Comfort Zone


Siapa yang masih ingat pasangan Catur dan Iki?

Tak terasa sudah setahun keduanya menjalin kasih. Kedua pasangan ini cukup menggemparkan seluruh penjuru kampus dan jurusan, bahkan tak jarang keduanya mendapatkan perhatian penuh dari orang-orang di lingkungan kampus.

Tentu saja, hal itu karena Catur yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Universitas Semestaㅡyang sekarang posisinya sudah digantikan oleh kekasihnya sendiriㅡ berpacaran dengan Iki sang primadona FIB. Kembali ke 1 tahun yang lalu saat keduanya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih, banyak mahasiswa dan mahasiswi yang patah hati mendengar kabar tersebut. Namun, banyak juga yang mendukung mereka, bahkan tak rela jika keduanya berpisah.


Pukul 16:00 di Apartemen Catur

Terlihat Iki dengan santai merebahkan setengah tubuhnya di sofa bed abu-abu milik Catur, sambil bermain dengan kunci gitar dan menghasilkan sebuah melodi yang menenangkan memenuhi ruang sepi ini.

Semenjak menginjak 8 bulan menjadi kekasih dari Catur, Iki kerap kali mengunjungi apartemen kekasihnya untuk menemani Catur yang sudah mulai fokus menyusun skripsi, terkadang Iki juga menginap jika ada tugas kuliah atau tugas organisasi yang terpaksa harus dikerjakan hingga larut malamㅡtentu saja sembari menemani Catur mengerjakan skripsi.

Saat asik bermain dengan gitar milik Catur, terdengar nada dering yang berasal dari telepon genggam Iki. Segera ia ambil benda pipih berwarna lilac itu di atas meja, melihat nama si pemanggil yang ternyata adalah kekasihnya sendiri.

“Halo, kenapa, Kak? Udah selesai bimbingan?”

Halo, Iki. Belum, pembimbing aku masih nguji mungkin sejam lagi, jadi aku mesti nunggu. Kamu udah di apart?

“Udah, tadi bentar aja kumpulin tugas, terus aku makan bareng temen. Kamu sampai jam segini nunggu, udah makan apa belum?”

Udah kok, tadi sama temen satu bimbingan. Aku mungkin pulang sore atau deket maghrib, mau titip sesuatu nggak?

“Hmm ... apa yah? Disana mendung nggak sih, disini mendung.”

Bentar ... iya mendung juga, kenapa?

“Pengen mie ayam bakso. Banyakin pangsit sama kuah dipisah.”

Mie ayam mana? Tempat kita biasa?

“Iya situ. Sekalian satu arah.”

Oke siap. Kamu lagi apa?

“Genjreng gitar kamu aja nih, agak gabut enggak ada tugas.”

Sombong, baru kali ini gabut, kemaren lalu siapa yang nangis sambil meluk aku, bilang tugasnya numpuk nggak selesai-selesai?” terdengar kekehan Catur di seberang sana membuat Iki bersungut kesal.

“Itu kan karena aku lagi unmood aja!”

Halah ... bilang aja memang mau aku peluk. Untung skripsiku udah kelar, jadi bisa nenangin bayi rewel.”

“Yeee! Siapa yang bayi?”

Kamu lah! Bayinya Catur, cengeng banget.”

“Engga tuh! Aku bukan bayi, aku dah gede.”

Apanya gede?

“Badanku lah! Umur aku! Mikir apa kamu?”

Lah? Kamu yang mikir apa, kan aku cuma tanya apanya yang gede. Hayoloh otak siapa nih yang ngaco? Hahaha.”

“Ih kamu tuh ya kalau gabut mulai deh jahil bikin sebelnya. Bye!”

Panggilan diakhiri secara sepihak oleh Iki. Jujur dirinya malu dijahili seperti itu oleh Catur, bagaimana kalau Catur berpikir Iki mesum karena memikirkan hal lain? Walau sebenarnya mereka juga sudah pernah melakukan hal itu dibeberapa kesempatan.

Sebuah notifikasi muncul dari ponsel Iki,

jangan ngambek, ntar mie ayamnya aku beli jumbo sama bakso tambahan, sekalian bubble taro. Hati-hati kalau ntar turun hujan, misalnya takut ke kamar aja. See you, Iki.♡

Senyum lebar hingga matanya pun ikut tersenyum, Iki merasa begitu bahagia memiliki kekasih yang peka dan perhatian seperti Catur. Tak ada niatan membalas, Iki memilih beranjak dari posisinya, meletakkan gitar pada tempatnya, dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

30 menit kemudian

Iki baru menyelesaikan kegiatan membersihkan diri, masih dengan rambut setengah basah Iki memilih mengenakan sweater hoodie abu-abu miliknya yang memang sengaja ia tinggalkan di apartemen Catur dan celana basket hitam milik Catur.

Saat keluar kamar, dapat ia lihat jendela yang dibasahi tetesan air hujan. Iki mendekat dan melihat hujan cukup deras sore itu, diambilnya ponsel yang masih tergeletak di atas meja, ternyata ada pesan baru lagi dari Catur.

aku bimbingan dulu, disini udah gerimis, disana hujan nggak? Wish me luck!

Senyum tipis Iki tercetak di wajahnya saat membaca pesan Catur.

good luck, by!❤

Walau Iki tahu pesan itu pasti akan terabaikanㅡkarena Catur sedang melakukan bimbingan, setidaknya Iki sudah memberikan doa dan dukungan kepada sang kekasih.

Hujan semakin deras di luar sana, langit pun semakin gelap karena tertutupi awan mendung. Iki menghela napasnya sejenak, kemudian pergi ke dapur untuk menyedu teh dan membawanya ke sofa sebagai teman menonton series netflix.


Tak terasa waktu terus berjalan, Iki terlalu hanyut dalam series yang ia tonton sampai tak menghiraukan pesan dari Catur mengatakan, jika dirinya dalam perjalanan pulang menuju apartemen.

Suara pintu yang terbuka mengalihkan atensi Iki dari televisi. Bola matanya melebar melihat Catur berdiri di depan pintu, membawa dua kantong plastik sedang dengan membopong tas ransel hitam yang berisikan laptop.

“Iki! Kamu lagi sibuk nonton ya sampai nggak bales chat aku?”

Buru-buru Iki mengecek ponselnya, benar saja ada beberapa pesan dari Catur, merasa bersalah ia hanya terkekeh kecil membuat Catur menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Kalau ada maling masuk, kayaknya kamu nggak bakal sadar ya, hm?”

“Hehe maaf soalnya seru sih.” Baru saja Iki hendak beranjak dari sofa, Catur menahannya terlebih dahulu, “kamu duduk aja diem di sofa!” Hal itu mengundang kerutan di dahi Iki.

“Kenapa?”

“Aku aja yang ke sofa.”

“Oke?”

Iki tampak kebingungan saat melihat Catur mendekat, setelah meletakkan makanan dan minuman di dapur. Sosok bertubuh tegap itu melepaskan tas ranselnya, menyampirkan benda yang lumayan berat itu ke sofa, dan tanpa aba-aba langsung memeluk erat Iki yang masih bersandar di sofa.

“E-eh? Rambut sama baju kamu basah. Kamu kena hujan?” Iki mengusap kepala dan punggung Catur yang dibalut kemeja putih.

“Iya, tadi kena hujan dikit pas beli titipan kamu.”

“Ih harusnya mah nggak usah dipaksa! Cari makan yang lain aja, Kak,” Iki menarik kedua pundak Catur supaya bisa menatap kekasihnya, karena sedari tadi Catur memendam wajahnya pada ceruk leher Iki.

Laki-laki yang lebih muda melepaskan kacamata yang lebih tua dan meletakkannya di atas meja. Iki mengusap kedua pipi Catur lembut dengan jempolnya, ditatapnya sang kekasih yang keliatan lelah namun masih sanggup ditahan. Iki merasa tak tega melihatnya, tapi sudah menjadi resiko mahasiswa tingkat akhir.

“Gapapa kok, kamu lagi pengen, masa nggak aku turutin?” Catur kembali memeluk erat Iki, kali ini wajahnya ia usak ke leher Iki, memberi kecupan singkat disana dan menghirup dalam aroma vanilla dari tubuh Iki yang menenangkan pikirannya.

Sosok yang dipeluk bagaikan boneka itu hanya diam, ia mengerti Caturnya hanya ingin dipeluk dan diusap tanpa ditanyai apa-apa, Caturnya membutuhkan comfort zone untuk men-charger tubuhnya.

Iki mengusap kepala kekasihnya, sesekali ia mengecup kepala Catur, ia pun membalas pelukan Catur di leher, saat merasakan napas Catur agak memberat di lehernya. Dapat Iki cium aroma musk woody yang bercampur keringat dari tubuh Catur. Aroma favorit Iki saat Catur pulang dari aktivitasnya.

“Hujan ...” lirih Catur.

“Hmm ... mandinya ntar pakai air hanget aja.”

“Tapi aku masih mau gini dulu bentar.”

“Iya, jangan ketiduran loh, ya?”

“Hehehe tau aja. Siapa suruh wangi kamu enak, bikin ngantuk, tau nggak?” Catur menarik wajahnya dari leher Iki untuk melihat si manis.

“Memang kamunya aja yang ngantuk, nggak usah alasan bilang wangi aku bikin ngantuk!” Iki menarik gemas ujung hidung Catur.

“Hehehe aku mau mandi nih.”

“Ya, mandi?”

“Cium dulu dong!”

“Dih? Kamu habis dari luar, kotor tau!”

“Biasanya juga langsung cium, sok-sokan bilang kotor.” Catur mendengus kesal.

“Hidih lihat sekarang siapa yang ngambekan? Dasar!” Iki pun menangkup pipi Catur, mengecup dahi, kedua mata dan terakhir philtrum Catur.

“Nanggung, Ki! Kenapa ga bibir sekalian?”

“Mandi dulu!” Iki mendorong dahi Catur dengan telunjuknya agar melepaskan pelukannya, “aku mau salin makanan, kamu mandi sekarang ntar makin malam, makin hujan, makin malas!”

“Hmmm iya iya, bawel!”

“Bawel juga kamu mau.”

“Iya sih hehehehe.” Catur menyempatkan diri mengecup pipi Iki dan berlari kecil menuju kamarnya untuk bersiap mandi, sambil membawa tasnya.


Sesaat setelah mandi, Catur melihat mie ayam dan minuman bubble yang ia beli tadi telah terhidang di meja makan. Iki tak menyadari keberadaannya, sosok itu duduk diam di kursi meja makan dan fokus kepada ponselnya.

Diam-diam Catur jalan dengan cara mengendap mendekati Iki, saat sudah dekat Catur tiba-tiba memeluk erat Iki dari belakang, membuat yang dipeluk terperanjat dan nyaris menjatuhkan ponselnya.

“KAK CATUR IH! Kalau handphone aku jatuh gimana!? Baru aja selesai diservice!”

“Hehehe maaf, jangan galak-galak dong ntar manisnya hilang?” Catur mengecup dalam pipi Iki hingga memerah.

“Astaga, Kak! Kalau bisa habis, mungkin udah habis pipi aku kamu ciumin mulu!?” Iki memukul lengan Catur yang telah duduk di samping dirinya.

“Salah sendiri makin gembil, kan aku jadi gemes.”

“Salah siapa yang kasi aku makan terus?”

“Kamu yang minta?”

“Kamu yang kasi!”

“Oke. Ayo makan sebelum perdebatan kita makin panjang,” Catur mengacak gemas rambut Iki.

Iki makan dengan penuh hikmat sampai tidak sedetik pun memberi kesempatan untuk mulutnya istirahat mengunyah, mie ayam yang tadinya penuh dengan porsi jumbo sudah tersisa setengah. Sedangkan Catur diam memperhatikan Iki, sambil tersenyum dan sesekali menyuapi mie ayamnya perlahan.

“Doyan apa laper?” Celetuk Catur.

“Huh?” Iki berhenti menyeruput mienya di tengah jalan, membuat mie yang tersisa menjuntai di mulutnya.

“Makannya pelan-pelan, Ki. Enggak aku minta kok mie ayamnya, kalau kesedak ntar gimana, hm?” Catur mengambil tisu dan membersihkan noda kecap di pipi kanan Iki.

Mie yang menjuntai tadi segara Iki seruput hingga habis, kemudian ia tersenyum hingga naik ke matanya. “Aku nggak sadar ternyata kelaparan, padahal tadi udah ngemil ayam yang dibeli semalam.”

“Mana kenyang ayam tiga potong doang untuk kamu yang gembil gini.”

“Jangan mulai!” Iki mencubit perut Catur kesal.

“Shhh- sakit loh, Ki. Jahat banget sama pacarnya?” Catur sengaja memelas kepada Iki.

“Kamu yang duluan gangguin aku.” Walau wajahnya tampak kesal, namun tangan Iki tetap mengelus perut yang tadi menjadi korban cubitannya.

Keduanya terdiam lanjut makan hingga masing-masing mie ayam kandas tak tersisa, sekarang Iki tengah menikmati bakso tambahannya bersama Catur, ia menyuapi kekasihnya itu sesekali mengelap kuah yang terciprat ke dagu atau pipi Catur.

“Bimbingan kamu gimana tadi, Kak?” Iki memulai percakapannya untuk berbagi cerita harian.

Sudah menjadi kebiasaan pasangan ini menjadi buku harian satu sama lain. Berbagi cerita, keluh kesah, agar saling mengerti dan mendukung satu sama lain.

Terdengar hela napas berat dari Catur, merasa jika situasi yang sedang dihadapi cukup serius Iki menghentikan kegiatan menyeruput kuah baksonya.

There is something happened, hm?” Tangan Iki terulur mengusap pundak kanan Catur, sambil dipijitnya pelan.

“Data yang aku olah ada kesalahan, harus diulangi lagi. Tadi agak lama karena diskusi untuk cari solusinya gimana, awalnya hampir sebar ulang kuesioner.”

“Terus?”

“Dosen pembimbing bilang jangan, ya gitu suruh olah ulang aja, sambil dicek lagi mana yang bikin datanya jadi nggak sesuai.”

“Dikasi deadline sama dosennya?”

“Hu'um ... seminggu, tapi kalau bisa secepatnya.”

Tubuh Catur merasakan hangat yang berasal dari dekapan erat sang kekasih. Dikecupnya pelipis Catur dan diusap rahang tegas kesukaannya itu.

“Pelan-pelan kerjainnya, ntar aku bantu cek datanya juga, ya? It's okay by, semuanya pasti bisa terlewati.”

“Hmmm thank you, ya,” Catur melingkarkan lengannya pada pinggang ramping Iki, wajahnya dipendam ke dada Iki. “Nanti malam aku mau lanjut skripsiㅡ”

“Istirahat dulu. Jangan paksain diri! Keadaan kamu lagi unstable, jangan sampai sakit lagi kayak bulan lalu. Aku nggak bakal senang, Kak!” Iki menjauhkan kepala Catur dari dadanya, ditatapnya tegas kekasihnya yang tampak kelelahan itu.

“Tapiㅡ”

“Enggak pakai tapi! Kamu pilih istirahat atau aku pulang ke kostan?”

Mau tak mau Catur mengalah, ia mengangguk lesu menuruti perintah Iki. Toh tak ada salahnya istirahat dulu satu hari, jujur saja dirinya sudah lelah, baik secara fisik maupun mental. Skripsi benar-benar menguras seluruh tenaganya.

Namun, Catur tidak ingin banyak mengeluh, karena ini sudah resiko. Ada kehadiran Iki yang selalu menemaninya di apartemen, mendukungnya dalam situasi apapun, sudah sangat cukup menjadi sumber energi Catur. Walaupun Catur tidak mengatakan keseluruhan detail masalahnya, tapi Catur tahu jika Iki paham apa yang tengah ia rasakan dan hadapi sekarang.

“Jangan ngelamun, alisnya jangan ditekuk gini, ini lagi apa kusut banget dahinya, hm? Kantung mata kamu tambah item aja, mau cosplay jadi panda, ya?” Iki mengurut pelan kepala Catur menggunakan jempolnya, mengendorkan urat-urat tegang di dahi serta alis Catur.

Mendapat perlakuan begitu, mata Catur otomatis terpejam tanpa disuruh, pijatan pelan dari Iki di kepalanya cukup membuat rasa pusingnya hilang.

“Kamu habis ini langsung tidur aja.” Ujar Iki.

Kelopak mata itu kembali terbuka menatap Iki. “Hm? Tapi aku mau nonton series yang tadi kamu tonton, kita udah 2 minggu ini nggak pernah quality time, loh. Kamu sibuk tugas sama laporan, aku juga kejar deadline.”

“Ya udah, yuk nonton. Tapi aku habisin baksonya dulu ini, tanggung banget loh!”

“Hahaha dasar, tetap nggak mau rugi, ya?”

“Mubadzir tau! Aku nggak suka buang-buang makanan.”

“Iya iya, aku mau dong sesuap lagi,” Catur membuka mulutnya menunggu suapan dari Iki.

“Manja!” Kendati demikian, tetap saja Iki menyuapinya.


Sesuai permintaan Catur, akhirnya pasangan ini menghabiskan waktu berkualitas mereka dengan menonton series netflix. Ditemani doritos barbeque sebagai cemilan, Iki yang berada dalam dekapan Catur dan bersandar di dada bidang yang lebih tua, sesekali menyuapi cemilan ke mulut Catur. Keduanya duduk santai di sofa bed, dengan kaki yang diselimuti selimut berwarna biru laut milik Catur.

Pandangan Catur fokus pada layar televisi, lampu ruangan sengaja dimatikan dan mengharapkan penerangan dari cahaya televisi. Tak ada percakapan apapun, namun sudah membuat keduanya senang hanya menghabiskan waktu seperti ini.

Iki diam menatap Catur dari bawah, rahang tegas yang menimbulkan rasa takut saat ingin menyentuhnya karna terlihat begitu tajam, jakun yang sesekali naik turun saat Catur menelan salivanya atau cemilan yang ia suapkan, tak lupa kacamata.

Sudah 4 bulan terakhir ini Catur memakai kacamata, karena memiliki rabun dekat akibat banyak menatap layar laptop. Jujur saja, Iki begitu menyukai Catur memakai kacamatanya, ada timbul rasa gugup dan jantung berdebar saat melihatnya. Catur begitu tampan, dan Iki kembali jatuh cinta lagi dengan kekasihnya yang sudah menemaninya selama 1 tahun ini.

“Sekarang aku berubah jadi aktornya, ya?” Tanya Catur.

Iki terkesiap dari lamunannya, merasa malu karena ketahuan sedari tadi diam menatap objek tampan yang sedang mendekapnya.

“Ada apa di wajah aku sampai kamu tatap gitu, hm?” Perhatian Catur teralihkan, sekarang ia lebih memilih untuk menatap Iki yang tampak mungil dalam dekapannya.

“Ga ada, aku udah sering bilang kan kalau suka liat kakak pakai kacamata. Bahkan dari awal kakak mulai pakai, aku kira aku bakal bosan, ternyata aku tetap suka.”

“Bilang aja aku ganteng, makanya kamu suka. Udah nggak usah diperpanjang.”

“Mulai deh!” Iki memukul manja dada Catur, membuat empunya terkekeh geli.

Catur mengusap kepala Iki, “Ki ...” panggilanya lembut.

“Hm, iya? Kenapa?” Iki menatap mata Catur yang terhalang bingkai kacamata.

“Aku belum tau apa yang kamu lewati hari ini.”

Iki tersenyum, ia mengecup dagu Catur sekilas. “Hari ini aku cuma kumpulin tugas, di kampus ketemu temen, ngobrolin masalah magang yang bakal mulai semester depan. Beberapa juga ngomongin soal organisasi, oh iya aku baru inget, tadi mas Harun ada chat aku.”

Alis Catur naik sebelah, “chat apa?” Tanyanya santai.

“Beberapa arsip, sama kontak alumni gitu. Kayaknya dia juga baru mau penelitian, ya?”

“Hmmm setau aku sih gitu. Semenjak udah nggak jabat, terus sibuk skripsi kurang tau kabar anak-anak. Tapi organisasi kamu lancar, 'kan? Gantiin posisi aku gimana?”

“Nggak gimana-gimana sih, paling ada lah mulut ngomong 'wah hebat ya, pacarnya mantan wapresma, eh yang gantiin pacarnya sendiri', gitu lah.”

“Nggak ada yang julid?”

“Nggak, kalau ada aku abaikan.”

“Pinter!” Catur mengecup kepala Iki.

Iki menarik tangan Catur, digenggamnya erat dan diusap ke pipinya sendiri, kemudian Iki mengecup pergelangan tangan Catur.

“Kak ....”

“Hmm?” Deham halus Catur. Ia hanya menatap Iki sambil tersenyum lembut.

“Ingat. Apapun yang terjadi, apapun yang kakak hadapi, jangan pernah nyerah. Selalu ingat ada aku disini yang siap sedia menjadi rumah dan comfort zone kakak. Jalani pelan-pelan, semua yang kakak lakukan udah cukup, kakak jangan sedih terus, ya? Aku tau apa yang kakak tahan, jangan dipendam ya, ada aku disini.”

Hati Catur menghangat saat mendengar deretan kalimat yang Iki ucapkan. Ia mengangguk sebagai jawaban. “Begitu juga kamu ke aku, ya? Aku akan selalu jadi rumah dan comfort zone kamu, kalau suatu saat nanti waktunya tiba kamu yang ada di posisi aku, aku akan selalu dukung kamu.”

“Kalau nanti aku di posisi kamu, aku berharap kita masih bersama ya, Kak.”

“Aku nggak mau janji, Ki. Tapi aku bakal berusaha untuk hubungan kita supaya bisa selalu bersama.”

Keduanya berpelukan erat, mereka saling membenamkan wajah di leher satu sama lain. Mencari kehangatan dan ketenangan di sana. Dada yang saling bertemu, detak yang saling bersahutan, membuat pasangan ini semakin mengeratkan pelukannya, mereka tau, mereka sadar sedang dalam titik terbawah, namun mereka selalu berjuang untuk menguatkan satu sama lain.

Aku sayang kamu, Ki. Sayang sekali. Cinta.

Aku tau, Kak. Aku juga.

Pelukan merenggang, Catur yang duluan memutuskan kontak fisik tersebut. Ditangkupnya pipi berisi Iki, diusapnya pipi itu dengan jempolnya. Sedangkan Iki perlahan melepaskan kacamata Catur, dan mencuri sebuah kecupan di pucuk hidung mancung Catur. Empunya hanya bisa terkekeh, mendekatkan wajah kepada si manis yang sudah memejamkan matanya siap menyambut ciuman lembut dari kekasihnya.

Dua benda kenyal itu bertemu, awalnya hanya menempel, sesaat kemudian Catur mulai menggerakkan bibirnya menarik bibir bawah Iki ke dalam ciumannya. Si manis pun membalas ciuman tersebut, keduanya sudah begitu biasa dan lihai memangut bibir satu sama lain. Pinggang ramping Iki dipeluk erat oleh Catur, sedangkan tangan Iki yang masih menggenggam kacamata milik Catur, ia bawa untuk memeluk leher Catur dan mengusap halus tengkuk Catur.

Ciuman mulai menyebar perlahan ke pipi, rahang dan turun ke leher Iki. Catur menyempatkan diri untuk menghirup aroma Iki, yang tak ada habis-habisnya, bagaikan candu. Dikecup pelan leher putih itu, dan Iki merenggangkan lehernya agar memudahkan Catur menjelajahi lehernya, sedangkan tangannya tak bisa diam berada di tengkuk Catur, ia menarik pelan rambut Catur.

Baru saja Catur hendak melancarkan aksinya untuk memberi tanda kepemilikan, ada suara ketukan pintu yang keras, sontak membuat pasangan ini terkejut dan menghentikan kegiatannya.

“Kak!?” Panik Iki.

“Siapa yang ngetok?” Tanya Catur.

Terdengar lagi suara ketokan itu, bahkan lebih keras seperti suara gedoran. Perhatian Iki teralihkan ke televisi yang masih menyala, ternyata sumber suara tersebut berasal dari sana.

Merasa konyol, Catur dan Iki terbahak kencang, bahkan Iki merasa malu dan memendam wajahnya pada dada Catur.

“Badut banget kita, mana tegang banget berasa lagi digrebek!” Kata Catur yang masih belum menghentikan tawanya.

“Itu artinya emang disuruh istirahat, nggak boleh macam-macam!” Iki mendorong Catur menjauh, melepaskan pelukannya.

Catur hanya dapat menggeleng sambil terkekeh, ia mengambil alih kacamatnya dari tangan Iki dan memakainya kembali. Seketika hening, Iki menatap dalam Catur, senyum tak jua pudar dan masih bertahan dari wajah keduanya.

“Ganteng.” Ujar Iki tiba-tiba.

I know.”

“Punya siapa?”

“Kiki.”

“Sayang Kiki?”

“Banget.”

“Cinta?”

“Nggak perlu ditanya.”

“Seberapa banyak?”

“Seginiiiiii!!” Catur merentangkan lengannya lebar-lebar, kemudian memeluk erat Iki dan mengecup dahi kekasihnya.

“Hehehehe aku juga!!” Iki juga ikut mencoba merentangkan lengannya, dan memeluk erat Catur.

Tawa terdengar di seluruh sudut ruangan apartemen malam itu. Tak peduli jika di luar hujan semakin deras, bersamaan dengan petir yang mengerikan, pun di dalam apartemen ini terdapat sepasang kekasih yang saling mencintai, saling menguatkan satu sama lain, membuat suasana mengerikan menjadi suasana yang begitu menyenangkan penuh cinta.

Biarkan malam ini menjadi hari istirahat mereka, berbagi waktu yang sempat terbuang demi mengejar target menuju masa depan. Entah apa yang akan terjadi esok hari, biarkan menjadi misteri, baik Catur maupun Iki akan siap melewati misteri-misteri yang akan muncul di kemudian hari, asal keduanya menghadapinya bersama.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii