.

Karina merespon dengan senyuman kecil setiap jawaban yang keluar dari bibir Winter.

Keduanya sekarang sudah berada di dalam mall, namun sebelum menuju ke lantai tempat game station berada mereka terlebih dahulu membeli es krim.

“Mau yang rasa apa?” tanya Karina

“Vanilla aja kak,” jawab Winter.

“Aku pikir selera kamu sama Minjeong beda, ternyata sama ya,” ucap Karina.

“Ngga semuanya,” koreksi Winter. “Makasih kak.”

Winter menerima es krim yang di berikan Karina padanya.

“Minjeong kalau mesen minum tuh selalu yang strawberry milkshake, kamu suka strawberry milkshake juga?”

“Iya, tapi ngga sesering Minjeong,” balas Winter. Kenapa sekarang jadi tiba-tiba membahas tentang Minjeong?

“Deketan sini, mall lagi rame nanti kamu keseret sama orang,” ucap Karina yang langsung meraih tangan Winter dan menggenggamnya.

Untuk pertama kalinya tangan Winter di genggam oleh Karina. Entah mau bereaksi seperti apa lagi Winter saat ini.

“Kamu ada kenalan di bandung ngga?” tanya Karina.

“Ng–ngga ada kak, kenapa?”

“Ngga apa-apa, cuman pengen aja kesana. Kata Giselle, Nakyung aslinya dari bandung terus dia sering cerita kalau di bandung seru buat liburan,” jelas Karina sambil memakan es krimnya.

Winter tersenyum tipis, sungguh ini adalah pertama kalinya dia melihat Karina yang berbicara santai dengannya.

Dan juga Winter baru sadar jika Karina memiliki sifat yang seperti anak kecil saat asik bercerita.

Melihat ada begitu banyak orang di game station, Karina mengajak Winter untuk mengelilingi mall sambil melihat-lihat sesuatu yang bisa mereka beli dan selama itu juga pegangan Karina pada tangan Winter tidak terlepas.

“Kakak mau beli baju lagi? Bukannya udah punya banyak?” seru Winter.

“Aku kalau beliin kamu baju buat ulang tahun kamu nanti, bakal di terima ngga?”

“Ulang tahun aku masih lama kak, tahun depan.”

“Ya ngga apa-apa di beli dari sekarang, biasanya aku sering beliin Minjeong hadiah jauh sebelum hari ulang tahun.”

Minjeong lagi, Minjeong terus.

“Ngga apa-apa, baju aku juga udah banyak. Ayo, aku pengen main sekarang!” Winter melepaskan genggaman tangannya lalu berjalan lebih dulu.

Seharian penuh mereka habiskan untuk jalan-jalan dan mencari jajanan di pinggir jalan. Jika di tanya senang atau tidak jujur saja Winter akan menjawab dia senang bisa menghabiskan waktu bersama Karina, karena sangat jarang dia bisa pergi bersama Karina.

Tapi di satu sisi dia juga kesal, karena selama mereka bersama tidak ada satu menitpun Karina tidak menyebut nama Minjeong.

Tidak, jangan salah paham. Bukan berarti Winter membenci Minjeong karena selalu di sebut oleh Karina selama seharian ini, tapi dia juga ingin sekali saja Karina tidak membahas tentang Minjeong.

Karina cemburu melihat dia dan Heeseung tapi saat mereka bersama, Karina terus membahas tentang saudari kembarnya itu tanpa henti.

“Langsung istrahat, jangan tidur telat malam ini,” ucap Karina setelah sampai di rumah.

“Hmm, makasih kak buat hari ini,” balas Winter lalu pergi menuju kamarnya di lantai 2.

'Kamu tuh kadang susah di tebak kak, tapi herannya kenapa aku masih bisa tahan sama kamu sampai sekarang?'

Home


Winter tertawa pelan membaca pesan dari grup chatnya bersama dengan teman-temannya. Beberapa detik kemudian senyumannya menghilang bersamaan dengan chat Ningning muncul di layar atas handphonenya.

“Pak, macetnya masih lama ngga? Kak Karin udah nunggu lama di bandara, aku takutnya nanti kak Karin di ganggu sama orang asing,” sahut Winter setelah membaca pesan Ningning.

“Udah ngga terlalu non, sebentar lagi kita juga sampai di bandara kok non.”

“Yaudah, tetep hati-hati ya pak!”

Sang sopir tersenyum sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan.

Winter kembali menatap jalan raya dengan kaca jendela yang dia turunkan sedikit. Ada begitu banyak yang dia pikirkan sekarang, berbagai pikiran negatif muncul terus di dalam kepalanya.

“Pak?”

“Iya non?”

“Menurut bapak Winter udah ngambil keputusan yang bener ngga?” tanya Winter yang kini matanya fokus menatap sang sopir di kursi kemudi.

“Maksud nona gimana?”

“Bapak pasti tau apa yang Winter maksud. Semuanya, keputusan yang dari awal sampai sekarang Winter ambil.”

Sang sopir melirik ke arah kaca spion menatap sang majikan yang juga sedang menatap ke arahnya.

Sedetik kemudian seulas senyum terukir di wajah sang sopir.

Non Winter udah ngambil keputusan yang bener kok. Bapak kan udah sering bilang dari dulu, apapun keputusan yang non Winter ambil selama itu membuat orang lain dan non bahagia itu udah bener,” jelas sang sopir yang kembali membuat Winter berfikir keras.

“Sebenarnya Winter gak begitu bahagia seperti yang orang-orang lihat pak,” gumam Winter.

Non Karina cuman butuh waktu aja, percaya sama bapak.”

Winter menatap sang sopir yang tengah tersenyum menatapnya lewat kaca spion.

“Makasih pak udah selalu dengerin Winter curhat.”

“Sama-sama non.”

Percakapan keduanya terhenti saat sudah sampai di depan pintu masuk utama bandara.

Winter turun di ikuti dengan sang sopir yang berjalan di belakangnya. Kedua bola mata Winter tidak berhenti melihat setiap orang yang berada di kursi tunggu bandara, mencari sosok yang sudah 2 tahun ini tidak dia lihat.

Senyumannya merekah saat menemukan sosok yang dia cari.

“Kak Karin!” seru Winter sambil melambaikan tangan kanannya ke udara lalu segera menghampiri gadis berambut panjang berwarna ash grey itu.

“Kak-”

“Kok lama banget sih? Kan gue udah bilang jangan lama?!” potong Karina.

“Maaf kak, jalanannya tadi sedikit macet.”

“Bukan urusan gue!”

Winter hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Karina tanpa berniat untuk membalasnya.

“Ayo pak, saya capek pengen langsung istrahat!” ujar Karina.

“Iya, non. Mari!” Sang sopir mengambil alih 2 koper besar milik Karina.

Sementara Karina tanpa banyak basa-basi langsung pergi melewati Winter begitu saja.

“Ayo, non. Nanti bisa telat balik ke sekolah,” ucap sang sopir sambil menepuk bahu Winter dengan pelan.

Winter hanya mengangguk dan berjalan beriringan dengan sang sopir.

Saat berada di dalam mobil pun Winter hanya terdiam menutup mulutnya dengan rapat.

“Lo masih sekolah tapi bisa-bisanya nurutin permintaan Mami buat jemput gue di bandara,” ujar Karina.

“Ngga apa-apa kak. Mami khawatir soalnya ngga ada yang bisa jemput kakak di bandara hari ini, jadi Mami minta aku buat jemput kakak,” jelas Winter.

“Jangan fikir karna lo bela-belain jemput gue di bandara di sela-sela waktu sekolah gue bakal luluh gitu aja,” timpal Karina.

“Ngga bakal. Never!”

Winter tersenyum kecil, “Iya kak, aku tau kok.”

Bibirnya bisa saja tersenyum tapi tidak dengan hatinya yang sedang meringis kesakitan.


Perempuan berambut panjang dan berpipi chubby terlihat sangat cantik dengan pakaian yang berada di badannya saat ini.

“Bagaimana? Apa itu terlihat cantik?”

Wanita paruh baya yang berdiri di depannya tersenyum manis lalu menggerakan kedua tangannya.

Sangat cantik!” balasnya seiring dengan gerakan kedua tangannya itu.

“Baguslah jika begitu! Aku akan ke tokoh bunga hari ini.”

Wina, kamu tidak perlu bekerja terlalu keras, biar Ibu saja.”

“Bu, Ibu sudah merawatku selama 9 tahun terakhir ini, jadi sekarang giliran Wina yang membalas semua kebaikan Ibu!” Wina tersenyum hangat meyakinkan wanita paruh baya di depannya ini.

Baiklah, tapi jangan lupa memakai alat bantu dengarmu.”

“Ahh, itu...alat bantu dengarku yang dari Dokter waktu itu sudah rusak Bu, aku tidak sengaja menjatuhkannya dan terlindas oleh mobil. Tapi aku baik-baik saja, sungguh!” seru Wina.

“Kalau begitu aku pergi dulu, Bu!” pamit Wina yang langsung berlari keluar dari kamarnya sementara sang Ibu terus berteriak memanggil namanya yang tentu saja tidak akan terdengar oleh Wina.

Sambil mengayuh sepeda keranjangnya, Wina terus tersenyum sepanjang jalan dan menyapa para tetangga.

Winarsya Wardhana namanya, perempuan cantik berusia 21 tahun yang mengalami ketulian permanen sejak usianya 12 tahun karena sebuah kecelakaan mobil.

Wanita paruh baya yang di panggil Ibu itu adalah pemilik panti asuhan tempat ia tinggal setelah kedua orang tuanya meninggal.

Ada 2 alasan mengapa Wina tidak ingin menggunakan alat bantu dengar selain karena alat itu sudah rusak.

Yang pertama: harganya terbilang lumayan mahal untuknya terlebih lagi dia harus membeli alat bantu dengar sesuai dengan saran sang Dokter yang sudah pasti harganya tidak murah.

Yang kedua: dia tidak ingin mendengar cemohan-cemohan dari orang lain tentang dirinya yang tidak sempurna ini.

Tidak mendengar apapun adalah hal yang terbaik saat ini.


Kak, aku pergi sekarang ya!” Perempuan dengan rambut hitam legam nan panjang ini mencolek bahu seseorang lalu melakukan bahasa isyarat.

“Oh, kamu mau pergi sekarang? Tunggu sebentar!”

Ia mengangguk pelan sambil menunggu sang lawan bicara tadi kembali lagi.

“Ini, belilah apapun yang kamu mau di luar sana, jaga diri baik-baik, mengerti?”

Iya, terima kasih kak!” Dengan senyum lebar, ia pergi meninggalkan tokoh kue kakaknya itu.

Sekarina Dewangga, si cantik yang bercita-cita menjadi seorang Dokter ini harus rela mengubur cita-citanya dengan dalam karena keterbatasan fisiknya ini.

Dia bisa mendengar, bisa menulis dengan baik, pintar, hanya saja dirinya tidak bisa berbicara karena mengalami kebisuan sejak dia masih kecil.

Rasa percaya dirinya juga menurun drastis, sehingga Karina membuang jauh-jauh impiannya itu.

Sesekali dia tertawa melihat pesan dari temannya, Gia yang sedang mendengus sebal karena Dosennya terus bercerita tanpa henti.

Pandangannya terhenti pada seseorang yang seperti sedang mengajar beberapa anak di pinggiran taman. Karina menghampirinya karena merasa tertarik saat orang itu melakukan bahasa isyarat.

Sampai sini dulu ya pelajaran kita, saat pulang hati-hati di jalan, paham?”

Anak-anak kecil itu mengangguk paham lalu menyalim punggung tangan perempuan yang mengajari mereka kemudian berlalu pergi.

Karina masih terus menatapnya sampai ia tidak sadar jika hanya tersisa antara dirinya dengan perempuan itu sekarang.

“Maaf, ada yang bisa di bantu?”

Karina tersadar dari lamunannya lalu dengan gugup membungkukkan badannya berkali-kali.

Ahh, maaf! Aku tadi tidak sengaja melihatmu sedang mengajari anak-anak tadi tentang bahasa isyarat, aku tertarik jadi datang menghampirimu. Maaf!”

Dengan mata yang berbinar perempuan berambut panjang itu tersenyum senang.

Kamu bisa menggunakan bahasa isyarat?” serunya.

Iya, kebetulan aku tuna wicara.”

“Tuna wicara? Itu berarti kamu masih bisa mendengar bukan?”

Karina tersenyum simpul lalu menganggukkan kepalanya dengan pelan.

“Aku senang bisa bertemu dengan seseorang yang senasib denganku, jadi ayo kita kenalan? Namaku Winarsya,” seru perempuan itu dengan senyum manisnya.

Sekarina, terserah padamu ingin memanggilku siapa,” balas Karina dengan gerakan tangannya yang sangat lugas.

“Senang bisa mengenalmu, Sekar!” ucap Wina.

Keduanya saling memberikan senyum termanisnya, merasa senang karena bertemu dengan seseorang yang bisa mengerti dengan keadaan diri mereka masing-masing.


June 2007

Tiga anak kecil dengan salah satu yang berbadan lebih besar dari ketiganya tengah tertawa sambil terus mengejek salah satu gadis kecil yang sedang menaiki ayunan. Tawa kecil terus keluar dari ketiga anak tersebut.

“Kasihan, udah ngga punya temen ngga punya Ayah pula!” ejek si anak yang paling kecil badannya.

“Pas masih di TK kemarin aja dia malah ngajak Mamanya ke sekolah padahal itu hari Ayah!” ucap si anak berkacamata.

“Kamu kalau gak punya Ayah mending gak usah masuk ke sekolah kita, pindah aja sana!” Kali ini si anak yang berbadan besar lah yang mencemohnya.

Sementara si gadis kecil berambut panjang lebat itu hanya terdiam sambil mendengarkan ejeken demi ejekan yang di berikan oleh ketiga anak kecil ini.

Mau di balas pun dia kalah jumlah terlebih lagi dia perempuan sementara mereka laki-laki.

“Emangnya salah kalau aku gak punya Ayah? Lagian kata Mami itu bukan hal yang perlu di besar-besarin, aku punya Mami yang juga bisa jadi Ayah buat aku,” serunya.

“Anak yang gak punya Ayah itu aib tau ngga, keluarganya gak sempurna. Kayak kamu!”

Kedua tangan gadis kecil itu mengepal dengan kuat di tali pegangan, rasanya dia ingin menangis sekarang.

“Hei! Kalau mau belantem jangan keloyokan dong!” teriak seorang gadis yang mungkin tingginya sedikit lebih kecil dari gadis yang di tindas ini.

Sambil berkacak pinggang gadis kecil berambut pendek seleher ini menatap ketiga anak itu dengan sangar.

“Ngga malu apa sama bulungnya? Masa ngeloyok anak pelempuan, kalian ngga di ajalin sopan santun dan cala ngehalgain pelempuan ya sama olang tuanya!” ujarnya dengan tegas sambil mengangkat dagunya dengan tinggi.

Duk!

Gadis berambut pendek itu menendang keras kaki si anak berbadan besar hingga anak itu menangis kesakitan.

“Pelgi atau aku pukul kalian semua, mau?!”

Dengan cepat ketiganya pergi menjauh meninggalkan kedua anak itu.

“Huuu Bunda, aku takut,” cerocos gadis itu setelah berhasil mengusir para penindas barusan.

Padahal dia sendiri takut menghadapi ketiga anak tadi tapi berkat ucapan Bundanya 'Harus berani dulu pokoknya, terus tendang kakinya atau pukul kepalanya, pasti nanti kabur kok' itu dia sedikit berani.

Gadis berambut panjang yang tengah duduk di ayunan itu tertawa melihat wajah ketakutannya.

“Kamu kalau takut kenapa harus bantuin aku tadi?”

“Kata Bunda aku halus bantuin olang yang butuh bantuan, jadi tenang aja hehe,” katanya. “Lagipula ngga apa-apa kok ngga punya Ayah, aku malah punya-nya Bunda sama Mama!”

Gadis itu mengerutkan keningnya dengan bingung karena tidak mengerti.

“Adek, ayo pulang! Nanti Mama-mu nyariin kamu, bisa-bisa bunda yang di hajar!”

“Iya Bunda!”

“Aku pulang dulu ya, lain kali jangan takut buat mukul, oke? Bye!”

Gadis kecil berambut pendek itu berlari ke arah Bundanya yang sedang menunggunya.

“Padahal kita belum kenalan.”


August 2010

Kelas hari itu terlihat sangat ramai dan berisik saat mengetahui akan ada murid pindahan ke sekolah mereka. Tapi ada satu murid yang tidak terlalu perduli akan hal itu.

Dia hanya berdiam diri di bangkunya sambil melihat ke arah jendela dengan tatapan kosongnya. Temannya yang duduk di sebelah menyentuh bahunya pelan.

“Karina, kamu ngga apa-apa? Dari tadi diem terus?” tanya temannya.

“Aku ngga apa-apa, Giselle,” balasnya dengan pelan. “Jam pertama nanti pelajaran apa?”

“Bahasa Inggris sih setahu aku, kenapa?”

“Aku mau ke UKS, tolong bilangin ke gurunya aku kurang enak badan ya?”

“Loh, kamu ngga mau kenalan sama murid barunya nanti? Anak-anak lain nanti bakal ke kelas 3 buat kenalan” seru Giselle.

“Ngga, aku ngga tertarik.”

Setelah itu Karina benar-benar pergi meninggalkan kelasnya dan menuju UKS. Giselle yang di tinggal hanya menggelengkan kepalanya.

Karina benar-benar menghabiskan seluruh waktunya di UKS, dia baru keluar dari ruangan itu saat bel istirahat berbunyi.

Dengan langkah malas Karina berjalan menuju kelasnya lagi untuk mengambil uang di tasnya, tapi belum sampai di kelas, Karina melihat seorang murid di depan kelas 3-A tengah berjongkok seolah sedang mencari sesuatu.

“Dapat!” serunya.

Tunggu dulu! Karina seperti mengenali wajah itu. Iya benar, itu wajah gadis kecil yang sempat menolongnya beberapa tahun yang lalu.

Dengan cepat Karina berlari menghampiri gadis itu sambil tersenyum manis, membuat si murid kebingungan.

“Kamu...kamu yang waktu itu nolongin aku kan? Di ayunan taman kota!” seru Karina.

“Nolongin kamu? Ayunan taman kota?” Tampak gurat kebingungan dari si lawan bicara, tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan oleh Karina.

“Mungkin kamu udah lupa karna itu udah lama, tapi aku masih inget kok wajah kamu. Tenang aja, aku cuman mau kenalan dan temenan sama kamu, boleh kan?”

Cukup lama ia terdiam sebelum akhirnya dengan ragu menganggukan kepalanya dengan pelan.

“Karina. Nama aku Karina!” seru Karina sambil tersenyum dengan begitu manis membuat si lawan bicara juga ikut tersenyum.

“Minjeong, senang bisa kenalan sama kamu!” balasnya dengan meraih uluran tangan Karina.


January 2011

“Jadi yang sering kamu ceritain ke aku itu kembaran kamu? Kok ngga ngasih tau kalau kamu punya kembaran?” celetuk Karina.

“Kan kamu ngga pernah nanya, Rin,” balas Minjeong.

“Heh! Aku lebih tua setahun ya dari kamu, jangan panggil nama doang!” omel Karina.

“Ish, hari ini doang! Kan aku ulang tahun hari ini!” dengus Minjeong.

“Ngga boleh!” kekeuh Karina. “Ngomong-ngomong, hari ini ulang tahun dia juga dong, tapi kok aku ngga pernah liat dia ada di rumah?”

“Dia ikut nenek tinggal di Singapura, iya dia juga ulang tahun hari ini.”

Karina mengangguk-ngangguk paham.

“Mau ucapin ke dia juga ngga? Sekalian ngomong, aku telfon sekarang kalau mau,” tawar Minjeong.

“Mau! Mau banget, sekalian aku mau minta restu kembaran kamu juga!”

“Ngga usah aneh-aneh!”

Minjeong mengambil handphone merk Blackberry Bold Touch 9900 miliknya lalu menelfon saudara kembarnya itu.

“Iya, halo?”

“Winter, happy birthday and miss you so much!” seru Minjeong setelah mendengar suara saudaranya itu.

“Happy birtday too for you, pengen ngerayain bareng kamu lagi!”

“Tahun depan aja deh, Bunda sama Mama keliatan lagi sibuk!”

“Iya, ngerti kok aku.”

'Aku! Aku juga pengen ngomong!'. Begitulah bisikan Karina yang terdengar di telinga Minjeong.

“Oh iya ada yang mau ngomong juga sama kamu,” ujar Minjeong.

“Siapa?”

“Halo, Winter! Happy birthday ya!” seru Karina.

“Ahh iya makasih!”

“Aku Karina, temen sekaligus calon pacar Minjeong nanti, dia sering ngomongin kamu ke aku jadi aku tau dikit-dikit tentang kamu. Salam kenal ya calon adik ipar!”

Minjeong dengan cepat memukul bahu Karina sementara di seberang telfon Winter tertawa mendengar kekonyolan dari orang yang baru saja di kenalnya ini.

“Ngaco banget kenapa sih!” omel Minjeong.

“Winter, nanti restuin aku ya, janji nanti aku beliin es krim setruck!” celetuk Karina lagi.

“Kak, mending kamu diem deh!”

Di sebrang telfon sana Winter terus tertawa mendengar Minjeong yang mendumel kesal karena ulah Karina.


July 2013

“Ayo facecall bareng Winter, aku pengen ucapin selamat ke dia karna udah jadi juara umum di sekolahnya!” seru Karina.

“Iya ih bawel banget,” sungut Minjeong lalu menuruti ucapan Karina.

Butuh waktu 15 detik untuk akhirnya Winter menerima panggilan dari Minjeong.

“Jeong! Ya ampun, udah gembul aja pipi kamu!” seru Winter.

“Kata aku sih ngaca! Oh iya, aku lagi sama seseorang, coba tebak siapa? hint-nya dia baru aja masuk SMP tahun ini,” ujar Minjeong.

“Kak Karina?”

“Betul! Nih orangnya, kenalan face dulu gih!”

“Halo, Winter! Iihh dia beneran mirip banget sama kamu loh, Jeong!” seru Karina.

Sementara Winter hanya diam dan tersenyum kaku saat melihat wajah Karina yang tiba-tiba muncul di layar iPad-nya.

“Aku denger kamu juara umum, selamat ya, Winter!”

“Haha iya, makasih kak. Selamat juga buat kakak karna udah jadi lulusan terbaik kemarin, Minjeong cerita ke aku.”

“Aduh jadi malu haha, tapi makasih ya!”

“Kapan balik ke Indonesia, Win?” kali ini giliran Minjeong yang bersuara.

“Gak tau, Jeong. Mungkin tahun depan? Tapi aku lihat-lihat dulu deh,” balas Winter.

“Kalau kamu ke Indonesia kita berempat bareng Giselle harus main bareng, kamu inget Giselle kan? Temen aku sama Minjeong yang kita ceritain waktu itu.”

“Ah iya, kak Giselle! Pasti, kita harus main bareng. Sampaiin salam aku ya ke kak Giselle!”

“Siaap!”

Udah dulu ya, aku lagi bantuin nenek buat bikin kue soalnya.”

“Oke, titip salam ya ke nenek!” ucap Minjeong.

“Iya, aku tutup ya? Bye!”

Setelah facecall-nya berakhir Karina berseru dengan heboh, memikirkan betapa miripnya Minjeong dan Winter. Dia memang sudah membayangkan bagaimana rupa Winter, tapi tidak pernah menduga jika keduanya benar-benar sangat kembar identik.

“Biasa aja ih kak,” tawa Minjeong.

“Hehe, aku kan baru kali ini lihat wajahnya Winter,” balas Karina.

“Btw kak, janji ya nanti kakak jagain dan perlakuin Winter kayak kakak perlakuin aku selama ini, bikin dia seneng sama bahagia juga,” ucap Minjeong.

“Aku paling ngga bisa kalau harus buat janji, tapi demi kamu sama Winter iya aku janji!” Karina tersenyum lebar.

“Tahun depan udah bisa jadi pacar aku nih, kan udah masuk SMP,” goda Karina.

“Kak, diem deh!” omel Minjeong.

Karina tertawa kencang melihat reaksi dari Minjeong yang menurutnya lucu itu.


August 2014

“Winter beneran balik hari ini ke Indonesia? Serius?!” celetuk Karina sedikit heboh karna sudah tidak sabar untuk bertemu.

“Iya, Kata Mama bentar lagi pesawatnya landing, terus aku rencananya mau jemput dia di bandara,” balas Minjeong.

“Winter tau ngga kamu bakal jemput dia ke bandara?” tanya Karina.

“Ngga, aku sengaja bilang ngga bisa jemput dia hari ini karna sibuk, aku mau ngasih kejutan!” seru Minjeong yang begitu excited.

“Aku juga mau jemput dia di bandara, tapi aku ngga bisa,” lirih Karina dengan wajah sedihnya.

“Kenapa? Ada les lagi ya?”

“Engga, hari ini aku kosong jadwal les-nya tapi aku di mintain tolong buat jadi pelatih sementara buat anak-anak kelas 7 yang ikut ekskul Taekwondo,” jelas Karina.

“Yaudah, nanti sehabis ngasih latihan aja baru kamu nyusul ke rumah, nanti aku titipin salam kamu buat Winter.”

“Oke, nanti hubungin aku ya kalau udah sampai bandara, hati-hati!” ucap Karina lalu mencium singkat pipi kanan Minjeong kemudian berlari memasuki gedung sekolahnya lagi.

Minjeong tersenyum, lalu memghentikan taksi untuk segera menuju ke bandara karena 20 menit lagi pesawat yang di tumpangi Winter akan tiba.

Karina sebenarnya sangat ingin ikut karna dia ingin melihat secara langsung kembaran pacarnya itu. Dia sangat ingin jam ekskul kali ini segera berakhir walaupun mereka baru menghabiskan waktu 35 menit.

“KARINA! KARIN!” Suara teriakan kencang dari seseorang yang sedang berlari menghampiri Karina menyita perhatian beberapa murid yang sedang melakukan ekskul di lapangan outdoor itu.

“Giselle? Kenapa lo lari-larian udah kayak di kejar anjing?” sahut Karina.

“Telfon gue kenapa gak lo angkat sih anjir! Gue udah nelfonin lo 25 kali!”

“Handphone gue ada di di dalem tas, Gi. Kenapa sih?”

“Minjeong kecelakaan! Gue di telfon sama orang rumah sakit, buruan kemasin barang-barang lo sekarang!”

“Mi–Minjeong kecelakaan? Terus Winter gimana? Dia juga ikut kecelakaan?!”

“Winter masih di bandara, Rin. Minjeong kecelakaan di jalan menuju bandara 5 menit setelah dia nelfon gue!”

Tanpa pikir panjang Karina meraih tas sekolahnya dan berlari dengan pakaian Taekwondo yang masih melekat di badannya. Giselle dengan segera menyusul Karina.

Tepat di hari itu juga mimpi buruk Karina terjadi, sesaat setelah dia sampai di rumah sakit yang mana orang tua Minjeong serta Maminya juga ada disana Dokter mengucapkan kalimat yang tidak ingin sama sekali Karina dengar.

Hari itu Minjeong meninggal karena kecelakaan yang dia alami, akibat benturan keras di kepalanya Minjeong meninggal saat di larikan ke rumah sakit. Yang bisa di lakukan Karina saat itu hanyalah menangis.

10 menit setelahnya barulah Winter sampai di rumah sakit, selama dalam perjalanan dia berusaha untuk tidak menangis tapi saat tiba di rumah sakit dan mendengar bahwa saudari kembarnya itu telah tiada sebelum mereka bertemu tangis Winter pecah seketika, kedua kakinya tidak sanggup untuk berdiri lagi.

Pemakaman Minjeong di lakukan hari itu juga, Karina memilih untuk tetap tinggal di rumah Minjeong sambil menatap foto-foto mereka berdua di kamar Minjeong. Padahal baru siang tadi dia bertemu dengan Minjeong, mereka mengobrol dan tersenyum bersama tapi sekarang Karina harus merelakan Minjeong yang sudah terkubur di bawah tanah.

Pemakamannya sudah berakhir 5 menit yang lalu, Giselle, Winter dan Ningning yang Giselle ketahui adalah teman Winter di Singapura itu datang menemui Karina yang berada di kamar Minjeong.

Segelas air yang di genggam oleh Winter kini di sodorkan pada Karina yang tampak lemas itu. Karina hanya menatap gelas berisikan air minum yang di berikan oleh Winter lalu dengan tiba-tiba dia menepis tangan Winter dengan kasar membuat gelasnya jatuh dan pecah di lantai.

Don't act like you're Minjeong, i hate you!” ketus Karina lalu keluar dari kamar Minjeong yang kemudian di kejar oleh Giselle.

Karena usianya yang masih muda tentu saja emosi Karina belum stabil, terlebih lagi 2 minggu setelah kematian Minjeong itu Maminya dan kedua orang tua Winter malah menjodohkan mereka berdua dan melaksanakan pertunangannya secara privat.

Yang mana itu membuat Karina semakin emosi.



August 2017

“Jeong, aku pulang. Tunggu aku yah, dan aku janji bakal selesain semuanya.”

'I don't deserve both of you, i've failed and i hate myself'


June 2007

Tiga anak kecil dengan salah satu yang berbadan lebih besar dari ketiganya tengah tertawa sambil terus mengejek salah satu gadis kecil yang sedang menaiki ayunan. Tawa kecil terus keluar dari ketiga anak tersebut.

“Kasihan, udah ngga punya temen ngga punya Ayah pula!” ejek si anak yang paling kecil badannya.

“Pas masih di TK kemarin aja dia malah ngajak Mamanya ke sekolah padahal itu hari Ayah!” ucap si anak berkacamata.

“Kamu kalau gak punya Ayah mending gak usah masuk ke sekolah kita, pindah aja sana!” Kali ini si anak yang berbadan besar lah yang mencemohnya.

Sementara si gadis kecil berambut panjang lebat itu hanya terdiam sambil mendengarkan ejeken demi ejekan yang di berikan oleh ketiga anak kecil ini.

Mau di balas pun dia kalah jumlah terlebih lagi dia perempuan sementara mereka laki-laki.

“Emangnya salah kalau aku gak punya Ayah? Lagian kata Mami itu bukan hal yang perlu di besar-besarin, aku punya Mami yang juga bisa jadi Ayah buat aku,” serunya.

“Anak yang gak punya Ayah itu aib tau ngga, keluarganya gak sempurna. Kayak kamu!”

Kedua tangan gadis kecil itu mengepal dengan kuat di tali pegangan, rasanya dia ingin menangis sekarang.

“Hei! Kalau mau belantem jangan keloyokan dong!” teriak seorang gadis yang mungkin tingginya sedikit lebih kecil dari gadis yang di tindas ini.

Sambil berkacak pinggang gadis kecil berambut pendek seleher ini menatap ketiga anak itu dengan sangar.

“Ngga malu apa sama bulungnya? Masa ngeloyok anak pelempuan, kalian ngga di ajalin sopan santun dan cala ngehalgain pelempuan ya sama olang tuanya!” ujarnya dengan tegas sambil mengangkat dagunya dengan tinggi.

Duk!

Gadis berambut pendek itu menendang keras kaki si anak berbadan besar hingga anak itu menangis kesakitan.

“Pelgi atau aku pukul kalian semua, mau?!”

Dengan cepat ketiganya pergi menjauh meninggalkan kedua anak itu.

“Huuu Bunda, aku takut,” cerocos gadis itu setelah berhasil mengusir para penindas barusan.

Padahal dia sendiri takut menghadapi ketiga anak tadi tapi berkat ucapan Bundanya 'Harus berani dulu pokoknya, terus tendang kakinya atau pukul kepalanya, pasti nanti kabur kok' itu dia sedikit berani.

Gadis berambut panjang yang tengah duduk di ayunan itu tertawa melihat wajah ketakutannya.

“Kamu kalau takut kenapa harus bantuin aku tadi?”

“Kata Bunda aku halus bantuin olang yang butuh bantuan, jadi tenang aja hehe,” katanya. “Lagipula ngga apa-apa kok ngga punya Ayah, aku malah punya-nya Bunda sama Mama!”

Gadis itu mengerutkan keningnya dengan bingung karena tidak mengerti.

“Adek, ayo pulang! Nanti Mama-mu nyariin kamu, bisa-bisa bunda yang di hajar!”

“Iya Bunda!”

“Aku pulang dulu ya, lain kali jangan takut buat mukul, oke? Bye!”

Gadis kecil berambut pendek itu berlari ke arah Bundanya yang sedang menunggunya.

“Padahal kita belum kenalan.”


August 2010

Kelas hari itu terlihat sangat ramai dan berisik saat mengetahui akan ada murid pindahan ke sekolah mereka. Tapi ada satu murid yang tidak terlalu perduli akan hal itu.

Dia hanya berdiam diri di bangkunya sambil melihat ke arah jendela dengan tatapan kosongnya. Temannya yang duduk di sebelah menyentuh bahunya pelan.

“Karina, kamu ngga apa-apa? Dari tadi diem terus?” tanya temannya.

“Aku ngga apa-apa, Giselle,” balasnya dengan pelan. “Jam pertama nanti pelajaran apa?”

“Bahasa Inggris sih setahu aku, kenapa?”

“Aku mau ke UKS, tolong bilangin ke gurunya aku kurang enak badan ya?”

“Loh, kamu ngga mau kenalan sama murid barunya nanti? Anak-anak lain nanti bakal ke kelas 3 buat kenalan” seru Giselle.

“Ngga, aku ngga tertarik.”

Setelah itu Karina benar-benar pergi meninggalkan kelasnya dan menuju UKS. Giselle yang di tinggal hanya menggelengkan kepalanya.

Karina benar-benar menghabiskan seluruh waktunya di UKS, dia baru keluar dari ruangan itu saat bel istirahat berbunyi.

Dengan langkah malas Karina berjalan menuju kelasnya lagi untuk mengambil uang di tasnya, tapi belum sampai di kelas, Karina melihat seorang murid di depan kelas 3-A tengah berjongkok seolah sedang mencari sesuatu.

“Dapat!” serunya.

Tunggu dulu! Karina seperti mengenali wajah itu. Iya benar, itu wajah gadis kecil yang sempat menolongnya beberapa tahun yang lalu.

Dengan cepat Karina berlari menghampiri gadis itu sambil tersenyum manis, membuat si murid kebingungan.

“Kamu...kamu yang waktu itu nolongin aku kan? Di ayunan taman kota!” seru Karina.

“Nolongin kamu? Ayunan taman kota?” Tampak gurat kebingungan dari si lawan bicara, tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan oleh Karina.

“Mungkin kamu udah lupa karna itu udah lama, tapi aku masih inget kok wajah kamu. Tenang aja, aku cuman mau kenalan dan temenan sama kamu, boleh kan?”

Cukup lama ia terdiam sebelum akhirnya dengan ragu menganggukan kepalanya dengan pelan.

“Karina. Nama aku Karina!” seru Karina sambil tersenyum dengan begitu manis membuat si lawan bicara juga ikut tersenyum.

“Minjeong, senang bisa kenalan sama kamu!” balasnya dengan meraih uluran tangan Karina.


January 2011

“Jadi yang sering kamu ceritain ke aku itu kembaran kamu? Kok ngga ngasih tau kalau kamu punya kembaran?” celetuk Karina.

“Kan kamu ngga pernah nanya, Rin,” balas Minjeong.

“Heh! Aku lebih tua setahun ya dari kamu, jangan panggil nama doang!” omel Karina.

“Ish, hari ini doang! Kan aku ulang tahun hari ini!” dengus Minjeong.

“Ngga boleh!” kekeuh Karina. “Ngomong-ngomong, hari ini ulang tahun dia juga dong, tapi kok aku ngga pernah liat dia ada di rumah?”

“Dia ikut nenek tinggal di Singapura, iya dia juga ulang tahun hari ini.”

Karina mengangguk-ngangguk paham.

“Mau ucapin ke dia juga ngga? Sekalian ngomong, aku telfon sekarang kalau mau,” tawar Minjeong.

“Mau! Mau banget, sekalian aku mau minta restu kembaran kamu juga!”

“Ngga usah aneh-aneh!”

Minjeong mengambil handphone merk Blackberry Bold Touch 9900 miliknya lalu menelfon saudara kembarnya itu.

“Iya, halo?”

“Winter, happy birthday and miss you so much!” seru Minjeong setelah mendengar suara saudaranya itu.

“Happy birtday too for you, pengen ngerayain bareng kamu lagi!”

“Tahun depan aja deh, Bunda sama Mama keliatan lagi sibuk!”

“Iya, ngerti kok aku.”

'Aku! Aku juga pengen ngomong!'. Begitulah bisikan Karina yang terdengar di telinga Minjeong.

“Oh iya ada yang mau ngomong juga sama kamu,” ujar Minjeong.

“Siapa?”

“Halo, Winter! Happy birthday ya!” seru Karina.

“Ahh iya makasih!”

“Aku Karina, temen sekaligus calon pacar Minjeong nanti, dia sering ngomongin kamu ke aku jadi aku tau dikit-dikit tentang kamu. Salam kenal ya calon adik ipar!”

Minjeong dengan cepat memukul bahu Karina sementara di seberang telfon Winter tertawa mendengar kekonyolan dari orang yang baru saja di kenalnya ini.

“Ngaco banget kenapa sih!” omel Minjeong.

“Winter, nanti restuin aku ya, janji nanti aku beliin es krim setruck!” celetuk Karina lagi.

“Kak, mending kamu diem deh!”

Di sebrang telfon sana Winter terus tertawa mendengar Minjeong yang mendumel kesal karena ulah Karina.


July 2013

“Ayo facecall bareng Winter, aku pengen ucapin selamat ke dia karna udah jadi juara umum di sekolahnya!” seru Karina.

“Iya ih bawel banget,” sungut Minjeong lalu menuruti ucapan Karina.

Butuh waktu 15 detik untuk akhirnya Winter menerima panggilan dari Minjeong.

“Jeong! Ya ampun, udah gembul aja pipi kamu!” seru Winter.

“Kata aku sih ngaca! Oh iya, aku lagi sama seseorang, coba tebak siapa? hint-nya dia baru aja masuk SMP tahun ini,” ujar Minjeong.

“Kak Karina?”

“Betul! Nih orangnya, kenalan face dulu gih!”

“Halo, Winter! Iihh dia beneran mirip banget sama kamu loh, Jeong!” seru Karina.

Sementara Winter hanya diam dan tersenyum kaku saat melihat wajah Karina yang tiba-tiba muncul di layar iPad-nya.

“Aku denger kamu juara umum, selamat ya, Winter!”

“Haha iya, makasih kak. Selamat juga buat kakak karna udah jadi lulusan terbaik kemarin, Minjeong cerita ke aku.”

“Aduh jadi malu haha, tapi makasih ya!”

“Kapan balik ke Indonesia, Win?” kali ini giliran Minjeong yang bersuara.

“Gak tau, Jeong. Mungkin tahun depan? Tapi aku lihat-lihat dulu deh,” balas Winter.

“Kalau kamu ke Indonesia kita berempat bareng Giselle harus main bareng, kamu inget Giselle kan? Temen aku sama Minjeong yang kita ceritain waktu itu.”

“Ah iya, kak Giselle! Pasti, kita harus main bareng. Sampaiin salam aku ya ke kak Giselle!”

“Siaap!”

Udah dulu ya, aku lagi bantuin nenek buat bikin kue soalnya.”

“Oke, titip salam ya ke nenek!” ucap Minjeong.

“Iya, aku tutup ya? Bye!”

Setelah facecall-nya berakhir Karina berseru dengan heboh, memikirkan betapa miripnya Minjeong dan Winter. Dia memang sudah membayangkan bagaimana rupa Winter, tapi tidak pernah menduga jika keduanya benar-benar sangat kembar identik.

“Biasa aja ih kak,” tawa Minjeong.

“Hehe, aku kan baru kali ini lihat wajahnya Winter,” balas Karina.

“Btw kak, janji ya nanti kakak jagain dan perlakuin Winter kayak kakak perlakuin aku selama ini, bikin dia seneng sama bahagia juga,” ucap Minjeong.

“Aku paling ngga bisa kalau harus buat janji, tapi demi kamu sama Winter iya aku janji!” Karina tersenyum lebar.

“Tahun depan udah bisa jadi pacar aku nih, kan udah masuk SMP,” goda Karina.

“Kak, diem deh!” omel Minjeong.

Karina tertawa kencang melihat reaksi dari Minjeong yang menurutnya lucu itu.


August 2014

“Winter beneran balik hari ini ke Indonesia? Serius?!” celetuk Karina sedikit heboh karna sudah tidak sabar untuk bertemu.

“Iya, Kata Mama bentar lagi pesawatnya landing, terus aku rencananya mau jemput dia di bandara,” balas Minjeong.

“Winter tau ngga kamu bakal jemput dia ke bandara?” tanya Karina.

“Ngga, aku sengaja bilang ngga bisa jemput dia hari ini karna sibuk, aku mau ngasih kejutan!” seru Minjeong yang begitu excited.

“Aku juga mau jemput dia di bandara, tapi aku ngga bisa,” lirih Karina dengan wajah sedihnya.

“Kenapa? Ada les lagi ya?”

“Engga, hari ini aku kosong jadwal les-nya tapi aku di mintain tolong buat jadi pelatih sementara buat anak-anak kelas 7 yang ikut ekskul Taekwondo,” jelas Karina.

“Yaudah, nanti sehabis ngasih latihan aja baru kamu nyusul ke rumah, nanti aku titipin salam kamu buat Winter.”

“Oke, nanti hubungin aku ya kalau udah sampai bandara, hati-hati!” ucap Karina lalu mencium singkat pipi kanan Minjeong kemudian berlari memasuki gedung sekolahnya lagi.

Minjeong tersenyum, lalu memghentikan taksi untuk segera menuju ke bandara karena 20 menit lagi pesawat yang di tumpangi Winter akan tiba.

Karina sebenarnya sangat ingin ikut karna dia ingin melihat secara langsung kembaran pacarnya itu. Dia sangat ingin jam ekskul kali ini segera berakhir walaupun mereka baru menghabiskan waktu 35 menit.

“KARINA! KARIN!” Suara teriakan kencang dari seseorang yang sedang berlari menghampiri Karina menyita perhatian beberapa murid yang sedang melakukan ekskul di lapangan outdoor itu.

“Giselle? Kenapa lo lari-larian udah kayak di kejar anjing?” sahut Karina.

“Telfon gue kenapa gak lo angkat sih anjir! Gue udah nelfonin lo 25 kali!”

“Handphone gue ada di di dalem tas, Gi. Kenapa sih?”

“Minjeong kecelakaan! Gue di telfon sama orang rumah sakit, buruan kemasin barang-barang lo sekarang!”

“Mi–Minjeong kecelakaan? Terus Winter gimana? Dia juga ikut kecelakaan?!”

“Winter masih di bandara, Rin. Minjeong kecelakaan di jalan menuju bandara 5 menit setelah dia nelfon gue!”

Tanpa pikir panjang Karina meraih tas sekolahnya dan berlari dengan pakaian Taekwondo yang masih melekat di badannya. Giselle dengan segera menyusul Karina.

Tepat di hari itu juga mimpi buruk Karina terjadi, sesaat setelah dia sampai di rumah sakit yang mana orang tua Minjeong serta Maminya juga ada disana Dokter mengucapkan kalimat yang tidak ingin sama sekali Karina dengar.

Hari itu Minjeong meninggal karena kecelakaan yang dia alami, akibat benturan keras di kepalanya Minjeong meninggal saat di larikan ke rumah sakit. Yang bisa di lakukan Karina saat itu hanyalah menangis.

10 menit setelahnya barulah Winter sampai di rumah sakit, selama dalam perjalanan dia berusaha untuk tidak menangis tapi saat tiba di rumah sakit dan mendengar bahwa saudari kembarnya itu telah tiada sebelum mereka bertemu tangis Winter pecah seketika, kedua kakinya tidak sanggup untuk berdiri lagi.

Pemakaman Minjeong di lakukan hari itu juga, Karina memilih untuk tetap tinggal di rumah Minjeong sambil menatap foto-foto mereka berdua di kamar Minjeong. Padahal baru siang tadi dia bertemu dengan Minjeong, mereka mengobrol dan tersenyum bersama tapi sekarang Karina harus merelakan Minjeong yang sudah terkubur di bawah tanah.

Pemakamannya sudah berakhir 5 menit yang lalu, Giselle, Winter dan Ningning yang Giselle ketahui adalah teman Winter di Singapura itu datang menemui Karina yang berada di kamar Minjeong.

Segelas air yang di genggam oleh Winter kini di sodorkan pada Karina yang tampak lemas itu. Karina hanya menatap gelas berisikan air minum yang di berikan oleh Winter lalu dengan tiba-tiba dia menepis tangan Winter dengan kasar membuat gelasnya jatuh dan pecah di lantai.

Don't act like you're Minjeong, i hate you!” ketus Karina lalu keluar dari kamar Minjeong yang kemudian di kejar oleh Giselle.

Karena usianya yang masih muda tentu saja emosi Karina belum stabil, terlebih lagi 2 minggu setelah kematian Minjeong itu Maminya dan kedua orang tua Winter malah menjodohkan mereka berdua dan melaksanakan pertunangannya secara privat.

Yang mana itu membuat Karina semakin emosi.



August 2017

“Jeong, aku pulang. Tunggu aku yah, dan aku janji bakal selesain semuanya.”

'cause i don't deserve both of you'

Karina berdiri sambil menyandarkan badannya di mobil dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada, memperhatikan satu persatu murid yang datang.

Sesekali matanya menatap beberapa murid yang datang membawa motor mereka. Setelah menunggu hampir 15 menit Karina melihat motor sport Heeseung yang memasuki area parkir sekolah.

“Sini, biar aku yang lepasin helm-nya,” ucap Heeseung membantu Winter melepaskan helm-nya.

“Makasih ya,” seru Winter.

“Deketan sini coba, rambut kamu agak berantakan.”

Winter tertawa kecil lalu mendekat ke arah Heeseung membiarkan cowok itu merapihkan rambutnya.

“Nah, udah rapih, makin cantik kalau gini!” ucap Heeseung.

“Ya, aku emang cantik sih,” balas Winter dengan nada bercandanya.

“Winter,” sahut Karina membuat kedua orang ini menoleh secara bersamaan.

Heeseung tersenyum ramah, “Pagi kak!”

We need to talk,” celetuk Karina mengabaikan sapaan Heeseung baru saja.

“Aku duluan ke kelas ya, Win,” ucap Heeseung kemudian berjalan meninggalkan Karina dan Winter berdua.

“Heeseung, tunggu—”

I said we need to talk!” tahan Karina yang langsung menggenggam pergelangan tangan Winter.

“Kak, hari ini aku piket di kelas, kita bicara nanti aja ya?” ucap Winter lembut.

Karina menatap Winter dengan lamat berusaha memahami isi kepalanya saat ini.

“Emang ada yang salah ya kalau aku setiap hari ngirimin sarapan ataupun makan malam ke kamu?” tanya Karina. “I'm your fiancé apa yang salah soal itu?”

Winter menghembuskan nafasnya pelan, “Kak, stop ya? Tolong stop ngirim aku makanan atau ngasih aku apapun itu.”

“Aku tau semua yang kakak lakuin ke aku akhir-akhir ini bukan karna kakak tulus tapi 'terpaksa' yang dalam artiannya kakak ngelakuin itu cuman demi nunjukkin ke kak Giselle kalau kakak ngga seperti yang di bilang kak Giselle,” lanjut Winter.

So, please stop, ini cuman semakin buat kita berdua sakit kak.”

Melihat Karina yang hanya diam Winter menarik nafasnya panjang lalu berniat pergi menyusul Heeseung ke dalam kelas tapi lagi-lagi tangannya di tahan oleh Karina.

“Kalau kamu emang pengen aku berhenti sekarang aku tanya, di bandingkan rasa sayang kamu itu apa rasa benci kamu ke aku udah lebih besar?” tanya Karina.

Winter terdiam, karena jujur saja rasa sayangnya terhadap Karina masih lebih besar dari rasa bencinya.

See? Kamu bahkan ngga bisa jawab kan? Karna aku tau rasa benci kamu itu masih kalah dari rasa sayangnya kamu, i know you very well.”

And what if everything I did to you all this time was really sincere?” ucap Karina menatap Winter dengan dalam.

Sedetik kemudian Winter tertawa kecil membuat Karina mengerutkan keningnya.

It's impossible kak, karena dari dulu sampai sekarang yang ada di hati kakak itu cuman ada satu nama and i know who is she,” ucap Winter lalu menarik paksa lengannya dari genggaman Karina.

Mendengar itu Karina tertawa miris menatap punggung Winter yang mulai menjauh dari pandangannya.

'Aahhh jadi seperti ini rasanya'


Karina turun dari mobilnya sesaat setelah sampai di depan pintu rumah utama tunangannya, siapa lagi jika bukan Winter.

Senyum hangatnya terpancar saat beberapa pelayan menyapanya dengan ramah.

“Winter ada di rumah ngga, Bi?” tanya Karina.

“Ada di kamarnya non, sepertinya non Winter sedang mandi sekarang,” jawab salah satu pelayan disana.

Di tatapnya arloji miliknya yang sekarang sedang menunjukkan pukul 15.20 WIB.

“Kalau gitu aku ke atas dulu ya, Bi,” pamit Karina langsung berlari menuju ke kamar Winter yang berada di lantai atas.

Saat dia memasuki kamar Winter benar saja tidak ada orang di kamar itu dan terdengar suara percikan air dari dalam kamar mandi.

Karina memilih untuk duduk di sofa yang berada di dalam kamar itu sambil membaca majalah. Tak lama berselang Winter keluar dari dalam kamar mandi dengan di baluti bathrobe.

“Oh, udah selesai mandinya?” sahut Karina.

Winter terkejut bukan main saat melihat keberadaan Karina di dalam kamarnya.

“Ka–kakak kok bisa ada di kamar aku?” ujar Winter.

“Tadi kata pelayan kamu ada di kamar jadi aku kesini tapi pas nyampe kamu masih di kamar mandi, yaudah aku tungguin aja,” jelas Karina.

Winter menatap Karina dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, rambutnya yang di cepol dengan rapih, pakaian atas turtelneck navy, celana jeans hitam dan sepatu nike putihnya.

“Kakak mau kemana? Kok rapih banget?” tanya Winter.

“Ngajak kamu jalan-jalan, ayo buruan ganti baju,” jawab Karina.

“Aku ngga nerima penolakan hari ini!” celetuk Karina saat melihat Winter yang ingin membuka suara.

“Ya kakak keluar dulu, gimana aku mau ganti baju kalau kakak ada di kamar aku?” ucap Winter.

“Ngga, aku mau lihat isi kamar kamu, kalau mau ganti baju sih ganti aja aku juga ngga bakal ngintip kali.”

Karena tidak ingin berdebat akhirnya Winter membiarkan Karina tetap berada di kamarnya sementara dia mengganti pakaiannya.

“Ouh, aku ngga pernah lihat foto ini, fotonya pas kapan?” sahut Karina melihat foto Winter dan Minjeong saat berumur 11 tahun.

“Auckland, itu fotonya di ambil pas keluarga aku liburan kesana buat ulang tahun kita berdua,” balas Winter, Karina mengangguk.

“Aahh, iya Minjeong pernah cerita soal liburannya di Auckland ke aku tapi ngga nunjukkin fotonya.”

Karina kembali melanjutkan kegiatannya untuk melihat isi kamar Winter.

“Dari kecil kalian berdua udah keliatan semirip ini ya? Tapi aku masih bisa bedain sih kamu yang mana Minjeong yang mana,” tawa kecil Karina.

“Emang iya?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Winter.

“Iyalah, yang pipinya gembul kayak lagi nyembunyiin makanan ini kamu kan? Yang keliatan agak kucel ini.”

“Iihh aku ngga pernah kucel ya!” protes Winter.

Karina tertawa kecil, seru sekali menggoda Winter seperti tadi.

“Win, ini kamu?” tanya Karina sambil menunjuk salah satu bingkai foto, Winter menoleh dan melihat foto yang di tunjuk oleh Karina.

“Iya, itu aku umur 6 tahun,” jawab Winter.

“Kok kayak ngga asing ya? Kayak pernah aku lihat dress-nya,” ucap Karina.

Of course, itu kan waktu pertama kali kita ketemu,” ucap Winter asal.

“Oh ya? Seingat aku yang pertama kali ketemu aku itu Minjeong deh, itupun pas kelas 4 SD terus juga aku sama kamu kan kenalannya lewat face call pas mau masuk SMP ngga sih?” jelas Karina sambil menatap Winter.

“Aahh i–itu....”

“Kakak mau ngajak aku jalan kemana?” tanya Winter.

Karina meletakan bingkai fotonya, “Ngga tau, lihat aja nanti deh.”

“Ahh oke, aku mau ngeringin rambutku dulu.”

“Biar aku aja sini yang ngeringin,” seru Karina menghampiri Winter yang sedang duduk di meja riasnya.


Pukul 17.05 WIB dan Karina masih setia duduk di sebelah makam Minjeong setelah mengajak Winter jalan-jalan.

“Jeong, menurut kamu aku harus gimana sekarang? I'm so confused right now,” ucap Karina.

“Kamu bener soal Winter, dia tuh beda dari cewek yang lain dan juga beda dari kamu walaupun kalian kembar.”

“Jeong, what if I love her even more? What if I can't get rid of her? What if I destroy everything? what if I can't go after this?”

“Padahal tujuan aku balik kesini lagi bukan buat semua itu, i don't deserve her,” gumam Karina menatap lekat makam Minjeong dengan sendu.


Winter menuruni anak tangga sambil menatap ponselnya, Kari mengirimkan pesan bahwa dia sudah berada dekat dari rumahnya. Para pelayan di rumah menyapa Winter dengan ramah yang juga di balas oleh sang majikan.

Saat sudah sampai di ujung bawah tangga, suara klakson mobil terdengar di depan rumahnya.

It's must be Karina.

Benar saja, saat membuka pintu rumah utamanya Karina sedang berdiri di samping mobil Tesla birunya.

“Bunganya mau di beli dimana, kak?” tanya Winter setelah berada di dalam mobil.

“Di toko bunga yang biasa kamu datengin aja,” jawab Karina.

“Oke,” gumam Winter.

Sungguh, masih terdengar cukup aneh bagi Winter saat Karina mengunakan 'Aku-Kamu' sekarang. Mungkin di chat dia masih terbiasa tapi jika bertemu langsung rasanya sangat aneh.

“Gimana sama Heeseung?” seru Karina berusaha mencari topik agar keduanya tidak terus diam selama dalam perjalanan.

“Ya gitu, kayak biasanya,” balas Winter.

“Ngga ada niat buat ke tahap selanjutnya gitu?”

Winter mengerutkan keningnya sambil menatap Karina, sungguh, Winter tidak bisa menebak apa isi kepala Karina. Semuanya terlalu sulit.

“Emang kalau aku sama Heeseung sampai beneran pacaran kakak ngga marah atau cemburu gitu?” sahut Winter yang entah memiliki keberanian dari mana untuk menanyakan hal itu pada Karina.

“Aku? Marah? Cemburu? Ngapain!” celetuk Karina sambil mencubit keras pipi chubby Winter.

“Aaaakkhh SAKIT KAK!” teriak Winter. “Ngga usah nyubit-nyubit aku segala dong, sakit tau!”

Mendengar ocehan Winter itu Karina tertawa kecil, saking kecilnya Winter tidak bisa mendengar suaranya.

“Berhenti di kiri, toko bunganya di depan situ,” timpal Winter mengarahkan Karina.

“Bunganya mau yang jenis apa terus di beli berapa? Biar aku aja yang masuk, kakak disini,” sahut Winter.

“Terserah kamu aja, beliin 2 sekalian sama punya kamu.”

Winter mengangguk kecil lalu turun dari mobil dan berjalan menuju toko bunga langganannya.

Karina dari dalam mobil menatap punggung Winter yang sudah memasuki toko bunga itu.

'Yes, i'm jealous, even from the beggining until now when you're with him. But who am i to say that?'

“Kak, udah. Ayo jalan,” celetuk Winter yang entah sejak kapan sudah kembali ke dalam mobil.

“Ahh i–iya,” balas Karina kemudian kembali menjalankan mobilnya.

“Dalam bentuk perayaan apa kakak datengin makam Minjeong? Setahu aku annive kakak sama Minjeong masih lama,” ujar Winter.

“Lagi pengen aja, lagian bentar lagi udah mau UTS jadi nanti bakal sibuk belajar,” ucap Karina.

Sebenarnya ada banyak yang ingin di tanyakan dan di bicarakan oleh Winter, tapi semua itu hilang entah kemana.

“Kalau kamu mau nanya soal aku yang masih benci sama kamu apa engga, jawabannya tetep sama,” ujar Karina.

Ya, tanpa di beri tahu pun Winter tau soal itu, dia tau kalau Karina pasti masih membencinya. Tapi ada satu hal yang membuat Winter bingung....

“Kalau gitu kenapa kakak ngga ikut buat batalin pertunangannya aja?”

“Kalau aku bilang aku sengaja ngga ikut ngebatalin pertunangannya karna ngga mau lihat kamu bahagia sama orang lain, jahat ngga?”

Ucapan itu membuat Winter langsung menatap Karina dengan rasa tidak percaya. Bagaimana bisa?

“Kakak masih nanya jahat atau engga? Padahal kakak udah tau jawabannya apa,” sarkas Winter lalu membuang wajahnya ke arah lain.

Dia benar-benar marah sekarang.

10 menit berselang, kini keduanya sampai di tempat makam Minjeong berada. Karina berjalan di depan sementara Winter di belakang. Saat sampai di depan makam keduanya meletakan bunga yang di beli Winter tadi.

Masih dengan kondisi saling diam sambil menatap makam Minjeong, Karina memanggil Winter dengan suara lembutnya.

“Winter,” panggil Karina dengan tatapan masih fokus di makam.

“Kamu benci aku ngga? Kalau iya seberapa besar rasa benci kamu ke aku? Apa itu ngalahin rasa sayang kamu ke aku?”

Winter mendengus kesal, “Kakak nanya aku benci kakak apa engga? Udah pasti jawabannya iya, aku benci semua yang ada di dalam diri kakak.”

'Tapi rasa benci aku ke kakak selalu kalah sama rasa sayangnya aku selama ini'

It's good then, keep it like that!” ucap Karina.

Winter menatap Karina dengan bingung, keep it like that?.

“Tetap terus kayak gitu, kalau perlu tambahin rasa benci kamu itu ke aku biar kita bisa saling benci satu sama lain.”

Lagi dan lagi, Winter sungguh tidak bisa menebak sosok seorang Karina Hwang ini walaupun mereka sudah bersama dalam waktu yang cukup lama.

Stop bikin yang aneh-aneh deh, Rin,” ujar Giselle. Yeji dan Nakyung hanya diam duduk sambil memperhatikan kedua temannya itu.

“Apa sih, Gis? Ngomong tuh yang jelas coba,” balas Karina.

“Karina please, lo bisa gak agak lembutan dikit sama Winter? Yang ngerawat lo pas sakit kemarin tuh dia, kalau dia gak ngechat gue juga gak bakal tau kalau lo sakit.”

“Gue ngga minta dia buat dateng ke rumah dan ngerawat gue,” tekas Karina menatap Giselle dengan datar.

“Rin, gue bukan mau belain Giselle tapi sikap lo ke Winter itu emang udah kelewatan,” timpal Yeji.

“Dia juga tunangan lo, suka ngga suka dia emang tunangan lo,” sahut Nakyung.

“Gue ngga pernah minta buat di jodohin sama dia,” celetuk Giselle. “Itu kan yang mau lo bilang?”

“Serius, manusia yang paling ngga punya hati ya lo doang,” ujar Giselle.

Karina menatap Giselle dengan tajam, “Gue ngga!”

Yes, you are!”

I said i'm not!” sela Karina.

“Kalau gitu buktiin! Buktiin kalau emang lo masih punya hati!” bentak Giselle.

“Kok malah berantem sih? Udah, nanti di liatin sama murid lain,” lerai Nakyung.

Karina menatap Giselle dengan sengit yang kemudian melirik arloji di tangannya.

“Gue ngga punya waktu buat debat sama lo,” ucap Karina lalu memilih untuk keluar lebih dulu dari laboratorium meninggalkan ketiga temannya.

“Lo ngga perlu emosi gitu, Gis. Udah tau Karina keras kepala,” ucap Yeji.


Winter menatap arloji yang melingkar di tangan kirinya, udah lewat dari 5 menit dia menunggu Karina. Jantungnya juga terus berdetak lebih cepat dari yang sebelumnya.

'Maaf, Jeong. Tapi aku udah ngga bisa buat nahan lagi'

Saat dirinya menoleh ia melihat Karina yang sedang berjalan ke arahnya dengan raut wajah yang sulit di mengerti.

“Lo! Apa maksud lo bikin tweet kayak gitu di twitter!” ujar Karina sesaat setelah sampai di depan Winter.

Mendengar itu dahi Winter mengerut sejenak sebelum akhirnya paham apa yang di bicarakan oleh Karina.

“Biar orang-orang tau soal kebenarannya,” balas Winter. “Lagipula aku yakin ada banyak juga yang nanya soal itu ke kakak kan?”

“Aku cuman ngasih tau yang sebenarnya,” lanjut Winter.

“Lo ngga punya hak soal itu!”

“Aku punya karna Minjeong saudara aku.”

“Aku ngga ngasih tau kalau aku tunangannya kakak, aku juga ngga ngasih tau kalau hubungan kita udah jalan 3 tahun, bukannya dari awal kakak ngga mau kalau murid lain tau soal kita?” jelas Winter.

“Aku udah bener kan? Bilang kalau Minjeong tuh pacar kakak?”

“Lo ngerti ngga sih? Dengan lo bikin tweet kayak gitu sama aja lo bikin mereka tambah penasaran! Kalau mereka nyari tau soal kita gimana? Kalau—”

“Kalau apa? Kalau mereka sampai tau tentang kita, gitu?” potong Winter.

“Terus kenapa kalau mereka sampai tau tentang kita?”

“Lo tuh bodoh apa gimana sih?!” bentak Karina.

“Iya aku bodoh! Aku emang bodoh, aku bodoh karna mau-mau aja di cap sebagai penggantinya Minjeong, aku bodoh karna selalu yakinin diri aku sendiri kalau suatu hari nanti kakak bakal nganggap aku ada, aku emang bodoh and i know it!” sela Winter.

“Aku bodoh karna ngga bisa bedain antara kenyataan dan ekspetasi, aku bodoh karna selalu nerima semua perlakuan kakak ke aku, aku bodoh karna bisa suka sama orang yang jelas-jelas ngga akan pernah suka sama aku dan aku bodoh karna selalu ngalah sama perasaan aku sendiri!”

Yes, i know i can't be like Minjeong, i know i can't be the one you love, I KNOW IT!”

Winter mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, mencoba menahan tangisannya yang mungkin sebentar lagi akan pecah.

“Tapi aku juga pengen kayak orang lain, aku pengen ngerasain gimana rasanya di sayang, aku pengen ngerasain rasanya di cintain sama orang yang aku sayang, aku cuman pengen hal yang sederahana di dunia ini tapi kenapa sulit banget buat aku capai?” lirih Winter.

“Aku juga capek kak, aku capek! Aku capek selalu di abaiin sama kakak, aku capek selalu di tuduh jadi penyebab Minjeong meninggal, aku capek selalu nyalahin diri aku sendiri, aku capek nangis setiap malam karna terus mimpiin Minjeong, aku capek ngeladenin sikap dingin kakak ke aku. Aku capek kak!”

Tangisan Winter tidak terbendung lagi, seberapa keraspun Winter menahannya tetap saja itu terlalu sakit untuk di tahan lebih lama.

“Aku tau kakak benci sama aku, aku tau kakak ngga akan pernah suka sama aku, tapi apa ngga bisa kakak berpura-pura buat sayang ke aku sekali aja? Aku selalu berfikir kalau ini cumn masalah waktu, aku selalu berfikir kakak pasti akan ngerti dan berubah suatu saat nanti, tapi ternyata aku salah.”

“Aku bertahan di posisiku selama 3 tahun ini semua demi Minjeong dan karna rasa sayang aku ke kakak.”

Karina diam seribu bahasa, ada banyak hal yang ingin ia katakan tapi semuanya seketika buyar begitu saja.

Ini adalah pertama kalinya dia melihat Winter menangis dan emosi, entah kenapa ada hati kecilnya yang merasa sakit melihat Winter saat ini.

“Sampai kapanpun orang yang ada di hati kakak cuman Minjeong, the only person you love is her, don't you?”

“Aku menyerah kak, If you want to cancel the engagement, go ahead. i will do it too.”