Chapter 11: Drawing


Hampir dua puluh menit Keindra berdiri di depan deretan kuas, Haris yang berdiri tak jauh darinya kebingungan melihat-lihat kuas dan berbagai alat untuk melukis.

“Kei!”

“Eung? Kenapa, Kak?”

“Lu ngeliatin apa sih dari tadi? Perasaan gua tu kuas sama semua.”

“Ih beda tau! Nih lihat, kalau kecil gini untuk nambahin komponen-komponen kecil, supaya lebih detail, terus ini yang gede untuk warnain dasarnya, gitu!”

“Ya terus lu kenapa udah berapa menit liatin itu mulu?”

“Bingung mau beli semuanya apa satu-satu dulu hehehe. Ntar kalau mami tau pasti kena omel borong kuas mulu.”

“Astaga Keindra!” Haris menangkup dan menekan kedua pipi Keindra gemas. “Kenapa sih gitu doang lu pikirin lama-lama, hm!?”

“Aaaa~! Kak Haris lepas!” Keindra menarik tangan Haris agar menjauhi pipinya. Kemudian tanpa sadar ia menggenggam tangan kanan Haris.

Haris tersenyum simpul melihat tangan mereka yang bertautan, dirinya semakin mengeratkan genggaman tersebut membuat Keindra baru menyadari apa yang telah ia lakukan.

“E-eh?” Keindra menatap Haris.

“Gua pegang biar nggak hilang, kan bahaya kalau gua hilangin anak tunggal mami papi, lu.”

“Ya paling kalau hilang, kakak juga dihilangin sama papi.”

“Gimana?” Hari menarik Keindra mendekat, membuat tubuh yang lebih kecil itu bersandar pada dada Haris.

“Hehehehe canda ih! Jangan tarik-tarik, aku mau ambil kuas malah nggak jadi,” Keindra sedikit berjalan menjauh dengan Haris mengikutinya. “Kak, tolong keranjangnya,” Keindra meminta keranjang yang sedari tadi di bawa oleh Haris atas kemauannya sendiri.

“Jadiny ambil enam nih?”

“Huum! Masing-masing dua, biar mami nggak lihat ada yang nambah.”

“Emang mami lu suka ngomel gitu, ya?”

“Enggak sih, tipikal ibu-ibu biasalah. Kalau udah lihat aku mulai beli banyak barang buat ngelukis tuh, pasti mulai risau, soalnya aku bakal di dalam kamar terus sampai lupa makan, keasikan ngelukis hehehehe.”

“Ya salah lu sendiri itu mah, wajar mami lu marah!” Genggaman kedua tangan mereka sengaja Haris dekatkan ke wajah Keindra, untuk mendorong pipi berisinya.

“Hehehe ya gimana seru kok!”

“Kalau seru ajarin dong biar gua juga paham di mana letak serunya, 'kan, waktu itu lu ada bilang mau ngajarin gua gambar.”

“Oh iya! Kita belajar gambar sketch aja dulu ya.”

“Ya apalah itu namanya, gua kudu beli apa nih mumpung di sini?”

“Ayo kita ke sebelah sana!” Keindra menarik tangan Haris menuju bagian pensil dan buku. Tanpa banyak bicara ia mengambil buku sketsa berukuran sedang dan pensil serta penghapus untuk Haris. “Beli ini aja dulu, mau sekalian perwarna? Biar kayak anak TK.”

“Enggak gitu juga, heh!”

“Hehehehe ya mana tau, 'kan! Udah sih ini aja, aku udah selesai nih, Kak.”

“Pulang?”

“Bayar dulu baru pulang, Kak!”

“Ya iyalah Keindra anak pak Ardani, masa lu bawa kabur. Emang ini toko punya papi lu apa?”

“Eh! Sebut-sebut nama papi aku, kok bisa tau!?” Keindra memicingkan matanya kepada Haris.

“Ada database OSIS kalau lu lupa dan ketua OSIS temen gua sendiri.”

“O-oh iya hehehe kirain, 'kan.”

Kirain gua cari tau tentang keluarga lu dan semuanya? Ya emang kok, alasan aja tadi gua mah, Kei.” ujar batin Haris.


Mobil sedan putih yang dikendarai oleh Haris telah sampai dengan selamat di depan rumah Keindra.

“Rumah lu ada siapa, Kei?” Tanya Haris saat mematikan mesin mobilnya.

“Enggak ada siapa-siapa, mami papi kerja.”

“Gapapa, nih?”

“Gapapa lah, emang kenapa? Kapan lagi mau belajar, tadi katanya gabut, 'kan?”

“Iya sih ....”

“Yaudah ayo!” Keindra keluar terlebih dahulu sambil membawa barang yang tadi ia beli bersama Haris.

Malu-malu Haris mengikuti Keindra untuk masuk ke dalam rumah yang tampak nyaman didominasi oleh warna putih dan krem serta interior dari kayu berwarna senada. Saat pertama kali masuk Haris dibuat takjub, karena rumah Keindra begitu klasik dan juga cozy, seperti ada aura yang menarik dirinya untuk betah berada di sini. Rumahnya terasa hangat, serta aroma vanilla menyebar di seluruh sudut ruangan.

“Duduk dulu ya Kak di sofa itu, aku mau ganti baju dulu.”

“Oh oke, santai aja.”

Sesuai perintah, Haris duduk di sofa yang berada di ruang tengah. Dapat Haris lihat begitu banyak deretan foto menghiasi dinding rumah ini. Mulai dari foto keluarga, foto kedua orang tuanya saat menikah, deretan foto Keindra dari bayi hingga sudah beranjak dewasa dan tak ketinggalan foto saat dirinya dirawat di rumah sakit. Tak hanya itu, ada satu lemari di sudut ruangan yang berisi piala serta piagam, hasil dari kejuaraan taekwondo.

“Emang nggak main-main, sebanyak itu terus tiba-tiba berhenti gimana nggak trauma,” monolog Haris saat melihat pencapaian Keindra.

“Ngapain ngomong sendiri?” Tiba-tiba Keindra datang membuat Haris terperanjat.

“Ngangetin aja!”

“Ih! Kakak tuh kenapa malah ngomong sendiri? Lihatin apa?”

“Tuh foto anak tuyul lagi tengkurep,” Haris menunjuk salah satu foto Keindra saat masih bayi.

“Sembarangan! Lucu tuh!” Keindra memukul pundak Haris kesal.

“Hehehe ya lucu tapi botak.”

“Semua bayi botak kok!”

“Gua enggak kok, lu aja kali.”

“Ish! Mulai deh nyebelinnya!” Keindra menghentakan kakinya kesal.

Baru Haris sadari sosok manis di depannya ini hanya mengenakan celana pendek setengah paha berwarna hijau tua, dengan kaos putih yang hampir menutupi celananya.

Tenggorokan Haris terasa kering, “ekhem! Kei haus nih Kei,” ujarnya mengalihkan perhatian.

“Oh iya! Mau minum apa? Hanget, dingin, manis, air biasa?”

“Air dingin biasa aja.”

“Bentar ya!” Keindra berlari menuju dapur, meninggalkan Haris yang segera menghela napas keras-keras dan menyandarkan tubuhnya di sofa.

Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang melihat Keindra dalam balutan baju rumahan, jujur saja Keindra di rumah terlihat semakin manis dan lucu, ingin sekali Haris mendekapnya.

“Nih, Kak!” Keindra datang membawa sebotol air mineral dingin dan setoples cemilan keripik kentang.

“Lah malah repot-repot bawa makanan.”

“Gapapa lah, mumpung di sini. Kakak, 'kan, jarang singgah paling cuma sampai ruang tamu.”

“Hehe iya sih, makasih ya!” Haris meminum airnya hingga setengah botol membuat Keindra tertawa.

“Haus banget, Pak?”

“Iya nih, tiba-tiba kerasa hausnya. Jadi, kapan mau mulai gambar?”

“Sekarang bisa, keluarin dulu gih barangnya,” Keindra membantu Haris mengeluarkan barang-barangnya miliknya.

Kemudian ia meraut pensil baru untuk Haris, membukakan bungus penghapus yang baru dan Haris menerima bersih segalanya untuk segera dipakai. Senyum Haris terukir di wajahnya, rasanya bahagia sekali dilayani seperti ini, padahal Haris sama sekali tidak ada memintanya.

“Aku pakai buku sketch ini aja,” Keindra mengambil buku dan pensil yang sudah tersedia di laci meja ruang tengah.

“Loh? Emang sengaja disiapin di situ?”

“Iya, aku kalau gabut nggak ada tontonan pasti gambari di sini sambil rebahan hehehe.”

“Emang jiwa anak seni tuh beda, ya.”

“Ya, kalau gitu mami enggak bakal kerja di desain interior dong, Kak. Aku bisa gambar turunan dari mami.”

“Pantesan! Papi lu kerja di mana, Kei?” Haris mulai mengisi kertas sketsanya dengan namanya dan tanggal hari ini.

“Perusahaan elektronik gitu.”

“Hmmm wajar sih lu sering sendirian sampai malam.”

“Betul, kadang kalau udah bosen banget aku ke rumah kak Beril, nugas di sana kadang sampai ketiduran terus nginep deh.” Haris mengangguk mengerti, satu fakta baru yang ia ketahui tentang Keindra. “Kakak mau gambar apa?” Tanya Keindra duduk di samping Haris dan melipat kedua kakinya di atas sofa.

“Apa ya, ayam bisa nggak?”

“Bisa lah! Kenapa kepikiran ayam coba?”

“Tuh gara-gara ada guci gambar ayam,” Haris menunjuk guci berukura sedang terletak di samping televisi.

“Astaga hahaha. Oke kita mulai ya! Buat dulu garis lurus gini untuk menyesuaikan polanya,” Keindra menggambar empat garis berbentuk tambah dengan ukuran besar.

“Kenapa harus gini?”

“Biar di tengah, biar enak ngaturnya, kan baru pertama kali gambar.”

“Hmmm iya juga ya,” Haris mengikuti setiap arahan Keindra.

“Ini apanya, Kak?” Tanya Keindra melihat gambar Haris yang tampak rancu menurutnya.

“Kakinya, ini ayamnya lagi terbang jadi kakinya ngarah ke depan gitu!”

“Hahahaha kak Haris!” Keindra tertawa geli dan menyandarkan kepalanya pada pundak Haris.

“Dih malah ketawa, liat nih galak, 'kan, ayam gua. Kalah pasti ayam lu sama punya gua, tuh liat ayam lu kalem bener dah heran gua, lagi merem telur?”

“Hahahaha tadi katanya ikutin yang ada di guci! Ayamnya kalem lah duduk diem.”

“Mana bisa ayam duduk!”

“Bisa! Merem telur tuh apa namanya kalau nggak duduk?”

“Eh maksud gua ayam nggak bisa jongkok, coba lu bayangin ayam jongkok gimana. Kakinya kebuka kayak gini?” Haris menggambar secara asal ayam dengan dua kaki terbuka lebar.

“Itu mau jongkok apa split!? Hahahaha,” lagi Keindra tertawa, bahkan napasnya sampai tersendat. Kepalanya masih ia sandarkan pada pundak Haris, bahkan tubuhnya sebagian bersandar pada tubuh Haris.

“Astaga receh amat ni anak, kalau split begini,” Haris menggambar ayam yang lain dengan garis lurus di bawahnya membentuk kaki.

“Ih kasihan ayamnya! Hahaha ....”

“Udah ah ketawa mulu lu, ntar nangis lagi.”

“Hehehe aduh sakit perut aku ketawa,” Keindra melanjutkan menggambarnya bersama Haris.

Keduanya begitu hening fokus pada gambar masing-masing, Keindra sudah terlanjur nyaman bersandra pada pundak Haris, begitu juga Haris menikmati kegiatan menggambarnya.

“Kak, tolong pinjem penghapus dong,” Keindra mencondongkan tubuhnya. Haris pun mengambil penghapus yang berada di atas meja dan saat ingin memberikannya tak sengaja sudut bibirnya menyentuh bibir Keindra karena wajah mereka begitu dekat.

“E-eh sorry sorry.” Haris dan Keindra segera memisahkan diri mereka.

Wajah keduanya begitu merah hingga ke telinga, Keindra perlahan mengambil penghapus dari tangan Haris, “a-aku harusnya minta maaf soalnya deket banget.”

“A-ah enggak, nggak kok Kei! Santai aja!”

Baik Haris maupun Keindra, keduanya membuang pandangan karena merasa malu.

KOK BISA NGGAK SADAR MUKA KEINDRA SEDEKAT ITU!?

BODOHNYA GUE MALAH MEPET BANGET PADAHAL CUMA MINTA PENGHAPUS!

TOK TOK TOK

Suara ketokan dari pintu depan mengejutkan dua sosok yang masih dilingkupi rasa malu tersebut.

“A-aku buka pintu dulu ya, Kak. Ma-makan aja cemilannya,” Keindra berlari meninggalkan Haris menuju pintu depan.

Saat Keindra membuka pintu, ia dikejutkan sosok Beryl berdiri di sana sambil membawa tempat makan.

“Kenapa mukamu merah gitu? Alerginya kambuh?” Baru saja Beryl ingin mengusap pipi Keindra, namun tangannya segera digenggam oleh Keindra.

“Nggak, gapapa. Aku kepanasan hehehe. Bawa apa tuh?”

“Biasa ibu masak lebih. Mobil siapa tuh di depan, kayaknya kakak kenal.”

“A-ah! Iya ada kak Haris di dalam, masuk aja gih!”

Tatapan Beryl menjadi curiga, ia pun masuk ke dalam rumah Keindra dan melihat sosok Haris sibuk memakan cemilan yang Keindra berikan.

“E-eh Ryl! Bawa apa tuh?” Haris berusaha terlihat biasa saja.

“Makanan buat adek gua. Ngapain lu di sini?”

“Les gambar.” Haris menunjukan karyanya kepada Beryl, namun hal itu tak membuat Beryl puas.

“Dek, salin dulu nih,” Beryl memberikan tempat makanan itu kepada Keindra.

“Iya, Kak. Sekalian cuci?”

“Nggak usah.”

Sosok Keindra berlalu ke dapur, meninggalkan Beryl yang segera duduk di samping Haris meminta penjelasan.

“Lu berdua habis ngapain hah!? Kenapa muka lu berdua merah-merah gitu? Lu ya Ris!” Beryl memukul punggung Haris.

“Astaga nggak ada, Ryl! Gua sama dia cuma kejedot doang tadi, lagi gambar nih jidat kita kebentur!”

“Gimana bisa kebentur hah!? Deket-deket lagi wajah lu berdua, awas ya mentang-mentang rumah sepi lu berdua malah macam-macam!” Beryl mencubit paha Haris.

“Iya iya enggak dih, Ryl! Sakit anying!”

“Lemah lu baru dicubit gitu doang, pulang nggak lu!?”

“Belumㅡ”

“Haris ....”

“Iya iya! Katanya udah setuju gua deketin tapi malah diusir, gimana sih!?”

“Lu berdua belum ada apa-apa malah berduaan di rumah sepi gini, mau jadi apa hah!?”

“Berarti kalau udah jadi apa-apa boleh, ya?”

“Ngomong lagi ku tempeleng pala kau, ya!?”

“Ampun!” Haris menunduk dalam membuat Keindra yang baru saja balik menjadi heran.

“Kak Ryl, udah nih.”

Dua orang yang lebih tua dari Keindra itu sontak menoleh, “oh udah, kalau gitu kakak langsung pulang, ya.” Beryl beranjak mengambil tempat milik ibunya dan langsung pulang.

“Kei, gua juga langsung pulang ya, mama barusan telepon mau pakai mobil.”

Baru saja Haris ingin beranjak dari duduknya setelah selesai membereskan baranganya, tangan Haris ditahan oleh Keindra.

“Kak ....”

“Hm?”

Cup

Pipi kanan Haris dikecup oleh Keindra sekilas, membuat bola mata Haris melebar dan menatap sosok yang telah tersenyum manis di sampingnya.

“Makasih banyak untuk hari ini, ya!”

“K-kei lu ...?”

“Hadiah. Kejadian yang sebelumnya tadi anggap aja cicilannya karena belum siap.”

Haris terkekeh, ia menarik Keindra ke dalam pelukannya dan mengecup sekilas kepala yang lebih muda.

“Makasih juga untuk les menggambarnya hari ini, sering-sering ngadain les ya?”

“Hahaha siap! Udah sana pulang,” Keindra mengusap punggung Haris dan mengantar laki-laki itu hingga depan pagar. “Hati-hati, Kak!”

“Hati-hati juga di rumah!”

Keindra melambaikan tangannya kepada Haris hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Sedangkan Beryl sedari tadi duduk di depan teras rumahnya, terkekeh melihat kedua orang tadi keluar dari rumah Keindra saling berangkulan.

Gemes banget dah lu berdua,” batin Beryl.