taeyangbii


Runtuh sudah waktu bersantai Fani di akhir pekan setelah menyelesaikan ujian tengah semester, sesaat mendapat penawaran dari Thomas. Dirinya yang sedang merebahkan diri di ruang tengah sontak terbangun, dan berlari menuju taman samping rumah guna mencari keberadaan orang tuanya yang sedang sibuk berkebun.

“Papa! Aku boleh ke Jakarta nggak? Temenku ngajakin nih, katanya pulang hari.” Tanya Fani dari ambang pintu.

Sang pria yang dipanggil Papa mengalihkan atensinya dari bonsai yang sedang ia rawat ke arah sang anak dengan sebelah alis naik. “Ada acara apa kamu tiba-tiba ke Jakarta?”

“Jalan-jalan aja, Pa. Aku pengen ke seaworld kebetulan temenku mau ke Jakarta jadi sekalian.” Berbohong sedikit tidak apa-apa pikir Fani.

“Terus entar pulangnya sama siapa?”

“Ya sama dia lagi.”

“Temenmu siapa, Fan?” akhirnya sang Mama yang sedari tadi menjadi pendengar melontarkan pertanyaannya. “Thomas, Ma…” jawab Fani sedikit malu-malu dan mengecilkan suaranya di akhir. Pasangan suami istri itu saling bertatapan dan bertukar senyum penuh arti. “Yakin pulang hari, enggak mau nginep aja?” Wanita yang mirip seperti Fani itu menaik turunkan alisnya jahil.

“Ihh! Di mana-mana orang tua tuh nyuruh anaknya pulang, Mama malah gini tanyanya!” kedua pipi Fani mulai memunculkan semburat samar.

“Ya mana tau mainnya entar nggak puas kalau pulang hari, apalagi ini weekend kamu juga baru selesai ujian tengah semester, ‘kan?”

“Jadi ini boleh apa enggak?” tanya Fani sekali lagi untuk memastikan.

“Boleh… asal jaga diri aja di sana hati-hati. Berdua aja?”

“Iya berdua aja, Ma.”

“Nah… awas ya kalau macem-macem!” Mama Fani menekuk kedua alisnya dan sang putra hanya mengangguk sembari mengibaskan tangan seakan mengatakan ‘tenang aja nggak bakal macam-macam.’

“Kali ini kalau enggak pulang Papa nggak masalah, Fan. Asal pulangnya bawa kabar baik aja.” Celetuk Papa Fani yang mengerling jahil.

“Papa ih selalu aja ngomongnya gitu kalau aku udah mau pergi sama Thomas!”

“Pada ngapain? Kamu mau pergi sama Thomas, Dek?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul di belakang Fani sembari membawa minuman untuk kedua orang tuanya.

“Fani mau ke Jakarta sama Thomas, Ce!” imbuh sang Mama dan sontak mengundang keterkejutan Fonnyㅡkakak Perempuan Fani. “Demi apa Dek!? Ke Jakarta berdua mau ngapain!?”

“Ke Ancol doang aku mau main di seaworld!”

Namun Fonny seakan tidak percaya dan memberikan seringai jahil, “masa sih? Nggak mungkin cuma temen doang rela ke Jakarta berdua hanya buat ke seaworld.”

“Dibilang pada nggak percaya, mending aku siap-siap aja!” Fani segera pergi dan mengabari Thomas jika ia diperbolehkan ke Jakarta. Meninggalkan tiga anggota keluarganya yang tertawa geli melihat tingkah si bungsu.



Siapa yang masih ingat pasangan Catur dan Iki?

Tak terasa sudah setahun keduanya menjalin kasih. Kedua pasangan ini cukup menggemparkan seluruh penjuru kampus dan jurusan, bahkan tak jarang keduanya mendapatkan perhatian penuh dari orang-orang di lingkungan kampus.

Tentu saja, hal itu karena Catur yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Universitas Semestaㅡyang sekarang posisinya sudah digantikan oleh kekasihnya sendiriㅡ berpacaran dengan Iki sang primadona FIB. Kembali ke 1 tahun yang lalu saat keduanya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih, banyak mahasiswa dan mahasiswi yang patah hati mendengar kabar tersebut. Namun, banyak juga yang mendukung mereka, bahkan tak rela jika keduanya berpisah.


Pukul 16:00 di Apartemen Catur

Terlihat Iki dengan santai merebahkan setengah tubuhnya di sofa bed abu-abu milik Catur, sambil bermain dengan kunci gitar dan menghasilkan sebuah melodi yang menenangkan memenuhi ruang sepi ini.

Semenjak menginjak 8 bulan menjadi kekasih dari Catur, Iki kerap kali mengunjungi apartemen kekasihnya untuk menemani Catur yang sudah mulai fokus menyusun skripsi, terkadang Iki juga menginap jika ada tugas kuliah atau tugas organisasi yang terpaksa harus dikerjakan hingga larut malamㅡtentu saja sembari menemani Catur mengerjakan skripsi.

Saat asik bermain dengan gitar milik Catur, terdengar nada dering yang berasal dari telepon genggam Iki. Segera ia ambil benda pipih berwarna lilac itu di atas meja, melihat nama si pemanggil yang ternyata adalah kekasihnya sendiri.

“Halo, kenapa, Kak? Udah selesai bimbingan?”

Halo, Iki. Belum, pembimbing aku masih nguji mungkin sejam lagi, jadi aku mesti nunggu. Kamu udah di apart?

“Udah, tadi bentar aja kumpulin tugas, terus aku makan bareng temen. Kamu sampai jam segini nunggu, udah makan apa belum?”

Udah kok, tadi sama temen satu bimbingan. Aku mungkin pulang sore atau deket maghrib, mau titip sesuatu nggak?

“Hmm ... apa yah? Disana mendung nggak sih, disini mendung.”

Bentar ... iya mendung juga, kenapa?

“Pengen mie ayam bakso. Banyakin pangsit sama kuah dipisah.”

Mie ayam mana? Tempat kita biasa?

“Iya situ. Sekalian satu arah.”

Oke siap. Kamu lagi apa?

“Genjreng gitar kamu aja nih, agak gabut enggak ada tugas.”

Sombong, baru kali ini gabut, kemaren lalu siapa yang nangis sambil meluk aku, bilang tugasnya numpuk nggak selesai-selesai?” terdengar kekehan Catur di seberang sana membuat Iki bersungut kesal.

“Itu kan karena aku lagi unmood aja!”

Halah ... bilang aja memang mau aku peluk. Untung skripsiku udah kelar, jadi bisa nenangin bayi rewel.”

“Yeee! Siapa yang bayi?”

Kamu lah! Bayinya Catur, cengeng banget.”

“Engga tuh! Aku bukan bayi, aku dah gede.”

Apanya gede?

“Badanku lah! Umur aku! Mikir apa kamu?”

Lah? Kamu yang mikir apa, kan aku cuma tanya apanya yang gede. Hayoloh otak siapa nih yang ngaco? Hahaha.”

“Ih kamu tuh ya kalau gabut mulai deh jahil bikin sebelnya. Bye!”

Panggilan diakhiri secara sepihak oleh Iki. Jujur dirinya malu dijahili seperti itu oleh Catur, bagaimana kalau Catur berpikir Iki mesum karena memikirkan hal lain? Walau sebenarnya mereka juga sudah pernah melakukan hal itu dibeberapa kesempatan.

Sebuah notifikasi muncul dari ponsel Iki,

jangan ngambek, ntar mie ayamnya aku beli jumbo sama bakso tambahan, sekalian bubble taro. Hati-hati kalau ntar turun hujan, misalnya takut ke kamar aja. See you, Iki.♡

Senyum lebar hingga matanya pun ikut tersenyum, Iki merasa begitu bahagia memiliki kekasih yang peka dan perhatian seperti Catur. Tak ada niatan membalas, Iki memilih beranjak dari posisinya, meletakkan gitar pada tempatnya, dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

30 menit kemudian

Iki baru menyelesaikan kegiatan membersihkan diri, masih dengan rambut setengah basah Iki memilih mengenakan sweater hoodie abu-abu miliknya yang memang sengaja ia tinggalkan di apartemen Catur dan celana basket hitam milik Catur.

Saat keluar kamar, dapat ia lihat jendela yang dibasahi tetesan air hujan. Iki mendekat dan melihat hujan cukup deras sore itu, diambilnya ponsel yang masih tergeletak di atas meja, ternyata ada pesan baru lagi dari Catur.

aku bimbingan dulu, disini udah gerimis, disana hujan nggak? Wish me luck!

Senyum tipis Iki tercetak di wajahnya saat membaca pesan Catur.

good luck, by!❤

Walau Iki tahu pesan itu pasti akan terabaikanㅡkarena Catur sedang melakukan bimbingan, setidaknya Iki sudah memberikan doa dan dukungan kepada sang kekasih.

Hujan semakin deras di luar sana, langit pun semakin gelap karena tertutupi awan mendung. Iki menghela napasnya sejenak, kemudian pergi ke dapur untuk menyedu teh dan membawanya ke sofa sebagai teman menonton series netflix.


Tak terasa waktu terus berjalan, Iki terlalu hanyut dalam series yang ia tonton sampai tak menghiraukan pesan dari Catur mengatakan, jika dirinya dalam perjalanan pulang menuju apartemen.

Suara pintu yang terbuka mengalihkan atensi Iki dari televisi. Bola matanya melebar melihat Catur berdiri di depan pintu, membawa dua kantong plastik sedang dengan membopong tas ransel hitam yang berisikan laptop.

“Iki! Kamu lagi sibuk nonton ya sampai nggak bales chat aku?”

Buru-buru Iki mengecek ponselnya, benar saja ada beberapa pesan dari Catur, merasa bersalah ia hanya terkekeh kecil membuat Catur menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Kalau ada maling masuk, kayaknya kamu nggak bakal sadar ya, hm?”

“Hehe maaf soalnya seru sih.” Baru saja Iki hendak beranjak dari sofa, Catur menahannya terlebih dahulu, “kamu duduk aja diem di sofa!” Hal itu mengundang kerutan di dahi Iki.

“Kenapa?”

“Aku aja yang ke sofa.”

“Oke?”

Iki tampak kebingungan saat melihat Catur mendekat, setelah meletakkan makanan dan minuman di dapur. Sosok bertubuh tegap itu melepaskan tas ranselnya, menyampirkan benda yang lumayan berat itu ke sofa, dan tanpa aba-aba langsung memeluk erat Iki yang masih bersandar di sofa.

“E-eh? Rambut sama baju kamu basah. Kamu kena hujan?” Iki mengusap kepala dan punggung Catur yang dibalut kemeja putih.

“Iya, tadi kena hujan dikit pas beli titipan kamu.”

“Ih harusnya mah nggak usah dipaksa! Cari makan yang lain aja, Kak,” Iki menarik kedua pundak Catur supaya bisa menatap kekasihnya, karena sedari tadi Catur memendam wajahnya pada ceruk leher Iki.

Laki-laki yang lebih muda melepaskan kacamata yang lebih tua dan meletakkannya di atas meja. Iki mengusap kedua pipi Catur lembut dengan jempolnya, ditatapnya sang kekasih yang keliatan lelah namun masih sanggup ditahan. Iki merasa tak tega melihatnya, tapi sudah menjadi resiko mahasiswa tingkat akhir.

“Gapapa kok, kamu lagi pengen, masa nggak aku turutin?” Catur kembali memeluk erat Iki, kali ini wajahnya ia usak ke leher Iki, memberi kecupan singkat disana dan menghirup dalam aroma vanilla dari tubuh Iki yang menenangkan pikirannya.

Sosok yang dipeluk bagaikan boneka itu hanya diam, ia mengerti Caturnya hanya ingin dipeluk dan diusap tanpa ditanyai apa-apa, Caturnya membutuhkan comfort zone untuk men-charger tubuhnya.

Iki mengusap kepala kekasihnya, sesekali ia mengecup kepala Catur, ia pun membalas pelukan Catur di leher, saat merasakan napas Catur agak memberat di lehernya. Dapat Iki cium aroma musk woody yang bercampur keringat dari tubuh Catur. Aroma favorit Iki saat Catur pulang dari aktivitasnya.

“Hujan ...” lirih Catur.

“Hmm ... mandinya ntar pakai air hanget aja.”

“Tapi aku masih mau gini dulu bentar.”

“Iya, jangan ketiduran loh, ya?”

“Hehehe tau aja. Siapa suruh wangi kamu enak, bikin ngantuk, tau nggak?” Catur menarik wajahnya dari leher Iki untuk melihat si manis.

“Memang kamunya aja yang ngantuk, nggak usah alasan bilang wangi aku bikin ngantuk!” Iki menarik gemas ujung hidung Catur.

“Hehehe aku mau mandi nih.”

“Ya, mandi?”

“Cium dulu dong!”

“Dih? Kamu habis dari luar, kotor tau!”

“Biasanya juga langsung cium, sok-sokan bilang kotor.” Catur mendengus kesal.

“Hidih lihat sekarang siapa yang ngambekan? Dasar!” Iki pun menangkup pipi Catur, mengecup dahi, kedua mata dan terakhir philtrum Catur.

“Nanggung, Ki! Kenapa ga bibir sekalian?”

“Mandi dulu!” Iki mendorong dahi Catur dengan telunjuknya agar melepaskan pelukannya, “aku mau salin makanan, kamu mandi sekarang ntar makin malam, makin hujan, makin malas!”

“Hmmm iya iya, bawel!”

“Bawel juga kamu mau.”

“Iya sih hehehehe.” Catur menyempatkan diri mengecup pipi Iki dan berlari kecil menuju kamarnya untuk bersiap mandi, sambil membawa tasnya.


Sesaat setelah mandi, Catur melihat mie ayam dan minuman bubble yang ia beli tadi telah terhidang di meja makan. Iki tak menyadari keberadaannya, sosok itu duduk diam di kursi meja makan dan fokus kepada ponselnya.

Diam-diam Catur jalan dengan cara mengendap mendekati Iki, saat sudah dekat Catur tiba-tiba memeluk erat Iki dari belakang, membuat yang dipeluk terperanjat dan nyaris menjatuhkan ponselnya.

“KAK CATUR IH! Kalau handphone aku jatuh gimana!? Baru aja selesai diservice!”

“Hehehe maaf, jangan galak-galak dong ntar manisnya hilang?” Catur mengecup dalam pipi Iki hingga memerah.

“Astaga, Kak! Kalau bisa habis, mungkin udah habis pipi aku kamu ciumin mulu!?” Iki memukul lengan Catur yang telah duduk di samping dirinya.

“Salah sendiri makin gembil, kan aku jadi gemes.”

“Salah siapa yang kasi aku makan terus?”

“Kamu yang minta?”

“Kamu yang kasi!”

“Oke. Ayo makan sebelum perdebatan kita makin panjang,” Catur mengacak gemas rambut Iki.

Iki makan dengan penuh hikmat sampai tidak sedetik pun memberi kesempatan untuk mulutnya istirahat mengunyah, mie ayam yang tadinya penuh dengan porsi jumbo sudah tersisa setengah. Sedangkan Catur diam memperhatikan Iki, sambil tersenyum dan sesekali menyuapi mie ayamnya perlahan.

“Doyan apa laper?” Celetuk Catur.

“Huh?” Iki berhenti menyeruput mienya di tengah jalan, membuat mie yang tersisa menjuntai di mulutnya.

“Makannya pelan-pelan, Ki. Enggak aku minta kok mie ayamnya, kalau kesedak ntar gimana, hm?” Catur mengambil tisu dan membersihkan noda kecap di pipi kanan Iki.

Mie yang menjuntai tadi segara Iki seruput hingga habis, kemudian ia tersenyum hingga naik ke matanya. “Aku nggak sadar ternyata kelaparan, padahal tadi udah ngemil ayam yang dibeli semalam.”

“Mana kenyang ayam tiga potong doang untuk kamu yang gembil gini.”

“Jangan mulai!” Iki mencubit perut Catur kesal.

“Shhh- sakit loh, Ki. Jahat banget sama pacarnya?” Catur sengaja memelas kepada Iki.

“Kamu yang duluan gangguin aku.” Walau wajahnya tampak kesal, namun tangan Iki tetap mengelus perut yang tadi menjadi korban cubitannya.

Keduanya terdiam lanjut makan hingga masing-masing mie ayam kandas tak tersisa, sekarang Iki tengah menikmati bakso tambahannya bersama Catur, ia menyuapi kekasihnya itu sesekali mengelap kuah yang terciprat ke dagu atau pipi Catur.

“Bimbingan kamu gimana tadi, Kak?” Iki memulai percakapannya untuk berbagi cerita harian.

Sudah menjadi kebiasaan pasangan ini menjadi buku harian satu sama lain. Berbagi cerita, keluh kesah, agar saling mengerti dan mendukung satu sama lain.

Terdengar hela napas berat dari Catur, merasa jika situasi yang sedang dihadapi cukup serius Iki menghentikan kegiatan menyeruput kuah baksonya.

There is something happened, hm?” Tangan Iki terulur mengusap pundak kanan Catur, sambil dipijitnya pelan.

“Data yang aku olah ada kesalahan, harus diulangi lagi. Tadi agak lama karena diskusi untuk cari solusinya gimana, awalnya hampir sebar ulang kuesioner.”

“Terus?”

“Dosen pembimbing bilang jangan, ya gitu suruh olah ulang aja, sambil dicek lagi mana yang bikin datanya jadi nggak sesuai.”

“Dikasi deadline sama dosennya?”

“Hu'um ... seminggu, tapi kalau bisa secepatnya.”

Tubuh Catur merasakan hangat yang berasal dari dekapan erat sang kekasih. Dikecupnya pelipis Catur dan diusap rahang tegas kesukaannya itu.

“Pelan-pelan kerjainnya, ntar aku bantu cek datanya juga, ya? It's okay by, semuanya pasti bisa terlewati.”

“Hmmm thank you, ya,” Catur melingkarkan lengannya pada pinggang ramping Iki, wajahnya dipendam ke dada Iki. “Nanti malam aku mau lanjut skripsiㅡ”

“Istirahat dulu. Jangan paksain diri! Keadaan kamu lagi unstable, jangan sampai sakit lagi kayak bulan lalu. Aku nggak bakal senang, Kak!” Iki menjauhkan kepala Catur dari dadanya, ditatapnya tegas kekasihnya yang tampak kelelahan itu.

“Tapiㅡ”

“Enggak pakai tapi! Kamu pilih istirahat atau aku pulang ke kostan?”

Mau tak mau Catur mengalah, ia mengangguk lesu menuruti perintah Iki. Toh tak ada salahnya istirahat dulu satu hari, jujur saja dirinya sudah lelah, baik secara fisik maupun mental. Skripsi benar-benar menguras seluruh tenaganya.

Namun, Catur tidak ingin banyak mengeluh, karena ini sudah resiko. Ada kehadiran Iki yang selalu menemaninya di apartemen, mendukungnya dalam situasi apapun, sudah sangat cukup menjadi sumber energi Catur. Walaupun Catur tidak mengatakan keseluruhan detail masalahnya, tapi Catur tahu jika Iki paham apa yang tengah ia rasakan dan hadapi sekarang.

“Jangan ngelamun, alisnya jangan ditekuk gini, ini lagi apa kusut banget dahinya, hm? Kantung mata kamu tambah item aja, mau cosplay jadi panda, ya?” Iki mengurut pelan kepala Catur menggunakan jempolnya, mengendorkan urat-urat tegang di dahi serta alis Catur.

Mendapat perlakuan begitu, mata Catur otomatis terpejam tanpa disuruh, pijatan pelan dari Iki di kepalanya cukup membuat rasa pusingnya hilang.

“Kamu habis ini langsung tidur aja.” Ujar Iki.

Kelopak mata itu kembali terbuka menatap Iki. “Hm? Tapi aku mau nonton series yang tadi kamu tonton, kita udah 2 minggu ini nggak pernah quality time, loh. Kamu sibuk tugas sama laporan, aku juga kejar deadline.”

“Ya udah, yuk nonton. Tapi aku habisin baksonya dulu ini, tanggung banget loh!”

“Hahaha dasar, tetap nggak mau rugi, ya?”

“Mubadzir tau! Aku nggak suka buang-buang makanan.”

“Iya iya, aku mau dong sesuap lagi,” Catur membuka mulutnya menunggu suapan dari Iki.

“Manja!” Kendati demikian, tetap saja Iki menyuapinya.


Sesuai permintaan Catur, akhirnya pasangan ini menghabiskan waktu berkualitas mereka dengan menonton series netflix. Ditemani doritos barbeque sebagai cemilan, Iki yang berada dalam dekapan Catur dan bersandar di dada bidang yang lebih tua, sesekali menyuapi cemilan ke mulut Catur. Keduanya duduk santai di sofa bed, dengan kaki yang diselimuti selimut berwarna biru laut milik Catur.

Pandangan Catur fokus pada layar televisi, lampu ruangan sengaja dimatikan dan mengharapkan penerangan dari cahaya televisi. Tak ada percakapan apapun, namun sudah membuat keduanya senang hanya menghabiskan waktu seperti ini.

Iki diam menatap Catur dari bawah, rahang tegas yang menimbulkan rasa takut saat ingin menyentuhnya karna terlihat begitu tajam, jakun yang sesekali naik turun saat Catur menelan salivanya atau cemilan yang ia suapkan, tak lupa kacamata.

Sudah 4 bulan terakhir ini Catur memakai kacamata, karena memiliki rabun dekat akibat banyak menatap layar laptop. Jujur saja, Iki begitu menyukai Catur memakai kacamatanya, ada timbul rasa gugup dan jantung berdebar saat melihatnya. Catur begitu tampan, dan Iki kembali jatuh cinta lagi dengan kekasihnya yang sudah menemaninya selama 1 tahun ini.

“Sekarang aku berubah jadi aktornya, ya?” Tanya Catur.

Iki terkesiap dari lamunannya, merasa malu karena ketahuan sedari tadi diam menatap objek tampan yang sedang mendekapnya.

“Ada apa di wajah aku sampai kamu tatap gitu, hm?” Perhatian Catur teralihkan, sekarang ia lebih memilih untuk menatap Iki yang tampak mungil dalam dekapannya.

“Ga ada, aku udah sering bilang kan kalau suka liat kakak pakai kacamata. Bahkan dari awal kakak mulai pakai, aku kira aku bakal bosan, ternyata aku tetap suka.”

“Bilang aja aku ganteng, makanya kamu suka. Udah nggak usah diperpanjang.”

“Mulai deh!” Iki memukul manja dada Catur, membuat empunya terkekeh geli.

Catur mengusap kepala Iki, “Ki ...” panggilanya lembut.

“Hm, iya? Kenapa?” Iki menatap mata Catur yang terhalang bingkai kacamata.

“Aku belum tau apa yang kamu lewati hari ini.”

Iki tersenyum, ia mengecup dagu Catur sekilas. “Hari ini aku cuma kumpulin tugas, di kampus ketemu temen, ngobrolin masalah magang yang bakal mulai semester depan. Beberapa juga ngomongin soal organisasi, oh iya aku baru inget, tadi mas Harun ada chat aku.”

Alis Catur naik sebelah, “chat apa?” Tanyanya santai.

“Beberapa arsip, sama kontak alumni gitu. Kayaknya dia juga baru mau penelitian, ya?”

“Hmmm setau aku sih gitu. Semenjak udah nggak jabat, terus sibuk skripsi kurang tau kabar anak-anak. Tapi organisasi kamu lancar, 'kan? Gantiin posisi aku gimana?”

“Nggak gimana-gimana sih, paling ada lah mulut ngomong 'wah hebat ya, pacarnya mantan wapresma, eh yang gantiin pacarnya sendiri', gitu lah.”

“Nggak ada yang julid?”

“Nggak, kalau ada aku abaikan.”

“Pinter!” Catur mengecup kepala Iki.

Iki menarik tangan Catur, digenggamnya erat dan diusap ke pipinya sendiri, kemudian Iki mengecup pergelangan tangan Catur.

“Kak ....”

“Hmm?” Deham halus Catur. Ia hanya menatap Iki sambil tersenyum lembut.

“Ingat. Apapun yang terjadi, apapun yang kakak hadapi, jangan pernah nyerah. Selalu ingat ada aku disini yang siap sedia menjadi rumah dan comfort zone kakak. Jalani pelan-pelan, semua yang kakak lakukan udah cukup, kakak jangan sedih terus, ya? Aku tau apa yang kakak tahan, jangan dipendam ya, ada aku disini.”

Hati Catur menghangat saat mendengar deretan kalimat yang Iki ucapkan. Ia mengangguk sebagai jawaban. “Begitu juga kamu ke aku, ya? Aku akan selalu jadi rumah dan comfort zone kamu, kalau suatu saat nanti waktunya tiba kamu yang ada di posisi aku, aku akan selalu dukung kamu.”

“Kalau nanti aku di posisi kamu, aku berharap kita masih bersama ya, Kak.”

“Aku nggak mau janji, Ki. Tapi aku bakal berusaha untuk hubungan kita supaya bisa selalu bersama.”

Keduanya berpelukan erat, mereka saling membenamkan wajah di leher satu sama lain. Mencari kehangatan dan ketenangan di sana. Dada yang saling bertemu, detak yang saling bersahutan, membuat pasangan ini semakin mengeratkan pelukannya, mereka tau, mereka sadar sedang dalam titik terbawah, namun mereka selalu berjuang untuk menguatkan satu sama lain.

Aku sayang kamu, Ki. Sayang sekali. Cinta.

Aku tau, Kak. Aku juga.

Pelukan merenggang, Catur yang duluan memutuskan kontak fisik tersebut. Ditangkupnya pipi berisi Iki, diusapnya pipi itu dengan jempolnya. Sedangkan Iki perlahan melepaskan kacamata Catur, dan mencuri sebuah kecupan di pucuk hidung mancung Catur. Empunya hanya bisa terkekeh, mendekatkan wajah kepada si manis yang sudah memejamkan matanya siap menyambut ciuman lembut dari kekasihnya.

Dua benda kenyal itu bertemu, awalnya hanya menempel, sesaat kemudian Catur mulai menggerakkan bibirnya menarik bibir bawah Iki ke dalam ciumannya. Si manis pun membalas ciuman tersebut, keduanya sudah begitu biasa dan lihai memangut bibir satu sama lain. Pinggang ramping Iki dipeluk erat oleh Catur, sedangkan tangan Iki yang masih menggenggam kacamata milik Catur, ia bawa untuk memeluk leher Catur dan mengusap halus tengkuk Catur.

Ciuman mulai menyebar perlahan ke pipi, rahang dan turun ke leher Iki. Catur menyempatkan diri untuk menghirup aroma Iki, yang tak ada habis-habisnya, bagaikan candu. Dikecup pelan leher putih itu, dan Iki merenggangkan lehernya agar memudahkan Catur menjelajahi lehernya, sedangkan tangannya tak bisa diam berada di tengkuk Catur, ia menarik pelan rambut Catur.

Baru saja Catur hendak melancarkan aksinya untuk memberi tanda kepemilikan, ada suara ketukan pintu yang keras, sontak membuat pasangan ini terkejut dan menghentikan kegiatannya.

“Kak!?” Panik Iki.

“Siapa yang ngetok?” Tanya Catur.

Terdengar lagi suara ketokan itu, bahkan lebih keras seperti suara gedoran. Perhatian Iki teralihkan ke televisi yang masih menyala, ternyata sumber suara tersebut berasal dari sana.

Merasa konyol, Catur dan Iki terbahak kencang, bahkan Iki merasa malu dan memendam wajahnya pada dada Catur.

“Badut banget kita, mana tegang banget berasa lagi digrebek!” Kata Catur yang masih belum menghentikan tawanya.

“Itu artinya emang disuruh istirahat, nggak boleh macam-macam!” Iki mendorong Catur menjauh, melepaskan pelukannya.

Catur hanya dapat menggeleng sambil terkekeh, ia mengambil alih kacamatnya dari tangan Iki dan memakainya kembali. Seketika hening, Iki menatap dalam Catur, senyum tak jua pudar dan masih bertahan dari wajah keduanya.

“Ganteng.” Ujar Iki tiba-tiba.

I know.”

“Punya siapa?”

“Kiki.”

“Sayang Kiki?”

“Banget.”

“Cinta?”

“Nggak perlu ditanya.”

“Seberapa banyak?”

“Seginiiiiii!!” Catur merentangkan lengannya lebar-lebar, kemudian memeluk erat Iki dan mengecup dahi kekasihnya.

“Hehehehe aku juga!!” Iki juga ikut mencoba merentangkan lengannya, dan memeluk erat Catur.

Tawa terdengar di seluruh sudut ruangan apartemen malam itu. Tak peduli jika di luar hujan semakin deras, bersamaan dengan petir yang mengerikan, pun di dalam apartemen ini terdapat sepasang kekasih yang saling mencintai, saling menguatkan satu sama lain, membuat suasana mengerikan menjadi suasana yang begitu menyenangkan penuh cinta.

Biarkan malam ini menjadi hari istirahat mereka, berbagi waktu yang sempat terbuang demi mengejar target menuju masa depan. Entah apa yang akan terjadi esok hari, biarkan menjadi misteri, baik Catur maupun Iki akan siap melewati misteri-misteri yang akan muncul di kemudian hari, asal keduanya menghadapinya bersama.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Semester baru dimulai, Seungyoun akhirnya menginjak kelas terakhir dimasa SMA. Seperti biasa, setiap pagi Seungyoun bersama dua sahabatnya Kino dan Jamie, selalu berangkat menggunakan bis sekolah. Saat memasuki kawasan sekolah, ketiga sibuk melihat murid-murid baru dari kelas 10 yang tampak menggemaskan di mata mereka.

“Eh liat deh adek kelas kita udah keliatan dewasa banget nggak sih, dulu pas kita kelas 10 perasaan cupu gitu!” Ujar Jamie.

“Noh si Kino, lugu banget. Gua kira anak baik-baik, ternyata setan lu!” Seungyoun dengan ringan tangannya mendorong kepala Kino yang terhalang oleh Jamie, karena perempuan ini berada di tengah mereka berdua.

“Woi ngaca! Lu juga ya, sok polos padahal koleksiannya hentai!” Protes Kino tak terima kepada Seungyoun.

“Dih ngaco! Gua apa pacar lu yang koleksi hentai!?”

“Astaga masih pagi! Berantem mulu, jodoh tau rasa!” Lerai Jamie sambil merentangkan tangannya menjauhkan kedua sahabatnya.

Ketiganya lanjut berjalan menuju kelas, melewati lapangan basket yang ramai oleh anak-anak satu angkat mereka sekedar bermain menunggu kelas mulai.

“Pacar lu tuh!” Seungyoun menunjuk sosok yang sedang bermain basket bersama teman-temannya menggunakan dagu.

Kino menoleh ke lapangan basket, sudut bibirnya naik membentuk senyuman lebar melihat sang kekasih yang begitu tampan bermain basket.

“Pacar gua kok bisa cakep banget ya, beruntung banget gua dapatin Hongseok.” Kino menyandarkan dagunya pada pundak Jamie, menatap sosok Hongseok.

“Hongseok sih yang rugi dapatin lu, soalnya lu jelek!” Seungyoun mulai mengganggu Kino lagi.

“Lu jomblo diem, noh ada gebetan lu juga ikut main. Mau sampai kapan lu cuma natap dari jauh doang? Udah kelas 12 nih kita, udah mau lulus.”

Perkataan Kino membuat Seungyoun terdiam. Ketiga anak remaja ini masih setia berdiri di tepi lapangan, dengan Kino merangkul Jamie yang sedang bersedekap dan Seungyoun memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tatapan mereka tertuju pada satu objek, yaitu Seungwoo.

Siswa kebanggaan sekolah mereka. Si Ketua OSIS dan atlet basket, seluruh warga sekolah bahkan dari sekolah lain mengenal sosok Seungwoo. Sudah lama Seungyoun menaruh hati kepada Seungwoo yang kebetulan sekelas dengan kekasih Kino tersebut. Namun apa daya, Seungyoun tidak memiliki nyali yang besar untuk memulai pendekatan dengan Seungwoo.

“Kata gua sih Youn, mending confess sekarang daripada enggak sama sekali. Rugi banget perasaan lu cuma lu simpen begini. Urusan ntar dia menjauh, ilfeel atau nggak suka lu balik kan udah resiko, yang penting hati lu plong aja.” Nasehat Jamie secara tiba-tiba.

Seungyoun menoleh ke sahabat perempuannya, sedikit menunduk karena Jamie lebih mungil. “Jangankan confess, liat dia dari jauh gini aja gua udah degdegan.”

“Cupu ah! Mau kapan lagi memangnya? Lawan kek tuh rasa gugup!” Sambar Kino dan mendapat pukulan di kepalanya.

“Ngomong sama diri lu, yang baru dipegang tangannya sama Hongseok udah nangis-nangis samperin kita di rumah Jamie.”

“Jangan ungkit cerita lama dong!”

Saat ketiganya sibuk berdebat, dari kejauhan Seungyoun dapat mendengarkan teriakan seseorang yang sedari tadi mereka bicarakan.

WOI AWAS BOLA!!!”

Beruntung reflek Seungyoun bekerja dengan cepat. Saat bola basket yang keras itu hampir menghantam wajahnya, Seungyoun sudah lebih dulu menangkapnya. Kino dan Jamie yang melihat aksi sahabatnya itu bedecak kagum dan bertepuk tangan semangat.

“Gila sahabat gua keren banget!” Teriak Kino bersemangat.

Senyuman miring ala Seungyoun ia tunjukkan kepada kedua sahabatnya, merasa bangga akan reflek cepatnya.

Eh Youn, lu gapapa?

Sesaat senyuman itu hilang, digantikan dengan wajah panik Seungyoun saat melihat Seungwoo datang menghampirinya. Dirinya tak bisa berkata apa-apa, selain menelan kasar salivanya dan menggigit bibir gugup.

“Gua liat lu tadi nangkep bolanya, boleh juga lu, Youn!” Puji Seungwoo sambil menepuk pundak Seungyoun.

Mampus pundak gua ditepuk!!!” Teriak batin Seungyoun.

“Dulu pas SMP Seungyoun pemain basket loh, Woo!” Jamie memberikan informasi sambil menyenggol pundak Seungyoun.

“Oh ya? Kok gua nggak tau ya, kenapa nggak ikut tim basket, Youn?”

Kalau ikut tim basket yang ada gua malah goblok main basket gara-gara liatin lu!

“Youn? Woi ditanyain Seungwoo tuh!” Kino mendorong Seungyoun, membuatnya tersadar dari lamunannya.

“H-hah? Apa?” Tanya Seungyoun kebingungan.

“Hahaha lucu banget sih lu. Masih shock ya hampir kena bola tadi?” Seungwoo tertawa! Detak jantung Seungyoun berdegup kencang, hingga rasanya sesak dan pusing.

Wajah Seungwoo yang tertawa dari dekat terlihat semakin tampan, bahkan matanya juga ikut tersenyum saat ia tertawa. Ditambah tetesan keringat yang membasahi pelipis Seungwoo, membuat Seungyoun tanpa sadar sudah ada cairan kental berwarna merah mengalir dari dalam hidungnya.

“Seungyoun lu mimisan!?” Perkataan Seungwoo membuat kedua sahabat Seungyoun panik.

“Woi Youn lu kenapa!?” Jamie mengguncang tubuh Seungyoun.

BRUK

💌

Mata rubah itu terbuka perlahan, ia merasakan pusing menyerang kepalanya. Dilihatnya ruangan serba putih dan kasur berjejer di sampingnya, membuat ia menghela napas berat.

“Lu tadi pingsan. Kenapa dah, nggak ada sarapan?”

Seungyoun menoleh, mendapati Jamie membawa secangkir teh yang baru saja ia beli dari kantin.

“Sarapan kok, kayaknya karna shock aja.”

Shock karena hampir dihantam bola, apa karena dibilang lucu sama Seungwoo?” Jamie menyeringai jahil.

“Jam! Berisik!” Seungyoun menutup mata menggunakan lengannya.

“Hahaha Youn ... Youn ... mau sampai kapan sih lu begini? Nih minum dulu, bisa bangun nggak?”

“Bisa,” Seungyoun perlahan bandung dan bersandar pada sandaran kasur UKS. “Mana sini tehnya,” Seungyoun mengulurkan tangannya mengambil cangkir hangat itu dari Jamie.

“Tau-tau aja lu kalau ini teh.”

“Keciuman. Kino mana?” Tanyanya sambil menyeruput teh itu, hingga tersisa setengah.

“Masih di kantin, lagi bucinㅡ”

Hey bitch! Kok nggak wafat aja sekalian?” Panjang umur, yang ditanyai pun datang dengan kurang ajarnya terlihat mengejek menghalangi pintu bersama kekasihnya.

“Mulut.” Tegur Hongseok membuat Kino kikuk dan mengundang tawa Seungyoun serta Jamie.

“Malu sih gua udah sok jago tapi kena tegur!” Ejek Seungyoun.

“Diem lu! Nih gua bawain roti isi ayam sama kelapa. Lu laper ya sampai mimisan gitu, terus pingsan?”

“Enggak. Gua capek ngehadapin lu, makanya pingsan.”

“Ngaco!” Kino mendorong kepala Seungyoun yang sedang menikmati roti isi ayamnya.

“Lu gapapa Youn?” Tanya Hongseok.

“Gapapa kok, Hong. Santai lah, biasa gua mimisan gini mah.

“Oh gitu, tadi Seungwoo yang bawa lu ke UKS katanya maaf nggak bisa jagain soalnya kelas kita ada kuis, terus tadi mau nyamperin kesini keburu dipanggil sama kepsek.”

Penjelasan Hongseok nyatanya tidak membuat keadaan membaik. Seungyoun tersedak daging ayam yang tengah ia kunyah, tiga orang disana mendadak panik, buru-buru Jamie memberikan air mineral kepada Seungyoun.

Setelah tenang, Seungyoun menghela napas lega dan memicing sinis kepada Hongseok. “Coba ngomong tu pakai permisi dulu!”

“O-oh hahaha ya maaf gua lupa! Masih lu suka sama Seungwoo?”

“Masih lah! Ya kali!”

Confess kali, Youn. Gua sama Kino aja udah jalan 2 tahun, masa lu sama Seungwoo stuck doang, liatin dari jauh mulu!”

“Tuh denger, laki gua aja yang temennya Seungwoo ngomong gitu!” Kino menambahkan.

“Laki pala lu laki! Nikah aja belum!”

“Suka-suka gua lah! Jadi gimana? Sebelum terlambat woi ah! Mana tadi Seungwoo dah berkorban gendong badan lu yang bongsor, jadikan kesempatan kali.”

“Kesempatan gimana?” Seungyoun mengernyit.

“Bilang makasih lah, Youn. Diajarin basic manner kan lu, kalau udah ditolong bilang apa?” Jamie menimpali dengan malas.

“YA GIMANA?” Seungyoun berteriak emosi, karena tidak mendapatkan pencerahan.

“Sore ini kita latihan basket. Datang gih ketemu Seungwoo, bawa minuman. Gimana?” Hongseok angkat bicara memberi ide, demi kelancaran pendekatan Seungyoun dan Seungwoo.

“Boleh tuh, Youn! Gua juga sambil nungguin Hong latihan, mau?” Kino mengangguk semangat.

Sedangkan yang diberi saran menggigit bibirnya, tanda gugup dan bingung. “Ntar kalau gua gugupㅡ”

“Udah gua bilang buang rasa gugup lu! Kalau begini mulu mana bisa selesai, mana bisa dekat. Pokoknya ntar sore, lu sama gua ke lapangan basket, temui Seungwoo, dah!” Final Kino membuat Seungyoun menghela napas berat.

“Jamie?”

“Gua ada les piano kalau lu lupa.”

“Bisa kok! Gua udah bantu nih.” Hongseok menepuk pundak Seungyoun memberi semangat.

💌

Sore harinya sesuai janji atau lebih tepatnya paksaan Kino. Seungyoun datang ke lapangan basket, duduk di tribun terbuka sendirian.

“Mana sih Kino, katanya mau temenin tapi hilang!” Gerutu Seungyoun, saat sahabatnya tadi beralasan ada urusan sebentar dan menyuruhnya ke lapangan basket terlebih dahulu.

Satu persatu para pemain basket sekolah berdatangan, jantung Seungyoun mulai berdetak kencang, dirinya merasa gugup takut jikalau Seungwoo tiba-tiba datang.

“Youn udah baikan?”

Seungyoun menoleh, melihat Seungwoo sudah siap dengan baju basket sekolah berwarna biru dan meletakkan tasnya di samping Seungyoun.

“H-hah? O-oh! OH! Udah kok, udah baikan hehehe.” Seungyoun meringis, merasa bodoh karena selalu kalah akan rasa gugupnya saat bertemu Seungwoo.

“Beneran udah baikan? Lu tadi yakin bolanya nggak kena wajah lu?”

“Yakin kok, Woo. Tenang aja. Gua cuma shock aja tadi hehe.”

“Maaf ya, tadi mainnya emang agak bar-bar.”

“Gapapa, seriusan gapapa kok. Salah gua juga sama yang lain malah berdiri di samping lapangan.”

“Hmmm okay. Lu kesini sendirian?”

“Tadi janji mau temenin Kino, biasa liatin Hongseok. Tapi sampai sekarang nggak muncul-muncul!” Tanpa sadar Seungyoun merengut kesal, membuat Seungwoo gemas dan terkekeh geli. “E-eh, kenapa? Gua bawel ya?”

“Oh? Enggak kok, lucu aja liat lu ngomel gitu.”

“Ahㅡ hehehe maaf ya, emang Kino tu sumber emosi aja bawaannya.”

“Hahaha ada-ada aja, gitu-gitu juga lu berdua awet temenan.”

“Nah itu dia! Gua aja heran kenapa bisa betah. Pakai pelet kali ya?”

Lagi Seungwoo tertawa, padahal tidak ada hal lucu. “Ngada-ngada aja lu ah, Youn! Mana ada peletin temen, yang ada buat dapat pacar.”

“Dih! Kok lu tau? Pernah pakai ya?”

“Sembarangan! Gua suka baca mitos-mitos gitu.”

“Oh kirain ...” Seungyoun mengangguk paham. Sesaat ia teringat apa tujuannya untuk datang kesini. “Eh Woo belum mau main, 'kan?”

“Belum, kenapa?”

“Ada minuman nggak?”

“Ada. Kenapa? Lu mau kasi gua minum?”

“Hu'um! Nih!” Seungyoun memberikan minuman penambah ion dengan label biru kepada Seungwoo. “Untuk lu, sekalian sebagai ucapan terima kasih gua karena udah bawa gua ke UKS tadi. Pasti lu kesusahan bawa badan berat gua.”

Seungwoo menerima dengan senang hati pemberian Seungyoun sambil terkekeh. “Hongseok cerita, ya?” Tanyanya dan Seungyoun mengangguk. “Sama-sama ya, tenang aja lu nggak berat kok, kalau berat mah udah gua lempar aja di tengah lapangan.”

“Ngaco!”

“Hahaha. Thanks ya, Youn!”

“Hmm ... semangat ya latihannya!”

Keduanya terdiam, dari kejauhan dapat Seungwoo lihat sang pelatih datang bersamaan dengan beberapa teman satu timnya yang belum datang.

“Youn.”

“Hm?”

“Lu nunggu disini bareng Kino, 'kan?”

“Iya. Kenapa?”

“Pulang bareng gua, ya?”

“Hah?”

“Iya bareng gua, jadi tunggu sampai selesai, oke?” Seungwoo mengacak rambut Seungyoun dan buru-buru berlari ke tengah lapangan, meninggalkan Seungyoun yang wajahnya sudah memerah hingga telinga dan lehernya.

MOM HELP ME!!!” batin Seungyoun berteriak.


Latihan selesai, sedari tadi senyum mengejek dari Kino tak luput dari pandangan Seungyoun. Ya, dia sudah menceritakan semuanya kepada sang sahabat, sehingga tak heran Kino sengaja mengejek Seungyoun yang tampak gugup di sampingnya.

“Ciee pulang bareng gebetan ciee!” Kino menggelitik dagu Seungyoun, membuat empunya menepis kasar tangan Kino. “Dih galak! Jangan galak-galak, ntar Seungwoo kabur.”

“Ngapain gua kabur?”

Keduanya menoleh cepat, mendapati Seungwoo bersama Hongseok sudah berdiri di depan dua laki-laki manis ini.

“O-oh itu, hati-hati nanti pulang ada anjing galak, jadi kabur!” Kino menjawab gugup sambil menatap pacarnya yang sudah tertawa geli.

“Kirain apaan. Youn, yuk?”

“Hah?” Seungyoun tak dapat berpikir jernih, dirinya begitu gugup, bahkan tangannya terasa dingin.

“Katanya tadi pulang bareng. Lu mau tetap di sekolah sampai malam? Boleh aja sih kalau mau meet up sama mba kunti.”

“HEH SEMBARANGAN! YAUDAH AYO!” Seungyoun segera berdiri dan jalan terlebih dulu, setelah berteriak dan mengejutkan 3 orang di dekatnya.

“Eh Youn! Tunggu! Hong, Kin, gua duluan ya.” Seungwoo buru-buru lari mengejar Seungyoun.

Good luck, Woo!” Teriak Hongseok, membuat dahi Kino mengernyit.

“Maksudnya good luck untuk apa?”

“Ntar juga kamu tau sendiri. Yuk pulang?” Hongseok merangkul Kino, membawa pacarnya itu pulang sebelum hari semakin gelap.

💌

Seungyoun terus berjalan cepat, meninggalkan Seungwoo yang tengah berlari mengejar dirinya.

“Youn! Tunggu! Seungyoun! Wou setdah napa buru-buru sih!”

“Keburu maghrib Woo!” Seungyoun berhenti berjalan, ia balik badan melihat Seungwoo mendekat padanya.

“Lu takut?”

“Diem!”

“Ah I see hahaha. Tenang aja, ini kita langsung pulang kok. Tapi pakai sepeda gapapa ya? Motor gua lagi masuk bengkel.”

“Serius lu!? Badan gua berat loh lu boncengin pakai sepeda.”

“Yaelah seberapa sih, santai aja kali. Yuk!” Seungwoo menarik tangan Seungyoun menuju parkiran sepeda. Sosok tinggi itu mengeluarkan sepeda hitamnya, dan naik terlebih dahulu.

“Gua dimana? Ga ada buat tinjakan di belakang.” Seungyoun mengernyit bingung.

“Ya di depan sini, bisa kan duduk miring?” Seungwoo menepuk besi bagian depan sepedanya.

“Heh? Yakin nggak oleng?”

“Yaelah bawel betul, percaya sama gua. Naik!” Seungwoo kembali menarik tangan Seungyoun, membuatnya pasrah dan duduk di atas besi sepeda Seungwoo. “Pegangan!” Perintah Seungwoo.

“Kemana!?”

“Ya itu ke besi stang sepeda gua!”

“Beneran gapapa kan Woo? Kalau nggak bisa gua pakai gojek aja!”

“Udah diem!” Seungwoo menjalankan sepedanya keluar dari kawasan sekolah.

“Ke kiri ya Woo.”

“Iya gua tau, udah lu duduk manis aja diem di tempat duduk lu.”

Seungyoun mengatupkan bibirnya erat. Alisnya sedari tadi tertekuk ke bawah, kebingungan atas sikap Seungwoo yang seperti tahu saja dimana letak rumah Seungyoun.

Lama ia terdiam, dan semakin dibuat heran saat Seungwoo membelokkan sepedanya ke arah jalan yang benar menuju rumahnya.

“Woo, kok lu tau jalan mau ke rumah gua sih?”

“Ya tau lah, kan setiap lu pulang ada gua di belakang ngikutin.”

“Hah ngapain!?” Seungyoun mendongak untuk melihat Seungwoo yang juga menunduk, tersenyum geli kepadanya.

“Rumah kita searah kali, Youn. Bedanya di belokkan doang, lu belokan pertama, gua kedua di sana lagi.”

Seungyoun kembali menatap ke arah depan. Matanya membulat dan mengerjap, saat mendengar info yang selama ini ia tidak tahu.

Selama ini gua lowkey pulang bareng Seungwoo gitu!?” Seungyoun menunduk malu, menggelengkan kepalanya membuat aroma jeruk dari rambutnya menguar, menggelitik indra penciuman Seungwoo.

Tanpa sadar Seungwoo sedikit menunduk untuk menghirup aroma jeruk itu. Dirinya tersenyum tipis, dan bertahan pada posisi tersebut. Sedangkan Seungyoun, yang merasakan hembusan napas secara tiba-tiba dari Seungwoo menegapkan badannya tegang, membuat kepalanya menempel pada dagu Seungwoo.

Keduanya terdiam dalam posisi tersebut, hingga sampai di depan rumah Seungyoun. Matahari sudah bersembunyi, namun langit masih tampak terang dengan warna oranye cerah.

“Sampai!” Ujar Seungwoo.

Sang penghuni rumah meloncat dari sepeda Seungwoo.

Thanks banget ya, Woo. Hari ini gua banyak bilang makasih mulu sama lu hehe padahal baru aja dua hari masuk sekolah, udah ngerepotin orang aja.”

“Hahaha santai aja. Mumpung searah ini mah, kapan lagi pulang bareng pake sepeda, ya nggak?”

“E-eh? Haha i-iya, bener juga!”

Seungyoun masih setia berdiri di depan pagar kayu putih depan rumahnya, Seungwoo pun masih berada di atas sepedanya. Tak ada yang ingin memulai percakapan, sekedar mengucapkan perpisahan.

“Youn ...”

“Iya?”

“Sebenarnya gua mau tanya sesuatu sama lu.”

“Apa tuh?”

Suara deheman dari Seungwoo membuat Seungyoun penasaran, “sebelumnya gua enggak tau ya ini cuma perasaan gua aja atau bukan. Tapi sebenarnya lu kenapa sih selalu ngehindarin gua? Awalnya gua kira karena kita belum kenal, tapi setelah kita kenal lu selalu kayak kabur gitu dari gua. Emangnya gua ada ngelakuin sesuatu ya, sampai bikin lu takut terus ngehindar dari gua?”

Pertanyaan panjang dari Seungwoo tentu saja membuat Seungyoun membisu. Kalau bisa dirinya ingin menghilang saja, dirinya tidak menyangka selama ini Seungwoo memperhatikan gelagatnya.

“Ahㅡ anu ... itu ...” Seungyoun menunduk, menggigit bibirnya lagi, sambil memainkan jarinya gugup.

“Gua gapapa kok Youn kalau emang lu jujur sama gua. Gua bakal terima apapun itu jawabannya, karena gua juga mau jujur sesuatu sama lu.”

“Apa?” Seungyoun menatap Seungwoo.

“Lu nggak mau ngomong dulu jelasin ke gua?” Seungwoo balik menatap Seungyoun. Tetapi sosok di depannya hanya diam.

Masa gua langsung confess sih? Tapi kapan lagi gua ngomong kalau nggak sekarang?” risau batin Seungyoun.

“Wooㅡ”

“Youn sebenarnya gua suka sama lu.” Bola mata Seungyoun melebar. “Maaf kalau gua ada salah dan buat lu nggak nyaman sama kehadiran gua. Gua nggak tau apa salah gua, selama ini gua berusaha jaga jarak karena gua sadar lu selalu ngehindar dari gua. Tapi gua mau jujur sama lu soal perasaan gua ini, biar gua plong aja.”

“Se-sejak kapan? Sejak kapan lu suka sama gua, Woo?”

“Dari MOS, Youn. Kelompok kita selalu baris sebelahan, 'kan? Gua diem-diem merhatiin lu.”

“Demi apa?”

“Serius Youn. Kenapa? Lu makin ilfeel ya sama gua karena gua merhatiin lu, maafㅡ”

“Nggak! Jangan minta maaf! Lu serius sama semua perkataan lu?” Seungyoun mendekat, menatap mata Seungwoo dari jarak lebih dekat untuk mencari kebohongan.

Tidak ada.

Tidak ada kebohongan dari mata Seungwoo, melainkan tatapan memohon dan rasa menyesal.

“Seungwoo ... maaf buat lu salah paham. Gua nggak benci lu, gua ada alasan sendiri dan itu bukan karena gua ilfeel sama lu, Woo.”

“Kenapa?”

“Gua ... gua ...” Seungyoun menggigit bibirnya makin kencang, hingga bibir itu memerah.

“Jangan digigit gitu, udah mau berdarah tuh!” Seungwoo mengusap dagu Seungyoun, membuat empunya terkesiap.

“O-oh anu ... aduh gimana ya.”

“Ngomong aja, Youn.”

Seungyoun menarik napas dalam, “guajugasukasamaluwoopersissamadariawalkitaMOS!” deretan kalimat itu Seungyoun ucapkan dalam satu tarikan napas.

Seungwoo mengerjapkan matanya, dirinya cukup terkejut dengan pengakuan Seungyoun secara terburu-buru itu.

“Youn bisa ulang sekali lagi, kali ini lebih pelan. Gua mau memastikan aja nih.”

“Huftㅡ jadi gua juga suka sama lu, Woo. Gua suka sama lu, persis sama dari awal kita MOS. Diam-diam gua juga merhatiin lu, gua takut mau ngajakin lu kenalan, untung aja Kino sama Hongseok pacaran, jadinya kita bisa kenal,

“Alasan gua selalu ngehindarin lu itu karena gua suka gugup ketemu sama lu. Gua takut keliatan terlalu jelas suka sama lu. Jantung gua selalu degdegan parah setiap lihat lu. Nih buktinya!” Seungyoun menarik tangan Seungwoo, meletakkannya di atas dadanya, agar Seungwoo merasakan detak jantungnya.

Awalnya Seungwoo terkejut, namun setelah itu dirinya terkekeh geli. Seungyoun tidak berbohong, jantung laki-laki di depannya seperti habis lomba lari.

“Lu nggak ada riwayat sakit jantung kan, Youn?”

“Nggak ada, Woo. Tapi kalau pemicunya karena lu, mungkin ada.”

“Hahaha ada-ada aja!” Seungwoo melepaskan tangannya dari dada Seungyoun dan mengacak gemas rambut laki-laki manis itu.

“Jadi Wooㅡ”

“Jadi apa?”

“Gapapa, gua lega setelah confess dan tau jawabannya. Gua awalnya pesimis lu nggak suka sama gua, tapiㅡ”

“Mau jadi pacar gua nggak, Youn? Kan udah tau nih kita sama-sama suka. Udah kelas 12 juga, kapan lagi ngerasain masa cinta-cintaan SMA. Ya nggak?”

“Kita pacaran nih?”

“Lu mau nggak?”

“Mau lah! Udah mau 2 tahun gua nungguin, ya kali enggak!?”

“Yaudah pacaran nih?”

“Pacaran! Gua mau kok, mau banget malah!”

Keduanya terdiam beberapa saat, kemudian tertawa kencang. Merasa konyol untuk meresmikan hubungan dengan cara seperti ini.

Tiba-tiba saja Seungwoo menarik Seungyoun ke dalam pelukannya, menghirup aroma jeruk dari rambut Seungyoun yang menjadi candu. Sedangkan Seungyoun terdiam, otaknya masih memproses kejadian ini. Tak lama setelah itu, Seungyoun balas memeluk punggung Seungwoo.

“Gua nggak suka bau stella jeruk, tapi bau shampo lu candu banget.”

“Hah? Gimana?”

“Jeruk, 'kan?”

“Oh iya, punya mama sih sebenarnya hehehe. Enak?”

“Banget. Seger, gua suka.”

“Yaudah lain kali gua beli sendiri. Anggap aja gua stella jeruk spesial lu. Jiaaah spesial nggak tuh?”

“Hahaha kocak!” Seungwoo mengusak wajahnya pada rambut Seungyoun.

“Udah ah, pulang sana, udah maghrib. Ntar di jalan lu malah boncengin mba kunti lagi.”

“Tuh di belakang lu.” Seungwoo nenunjuk menggunakan dagunya, Seungyoun sontak menoleh dan tak mendapati apa-apa.

“APAAN SIH!?” Seungyoun memukul pundak Seungwoo kesal.

“Loh? Ada pagar, sana masuk maksud gua. Dih dasar penakut.”

“Tauk ah! Baru juga jadian dan nyebelin, balik sana lu, bye!” Seungyoun melepaskan pelukannya dan masuk ke dalam rumahnya tanpa menoleh ke belakang.

Seungwoo hanya terkekeh geli melihat tingkah pacar barunya, “I LOVE YOU SEUNGYOUN” teriak Seungwoo dari luar. Membuat Seungyoun segera balik badan, melotot kepada Seungwoo.

“Jangan teriak! Didenger orang rumah woi udah maghrib!”

“Hehehe balesannya mana?”

“I-iya I love you too! Udah sana pulang!”

Akhirnya Seungwoo pulang, dengan perasaan bahagia. Begitu pula dengan Seungyoun, selain lega, dirinya pun bahagia akhirnya mendapatkan Seungwoo yang hampir 2 tahun ini ia idamkan.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Keindra terkekeh kecil melihat ke arah Haris yang masih menunjukan wajah kesal. “Apa lu ketawa-ketawa?” Ketus Haris.

“Ih tadi katanya janji nggak bakal galak! Bohong!”

“Ck! Siapa juga yang janji?”

“Tadi barusan di chat. Kak Haris nggak tepatin janji!”

“Gua cuma hmm doang, bukan berarti setuju?”

“Tapi bagi aku itu setuju! Sekarang mana kelingkingnya? Biar kak Haris nggak galakin aku lagi!” Keindra turun dari sofa, berlutut di samping Haris sambil menunjukan jari kelingkingnya tepat di hadapan wajah Haris.

“Harus banget?”

“Harus!”

“Iya deh iya.” Haris menautkan kelingkinya pada Keindra. “Udah ya?”

“Hehehe gitu dong! Jangan galakin aku lagi ya, Kak? Lagian salah aku apa sih sama kakak. Udah seminggu ini kayaknya marah sama aku, emang aku ada buat salah, ya?” Tanya Keindra hati-hati.

Haris diam, sebisa mungkin ia mengalihkan perhatiannya asal tidak menatap Keindra.

“Maaf ya kalau aku ada bikin salah, atau selama ini kakak risih deket sama aku. Mungkin aku yang terlalu percaya diri bisa dekat sama kakak, tapi nggak mikir perasaan kakak. Aku cuma anak baru yangㅡ”

“Berhenti.”

Keindra bungkam. Suara dingin Haris membuat detak jantungnya naik, Keindra kembali menunduk memainkan ujung sofa Haris.

“Simpan maafnya, harusnya yang minta maaf itu gua, Kei.”

“Hm? Emang kakak bikin salah apa?” Keindra menatap Haris bingung.

“Banyak. Dari gua yang abaikan chat lu, lama balas chat lu, balas chat lu singkat nggak kayak biasanya kita chatan. Bahkan ngabaikan lu di sekolah, terakhir kemarin gua bahkan bentak lu, Kei. Jadi, gua yang harusnya minta maaf sama lu.”

“Aku yakin kok semua yang kakak lakuin pasti ada alasannya, dan aku simpulkan salahnya di aku karena aku ganggu kakak lagi fokus mau tanding.”

“Sebenarnya bukan itu, Kei.”

“Lalu apa, kak?”

Haris menatap Keindra, keduanya bertukar pandang satu sama lain. Laki-laki yang lebih tua memberanikan diri menggenggam erat tangan Keindra, membuat empunya mengerjap gugup dan memilih mengeratkan genggaman tangannya.

“Gua ada hak nggak sih kalau gua bilang gua cemburu?” Tanya Haris.

“H-hah? Cemburu?”

“Iya. Gua sadar gua bukan siapa-siapa, tapi gua cemburu liat ada orang selain gua yang dapat perhatian lebih dari lu, Kei. Bahkan lebih akrab dari gua, gua ... gua nggak rela.”

“Maksud kakak, Yardan?” Tanya Keindra memastikan.

Hanya anggukan sebagai jawaban. Hal itu membuat Keindra gemas, ia meletakkan genggaman keduanya di atas pipi berisinya sambil tersenyum. Melihat hal itu, sebelah alis Haris naik.

“Maafin aku ya kak bikin salah paham. Yardan itu sepupu aku, kuliah di Sungapur sekarang lagi liburan. Aku emang dekat banget sama dia, karena cuma dia sepupu terdekat aku. Awalnya memang aku mau kenalin ke kakak biar bisa main bareng kita. Tapi ternyata kakakㅡ”

“Iya, gua udah keburu emosi dan nggak mau ketemu lu karena liat twitter, padahal nggak susah buat tanya. Gua juga udah terlanjur malu karena ngerasa bersalah, jadinya kemana-mana. Maafin gua ya, Kei? Gua sadar emang egois, keras kepala, emosian, harusnya ini bisa diselesaikan baik-baik.”

“Aku juga minta maaf, Kak. Harusnya dari awal aku kasi tau kakak soal kedatangan Yardan, tapi aku malah ngabaikan kakak dan asik sama Yardan. Aku paham kok kenapa kakak marah, waktu itu pasti rasanya kakak capek banget tapi aku malah nambah-nambahin beban.”

“Enggak, jangan nyalahin diri lu, Kei. Itu udah urusan dan resiko gua, harusnya lu nggak ikut jadi lampiasan emosi gua.”

“Yaudah kalau gitu, daripada enggak selesai-selesai saling nyalahin satu sama lain, ini kita impas sama-sama salah, ya?” Keindra tersenyum.

Bagaikan sihir, senyuman Keindra menular kepada Haris. Ia pun mengangguk mantap, jempolnya ia bawa untuk mengelus pipi berisi Keindra.

“Jadi, kita baikan?” Tanya Haris.

“Memangnya kita ada berantem? Hehehe.” Keindra terkekeh geli melihat kerutan di dahi Haris. “Iya, kita baikan. Jangan abaikan aku lagi ya, Kak? Jangan pernah nutupin perasaan kakak, kalau ada apa-apa ngomong biar aku tau, gitu juga aku ke kakak, biar kita saling tau dan cari solusinya bareng-bareng.”

“Iya Kei, maaf ya aku masih belum paham, masih kebawa ego dan sadar diri juga bukan siapa-siapa.”

“Cieee udah pakai aku, berarti udah balik jadi kak Haris yang aku kenal nih!” Keindra menaik turunkan alisnya menggoda Haris, membuat yang tua teripu dan menarik gemas pipi yang muda. “Jangan ditarik entar melar!” Keindra menepis pelan tangan Haris.

“Mana bisa melar, padet gini kok!” Haris menusuk-nusuk pipi Keindra.

“Memangnya bakso padet!”

“Sini aku makan, mau buktiin beneran bakso apa bukan.”

“Sembarangan!”

Keduanya tertawa, genggaman tangan sedari tadi masih bertahan. Haris membawa genggaman itu ke atas dadanya, dielusnya ke pipinya sendiri dan dikecup singkat. Menimbulkan rona samar di kedua pipi Keindra.

“Walau aku belum jadi siapa-siapa, tapi kalau aku minta jaga hatinya dulu sebentar boleh kan, Kei? Tunggu keadaan aku baikan dulu, tunggu pertandingan kelar dulu, walau aku nggak tau bisa tanding apa enggak. Tapi, aku boleh kan minta kamu stay, sama aku?”

Giliran Keindra yang mengecup tangan Haris, bahkan ia usak ujung hidungnya pada punggung tangan Haris.

“Kak, apapun isi pikiran kakak buang jauh-jauh, ya? Aku cuma deketnya sama kakak, aku bakal stay sama kakak, aku udah terlanjur nyaman deket sama kakak, enggak ada yang lain lagi kak. Jadi, kakak jangan segan buat minta aku stay, jangan mikir kakak bukan siapa-siapa dan nggak ada hak, karena kita udah sedekat ini, Kak. Oke?”

Me too, Kei. I also feel comfortable around you and don't want to be with anyone else. So I ask you to stay and support me.

I will, Kak. Aku bakal selalu support kakak apapun yang terjadi.”

Haris melepaskan genggaman tangannya, digantikan oleh sebuah pelukan erat. Tentu saja dengan senang hati Keindra membalas pelukan tersebut, walau sedikit kesusahan untuk memeluk leher Haris, karena laki-laki itu masih setia berbaring di atas sofa.

Cukup lama keduanya berpelukan, tak ada kata-kata yang tercucap, hanya dengan pelukan keduanya paham dan saling menyalurkan perasaan masing-masing.

By the way, Kak. Pertandingan kakak gimana kalau kakinya cedera?”

“Loh Wira nggak ada kasi tau? Sementara yang gantikan si Wira. Ini anaknya lagi latihan kejar target, agak kasihan aku sebenarnya sama dia. Tapi namanya kecelakaan, aku juga nggak bisa mastiin bisa ikut tanding atau enggak.” Wajah Haris tampak sendu memberikan penjelasan.

Keindra menangkup pipi Haris dengan sebelah tangannya, jempolnya ia bawa untuk mengelus lembut pipi Haris. “Aku paham rasanya, aku pernah diposisi kakak kalau kakak lupa. Tapi ingat satu hal, yang terpenting kesehatan kakak, kondisi tubuh kakak dulu. Aku tau kakak pasti sedih, tapi selalu ingat ada aku, ada yang lain selalu dukung kakak. Jangan merasa kehilangan segalanya hanya karena ada kemungkinan nggak bisa tanding, ya?”

“Keindra ...”

“Hm, iya?”

Thank you for everything. I just wanna hug right now.

Sebuah pelukan pun Haris dapatkan. Kali ini lebih erat dari sebelumnya, Haris memendam wajahnya pada ceruk leher Keindra, menghirup aroma vanilla yang begitu candu dan sangat cocok untuk Keindra.


Keindra tampak termenung menatap kosong langit-langit kamarnya, setelah menceritakan keresahannya kepada sang sahabat.

“Masa karena lama balas chat jadi marah sih? Tapi bisa juga sih, cuma aneh banget sampai abaikan gue kayak gitu!?”

Saking terlalu serius mengomel sendirian, Keindra sampai tidak sadar akan kehadiran Yardan yang sedari tadi berdiri di depan pintu kamarnya, menatap Keindra heran.

“Kei!”

Panggilan Yardan membuat si pemilik nama terperanjat, sontak ia pun terduduk di kasur.

“Ngangetin aja, ih!” Kesal Kei, melempar bantal berbentuk cupcake ke arah Yardan.

Bantal itu ditangkap dengan mulus oleh Yardan dan dilempar balik ke arah pemiliknya. Yardan pun masuk ke kamar Keindra, duduk di sudut kasur laki-laki manis itu.

“Ngomong sama siapa kamu? Penunggu kamar, ya?”

“Ngawur!”

“Lah terus ngapain juga ngomong sendiri. Lagi badmood, hm?” Yardan mengelus pipi berisi Keindra.

“Hmm ... ya gitu.”

“Mau makan es krim?”

“Malam-malam gini?”

“Mau nggak?”

“Mau! Mau!”

“Yaudah buruan ganti baju, kita pergi.”


Disinilah mereka berdua, kedai es krim langganan Keindra dan para sahabatnya. Keindra sengaja membawa Yardan ke sini tak lain karena ingin mengenalkan dunianya ke Yardan, sosok Yardan harus tau segala tentang dirinya.

“Mau rasa apa?” Tanya Yardan sambil melihat pilihan rasa es krim di etalase.

“Karamel aja. Ardan mau apa?”

“Samain aja deh, aku kesini cuma mau ngehibur kamu aja hehe.”

“Aaaㅡ sayang Ardan!” Keindra dengan percaya diri memeluk pinggang Yardan dari samping, tak peduli orang-orang melihat mereka berdua.

Setelah selesai memesan, keduanya memilih duduk di bagian tengah càfe, karena hanya tempat itu yang tersisa. Malam hari ini cuaca terasa sedikit panas, tak heran orang-orang ramai datang sekedar menyegarkan tenggorokan di malam hari.

“Pelan-pelan makannya Keindra ...” Yardan mengelap sisa-sisa eskrim di sudut bibir Keindra menggunakan tisu basah yang sengaja ia bawa.

“Udah pelan kok, Ardan ...”

Yardan menatap diam Keindra yang asik memakan es krimnya, “ada masalah apa?” Tanya sosok itu tiba-tiba.

Aktivitas memakan es krimnya terhenti, Keindra balik menatap Yardan dan menghela napas.

“Haris ...”

“Kenapa dia?”

Akhirnya Keindra menceritakan semua yang terjadi, mulai dari Haris yang tiba-tiba dingin kepadanya, hingga kejadian bekal tadi siang. Yardan mendengarkan dengan seksama, sesekali menyuapi es krim miliknya kepada Keindra.

“Jadi gitu, Dan. Ih! Ini dari tadi es krim kamu kasi ke aku mulu!” Keindra memukul pundak Yardan agar menghentikan kegiatannya.

“Hehehe ya es krim kamu udah habis, jadi makan punyaku aja.”

“Hmm ... jadi gimana, Dan?”

“Apanya?”

“HARIS!”

“Oh ... santai dong jangan teriakin nama orangnya kali, ntar tiba-tiba nongol gimana?”

“Nggak lah!”

“Tuh Haris di belakang kamu.”

Keindra sontak menoleh ke belakang, namun tak ada siapa-siapa. Sadar dirinya ditipu oleh Yardan, Keindra dengan geram mencubit lengan kurus Yardan, membuat empunya teriak kesakitan sambil tertawa, karena merasa lucu melihat ekspresi wajah Keindra.

“Lagian kamu mana tau yang namanya Haris ih!”

“Ya memang, kenapa kamu percaya? Gini ni kalau bucin jadi lupa dunia. Kata aku mah, udah biarin aja dulu si Haris, Haris itu. Mungkin dia lagi ada masalah, jadi nggak mood. Jangan karena dia kamu kebawa jelek juga mood-nya.”

“Hmm iya sih, tadi cerita sama kak Beryl juga ngomong gitu.”

“Ya udah, nggak usah galau deh!” Yardan dengan sengaja mondorong kepala Keindra, dan mengacak rambut yang lebih muda.

“Ardan udah ih!” Keindra menepis tangan Yardan. “Eh iya nanti Wira nyusul katanya, kayaknya lagi di jalan.”

“Aku belum ketemu sama temen-temen kamu, Kei.”

“Besok deh, aku bawa pas extra.”

“Emang boleh?”

“Boleh aja, asal nggak ganggu.”

Keduanya asik mengobrol sambil memakan cone es krim yang masih tersisa.

Kei?” Sebuah panggilan dan tepukan di pundak dari seseorang, membuat Keindra menoleh.

“Bang Satria! Kok lu bisa ada di sini!?” Keindra kaget melihat sosok Satria berdiri di belakangnya.

“Hahaha gila beneran elu ternyata, ketemu mulu kita hari ini.”

“Iya nih Bang, sempit banget deh dunia. Lu belum jawab gue kenapa ada disini!”

“Oh iya, ini càfe punya kakak gua. Kalau gabut gua kesini, mana tau ketemu orang yang gua kenal. Nah, bener kan ketemu gua sama elu hehehe. By the way siapa nih, Kei?” Satria tersenyum jahil, menaik turunkan alisnya melirik Yardan yang sedari tadi terdiam melihat interaksi mereka berdua.

“Eh iya ding lupa ngenalin! Ini Yardan, sepupu gue baru datang dari Singapura, kuliah disana, tapi dia seumuran elu kok, Bang. Dan kenalan gih!” Keindra menarik tangan Yardan agar bersalaman dengan Satria.

Satria tahu, orang yang sedang ia jabat tangannya ini adalah sumber kekesalan Haris. Sudut bibir Satria naik, tersenyum menyeringai saat tahu orang yang bernama Yardan ini hanyalah sepupu Keindra, tak lebih.

Haris tolol ... Haris tolol ...” batin Satria.

“Gua Satria, abang kelasnya Keindra.”

“Gua Yardan, sepupunya Keindra eh atau abang aja kali ya nggak pake sepupu, soalnya Keindra suka ngaku-ngaku sodara sama gua.”

“Jangan buka aib!” Tegur Keindra.

“Hahaha santai aja kali Kei nggak usah sewot gitu muka lu. Salam kenal ya, Yar. Santai aja sama gua mah, lu kalau mau pesen lagi, pesen aja gua yang traktir.”

“Gue mau bang!” Keindra mengangkat tangannya antusias layaknya balita.

“Gua nawarin Yardan bukan elu!” Satria mendorong dahi Keindra menggunakan telunjuknya.

“Pilih kasih!”

Weh kok rame!?” tiba-tiba Wira datang dan kebingungan melihat meja Keindra ramai.

“Nah Wira! Datang juga lu, gih sana pesen es krim sama Yardan, biar gua traktir, kalau Keindra biarin aja.” Satria masih saja betah menggoda Keindra.

“Bang Sat ih!”

“Eh ngumpat lu sama abang kelas!?” Satria melebarkan bola matanya.

“Hehehehe Bang Satria! Gitu!”

“Dih ngeles dih! Udah sana pesen lagi aja, santai sama gua mah. Lu juga Kei, daripada rewel cemberut mulu, lagi galau kan lu?”

“Nggak galau, ya!”

“Iyain aja dah, tenang kok Kei bekal lu dimakan sampai habis sama doi.”

“CIEEEEE!!” Suara Yardan dan Wira bersamaan menggoda Keindra.

“APASIH!?”

Ketiga laki-laki yang tingginya tidak main-main itu tertawa puas melihat wajah memerah Keindra.


KRIIING

Bel tanda istirahat berbunyi, para murid berbondong-bondong keluar kelas, melakukan kesibukan mereka masing-masing.

Keindra duduk diam dikursinya, membuat Yoshep yang sedang mengemasi buku-bukunya menatap sahabat mungilnya itu heran.

“Ngapa kau diam disini, nggak ke kantin?”

“Eung? Gapapa, nunggu kau lah aku.”

“Oh ... ayok lah!” Yoshep berdiri menarik lengan Keindra agar mengikutinya, tak lupa Keindra mengambil kotak kecil yang berisi roti isi tadi pagi dari dalam meja. “Apa tuh?” Tanya Yoshep.

“Roti isi buat kak Haris. Tapi tadi pagi nggak ketemu, mana tau di kantin ketemu.”

“Cielah ... udah buat bekal aja kau untuk bang Haris. Kapan lagi kau buat bekal untuk aku sama anak-anak lain hah?!” Yoshep mengacak rambut Keindra dan merangkulnya menuju kantin.

“Iya nanti aku buatkan, santai aja jangan acak-acak rambutku weh!”

Suasana kantin hari ini tidak begitu ramai, Keindra dapat melihat Satria dan Beryl duduk berdua di bagian tengah kantin. Wajahnya kembali murung karena tak mendapati Haris.

“Yosh, gabung sama kak Beryl mau nggak, kau?”

“Aku ayok aja sih. Kau mau makan apa?”

“Nggak, belikan aku susu kotak rasa taro aja ya.”

“Oke.”

Keduanya berpisah, Yoshep yang membeli makanan serta minuman pesanan Keindra, sedangkan Keindra menuju ke arah meja kakak kelasnya.

Tangan Keindra sengaja mengetuk meja kantin agar menarik perhatian dua orang yang asik menyantap mie ayam mereka, “permisi, boleh gabung?” Tanyanya dengan senyum manis.

“Astaga Kei! Gua kira siapa, ngetuk meja udah kayak kepsek aja lu. Gabung lah!” Satria menarik Keindra duduk disamping dirinya.

“Eh ngegas amat lu narik-narik anak orang depan kakaknya! Gua laporin lu ke Helmi ya!?” Beryl memukul lengan Satria kesal.

“Aishh! Sakit anjir! Ngapain jadi bawa-bawa Helmi hah!?”

“Ya lu modus mau deket-deket, Kei. Dek sini samping kakak!” Beryl menggeser tubuhnya untuk memberi ruang agar Keindra dapat duduk disamping dirinya.

“Hahaha ya ampun perkara duduk doang, ih!” Keindra mengalah, ia memilih duduk disamping Beryl dan membiarkan Yohsep duduk disamping Satria.

“Permisi ya abang-abang semua, saya mau join,” ujar Yohsep sambil membawa sepiring nasi kuning.

“Mana temen kalian yang lain?” Tanya Beryl kepada dua adik kelasnya ini.

“Wira katanya nyusul masih bagi tugas kelompok, kalau Candra udah sibuk sama teman kelasnya, Kak,” jawab Yoshep.

“Pacar lu mana, Bang?” Tanya Kei kepada Satria.

“Lagi selingkuh sama kameranya, biarin aja dah ntar juga kesini bentar lagi.”

“Nggak makan? Kok minum susu aja, liat tuh mukanya mulai pucat, lemes juga. Kenapa kamu, hm?” Beryl mengelus kepala Kei.

Mendegar kondisi Kei dari mulut Beryl, hal itu menarik perhatian dua laki-laki yang berada di hadapannya.

“Eh iya Kei, ngapa pula kau ndak makan, muka kau pucat tuh!” Yoshep mulai panik.

“Lu gapapa, Kei? Cerita sini kalau ada masalah,” ujar Satria tiba-tiba.

Keindra menatap satu-satu orang yang sedang menaruh perhatian kepadanya, kemudian ia terkekeh geli sambil menggelengkan kepalanya.

“Hahaha kenapa sih pada lebay! Gue gapapa kali, mungkin karena lupa pakai lipbalm jadi keliatan pucat. Kalian lanjut makan aja, gue masih kenyang kok.”

“Awas bohong, ya?” Beryl menatap Keindra curiga.

“Engga, Kak. By the way, kak Haris mana ya? Tumben ga ikut.”

“Tauk dah! Katanya tadi mau nyusul, malah kagak muncul.” Jawab Satria.

“Ciee cariin kak Harisnya, kangen ya?” Goda Beryl kepada yang lebih muda.

“Engga ih! Mau kasi ini, tadi pagi nggak ketemu.” Keindra menunjukan kotak bekal yang terletak dihadapannya.

“Nah bener, 'kan! Lu tadi pagi nyamperin ke lantai 3 buat ketemu Haris, 'kan?” Satria menunjuk wajah Keindra, seakan menuding adik kelasnya itu.

Tertangkap basah, Keindra terkekeh sambil menggaruk pipinya canggung. Beryl yang melihat tingkah laku adiknya tersebut hanya dapat tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya.

“Udah disamperin ke kelas?” Tanya Beryl.

“Udah, Kak. Tapi ....”

“Tapi kenapa?” Satria terlihat penasaran.

“Tadi ketemu sih, cuma kak Haris langsung lewat gitu aja masuk dalam kelas, nggak ada gubris aku. Padahal aku berdiri di depan kelas ... mungkin nggak ngeh aku berdiri disitu kali, ya?”

Hening, baik Beryl maupun Satria mengernyitkan dahi mereka, saling bertatapan satu sama lain. Sedangkan Yoshep memilih diam, tangannya terulur untuk mengelus tangan sahabatnya diatas meja.

Temen lu ngapa?” Beryl menggerakan bibirnya tanpa suara kepada Satria.

Gegara tweet kali.” Jawab Satria sama seperti Beryl.

Keduanya pun menghela napas berat, dan kembali menaruh perhatian kepada Keindra yang tampak termenung meminum susunya sambil menatap kotak bekal.

“Udah nggak usah dipikirin, mungkin emang nggak ngeh aja. Tadi pagi kalau nggak salah Haris ada pertemuan pemain, ya kan Sat?”

“Iya Kei, santai aja deh lu. Haris gapapa kok tadi, mungkin emang capek. Sini lu titip ke gua aja, ntar gua kasi.”

Keindra memberikan kotak bekalnya kepada Satria, “hmm ... tapi bisa bilang bukan dari gue nggak, Bang? Takutnya malah nggak mau dimakan. Mungkin kak Haris emang lagi nggak mau diganggu.”

“Bisa, ntar bilang dari Beryl aja. Ya, nggak Ryl?” Satria menaikan alisnya kepada Beryl dan dibalas anggukan.

“Kakak pastiin dia makan bekal dari kamu. Kotaknya ntar gimana, nih?”

“Bawa aja, kotak sekali pakai kok itu hehehe. Tolong ya kak Eryl, bang Satria, maaf ngerepotin.”

“Yaelah santai kali, cuma bawain bekal doang. Lu jangan kagak makan, Kei. Capek-capek buatin bekal, malah lu yang kelaperan!” Nasehat Satria kepada Keindra.

“Enggak bang, gue emang masih kenyang tadi pagi udah sarapan banyak hehehe.”

“Nih makan kerupuk kakak aja,” Beryl memberikan sebungkus kerupuk udang kepada Keindra.

Keindra paham Beryl khawatir padanya, karena tak ingin merepotkan ia pun menuruti perkataan Beryl, walaupun pikirannya masih terganggu oleh sikap Haris.


Hampir dua puluh menit Keindra berdiri di depan deretan kuas, Haris yang berdiri tak jauh darinya kebingungan melihat-lihat kuas dan berbagai alat untuk melukis.

“Kei!”

“Eung? Kenapa, Kak?”

“Lu ngeliatin apa sih dari tadi? Perasaan gua tu kuas sama semua.”

“Ih beda tau! Nih lihat, kalau kecil gini untuk nambahin komponen-komponen kecil, supaya lebih detail, terus ini yang gede untuk warnain dasarnya, gitu!”

“Ya terus lu kenapa udah berapa menit liatin itu mulu?”

“Bingung mau beli semuanya apa satu-satu dulu hehehe. Ntar kalau mami tau pasti kena omel borong kuas mulu.”

“Astaga Keindra!” Haris menangkup dan menekan kedua pipi Keindra gemas. “Kenapa sih gitu doang lu pikirin lama-lama, hm!?”

“Aaaa~! Kak Haris lepas!” Keindra menarik tangan Haris agar menjauhi pipinya. Kemudian tanpa sadar ia menggenggam tangan kanan Haris.

Haris tersenyum simpul melihat tangan mereka yang bertautan, dirinya semakin mengeratkan genggaman tersebut membuat Keindra baru menyadari apa yang telah ia lakukan.

“E-eh?” Keindra menatap Haris.

“Gua pegang biar nggak hilang, kan bahaya kalau gua hilangin anak tunggal mami papi, lu.”

“Ya paling kalau hilang, kakak juga dihilangin sama papi.”

“Gimana?” Hari menarik Keindra mendekat, membuat tubuh yang lebih kecil itu bersandar pada dada Haris.

“Hehehehe canda ih! Jangan tarik-tarik, aku mau ambil kuas malah nggak jadi,” Keindra sedikit berjalan menjauh dengan Haris mengikutinya. “Kak, tolong keranjangnya,” Keindra meminta keranjang yang sedari tadi di bawa oleh Haris atas kemauannya sendiri.

“Jadiny ambil enam nih?”

“Huum! Masing-masing dua, biar mami nggak lihat ada yang nambah.”

“Emang mami lu suka ngomel gitu, ya?”

“Enggak sih, tipikal ibu-ibu biasalah. Kalau udah lihat aku mulai beli banyak barang buat ngelukis tuh, pasti mulai risau, soalnya aku bakal di dalam kamar terus sampai lupa makan, keasikan ngelukis hehehehe.”

“Ya salah lu sendiri itu mah, wajar mami lu marah!” Genggaman kedua tangan mereka sengaja Haris dekatkan ke wajah Keindra, untuk mendorong pipi berisinya.

“Hehehe ya gimana seru kok!”

“Kalau seru ajarin dong biar gua juga paham di mana letak serunya, 'kan, waktu itu lu ada bilang mau ngajarin gua gambar.”

“Oh iya! Kita belajar gambar sketch aja dulu ya.”

“Ya apalah itu namanya, gua kudu beli apa nih mumpung di sini?”

“Ayo kita ke sebelah sana!” Keindra menarik tangan Haris menuju bagian pensil dan buku. Tanpa banyak bicara ia mengambil buku sketsa berukuran sedang dan pensil serta penghapus untuk Haris. “Beli ini aja dulu, mau sekalian perwarna? Biar kayak anak TK.”

“Enggak gitu juga, heh!”

“Hehehehe ya mana tau, 'kan! Udah sih ini aja, aku udah selesai nih, Kak.”

“Pulang?”

“Bayar dulu baru pulang, Kak!”

“Ya iyalah Keindra anak pak Ardani, masa lu bawa kabur. Emang ini toko punya papi lu apa?”

“Eh! Sebut-sebut nama papi aku, kok bisa tau!?” Keindra memicingkan matanya kepada Haris.

“Ada database OSIS kalau lu lupa dan ketua OSIS temen gua sendiri.”

“O-oh iya hehehe kirain, 'kan.”

Kirain gua cari tau tentang keluarga lu dan semuanya? Ya emang kok, alasan aja tadi gua mah, Kei.” ujar batin Haris.


Mobil sedan putih yang dikendarai oleh Haris telah sampai dengan selamat di depan rumah Keindra.

“Rumah lu ada siapa, Kei?” Tanya Haris saat mematikan mesin mobilnya.

“Enggak ada siapa-siapa, mami papi kerja.”

“Gapapa, nih?”

“Gapapa lah, emang kenapa? Kapan lagi mau belajar, tadi katanya gabut, 'kan?”

“Iya sih ....”

“Yaudah ayo!” Keindra keluar terlebih dahulu sambil membawa barang yang tadi ia beli bersama Haris.

Malu-malu Haris mengikuti Keindra untuk masuk ke dalam rumah yang tampak nyaman didominasi oleh warna putih dan krem serta interior dari kayu berwarna senada. Saat pertama kali masuk Haris dibuat takjub, karena rumah Keindra begitu klasik dan juga cozy, seperti ada aura yang menarik dirinya untuk betah berada di sini. Rumahnya terasa hangat, serta aroma vanilla menyebar di seluruh sudut ruangan.

“Duduk dulu ya Kak di sofa itu, aku mau ganti baju dulu.”

“Oh oke, santai aja.”

Sesuai perintah, Haris duduk di sofa yang berada di ruang tengah. Dapat Haris lihat begitu banyak deretan foto menghiasi dinding rumah ini. Mulai dari foto keluarga, foto kedua orang tuanya saat menikah, deretan foto Keindra dari bayi hingga sudah beranjak dewasa dan tak ketinggalan foto saat dirinya dirawat di rumah sakit. Tak hanya itu, ada satu lemari di sudut ruangan yang berisi piala serta piagam, hasil dari kejuaraan taekwondo.

“Emang nggak main-main, sebanyak itu terus tiba-tiba berhenti gimana nggak trauma,” monolog Haris saat melihat pencapaian Keindra.

“Ngapain ngomong sendiri?” Tiba-tiba Keindra datang membuat Haris terperanjat.

“Ngangetin aja!”

“Ih! Kakak tuh kenapa malah ngomong sendiri? Lihatin apa?”

“Tuh foto anak tuyul lagi tengkurep,” Haris menunjuk salah satu foto Keindra saat masih bayi.

“Sembarangan! Lucu tuh!” Keindra memukul pundak Haris kesal.

“Hehehe ya lucu tapi botak.”

“Semua bayi botak kok!”

“Gua enggak kok, lu aja kali.”

“Ish! Mulai deh nyebelinnya!” Keindra menghentakan kakinya kesal.

Baru Haris sadari sosok manis di depannya ini hanya mengenakan celana pendek setengah paha berwarna hijau tua, dengan kaos putih yang hampir menutupi celananya.

Tenggorokan Haris terasa kering, “ekhem! Kei haus nih Kei,” ujarnya mengalihkan perhatian.

“Oh iya! Mau minum apa? Hanget, dingin, manis, air biasa?”

“Air dingin biasa aja.”

“Bentar ya!” Keindra berlari menuju dapur, meninggalkan Haris yang segera menghela napas keras-keras dan menyandarkan tubuhnya di sofa.

Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang melihat Keindra dalam balutan baju rumahan, jujur saja Keindra di rumah terlihat semakin manis dan lucu, ingin sekali Haris mendekapnya.

“Nih, Kak!” Keindra datang membawa sebotol air mineral dingin dan setoples cemilan keripik kentang.

“Lah malah repot-repot bawa makanan.”

“Gapapa lah, mumpung di sini. Kakak, 'kan, jarang singgah paling cuma sampai ruang tamu.”

“Hehe iya sih, makasih ya!” Haris meminum airnya hingga setengah botol membuat Keindra tertawa.

“Haus banget, Pak?”

“Iya nih, tiba-tiba kerasa hausnya. Jadi, kapan mau mulai gambar?”

“Sekarang bisa, keluarin dulu gih barangnya,” Keindra membantu Haris mengeluarkan barang-barangnya miliknya.

Kemudian ia meraut pensil baru untuk Haris, membukakan bungus penghapus yang baru dan Haris menerima bersih segalanya untuk segera dipakai. Senyum Haris terukir di wajahnya, rasanya bahagia sekali dilayani seperti ini, padahal Haris sama sekali tidak ada memintanya.

“Aku pakai buku sketch ini aja,” Keindra mengambil buku dan pensil yang sudah tersedia di laci meja ruang tengah.

“Loh? Emang sengaja disiapin di situ?”

“Iya, aku kalau gabut nggak ada tontonan pasti gambari di sini sambil rebahan hehehe.”

“Emang jiwa anak seni tuh beda, ya.”

“Ya, kalau gitu mami enggak bakal kerja di desain interior dong, Kak. Aku bisa gambar turunan dari mami.”

“Pantesan! Papi lu kerja di mana, Kei?” Haris mulai mengisi kertas sketsanya dengan namanya dan tanggal hari ini.

“Perusahaan elektronik gitu.”

“Hmmm wajar sih lu sering sendirian sampai malam.”

“Betul, kadang kalau udah bosen banget aku ke rumah kak Beril, nugas di sana kadang sampai ketiduran terus nginep deh.” Haris mengangguk mengerti, satu fakta baru yang ia ketahui tentang Keindra. “Kakak mau gambar apa?” Tanya Keindra duduk di samping Haris dan melipat kedua kakinya di atas sofa.

“Apa ya, ayam bisa nggak?”

“Bisa lah! Kenapa kepikiran ayam coba?”

“Tuh gara-gara ada guci gambar ayam,” Haris menunjuk guci berukura sedang terletak di samping televisi.

“Astaga hahaha. Oke kita mulai ya! Buat dulu garis lurus gini untuk menyesuaikan polanya,” Keindra menggambar empat garis berbentuk tambah dengan ukuran besar.

“Kenapa harus gini?”

“Biar di tengah, biar enak ngaturnya, kan baru pertama kali gambar.”

“Hmmm iya juga ya,” Haris mengikuti setiap arahan Keindra.

“Ini apanya, Kak?” Tanya Keindra melihat gambar Haris yang tampak rancu menurutnya.

“Kakinya, ini ayamnya lagi terbang jadi kakinya ngarah ke depan gitu!”

“Hahahaha kak Haris!” Keindra tertawa geli dan menyandarkan kepalanya pada pundak Haris.

“Dih malah ketawa, liat nih galak, 'kan, ayam gua. Kalah pasti ayam lu sama punya gua, tuh liat ayam lu kalem bener dah heran gua, lagi merem telur?”

“Hahahaha tadi katanya ikutin yang ada di guci! Ayamnya kalem lah duduk diem.”

“Mana bisa ayam duduk!”

“Bisa! Merem telur tuh apa namanya kalau nggak duduk?”

“Eh maksud gua ayam nggak bisa jongkok, coba lu bayangin ayam jongkok gimana. Kakinya kebuka kayak gini?” Haris menggambar secara asal ayam dengan dua kaki terbuka lebar.

“Itu mau jongkok apa split!? Hahahaha,” lagi Keindra tertawa, bahkan napasnya sampai tersendat. Kepalanya masih ia sandarkan pada pundak Haris, bahkan tubuhnya sebagian bersandar pada tubuh Haris.

“Astaga receh amat ni anak, kalau split begini,” Haris menggambar ayam yang lain dengan garis lurus di bawahnya membentuk kaki.

“Ih kasihan ayamnya! Hahaha ....”

“Udah ah ketawa mulu lu, ntar nangis lagi.”

“Hehehe aduh sakit perut aku ketawa,” Keindra melanjutkan menggambarnya bersama Haris.

Keduanya begitu hening fokus pada gambar masing-masing, Keindra sudah terlanjur nyaman bersandra pada pundak Haris, begitu juga Haris menikmati kegiatan menggambarnya.

“Kak, tolong pinjem penghapus dong,” Keindra mencondongkan tubuhnya. Haris pun mengambil penghapus yang berada di atas meja dan saat ingin memberikannya tak sengaja sudut bibirnya menyentuh bibir Keindra karena wajah mereka begitu dekat.

“E-eh sorry sorry.” Haris dan Keindra segera memisahkan diri mereka.

Wajah keduanya begitu merah hingga ke telinga, Keindra perlahan mengambil penghapus dari tangan Haris, “a-aku harusnya minta maaf soalnya deket banget.”

“A-ah enggak, nggak kok Kei! Santai aja!”

Baik Haris maupun Keindra, keduanya membuang pandangan karena merasa malu.

KOK BISA NGGAK SADAR MUKA KEINDRA SEDEKAT ITU!?

BODOHNYA GUE MALAH MEPET BANGET PADAHAL CUMA MINTA PENGHAPUS!

TOK TOK TOK

Suara ketokan dari pintu depan mengejutkan dua sosok yang masih dilingkupi rasa malu tersebut.

“A-aku buka pintu dulu ya, Kak. Ma-makan aja cemilannya,” Keindra berlari meninggalkan Haris menuju pintu depan.

Saat Keindra membuka pintu, ia dikejutkan sosok Beryl berdiri di sana sambil membawa tempat makan.

“Kenapa mukamu merah gitu? Alerginya kambuh?” Baru saja Beryl ingin mengusap pipi Keindra, namun tangannya segera digenggam oleh Keindra.

“Nggak, gapapa. Aku kepanasan hehehe. Bawa apa tuh?”

“Biasa ibu masak lebih. Mobil siapa tuh di depan, kayaknya kakak kenal.”

“A-ah! Iya ada kak Haris di dalam, masuk aja gih!”

Tatapan Beryl menjadi curiga, ia pun masuk ke dalam rumah Keindra dan melihat sosok Haris sibuk memakan cemilan yang Keindra berikan.

“E-eh Ryl! Bawa apa tuh?” Haris berusaha terlihat biasa saja.

“Makanan buat adek gua. Ngapain lu di sini?”

“Les gambar.” Haris menunjukan karyanya kepada Beryl, namun hal itu tak membuat Beryl puas.

“Dek, salin dulu nih,” Beryl memberikan tempat makanan itu kepada Keindra.

“Iya, Kak. Sekalian cuci?”

“Nggak usah.”

Sosok Keindra berlalu ke dapur, meninggalkan Beryl yang segera duduk di samping Haris meminta penjelasan.

“Lu berdua habis ngapain hah!? Kenapa muka lu berdua merah-merah gitu? Lu ya Ris!” Beryl memukul punggung Haris.

“Astaga nggak ada, Ryl! Gua sama dia cuma kejedot doang tadi, lagi gambar nih jidat kita kebentur!”

“Gimana bisa kebentur hah!? Deket-deket lagi wajah lu berdua, awas ya mentang-mentang rumah sepi lu berdua malah macam-macam!” Beryl mencubit paha Haris.

“Iya iya enggak dih, Ryl! Sakit anying!”

“Lemah lu baru dicubit gitu doang, pulang nggak lu!?”

“Belumㅡ”

“Haris ....”

“Iya iya! Katanya udah setuju gua deketin tapi malah diusir, gimana sih!?”

“Lu berdua belum ada apa-apa malah berduaan di rumah sepi gini, mau jadi apa hah!?”

“Berarti kalau udah jadi apa-apa boleh, ya?”

“Ngomong lagi ku tempeleng pala kau, ya!?”

“Ampun!” Haris menunduk dalam membuat Keindra yang baru saja balik menjadi heran.

“Kak Ryl, udah nih.”

Dua orang yang lebih tua dari Keindra itu sontak menoleh, “oh udah, kalau gitu kakak langsung pulang, ya.” Beryl beranjak mengambil tempat milik ibunya dan langsung pulang.

“Kei, gua juga langsung pulang ya, mama barusan telepon mau pakai mobil.”

Baru saja Haris ingin beranjak dari duduknya setelah selesai membereskan baranganya, tangan Haris ditahan oleh Keindra.

“Kak ....”

“Hm?”

Cup

Pipi kanan Haris dikecup oleh Keindra sekilas, membuat bola mata Haris melebar dan menatap sosok yang telah tersenyum manis di sampingnya.

“Makasih banyak untuk hari ini, ya!”

“K-kei lu ...?”

“Hadiah. Kejadian yang sebelumnya tadi anggap aja cicilannya karena belum siap.”

Haris terkekeh, ia menarik Keindra ke dalam pelukannya dan mengecup sekilas kepala yang lebih muda.

“Makasih juga untuk les menggambarnya hari ini, sering-sering ngadain les ya?”

“Hahaha siap! Udah sana pulang,” Keindra mengusap punggung Haris dan mengantar laki-laki itu hingga depan pagar. “Hati-hati, Kak!”

“Hati-hati juga di rumah!”

Keindra melambaikan tangannya kepada Haris hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Sedangkan Beryl sedari tadi duduk di depan teras rumahnya, terkekeh melihat kedua orang tadi keluar dari rumah Keindra saling berangkulan.

Gemes banget dah lu berdua,” batin Beryl.

Genre: Romance/Hurt-Comfort/Drama

20.8k Words

TW: Violence/Harsh words

There any typo(s) 🙏🏻


Seungyoun kecil terlihat senang akhirnya ia bisa masuk taman kanak-kanak. Selama ini dirinya hanya melihat anak-anak lain yang lebih tua darinya berjalan bersama ibu atau ayah mereka untuk pergi ke taman kanak-kanak. “Seungyoun-ie senang?” tanya mama Seungyoun dan si kecil mengangguk senang.

“Seungyoun-ie nanti mau main sama teman-teman! Semuanya mau teman Seungyoun, 'kan, Ma?” tanya Seungyoun pada ibunya.

“Seungyoun-ie anak baik, pasti semua mau berteman sama Seungyoun. Nanti di sana baik-baik sama temannya, sama bu guru ya, Nak?”

“Iya, Ma!”

Si kecil pun berlari saat melihat taman kanak-kanaknya sudah semakin dekat, sang mama hanya tertawa kecil mengikuti anaknya yang sangat antusias, “hati-hati, Seungyoun!” mama Seungyoun memperingati.

Saat sampai di halaman sekolah mata Seungyoun berbinar melihat banyak permain khusus anak-anak, terutama ayunan yang selalu menjadi favorit Seungyoun.

Eng ... enggak mau!” tiba-tiba terdengar suara anak kecil lain dari arah samping Seungyoun bersama ayahnya.

“Kenapa enggak mau? Banyak teman loh, tuh liat ada teman baru,” ayah dari anak tersebut melihat ke arah Seungyoun.

Seungyoun yang sadar dirinya ditunjuk pun tersenyum dan dengan percaya diri ia menghampiri anak kecil dan ayahnya tersebut, “nah ada temen barunya datang, mau ya sekolah ya?” tanya sang ayah kepada anak kecil yang kebetulan berjenis kelamin laki-laki, sama seperti Seungyoun.

“Halo?” Sapa Seungyoun kepada anak laki-laki itu, sedangkan yang disapa bersembunyi di balik kaki sang ayah, “h-hai …,” balasnya dengan suara kecil.

“Seungyoun, kamu udah dapat teman baru?” tanya sang mama tiba-tiba menghampiri dirinya, “loh tuan Han?” mama Seungyoun terkejut melihat pria yang membawa anaknya ke sekolah itu.

“Ya ampun tetangga jauh rupanya,” canda tuan Han kepada mama Seungyoun. Kedua orang dewasa itu tertawa, sedangkan kedua anaknya saling berpandangan satu sama lain.

“Sekarang tinggal di mana tuan? Terakhir saya taunya istri tuan melahirkan, ini ya anak keduanya?” tanya mama Seungyoun.

“Masih di rumah lama Bu, mau ke mana lagi? Hahahaha. Iya ini si kecil yang kedua baru mau masuk TK. Ini Seungyoun yang masih bayi waktu itu lahirnya enggak jauh beda sama Seungwoo, 'kan?” tuan Han mengelus kepala Seungyoun, membuat bocah itu terlihat bingung.

Tuan Han merupakan rekan kerja papa Seungyoun, kebetulan dulu tinggal satu komplek di rumah dinas khusus. Akan tetapi, Seungyoun dan keluarganya memilih menetap di rumah sendiri sehingga ia dan keluarganya pun pindah. Anak yang tadi dihampiri oleh Seungyoun bernama Seungwoo, umur keduanya hanya berbeda 5 bulan saja dan Seungyoun yang lahir terlebih dahulu.

“Seungwoo kenapa ngumpet di kaki Ayahnya? Ayo sama Seungyoun, main sama-sama ya, belajar bareng. Mau?” bujuk mama Seungyoun kepada Seungwoo, sedangkan Seungyoun masih diam memperhatikan Seungwoo.

“E-emang Seungyoun mau main sama W-wooya?” tanya bocah itu gugup.

“Mau!” jawab Seungyoun bersemangat, membuat kedua orang tua dari bocah ini tertawa geli.

“Ibu Seungwoo ke mana, Tuan?” Tanya mama Seungyoun.

“Lagi ada urusan ke sekolah kakaknya Seungwoo, biasalah anak muda zaman sekarang.”

Mama Seungyoun mengangguk sebagai jawaban, “Seungyoun bawa Seungwoo masuk ke dalam kelas, ya? Tuh ibu gurunya udah nungguin,” perintah mama Seungyoun kepada anaknya.

“Iya, Ma! Eumm ... Wooya sama Seungyoun-ie, yuk?” Seungyoun mengulurkan tangannya.

Seungwoo memperhatikan ayahnya terlebih dahulu, “sana sama Seungyoun nanti kemana-mana mainnya sama Seungyoun, ya?”

Seungwoo pun mengangguk, ia akhirnya menggenggam tangan Seungyoun. Kedua anak kecil itu pun berlari kecil sambil bergandengan tangan masuk ke dalam sekolah bersama sang guru.

“Woo tadi kenapa enggak mau masuk sekolah?” Tanya Seungyoun kepada Seungwoo saat keduanya sudah duduk di kursi yang bu guru arahkan.

“Woo takut nggak ada teman, Woo takut mereka ga mau main sama Woo.”

“Jangan takut kan ada Seungyoun-ie! Woo main sama Seungyoun-ie aja, ya!”

Seungwoo mengangguk kecil dan tersenyum, hingga akhirnya pelajaran hari pertama si kecil ini pun di mulai.

Jam 10 saatnya pulang, benar saja Seungyoun dan Seungwoo tidak mau berpisah, keduanya selalu pergi bersama ke mana pun. Seungwoo dan Seungyoun sedang bergandengan tangan keluar dari kelas, “MAMA!” Teriak Seungyoun melihat mamanya sudah menunggu di depan gerbang sekolah.

“Seungyoun-ie! Gimana sekolahnya, asik main sama temen-temennya? Seungwoo gimana?”

“Seru tante hehehe ...” jawab Seungwoo malu-malu.

“Tadi Seungyoun sama Seungwoo nanyi yang biasa Mama sama Seungyoun nyanyi di rumah, terus kita belajar bikin lilin-lilin gitu, Ma!” Seungyoun antusias menjelaskan pada mamanya.

Mama Seungyoun mengusak rambut anaknya pelan, rasanya senang sekali melihat sang anak begitu antusias. Wanita itu pun melihat Seungwoo yang seperti mencari sesuatu, “Seungwoo dijemput siapa?” Tanya mama Seungyoun.

“Hmm enggak tau, tadi ayah katanya mau jemput.”

“Pulang sama Tante mau? Rumah Seungwoo masih yang depannya ada pohon ceri?”

“Iya Tante, kok Tante tau?”

Mama Seungyoun tersenyum, akhirnya wanita itu menggandeng kedua anak kecil tersebut menuju rumah Seungwoo.

Saat diperjalanan tak sengaja mereka bertemu dengan ibu Seungwoo, “nyonya Han!” Sapa mama Seungyoun.

“Loh Mama Seungyoun? Sama Seungwoo juga!” Kedua wanita itu saling berpelukan dan menanyain kabar satu sama lain.

“Ke rumah dulu yuk, udah lama banget semenjak pindah nggak main-main,” tawar ibu Seungwoo.

Akhirnya Seungyoun dan mamanya pun di rumah Seungwoo. Sembari membiarkan kedua ibu mereka mengobrol, Seungyoun dan Seungwoo asik bermain di ruang tengah bersama anjing peliharaan kakaknya.

“Namanya siapa? Gigit ga?” Tanya Seungyoun melihat anjing cihuahua di pangkuan Seungwoo.

“Namanya Coco, enggak gigit kok sini deh elus-elus!” Seungwoo terlihat lebih aktif dari di sekolah kerena dirinya lebih pemalu di tempat ramai.

Seungyoun memberanikan diri mengelus anjing kecil tersebut, Coco terlihat senang saat anjing itu menggoyangkan ekornya membuat kedua bocah itu tertawa senang bermain satu sama lain.

“Seungyoun, pulang yuk? Papa nanti nyariin kita belum pulang,” ajak mama Seungyoun tiba-tiba.

Baik Seungyoun maupun Seungwoo, keduanya menunjukan wajah kecewa karena harus menyudahi acara bermainnya, “Woo ... Seungyoun-ie pulang dulu ya, besok kita ketemu di sekolah. Dadah!” Seungyoun melambaikan tangannya dan menghampiri mamanya.

Seungwoo pun mengikuti ibunya mengantar Seungyoun dan mamanya pulang sampai depan pagar, Seungwoo balas melambaikan tangannya kepada Seungyoun.

“Gimana tadi sekolahnya Seungwoo?” tanya sang ibu kepadanya.

Seungwoo tersenyum cerah, dengan antusias ia pun turut menceritakan hari pertamanya di sekolah.

Tak terasa waktu berlalu, Seungwoo dan Seungyoun semakin dekat bahkan keduanya tak dapat terpisahkan satu sama lain. Para guru sudah terbiasa dengan tingkah mereka yang harus selalu bersama satu sama lain.

“Jadi hari ini kita menggambar ya anak-anak, kalian bebas mau gambar apa saja.”

Seungyoun dan Seungwoo bersama anak lainnya sudah sibuk dengan kertas dan krayon masing-masing, Seungwoo terlihat serius menggambar membuat Seungyoun penasaran.

“Seungwoo bikin apa?” Tanya Seungyoun.

Seungwoo tersenyum menunjukan gambarnya, ada dua anak kecil satu berwarna biru satunya berwarna oranye dengan seekor anjing ditengah mereka.

“Ini Seungwoo, Seungyoun sama Coco!”

Seungyoun bertepuk tangan senang dan menunjukan gambarnya juga, “Seungyoun juga! Nih ada Coco sama Kak Sunhwa!”

“Kok ada Kak Sunhwa?” Seungwoo merengut.

“Kan Kak Sunhwa kemarin beliin kita es krim hehehehe.”

Seungwoo mengangguk mengerti, “kalian pacaran, ya?” Tanya salah satu anak secara tiba-tiba yang duduk di hadapan mereka, membuat Seungwoo menoleh.

“Pacaran itu apa?” Tanya Seungwoo.

“Pacaran itu ada dua orang selalu kemana-mana bareng! Masa enggak tau sih?”

“Ih apa sih?! Kita tu teman!” Sahut Seungyoun dengan wajah merona.

“Bu guru Seungwoo sama Seungyoun pacaran!” Teriak anak tersebut membuat seisi kelas berteriak heboh.

“Jinhyuk! Siapa yang ajarin kamu ngomong gitu, hm? Kalian semua di sini teman ya anak-anak!” Seungwoo dan Seungyoun hanya terdiam, Seungyoun menunduk karena malu sedangkan Seungwoo tampak berpikir maksud omongan Jinhyuk kecil.

Saat jam istirahat Seungwoo dan Seungyoun duduk di salah satu kursi sambil memakan permen jelly yang dibekalkan mama Seungyoun untuk mereka berdua. “Seungwoo aku pengen main ayunan, aku belum pernah main ayunan.”

“Ayo main.”

“Tapi masih ramai, sebentar lagi mau masuk.”

Seungwoo pun menggenggam tangan Seungyoun membawanya mendekat ke ayunan, “gantian dong! Kalian dari kemarin yang main mulu, kasian lainnya ga kebagian,” ucap Seungwoo kepada anak-anak yang asik bermain ayunan.

Anak-anak yang berada di ayunan tak memperdulikan mereka, “gantian dong!” Teriak Seungwoo.

“Seungwoo udah gapapa,” ucap Seungyoun sambil menarik Seungwoo menjauh.

Anak di atas ayunan itu berhenti, badannya cukup besar untuk seukuran anak TK, ia pun turun dari ayunan dan mendorong Seungwoo, “gangguin kita main aja!” Teriak anak itu.

Seungwoo mendorongnya balik hingga anak itu terjatuh, “giliran dong mainnya! Ayunan ini buat sama-sama bukan kamu doang!” Anak yang didorong Seungwoo langsung menangis setelah diteriaki oleh Seungwoo, teman-temannya yang lain langsung menatap Seungwoo sinis dan salah satunya melapor kepada ibu guru.

“Ada apa ini kok pada berantem?” Tanya salah satu guru.

“Seungwoo dorong saya, Bu!” Adu anak yang jatuh tadi.

“Dia nggak mau gantian, Seungwoo minta gantian Bu Guru tapi malah dorong Seungwoo.”

Ibu guru hanya menggelengkan kepalanya dan mengurusi kedua anak tersebut, Seungyoun sedari tadi hanya diam menatap Seungwoo sedih.

“Semuanya gara-gara Seungyoun, Bu,” tiba-tiba Seungyoun bersuara.

“Kenapa begitu Seungyoun?” Tanya bu guru lembut.

“Soalnya Seungyoun bilang mau main ayunan terus Seungwoo suruh gantian,” jawabnya sambil menunduk.

Bu guru mengelus kepala Seungyoun sambil tersenyum, “gapapa Seungyoun, ‘kan, sudah seharusnya main itu gantian. Seungyoun jangan salahin diri Seungyoun, ya?”

Seungyoun pun mengangguk dan menatap Seungwoo yang tersenyum padanya, “Seungyoun ada apa-apa bilang sama Seungwoo, ya?” Ucap Seungwoo.

“Eung! Pasti!”


Loncat ke sekolah dasar, bagaikan takdir, Seungyoun dan Seungwoo pun bertemu kembali. Kilas balik saat kelulusan TK beberapa bulan yang lalu keduanya menangis tak mau berpisah bahkan sang ibu harus membujuk keduanya jika nanti akan sering bermain ke rumah masing-masing.

Tapi setelah tahu keduanya masuk ke SD yang sama dan kebetulan satu kelas, tentu saja mereka senang bukan main. Sekarang mereka sudah menginjak kelas 4 SD dan masih seperti saat TK Seungwoo selalu bersama Seungyoun di mana pun Seungyoun berada, keduanya duduk sebangku sudah seperti anak kembar selama bersekolah. Tak jarang keduanya selalu mendapat cibiran dari anak lain.

Dih sok banget ga sih Seungyoun sama Seungwoo kemana-mana berdua mulu.”

Iya ih kaya paling akrab banget lagi, sombong ga mau main sama siapa-siapa, apalagi Seungyoun keliatan banget nggak sih cuma manfaatin Seungwoo?

Iya ih! Aku juga mikir gini!

Bisikan seperti ini sering kali di dengar oleh Seungwoo, tetapi ia diam saja dan menganggapnya angin lalu karena tidak mau membebani Seungyoun.

“Seungwoo! Kantin, yuk?” Ajak Seungyoun dari depan pintu kelas, dirinya baru saja selesai dari ruang guru.

Seungwoo pun beranjak dari kursinya, mata tajamnya saling melirik satu sama lain dengan anak-anak yang tadi membicarakan keduanya.

Nah kan liat deh mana mau peduli sama kita.”

Seungwoo mendengus kesal membuat Seungyoun heran apa yang terjadi dengan sahabatnya, “kenapa?” Tanya Seungyoun.

“Gapapa, mules aja.”

“Kan pasti laper! Ayo makanya cepet ke kantin!” Seungyoun langsung menarik Seungwoo menuju kantin, sedangkan dirinya hanya tertawa geli dengan tingkah Seungyoun.

“Youn, selain sama aku emang kamu enggak ada teman lagi?” tanya Seungwoo tiba-tiba.

“Ada lah! Emang hidup aku seputar kamu, doang?” Seungyoun tertawa memakan pop mie yang ia pesan, “emang kenapa?” tanya Seungyoun penasaran.

“Gapapa, aku ngerasa dari kita TK sampai SD gini sama-sama mulu, enggak bosen?” tanya Seungwoo lagi.

“Kalau bosen yaudah main sama yang lain? Toh, kita juga mau gimana udah nggak bisa kepisah, cepet makan pop mienya ih! Keburu dingin ntar juga udah mau masuk.”

Seungwoo tampak berpikir dan memakan pop mie yang sudah mereka pesan, dirinya pun jadi berpikir orang-orang hanya iri saja dengan kedekatan mereka berdua. Selama ini pun Seungwoo dan Seungyoun walau sering bersama keduanya juga punya kesibukan masing-masing dan memiliki teman dari kelas lain.

Sepulang sekolah Seungwoo menyuruh Seungyoun untuk menunggu dirinya terlebih dahulu di depan gerbang sekolah, sedangkan dirinya sengaja memilih keluar terkahir hanya untuk menunggu orang-orang yang tadi membicarakan dirinya sudah satu minggu terakhir ini, “kalian semua,” tegur dia pada tiga perempuan yang tadi membicarakan dirinya.

Eh ada apa, nih?” tanya salah satu dari mereka.

“Nggak usah pura-pura bego, aku cuma mau bilang lain kali kalau ngomongin orang pinter dikit. Suara kalian bahkan bisa lebih gede dari toa. Nggak suka sama aku atau Seungyoun ngomong langsung, kita open kok buat kritik dan saran. Oh- satu lagi, kalau memang mau berteman tinggal bilang aja jangan asal nuduh kalau kita sombong.”

Setelah itu Seungwoo langsung pergi meninggalkan kelas dan juga tiga perempuan yang langsung terdiam ditegur oleh Seungwoo, jujur saja suara datar Seungwoo membuat ketiganya takut.

Gila tu anak serem juga.”

Semenjak saat itu tak ada yang berani mengganggu Seungwoo maupun Seungyoun, keduanya tetap bersama seperti biasa, terkadang keduanya bermain bersama teman mereka dari kelas lain.

Tak ada yang begitu spesial saat SD hingga akhirnya mereka lulus dan akan masuk ke bangku SMP. Seungyoun dan Seungwoo sedang memakan es krim di depan toserba persimpangan jalan antara rumah Seungwoo dan rumah Seungyoun.

“Mau masuk SMP mana kamu?” Tanya Seungwoo kepada Seungyoun.

“SMP 02, kamu?”

Seungwoo melebarkan matanya, “kamu enggak jadi SMP 01?” Tanyanya.

“Engga, aku mau SMP 02 di sana ada kelas seninya. Kamu jadinya tetap SMP 01? Kan kamu ngejar kelas basketnya.”

Seungwoo terdiam, tiba-tiba seleranya pada es krim yang berada ditangannya menghilang.

“Woo? Seungwoo!” Panggil Seungyoun kepada Seungwoo.

“Hah kenapa?”

“Kamu yang kenapa, kok diem? Mikirin apa?” Tanya Seungyoun.

“Gapapa, kamu udah daftar? Kapan pengumumannya?”

“Minggu depan, kamu bukannya udah daftar?”

Seungwoo hanya mengangguk dan menghabiskan es krimnya, sebenarnya ia belum mendaftarkan diri dengan alasan menunggu Seungyoun. Ia kira Seungyoun akan tetap ikut dengan dirinya tetapi mereka harus terpisah.

Sepulangnya dari makan es krim Seungwoo langsung mengatakan kepada ibunya jika akan mendaftarkan dirinya ke SMP 01. Bagaimana pun Seungwoo sudah lama ingin mengejar kelas basket di sekolah tersebut, sudah lama ia bercita-cita ingin menjadi pemain basket sejak kecil.


Semester baru pun dimulai, Seungyoun sudah bersiap dengan seragam SMP nya. Hari pertama menjadi siswa SMP membuatnya begitu antusias, namun juga gugup karena untuk pertama kalinya ia harus berpisah dengan Seungwoo. Seungyoun berjalan menuju halte bus, ternyata di sana sudah ada Seungwoo yang menunggu dirinya, kebetulan sekolah mereka satu wilayah dan hanya berbeda arah saja seperti rumah keduanya.

“Seungwoo!” Teriak Seungyoun sambil melambaikan tangannya dan berlari menghampiri sahabat kecilnya.

Seungwoo termenung melihat Seungyoun yang terlihat lebih manis dengan seragam SMP-nya dan rambut hitam yang menutupi dahinya, sedangkan Seungwoo sendiri menata rambutnya ke atas menampakan jidatnya.

“Wah Seungwoo ganteng banget! Cieee masuk SMP rambut baru,” Seungyoun menaik turunkan alisnya menggoda Seungwoo.

Seungwoo tersenyum kecil mengacak poni Seungyoun, “berani banget rambut panjang begini masih anak baru, enggak takut di marahin guru?”

“Masih wajar kok ini, tenang aja hehehe.”

“Gugup nggak sekolah pertama tanpa aku, bisa enggak ntar dapet temen?”

“Bisa dong! Emang kamu pas dulu TK ngumpet di kaki oom?”

“Eh mulutnya!” Seungwoo melebarkan matanya pada Seungyoun, sedangkan yang dipelototi hanya terkekeh geli.

Tak lama bis pun datang, Seungwoo langsung merangkul Seungyoun masuk ke dalam bis. Keduanya memilih duduk di bagian depan dekat dengan pintu dan mudah keluar sebelum bis penuh berdesakan dengan penumpang lainnya.

“Kamu di sana hati-hati ya bergaulnya jangan sampai salah milih teman,” Seungwoo memberitahu.

“Iya pasti, kamu juga ya Seungwoo. Jangan lupain aku! Jangan lupain kesehatan kamu juga, mentang-mentang ntar asik main basket.”

Seungwoo tersenyum mengganguk mendengar ucapan Seungyoun, “aneh ga sih rasanya kita pisah sekolah gini?” Tanya Seungwoo.

“Mungkin belum? Buktinya kita masih bisa ketemu, ‘kan, nggak tau gimana entar hehehehe.”

Seungyoun selalu berusaha berpikir positif walaupun jujur di dalam hatinya ia merasa sedih harus berpisah dengan Seungwoo. Akan tetapi yang namanya sahabat tetap akan bisa bertemu walau berpisah sekolah bukan?

Akhirnya sampai juga di halte bis wilayah sekolah mereka, Seungwoo dan Seungyoun berjalan bersama tak peduli dengan anak sekolah lainnya yang menatap mereka karena seragam mereka yang berbeda tetapi keduanya terlihat akrab. Usut demi usut, sekolah keduanya termasuk rival dalam hal seni dan olahraga. Tidak ada yang berani menampakan diri jika kedua sekolah ini berteman akrab, maka tak heran Seungwoo dan Seungyoun ditatap orang-orang.

“Kita pisah di sini ya,” Seungwoo berhenti di pertigaan jalan, ia menatap Seungyoun yang juga menatap dirinya.

“Seungwoo, semangat ya. Semoga lancar hari pertamanya!”

“Kamu juga, jaga diri ya engga ada aku di sana. Kamu harus bisa ilangin rasa ngalah kamu, ingat egois sesekali gapapa. Di sana engga ada aku yang bakal belain dan ngalah buat kamu.”

Seungyoun mengangguk, ia menggenggam tangan Seungwoo dan menepuk pundak sahabatnya.

“Aku pergi dulu ya, bye Seungwoo!”

“Hmm, Seungyoun fighting!”

“Seungwoo fighting!”

Seungyoun berjalan ke arah kanan, sedangkan Seungwoo ke arah kiri. Seungyoun berusaha menengkan dirinya, ia sangat gugup harus menghadapi segalanya sendiri tanpa Seungwoo mulai dari sekarang. Jujur ia takut tidak mendapatkan teman yang cocok, karena dirinya sudah terbiasa bersama Seungwoo.

Sesampainya di sekolah, Seungyoun terlihat bingung harus ke mana terlebih dahulu. “Permisi, anak baru juga ya?” Tanya anak laki-laki yang terlihat lebih mungil Seungyoun dengan wajahnya yang manis seperti seekor kucing, dan perawakannya yang supel.

Ia datang bersama laki-laki lebih tinggi dari dirinya dengan lesung pipi yang dalam, memberikan kesan manis.

“A-ah iya, iya anak baru. Kamu juga?” Tanya Seungyoun mencairkan suasana.

“Iya, kenalin aku Wooseok. Bener kan Chan kita dapat temen baru!” Anak laki-laki itu menaikan dagunya sombong pada anak laki-laki yang merangkul dirinya.

“Dih itu mah elu aja ga tau malu! Emang dia mau temenan sama lu, hah? Eh by the way aku Byungchan hehehe. Kamu siapa?” Laki-laki tinggi itu memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepada Seungyoun.

Seungyoun terkekeh cukup terhibur dengan dua orang di depannya, “aku Seungyoun. Salam kenal ya Wooseok, Byungchan. Kalian saudara?” Tanya Seungyoun penasaran.

Wooseok dan Byungchan saling berpandangan dan tertawa keras, “enggak lah dih saudaraan sama anak macan!” Byungchan mendorong Wooseok menjauh membuat Seungyoun shock.

“Duh Byungchan kebiasaan! Maaf ya Seungyoun anaknya emang suka gitu, kita bukan saudara dih malesin banget. Kita emang sahabatan gitu, udah dari embrio bareng,” Wooseok memberikan penjelasan.

Seungyoun mengangguk paham, “mau temenan sama kita nggak, Seungyoun? Kita bosen nih berdua mulu jadinya buka lowongan temen baru. Wooseok bilang orang yang kebingungan di lapangan sekolah tegur aja pasti jadi teman,” Byungchan berbicara panjang lebar membuat Seungyoun tertawa.

“Mau lah! Ayo kita cek kelas bareng, pada belum tau kelasnya, ‘kan?”

Byungchan pun langsung merangkul Seungyoun dan Wooseok untuk masuk ke sekolah, menuju mading dan mencari kelas mereka. Tuhan sepertinya sudah menyusun rencana baik untuk Seungyoun, kebetulan ketiganya sekelas sehingga membuat mereka mudah membuka jalan pertemanan lebih akrab lagi.

Sedangkan di tempat lain Seungwoo sudah duduk dengan rapi sendirian di dalam kelasnya, banyak wajah yang cukup ia kenal temannya di bangku SD maupun TK yang masih ia ingat.

“Seungwoo? Lu Seungwoo yang pacarnya Seungyoun, ‘kan?” Tiba-tiba datang seorang anak laki-laki duduk di hadapannya.

Seungwoo mengernyit melihat anak didepannya, “lu si- bentar Jinhyuk!?” Seungwoo terkejut melihat teman masa TK nya ternyata sekelas dengan dirinya.

“Hahaha masih inget lu sama gua! Eh masih lu sama Seungyoun?” Tanya Jinhyuk.

“Masih apaan, weh? Temenan aja kita mah mana ada apa-apa!”

“Yeu! Lu berdua dari dulu nempel mulu, gua denger juga pas SD kalian masih lengket, ‘kan? Langgeng amat tu sahabatan.”

“Iya lah, Seungyoun udah kayak sodara gua sendiri.”

Jinhyuk menyeringai penuh arti pada Seungwoo, “beneran sodara? Yakin lu?”

“Iya lah, emang kenapa?”

“Engga hahahaha. Kok bisa sih lu masuk sini, masih tetap mau jadi pemain basket?”

“Jelas lah, apalagi coba? Lu juga masih ngejar basket, ‘kan?”

“Masih dong! Ayo berjuang demi masuk bakset,” Jinhyuk dan Seungwoo pun melakukan tos ala-ala anak lelaki.


Hari pertama sekolah berjalan seperti biasa, Seungwoo pulang bersama Jinhyuk menuju halte bus begitu juga dengan Seungyoun yang berada ditengah perdebatan Wooseok dan Byungchan yang tak ada hentinya.

“Ya lu aja tadi ngapain sok ide negur senior!” Teriak Byungchan pada Wooseok.

“Jadi adik kelas tu kudu baik!” Wooseok membela dirinya.

“Caper lu!”

Saat keduanya sedang berdebat Seungyoun melihat Seungwoo disebrang jalan, “SEUNGWOO!” teriak Seungyoun melambikan tangannya pada Seungwoo.

Wooseok dan Byungchan pun terdiam, keduanya saling berpandangan saat melihat Seungyoun berlari dan langsung memeluk lengan seorang laki-laki yang tadi di panggil 'Seungwoo' oleh dirinya.

“Siapa tuh?” Tanya Wooseok kepada Byungchan.

“Abangnya kali?” jawab Byungchan asal.

“Kan Seungyoun bilang dia anak tunggal.”

“Pacar lah udah!”

Wooseok dengan kesal menoyor kepala Byungchan, “sumpah nggak guna!” Teriak Wooseok pada Byungchan.

“Byungchan! Wooseok! Sini kenalin temen aku!” Seungyoun melambaikan tangannya pada kedua sahabat itu agar menghampiri dirinya.

“Siapa tuh?” Tanya Seungwoo pada Seungyoun.

“Teman baru aku, Byungchan sama Wooseok namanya. Ini si- eh? Jinhyuk, ya?” Seungyoun sedikit mendongak melihat Jinhyuk berdiri di samping Seungwoo.

“Hoo sekolah sebelah lu, Youn? Katanya enggak ada apa-apa masih lengket aja nih kalian?” Jinhyuk menaik turunkan alisnya pada Seungyoun, membuat pipi Seungyoun sedikit memerah.

“Halo warga sebelah!” Sapa Wooseok kepada Seungwoo dan Jinhyuk.

“Hai teman Seungyoun!” Byungchan pun ikut-ikutan.

Jinhyuk dan Seungwoo mendengus geli melihat keduanya, “kalian pacaran?” Tanya Jinhyuk asal bicara.

Keuda sahabat itu menunjukan wajah tak suka mendengar pertanyaan Jinhyuk, “dih ogah!” sinis Byungchan.

“Gue juga ogah!” sambung Wooseok memutar bola matanya

Hal itu membuat Jinhyuk menjadi heran, “Gua salah ngomong?” tanya Jinhyuk masih tak paham dengan situasi yang telah ia buat.

“Mereka sahabatan dari zaman embrio!” Jawab Seungyoun.

Wooseok dan Byungchan langsung menatap Seungyoun dengan wajah terharu, “Woah- nggak salah pilih teman nih!” Teriak Byungchan. Seungwoo tersenyum lega melihat Seungyoun sudah akrab dengan teman barunya, ia melihat Wooseok dan Byungchan juga anak yang baik dan layak untuk dijadikan teman.

“Eh, ayok ke halte keburu telat nih kita!” Jinhyuk mengajak mereka semua.

Mereka semua pun berjalan cepat menuju halte bus, tetap dengan Byungchan dan Wooseok yang saling berangkulan dan berdebat hal tidak penting. Seungyoun berjalan di tengah Seungwoo dan Jinhyuk, Seungwoo dan Seungyoun asik mengobrol satu sama lain, sedangkan Jinhyuk tanpa sadar terus memperhatikan Seungyoun, ia pun ikut tersenyum saat Seungyoun tertawa.

“Jinhyuk, apa kabar? Kok bisa sih satu SMP sama Seungwoo?” tanya Seungyoun tiba-tiba.

“O-oh? Oh bisa dong! Cita-cita kita kan sama-sama mau jadi pemain basket,” jawab Jinhyuk sedikit terkejut.

Seungwoo menatap heran ke arah Jinhyuk, dapat ia lihat ada rona samar di pipi Jinhyuk dan temannya ini sedikit gugup saat ditanya oleh Seungyoun.

“Bisnya udah datang!” Teriak Byungchan yang sudah sampai di halte terlebih dahulu.

“Kamu pinter ya cari temen,” ucap Seungwoo kepada Seungyoun membuat Seungyoun hanya tertawa dan berlari menyusul dua teman barunya, disusul oleh Seungwoo dan Jinhyuk takut bis penuh dan mereka tidak kebagian tempat.

Jinhyuk bersama Byungchan dan Wooseok turun terlebih dahulu, ternyata rumah ketiganya di daerah yang sama. Sedangkan Seungwoo dan Seungyoun masih harus berjalan lagi untuk berhenti di halte berikutnya, “gimana hari pertamanya?” Tanya Seungwoo kepada Seungyoun.

Seungyoun menceritakan semuanya yang terjadi, begitu pula dengan Seungwoo. Keduanya masih sama seperti biasa, tertawa bersama berbagi cerita satu sama lain. “Aku senang, lega juga kamu bisa dapat teman baik kayak mereka. Intinya tetap jaga diri ya,” Seungwoo mengelus kepala Seungyoun.

Seungyoun mengangguk dan menyandarkan kepalanya pada pundak Seungwoo karena masih membutuhkan waktu 20 menit lagi untuk sampai di halte bus. Tanpa sadar Seungyoun ketiduran mungkin karena terlalu lelah, Seungwoo tak tega melihat wajah tenang Seungyoun yang tertidur di pundaknya, tapi mau tak mau ia harus membangunkan sahabatnya ini saat sudah sampai di tempat tujuan mereka.

“Youn ... bangun, udah sampai nih,” Seungwoo mengelus pipi Seungyoun. Untung saja Seungyoun termasuk yang mudah dibangunkan, sehingga ia langsung terbangun dengan wajah linglungnya.

“Huh? Sampai?” Tanya Seungyoun dan Seungwoo mengangguk.

Seungwoo pun mengandeng Seungyoun turun dari bis, wajah Seungyoun masih terlihat mengantuk tapi ia harus pulang sebelum mamanya mencari.

“Aku pulang dulu ya, dadah Seungwoo! Besok ketemu lagi,” Seungyoun berjalan sedikit sempoyongan dan hampir saja menabrak rambu tanda halte bus, jika tidak Seungwoo menahan badannya.

“Hati-hati Seungyoun! Aku antar aja, ya?”

“Engga usah hehehehe ntar kamu bolak balik udah sana!”

Seungwoo pun membiarkan Seungyoun berjalan hingga sahabat kecilnya menghilang dibalik tembok persimpangan jalan.


Walaupun masih menjadi anak baru akan tetapi Seungwoo dan Jinhyuk sudah terpilih menjadi pemain basket inti menggantikan senior mereka yang akan mengikuti ujian. Semenjak itu Seungwoo selalu pulang sore dua kali dalam seminggu membuat Seungyoun terkadang pulang sendirian.

Seperti pagi ini Seungyoun dan Seungwoo sedang menunggu di halte bus, dapat Seungyoun liat Seungwoo sedang membawa tas olahraga berisi bola basket, baju olahraga, beserta baju cadangan dan sepatu.

“Basket lagi?” Tanya Seungyoun.

“Iya, pulang sendiri lagi gapapa, ‘kan?” Tanya Seungwoo.

“Biasanya juga pulang sendiri kok selama kamu basket. Tapi hari ini Wooseok sama Byungchan ikut pulang kita mau kerja kelompok.”

Seungwoo mengangguk, tiba-tiba ia mengeluarkan satu kotak susu dan memberikannya kepada Seungyoun, “aku bawain ini nih.”

Seungyoun tersenyum dan mengambil kotak susu tersebut, “makasih! Tumben bawain?”

“Dari Kak Sunhwa itu, baru aja pulang dari Korea.”

“Oh gitu, bilangin ke kakak makasih. Bisnya datang!”

Seungyoun menarik Seungwoo memasuki bis, saat di halte selanjutnya mereka bertemu dengan Jinhyuk, Wooseok dan Byungchan seperti biasa. “Berduaan terus!” Ucap Jinhyuk dan duduk di samping Seungwoo sedangkan Byungchan sudah mengambil tempat disamping Seungyoun membiarkan Wooseok berdiri.

“Ih mau duduk!” Rengek Wooseok.

“Tuh, dipangku Jinhyuk sana!” Ucap Byungchan.

Wooseok menatap Jinhyuk dan tersenyum malu, sedangkan Jinhyuk menatapnya bingung. “Ngada-ngada lu! Berdiri engga lu!?” Wooseok menarik Byungchan agar berdiri.

Keduanya terus berdebat seperti biasa, membuat Seungyoun hanya tertawa sedangkan Seungwoo dan Jinhyuk asik mengobrol masalah basket.

“Eh Seungwoo! Ngebasket lagi? Tau ga sih Seungyoun sedih tau setiap dia pulang sendirian!” Ujar Byungchan tiba-tiba.

“Hahahaha masa sih? Seungyoun bilang katanya udah biasa tuh,” Jawab Seungwoo.

“Halah nggak peka lu Woo! Seungyoun butuh elu tau!” Tambah Wooseok memanasi.

“BISA DIEM NGGAK!?” Seungyoun mencubit tangan Byungchan dan Wooseok kesal.

“Seungwoo liat deh Seungyoun nakal cubit-cubit!” Byungchan menunjuk tangannya yang memerah.

Seungwoo tertawa saja melihat tingkah kedua sahabat ini, “Seungyoun mandiri jangan ngada-ngada deh lu berdua!” ujar Seungwoo.

“Dih lu masa sahabat biarin sendirian? Yaudah Seungyoun sama gua aja,” Jinhyuk menimpali.

“WEH WEH GASKAN HYUK!” Teriak Wooseok dan Byungchan.

Seungwoo terdiam, Jinhyuk dan Seungyoun saling tersenyum satu sama lain. “Santai dong Woo jangan cemburu, langsung asem tu muka!” Wooseok mencolek pundak Seungwoo saat sadar temannya terdiam.

Seungyoun dan Jinhyuk langsung memandang wajah Seungwoo, seketika Seungwoo terlihat gugup, “e-enggak? Apaan dih woi! Sama Jinhyuk mah sama Jinhyuk aja sana, mau lu Seungyoun?” Seungwoo bertanya pada Seungyoun.

“Lah? Pulang bareng doang, ‘kan? Kuy Hyuk!” Seungyoun malah meneruskan candaan Jinhyuk.

Seketika suasana pun heboh sedangkan Seungwoo cukup terkejut dengan ucapan Seungyoun, entah mengapa tiba-tiba hatinya merasa ganjal dan sakit. Akan tetapi, kenapa?

“Oke Youn kalau Seungwoo nggak mau nganter lu lagi, lu sama gua aja ya!” Jinhyuk menaik turunkan alisnya.

Seungyoun menjawab dengan acungan jempol kepada Jinhyuk, Byungchan dan Wooseok melirik satu sama lain merasa ide jahil mereka berhasil. Sebenarnya ini adalah rencana Byungchan dan Wooseok karena mereka merasa jika Seungwoo itu menyukai Seungyoun akan tetapi Seungwoo masih saja menyangkal dan berlindung di balik kata ‘sahabat’.

Mereka pun akhirnya berpisah di persimpangan sekokah, Jinhyuk merasa jika Seungwoo banyak diam setelah bercandaan tadi. “Santai aja Woo jangan overthinking gitu, kagak gua rebut kok Seungyoun elu!” Jinhyuk merangkul Seungwoo membuat Seungwoo berdecak.

“Kaga elah, Seungyoun bukan punya gua juga ngapain sih pakai segala 'Seungyoun elu, Seungyoun elu'.”

“Lu beneran ga ada rasa apa sama Seungyoun?”

“Rasa apaan? Suka? Ya suka lah Seungyoun sahabat kecil gua.”

“Ck! Bullshit! Ga ada tuh yang namanya sahabatan nempel mulu! Pasti ada lah saatnya pisah atau apa gitu.”

“Tuh Byungchan sama Wooseok!”

“Yaelah, emang Byunchan sama Wooseok kayak elu sama Seungyoun?” Jinhyuk menatap Seungwoo tetapi temannya hanya menaikan alis bingung.

“Ah udah lah! Beneran nggak suka sama Seungyoun?”

“Kagak! Sana dah lu kalau emang mau dekatin, terpesona kan lu sama Seungyoun terakhir liat pas TK doang.”

“Hahahahaha tau aja lu! Beneran ye? Kagak nyesal, ‘kan?”

“Iye, kagak! Dah sana gih lu deketin tuh, Seungyoun.”

“Oke sip! Udah dapat setuju dari pawangnya gua sih gas aja.” Jinhyuk terlihat senang, sedangkan Seungwoo merasa jika ada yang aneh dengan dirinya. Apakah benar jika ia tidak apa-apa?

Sedangkan Seungyoun bersama dengan Byungchan dan Wooseok ketiganya berjalan dalam diam dengan Wooseok yang menggandeng kedua sahabat tingginya ini.

“Jadi Seungyoun mau Seungwoo apa Jinhyuk?” Tanya Wooseok tiba-tiba.

“Hah apaan sih?” Seungyoun heran.

“Lu beneran ga ada rasa apa-apa sama Seungwoo?” Tanya Byungchan.

“Astaga Seungwoo sama gue udah sahabat dari TK! Gue udah anggap dia saudara gue, gimana gue mau ada rasa?”

Byungchan dan Wooseok saling berpandangan penuh arti, “beneran? Gua ga yakin sih cara sahabatan lu sama Seungwoo aja beda gitu, yakin cuma anggap saudara, nggak ada rasa suka?” Wooseok memastikan.

“Lah elu sama Byungchan?”

“Dih kita mah jangan lu contoh! Gue ga akan juga suka sama Wooseok bukan tipe gue!” Jawab Byungchan.

“Biasa aja dong, gua juga nggak demen sama lu!” Wooseok sengaja menarik rambut Byungchan membuat sahabatnya teriak kesakitan.

“Astaga udahan dong!” Seungyoun melerai keduanya.

“Jadi, kalau Jinhyuk beneran deketin lu gapapa tuh?” Wooseok bertanya lagi.

“Canda doang kali!”

“Kalau beneran?”

“Yaudah, sih? Temen doang, toh hidup gue ga seputar Seungwoo.”

Wooseok dan Byungchan terperangah menatap satu sama lain, keduanya memilih diam saja. Sebenarnya Wooseok merasa khawatir, jika benar rencana keduanya yang berawal dari candaan menjadi kenyataan, apa yang harus ia lakukan?

“Jadi, ‘kan, nanti siang kerja kelompoknya?” Tanya Seungyoun dan kedua temannya hanya mengangguk saja sebagai jawaban.


Bel tanda pulang berbunyi, Jinhyuk bergegas membereskan barangnya, “buru-buru amat mau kemana lu?” Tanya Seungwoo pada Jinhyuk

“Nyusul Seungyoun hehehe kan minggu lalu lu bolehin gua buat deket sama dia, ‘kan? Hari ini gua mau buktiin dah, ya!” Jinhyuk pun keluar terlebih dahulu setelah guru mereka keluar.

Seungwoo terdiam di kursinya, suasana hatinya langsung berubah, kepalanya pun terasa sedikit pusing, “laper doang kali ya?” Batin Seungwoo.

Jinhyuk sudah menunggu di persimpangan, beberapa siswa dari SMP 02 mulai keluar membuat Jinhyuk semakin tidak sabar. Tak lama ia melihat Seungyoun berjalan sendirian keluar dari sekolah, “Seungyoun!” Teriak Jinhyuk melambaikan tangannya.

Seungyoun mengernyit melihat Jinhyuk, ia pun berjalan lebih cepat menghampiri teman kecilnya, “kenapa, Hyuk? Seungwoo mana?” Tanya Seungyoun.

“Tadi gua duluan keluar hehehe Seungwoo masih ada urusan,” jawab Jinhyuk.

“Ah gitu, kita tunggu Seungwoo dulu, yuk?”

“Wooseok sama Byungchan mana?” Tanya Jinhyuk.

“Mereka piket jadi gue pulang duluan.”

“Sibuk nggak? Jajan yuk, gua lagi pengen makan ramen nih.”

Seungyoun tampak berpikir sejenak, kemudian ia pun menganggukan kepalanya menyetujui ajakan Jinhyuk, “gua bilang ke Seungwoo dulu deh pulang duluan.”

“Harus banget, ya?” Tanya Jinhyuk.

“Hmmm enggak juga, sih? Cuma takut dia nyari aja.”

“Kagak, lah! Kuy, ‘kan, udah gede juga pasti paham pulang duluan,” Jinhyuk pun merangkul Seungyoun berjalan ke kedai ramen yang tak begitu jauh dari sekolah.

Selang berapa menit, Seungwoo pun berjalan pulang sendiri. Tak sengaja dirinya bertemu dengan Byungchan dan Wooseok yang saling kejar-kejaran, “WOOSEOK SINI GA LU HEH! ANJIR! SEPATU GUA!”

“HAHAHA MAKANYA SIAPA SURUH JAHIL DULUAN!”

Seungwoo mengernyit melihat kedua sahabat itu, “WOI!” Teriak Seungwoo pada keduanya.

Byungchan dan Wooseok pun berhenti berlari, bahkan Byungchan yang terkejut malah menabrak badan Wooseok hingga sedikit terjungkal. “SEUNGWOO! SEUNGYOUN MANA?” tanya Byungchan berteriak di seberang jalan.

“Lah? Emang ga pulang bareng?” Heran Seungwoo.

“Kita pulang telat habis piket! Sendirian lu?” Tanya Wooseok.

“Iya, kayaknya Seungyoun sama Jinhyuk sih ...?” Seungwoo terdengar tidak yakin, sedangkan Byungchan dan Wooseok langsung melebarkan mata mereka dan berlari kecil menghampiri Seungwoo, namun sebelumnya Byungchan merebut pasangan sepatunya yang dibawa kabur oleh Wooseok untuk ia pakai.

Mereka berdua langsung merangkul Seungwoo walau Wooseok sedikit kesusahan karena perbedaan tingginya yang cukup jauh untuk menggapai Seungwoo, “jangan sedih, ada kita disini. Lu gapapa kan?” Tanya Byungchan.

“Gapapa lah? Emang kenapa?”

“Ya mana tau galau, kita tau kok lu suka sama Seungyoun,” jawab Wooseok.

“Hahaha apa sih ngawur! Seungyoun udah gua anggap saudara doang, ga ada suka-sukaan. Mending kejar bis noh baru datang!” Seungwoo melepaskan rangkulan kedua sahabat itu dan berlari meninggalkan mereka.

“SEUNGWOO CURANG!” teriak keduanya serentak.

Seungyoun pun pulang saat hari sedikit mulai sore, dirinya baru saja turun dari bis dan terkejut melihat Seungwoo duduk di halte bus sendirian sambil mendengar lagu dengan earphone-nya. “Seungwoo!” Seungyoun menarik sebelah earphone Seungwoo agar terlepas, Seungwoo terperanjat dan menoleh pada Seungyoun.

“Eh baru pulang?” Tanya Seungwoo.

“Ngapain di sini? Kok enggak pulang?”

“Nungguin elu,” jawabnya singkat.

“Ngapain coba ih! Repotin lu tau, nggak? Sana pulang, ntar ayah lu nyari!”

“Tadi pergi ke mana?” Tanya Seungwoo tiba-tiba.

“Makan ramen sama Jinhyuk, tadi katanya lu ada urusan dulu. Apa tuh?”

Seungwoo mengerjapkan matanya, ia tersenyum tipis dan mengangguk, “iya ada ngomong sama pelatih dikit soal basket.”

Seungyoun membentuk O pada bibirnya, “gue mau pulang nih, lu pulang juga dong!”

“Iya duluan sana, gua liatin lu sampai belok simpang.”

Seungyoun pun melambaikan tangannya meninggalkan Seungwoo yang masih menatapnya walaupun Seungyoun sudah tidak terlihat lagi.

Udah sejauh ini ya?” batin Seungwoo.


Waktu terus berjalan, bahkan tanpa terasa mereka semua sudah berada di tingkat dua. Kedekatan Seungyoun dan Jinhyuk semakin intens, bahkan tak jarang keduanya pulang terlebih dahulu dari teman-temannya untuk pergi ke suatu tempat.

Awalnya Seungwoo biasa saja tidak mau diambil pusing, tapi lama kelamaan Seungwoo merasa Seungyoun mulai menjauh dari dirinya. Mereka masih menunggu bisa bersama di halte, mereka masih bisa menghabiskan waktu berdua tetapi saat Jinhyuk mulai datang saat itu lah Seungwoo merasa diabaikan.

Seungyoun juga sudah mulai sibuk dengan kegiatan kelas seninya bersama Byungchan dan Wooseok tentu saja, ketiganya tidak bisa terpisahkan. Hal ini lah membuat Seungwoo merasa jika dirinya sedikit jauh dengan Seungyoun, padahal itu hanya perasannya saja. Terkadang weekend pun Seungyoun bermain ke rumah Seungwoo untuk bertemu kakak Seungwoo dan bermain dengan Coco.

“Seungwoo fokus!” Teriak pelatih pada Seungwoo yang sedari tadi melakukan kesalahan dalam latihan.

“Bro lu kenapa? Fokus dong minggu depan tanding!” Jinhyuk menepuk pundak Seungwoo dan kembali pada posisinya.

“Seungwoo sekali lagi kalau kamu lakukan kesalahan akan saya gantikan ya!?”

“Maaf Coach!” Seungwoo pun kembali fokus pada latihannya, sudah beberapa bulan ini dirinya memang merasa seperti ada yang aneh melihat Seungyoun semakin dekat dengan Jinhyuk.

Akhirnya latihan pun selesai, Seungwoo sedang membereskan barangnya dikejutkan dengan Jinhyuk yang duduk di hadapannya. “Lu ada masalah apa sih? Udah seminggu ini oh engga bahkan jauh sebelum tanding lu kayak ada pikiran.”

“Gapapa kok, capek aja gua sama tugas, mana mau tanding.”

“Jangan bohong Woo, lu keberatan gua makin deket sama Seungyoun?” Tanya Jinhyuk telak langsung menusuk hati Seungwoo.

Seungwoo menatap Jinhyuk, matanya sirat akan kesal dan sedih tetapi ia langsung menunduk, “nggak lah ngapain keberatan? Toh elu sama Seungyoun enjoy aja deket, masa gua larang?”

“Kalau memang lu keberatan ya gua mundur.”

“Jangan!” Jinhyuk mengernyit, “jangan mundur, jangan tiba-tiba jauhin Seungyoun atau ninggalin dia. Gua senang liat lu berdua deket, especially Seungyoun yang keliatan senang semenjak dekat sama lu. Selama ini orang yang deket sama dia cuma gua dan lu datang buat dia itu udah bikin gua juga senang.”

“Jangan munafik Woo.”

“Gua enggak? Terusin aja deketin Seungyoun, tapi satu pesan gua jangan pernah bikin dia sakit, lu bakal berurusan serius sama gua.”

Jinhyuk tersenyum tipis dan menepuk pundak Seungwoo, “makasih udah percayain gua ya, sebisanya gua jaga dia layaknya lu jagain dia.”

Seungwoo mengangguk dan menatap kepergian Jinhyuk, “pilihan gua udah benar, ‘kan?” batin Seungwoo.

Seungyoun baru saja selesai menyelesaikan latihan tariannya, akan ada acara pensi untuk perpisahan senior mereka sehingga mereka sebagai anak seni mempersiapkan pertunjukan.

“Youn, lu sama Jinhyuk gimana? Kayanya makin dekat,” tanya Byungchan.

“Ya deket sih, teman deket gitu. Kenapa?”

“Lu engga lupain Seungwoo,’ kan?”

“Engg lah gila! Tapi gue gatau kenapa Seungwoo akhir-akhir ini agak menjauh, apa karena latihan?”

“Lu bikin salah kali!” Tiba-tiba Wooseok duduk dihadapan kedua temannya.

“Hah salah apa?”

“Mungkin lu keseringan sama Jinhyuk jadi Seungwoo cemburu?”

“IH WOOSEOK GUE SERIUS!” Seungyoun menendang Wooseok kesal.

“Ya kan kali aja!? Jangan tendang gua dong!”

“Tapi lu baik-baik aja kan sama Seungwoo?”

“Baik kok, cuma emang lagi sibuk aja kali ya?”

“Udah lah emang sibuk aja, pulang yuk! Udah sore nih,” ajak Wooseok menarik Seungyoun dan Byungchan yang masih terduduk dilantai ruang latihan.

Bagaikan takdir, mereka bertemu dipersimpangan sekolah. Sudah lama mereka tidak pulang bersamaan seperti ini karena kesibukan masing-masing. “Yo Jinhyuk ma bro!” Sapa Wooseok kepada Jinhyuk.

Jinhyuk tertawa mengacak rambut Wooseok membuatnya merona, “berantakan woi rambut gua!” Protes Wooseok menutupi rona dipipinya.

“Baru selesai latihan?” Tanya Jinhyuk kepada Seungyoun dan dijawab anggukan.

“Seungwoo! Lemes amat!?” Byungchan memanggil Seungwoo yang sedikit jauh di belakang Jinhyuk.

“Dia habis dimarahin sama pelatih, hari ini ga fokus latihan padahal seminggu lagi tanding,” Jinhyuk menjelaskan.

Seungyoun menatap sahabat kecilnya sendu, “gapapa?” Tanya Seungyoun pada Seungwoo dan hanya dibalas senyuman.

“Bis datang guys!” Wooseok memberitahu, seperti biasa mereka pun berlari mengejar bis.

Sepanjang perjalanan Seungwoo dan Seungyoun hanya diam, tidak ada yang memulai obrolan sedikit pun. Hanya ada suara ribut Byungchan, Wooseok dan Jinhyuk saja yang sedang berdebat warung nasi goreng mana yang paling enak.

“Udah sampe halte kita nih turun kuy!” Wooseok menarik Byungchan turun dari bis, “Seungyoun, Seungwoo hati-hati ya kita duluan!” Byungchan melambaikan tangannya.

“Seungyoun duluan ya, Woo gua duluan,” Jinhyuk pun berpamitan dan melambaikan tangannya pada Seungyoun dari luar, Seungyoun pun membalas lambaian tangan tersebut.

Tanpa sadar Seungwoo menatap Seungyoun sendu saat melihat senyum lebar yang biasa selalu ia dapatkan sekarang Jinhyuk pun dapatkan. “Lu seneng deket sama Jinhyuk? Suka sama Jinhyuk?” tanya Seungwoo tiba-tiba.

Seungyoun menoleh ke arah Seungwoo, “kok tiba-tiba?”

“Nanya aja.”

“Sebelum itu gue tanya lu kenapa sampai dimarahin sama pelatih? Apa yang ganggu pikiran lu, kalau capek jangan maksain diri.”

“Jawab pertanyaan gua.”

“Pertanyaan gue juga!”

“Gua ngerasa lu jauh dari gua, lu udah ga butuh gua lagi. Puas?!”

Seungyoun terperangah dengan jawaban Seungwoo, nada suaranya agak naik membuat Seungyoun terkejut.

“Siapa yang jauhin siapa gue tanya!? Selama ini gue berusaha bagi waktu sama lu, gue ajak ngobrol lu! Bahkan gue weekend ke rumah lu, gue cuma habisin waktu sama Jinhyuk saat pulang sekolah doang dan lu bilang gue menjauh? Pikir coba lu yang kenapa malah ngehindar dari gue! Kalau gue emang gangguin lu atau gue ada salah bilang! Jangan asal bilang aja gue ga butuh lu mentang-mentang gue apa-apa sama Jinhyuk! Iya gue suka sama Jinhyuk, gue seneng deket sama dia! Puas!?” Seungyoun langsung beranjak dan berdiri di dekat pintu bis karena sebentar lagi akan sampai.

Seungwoo terdiam mendengar semua perkataan Seungyoun, ia pun tersadar selama ini dirinya lah yang menghindari dan banyak mendiami Seungyoun. Saat bis berhenti Seungyoun langsung saja turun tanpa memperdulikan Seungwoo. Dirinya pun jadi merasa bersalah pada Seungyoun, ia mengusak kasar rambutnya, “bodoh! Seungwoo bodoh!” Ucapnya kesal.

Keesokan paginya Seungyoun mendengus malas saat melihat Seungwoo sudah berdiri menunggu bis di halte seperti biasanya. Seungyoun tidak peduli dan berdiri membelakangi Seungwoo, sedangkan Seungwoo hanya diam saja masih merasa bersalah. Seungwoo mendekat dan membuka tas Seungyoun kemudian memasukan sesuatu ke dalam tas tersebut.

“Apasih!?” Ketus Seungyoun kepada Seungwoo.

“Resleting lu kebuka.”

Seungyoun menepis tangan Seungwoo menjauh dan masuk ke dalam bis, dirinya memilih duduk di tempat lain yang sudah ada orangnya sehingga Seungwoo tidak dapat duduk bersama dirinya. Saat di halte selanjutnya Seungyoun heran tidak melihat Byungchan hanya ada Jinhyuk dan Wooseok saja yang menaiki bis.

“Mana Byungchan?”

“Demam, kemaren dia terlalu banyak porsir tenaga, kalian kenapa pisah?” Wooseok berdiri di samping Seungyoun sedikit berbisik pada temannya dan melirik ke Seungwoo yang duduk dibelakang bersama Jinhyuk.

“Males aja liat dia.”

Sedangkan Jinhyuk hanya diam tidak mau bertanya apa-apa, dari cara keduanya saja Jinhyuk sudah yakin jika keduanya sedang tidak baik-baik.

Sesampainya di sekolah Seungyoun baru saja ingin mengeluarkan bukunya untuk mata pelajaran yang akan dimulai, ia mengernyit saat melihat kotak kecil berwarna hitam dengan pita merah di dalam tasnya.

Seungyoun mengeluarkan kotak tersebut dan membukanya, ternyata ada permen dan coklat dengan note kecil, 'maaf aku salah', Seungyoun tersenyum ia sudah hafal di luar kepala jika ini adalah tulisan Seungwoo.

Wooseok melihat cemilan manis di tangan temannya dengan sengaja ingin mengambil satu, tapi Seungyoun sudah lebih dahulu menampar tangan Wooseok, “nggak sopan! Nggak boleh ambil!”

“Njir! Iya iya tau dari Seungwoo, labil lu mau milih Seungwoo apa Jinhyuk!?”

“Apasih!? Nggak nyambung!

“Ya gua cuma nanya aja sih, jangan sampe nyesal dikemudian hari.”

“Gue pilih Jinhyuk! Puas!?”

Wooseok membeku mendengar jawaban Seungyoun, tiba-tiba hatinya merasa sakit seperti dicubit.

Sepulang sekolah Wooseok dan Seungyoun saling merangkul satu sama lain sambil memakan es krim yang mereka beli di toserba sekolah, saat asik tertawa dan saling menggoda satu sama lain keduanya terdiam melihat Seungwoo dan Jinhyuk di hadapan mereka.

“Seungyoun lu mau negur siapa dulu? Taruhan yuk,” ujar Wooseok.

“Pala lu taruhan! JINHYUKIE!” Seungyoun berteriak melepaskan rangkulan Wooseok dan berlari menghampiri Jinhyuk.

Jadi ini namanya senjata makan tuan?” batin Wooseok dan tersenyum miris melihat temannya menghampiri laki-laki jangkung itu.

Seungyoun tersenyum dan merangkul lengan Jinhyuk, dirinya sekilas melihat Seungwoo yang hanya memasang wajah datarnya. “Tumben akrab sama Wooseok?” Tanya Jinhyuk.

“Dia traktir es krim hehehe. Yuk ke halte!” Seungyoun menarik Jinhyuk menuju halte terlebih dahulu tanpa memperdulikan Seungwoo.

“Woo ...” panggil Wooseok saat keduanya bertemu.

“Hm?”

“Kenapa harus dilepas sih kalau emang nggak mau?”

Seungwoo menaikan alisnya bingung, “maksud lu?”

“Ck! Gua nggak bodoh ya, Woo!”

“Jangan sok tau, buruan lari tuh bisnya datang!” Seungwoo menarik ransel Wooseok untuk mengejar bis yang datang.

Sesampainya di halte terakhir, Seungwoo dan Seungyoun turun dari bis bersamaan. Keduanya saling bertukar pandang dan berjalan berlawan arah, Seungwoo menghela napas berat merasa Seungyoun masih marah dengan dirinya.

BRUK

Tiba-tiba ada yang memeluk Seungwoo erat dari belakang, “maafin Seungyoun ...” ujar suara kecil itu.

Seungwoo membalik badannya dan langsung memeluk erat Seungyoun, “jangan minta maaf, aku yang salah ....” Keduanya saling berpelukan erat, Seungwoo bahkan tak ingin melepaskan pelukan ini rasanya sudah lama sekali mereka tidak berpelukan.

“Jangan cuekin Seungyoun lagi, walaupun aku sama Jinhyuk please kita tetap sahabat, ‘kan?” Seungyoun menatap Seungwoo.

Seungwoo terdiam, menatap mata berbinar itu, ingin rasanya ia berteriak 'JANGAN SAMA JINHYUK' tetapi hanya anggukan dan senyuman yang dapat ia lakukan. Seungyoun tersenyum lebar dan memeluk Seungwoo lagi lebih erat.

Kalau memang ini buat kamu bahagia, aku relain kamu, Youn.

Di sisi lain, Jinhyuk dan Wooseok yang baru saja keluar dari bis berjalan dalam diam menuju rumah mereka. “Hyuk, lu beneran suka sama Seungyoun, ya?” tanya Wooseok tiba-tiba.

Jinhyuk melirik Wooseok sekilas, “ya gua suka tapi gua paham posisi gua kok. Gua sadar Seungwoo suka sama Seungyoun, gua nggak bodoh kok dan gua tau Seungyoun juga suka sama Seungwoo, ‘kan? Tapi disatu sisi Seungwoo bilang deketin aja, jadi gua harus apa?”

Wooseok berhenti dan berdiri di depan Jinhyuk, laki-laki lebih kecil itu menggenggam erat kedua pundak Jinhyuk, dirinya sedikit mendongak karena perbedaan tinggi yang lumayan jauh, “kalau gua bilang gua sebenarnya suka sama lu gimana, Hyuk?”

Laki-laki yang lebih tinggi itu mengernyitkan dahinya, “maksud lu apa, Seok?” tanyanya memastikan, takut bila salah mendengar ucapan Wooseok.

Wooseok tersenyum tipis, “gua suka sama lu Hyuk, dari awal kita ketemu gua diam-diam menaruh hati untuk lu. Awalnya gua kira ini hanya sekedar rasa suka sebentar, tapi makin ke sini gua makin suka dan nyaman sama lu, Hyuk.”

“Kenapa Seok? Kenapa bisa ke gua?”

“Karena perlakuan dan perhatian kecil lu ke gua, Hyuk. Mungkin lu nggak sadar, elus atau acakan kecil di kepala gua buat gua nyaman dan merasa diperhatikan, setiap kali kita pulang bareng begini lu selalu ajak gua ngobrol. Lama kelamaan hati gua ngelunjak Hyuk. Gua sadar nggak seharusnya gua menaruh hati ke elu, yang jelas-jelas suka sama teman gua sendiri.”

“Seok …, sorry tapi lu tau kan-“

“Iya Hyuk, gua tau. Gua ngerti lu hanya anggap gua sebatas teman, gua udah bilang juga, ‘kan, kalau gua salah udah menaruh hati ke elu? Gua enggak bisa nyalahin elu, memang hati gua yang terlalu lemah dan mudah goyah. Gua ngomong begini agar perasaan gua lega aja, gua enggak mau lagi mendam dan lihat lu dari jauh.”

Tangan Jinhyuk terulur untuk mengelus kepala Wooseok, “lu suka gua perlakukan begini? Maaf buat lu salah paham dan nyimpan luka di hati lu, Seok.”

“Jangan minta maaf sama gua, gua gapapa. Udah ah jangan dielus mulu, ntar gua tambah baper!” Wooseok menepis tangan Jinhyuk.

“Dari sekian banyak orang kenapa gua, Seok?”

“Nggak tau, dari sekian banyak orang juga kenapa harus Seungyoun, Hyuk? Awalnya gua sama Byungchan hanya bercanda, kenapa jadi keterusan lu bisa suka sama Seungyoun.”

“Salah ya gua suka sama, Seungyoun?”

“Enggak sih, perasaan nggak pernah salah. Sama seperti perasaan gua ke elu, hanya keadaannya aja yang kurang tepat. Tapi Hyuk, kalau lu ragu buat dekatin Seungyoun, gua bilang lu tetap maju. Kenapa? Karena Seungwoo udah beri lu jalan, jangan lu sia-siakan jalan ini, bisa aja Seungwoo akan lebih sakit kalau lu menyia-nyiakan sahabat kecilnya.” Sudut bibir Jinhyuk naik setelah mendengar penjelasan Wooseok, ia mengangguk dan membalik tubuh Wooseok, kemudian dipeluknya erat dari belakang, membuat Wooseok terkejut melebarkan bola matanya. “H-hyuk!? Apa-apaan lu!?” Wooseok memberontak, namun pelukan Jinhyuk semakin erat.

“Sebagai ucapan terima kasih udah suka sama gua, terima kasih juga tetap support gua walau ini di luar rencana lu dan maaf …, maaf kalau gua nyakitin hati lu, Seok.”

Wooseok hanya dapat menggigit bibirnya menahan tangis, ia mengelus lengan Jinhyuk yang berada di dadanya, “it’s okay, Hyuk. Selagi itu baik dan buat lu senang, gua bakal dukung dan ada buat lu, buat Seungyoun teman gua sendiri. Tolong jaga dia kalau suatu saat lu akhirnya beneran sama dia, ya?”

“Pasti Seok, pasti.”


Pertandingan basket pun akhirnya datang, Seungyoun bersama dengan dua sahabat yang tidak pernah akur ini pergi menonton untuk menyemangati Seungwoo dan Jinhyuk. Bahkan Wooseok dan Byungchan sudah menyiapkan banner khusus dan menyelinap masuk ke sekolah orang demi sahabat dari seorang Seungyoun.

“Lu yakin Cok gapapa?” Tanya Seungyoun ragu pada Wooseok. Cok atau Ucok adalah panggilan kesayangan Wooseok di rumah, hanya Byungchan dan Seungyoun yang boleh memanggilnya begitu.

“Gapapa! Ini sekolah ada kakak sepupu gua, noh dia berdiri di depan. KAK KRSYTAL!” Panggil Wooseok kepada perempuan yang bercengkrama dengan temannya.

Perempuan yang dipanggil Krystal itu menoleh dan melambaikan tangannya, “nonton siapa!?” Tanya Krystal. Wooseok menunjuk nama yang ada di banner dan Krystal tertawa sambil mengacungkan kedua jempolnya, “MANTAP!”

Seungyoun terperangah sedangkan Byungchan asik memainkan ponselnya tak memperdulikan Seungyoun.

“Byungchan lu tau?” Tanya Seungyoun.

Geez bro gue sama Wooseok sahabat dari embrio!” Jawab Byungchan dan Seungyoun pun baru sadar.

“MULAI WOI! YUHU JINHYUK! SEUNGWOO!” teriak Wooseok heboh membuat Byungchan dan Seungyoun menutup wajah mereka malu.

Pertandingan berlangsung sengit, kerja sama antara Jinhyuk dan Seungwoo sangat diacungi jempol tak heran mengapa keduanya bisa menjadi pemain inti. “Gila sih Seungwoo cakep tapi Jinhyuk lebih cakep, kalau ga ada pacar udah gue deketin tuh Jinhyuk,” ucap Byungchan.

“HAH LU ADA PACAR?” tanya Seungyoun terkejut.

“Ada Youn emang nggak mau dia kasi tau aja, awal kelas 8 dia jadian sama anak Sugio. Gua aja nggak sengaja pergokin dia pas lagi pacaran di teras rumah,” jawab Wooseok.

Byungchan memukul kesal punggung Wooseok membuat Wooseok meringis menahan rasa sakit. Seungyoun yang tau Wooseok akan marah langsung memeluk erat Wooseok, “IYA TAHAN JANGAN MARAH! SANTAI BRO!” teriak Seungyoun.

“Moga putus lu!” Ujar Wooseok sinis.

“BODO AMAT!” Ketus Byungchan.

“MENANG WOI!”

Suara ribut memenuhi stadion, Wooseok dan Byungchan melupakan perkelahian mereka dan asik berpelukan merayakan kemenangan, keduanya memeluk Seungyoun agar berpelukan bersama. Ketiganya pun langsung turun ke lapangan menemui Seungwoo dan Jinhyuk untuk memberi selamat.

“Weh selamat ma bro!” Wooseok memeluk Seungwoo dan Jinhyuk bersamaan, ketiga laki-laki ini tersenyum senang.

Tidak ada yang terjadi dan tidak ada yang berubah antara Jinhyuk maupun Wooseok setelah kejadian beberapa minggu yang lalu saat tiba-tiba Wooseok mengaku suka kepada Jinhyuk. Keduanya memilih untuk tetap berteman dan bersikap seperti biasanya.

“Selamat, ya!” Byungchan juga ikut memberikan selamat.

Seungyoun tersenyum pada Seungwoo, ia memberikan minuman kepada Seungwoo yang telah ia siapkan khusus, tak lupa handuk kecil karena ia tau Seungwoo suka lupa membawa handuk. Tanpa mengucapkan apa-apa Seungwoo tersenyum mengambil minuman dan handuk tersebut, kemudian Seungyoun menghampiri Jinhyuk yang sedang minum, tiba-tiba saja ia mengelap keringat yang ada pada pelipis Jinhyuk membuat Jinhyuk nyaris tersedak.

“A-apa nih?”

“Selamat Jinhyukie! Mainnya keren banget you deserved it!”

Jinhyuk tersenyum lebar, ia semakin menyodorkan wajahnya pada Seungyoun agar semakin mudah dilap oleh Seungyoun. Melihat interaksi keduanya tanpa sadar Seungwoo menggenggam erat botol minuman dan handuk hingga tangannya memerah.


Waktu berjalan dengan singkat, para remaja ini sudah memasuki semester baru yaitu menduduki tingkat tiga, di mana ini adalah tingkat terakhir mereka di masa SMP. Bimbingan belajar tambahan pun sudah dimulai, membuat para murid akan pulang lebih sore lagi bahkan sampai malam.

Intensitas kedekatan Seungyoun dan Jinhyuk pun semakin jelas, bahkan tak sekali dua kali Seungyoun kadang terpaksa membatalkan janjinya bersama Seungwoo untuk belajar bersama, karena ia lebih memilih bersama Jinhyuk. Seungwoo hanya bisa bersabar menghadapi itu semua, ia pun tidak bisa marah kepada Jinhyuk karena itu bukan salah temannya, ia sendiri lah yang memberikan izin kepada Jinhyuk untuk mendekati Seungyoun.

“Lu sama Seungyoun udah pacaran Hyuk?” Tanya Seungwoo kepada Jinhyuk yang sedang serius mengerjakan soal tambahan.

“Belum, kenapa tanya gitu? Lu mulai risih sama gua ga seriusan Seungyoun, ya?”

Seungwoo tampak berpikir dan mengangguk, “jangan gantungin anak orang lu.”

“Rencana gua mau nembak dia pas habis ujian atau masuk SMA. Engga lama lagi, kan? Setau gua SMA yang mau Seungyoun masuk juga sama dengan gua.”

Seungwoo mengernyit, “Seungyoun mau masuk mana, emang dia bilang sama lu?”

“Iya dia cerita katanya mau masuk SMA 01. Emang dia nggak ada cerita sama lu?”

“Enggak ada tuh.”

Jinhyuk menghentikan kegiatannya dan memandang Seungwoo, “kalian baik-baik aja, ‘kan? Jangan bilang lu menjauh karena gua keseringan sama Seungyoun?”

“Enggak lah, emang sibuk aja kita bimbel gini ya kali menjauh? Udah urusan masing-masing cuy!” Jinhyuk pun bernapas lega dan lanjut mengerjakan soalnya, membiarkan Seungwoo yang tiba-tiba terdiam memikirkan Seungyoun.

Di sekolah lain masih dengan tiga sekawan yang salah satunya terlihat tidak sehat dengan memakai kacamata asik mengerjakan soal.

“Lu tu kenapa, sih?” Tanya Seungyoun.

“Putus.”

“Pftt-” Wooseok menahan tawanya mendengar jawaban ketus Byungchan.

“Diem nggak lu?”

“Gua diem? Lagian elu juga gua bilang apa jangan percaya sama orang kayak gitu, dia tuh Cuma mau manfaatin lu. Kita berteman bukan kemaren aja, lu sih nggak percaya!”

Byungchan meremas pensil yang ia pegang hingga patah, membuat Seungyoun terkejut dan mengelus kepala teman sebangkunya itu.

“Seok udah ih jangan gangguin Byungchan ....”

Wooseok membalik badan menatap tajam Byungchan, “marah lu sama gua? Nih tampar muka gua, omongan gua bener ga dari awal gua bilang sama lu? Ada gua bohong? Selama ini gua ngomong demi kebaikan elu!” Wooseok langsung menyudahi dan mengerjakan soalnya.

Byungchan menghela napas berat, melepaskan kacamatanya untuk menutupi mata pandanya karena tidak tidur semalaman.

“Byungchan, are you okay?”

“Hmmm. Lu gimana sama Jinhyuk, nggak digantungin kan lu?”

Mendengar pertanyaan Byungchan, membuat Wooseok menghentikan kegiatan mengerjakan soalnya. Ia pun menajamkan indera pendengarannya agar mengetahui apa yang sedang terjadi.

“Enggak kok, kita masih deket fokus juga sama persiapan ujian.”

“Enggak ada masalah sama Seungwoo kan? Gue liat lu lebih sering sama Jinhyuk daripada Seungwoo.”

Seungyoun terdiam menghentikan elusannya pada kepala Byungchan, ia pun baru terpikir dan tersadar jika ia sudah lama tidak bermain bersama Seungwoo.

“Seungyoun?”

“Huh?”

“Jangan sampai orang lain bikin elu lupain sahabat lu, memang kita udah urusan masing-masing tapi ingat sejauh apapun kita pergi sahabat itu nomor satu,” Byungchan memberitahu Seungyoun.

“Jangan sampai ada penyesalan,” Wooseok menyambung dari belakang dengan nada yang terdengar sendu.

Pulang sekolah Seungyoun memilih untuk sendirian, membiarkan Wooseok dan Byungchan pulang terlebih dahulu karena menurut Seungyoun keduanya butuh waktu berdua. Terkadang Seungyoun iri dengan persahabatan keduanya, walau sering bertengkar disatu sisi mereka berdua juga saling melindungi dan menyayangi satu sama lain. Keduanya tidak pernah ragu maupun malu menunjukannya.

“Ekhem!” Suara deheman membuat Seungyoun mendongak dan terkejut melihat Seungwoo di hadapannya.

Keduanya pun berakhir memakan es krim disalah satu kedai dekat halte bis persimpangan menuju rumah keduanya.

“Gimana bimbelnya?” Tanya Seungwoo.

“Ya gitu, pusing sih untung ada Wooseok sama Byungchan yang bantuin. Kadang aku iri sama tu berdua bisa merendah banget, padahal aslinya pintar, saling mengisi kekurangan satu sama lain.”

“Emang kita nggak gitu, ya?”

Seungyoun terdiam, ia menggigit es krimnya dan menatap Seungwoo. “Kangen nggak sih waktu kita masih TK sama SD? Kita selalu kemana-mana berdua, setiap ada yang mau nyakiti kamu bahkan kamu nangis selalu aku tonjok sampai dimarahi sama Kak Sunhwa,” ujar Seungwoo, tatapan matanya lurus ke depan, memikirkan setiap momen dirinya dan Seungyoun yang telah mereka lalui bersama.

Seungyoun tersenyum saat memori itu berputar di otaknya, “ingat nggak sih pas aku pertama kali belajar sepeda terus jatuh, kaki aku luka terus kamu gendong aku pulang padahal rumah aku sama lapangan bola jauh,” Seungyoun melanjutkan ceritanya.

“Ingat dong, lutut kamu sekarang bukannya masih ada bekas lukanya?”

Seungyoun tersenyum malu dan mengangguk, keduanya asik berbicara mengingat kenangan masa kecil. Hingga akhirnya saling terdiam karena sudah kehabisan bahan obrolan.

“Seungyoun, kamu baik-baik aja kan tanpa aku?”

“Kenapa ngomong gitu, kamu mau pergi?”

Seungwoo menggelengkan kepalanya dan tersenyun, “bentar lagi kita SMA kayanya kita bakal pisah lagi. Kamu mau masuk SMA 01 kan? Sedangkan aku masuk SMA 02.”

“Kamu tau dari- oh Jinhyuk, ya?”

Seungwoo menaikan alisnya sebagai jawaban, Seungyoun memainkan jarinya tiba-tiba merasa bersalah, “sebenarnya aku mau cerita ke kamu langsung tapi kamu malah udah tau duluan dari Jinhyuk.”

“Jangan ngerasa bersalah, selagi kamu nyaman sama Jinhyuk cerita aja sama dia. Hidup kamu nggak seputar aku aja kan? Enggak semua hal bisa kamu ceritain ke aku. Aku cuma mau kamu bisa jaga diri aja, aku juga liat kamu makin deket sama Jinhyuk. Next time kalau Jinhyuk nyakiti kamu kasi tau aku ya, aku akan selalu jadi pelindungi kamu, sejauh apapun kamu pergi.”

Sore itu ditutup dengan Seungwoo yang mengantar Seungyoun hingga di depan rumahnya, kedua saling menatap satu sama lain. Seungyoun memeluk Seungwoo erat secara tiba-tiba membuat Seungwoo terperanjat.

“Makasih udah jadi pelindung aku bahkan sampai sekarang ....”

“Aku bakal selalu jadi pelindung kamu Seungyoun ....”


Sorak bahagia seluruh murid memenuhi aula sekolah, akhirnya setelah berjuang Seungyoun, Byungchan dan Wooseok pun lulus dari bangku SMP begitu pula dengan Seungwoo dan Jinhyuk, bahkan Seungwoo mendapatkan juara satu dengan nilai lulusan terbaik di angkatannya. Tentu saja Seungyoun yang mengetahui hal itu sangat bangga dengan sahabat kecilnya, keduanya pun memutuskan untuk merayakannya dengan makan ramen di rumah Seungwoo tentu saja bersama kak Sunhwa dan Coco.

“Seungyoun mau masuk SMA mana?” Tanya kak Sunhwa.

“SMA 02 Kak hehehe.”

“Wah pisah lagi sama Seungwoo ya, udah daftar?”

“Belum, rencananya lusa.”

“Mau ditemenin?” Tanya Seungwoo

Seungyoun menggelengkan kepalanya, “udah janji sama Jinhyuk aku,” jawab Seungyoun. Melihat keduanya, Kak Sunhwa mengulum senyumnya penuh arti dan meninggalkan dua remaja ini.

“Ah gitu ... oh iya aku lupa ngasi tau kalau aku mau pindah.”

“Hah pindah kemana?”

“Jauuuuuh banget!” Seungwoo tersenyum jahil namun tidak disadari oleh Seungyoun.

“Ih ke mana!?” Seungyoun memukul tangan Seungwoo kesal membuat empunya terkekeh.

“Tunggu aja minggu depan pasti tau jawabannya, lusa daftarnya mesti teliti jangan bikin malu Jinhyuk!”

“Enggak ih!”

Satu minggu berlalu, Seungyoun merengut saat mendengar suara berisik dari arah luar, membuatnya pun terpaksa bangun mengecek melalui jendela kamarnya.

“DIH MASIH ILERAN!” teriak suara laki-laki yang sangat ia kenal. Seungyoun mengerjapakan matanya, menggosoknya cepat memastikan orang yang ia lihat benar Seungwoo. “Bangun Seungyoun!” Seungwoo melambaikan tangannya.

“LAH WOO NGAPAIN LU!?”

“YA PINDAH SINI LAH!”

“KATANYA JAUH!?”

“YA JAUH GA NIH?”

“SEUNGWOO JELEK!” Seungyoun menutup jendelanya, ia langsung pergi mandi untuk menghampiri Seungwoo yang baru saja pindah ke samping rumahnya.

Seungyoun berlari ke rumah samping dimana masih banyak orang sibuk membereskan barang-barang pindahan. “Kok tiba-tiba pindah?” tanya Seungyoun bingung.

“Iya biar deket sama lu.”

“Woo serius!”

“Hahaha persiapan ayah pensiun, jadi pindah rumah sekarang keburu nanti ayah pensiun nggak bisa beli rumah pribadi.”

Seungyoun mengangguk mengerti, “Coco mana?”

“Coco dibawa kak Sunhwa ke rumah suaminya.”

Seungyoun memanyunkan wajahnya sedih, “percuma dong gue ke rumah lu kan buat main sama Coco.”

Seungwoo menyentil dahi Seungyoun membuat empunya teriak kesakitan, “rasain siapa suruh milih Coco daripada gua. Sore mau kemana lu?” Tanya Seungwoo.

“Cari barang sama Jinhyuk buat besok hari pertama masuk sekolah.”

Seungwoo mengangguk, “eh lu udah tau belum gua ketemu siapa pas daftar kemaren?”

“Siapa?”

“Dua temen lu lah, siapa lagi kalau nggak Wooseok sama Byungchan, kita semua masuk IPS tapi gua sekelas sama Wooseok, sedangkan Byungchan di kelas lain. Kayaknya baru ini mereka pisah ga sih?”

Seungyoun tertawa geli, “kayanya giliran elu deh sekarang Woo menerima absurd persahabatan mereka.” Seungwoo rolling eyes tak ketinggalan menghela napas lelah membayangkan apa yang akan ia hadapi.

Seungyoun merapikan rambutnya, ia memastikan penampilannya sudah layak untuk pergi. Baju kaos putih yang dipadukan dengan cardigan berwarna biru laut, serta celana jeans warna biru muda. Tanpa ia sadari, Seungwoo sedari tadi melihat Seungyoun bersiap-siap dari jendela kamarnya, tak lama ia mendengar suara motor dari luar. Ia berjalan keluar kamar dan melihat Jinhyuk di sana yang juga memakai baju dengan warna senada, Seungwoo tersenyum getir dan menjadi penonton kedua orang tersebut.

Udah waktunya ya?” batin Seungwoo.

Seungyoun berlari kecil keluar rumah, dirinya cukup terkejut melihat Jinhyuk memakai kaos putih dipadukan dengan kemeja berwarna biru tua dan celana jeans.

“Udah lama?” Tanya Seungyoun.

“Engga kok, baru aja. Poninya berantakan tuh,” Jinhyuk merapikan poni Seungyoun membuat Seungyoun merona dan menggenggam tangan Jinhyuk, “udah yuk keburu makin sore,” ajak Seungyoun.

Jinhyuk pun menyalakan motornya dan Seungyoun pun naik ke motor vespa matic putih milik Jinhyuk, “pegangan ya, ngebut nih!” Jinhyuk tiba-tiba mengegas dengan kencang membuat Seungyoun terkejut dan memeluk Jinhyuk erat.

“JINHYUK SENGAJA YA?”

“HAHAHAHAHHA MAAF”

Akhirnya Jinhyuk dan Seungyoun pun sampai di toko buku, keduanya asik melihat berbagai macam alat tulis dan jajaran lainnya.

“Hyuk lucu deh warna warni gini pulpennya, glitter bukan sih?” Seungyoun melihat pulpen yang dipajang.

“Glitter tuh, pernah ga sih lu olesin kaya gitu ke kuku? Gua pernah dong kuku gua diwarnain sama anak kelas gitu.”

“Ih apasih ga jelas hahaha ya gue pernah sih karena kepo gitu, terus malah diterusin sama anak-anak kelas.”

“Dih malah keterusan hahaha. Eh ntar kalau misal kita sekelas gimana?” Tanya Jinhyuk tiba-tiba.

“Ya emang kenapa? Bagus dong kalau sekelas gue ga perlu repot cari temen hehehehe.”

“Lu gapapa jauh dari Seungwoo?”

“Lu tau ga sih Hyuk, Seungwoo pindah samping rumah gua!”

Jinhyuk melebarkan matanya, “demi!? Kapan!?”

“Tadi pagi! Anjir tu anak katanya pindah jauh!”

Jinhyuk tertawa, “ya iya jauh, jauh dari gua mau jemput dia maksudnya, anjir tu anak. Dia juga bilang sama gua bakal pindah jauh rupanya samping rumah lu doang. Jadi gua ga perlu jauh-jauh izin kan sama Seungwoo buat ajakin lu jalan?”

“Dih emang kenapa?”

“Seungwoo kan pawang lu.”

Seungyoun memutar bola matanya malas, “engga elah, kita cuma sahabatan aja ga ada istilah pawang atau apa lebay lu!” Jinhyuk terkekeh, ia merangkul Seungyoun dan mengajaknya untuk mencari barang yang diperlukan besok.

Sudah hampir malam akhirnya Seungyoun pun pulang diantar oleh Jinhyuk hingga depan pagar.

“Makasih ya Hyuk buat hari ini ....”

Jinhyuk mengangguk dan tersenyum, baru saja Seungyoun ingin membuka pagar tiba-tiba Jinhyuk menahan tangannya. “Youn ...” panggil Jinhyuk pelan.

“Ya, kenapa?”

Jinhyuk mengeluarkan sesuatu di saku kemejanya dan mengeluarkan gantungan berbentuk matahari berukuran sedang, “buat lu ... tapi sebelum lu terima, lu mau ga jadi pacar gua? Gua ga maksa, gua cuma ngerasa kita udah lama dekat, bahkan gua berapa kali secara gamblang bilang suka sama lu. Gua gatau perasaan lu gimana ke gua, tapi gu-”

Seungyoun memeluk Jinhyuk erat, “gue mau, ayo kita pacaran gue juga udah lama suka sama lu ... gue nyaman sama lu Hyuk.”

Jinhyuk tersenyum lebar ia memeluk Seungyoun tak kalah erat, keduanya tertawa satu sama lain tanpa mereka sadari Seungwoo memandang mereka dari jendela rumah dan hanya menunduk pasrah, “benar kan...” batinnya.

Keesokan paginya, semester pertama dimulai. Seungwoo sudah dikejutkan dengan kedatangan kakaknya yang membuatkan dirinya sarapan dan memberikan semangat.

“Sama Seungyoun ga Woo?” Tanya kak Sunhwa.

“Engga, Seungyoun udah ada yang anter jemput sekarang.”

“Hah? Seungyoun ada pacar?”

Seungwoo mengangguk dan mendapat tepukan dikepalanya beberapa kali oleh sang kakak, “sabar ya dek, kakak bilang juga apa kalau suka gas aja.”

“Astaga kak apasih? Udah ah aku berangkat, makasih sarapannya!” Seungwoo menghabiskan susunya dan langsung berangkat sekolah.

Saat dirinya keluar ternyata ada Jinhyuk dengan motornya di depan rumah Seungyoun, “bro! Jauh banget pindahnya?”

Seungwoo tersenyum dan menaikan alisnya, “udah jadi tukang gojek nih, gimana janji lu sama gua?”

“Ya seperti yang lu liat, tenang Woo bakal gua jagain. Makasih ya!”

Seungwoo mengangguk, tak lama Seungyoun keluar dengan seragam barunya, “Seungwoo! Berangkat pakai bis?”

“Iya, hati-hati ya kalian berdua. Hyuk jangan ngebut!”

“Siap bos! Udah, Youn?” Tanya Jinhyuk saat Seungyoun sudah naik ke atas motornya.

“Sudah! Seungwoo kami pergi dulu ya!”

“Woo duluan!”

Keduanya pun pergi terlebih dahulu meninggalkan Seungwoo yang masih berdiri didepan pagar rumahnya, “yok bisa yok!” batin Seungwoo menguatkan dirinya yang tiba-tiba merasa malas untuk berangkat ke sekolah.

Saat diperjalanan Jinhyuk menyempatkan diri menggenggam tangan Seungyoun dan meletakannya diperutnya agar memeluk dirinya, “gantungan mataharinya dipakai, ya?” Jinhyuk sedikit menoleh pada Seungyoun

Seungyoun tersenyum dan memeluk Jinhyuk erat, “iya dong! Biar selalu inget sama kamu.”

Kedua tertawa karena merasa geli dengan tingkah laku mereka.

“Geli anjir, Hyuk!” protes Seungyoun.

“Gua juga anjir, nggak nyangka pacaran juga kita.”

Seungwoo melihat ke arah luar saat dipemberhentian halte selanjutnya, dapat ia lihat Wooseok dan Byungchan masuk dan sudah tersenyum kepada dirinya.

“Seungwoo!” Sapa Wooseok dan langsung duduk di samping dirinya.

Byungchan merengut dan memilih berdiri disamping keduanya, “curang lu!” Byungchan menoyor kepala Wooseok.

“Eh mana Seungyoun?” Tanya Wooseok.

“Udah sama pacarnya.”

“HAH!?” teriak Wooseok dan Byungchan mengundang tatapan sinis dari seisi bis.

“Jangan bilang ....” Byungchan memelankan suaranya.

“Ya ga usah gua bilang, ‘kan?” Seungwoo tersenyum tipis.

Wooseok tersenyum miris mendengar kabar tersebut, Seungyoun tak ada memberitahu kabar tersebut kepada dirinya dan Byungchan. Ia pun langsung merangkul Seungwoo dan menepuk pundak temannya tersebut, “sabar bro, masih ada kita, kalau lu mau sama Byungchan aja.”

TAK

Sebuah jitakan Byungchan daratkan di dahi Wooseok, hal itu membuat Seungwoo dan Wooseok terkekeh geli. Walaupun keduanya sama-sama tertawa dan tampak biasa saja, namun ada hati yang begitu sakit menerima kenyataan yang telah terjadi.


Banyak yang bilang masa paling indah itu adalah masa SMA mungkin hal itu yang Seungyoun rasakan bersama Jinhyuk, keduanya menjadi pasangan yang cukup banyak di kenal diseluruh penjuru sekolah. Jinhyuk yang merupakan ketua tim basket dan Seungyoun salah satu anak musik di mana kedua hal ini merupakan hal yang sangat diinginkan oleh para murid, karena tidak semua murid dapat masuk extra ini dan perlu adanya seleksi yang ketat. Begitu juga dengan Seungwoo dan dua sahabat di SMA lain, Seungwoo pun menjadi Ketua OSIS dan anggota bakset di sekolahnya, sedangkan Wooseok dan Byungchan tetap mengambil kelas seni, bahkan mereka menjadi tim pengajar bersama para kakak kelas.

Mereka sudah menginjak kelas 11 yang berarti sudah setahun juga Seungyoun dan Jinhyuk berpacaran. Selama ini mereka pacaran sebatas antar jemput ke sekolah atau Seungyoun yang menemani Jinhyuk bermain basket hingga akhirnya pulang agak malam karena latihan dimulai pada pukul 5 sore. Begitu pula dengan Seungwoo yang selalu memperhatikan mereka dari jendela rumah atau kamarnya, semakin lama jujur Seungwoo semakin merasa jika dirinya telah kehilangan sosok Seungyoun.

Keduanya terlalu sibuk masing-masing atau mungkin Seungyoun yang terlalu asik bersama Jinhyuk, terkadang Seungwoo ke rumah Seungyoun untuk mengantar makanan dari ibunya atau Seungyoun yang ke rumah Seungwoo sekedar menyapa dan mengantar barang titipan untuk ibu Seungwoo. Selebihnya? Seungyoun akan selalu bersama Jinhyuk.

Satu hal yang menarik selama SMA ini adalah sekolah Jinhyuk dan Seungwoo merupakan rival dalam pertandingan basket, beberapa minggu lagi akan ada pertandingan antar sekolah yang memang sering di adakan setiap tahun.

Seungwoo baru saja pulang dari mengerjakan tugas dan dilanjutkan dengan latihan basket, tak heran jika dirinya pulang agak malam. Pukul 20:00, Seungwoo baru saja ingin menutup pagar, tak lama ia melihat sosok Jinhyuk dan Seungyoun yang baru saja pulang.

“Woo! Apa kabar, gimana latihan lu?” Tanya Jinhyuk.

“Kepo lu, orang dalem, ya?”

Mereka tertawa satu sama lain, Seungyoun melihat kedua laki-laki yang sangat berarti untuknya ini pun tersenyum lembut. “Aku pulang dulu ya, jangan lupa mandi air hanget, langsung istirahat,” Jinhyuk mengelus kepala Seungyoun dan langsung pulang, tak lupa ia melambaikan tangan pada Seungwoo.

“Woo!” Panggil Seungyoun saat Seungwoo selesai mengunci pagar.

“Ya?”

“Semangat ya latihannya, jaga kesehatan!” Ujar Seungyoun dan langsung masuk ke rumah.

Seungwoo hanya terdiam dan menghela napas saja, “makasih ...” ujar Seungwoo pelan.

Keesokan sorenya, Seungyoun dan Jinhyuk baru saja pulang bersertaan dengan Seungwoo dan Wooseok yang kebetulan ingin mengerjakan tugas di rumah Seungwoo.

“Eh Youn, Hyuk!” tegur Wooseok kepada dua temannya.

“Seok! Mau ngapain?” tanya Seungyoun.

“Biasa nugas, kalian ngapain? Hayoloh pacaran ya!?”

“Hahaha enggak njir! Mau nugas juga nih, gua sama Jinhyuk masuk dulu ya, dah!” Seungyoun segera menarik Jinhyuk masuk ke dalam rumah, meninggalkan Wooseok dan Seungwoo yang masih berdiri di depan pagar.

“Kerjain di kamar aja, yuk? Panas nih enakan dikamar pakai AC,” ujar Seungyoun saat masuk ke rumahnya bersama Jinhyuk.

“Orang rumah mana? Kok sepi.”

“Papa keluar kota, mama tempat tante malam kayaknya baru pulang.”

Jinhyuk mengangguk setelah mendapat jawaban dari Seungyoun, mereka pun masuk ke dalam kamar dan Jinhyuk langsung merebahkan dirinya ke kasur Seungyoun. Bau vanilla tercampur musk menggelitik indera penciuman Jinhyuk, membuatnya meresa rileks dan memejamkan matanya menikmati aroma ini, karena aroma ini begitu menggambarkan sosok Seungyoun.

“Aku mau ganti baju ke kamar ganti, kamu mau sekalian dibawain minum apa?”

“Apa aja yang dingin.”

Seungyoun pun keluar kamar, membiarkan Jinhyuk yang asik berbaring di kasurnya. Jinhyuk melihat sekeliling kamar pacarnya, ini pertama kalinya Jinhyuk memasuki kamar Seungyoun, selama ini ia hanya sampai di ruang tengah saja bersama mama Seungyoun, tentu saja.

Tak lama Seungyoun datang dengan baju yang lebih santai, kaos over size dan celana pendek rumahan membuat Seungyoun terlihat seperti tidak mengenakan celana. Ia membawa keripik kentang bersama jus jeruk kemasan untuk dirinya dan Jinhyuk. Jinhyuk yang melihat penampilan pacarnya hanya bisa mengerjapkan mata dan terdiam saat Seungyoun duduk dilantai kamarnya.

“Ngapain liat aku gitu? Nih minum dulu baru ntar kerjain tugas.”

Jinhyuk pun menuruti apa kata Seungyoun keduanya duduk di lantai, memakan cemilan sambil mengobrol perihal sekolah dan tugas mereka.

“Ini aku doang apa emang gerah sih?” Seungyoun mengibas-ngibaskan tangannya dan mengecek suhu AC dari remot control.

Jinhyuk berdeham sejenak kemudian meminum jusnya hingga habis, “iya panas nih buktinya jus aku cepat habis,” ujar Jinhyuk.

Seungyoun terkekeh, mereka pun mulai mengerjakan tugas hingga senja pun tiba Seungyoun menyandarkan kepalanya pada pundak Jinhyuk. “Ah- capek~” rengek Seungyoun manja membuat Jinhyuk terkekeh.

Jinhyuk mengelus pipi Seungyoun membuatnya menatap Jinhyuk, keduanya saling bertatapan hingga tak sadar wajah keduanya semakin mendekat dan bibir mereka pun menyatu. Ini bukanlah ciuman pertama mereka, karena Jinhyuk sudah mengambil ciuman pertama mereka saat 6 bulan hubungan keduanya.

Seungyoun hanyut dalam ciuman Jinhyuk bahkan ia sedikit menggeliat saat Jinhyuk mengelus pinggangnya, Jinhyuk pun menarik Seungyoun agar duduk di atas pangkuannya. Seungyoun melingkarkan kakinya pada pinggang Jinhyuk dan dengan mudahnya Jinhyuk langsung mengangkat tubuh Seungyoun untuk dibawa ke kasur.

Beralih ke rumah Seungwoo, kedua laki-laki yang baru saja menyelesaikan tugas mereka merebahkan tubuhnya di atas lantai yang beralaskan karpet. Melihat warna langit yang telah berubah menjadi oranye, Wooseok tiba-tiba beranjak dari posisinya.

“Woo gua buka jendela ya, mau liat sunset.”

Seungwoo hanya berdeham sebagai jawaban, dia masih menikmati waktu rebahannya.

“W-wow ...” Wooseok terperangah saat membuka jendela kamar Seungwoo dirinya melihat pemandangan Seungyoun dan Jinhyuk tengah bercumbu di kamarnya bahkan tangan Jinhyuk telah menyelinap masuk ke dalam baju Seungyoun dan ciuman tersebut turun ke leher. Walaupun jendela tertutup akan tetapi kacanya tembus pandang dan gorden kamar Seungyoun pun tidak ditutup, sehingga tampak jelas apa yang sedang tetangga Seungwoo itu lakukan.

Seungwoo yang heran mengapa Wooseok terdiam pun ikut melihat apa yang Wooseok perhatikan, seketika badan Seungwoo membeku, kepalanya pusing, tanpa sadar ia meremas tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.

Wooseok baru saja ingin memanggil Seungwoo akan tetapi ia langsung menggigit bibirnya canggung, “Woo ...” ucap Wooseok pelan.

“Pulang gih Seok udah mau malem, apa mau sekalian makan malam di sini? Kakak gua katanya tadi mau singgah antar makanan.”

“B-boleh deh, makan sini dulu gua juga sendirian dirumah.”

Wooseok dan Seungwoo pun langsung kembali ke tempat mereka masing-masing, Wooseok yang langsung mengambil ponselnya untuk memberitahu Byungchan, sedangan Seungwoo bergelut dengan pikirannya sendiri.

Jinhyuk bangsat!” batin Seungwoo kesal.

Malam hari pun tiba, Wooseok akhirnya pulang dari rumah Seungwoo begitu pula dengan Jinhyuk mereka semua bertemu di depan pagar.

“Oi Hyuk! Baru pulang?” sapa Wooseok padanya.

“Hahaha woi! Gimana lu masih berantem sama Byungchan?”

“Oh jelas tak bisa dibantah hahaha. Gua duluan ya, Woo pulang dulu.”

Begitu pula dengan Jinhyuk, ia mengelus kepala dan pipi Seungyoun kemudian berpamitan dengan Seungwoo. Seungyoun dan Seungwoo saling berpandangan, Seungwoo melihat ada bekas merah di leher Seungyoun dan rasanya hati Seungwoo begitu ngilu melihat itu.

“Jangan lupa tutupin leher, jangan sampai ketahuan mama.” Seungwoo langsung masuk ke dalam rumah, meninggalkan Seungyoun yang shock sambil memegang lehernya.

Seungwoo lihat semuanya?” batin Seungyoun kalut.


Semenjak saat itu Seungyoun merasa canggung untuk bertatap mata dengan Seungwoo, dirinya selalu menghindari Seungwoo membuat Seungwoo pun tak mau ambil pusing. Jujur saja ia masih marah, tapi tidak tahu marah dengan siapa. Rasanya ia ingin meninju wajah Jinhyuk saja karena merasa dikhianati oleh temannya. Laki-laki itu sudah berjanji akan selalu melindungi Seungyoun, tapi buktinya Jinhyuk malah mengingakri janjinya.

Pertandingan basket tinggal menghitung hari, baik Seungwoo maupun Jinhyuk semakin rajin untuk berlatih. Tapi kali ini Seungyoun sedikit heran karena Seungwoo pulang bersama Byungchan, mereka berboncengan satu motor memakai motor Seungwoo.

“SEUNGYOUN! APA KABAR?” teriak Byungchan heboh.

“Chan udah malem!” Tegur Seungwoo membuat Byungchan tertawa.

“Baik Chan! Kalian darimana?”

“Latihan,” jawab Seungwoo singkat.

“O-oh oke. Aku masuk dulu ya,” Seungyoun pun melambaikan tangannya dan masuk kedalam rumah.

Byungchan dan Seungwoo memandang Seungyoun yang sedikit menunduk masuk kedalam rumah, “Woo dia kenapa?” Tanya Byungchan.

“Udah ga usah dipikir, masuk sana lu kak Sunhwa udah nungguin.”

Byungchan pun berlari masuk ke dalam rumah Seungwoo yang sudah ia anggap seperti rumahnya sendiri, dapat Seungyoun dengar suara tawa Byungchan bersama kakak Seungwoo di rumah sebelah.

Sejak kapan mereka dekat?” batin Seungyoun sambil merebahkan diri disofa ruang tengah.


3 hari berlalu pertandingan basket antar sekolah pun dimulai, babak final berakhir dengan sekolah Seungwoo melawan sekolah Jinhyuk. Seperti biasa Byungchan dan Wooseok akan menjadi supporter paling depan, “Seungwoo bisa Woo!” Teriak Byungchan semangat.

Seungwoo mengepalkan tangannya keatas sebagai kode semangat, “SEUNGWOO! FIGHTING!” teriak Wooseok terdengar satu stadion membuat semua yang berada di sana menaruh perhatian kepada mereka dan tertawa geli. “Malu-maluin anjir!” Byungchan menampar punggung Wooseok.

Di sisi lain, tepatnya di wilayah sekolah lawan, Seungyoun bersama temannya juga menjadi supporter terutama Seungyoun yang tentu saja menyemangati pacarnya. Dirinya menatap nanar ke arah Byungchan dan Wooseok yang masih sama selalu terlihat antusias dan asik saat menonton pertandingan.

Tiba-tiba ia teringat saat mereka bertiga masih duduk di bangku SMP, kemana-mana selalu bersama, saling berbagi cerita. Sekarang Seungyoun merasa dirinya terlalu asik dengan dunianya sendiri, hingga melupakan temannya sendiri, ia pun merasa bersalah setelah menyadari dirinya mulai jauh dari teman-teman lamanya, bahkan Seungwoo sahabatnya sendiri. Bahkan tadi Wooseok sempat menegurnya tetapi ia hanya tersenyum biasa tidak heboh seperti dulu.

“Seungyoun kenapa? Tuh Jinhyuk lu udah mulai main!” Seungyoun terperanjat saat ditegur, dirinya memilih fokus kepada pertandingan mencoba untuk mengabaikan pikirannya.

“Eh Seok, aneh nggak sih dulu Seungwoo sama Jinhyuk satu tim sekarang rival?” Tanya Byungchan.

“Biasa aja, namanya hidup. Lu tadi ada negur Seungyoun, nggak?”

“Hah? Emang ada? Anjir nggak tau gue!”

“Kebiasaan! Tapi tadi gua tegur dia biasa aja sih, gua nggal tau ada apa ya tapi Seungyoun agak menjauh gitu, loh?”

“Ih iya dong! Pas gua pulang bareng Seungwoo ke rumahnya mau masak kue sama kak Sunhwa dia keliatan sedih dong ... kenapa coba?”

“Apa dia mulai sadar kali, ya?”

“Sadar apa?”

“Suka sama Seungwoo?”

Byungchan melebarkan matanya, baru saja ia ingin membuka suara tiba-tiba seluruh pendukung dari sekolah mereka berteriak 'YEAY MENANG!!!'. Obralan keduanya terputus, Byungchan dan Wooseok langsung bersorak dan saling berpelukan terlalu bahagia.

“SEUNGWOOYAAAA!!!” Teriak Wooseok kencang dari bangku penonton. Mendengar teriakan laki-laki kecil itu membuat Seungwoo menutup wajahnya malu, kemudian ia mengepalkan tangannya ingin memberikan tinjuan kepada Wooseok.

Beberapa pendukung turun memberikan selamat kepada masing-masing tim, Byungchan dan Wooseok saling berpelukan bersama Seungwoo. “Yeay! Yeay! Seungwoo kita hebat!” Byungchan terdengar ceria di dalam pelukan Seungwoo dan Wooseok.

Seungyoun melihat ketiganya hanya tersenyum getir, “kenapa? Liat apa?” Jinhyuk mengikuti arah pandang Seungyoun.

Tiba-tiba ia pun langsung menarik Seungyoun menuju tiga temannya, “asik bener jadi teletubies!” Tegur Jinhyuk.

“YO JINHYUK!” Wooseok langsung loncat memeluk laki-laki berbadan tinggi di atas rata-rata ini.

Jinhyuk tertawa mengacak rambut Wooseok dan melepaskan pelukannya, “seneng lu ketemu gua hah?” tatapan keduanya bertemu. Wooseok kira dengan berjalannya hubungan Jinhyuk dan Seungyoun akan membuat perasaannya menghilang, nyatanya jantung Wooseok masih tetap bedegup kencang setiap mendapat perlakuan manis yang tak terduga dari Jinhyuk.

Tak ingin larut terlalu lama, Wooseok menepuk dada Jinhyuk dan tertawa untuk mencairkan suasana, “oh jelas teman lama! Lu hebat Seok beda dua poin doang!”

“Kalau kagak Seungwoo three point sih bisa menang nih gua,” Jinhyuk menaik turunkan alisnya menggoda Seungwoo.

“Makanya fokus, Bro!” Seungwoo mengejek Jinhyuk membuat keduanya saling mengejek satu sama lain sebatas candaan.

Byungchan menyadari Seungyoun yang berdiri diam di samping Wooseok, ia pun menghampirinya, “Seungyoun sakit? Kok diem?” Tanya Byungchan.

Seungyoun menggelengkan kepalanya, “gue kangen sama kalian berdua, kalian nggak berubah ya, udah lama kita nggak pernah ngumpul lagi.”

“Aaaaa Seungyoun!” Wooseok langsung menarik Seungyoun dan Byungchan kedalam pelukannya, giliran mereka bertiga yang berpelukan bagaikan teletubies.

Seungwoo dan Jinhyuk pun ikut tersenyum melihat keduanya, “Seungyoun kangen sama lu Woo,” ucap Jinhyuk tiba-tiba.

“Oh ya, ‘kan, sebelahan?”

“Dia ngerasa lagi jauh aja sama anak-anak.”

“Oh gitu ... mungkin karena dia terlalu sibuk sama lu kali,” celetukan Seungwoo membuat Jinhyuk menatapanya datar, Seungwoo tak peduli dengan tatapan itu dan ia melanjutkan dengan sebuah pertanyaan, “lu bilang mau jagain Seungyoun, ‘kan?”

“Gua udah jagain dia kok, kenapa?” Jinhyuk menatap wajah serius Seungwoo.

“Lu ngelakuin hal kelewat batas Hyuk, I know....” Jinhyuk bungkam, ia menunduk merasa bersalah dengan Seungwoo.

“Gua tau nafsu tuh susah ditahan, tapi selagi lu bisa tetap jagain dia sampai akhir gua percayakan dia sama lu. Elu nggak seberengsek itu, ‘kan?”

Jinhyuk tersenyum tipis kepada Seungwoo, “percaya sama gua.”

Seungyoun bersama Wooseok dan Byungchan sedang menunggu Seungwoo dan Jinhyuk membilas diri setelah pertandingan, ketiganya kembali akrab lagi seperti saat SMP dulu. “Tapi Byungchan gue kepo, lu kok bisa deket sama Seungwoo, sampai beberapa kali ke rumahnya? Bukannya lu pernah bilang sama gue kalau Seungwoo tu serem?” Seungyoun menatap Byungchan, mengharapkan sebuah jawaban.

“Oh itu, gue ada bisnis sama kak Sunhwa. Kak Sunhwa, ‘kan, bisa bikin kue gitu, gue lagi seneng aja bikinnya buat dirumah sendirian atau nggak sama nyokap gitu. Kenapa? Lu mikir gue deket sama Seungwoo yang deket, ya?”

Seungyoun hanya tersenyum malu dan mengangguk, “emang kenapa kalau Seungwoo sama Byungchan deket, cemburu lu?” Tanya Wooseok.

“Dih? Ngapain juga cemburu, gue ada Jinhyuk kok. Aneh aja gitu masa temen gue sendiri deket sama sahabat gue tapi gue nggak dikasi tau.”

Gimana kalau lu tau kalau gue suka sama pacar lu sendiri, Youn?” batin Wooseok sambil menatap Seungyoun dalam diam. “Udah selesai tuh!” Wooseok melihat Seungwoo dan Jinhyuk yang terlihat lebih segar setelah mandi.

“Gue sama Wooseok pulang duluan ya Seungyoun, next time boleh lah kita nongkrong atau nggak ke rumah Seungwoo aja rame-rame!” Byungchan memberikan penawaran.

Seungyoun tersenyum senang menyetujui ide Byungchan, kemudian mereka pun berpisah setelah berpamitan satu sama lain.

“Pulang?” Tanya Jinhyuk, Seungyoun mengangguk dan melihat Seungwoo, “selamat ya! Gue belum ucapin selamat ke elu ehehehe.”

“Telat! Bayarin gua mie ayam pokoknya, ya?”

“Santai aja, ntar kita makan mie ayam. Yuk Hyuk pulang,” Seungyoun menarik Jinhyuk pergi terlebih dahulu.

Sedangkan Seungwoo memilih menghabiskan waktunya sendiri untuk mengelilingi kota terlebih dahulu dengan mengendarai vario hitam miliknya. Satu jam berlalu, Seungwoo akhirnya kembali kerumah tepat pukul 9 malam. Rumahnya ternyata kosong, keluarga Seungwoo sedang berada di rumah sang kakak untuk sekedar menghabiskan waktu akhir pekan.

Seungwoo masuk ke kamar, ia membuka jendela kamarnya untuk melihat bulan. Akan tetapi tak sengaja telinganya mendengar suara desahan dan rintihan dari rumah sebelah, bahkan kamar tersebut lampunya masih menyala, “lagi?” batin Seungwoo dan langsung menggelengkan kepalanya karena mendadak pusing. Dirinya pun langsung menutup jendela dan tidur mencoba tidak mau peduli dengan kegiatan pasangan di rumah sebelah.

Keesokan paginya di hari minggu yang cerah Seungwoo sudah mendengar teriakan Seungyoun membangunkan dirinya, “WOO AYO CEPET BANGUN KATANYA MAU MIE AYAM!?”

Seungwoo mendengus geli, “iye iye bangun nih, keluar dulu gua mau mandi,” ujar Seungwoo sesaat setelah menyibakan selimutnya.

Seungyoun pun langsung menunggu didapur sambil melihat ibu Seungwoo membuat cookies. “Tante tumben bikinnya banyak?” Tanya Seungyoun.

“Iya, kak Sunhwa mau keluar kota tempat mertuanya jadi nitip dibikinin ini. Ntar pulang jangan lupa bawa juga jatah kamu ya Seungyoun.”

“Siap tante!”

Tak lama Seungwoo pun keluar dari kamarnya dan sudah siap dengan kaos hitam serta celana selutut, terlihat santai dan tentu saja tampan. Seungyoun terdiam melihat Seungwoo, seketika pipinya terasa panas. Sudah lama ia tidak melihat Seungwoo yang benar-benar ia tatap seperti ini, sehingga ia baru menyadari jika Seungwoo tak kalah tampan jika dijadikan seorang pacar.

What the fuck!?” batin Seungyoun setelah sadar apa yang ia pikirkan.

“Woi Seungyoun! Ayo lah bengong lagi lu, mau kerasukan jin di sini?” Seungyoun terperanjat dan langsung memukul tangan Seungwoo kesal. “Tante Seungyoun sama Seungwoo pergi dulu!”

“Bu, aku pergi dulu ya ....”

“Iya hati-hati kalian!”

Keduanya pun pergi ke salah satu tempat yang menjadi langganan mereka makan mie ayam. Sesampainya di sana, Seungwoo mendekati sang penjual, “misi pak ingat saya, nggak?” Sapa Seungwoo pada sang penjual mie ayam.

“Walah Seungwoo! Seungyoun juga! Lama banget kalian enggak ke sini?”

“Hehehehe iya pak, sibuk saya latihan mulu,” jawab Seungwoo sedangkan Seungyoun sudah duduk dikursinya sambil tersenyum malu.

“Seungwoo jumbo pakai bakso, Seungyoun mau biasa apa jumbo?”

“Biasa bakso!” Jawab Seungyoun.

Keduanya pun menunggu pesanan mereka dibuat, mereka duduk berhadapan ditemani dengan dua gelas es teh.

“Jinhyuk nggak marah?” tanya Seungwoo.

“Nggak, udah izin semalam sama dia.”

Seungwoo berdeham mengingat kejadian semalam yang tak sengaja ia dengar, “lu nggak nyesel apa udah terlalu sering sama Jinhyuk? I mean itu hak lu sama dia, ditambah rumah lu sering sepi tapi gua cuma nggak mau aja lu nyesel karena udah ngelepas itu begitu aja ....”

“Seungwoo ....”

“Seungyoun gua tau lu paham apa yang gua maksud.”

Seungyoun menunduk memainkan sedotan es teh miliknya, “lu kecewa sama gue, ya?”

Seungwoo menghela napas pelan, “kecewa pasti gua udah jagain elu dari kecil tapi lu sama Jinhyuk ya ... tapi gua nggak bisa larang karena itu udah urusan kalian. Tapi gua mohon aja tolong main hati-hati, kita ga tau resiko ke depan gimana dan kalau Jinhyuk ninggalin lu gitu aja, siap-siap aja dia hadapan sama gua. Pegang omongan gua.”

Seungyoun tersenyum getir dan tak lama pesanan mereka pun datang, Seungwoo dan Seungyoun menikmati mie ayam mereka sesekali membicarakan tentang sekolah dan tugas.

“Asik ada yang balikan nih!” Datang suara yang sangat mereka kenal siapa lagi jika bukan Wooseok tapi kali ini ia tidak bersama Byungchan.

“Apa lu!? Mana soulmate lu kok ga ada, malah pergi sama yang lain?” Tanya Seungyoun.

“Dih soulmate apaan! Pergi dia ntah ke mana nggak tau, sombong banget gua ditinggalin.”

“Sama siapa lu?” Seungwoo melirik laki-laki yang ada disamping Wooseok.

“Oh kenalin Eunsang sepupu gua, ponakan mama. Biasa hari minggu gabut jadi gua ajakin makan kesini.”

“Oalah kirain ada yang baru hehehe,” Seungyoun terkekeh. “Join sini yuk, Seok?” tawar Seungyoun.

“Nggak usah, gua pisah aja. Take your time, guys!” Wooseok dan Eunsang memilih duduk agak jauh dari bangku mereka.

“Gua heran sepupu Wooseok pada cakep, apalagi yang namanya Krystal,” celetuk Seungwoo.

“Ya emang udah bibitnya, kenapa nggak lu deketin aja tuh kak Krys?”

“Dih? Udah ada pacar kali.”

“Lu kapan punya pacarnya, Woo?” tanya Seungyoun tiba-tiba.

Seungwoo terdiam, sudut bibirnya naik membentuk sebuah seringai tipis. “Tunggu waktunya datang dan kalau memang berjodoh,” jawabnya lembut sambil menatap mata Seungyoun.

Merasa tatapan itu begitu tulus ke arahnya, Seungyoun menjadi gugup dan berdeham, “anjir gaya lu, Woo!” Seungyoun menepuk lengan Seungwoo sembari tertawa geli untuk menghilangkan rasa gugupnya. “Udahan yuk, kta pulang aja makin lama di sini, makin aneh omongan lu.”

Keduanya beranjak dari bangku yang mereka duduki, Seungyoun yang pertama mendekati penjual mie ayam berniat untuk membayar makanan mereka, “berapa pak?” Tanya Seungyoun akan tetapi Seungwoo sudah mengeluarkan uangnya terlebih dahulu, “sekalian sama dua orang yang di sana pak,” Seungwoo melihat ke arah Wooseok dan Eunsang.

“Lah kok jadi elu?” Tanya Seungyoun.

“Ya gapapa lah, canda juga gua minta traktir. Kalau pun gua minta beliin barang ke elu gua minta PS lah yakali kagak?”

“Ogah! Enak ke elu, miskin di gue!”

Seungwoo tertawa dan mengambil kembaliannya, “makasih pak, Wooseok duluan ya udah gua bayarin!” Ujar Seungwoo.

“Eh? Woi repot-repot lu makasih Woo!” Sahut Wooseok.

“Makasih ya, Kak!” Eunsang pun tersenyum senang.

Seungwoo dan Seungyoun pun pulang terlebih dahulu, saat diperjalanan Seungwoo singgah sebentar ke salah satu toko. “Tunggu bentar gua mau beli barang,” Seungwoo langsung masuk ke dalam toko meninggalkan Seungyoun yang memilih menunggu di atas motor. Tak lama ia pun kembali dengan membawa kantong berukuran sedang, “nih buat cemil di rumah, sekalian nanti bawa cookies ibu ya,” Seungwoo memberikannya pada Seungyoun saat dilihat isinya adalah beberapa kotak teh botol, oreo dan yupi.

Seungyoun tersenyum senang dan reflek memeluk Seungwoo saat ia baru saja menyalakan mesin motor, “makasih banyak! Gue seneng lu masih ingat kesukaan gue.”

Seungwoo terdiam beberapa detik, terlalu terkejut mendapatkan pelukan mendadak seperti ini, sudah lama ia tak merasakan tubuh hangan Seungyoun yang memeluk dirinya. Seungwoo pun tersenyum sambil mengelus tangan Seungyoun, “ya masih lah lu kan sahabat kecil gua.” Mendengar kata sahabat Seungyoun merasakan hatinya sedikit sakit dan ada yang mengganjal tapi ia tidak yakin perasaan apa itu?


Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa sudah kenaikan kelas 12 di mana semua murid SMA dipaksa untuk menyusun kehidupan masa depan mereka. Begitu pula dengan Seungyoun, Byungchan dan Wooseok ketiganya sedang bersama di kamar Seungyoun, bermain menghilangkan penat setelah belajar extra untuk persiapan ujian.

“Kapan sih kita Try Out?” Tanya Byungchan.

“Minggu depan bego, lu sih pacaran mulu!”

“Ga ada ya njir! Iri bilang!”

“Kok lu ada pacar gue selalu nggak tau sih?” Seungyoun menendang kaki Byungchan yang sedang berbaring di lantai kamarnya.

Byungchan terkekeh geli dan duduk menatap Seungyoun, “sayangku Seungyoun bukannya gue nggak mau kasi tau, masalahnya temen lu ini!” Byungchan menunjuk Wooseok kesal, “kepo aja urusan hp gue!”

“Yeu! Salah sendiri lagi chat si Sejin malah ga dikeluarin, gua ada mata buat ngeliat!” Wooseok melempar sebuah kotak berukuran kecil dengan warna biru secara acak dari lantai Seungyoun.

Byungchan baru saja ingin mengumpat tapi ia terkejut melihat ternyata itu adalah kotak kondom, “SEUNGYOUN LU NYETOK!?” Byungchan melebarkan matanya sambil menunjukan kondom dihadapan Seungyoun.

“WOOSEOK KOK LU USIL!?” Seungyoun berteriak kesal.

“USIL APA ANJIR!? NOH DI NYECER DI LANTAI, KETAHUAN NYOKAP LU MAMPUS!” Wooseok berteriak lebih kesal.

Seungyoun langsung merebut kotak kondom tersebut dan dilemparnya kebawah tempat tidur, “puas lu semua hah!?” Wooseok dan Byungchan langsung terbahak hingga perut keduanya sakit, “bego main rapi dikit kek!” Wooseok melempar bantal ke wajah Seungyoun.

“Ya gua lupa kemaren main sama Jinhyuk.”

“Bisa-bisanya udah mau ujian juga lu berdua,” ucap Byungchan.

“Ya bisa lah, makanya jangan LDR!” Wooseok menoyor kepala Byungchan.

“Halah! Lu aja jomblo!” Byungchan mendorong Wooseok kesal.

Seungyoun pun jadi ikut duduk dan menarik tangan Byungchan serta Wooseok untuk menatapnya, “eh ini jujur gue beneran mau nanya, kalian seenggak ada perasaan itu emang, ya? Sampe Wooseok tuh tau lu gimana, bahkan dia ngatur-ngatur lu, emang lu ga baper, Chan?” Seungyoun terlihat penasaran.

Dua sahabat Seungyoun ini saling bertatapan, Byungchan tersenyum tipis dan mengangguk kepada Wooseok, “mending lu ngomong sekarang deh, Seok,” ujar Byungchan.

“Hah? Ngomong apa? Kalian ada rahasia?” Seungyoun clueless dengan apa yang terjadi.

Wooseok mengatur napas terlebih dahulu untuk menguatkan dirinya, ia berdeham sebelum berbicara, “jadi Youn, kenapa gua sama Byungchan nggak pernah baper. Pertama karena kita memang saling bertolak belakang, Byungchan nggak suka tipe kayak gua, begitu juga gua. Kita benar-benar ada batas satu sama lain. Terus yang kedua …,” Wooseok melirik Byungchan ragu.

“Apa yang kedua?” Seungyoun terlihat serius menanti ucapan selanjutnya.

“Wooseok suka sama Jinhyuk,” ujar Byungchan.

“Lu suka Jinhyuk!?” Seungyoun terkejut. Ia melepaskan genggaman tangannya pada kedua sahabatnya. “Sejak kapan?” tanya Seungyoun masih tak percaya.

“Sejak pertama kali kita ketemu pas SMP. Lu ingat kita ketemu di jalan sama Seungwoo dan Jinhyuk? Gua kira, saat itu gua hanya sebatas suka dan naskir biasa aja sama pacar lu. Ternyata gua salah, makin lama gua malah makin suka sama Jinhyuk, gua sadar gua salah udah suka sama pacar temen gua sendiri.”

“Seok …, selama itu?”

“Iya Youn, selama itu.”

“Bahkan sampai sekarang?”

“Iya sampai sekarang. Gua kira perasaan gua udah hilang, ternyata masih ada, youn. Maaf-“

BRUK

Seungyoun memeluk Wooseok erat, dapat ia dengar isakan tangis dari Seungyoun. Hal itu sontak membuat Byungchan dan Wooseok panik. “Eh lu kenapa!? Lu marah sama gua suka pacar lu? Lu kesal ya sampai nangis? Ya ampun maafin gua, Youn!” Wooseok mengusap dan menepuk punggu Seungyoun.

BUKAN BOODH! GUA KESAL KENAPA KALIAN NYIMPAN RAHASIA INI DARI GUA SEKARANG GUA NGERASA BERSALAH UDAH PACARAN SAMA COWOK YANG DITAKSIR SAHABAT GUA SENDIRI DAN UDAH SELAMA INI HUWAAAA!!” Tangisan Seungyoun semakin kencang. Baik telinga Byunghcan, maupun milik Wooseok sama-sama terasa ngilu mendengar teriakan tersebut.

“Astaga! Woi udah lah jangan nangis dih!” Byungchan mengacak rambut Seungyoun. “Lagian udah gapapa kali, Wooseok sadar, ya kita berdua paham. Gimana pun emang Jinhyuk udah suka sama lu kali, Youn. Jadi, nggak bisa maksa perasaan orang,” Byungchan memberikan penjelasan.

“Jinhyuk hiks tau lu suka sama dia?” mata basah dan pipi merah itu menatap Wooseok.

Hal itu membuat Wooseok gemas mengusap air mata sahabatnya, “tau, bahkan udah lama dari SMP. Gua emang confess duluan supaya semuanya clear dan dia ngaku dia lebih suka dan memilih lu, Youn. Gua gapapa, gua ikhlas dan gua malah dukung Jinhyuk sama lu saat tau dia sungguh-sungguh sama lu, jadi jangan merasa bersalah lagi, ya? Semuanya udah terjadi, sekarang lu benar-benar ya jalani hubungan sama Jinhyuk, apalagi udah sejauh ini permainan kalian.”

Semburat merah muncul di pipi berisi Seungyoun, Byungchan yang pertama kali menyadarinya menekan kedua pipi itu dengan satu tangannya. “Dih cengeng! Udah urusan hati Wooseok biar dia sendiri yang urus, jangan mikir apa-apa. Perasaan nggak ada yang bisa nahan sama siapa dia suka,” Byungchan melepaskan tangannya dan menepuk kepala Seungyoun.

Ketiga laki-laki itu saling bertatapan, “kalian kenapa sebaik ini sama gua sih? Sumpah deh gua merasa bersalah banget udah-“

“Sekali lagi bilang merasa bersalah gua tampol, ya?” Wooseok mengangkat tangannya, membuat Seungyoun segan dan kembali memeluk Wooseok.

“Makasih banyak ya Wooseok, makasih udah jadi sahabat terbaik gua.”

“Kita semua di sini selalu dukung apapun itu yang terbaik untuk sahabatnya, Youn,” Wooseok membalas pelukannya dan Byungchan ikut memeluk kedua laki-laki itu.


Ujian sudah di depan mata, Seungyoun menghela napas berat sedang bersiap-siap untuk menjalani ujian hari pertama. Jujur saja rasanya sedikit gugup karena ini adalah perjuangan terakhirnya menjadi seorang pelajar, Seungyoun pun keluar dari halaman rumahnya, tidak ada Jinhyuk hari ini Seungyoun yang memintanya jangan menjemput karena akan jauh sedangkan selama ujian mereka akan masuk lebih awal.

“Nggak ada Jinhyuk?” Tanya Seungwoo baru saja mengeluarkan motornya.

“Nggak gue suruh jemput.”

“Yaudah bareng gua aja, searah juga sekolah lu sama gua,” Seungwoo menyalakan mesin motornya dan naik terlebih dahulu.

Seungyoun tampak berpikir sebentar kemudian naik ke motor Seungwoo, “ngebut ya, Pak!”

“Baik kak, sesuai aplikasi ya?”

Seungwoo langsung menjalankan motornya menuju sekolah Seungyoun terlebih dahulu, ia hanya mengantar sampai depan gerbang sekolah akan tetapi seluruh siswa yang melihat mereka sudah sibuk membicarakannya. Seungyoun dan Seungwoo memilih tak peduli, “makasih Woo! Good luck ya ujiannya!”

“Seungyoun tunggu!” Seungwoo mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, Seungyoun menunggu apa yang akan Seungwoo kasi kepada dirinya, “nih dimakan ya sebelum ujian biar ga gugup, gua yakin lu bisa,” Seungwoo memberikan sugus rasa stroberi kepada Seungyoun.

Seungyoun menyempatkan diri menggenggan tangan Seungwoo sambil tersenyum, kemudian ia langsung berlari menuju ruang ujiannya. Sesampainya di ruang ujian kursi Jinhyuk dan Seungyoun tidak begitu jauh, Jinhyuk berada didepan Seungyoun, “sama Seungwoo ya tadi?” Tanya Jinhyuk tiba-tiba.

“Kok tau?”

Jinhyuk menunjuk gerombolan perempuan di sudut ruangan yang asik bergosip dengan dagunya, Seungyoun mendengus lelah dan memakan sugusnya, “mau ga, Yang?” Tanya Seungyoun memberikan sugus kepada Jinhyuk dan Jinhyuk pun memakannya.

“Gugup banget?” Jinhyuk menggenggam tangan Seungyoun dan memijatnya pelan, “semalam tidur jam berapa?”

“Jam 2 malam, nggak lama kita habis video call, kerjain doal dikit langsung tepar aku.”

“Kamu kan udah kerja keras, jangan gugup ya? Yakin bisa ...” Jinhyuk mengelus kepala Seungyoun.

“Semangat kamu!” Seungyoun tersenyum cerah.


Perjuangan mereka selama 4 hari pun selesai dan tinggal menunggu pengumuman hasil ujian mereka, sembari menunggu mereka juga sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi. “Jadi lu mau masuk mana?” Seungyoun bertanya pada Byungchan yang sibuk membaca komik milik Wooseok. Mereka sedang berkumpul di rumah Wooseok menghabiskan waktu setelah ujian.

“Pastinya PTN, nggak tau di sini atau di luar,” jawab Byungchan santai.

“Bilang aja mau ke Jogja biar ketemu pacar lu ga usah malu-malu lu!” Wooseok datang sambil membawa sekotak pizza untuk mereka.

“Hehehehe. Lu jadi ke Jogja juga, Seok?

“Jadi, gua udah persiapan banget ini mah tapi kalau pun nggak lolos PTN ya PTS.”

Seungyoun terkekeh memakan pizzanya, “Seok, lu yakin nggak suka sama Byungchan? Kok lu malah sama-sama ke Jogja bareng Buyung?” tanyanya.

“Dih dia nih yang ikutan gua!” Jawab Wooseok.

“Gue ikut saudara gue, ya!”

Wooseok mengejeknya dengan menjulurkan lidah membuat Byungchan kesal dan mencubit paha Wooseok. “Argh sakit!” Wooseok menampar tangan Byungchan, kemudian menatap Seungyoun, “lu sama Jinhyuk gimana?”

“Sampai sekarang gue ga tau dia mau masuk ke mana, itu anak les mulu seminggu les empat kali, belum lagi tugas dari lesnya. Ya gue sih berharap yang baik aja buat dia. Kalau gue udah fix banget netap di sini, masuk ke gudangnya anak teknik yang masuk susah keluar juga susah.”

Byungchan dan Wooseok mengangguk paham, tiba-tiba Byungchan mendekatkan wajahnya pada Seungyoun. “Lu sadar ga sih hubungan lu sama Jinhyuk tu datar aja? Maksud gue ga berantem gede, santai aja, paling ngewe, ya ga Seok?” Byungchan menyenggol lengan Wooseok.

“Iya sih, biasa-biasa aja kalian. Ga bosen?” Tanya Wooseok

“Engga lah! Yakali cuma gegara gitu lalu bosan? Udah biasa aja sih santai, nggak mau dibawa terlalu serius.”

“Gue harap kedepannya kalian baik-baik aja, bukannya gimana-mana nih Youn lu sama dia tuh udah ngewe, gue cuma ga mau aja lu menyesal di kemudian hari.” Perkataan Byungchan membuat Seungyoun termenung, selama ini ia hanya melakukan saja tanpa ada rasa menyesal, selama itu dengan Jinhyuk Seungyoun senang-senang saja.

Seungyoun baru saja pulang dari rumah Wooseok, hari masih sore dan Seungwoo baru saja mengeluarkan motor ingin pergi.

“Darimana?” Tanya Seungwoo pada Seungyoun yang baru saja ingin membuka pagar.

“Rumah Wooseok, mau mana lu?”

“Ikut ngga, gua mau ke danau nyobain cano.”

“Kan gue ga bisa berenang!?”

“Ada gua! Kuy lah mumpung masih sore keburu malam.”

“Lagian lu kenapa tumben mau canoan?”

“Gabut hehehehehe,” Seungwoo melemparkan helm lainnya pada Seungyoun dan langsung saja mereka pergi. Sesampainya di cano cukup ramai orang yang bermain, bahkan ada perahu spit supaya mengelilingi danau lebih cepat.

“Jadi lu ikut canoan, ‘kan?” Tanya Seungwoo.

“Kan nggak bisa berenang!”

“Ada pelampung santai aja lah,” Seungwoo pun menyewa dua perahu cano tak lupa satu pelampung untuk Seungyoun.

Setelah mendapatkan instruksi, keduanya pun mulai bermain cano ke tengah danau. Suasana begitu sejuk karena berawan ditambah matahari yang mulai tenggelam membuat langit berwarna oren, Seungyoun fokus melihat langit sedangkan Seungwoo sudah tersenyum sedari tadi memandang langit.

Merasa ada yang memperhatikannya Seungyoun pun menoleh ke arah Seungwoo, “liat apa?” Tanya Seungyoun.

“Cantik,” ujar Seungwoo pelan membuat Seungyoun merona, “langitnya, langitnya cantik,” Seungwoo melihat ke arah langit.

Seungyoun tersenyum tipis dan kembali melihat langit, kedua terdiam ditengah danau menikmati suasan tersebut. Tiba-tiba perahu spit melaju kencang melewati cano mereka membuat gelombang besar menerpa cano keduanya, karena Seungyoun panik cano yang ia naiki bergoyang dan membuatnya jatuh dari cano.

“Seungwoo! Tolong!” Seungyoun panik didalam air sedangkan Seungwoo terkekeh geli.

“Seungyoun kan pakai pelampung,” Seungwoo dengan santai mengatakan itu membuat Seungyoun malu sendiri.

“I-ini gimana cara naiknya?” Tanya Seungyoun bingung.

BYUR

Seungwoo ikut masuk ke dalam air dan berenang mendekati Seungyoun, ia memeluk Seungyoun dari belakang membuat sahabat kecilnya ini terkejut dan jantungnya berdegup sangat kencang.

“Ayo naik aku bantuin,” tanpa sadar Seungwoo kembali berbicara lembut seperti dulu, ia pun sedikit mengangkat badan Seungyoun dan langsung saja Seungyoun kembali lagi masuk ke dalam cano miliknya.

“Seungwoo naik cepet udah mau malem jangan dalam air lu masuk angin tau rasa!” Seungyoun mengelus pipi Seungwoo yang masih berenang disamping canonya.

“Seungyoun ...” panggil Seungwoo lembut.

“Hm?”

“Apapun yang terjadi, selalu ingat ada gua disamping lu ya?”

Seungyoun mengerjapkan matanya, dirinya sedikit bingung dengan ucapan Seungwoo dan hanya bisa diam melihat sahabatnya itu menaiki canonya kembali.

“Yuk pulang keburu malem.”

Keduanya pun menepi ke daratan dan langsung pulang dengan basah kuyup, namun sebelum menaiki motor Seungwoo mengeluarkan jaket denimnya yang berada di jok motor, “nih pakai biar ngga kedinginan,” Seungwoo memakaikan jaket itu kepada Seungyoun.

Seungyoun tersenyum dan memeluk dirinya sendiri saat jaket itu menyelimuti badannya, “makasih Seungwoo!” Seungyoun mengendus jaket Seungwoo, dan tercium wangi khas Seungwoo yang selalu menjadi favoritnya.

“Ngapain meluk diri sendiri dih? Mending meluk gua,” ternyata Seungwoo sudah menaiki motornya.

Seungyoun tertawa canggung dan langsung meloncat menaiki motor Seungwoo, ia pun memeluk Seungwoo erat hingga Seungwoo tak bisa bernapas, “Youn kira-kira woi meluk gua nya!”

“Hahahaha tadi lu bilang meluk diri lu?”

“Ya nggak erat gini juga!” Keduanya tertawa satu sama lain dan langsung pulang, sesampainya di rumah Seungwoo dan Seungyoun masih betah dengan posisinya di motor tepat didepan rumah Seungyoun.

“Seungwoo ...” Seungyoun mengeratkan pelukannya pada Seungwoo.

“Hm?” Seungwoo mengelus lengan Seungyoun yang berada pada pinggangnya. Rasa dingin yang sedari tadi menyelimuti badan keduanya langsung luntur dan tergantikan dengan rasa hangat.

“Makasih buat hari ini, makasih sampai saat ini selalu ada buat gue, jadi pelindung gue bahkan disetiap apapun selalu lu yang ngerti gue. Makasih buat lu yang mau gue ajak temenan saat TK, makasih selalu jadi pilar buat gue dan kasi tau gue bagaimana baik dan buruknya, makasih juga percayai gue sama Jinhyuk. I'm so lucky to have you in this world, in this universe. You're the one and only person who can make me to be myself no matter what happened.” Seungwoo terdiam, perkataan Seungyoun membuat jantungnya berdegup kencang sehingga ia tidak mampu berkata-kata.

Cup~

Seungyoun mengecup pundak Seungwoo dan turun dari motor sahabatnya, keduanya saling bertatapan satu sama lain. Tangan Seungwoo perlahan naik untuk mengelus pipi Seungyoun, ia pun tersenyum lembut pada Seungyoun, “everything I do is only for you, because you are so special to me,” Seungwoo mengecup kepala Seungyoun dan mengelus pipi serta pundak Seungyoun dengan tangannya yang lain.

“Jangan lupa mandi air hangat, lu bawa motor baju basah gitu ntar masuk angin.”

“Iye iye bawel, dah sana!”

Seungyoun berlari kecil memasuki rumahnya, sedangkan Seungwoo masih setia diposisinya, tersenyum layaknya orang bodoh sembari mengelus bibirnya yang secara impulsif mengecup kepala sahabatnya. Selama mereka bersahabat Seungwoo tak pernah sedikit pun mengecup Seungyoun, entah apa yang baru saja ia lakukan dan ketika melihat reaksi Seungyoun tidak ada wajah kesal atau pun marah Seungwoo pun merasa begitu bahagia.


Pesta perpisahan tentu saja hal yang paling ditunggu-tunggu saat duduk dibangku SMA karena akhirnya dapat merasakan selangkah menuju kedewasaan. Seungyoun sudah sibuk menyiapkan dress code berwarna biru, pilihannya jatuh kepada setelan jas berwarna biru laut dan kemeja putih serta sepatu converse warna senada dengan kemejanya dan rambut yang ia tata ke atas menampakan jidatnya. Tak lupa ia menyemprotkan parfum pada ceruk lehernya, menjadi sentuhan akhir Seungyoun untuk pergi ke pesta.

“Mama, Seungyoun pergi dulu!”

“Jinhyuk udah datang?”

“Bentar lagi!”

Baru saja Seungyoun membuka pintu ia dikejutkan dengan Seungwoo yang berdiri di sana hendak memencet bel, sahabatnya terlihat membawa sepiring cake sepertinya buatan sang ibu.

“Wow- cantik ...” ucap Seungwoo tanpa sadar karena begitu terpesona. Wajah yang dipoles makeup tipis itu pun merona, Seungyoun dengan malu memukul dada Seungwoo karena gugup dipuji cantik oleh sahabatnya.

“Bohong ya lu!?”

“Engga lah! Fix sih Jinhyuk makin sayang.” Keduanya terkekeh hingga Jinhyuk pun datang dengan brionya dan memencet klakson sebagai kode, “Woo gua pergi dulu ya!” Seungyoun menepuk pundak Seungwoo dan pergi meninggalkan Seungwoo di depan pintu.

Have fun!”

Seungyoun langsung masuk ke dalam mobil Jinhyuk, “Woo gua bawa Seungyoun nya bentar ya?” Jinhyuk meminta izin.

“Jangan lupa bawa pulang dengan selamat ya!”

Jinhyuk mengangkat jempolnya dan langsung pergi saat melihat jam 30 menit lagi acara akan dimulai. Sesampainya di aula sekolah, suasana pesta cukup meriah, alunan musik akustik memenuhi gedung aula, gedung yang semula terlihat membosankan telah diubah dengan dekorasi yang dominan berwarna biru tua dan putih.

Jinhyuk merangkul pinggang Seungyoun, membawanya kesana kemari, mengobrol bersama teman mereka tak lupa keduanya makan berdua menikmati malam terakhir sebagai siswa SMA. Sudah memasuki penghujung acara, saatnya foto sebagai kenang-kenangan.

“Seluruh angkatan dipersilahkan mengambil posisi untuk foto bersama!” Ujar pembawa acara.

Semuanya berkumpul, Jinhyuk memeluk Seungyoun dari samping tak memperdulikan yang lain, toh banyak juga yang berpasangan seperti mereka. Jinhyuk meletakan dagunya pada kepala Seungyoun, sedangkan Seungyoun memeluk erat pinggang Jinhyuk keduanya tersenyum cerah saat di foto.

Selesai acara Jinhyuk dan Seungyoun memilih untuk menikmati momen terakhir mereka di SMA dengan menghabiskan waktu di rooftop sekolah sambil memandang langit yang cerah penuh akan kerlap kerlip bintang. Jinhyuk merangkul Seungyoun, mendekap erat pacarnya karena udara yang semakin dingin, “selamat ya udah selesai berjuang di bangku SMA,” Jinhyuk mengecup kepala Seungyoun.

Seungyoun mendongak dan mengecup bibir Jinhyuk sekilas, “selamat juga kamu sayang!”

“Jadinya kamu dimana? Masih tetap mau masuk Teknik?” Tanya Jinhyuk dan dibalas anggukan oleh Seungyoun.

“Kamu udah kepikiran mau di mana?” Tanya Seungyoun.

Jinhyuk terdiam, ia menatap lurus lampu-lampu pemandangan kota malam dan tanpa sadar menghela napas berat. “Seungyoun aku tau ini berat, tapi ... hubungan kita udahan sampai disini aja, ya?”

Bagai tersambar petir Seungyoun shock bukan main mendengar perkataan Jinhyuk, ia pun mendorong pacarnya menjauh dan menatap Jinhyuk terluka meminta penjelasan.

“Kamu mabuk!? Kita cuma bahas kuliah kenapa kamu tiba-tiba bahas putus!? JELASIN JINHYUK!”

“Aku keterima di Jogja jalur undangan, orang tua aku suruh ambil ke sana daripada aku harus tes lagi di sini.”

“Tapi kenapa harus putus jalan keluarnya Jinhyuk!?” Seungyoun mengepalkan tangannya kesal.

“AKU GA BISA HUBUNGAN JARAK JAUH SEUNGYOUN! BAYANGINNYA AJA AKU UDAH GILA! AKU GA BISA JAUH-JAUH DARI KAMU! AKU GA MAU SAKIT NAHAN RINDU AKU DAN MALAH NGERUSAK KULIAH AKU!”

“BAHKAN KAMU AJA BELUM COBA DAN CARI JALAN KELUARNYA MALAH NGOMONG GINI!? INI HUBUNGAN ANTARA DUA ORANG JINHYUK BUKAN KAMU AJA, MIKIRIN DIRI KAMU AJA! APA KAMU ADA SEDIKIT PUN MIKIR AKU YANG TIBA-TIBA DAN KABAR GINI!?”

“INI DEMI KITA! DEMI AKU DAN KAMU BIAR ENGGA SAKIT BUAT NAHAN RINDU! APA ARTINYA HUBUNGAN KALAU JARAK JAUH SEUNGYOUN!?”

“BULLSHIT! INI CUMA DEMI EGO LU SEMATA DOANG! SETELAH SEMUA LU AMBIL DARI GUE, LU SIBUK SENDIRI, GUE BERUSAHA SABAR KARENA MIKIR LU MAU FOKUS MASUK KULIAH TAPI YANG LU KASI KE GUE DARI HASIL NUNGGU GUE CUMA INI HAH!? LU ORANG TEREGOIS YANG PERNAH GUE KENAL SELAMA INI, GUE KECEWA SAMA LU JINHYUK! BISA-BISA LU ANGGAP HUBUNGAN KITA CUMA GINI DOANG!? INI BUKAN CANDAAN HYUK!”

Tangan Seungyoun gemeteran, air matanya sudah tak dapat terbendung lagi. Jinhyuk ingin menghampiri Seungyoun akan tetapi Seungyoun mundur memberi jarak antara keduanya.

“LU SENDIRI YANG NYERAHIN DIRI LU KE GUA! TERUS SALAH GUA UDAH AMBIL SEMUANYA DARI LU!? SALAH GUA SEKARANG GUA MINTA KITA UDAHAN DEMI KITA JUGA DAN LU MALAH NYALAHIN GUA!? BILANG GUA EGOIS!? JANGAN JADIIN APA YANG UDAH LU KASI KE GUA JADI SENJATA LU BUAT GUA SUPAYA STAY SAMA LU!”

BUGH

Telak Seungyoun meninju dengan penuh emosi rahang tajam Jinhyuk. “Jinhyuk ... selain egois ternyata lu juga lebih brengsek dan ga ada otaknya. Gue ga pernah jadiin tubuh gue buat lu stay sama gue, tapi kalau memang lu cowok yang bertanggung jawab harusnya lu nggak ambil keputusan sepihak kaya gini hanya demi menuhin ego lu doang! INI HUBUNGAN JINHYUK BUKAN MAIN DRAMA YANG SEENAKNYA AJA LU PUTUSIN DAN TULIS SENDIRI CERITANYA! APA GUNA GUA JADI PACAR LU SELAMA INI KALAU GUE CUMA LU CAMPAKIN HANYA KARENA GA BISA HUBUNGAN JARAK JAUH!? JINHYUK TOLOL! GUE NYESEL PERNAH NARUH HARAPAN BAHAGIA SAMA LU ANJING!”

Terakhir Seungyoun kembali meninju wajah Jinhyuk hingga melukai sudut bibirnya, Seungyoun pun langsung pergi dari hadapan Jinhyuk, ia berlari sambil tersedu-sedu merasa hancur dengan kebodohan Jinhyuk. Sepanjang jalan Seungyoun hanya bisa menangis, tak memperdulikan orang-orang menatapnya heran. Angin malam menerpa kulit Seungyoun membuatnya menggigil, ia berjalan dari halte menuju rumahnya sambil menangis dan memeluk dirinya sendiri.

“Seungwoo belum buang sampah, Bu!” Teriak Sunhwa dari arah dapur

“Seungwoo! Ngeyel ya sekarang!?” Ibunya yang sedang menjahit pun buka suara.

“Iya Bu iya sabar ini di ambil sampahnya!” Seungwoo keluar dari kamarnya menuju dapur, ia pun menyempatkan diri untuk melirik sinis kakaknya yang sedang mengejek dirinya, “makanya jangan ngegame mulu di kamar.”

“Gua belajar, ya!”

“Seungwoo cepat!” Teriak sang ibu membuat Seungwoo buru-buru membawa dua kantong sampah berukuran besar untuk dibawa ke tong sampah umum yang terletak di depan rumahnya.

Setelah selesai membuang sampah Seungwoo melihat jalan sekitar rumah mereka yang sepi, Seungwoo menatap rumah Seungyoun yang juga tampak sepi. Tiba-tiba perasaannya menjadi tak nyaman, Seungwoo memikirkan Seungyoun takut ada hal yang terjadi pada sahabatnya tersebut.

Saat Seungwoo baru saja ingin menyebrang ia mendengar ada suara isak tangis dari arah barat, dilihatnya sumber suara itu dan matanya melebar ternyata Seungyoun berjalan dengan kemeja yang penuh peluh dan terlihat kusut, jas yang ia kenakan tadi sengaja ia biarkan terseret di jalan. Seungwoo langsung berlari menghampiri Seungyoun, tanpa bertanya apa yang terjadi Seungwoo langsung memeluk erat Seungyoun. Ia mengelus kepala sahabatnya dan mendekapnya di dada, Seungwoo pun memendamkan wajahnya pada rambut Seungyoun yang sudah tak tertata lagi seperti awal Seungwoo melihatnya.

“SEUNGWOO HUAAAAAA!” Seungyoun menangis histeris dipelukan Seungwoo, “SAKIT! GUE GA MAU LAGI LIAT JINHYUK! SEUNGWOO INI SAKIT!” Seungyoun menghentakan kakinya kesal, Seungwoo semakin mengeratkan pelukannya.

Seungyoun terus menangis hingga ia merasakan napasnya tersendat karena banyak menangis, Seungwoo sedikit merebahkan badan Seungyoun dengan lengannya dan mengelus kepala serta pipi Seungyoun pelan, “tarik napas ... 1 ... 2 ... 3 ... keluarkan ...” Seungwoo memberikan arahan untuk Seungyoun bernapas.

“Udah tenang?” Tanya Seungwoo yang sudah kembali seperti diposisi awal, saling berpelukan di tepi jalan. Seungyoun mengangguk lemah, dirinya masih memeluk Seungwoo seakan takut jika ia melepaskan pelukan itu maka Seungwoo akan pergi juga meninggalkannya seperti yang Jinhyuk lakukan pada dirinya. “Pulang yuk? Mama nanti khawatir,” bujuk Seungwoo pada Seungyoun.

“Seungwoo nggak ninggalin Seungyoun, kan?”

“Engga, buat apa? Seungwoo ada disini, pulang ya? Besok Seungwoo ke rumah Seungyoun ....”

Akhirnya Seungyoun pun menurut, Seungwoo langsung mengantar Seungyoun hingga ke kamar. Sebelumnya mama Seungyoun sempat menatap heran anaknya dan Seungwoo hanya tersenyum untuk meminta nanti saja membahasnya.

“Ganti baju, cuci muka, terus tidur ya?” Seungwoo mengelus kepala Seungyoun. Seungyoun hanya mengangguk sebagai jawaban. Seungwoo pun menghampiri mama Seungyoun yang terlihat khawatir, “Seungyoun kenapa?” tanya wanita paruh baya yang sedang menonton di ruang tengah.

“Kayaknya putus sama Jinhyuk tante. Tante jangan khawatir, nanti biar Seungwoo yang urus dan tanya ada apa, biasalah namanya juga cinta anak SMA hehehe. Tante juga harus jaga kesehatan ya, Seungyoun kayaknya besok bakal demam karena banyak nangis.”

Mama Seungyoun pun mengangguk paham, “makasih banyak ya Seungwoo udah selalu jagain Seungyoun, tante senang sampai udah segede ini kalian masih saling jagain satu sama lain,” mama Seungyoun mengelus pundak Seungwoo.

“Sama-sama Tante, saya pamit dulu Tante ....”

Gua bunuh lu Jinhyuk!

Keesokan paginya Seungwoo dikejutkan dengan keberadaan Jinhyuk yang sudah berada di depan rumahnya.

“Ngapain?” Tanya Seungwoo datar.

“Gua nyerahin diri ke elu karena gua sadar udah nyakitin Seungyoun.”

“Oh bagus lah kalau sadar diri, gua nggak mau bikin keributan di sini kita ke lapangan basket aja.”

Akhirnya Seungwoo dan Jinhyuk pun pergi ke lapangan basket tempat mereka dulu saat SMP sering latihan bersama dengan menggunakan kendaraan masing-masing. Sesampainya di lapangan basket, Seungwoo mengambil salah satu bola yang berada di dalam keranjang dan men-dribble bola tersebut, tak ada yang memulai percakapan hanya Seungwoo yang mencoba memasukan bola kedalam ring dan Jinhyuk yang berdiri ditengah lapangan.

“Kalau memang lu mau bunuh gua silahkan,” ujar Jinhyuk tiba-tiba.

Seungwoo menatap Jinhyuk datar, ia pun mendekat kepada Jinhyuk mengoper bola tersebut pada Jinhyuk tepat mendarat di dadanya. Baru saja Jinhyuk ingin menatap Seungwoo tiba-tiba badannya terpental kebelakang dan jatuh karena mendapat tendang tiba-tiba dari Seungwoo.

Seungwoo pun mencengkram keras baju Jinhyuk, “mana janji lu sama gua? MANA ANJING!? KENAPA LU BUAT SEUNGYOUN MALAM-MALAM PULANG DALAM KEADAAN HANCUR!? BEDEBAH!” Seungwoo meninju keras rahang kanan Jinhyuk.

Jinhyuk pasrah saat ia memuntahkan darah, Seungwoo meninju lagi rahang kiri Jinhyuk, “itu hukuman buat lu yang ga nepatin janji buat jagain Seungyoun pulang dalam keadaan selamat.”

Seungwoo meninju pipi Jinhyuk, “itu buat lu yang udah ngerusak hati Seungyoun.”

Satu tinjuan di pipi lain, “itu buat lu yang udah ngerebut mahkota Seungyoun.”

Tinjuan keras Seungwoo kerahkan untuk menghantam pelipis Jinhyuk hingga pelipis itu pecah dan mengeluarkan darah, “BUAT LU YANG UDAH GUA KASI KESEMPATAN BUAT JAGAIN SEUNGYOUN DAN GUA PERCAYAI ELU BUAT BAHAGIAIN SEUNGYOUN KENAPA MALAH LU SAKITIN DIA BANGSAT!?”

Seungwoo bangkit, ia pun menendang dan menginjak perut serta rusuk Jinhyuk penuh emosi, “KENAPA LU SIA-SIAIN SEUNGYOUN GUA!? KENAPA JINHYUK KENAPA!? WOI ANJING JAWAB!” Seungwoo menendang rusuk Jinhyuk.

“Woo ... uhuk!” Jinhyuk sudah tak berdaya, darah bercucuran dimana-mana, matanya bahkan sudah tidak bisa dibuka lagi.

“SEUNGWOO! LU MAU BUNUH ANAK ORANG!?” tiba-tiba datang seseorang membuat Seungwoo sontak menoleh dan terkejut melihat laki-laki itu berlari dan langsung memangku kepala Jinhyuk di atas pahanya. “LU APAIN SAMPAI SEPARAH INI SEUNGWOO!?” teriak laki-laki itu tak terima.

“Wooseok …, lu ngapain ada di sini?” tanya Seungwoo heran.

“Seungyoun pagi-pagi telepon gua, dia bilang ngelihat Jinhyuk datang ke rumah elu. Gua udah tau semuanya, tapi kenapa lu harus buat Jinhyuk sampai nyaris mati begini, Woo!?”

“Dia pantas dapatin itu.”

“Tapi bukann berarti lu pantas jadi pembunuh!” kesal Wooseok.

Seungwoo meremas tangannya hingga memerah, kesal karena memikirkan perbuatan Jinhyuk dan kesal dengan dirinya sendiri hampir membunuh temannya.

Jinhyuk memuntahkan darah, “Hyuk, lu gapapa?”

“Nggak, g-gua gapapa. G-gua uhuk! Bukan tanpa alasan begini Woo. Gua minta putus dengan timing gua keterima di Jogja itu cuma jembatan gua aja, Woo. K-kalau gua uhuk emang rela berkorban gua tetap tinggalin Jogja kok, itu cuma akal-akalan gua aja.”

“Maksud lu apa njing? TO THE POINT!”

“GUA LEPASIN SEUNGYOUN DEMI LU SETAN! GUA CAPEK LU DENIAL MULU BILANG SEUNGYOUN SAHABAT LU! LU SUKA SAMA DIA, BULLSHIT LU BILANG GA ADA RASA SAMA DIA ANJING! GUA NAHAN SAKIT DISINI ASAL LU TAU! SETIAP WAKTU YANG GUA HABISIN SAMA SEUNGYOUN LU TAU GA SETENGAH DARI BAHAN OBROLAN KITA BAHAS LU DOANG NJING! GUA CAPEK! GUA GA PERNAH MENANG DI HATI SEUNGYOUN! LU BERDUA SAMA-SAMA BANGSAT! KENAPA HARUS GUA JADI KORBANNYA SIALAN!? KENAPA!? GUA TULUS SAMA SEUNGYOUN TAPI DIA GA SADAR SETENGAH HATINYA DIA LETAKIN KE ELU DAN ELU LETAKIN SEPENUHNYA HATI ELU KE DIA! GUA CAPEK JADI BADUT SEUNGWOO GUA CAPEK! ARGHHHH!” Jinhyuk menjambak rambutnya kesal dengan masih terbaring lemah di atas paha Wooseok.

“H-hyuk … Hyuk stop!” Wooseok menarik tangan Jinhyuk agar tidak menyakiti dirinya sendiri. Air mata Wooseok mengalir deras mendengar seluruh keluh kesal Jinhyuk yang selama ini ia pendam. Hati Wooseok merasa teriris melihat laki-laki yang ia sukai ternyata tidak pernah bahagia bersama temannya sendiri.

Seungwoo langsung terduduk, pikiran dan hatinya terasa penuh, banyak hal yang berputar dipikiran dan hatinya. Ia menatap Jinhyuk iba, tangannya bergetar merasa jahat sudah menyakiti korban yang tidak bersalah.

“Gua pikir selama 3 tahun bareng, Seungyoun bakal jadi mantapin hatinya buat gua. Ternyata engga, lu tau apa yang dia bilang sama gua semalam? Dia bilang gua cowok egois, cowok brengsek dan tolol yang ga bisa pertahanin hubungan kita, gua bilang semua demi kebaikan kita tapi lu tau Seungyoun gimana, dia bilang gua cuma mau ambil tubuh dia doang. Awalnya gua pikir karena dia udah gua ambil bakal makin nempel, rupanya sama aja Woo. Gua cowok paling badut, paling bodoh, paling SINTING YANG PERNAH ADA! HAHAHAHAHA!” Jinhyuk tertawa keras dan berakhir menangis pilu, Wooseok memeluk kepala Jinhyuk, ia dekap dengan erat di dadanya dan membiarkan tangisan Jinhyuk semakin terdengar menyakitkan.

Seungwoo tak bergeming, ia menatap nanar Jinhyuk yang berada dalam pelukan Wooseok. Tangisan itu berlangsung cukup lama, hingga akhirnya Jinhyuk buka suara lagi, kali ini terdengar lebih tenang. “Gua minta maaf nggak menepati janji ya Woo, gua udah berusaha sebaik mungkin dan selama ini buat bertahan. Gua berterima kasih banyak sama lu yang udah sempat mempercayai Seungyoun dan nyerahin Seungyoun ke kehidupan gua. Gua sayang banget sama Seungyoun, gua cinta banget sama dia, sampai titik di mana gua mau liat dia bahagia aja sama orang yang memang benar-benar bikin dia bahagia secara nyata dan jadi diri dia sendiri dan orang itu elu Woo, bukan gua,” Jinhyuk terdengar lemah, napasnya juga sedikit memendek karena kelelahan sehabis menangis dan dipukuli.

“Jinhyuk benar Woo, selama ini kita semua udah sadar kalau kalian saling suka, tapi kalian berdua terlalu bodoh dengan perasaan kalian masing-masing. Lihat sekarang apa yang udah terjadi karena kebodohan kalian, disatu sisi gue sadar gue salah karena udah dekatin mereka berdua, kalau dari awal gue sama Byungchan nggak ada niat iseng, dari awal gue nggak dukung Jinhyuk dari rasa dilemanya, mungkin semuanya nggak akan pernah terjadi, Woo,” ujar Wooseok.

Seungwoo menunduk, ia menangis sesegukan dalam diam, rasa bersalah memenuhi hatinya kepada Jinhyuk. Tak pernah ia sangka keputusan dia di awal melepaskan Seungyoun kepada Jinhyuk akan menjadi sejauh dan separah ini.

“Gua nggak pernah nyesal ada dikehidupan dia Woo, gua sengaja bikin dia benci sama gua biar dia anggap gua jelek dan lupain gua. Gua mohon bahagiain dia ya, Woo? Bahagiain kesayangan kita ya, Woo? Lu adalah orang yang paling tepat buat Seungyoun, gua rela sampai hampir mati ditangan lu asal Seungyoun berakhir sama lu.”

“Harusnya lu ngomong jujur aja sama dia Hyuk, enggak gini caranya!”

“Dan merusak hubungan persahabatan kalian? Enggak bro, gua nggak sebodoh dan seegois itu. Lu berarti banget buat Seungyoun, gua nggak mau buat dia sedih. Tapi semalam gua udah hancurin dia, tapi itu juga demi dia walau cara gua salah. Dua minggu lagi gua terbang ke Jogja, tolong jangan biarin Seungyoun tau ya Woo ...”

Seungwoo menghampiri Jinhyuk ia menarik sosok yang sudah terkulai lemas di dalam pelukan Wooseok itu untuk ia peluk, begitu erat seakan takut kehilangan sosok Jinhyuk. Wooseok segera menelpon ambulance untuk melakukan tindakan lanjut terhadap Jinhyuk, keduanya sama-sama masuk ke dalam ambulance untuk mendampingi Jinhyuk ke rumah sakit.

Setelah semuanya terselesaikan, Jinhyuk pun telah masuk ke ruang rawat inap karena mengalami beberapa luka dalam yang cukup parah. Seungwoo semakin merasa bersalah melihat Jinhyuk yang terbaring lemah dengan selang infus dan perban di mana-mana karena perbuatan dirinya, “maafin gua Hyuk, gua udah keterlaluan nyakiti lu, bahkan nyakiti semua yang ada di sekitar gua,” gumam Seungwoo kepada Jinhyuk yang tengah tidur.

Sore harinya Seungwoo datang ke rumah Seungyoun sambil membawakan sop jamur buatan ibunya, “permisi Tante, Seungyoun gimana?”

“Nggak mau keluar kamar, coba kamu cek gih dia juga belum makan nih sekalian bawain makanan dia ya,” mama Seungyoun memberikan nampan berisi makanan Seungyoun, dengan tangan penuh ia menuju kamar Seungyoun.

“Seungyoun ... buka pintunya, yuk makan!” Tak ada jawaban, Seungwoo pun mencoba memanggil lagi, “Seungyoun buka! Laper loh udah siang belum makan nih! Ada sup jamur kesukaan lu nih ibu buatin!”

Masih tak ada jawaban membuat Seungwoo menghela napas berat, “yaudah gua pergi kalau lu ga mau buka, gua anggap lu ga mau liat gua,” baru saja Seungwoo balik badan tiba-tiba pintu kamar terbuka.

“Jangan ...” ucap Seungyoun lirih. Seungwoo balik badan lagi dan tersenyum cerah, “makan habis itu mandi, ya?” Seungyoun mengangguk lemah.

Seungwoo pun menyuapi Seungyoun makan, posisi Seungyoun setengah berbaring dalam kondisi badan yang masih lemah, mata sembab dan hidung memerah, tiba-tiba air matanya menetes membuat Seungwoo mengelap air mata itu dengan jempolnya.

“Kenapa ...?” Tanya Seungwoo lembut.

“Gue seenggak berguna itu ya sampai Jinhyuk mutusin gue? Ini konyol banget alasan cuma karena ga mampu LDR Woo! Gue yakin Jinhyuk nggak gitu, dia baik!”

Seungwoo memejamkan matanya sejenak, ia teringat kembali kejadian tadi pagi dirinya hampir saja membunuh Jinhyuk karena kebodohannya yang tak dapat mengontrol emosi. “Jinhyuk baik, tapi manusia itu bisa berubah. Kita enggak pernah tau hasil dari segala pilihan ini apa Seungyoun, mungkin sekarang Jinhyuk memilih mundur tapi bisa aja di masa depan baik lu maupun Jinhyuk dapat yang lebih baik. Semua udah ada skenarionya masing-masing dan tugas lu harus menerima dan berjuang untuk itu semua.”

Seungyoun terdiam, dirinya merenungi setiap perkataan Seungwoo jika dipikir ada benarnya juga. Membayangkan mereka tetap menjalani LDR jika akhirnya kelak tidak bersama berarti perjuangan mereka akan sia-sia?

“Peluk ....”

“Hm?”

“Mau peluk Seungwoo ....”

Seungwoo pun meletakan piring yang sudah tersisa sedikit makanannya, ia pun memeluk Seungyoun erat, mengelus kepala Seungyoun lembut, “bangkit lagi ya, ini bukan akhir dari segalanya masih ada hari esok lebih baik lagi. Ingat ada ujian masuk Universitas juga tinggal sebulan lagi nggak kerasa, mending kita belajar aja distrikasi diri, oke?” Seungwoo tersenyum menangkup pipi Seungyoun dan dibalas anggukan dengan sahabatnya itu.


Seperti kata salah satu judul lagu yaitu jatuh bangkit kembali begitulah yang sedang dilewati oleh Seungyoun. Jinhyuk sudah berada di Jogja 2 minggu lamanya, walaupun keadaanya masih belum begitu pulih namun Jinhyuk memutuskan untuk melakukan penyembuhan dan mulai beradaptasi dengan kehidupan di Kota Gudeg tersebut. Seungwoo masih berhubungan baik dengannya, sedangkan Seungyoun memilih memutuskan segala kontaknya dengan Jinhyuk demi menyelamatkan dirinya sendiri.

Ujian masuk Universitas tinggal seminggu lagi sehingga Seungwoo dan Seungyoun memutuskan untuk refreshing bermain ke mall. Sekarang hanya ada mereka berdua saja karena Byungchan dan Wooseok pun sudah berangkat ke Jogja untuk mulai beradaptasi juga dengan tempat tinggal baru serta lingkungan mereka, tentu saja sekalian Byungchan bertemu dengan pacarnya yang ia temui melalui aplikasi dating itu.

“Makan apa timezone dulu?” Tanya Seungwoo.

Timezone aja, ntar asik main baru makan.”

Mereka berdua pun memilih memasuki timezone terlebih dahulu, berbagai macam permainan mereka coba. Beruntung sedang hari kerja membuat timezone sepi seperti milik mereka sendiri.

“Taruhan yuk, yang banyak bunuh zombie dia yang ditraktir minuman?” Seungwoo berdiri didepan permainan tembak-tembak.

“CURANG IH MANA BISA!”

“USAHA LAH! Masa calon anak Teknik nyerah?”

Seungyoun yang ditntang seperti itu pun langsung menerima taruhan Seungwoo, saat ditengah permain Seungyoun sempat berteriak dan bersembunyi karena terkejut melihat zombie muncul, membuat Seungwoo tertawa geli dan mengakibatkan score mereka seri.

“Seri nih, gimana?”

“Yaudah bayar masing-masing!” Seungyoun menjulurkan lidahnya.

Membuat Seungwoo gemas dan menarik Seungyoun kedalam dekapannya, ia mengecup gemas kepala Seungyoun. Sudah hampir sebulan ini hobi Seungwoo adalah memanjakan, memeluk dan mengecup kepala Seungyoun membuat Seungyoun suka salah tingkah dan bahkan deg-degan karena ada sedikit perasaan lain yang ia taruh dihatinya.

“Sebelum makan mau foto dulu, nggak?” Tanya Seungwoo.

“Foto box? Mau-mau!” Seungyoun langsung menarik Seungwoo masuk ke dalam salah satu foto box.

Keduanya asik bergaya di depan kamera dan terlihat bahagia, hingga diakhir foto tiba-tiba Seungwoo merangkul Seungyoun dan mengecup pelipis Seungyoun, membuat empunya tekrejut. Namun Seungwoo memilih tak peduli, ia langsung fokus melihat hasil foto keduanya.

Seungwoo, kenapa sih akhir-akhir ini?” batin Seungyoun heran.


Waktu yang ditunggu pun tiba, sudah saatnya Seungwoo dan Seungyoun melakukan tes. Keduanya pergi bersamaan dan kebetulan berasa di ruang tes yang sama, sedari tadi Seungyoun terlihat gugup memainkan ujung kemeja navy nya membuat Seungwoo yang selalu mengenakan kemeja berwarna hitam ini mencolek pipinya dan memberikannya sugus sebagai penghilang rasa gugup.

“Udah belajar kan santai aja.”

“Santai kok ini!”

Seungwoo terkekeh tak lama ujian pun di mulai, Seungwoo tampak santai mengerjakan soalnya begitu pula dengan Seungyoun. Keduanya pun ujian dengan lancar sesuai harapan.

Lima jam berlalu, ujian yang berlangsung dua tahap ini pun akhirnya selesai. Seungwoo dan Seungyoun sedang berjalan menuju parkiran, keduanya tampak hening karena capek mengerjakan ujian.

“Seungyoun ....”

“Hm?”

“Pengumuman tunggu sebulan lagi, ‘kan?”

“Iya, kenapa?”

Seungwoo menggenggam pundak Seungyoun agar menatap dirinya, “gua mau pas habis pengumuman lu jadi pacar gua.”

“G-gimana?” Seungyoun mengerjapkan matanya.

“Kalau kita keterima, gua mau kita pacaran. Gua enggak bisa nunggu lagi, gua udah lama nahan perasaan ini dari SMP dan sekarang gua mau serius ngisi hati lu sepenuhnya dengan gua, begitu pula hati gua.”

“Tapi-”

“Iya gua tau aneh, lu masih belum hilangin trauma sama Jinhyuk bahkan belum lupain dia. Masih ada waktu satu bulan buat lu pertimbangkan ini, apapun hasilnya gua mau jujur gua suka sama lu, sayang sama lu, cinta sama lu bukan sebagai sahabat tapi sebagai seseorang yang ingin gua miliki,” Seungwoo mengelus kepala Seungyoun dan membawanya pulang dari auditorium kampus yang akan menjadi tempat mereka melanjutkan pendidikan kelak, di mana menjadi tempat berlangsungnya ujian.

Seungwoo kira karena pengakuannya akan membuat hubunganya dan Seungyoun mengerat, namun yang ia dapatkan hanya Seungyoun yang selalu menghindari dari dirinya, awalnya Seungwoo biasa saja tetapi sudah lewat dua minggu Seungyoun banyak alasan dan terus menghindar dari dirinya.

“Apa Seungyoun masih sayang Jinhyuk? Apa selama ini sebenarnya gua yang ditipu?” Seungwoo termenung sambil menatap jendela kamarnya di mana langsung bisa melihat jendela kamar Seungyoun.

Dapat ia lihat Seungyoun sedang asik membaca sambil mendengarkan lagu menggunakan earphone, Seungwoo tersenyum lembut menatap Seungyoun hingga yang ditatap sepertinya sadar langsung menutup gordennya agar tidak dilihat.

“Anjir ... salah gua apa sih?” gumam Seungwoo.

Besok adalah waktu pengumuman penerimaan mahasiswa baru, Seungwoo sangat gugup bukan karena takut tidak diterima sebagai mahasiswa baru tetapi ia takut dengan jawaban Seungyoun padanya. Sudah hampir sebulan dirinya dan Seungyoun merenggang, sekeras apapun usaha Seungwoo untuk bertemu Seungyoun pasti berakhir akan dijauhi membuat dirinya frustasi.

Dirinya termenung menatap langit-langit kamar, jam menunjukan pukul 12 malam tapi dirinya masih tak dapat tidur. “Apapun jawaban Seungyoun gua harap jadi yang terbaik!”

Keesokan paginya Seungwoo bangun cukup terlambat, jika tidak sang kakak membangunkannya mungkin dia akan lupa bahwa pengumuman dilakukan secara online pada pukul 12:00. Seungwoo sudah siap di depan laptopnya, tinggal lima menit lagi pengumuman membuat jantung Seungwoo semakin tidak tenang. Saat waktunya tiba langsung saja ia memasukan nomor peserta ujiannya dan wajah Seungwoo langsung cerah membaca tulisan berwarna hijau,

DITERIMA

“KAKAK! IBU! SEUNGWOO DITERIMA!” Seungwoo berlari dari kamarnya untuk memeluk kakak dan ibunya yang berada di ruang tengah.

“SYUKURLAH ANAK IBU BELAJAR YANG RAJIN YA NAK!” Ibu Seungwoo mengecup seluruh wajah anaknya.

“ASIK JADI ANAK TEKNIK CIEEEEE!” Kakak Seungwoo mengacak rambut adiknya gemas.

TING TONG

Tiba-tiba terdengar suara bel, membuat ketiga orang tersebut saling berpandangan satu sama lain.

“Aku aja yang buka,” kakak Seungwoo beranjak dan membuka pintu yang ternyata Seungyoun.

“Hehehe kak! Seungwoo nya ada, ‘kan?”

“Ada dong! Seungwoo diterima, kamu gimana hasilnya?”

Seungyoun hanya mengulum senyumnya malu-malu dan masuk ke dalam rumah Seungwoo.

“Siapa ka- oh Seungyoun!” Seungwoo langsung berdiri dan menarik tangan Seungyoun untuk dibawa ke kamar, meninggalkan dua wanita yang hanya terkekeh melihat tingkah mereka.

Baru saja Seungwoo menutup pintu kamar tiba- tiba ada tangan kecil yang menangkup rahangnya kemudian mengecup bibir Seungwoo sekilas. Seungwoo pun terkejut dengan aksi Seungyoun secara tiba-tiba, ia melebarkan matanya menatap sang sahabat kecil yang sudah terkekeh menatap dirinya dengan rona merah di pipi Seungyoun.

“Y-youn?”

“Sebelum aku jadi pacar kamu, aku mau ngomong penting! Sebulan ini aku sengaja hukum kamu, nggak mau liat kamu, aku sebel hubungan kita kamu buat kayak taruhan! Pokoknya aku mau kamu beliin aku mcflurry habis ini!”

Seungwoo tersenyum lebar, “ok-”

“Belum selesai! Kedua, pokoknya aku nggak mau kamu jadi cowok brengsek kaya Jinhyuk! Aku udah mulai lupain dia, jadi tolong aku buat lupain dia sepenuhnya!”

“Ada lagi?”

“Ada! Seungwooya~ I love you!” Seungyoun meloncat memeluk Seungwoo, melingkarkan kakinya pada pinggang Seungwoo bagaikan anak koala. Seungwoo dan Seungyoun tertawa satu sama lain, Seungwoo dengan gemas mengecup bibir Seungyoun berkali-kali, “me love you more baby.”


1 Bulan Kemudian

Sudah sebulan berlalu, tak ada yang berubah dari Seungwoo dan Seungyoun. Hubungan keduanya tetap berjalan seperti biasanya, Seungyoun yang selalu membutuhkan Seungwoo dan Seungwoo selalu siap kapanpun Seungyoun membutuhkan dirinya, yang menjadi pembedanya adalah hubungan mereka dari sahabat menjadi sepasang kekasih.

Keduanya sama-sama memasuki jurusan Teknik, Seungwoo memilih Teknik Elektro dan Seungyoun memilih Teknik Industri. Walaupun berbeda mengambil program studi, hal itu tak menghalangi keduanya untuk tetap bersama. Terkadang Seungyoun dan Seungwoo akan janjian bertemu di kantin sekedar menghabiskan waktu berdua, atau pergi ke perpustakaan mengerjakan tugas bersama.

Namun, kali ini berbeda. Sabtu pagi yang cerah, Seungyoun bangun dari tidurnya dan mendapati Seungwoo masih tertidur disampignya. Semalam keduanya bergadang mengerjakan tugas di rumah Seungyoun, hingga Seungwoo memutuskan untuk menginap saja di rumah Seungyou.

Melihat Seungwoo yang taka da tanda untuk bangun, dengan jahil Seungyoun mencolek hidung panjang Seungwoo, membuat empunya mengernyit dalam tidurnya. “Hehehehe gemes,” gumam Seungyoun.

“Siapa yang gemes?” sebuah suara mengejutkan Seungyoun.

“Udah bangun?” tanyanya kepada sang pacar.

“Dari tadi, dari sebelum kamu bangun. Aku bahkan udah ke toilet dua kali.”

“Ngapain!?”

“Mancing, ya ada urusan alam lah!” Seungwoo mendekap kepala Seungyoun gemas di dadanya, membuat laki-laki manis itu tertawa geli dan memeluk pinggang Seungwoo.

“Hari ini kita malas-malasan aja ya, Yang? Aku capek banget nugas mulu.”

“Iya, di rumah aja. Aku juga capek, Sayang,” Seungwoo mengecup kepala Seungyoun. “Oh iya tadi orang tua kamu pamitan sama aku katanya mau ke tempat nenek, kamu.”

“Hah ada apa?” Seungyoun langsung sadar dan menatap Seungwoo.

“Katanya ada tante kamu datang dari mana gitu, ngumpul ke sana.”

“Kok aku nggak diajak, sih!?” kesal Seungyoun dan mengundang Seungwoo untuk menarik gemas pipi Seungyoun. “Ih kenapa aku dicubit!?” protes Seungyoun.

“Ya kamu aja masih tidur, tadi aja katanya mau di rumah. Jadi, kamu pilih tetap di rumah atau aku antar ke rumah nenek?”

Cengiran Seungyoun terdengar oleh Seungwoo, “di sini aja sama pacarku!” Seungyoun sengaja tengkurap di atas tubuh Seungwoo layaknya seorang bayi, wajahnya sengaja ia usakan di ceruk leher Seungwoo.

“Sa-sayang … geli loh akunya,” bukannya menghindar, Seungwoo malah mengelus punggung Seungyoun.

“Geli juga kamu bukannya ngehindar malah ngelus-ngelus aku, dasar!” Seungyoun menangkup pipi Seungwoo dan mengecup dahi serta pucuk hidung Seungwoo.

Senyum lebar tercetak di wajah Seungwoo, “siapa yang nolak pagi-pagi ada bayi manja?” Seungwoo mengecup kedua pipi Seungyoun.

“Aku bukan bayi!”

“Iya kamu bayi, bayinya Wooya~”

“Ih apaan sih!” Seungyoun merona dan menyembunyikan wajahnya di dada Seungwoo.

“Mandi gih, aku mau beli sarapan dulu buat kita.”

“Aku mau sate ya, Sayang.”

“Iya, bangun dulu gih,” Seungwoo menepuk kepala Seungyoun.

Akhirnya Seungyoun beranjak dari tubuh Seungwoo, keduanya melakukan kegiatannya masing-masing. Seungyoun yang masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh, sedangkan Seungwoo yang ternyata diam-diam sudah duluan mandi saat dirinya bangun lebih awal daripada Seungyoun, pergi mencari sarapan untuk mereka berdua.

Tak memakan waktu lama, Seungwoo kembali ke rumah Seungyoun sambil membawa sebungkus sate dan nasi uduk untuk sarapan. “Sini aku salin dulu,” ujar Seungyoun saat melihat Seungwoo menyusulnya ke dapur dan mengambil sarapan mereka. “Eh tumben kamu beli nasi uduk, Yang?” tanya Seungyoun melihat sarapan Seungwoo.

“Tadi mau beli bubur ternyata udah habis, jadi beli nasi uduk aja.”

“Kok keliatannya enak, sih?” Seungyoun diam-diam mengambil sesendok nasi uduk milik Seungwoo.

“Emang ya rumput tetangga lebih hijau, enak banget tuh makan nasi uduknya?”

“Hehehehe kan aku nyicipi, mana tau nasi uduknya ada racun gitu, jadi yang mati duluan, ‘kan, aku, Yang.”

“Ngawur, kebanyakan nonton film sih kamu!”

Mereka berdua memutuskan untuk sarapan di ruang tengah sambil menonton animasi kartun berbentuk kotak yang memiliki rumah nanas di dasar laut. Sesekali Seungyoun menyuapi sate miliknya kepada Seungwoo.

“Lihat mereka bertiga aku jadi ingat kamu, Byungchan sama Wooseok, Ay,” ujar Seungwoo tiba-tiba saat melihat tiga karakter sedang bertengkar di televisi.

“Aku jadi siapa?” tanya Seungyoun.

“Hmm … Patrick sih, soalnya suka lemot. Kalau Byungchan spongebob, paling berisik, Wooseok udah jelas Squidward soalnya nggak ada semangat hidup kalau udah lelah ngehadapin kalian berdua.”

“Ih enak aja aku lemot! Enggak ada ya, aku tuh paling cepet mikirnya!”

“Masa? Kemaren aja kenapa tiba-tiba tanya ke aku lima kali empat berapa?”

“Itu lupa bukan lemot!” Seungyoun mencubit pinggang Seungwoo membuatnya terperanjat karena merasa geli.

“Hahahaha jangan cubit dong, Ay! Geli nih!” Seungwoo menepis pelan tangan Seungyoun.

Melihat pacarnya kegelian, Seungyoun mengentikan aksinya dan meneyelasikan sarapan miliknya. Setelah selesai dan membersihkan bekas makan, Seungwoo memilih merebahkan badannya di atas karpet ruang tengah sambil memainkan ponselnya. Seungyoun pun ikut berbaring, namun ia memilih dada Seungwoo menjadi batalnya.

“Sayang …” panggil Seungyoun. “Kenapa, hm?” kepalanya diusap lembut oleh Seungwoo.

“Tiba-tiba aku kangen sama mereka gara-gara tadi kamu bahas, gimana kalau kita video call aja?”

“Boleh.”

Seungyoun mencari kontak Byungchan kemudian ia meyambungkan panggilan video, beberapa detik menunggu tampak Byungchan bersama laki-laki kecil dan terlihat manis sedang bersandar di atas dadanya, “hayoloh jauh-jauh ke Jogja bucin lu di sana malah sender-senderan!”

Byungchan terkejut saat mengangkat panggilan tersebut, hal yang membuatnya terkejut tak lain dan tak bukan pemandangan Seungyoun yang sedang berbaring bersama Seungwoo dengan kepalanya ia rebahkan di dada Seungwoo. Selama satu bulan ini mereka jarang berkomunikasi, dan Seungyoun pun belum memberitahu hubungan mereka berdua kepada sahabatnya.

WHAT THE!?” Byungchan langsung menegapkan badannya, tanpa sadar dagunya membentur kepala Sejin –kekasihnya.

ARGH! CHAN SAKIT!” Erang Sejin kesakitan.

Eh sayang maaf, aduh aku juga sakit ini huhuhu maaf ya maaf,” Byungchan mengecup kepala Sejin dan mengelus dagunya yang ngilu karena terbentur dengan kepala Sejin.

“EWHH LOVEBIRD!” teriak Seungyoun dan Seungwoo membuat Byungchan menatap mereka sinis.

HEH JELASIN ADA APA KALIAN!? WOI SEBULAN CUMA TIGAPULUH HARI DOANG GUE KETINGGALAN APA!? WOOSEOK HARUS TAU!” Byungchan langsung menambahkan Wooseok ke dalam video call mereka membuat Seungyoun dan Seungwoo tertawa geli.

Ada ap- WOW APA NIH CUDDLE CUDDLE?!” Sesuai harapan reaksi Wooseok selalu mampu membuat suasana ribut dan lucu.

WOOSEOK BAYANGIN WOOSEOK KITA TINGGAL SEBULAN AJA UDAH CUDDLE WOOSEOK!

ANJIR LU YA SEUNGYOUN GUA AJA BELUM BELUM DAPAT LU UDAH DI CAPLOK SAMA SAHABAT SENDIRI!

“WOI MULUTNYA! MAKANYA CARI! KATA BYUNGCHAN LU LAGI DEKET SAMA ORANG JOGJA SANA YA, SIAPA!?”

Mata Seungwoo dan Byungchan langsung bertatapan penuh arti, beruntung Seungyoun tak menyadari itu dan tetap mengganggu Wooseok. Sejin mendongak untuk menatap Byungchan, “siapa?” gumamnya.

Jinhyuk,” jawab Byungchan tanpa suara dan Sejin langsung paham situasinya.

Pokoknya kudu gofoodin kita makanan! SEUNGWOO CEPET!” ancam Wooseok di sebrang sana tak ingin menjawab pertanyaan Seungyoun.

Seperti biasa ketiganya akan tetap ribut dalam keadaan apapun tak peduli jika mereka terpisahkan oleh jarak dan waktu karena teman sejati akan datang disaat yang tepat. Seungwoo tersenyum lembut melihat Seungyoun kembali lebih bahagia lagi setelah melihat teman-temannya, ia pun mengambil ponsel dan mengetikan pesan kepada seseorang.

Hyuk, dia sekarang udah bahagia. Lu juga harus bahagia dengan yang sekarang lagi jalan sama lu, ya?Syukurlah... gua turut bahagia buat lu dan Seungyoun. You all deserve it. Gua juga lagi berusaha untuk mulai jalan baru yang lebih baik, Woo.

ㅤ Seungwoo tersenyum membaca balasan pesan Jinhyuk, reflek ia memeluk Seungyoun erat dari belakang dan mengecup puncak kepala Seungyoun tanpa peduli teriakan Byungchan dan Wooseok yang menyaksikan kegiatan dirinya tertangkap kamera.

I love you,” bisik Seungwoo tiba-tiba membuat Seungyoun yang tengah tertawa sontak menoleh dan tersenyum manis.

I love you more, Woo!” ia mengecup sekilas sudut bibir Seungwoo di hadapan teman-temannya.

Melihat Seungwoo dan Seungwoo bisa bersama menjadi sepasang kekasih, membuat perasaan Wooseok dan Byungchan menjadi senang. Setelah melalui jalan yang panjang dan penuh drama, pada akhirnya bahagia akan datang diwaktu yang tepat.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Sepulang sekolah sesuai janjinya, Keindra menuju ruang latihan badminton yang masih terlihat sepi. Dirinya memilih duduk di kursi yang berada di tepi lapangan, pandangannya menelusuri seisi ruang latihan.

Sambil menunggu ia juga memeriksa ponselnya dan memebalas pesan dari teman-temannya yang masih saja jahil menggoda dirinya. Beberapa menit kemudian, derap langkah kaki terdengar memasuki ruang latihan. Keindra menoleh, namun ia tak mendapati Haris, seorang perempuan datang menghampirinya dengan membawa tas berisi raket untuk latihan.

“Hai! Nungguin siapa?” Tanyanya setelah duduk di samping Keindra.

“Nungguin Kak Haris.”

“Oh pak ketua. Eh elo bukannya yang tadi pagi diboncengin pak ketua, 'kan? Anak kelas sepuluh, 'kan?”

Keindra menggigit bibirnya gugup, “iya hehe. Kenalin gue Keindra kelas sepuluh IPS satu,” Kei mengulurkan tangannya dan disambut antusias oleh perempuan itu.

“Devita, kelas sebelah IPA empat.”

“Eh kakak kelasㅡ”

“Santai aja, gue aksel kok. Aslinya mah seumuran sama elo hehehe. Pacar pak ketua ya, lo?”

“Hah? Enggak! Temen doang!”

“Hahaha santai kali! Pacar juga gapapa, nggak pernah-pernah pak ketua deket sama siapa pun, baru sama lo doang nih,” Devita menyenggol pundak Keindra.

“Masa sih? Nggak yakin gue dia nggak pernah deket sama siapapun.”

“Ih dibilangin nggak percaya! Pernah dua kali ditembak sama anak angkatan gue, sama satu angkatan dia, ditolak semua. Nggak tau sih kenapa, makanya pada kaget lo deket sama pak ketua.” Tanpa sadar Keindra merenung setelah mendengar cerita Devita. “Kei! Woi Kei! Jangan bengong di ruang latihan woi!” Devita memukul pelan pundak Keindra.

“Hah? Eh hehehe sorry gue malah bengong. Tapi ini gapapa gue deket pak ketua? Maksud gueㅡ”

“Kalau yang lo maksud bakal ada yang ga seneng, pasti ada secara Haris banyak yang ngincer. Tapi, karena gue udah liat lo langsung begini, gue mah yakin banget dan paham kenapa pak ketua kepincut sama lo.”

“Kagak ada ya, Dev!”

“Dih denial!'

“Kenapa sih pada bilang gitu!?” Gerutu Keindra.

Mendengarnya, Devita hanya terkekeh dan mulai melakukan pemanasan, sembari anggota lainnya yang akan melakukan latihan wajib untuk pertandingan berdatangan, tak terkecuali Haris.

“Eh Dev, awal banget,” ujar Haris dan duduk di samping Keindra.

“Gue emang awal kali, Pak. Sekalian temenin degem lo nih, kasihan tadi dia sendirian di mari.”

“Lah iya?” Haris menatap Keindra dan mendapat anggukan. “Awal banget keluar kelasnya?”

“Tadi gurunya nggak ada, cuma tugas, kerjakan, selesai ke sini hehehe.”

“Pantesan. Ini gapapa kan nunggu dulu, yakin?”

“Iya Kak yakin, udah santai aja latihan sana!” Keindra mendorong punggung Haris agar turut serta melakukan pemanasan seperti anggota lainnya.

“Ya udah iya, ini gua mulai latihan. Kalau bosen ke kantin aja, buka kok sampe sore,” Haris berlari kecil sambil membawa raketnya ke tengah lapangan, namun sebelumnya ia menyempatkan diri mengacak rambut Keindra.

Melihat hal itu Devita tersenyum geli melirik ke Keindra, “gue latihan juga ya, Kei!” Ujarnya dan meninggalkan Keindra yang kebingungan.

Awalanya Keindra kira menunggu Haris latihan akan membosankan, tetapi diluar dugaan Keindra begitu menikmati setiap permainan Haris. Sosok laki-laki yang ia lihat di tengah lapangan itu, begitu berbeda dengan yang ia temui kemarin saat menonton film.

Haris dalam balutan baju badmintonnya terlihat begitu ambisius dan cekatan dalam menangkis bola, tak heran mengapa kakak kelasnya itu dapat menjadi atlet junior. Tanpa sadar Keindra begitu hanyut dalam setiap gerakan Haris dan tersenyum kagum melihatnya.

Tiba-tiba Haris berlari ke arahnya, membuat Keindra buru-buru bersikap biasa saja. “Ada apa, Kak?” Tanyanya.

“Minum dulu, haus,” Haris mengambil sebotol air yang sudah ia bekal sebelumnya. Diteguknya air tersebut, hingga menetes ke rahangnya, jakunnya yang naik turun membuat Keindra merona malu melihatnya. “Panas ya di sini? Kalau panas keluar aja gapapa, Kei. Kasian tuh muka lu sampe merah,” ujar Haris.

“Engg- enggak kok hehehe biasa aja, Kak.”

“Hmmm oke deh, gua balik latihan lagi.”

“Semangat, Kak!” Keindra mengepalkan tangannya, dan Haris membalas dengan mengacungkan kedua jempolnya.

Bayang-bayang Haris saat minum tadi membekas di pikiran Keindra, tak ingin bayangan itu hilang, buru-buru dirinya mengeluarkan buku sketsa yang selalu ia bawa ke manapun, untuk menggambar apapun yang masuk ke dalam pikirannya.

Goresan pensil di atas kertas putih tersebut lambat laun membentuk sebuah siluet yang tidak asing, rahang tegas, leher jenjang dan kokoh. Keindra begitu detail menggambar setiap sudut dari sosok tersebut.

Hingga tanpa sadar, karena begitu serius menggambar waktu begitu cepat berlalu, gambar yang ia buat pun tinggal menuju finishing.

“Gambar apa, Kei?” Tanya sosok yang sedang digambar oleh Keindra.

“Gambarㅡ HAH!?” Keindra terkejut bukan main, ia segera menyembunyikan bukunya.

Namun terlambat, tangan Haris lebih cepat menangkap buku tersebut. Ia melihat dirinya sendiri di dalam buku tersebut, wajahnya sumringah, bahagia karena Keindra mengabadikan dirinya di buku gambar miliknya.

“Bagus, cakep banget. Hebat banget lu Kei gambarnya, mirip banget sama gua. Nggak heran sih gua kenapa lu bisa jadi anak seni,” Haris mengelus dan menepuk-nepuk kepala Keindra bangga.

“Hehehe makasih, Kak. Kakak suka? Bawa aja.”

“Suka, suka banget. Lu simpan aja sebagai dokumentasi, next time ajarin gua gambar juga dong, gimana? Biar gua bisa gambarin sesuatu buat lu.” Haris menggembalikan buku itu kepada pemiliknya.

“Boleh! Aku mah seneng-seneng aja, Kak! Mau kapan?”

“Hmm ..., weekend ini?”

“Emang nggak sibuk? Nggak capek? Latihan terus, belum tugas.”

“Santai aja kali, udah biasa gua mah.”

“Hmmm oke deh. Latihannya udah selesai?”

“Udah, mau pulang sekarang?”

“Kalau Kakak nggak capek langsung bawa motor ayo, atau mau duduk, rehat dulu.”

“Enggak kok, ayo deh kita pulang keburu malem.”

Akhirnya mereka berdua pun pulang sebelum matahari benar-benar tenggelam dan berganti hari menjadi gelap.


Hari Senin tiba, masih dengan wajah mengantuknya Keindra membuat sarapan. Melihat putranya yang bangun lebih awal dan sedang mengaduk susu di dalam gelas, membuat kedua orang tua Keindra yang baru saja keluar dari kamar terkejut.

“Kei? Kesambet apa kamu, Nak?” tanya papi Keindra.

“Eung? Gapapa, Pi. Mau sekalian Kei buatin kopi sama teh?”

“Enggak perlu, Nak. Kamu bikin sarapan kamu sendiri aja,” jawab sang mami.

Kedua orang dewasa itu pun duduk di kursi meja makan dan saling bertukar pandang, melihat kenanehan putranya yang begitu rajin. Biasanya Keindra sangat membenci hari senin, perlu usaha yang keras untuk wanita paruh baya ini membangunkan sang buah hati.

“Mi, aku sengaja buat rotinya banyak untuk aku sama temen-temen. Kalau Mami sama Papi mau ambil aja,” Keindra meletakan sepiring roti bakar yang masih hangat ke atas meja makan.

“Keindra!” panggilan sang mami menghentikan langkah Keindra menuju kamarnya.

“Iya, Mi?” wajahnya tampak bingung.

“Mami sama Papi ada salah apa sama kamu sampai kamu serajin ini, Nak? Kamu ngambek Mami sama Papi bangun telat? Kamu ngambek-“

“Enggak Mami, aku gapapa. Lagi mood aja buat bangun pagi, bikinin sarapan. Dimakan ya roti bakar buatan aku hehehe …,” cengiran Keindra nyatanya membuat kedua orang tuanya semakin tidak tenang.

“Anak kamu kenapa, Sayang?”

“Enggak tau, jangan tanya aku mending makan aja roti buatan anakmu!”

Pukul enam lewat sepuluh menit, Keindra telah siap dan menyantap sarapannya bersama sang papi di meja makan. Pria yang tengah membaca koran di depan Keindra itu sesekali menatap sang putra, wajahnya tampak sumringah dan bersemangat pada hari senin ini.

“Kei ....”

“Iya, Pi?”

“Enggak salah minum?”

“Enggak, nih susu coklat aku. Kenapa?”

“Gapapa, udah selesai sarapannya? Yuk berangkat.”

“E-eh enggak, ga perlu Papi!” Keindra mencegah papinya yang baru saja ingin beranjak dari kursi, “aku hari ini berangkat bareng temen, jadi papi santai aja berangkat kerjanya hari ini.”

Alis pria itu naik, “Yoshep?” Tanyanya.

“Bukan, ada temen aku. Haris namanya.”

“Siapa itu, Papi baru dengar namanya.”

“Temen baru.”

“Oh ..., syukurlah, Papi senang kamu dapat teman baru.” Percakapan terhenti, sang papi menyeruput kopi buatan istrinya. “Bukan teman tapi mesra, 'kan, Kei?” Celetuk papi Keindra.

Tak dapat dipungkiri, ucapan asal papinya membuat Keindra tersedak susu yang sedang ia minum. Seringai muncul dari wajah sang papi.

I see, pantas aja kamu bangun awal, bikin bekal. Ternyata mau pergi sama gebetannya.”

“E-enggak gitu! Enggak ada gebetan!” Semburat merah mulai muncul, hal itu semakin membuat papi Keindra bersemangat menggoda putranya.

“Ah kamu, Kei. Papi ini pernah muda, SMA gini nih masa-masanya mulai muncul perasaan begitu. Pasti kemarin kamu jalan sama dia, ya? Siapa namanya, Haris?”

Seperti kata pepatah, bangkai yang disembunyikan akan tercium juga baunya. Keindra memang tak bisa lama-lama berbohong atau menyimpan rahasia dari sang papi, toh tetap saja ketahuan dengan cepat.

Sudah terlanjur ketahuan, Keindra hanya dapat mengangguk pasrah mengabiskan roti dan susu miliknya. Mengundang senyum pria yang telah melipat korannya, kini perhatiannya terfokus pada putra semata wayangnya.

“Anaknya gimana, baik?”

“Hmm baik, pintar juga, atlet bulu tangkis, Pi.”

“Selera jagoan Papi nggak main-main. Kapan-kapan kenalㅡ”

“Jangan kenalin sama ikan hias dulu, Pi! Keindra mohon!” Keindra menatap papinya dengan wajah memelas.

Papi Keindra terbahak, “siapa bilang mau Papi ajak kenalan sama ikan hias. Maksudnya kenalin ke Papi sama Mami!”

Keindra bernapas lega, “ya mana tau aja, Papi suka gitu ke Wira sama Yoshep.”

“Kalau sudah kenal dekat baru, semua butuh waktu. Papi aja paham, masa kamu enggak?”

“Dih!” Keindra melirik sinis papinya yang tersenyum mengejek kepadanya.

Keindra! Temannya udah jemput nih!” teriakan maminya dari pintu depan, membuat Keindra melebarkan bola matanya.

“Papi mau liat dulu ah yang namanya Haris gimana.”

“PAPI TUNGGU!”

Terlambat, pria itu telah berlari terlebih dahulu dari Keindra. Membuat si manis panik bukan main memasukan tempat bekalnya ke dalam tas dan buru-buru berlari menyusul papinya.

Di pintu depan, Haris dengan penampilannya yang begitu rapi dan terlihat percaya diri, tersenyum ramah kepada dua orang tua Keindra.

“Pagi Om, pagi Tante. Saya Haris, kakak kelas Keindra, datang ke sini mau jemput Keindra berangkat sekolah sama-sama,” ujarnya sopan.

Mata papi Keindra menelusuri Haris dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian kembali lagi untuk menatap mata Haris. Bukannya gugup, Haris semakin menunjukan senyum percaya dirinya.

“Jadi kamu kakak kelasnya Kei, kenapa mau temanan sama anak saya?” Tanya papi Keindra.

“Dulu waktu SD udah kenal di tempat taekwondo, Om. Jadiㅡ”

“Itu loh Pi yang pernah Kei tendang sampai nangis,” potong wanita di hadapan Haris.

“Oh kamu ternyata korban anak, saya? Wahㅡ udah gede aja ya, bahkan badannya lebih sehat. Kata Kei kamu atlet bulu tangkis, ya? Semangat dan sukses ya!” Kedua pundak Haris digenggam erat dan ditepuk kuat oleh papi Keindra.

“PAPI! MAMI! Jangan macam-macamin Kak Haris!” Akhirnya Keindra datang.

“Siapa yang macam-macamin, Haris-nya aja senang nih ngobrol sama Papi. Kamu tuh lama, kasian Haris nungguin!”

“Astaga Kei cuma pasang sepatu loh!?”

“Udah-udah malah berantem, buruan berangkat udah jam berapa nih, ntar kalian telat!” Mami Keindra menarik tangan anaknya agar keluar dari rumah.

Tak lupa Keindra menyalami tangan kedua orang tuanya dan diikuti oleh Haris.

“Mi, Pi, Kei pergi dulu.”

“Om, Tante, saya pergi dulu sambil bawa Kei nya. Tenang aja pasti pergi dan pulang dengan selamat.”

“Iya nak Haris, tolong titip Keindra, ya. Misalnya ngerepotin tinggalin aja di tepi jalan,” ujar mami Keindra.

“Kok gitu sih, Mi!?” Protes Keindra dengan wajah merengut.

“Udah sana pergi!” Titah sang papi.

Kedua remaja itu pun keluar dari pekarangan rumah, Haris menaiki motornya terlebih dahulu dan memasang helmnya.

“Helm lu mana?” Tanya Haris melihat tangan kosong Kei.

“Oh iya lupa! Hehehehe bentar ku ambil dulu,” Keindra berlari kembali ke dalam rumah.

“Apa lagi?” Tanya maminya.

“Helm ketinggalan!” Teriaknya menuju garasi.

Tak lama ia berlari lagi menuju Haris sambil memasang helmnya. Alhasil, helm tersebut tidak terpasang rapi dan malah menutupi sebagian mata Keindra.

“Coba diam dulu, rapi-rapi pasang helmnya,” Haris membantu merapikan helm Keindra dan menepuknya pelan.

“Makasih Kak, hehehe.”

“Balik badan dulu gih.”

“Hm? Ada apa?”

“Cepet keburu telat!” Keindra pun balik badan, Haris mengeluarkan sesuatu dari dalam saku almamaternya dan menggantungkan benda tersebut di resleting tas Keindra. “Udah selesai, yuk buruan berangkat!”

“Ng- apa nih?” Keindra menyampirkan tasnya untuk melihat apa yang Haris berikan. “Ih lucu teddy bear lagi! Kakak beli di mana? Kapan belinya?”

“Banyak tanya, cepet naik udah jam berapa nih!”

“Ish!” Sebelum naik ke atas motor Keindra menyempatkan diri untuk memukul pundak Haris. “Udah! Buruan!”

“Pegangan!”

Kedua lengan Keindra langsung melingkar di pinggang Haris. Keduanya pun segera berangkat ke sekolah, meningatkan waktu yang semakin sedikit.

Sesampainya di sekolah, tak sedikit pasang mata yang menatap keduanya, beberapa orang yang bahkan baru datang dan memarkirkan kendaraan menyempatkan diri untuk diam terlebih dahulu, hanya sekedar melihat sosok yang bersama Haris.

“Jangan dipeduliin, ya. Cuek aja,” ujar Haris kepada Keindra sesaat setelah mematikan mesin motornya.

“Hm!” Dehem Keindra sebagai jawaban. Jujur saja, ia merasa gugup ditatap begitu banyak orang, terutama seniornya yang satu angkatan dengan Haris.

“Keindra!” Panggil seseorang yang tak jauh memarkirkan motornya dari motor Haris. Keindra menoleh, ia melihat Candra di sana melambaikan tangannya. “Pagi Bang Haris!” Sapa Candra kemudian.

“Yo, pagi Can! Tumben sendirian?”

“Kalau berangkat emang sendiri gua bang.” Candra menghampiri sahabatnya, “Keindra-nya gua bawa ya, Bang?” Izinnya sambil merangkul Keindra.

“Iya bawa aja, Can. Tapi suruh dia lepas helm dulu dong itu, kebiasaan banget struggle sama helm,” Haris menunjuk helm yang masih berada di kepala Keindra.

“Eh iya ya hehehe lupa aku, Kak!” Keindra melepaskan helmnya dan memberikan kepada Haris.

“Lupa terus, ntar lupa nafas mau?”

“Enggak mau! Sembarangan deh!” Keindra mencubit lengan Haris gemas, membuat yang lebih tua terkekeh.

“Ekhem! Kei, yuk!” Ajak Candra sekali lagi.

“Oh iya, Kak Haris aku duluan ke kelas ya. Dadah~!”

“Dah~!”

Kedua sahabat itu berjalan meninggalkan Haris, Candra berusaha untuk mengontrol dirinya agar tidak kelepasan menertawakan Keindra di depan kakak kelasnya.

“Hahahahaha anjir!” Tawa Candra lepas saat keduanya masuk ke dalam koridor.

“Apa sih, Can!?” Keindra mendorong Candra agar melepaskan rangkulannya.

“Cieee Keindra! Udah berangkat sekolah bareng, ketemu orang tua lu nggak tuh?”

“Ketemu, tadi ngobrol sih gue liatnya.”

“Hahaha asik, kawal sampai jadi nih!” Candra menaik turunkan aslinya.

“Berhenti nggak!?” Keindra ingin memukul Candra namun ada tangan yang menahannya dari belakang.

“Nggak bakal berhenti sampai lu jadian,” ujar suara berat dari balik punggung Keindra. Ia pun balik badan dan melihat sosok Wira.

“RESEK BANGET!” Teriak Keindra memenuhi koridor sekolah.

Dua sahabatnya hanya dapat terbahak dan melakukan tos andalan mereka karena telah berhasil membuat Keindra kesal.

“Gua liat tuh dari awal masuk, pakai pelukan segala,” ujar Wira.

“Pegangan ya!”

“Hmmm iya dah pegangan.”

Kepada seluruh siswa, dimohon untuk segera berkumpul di lapangan, karena upcara akan segera dimulai!”

Candra langsung berlari ke kelasnya untuk meletakan tas terlebih dahulu.

Sedangkan Keindra dan Wira berjalan santai menuju kelasnya.

“Kei bekal gua!” Pinta Wira.

“Astaga masih aja!” Keindra mengeluarkan tempat bekalnya dari dalam tas dan memberikan kepada Wira, “habisin! Isi coklat sama nanas.”

“Hehehe asik! Makasih banyak bocil!” Wira mengacak gemas rambut Keindra.

“Woi buruan ke lapangan!” Teriak Yoshep dari depan kelas.

Setelah drama bekal dan meletakan tas ke dalam kelas, Keindra pun akhirnya berada di lapangan, berbaris sesuai kelas masing-masing. Namun, bukan Candra namanya jika tidak nekat. Dari jurusan IPA ia menyebrang ke jurusan IPS, berbari di belakang bersama Wira dan menarik Keindra agar ikut dengannya berbaris di bagian belakang.

“Sok banget lu baris depan, sini aja kali!” Ujar Candra.

“Dih anak IPA nyasar!” Ejek Keindra.

“Diem lu! Wir backup gua!” Perintah Candra dan Wira mengangguk, ia berbaris di depan tubuh Candra untuk menghalangi sahabatnya.

Saat upacara akan dimulai, ketiga sahabat Keindra dibuat terkejut dengan kedatangan sesosok laki-laki yang meminta bertukar posisi dengan Yoshep, agar bisa berada di belakang Keindra. Namun, Keindra tak menghiraukan karena dirinya telah fokus menghadap ke depan.

Sosok itu menunduk, agar sejajar dengan telinga Keindra, “Upacara yang bener, jangan pingsan, ya?” Bisik sosok itu.

Keindra terperanjat mendengar suara yang tidak asik tersebut, ia menoleh dan mendapati Haris tersenyum lebar ke arahnya.

Ngapain di sini!?” bisik Keindra panik.

Bosan di kelas dua belas.

Keindra menoleh ke belakang Haris, ketiga sahabatnya sudah tertawa tanpa suara dan menyemangati dirinya.

Ntar ketahuan gimana?

Santai, selagi masih Beril Ketua OSIS-nya, aman kok.

Selama upacara berlangsung Keindra menunduk dalam barisan, jantungnya tak dapat tenang, wajahnya memerah karena gugup dan panas dari sinar matahari. Beruntung Haris peka, ia sedikit menggeserkan tubuhnya dan mendekat kepada Keindra, untuk melindungi matahari dari arah belakang.

Udah nggak panas lagi, 'kan?

Keindra menoleh sedikit ke arah belakang dan mengangguk kecil, “makasih, Kak,” bisiknya pelan.