“Mas,” panggil sang ragil kepada kakak keduanya yang berbaring di depan televisi bersama seluruh saudaranya seraya mengunyah kastengel buatan Nana, “Bunda dulu kalo pas lebaran gimana penampilannya?”
Radewa menarik napas panjang, melirik adiknya yang setengah sendu, “Cantik.”
Sang alpha mengamati dua anggotanya, kemudian mengambil kastengel yang dipeluk Jingga dan bergabung dalam obrolan mereka, “Bunda biasanya berpendirian kokoh, Ngga,” ujarnya dan mengambil kastengel kembali, “Bunda itu bakal lembur sampai H-5 lebaran, nanti izin cuti lebaran. Kalo nganti diminta untuk datang, Bunda nolak terus protes.”
“Kayak Abang kalo disuruh beli tepung terus diminta lagi beli telur dan yang lain ya?” tanya Jingga penasaran.
“Persis kayak Danar, sifat Bunda banyak turun ke Danar sama Nana. Kamu yo ada, tapi lebih ke campuran Ayah sama Bunda,” jelas Mahesa.
“Bunda itu penyayang, ngopeni, sama teman yang baik,” tambah Danar yang tiba-tiba datang menyambar kastengel, “dulu kita itu iri sama kamu, kamu yang paling Bunda sayang. Akhirnya kita sadar kalo Bunda begitu karena dapetin kamu itu susah.”
Jahan dengan koci-koci di pipinya ikut menyambung, “Bunda suka aneh-aneh, yang namanya ikut lomba panjat pohon waktu keluar rumah sakit, bantu kawan Ayah nglakoni pekerjaan berat, sama suka ngajak kita penasaran dengan satu hal yang cukup aneh.”
“Bukan cukup, pancen aneh,” ujar Danar.
“Yo podho ambek arek iku (sama kayak anak itu),” tambah Radewa yang merujuk kepada Jingga dengan kekehannya.
Nana membuat atensi saudaranya teralih, potongan-potongan bistik dengan aroma menyeruak menghentikan obrolan mereka. Dibawanya pula piring-piring dan alat makan untuk digunakan saudaranya, bersama dengan sebotol besar sirup yang ia jepit dengan lengan dan tubuhnya agar tidak serat.
“Ngomongin Bunda ya?” tanya Nana dan meletakkan barang-barangnya yang dijawab dengan sahutan ramai, “tak ceritani dulu Bunda gimana waktu riyaya.”
Nana menarik napas panjang, tentu saja saudaranya mengizinkan karena dialah yang paling pandai menahan tangis kala bercerita tentang ibunya.
“Bunda dulu sebelum sakitnya parah dan akhirnya 'pulang' pernah ngajak aku masak, kita bikin kastengel sedangkan kalian lagi bareng Ayah mlaku-mlaku. Bunda bilang kalo aku harus pintar masak karena masakan aku enak, mungkin Bunda udah tau kalo sebentar lagi gak bakal bisa masak yang enak-enak buat kita,” mulainya.
Sedari tadi Cakra memilih diam, ia tak ingin menangis. Sederhananya, Cakra tidak ingin teringat tentang kenangannya dengan sang ibu karena saat menangis pipinya selalu dijadikan mainan oleh beliau.
“Bunda suka masak, Bunda suka banget. Tapi Bunda gak pernah biarin dia makan duluan sampai akhirnya sakit dan berpulang ya karena begitu,” ucap Nana. Napasnya memberat dan ucapannya sedikit tercekat, “Bunda paling suka bikin gado-gado karena kita suka semua, Bunda pernah bilang itu ke aku karena kalian podho gak doyan sayur.
“Aku gak pernah bikin gado-gado pas lebaran mergo takut kalian kecewa dan makin kangen Bunda,” ujarnya dan menghilangkan air matanya, “Mas Danar pernah marah dulu karena gado-gado buatan aku gak sama kayak Bunda, jadi sejak itu aku bikin gado-gado buat aku sendiri,” tutup Nana dan menahan gemuruh di dadanya.
Jangan tanya kondisi Danar sekarang, air matanya sudah memenuhi pipinya dan masih menggenggam beberapa potong kastengel di tangan kirinya. Sejujurnya ia sangat merasa tidak enak hati dengan adiknya, terlebih menyangkut masakannya. Nana sangat ingin membuat makanannya terasa sama seperti ibu mereka dengan alasan agar merasa ibunya masih berada di sekitar mereka.
“Bunda sayang banget sama Ayah, sama kita semua. Kita juga sayang sama Bunda, tapi ada yang lebih sayang dari kita semua dan minta Bunda pulang.”
Tangis Nana pecah, isaknya hening namun penderitaannya begitu dalam. Mahesa merengkuhnya sebisa mungkin walau hatinya juga sama-sama pedih.
“Harus pas sebelum aku ulang tahun ya?” tanya Cakra yang membuat suasana kian hening, “hadiahku sebelum ulang tahun itu doa dari Bunda yang bilang aku bakal sukses dan banggakan keluarga ini.”
“Mari riyaya wis ditinggal ibu (setelah lebaran sudah ditinggal ibu),” gerutu Cakra yang segera ditenangkan oleh Jahan.
Jingga terdiam, pundaknya sudah naik-turun tak teratur, matanya memerah bersama dengan aliran dari netra yang deras menuruni pipinya, “Bunda baik, pantes ya disayang Allah,” ucapnya, “cuma Bunda ninggalin aku cepat banget, Mas sama Abang jangan gitu.”
“Kita semua gak bakal ninggal Jingga, ayo kita tumbuh bareng-bareng sampai bisa ngeliat kamu sukses,” ucap Radewa mengelus kepala adiknya.
“Besok kamu cerita ke Bunda ya? Kamu boleh cerita sak puase, gak masalah kalo kita semua nangis, sing penting kamu gak kangen Bunda untuk waktu yang agak lama,” ucap Danar memeluk adiknya dalam.
Ketujuhnya sadar, hal yang paling menyakitkan ialah kala mereka tak bisa lagi mendapat jawaban akan permohonan maaf dan permintaan doa dari ibunya. Pintu surga mereka hanya tersisa milik ayahnya, walau jauh tetapi hati mereka tetap tinggal dan bersemayam bersama sang ayah