Chapter 10: It’s Monday!


Hari Senin tiba, masih dengan wajah mengantuknya Keindra membuat sarapan. Melihat putranya yang bangun lebih awal dan sedang mengaduk susu di dalam gelas, membuat kedua orang tua Keindra yang baru saja keluar dari kamar terkejut.

“Kei? Kesambet apa kamu, Nak?” tanya papi Keindra.

“Eung? Gapapa, Pi. Mau sekalian Kei buatin kopi sama teh?”

“Enggak perlu, Nak. Kamu bikin sarapan kamu sendiri aja,” jawab sang mami.

Kedua orang dewasa itu pun duduk di kursi meja makan dan saling bertukar pandang, melihat kenanehan putranya yang begitu rajin. Biasanya Keindra sangat membenci hari senin, perlu usaha yang keras untuk wanita paruh baya ini membangunkan sang buah hati.

“Mi, aku sengaja buat rotinya banyak untuk aku sama temen-temen. Kalau Mami sama Papi mau ambil aja,” Keindra meletakan sepiring roti bakar yang masih hangat ke atas meja makan.

“Keindra!” panggilan sang mami menghentikan langkah Keindra menuju kamarnya.

“Iya, Mi?” wajahnya tampak bingung.

“Mami sama Papi ada salah apa sama kamu sampai kamu serajin ini, Nak? Kamu ngambek Mami sama Papi bangun telat? Kamu ngambek-“

“Enggak Mami, aku gapapa. Lagi mood aja buat bangun pagi, bikinin sarapan. Dimakan ya roti bakar buatan aku hehehe …,” cengiran Keindra nyatanya membuat kedua orang tuanya semakin tidak tenang.

“Anak kamu kenapa, Sayang?”

“Enggak tau, jangan tanya aku mending makan aja roti buatan anakmu!”

Pukul enam lewat sepuluh menit, Keindra telah siap dan menyantap sarapannya bersama sang papi di meja makan. Pria yang tengah membaca koran di depan Keindra itu sesekali menatap sang putra, wajahnya tampak sumringah dan bersemangat pada hari senin ini.

“Kei ....”

“Iya, Pi?”

“Enggak salah minum?”

“Enggak, nih susu coklat aku. Kenapa?”

“Gapapa, udah selesai sarapannya? Yuk berangkat.”

“E-eh enggak, ga perlu Papi!” Keindra mencegah papinya yang baru saja ingin beranjak dari kursi, “aku hari ini berangkat bareng temen, jadi papi santai aja berangkat kerjanya hari ini.”

Alis pria itu naik, “Yoshep?” Tanyanya.

“Bukan, ada temen aku. Haris namanya.”

“Siapa itu, Papi baru dengar namanya.”

“Temen baru.”

“Oh ..., syukurlah, Papi senang kamu dapat teman baru.” Percakapan terhenti, sang papi menyeruput kopi buatan istrinya. “Bukan teman tapi mesra, 'kan, Kei?” Celetuk papi Keindra.

Tak dapat dipungkiri, ucapan asal papinya membuat Keindra tersedak susu yang sedang ia minum. Seringai muncul dari wajah sang papi.

I see, pantas aja kamu bangun awal, bikin bekal. Ternyata mau pergi sama gebetannya.”

“E-enggak gitu! Enggak ada gebetan!” Semburat merah mulai muncul, hal itu semakin membuat papi Keindra bersemangat menggoda putranya.

“Ah kamu, Kei. Papi ini pernah muda, SMA gini nih masa-masanya mulai muncul perasaan begitu. Pasti kemarin kamu jalan sama dia, ya? Siapa namanya, Haris?”

Seperti kata pepatah, bangkai yang disembunyikan akan tercium juga baunya. Keindra memang tak bisa lama-lama berbohong atau menyimpan rahasia dari sang papi, toh tetap saja ketahuan dengan cepat.

Sudah terlanjur ketahuan, Keindra hanya dapat mengangguk pasrah mengabiskan roti dan susu miliknya. Mengundang senyum pria yang telah melipat korannya, kini perhatiannya terfokus pada putra semata wayangnya.

“Anaknya gimana, baik?”

“Hmm baik, pintar juga, atlet bulu tangkis, Pi.”

“Selera jagoan Papi nggak main-main. Kapan-kapan kenalㅡ”

“Jangan kenalin sama ikan hias dulu, Pi! Keindra mohon!” Keindra menatap papinya dengan wajah memelas.

Papi Keindra terbahak, “siapa bilang mau Papi ajak kenalan sama ikan hias. Maksudnya kenalin ke Papi sama Mami!”

Keindra bernapas lega, “ya mana tau aja, Papi suka gitu ke Wira sama Yoshep.”

“Kalau sudah kenal dekat baru, semua butuh waktu. Papi aja paham, masa kamu enggak?”

“Dih!” Keindra melirik sinis papinya yang tersenyum mengejek kepadanya.

Keindra! Temannya udah jemput nih!” teriakan maminya dari pintu depan, membuat Keindra melebarkan bola matanya.

“Papi mau liat dulu ah yang namanya Haris gimana.”

“PAPI TUNGGU!”

Terlambat, pria itu telah berlari terlebih dahulu dari Keindra. Membuat si manis panik bukan main memasukan tempat bekalnya ke dalam tas dan buru-buru berlari menyusul papinya.

Di pintu depan, Haris dengan penampilannya yang begitu rapi dan terlihat percaya diri, tersenyum ramah kepada dua orang tua Keindra.

“Pagi Om, pagi Tante. Saya Haris, kakak kelas Keindra, datang ke sini mau jemput Keindra berangkat sekolah sama-sama,” ujarnya sopan.

Mata papi Keindra menelusuri Haris dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian kembali lagi untuk menatap mata Haris. Bukannya gugup, Haris semakin menunjukan senyum percaya dirinya.

“Jadi kamu kakak kelasnya Kei, kenapa mau temanan sama anak saya?” Tanya papi Keindra.

“Dulu waktu SD udah kenal di tempat taekwondo, Om. Jadiㅡ”

“Itu loh Pi yang pernah Kei tendang sampai nangis,” potong wanita di hadapan Haris.

“Oh kamu ternyata korban anak, saya? Wahㅡ udah gede aja ya, bahkan badannya lebih sehat. Kata Kei kamu atlet bulu tangkis, ya? Semangat dan sukses ya!” Kedua pundak Haris digenggam erat dan ditepuk kuat oleh papi Keindra.

“PAPI! MAMI! Jangan macam-macamin Kak Haris!” Akhirnya Keindra datang.

“Siapa yang macam-macamin, Haris-nya aja senang nih ngobrol sama Papi. Kamu tuh lama, kasian Haris nungguin!”

“Astaga Kei cuma pasang sepatu loh!?”

“Udah-udah malah berantem, buruan berangkat udah jam berapa nih, ntar kalian telat!” Mami Keindra menarik tangan anaknya agar keluar dari rumah.

Tak lupa Keindra menyalami tangan kedua orang tuanya dan diikuti oleh Haris.

“Mi, Pi, Kei pergi dulu.”

“Om, Tante, saya pergi dulu sambil bawa Kei nya. Tenang aja pasti pergi dan pulang dengan selamat.”

“Iya nak Haris, tolong titip Keindra, ya. Misalnya ngerepotin tinggalin aja di tepi jalan,” ujar mami Keindra.

“Kok gitu sih, Mi!?” Protes Keindra dengan wajah merengut.

“Udah sana pergi!” Titah sang papi.

Kedua remaja itu pun keluar dari pekarangan rumah, Haris menaiki motornya terlebih dahulu dan memasang helmnya.

“Helm lu mana?” Tanya Haris melihat tangan kosong Kei.

“Oh iya lupa! Hehehehe bentar ku ambil dulu,” Keindra berlari kembali ke dalam rumah.

“Apa lagi?” Tanya maminya.

“Helm ketinggalan!” Teriaknya menuju garasi.

Tak lama ia berlari lagi menuju Haris sambil memasang helmnya. Alhasil, helm tersebut tidak terpasang rapi dan malah menutupi sebagian mata Keindra.

“Coba diam dulu, rapi-rapi pasang helmnya,” Haris membantu merapikan helm Keindra dan menepuknya pelan.

“Makasih Kak, hehehe.”

“Balik badan dulu gih.”

“Hm? Ada apa?”

“Cepet keburu telat!” Keindra pun balik badan, Haris mengeluarkan sesuatu dari dalam saku almamaternya dan menggantungkan benda tersebut di resleting tas Keindra. “Udah selesai, yuk buruan berangkat!”

“Ng- apa nih?” Keindra menyampirkan tasnya untuk melihat apa yang Haris berikan. “Ih lucu teddy bear lagi! Kakak beli di mana? Kapan belinya?”

“Banyak tanya, cepet naik udah jam berapa nih!”

“Ish!” Sebelum naik ke atas motor Keindra menyempatkan diri untuk memukul pundak Haris. “Udah! Buruan!”

“Pegangan!”

Kedua lengan Keindra langsung melingkar di pinggang Haris. Keduanya pun segera berangkat ke sekolah, meningatkan waktu yang semakin sedikit.

Sesampainya di sekolah, tak sedikit pasang mata yang menatap keduanya, beberapa orang yang bahkan baru datang dan memarkirkan kendaraan menyempatkan diri untuk diam terlebih dahulu, hanya sekedar melihat sosok yang bersama Haris.

“Jangan dipeduliin, ya. Cuek aja,” ujar Haris kepada Keindra sesaat setelah mematikan mesin motornya.

“Hm!” Dehem Keindra sebagai jawaban. Jujur saja, ia merasa gugup ditatap begitu banyak orang, terutama seniornya yang satu angkatan dengan Haris.

“Keindra!” Panggil seseorang yang tak jauh memarkirkan motornya dari motor Haris. Keindra menoleh, ia melihat Candra di sana melambaikan tangannya. “Pagi Bang Haris!” Sapa Candra kemudian.

“Yo, pagi Can! Tumben sendirian?”

“Kalau berangkat emang sendiri gua bang.” Candra menghampiri sahabatnya, “Keindra-nya gua bawa ya, Bang?” Izinnya sambil merangkul Keindra.

“Iya bawa aja, Can. Tapi suruh dia lepas helm dulu dong itu, kebiasaan banget struggle sama helm,” Haris menunjuk helm yang masih berada di kepala Keindra.

“Eh iya ya hehehe lupa aku, Kak!” Keindra melepaskan helmnya dan memberikan kepada Haris.

“Lupa terus, ntar lupa nafas mau?”

“Enggak mau! Sembarangan deh!” Keindra mencubit lengan Haris gemas, membuat yang lebih tua terkekeh.

“Ekhem! Kei, yuk!” Ajak Candra sekali lagi.

“Oh iya, Kak Haris aku duluan ke kelas ya. Dadah~!”

“Dah~!”

Kedua sahabat itu berjalan meninggalkan Haris, Candra berusaha untuk mengontrol dirinya agar tidak kelepasan menertawakan Keindra di depan kakak kelasnya.

“Hahahahaha anjir!” Tawa Candra lepas saat keduanya masuk ke dalam koridor.

“Apa sih, Can!?” Keindra mendorong Candra agar melepaskan rangkulannya.

“Cieee Keindra! Udah berangkat sekolah bareng, ketemu orang tua lu nggak tuh?”

“Ketemu, tadi ngobrol sih gue liatnya.”

“Hahaha asik, kawal sampai jadi nih!” Candra menaik turunkan aslinya.

“Berhenti nggak!?” Keindra ingin memukul Candra namun ada tangan yang menahannya dari belakang.

“Nggak bakal berhenti sampai lu jadian,” ujar suara berat dari balik punggung Keindra. Ia pun balik badan dan melihat sosok Wira.

“RESEK BANGET!” Teriak Keindra memenuhi koridor sekolah.

Dua sahabatnya hanya dapat terbahak dan melakukan tos andalan mereka karena telah berhasil membuat Keindra kesal.

“Gua liat tuh dari awal masuk, pakai pelukan segala,” ujar Wira.

“Pegangan ya!”

“Hmmm iya dah pegangan.”

Kepada seluruh siswa, dimohon untuk segera berkumpul di lapangan, karena upcara akan segera dimulai!”

Candra langsung berlari ke kelasnya untuk meletakan tas terlebih dahulu.

Sedangkan Keindra dan Wira berjalan santai menuju kelasnya.

“Kei bekal gua!” Pinta Wira.

“Astaga masih aja!” Keindra mengeluarkan tempat bekalnya dari dalam tas dan memberikan kepada Wira, “habisin! Isi coklat sama nanas.”

“Hehehe asik! Makasih banyak bocil!” Wira mengacak gemas rambut Keindra.

“Woi buruan ke lapangan!” Teriak Yoshep dari depan kelas.

Setelah drama bekal dan meletakan tas ke dalam kelas, Keindra pun akhirnya berada di lapangan, berbaris sesuai kelas masing-masing. Namun, bukan Candra namanya jika tidak nekat. Dari jurusan IPA ia menyebrang ke jurusan IPS, berbari di belakang bersama Wira dan menarik Keindra agar ikut dengannya berbaris di bagian belakang.

“Sok banget lu baris depan, sini aja kali!” Ujar Candra.

“Dih anak IPA nyasar!” Ejek Keindra.

“Diem lu! Wir backup gua!” Perintah Candra dan Wira mengangguk, ia berbaris di depan tubuh Candra untuk menghalangi sahabatnya.

Saat upacara akan dimulai, ketiga sahabat Keindra dibuat terkejut dengan kedatangan sesosok laki-laki yang meminta bertukar posisi dengan Yoshep, agar bisa berada di belakang Keindra. Namun, Keindra tak menghiraukan karena dirinya telah fokus menghadap ke depan.

Sosok itu menunduk, agar sejajar dengan telinga Keindra, “Upacara yang bener, jangan pingsan, ya?” Bisik sosok itu.

Keindra terperanjat mendengar suara yang tidak asik tersebut, ia menoleh dan mendapati Haris tersenyum lebar ke arahnya.

Ngapain di sini!?” bisik Keindra panik.

Bosan di kelas dua belas.

Keindra menoleh ke belakang Haris, ketiga sahabatnya sudah tertawa tanpa suara dan menyemangati dirinya.

Ntar ketahuan gimana?

Santai, selagi masih Beril Ketua OSIS-nya, aman kok.

Selama upacara berlangsung Keindra menunduk dalam barisan, jantungnya tak dapat tenang, wajahnya memerah karena gugup dan panas dari sinar matahari. Beruntung Haris peka, ia sedikit menggeserkan tubuhnya dan mendekat kepada Keindra, untuk melindungi matahari dari arah belakang.

Udah nggak panas lagi, 'kan?

Keindra menoleh sedikit ke arah belakang dan mengangguk kecil, “makasih, Kak,” bisiknya pelan.