Chapter 10,5: Waiting For You


Sepulang sekolah sesuai janjinya, Keindra menuju ruang latihan badminton yang masih terlihat sepi. Dirinya memilih duduk di kursi yang berada di tepi lapangan, pandangannya menelusuri seisi ruang latihan.

Sambil menunggu ia juga memeriksa ponselnya dan memebalas pesan dari teman-temannya yang masih saja jahil menggoda dirinya. Beberapa menit kemudian, derap langkah kaki terdengar memasuki ruang latihan. Keindra menoleh, namun ia tak mendapati Haris, seorang perempuan datang menghampirinya dengan membawa tas berisi raket untuk latihan.

“Hai! Nungguin siapa?” Tanyanya setelah duduk di samping Keindra.

“Nungguin Kak Haris.”

“Oh pak ketua. Eh elo bukannya yang tadi pagi diboncengin pak ketua, 'kan? Anak kelas sepuluh, 'kan?”

Keindra menggigit bibirnya gugup, “iya hehe. Kenalin gue Keindra kelas sepuluh IPS satu,” Kei mengulurkan tangannya dan disambut antusias oleh perempuan itu.

“Devita, kelas sebelah IPA empat.”

“Eh kakak kelasㅡ”

“Santai aja, gue aksel kok. Aslinya mah seumuran sama elo hehehe. Pacar pak ketua ya, lo?”

“Hah? Enggak! Temen doang!”

“Hahaha santai kali! Pacar juga gapapa, nggak pernah-pernah pak ketua deket sama siapa pun, baru sama lo doang nih,” Devita menyenggol pundak Keindra.

“Masa sih? Nggak yakin gue dia nggak pernah deket sama siapapun.”

“Ih dibilangin nggak percaya! Pernah dua kali ditembak sama anak angkatan gue, sama satu angkatan dia, ditolak semua. Nggak tau sih kenapa, makanya pada kaget lo deket sama pak ketua.” Tanpa sadar Keindra merenung setelah mendengar cerita Devita. “Kei! Woi Kei! Jangan bengong di ruang latihan woi!” Devita memukul pelan pundak Keindra.

“Hah? Eh hehehe sorry gue malah bengong. Tapi ini gapapa gue deket pak ketua? Maksud gueㅡ”

“Kalau yang lo maksud bakal ada yang ga seneng, pasti ada secara Haris banyak yang ngincer. Tapi, karena gue udah liat lo langsung begini, gue mah yakin banget dan paham kenapa pak ketua kepincut sama lo.”

“Kagak ada ya, Dev!”

“Dih denial!'

“Kenapa sih pada bilang gitu!?” Gerutu Keindra.

Mendengarnya, Devita hanya terkekeh dan mulai melakukan pemanasan, sembari anggota lainnya yang akan melakukan latihan wajib untuk pertandingan berdatangan, tak terkecuali Haris.

“Eh Dev, awal banget,” ujar Haris dan duduk di samping Keindra.

“Gue emang awal kali, Pak. Sekalian temenin degem lo nih, kasihan tadi dia sendirian di mari.”

“Lah iya?” Haris menatap Keindra dan mendapat anggukan. “Awal banget keluar kelasnya?”

“Tadi gurunya nggak ada, cuma tugas, kerjakan, selesai ke sini hehehe.”

“Pantesan. Ini gapapa kan nunggu dulu, yakin?”

“Iya Kak yakin, udah santai aja latihan sana!” Keindra mendorong punggung Haris agar turut serta melakukan pemanasan seperti anggota lainnya.

“Ya udah iya, ini gua mulai latihan. Kalau bosen ke kantin aja, buka kok sampe sore,” Haris berlari kecil sambil membawa raketnya ke tengah lapangan, namun sebelumnya ia menyempatkan diri mengacak rambut Keindra.

Melihat hal itu Devita tersenyum geli melirik ke Keindra, “gue latihan juga ya, Kei!” Ujarnya dan meninggalkan Keindra yang kebingungan.

Awalanya Keindra kira menunggu Haris latihan akan membosankan, tetapi diluar dugaan Keindra begitu menikmati setiap permainan Haris. Sosok laki-laki yang ia lihat di tengah lapangan itu, begitu berbeda dengan yang ia temui kemarin saat menonton film.

Haris dalam balutan baju badmintonnya terlihat begitu ambisius dan cekatan dalam menangkis bola, tak heran mengapa kakak kelasnya itu dapat menjadi atlet junior. Tanpa sadar Keindra begitu hanyut dalam setiap gerakan Haris dan tersenyum kagum melihatnya.

Tiba-tiba Haris berlari ke arahnya, membuat Keindra buru-buru bersikap biasa saja. “Ada apa, Kak?” Tanyanya.

“Minum dulu, haus,” Haris mengambil sebotol air yang sudah ia bekal sebelumnya. Diteguknya air tersebut, hingga menetes ke rahangnya, jakunnya yang naik turun membuat Keindra merona malu melihatnya. “Panas ya di sini? Kalau panas keluar aja gapapa, Kei. Kasian tuh muka lu sampe merah,” ujar Haris.

“Engg- enggak kok hehehe biasa aja, Kak.”

“Hmmm oke deh, gua balik latihan lagi.”

“Semangat, Kak!” Keindra mengepalkan tangannya, dan Haris membalas dengan mengacungkan kedua jempolnya.

Bayang-bayang Haris saat minum tadi membekas di pikiran Keindra, tak ingin bayangan itu hilang, buru-buru dirinya mengeluarkan buku sketsa yang selalu ia bawa ke manapun, untuk menggambar apapun yang masuk ke dalam pikirannya.

Goresan pensil di atas kertas putih tersebut lambat laun membentuk sebuah siluet yang tidak asing, rahang tegas, leher jenjang dan kokoh. Keindra begitu detail menggambar setiap sudut dari sosok tersebut.

Hingga tanpa sadar, karena begitu serius menggambar waktu begitu cepat berlalu, gambar yang ia buat pun tinggal menuju finishing.

“Gambar apa, Kei?” Tanya sosok yang sedang digambar oleh Keindra.

“Gambarㅡ HAH!?” Keindra terkejut bukan main, ia segera menyembunyikan bukunya.

Namun terlambat, tangan Haris lebih cepat menangkap buku tersebut. Ia melihat dirinya sendiri di dalam buku tersebut, wajahnya sumringah, bahagia karena Keindra mengabadikan dirinya di buku gambar miliknya.

“Bagus, cakep banget. Hebat banget lu Kei gambarnya, mirip banget sama gua. Nggak heran sih gua kenapa lu bisa jadi anak seni,” Haris mengelus dan menepuk-nepuk kepala Keindra bangga.

“Hehehe makasih, Kak. Kakak suka? Bawa aja.”

“Suka, suka banget. Lu simpan aja sebagai dokumentasi, next time ajarin gua gambar juga dong, gimana? Biar gua bisa gambarin sesuatu buat lu.” Haris menggembalikan buku itu kepada pemiliknya.

“Boleh! Aku mah seneng-seneng aja, Kak! Mau kapan?”

“Hmm ..., weekend ini?”

“Emang nggak sibuk? Nggak capek? Latihan terus, belum tugas.”

“Santai aja kali, udah biasa gua mah.”

“Hmmm oke deh. Latihannya udah selesai?”

“Udah, mau pulang sekarang?”

“Kalau Kakak nggak capek langsung bawa motor ayo, atau mau duduk, rehat dulu.”

“Enggak kok, ayo deh kita pulang keburu malem.”

Akhirnya mereka berdua pun pulang sebelum matahari benar-benar tenggelam dan berganti hari menjadi gelap.