tequierre

Haechan lokal oneshot


Hening dan senyap, hanya ada deru mesin mengelilingi Kota Hujan yang mengisi atmosfer di dalam kuda besi milik lelaki berkulit sewarna madu. Bibirnya terkatup rapat, sama sekali tak ada suara yang ia keluarkan.

Tatapannya nyalang ke depan, tangan yang biasa menggenggam sang gadis kala memutar stirnya kini ia letakkan di tempat yang sama seperti tangan kanannya, berusaha tak peduli dan menahan amarahnya yang bisa saja meledak kapan saja.

Puan yang menggenggam gawai di sisinya melirik, menarik napas mempersiapkan kalimat yang hendak dilontarkan kepada kekasihnya.

“Belum cukup?” potong sang tuan seraya memutar bola matanya.

“Heru deng—”

“Kerjasamanya seru, ya? Sampai gak sadar udah punya cowok,” tebasnya tanpa ampun, “aku bebasin kamu buat main sama teman cowok kamu, tapi kalau kamu memanfaatkan kesempitan ini ya


Mesin mobil berderu, derap langkah kaki dari ketujuh Segoro mewarnai sore itu. Di balik euforia kebahagiaan menyambut kepulangan sang ayah, seorang lelaki yang bertubuh paling kecil diantara ketujuhnya sibuk mengatur empat lainnya.

“DANARGENTA!” teriaknya memanggil lelaki yang masih asik menghayati segelas susu milo hangat di tangannya.

Kepalanya memanas, sedangkan adiknya yang lahir tepat setelahnya hanya terkekeh melihat tingkah kakaknya, “Santai aja, Mas. Paling sampai sana juga baru maghrib, Ayah belum landing.”

Radewa menghela napasnya dan menatap adiknya, “Kalo mereka lambat, nanti kebiasaan. Lha itu, lihat aja Jingga masih menghayati komunikasinya dengan sepatu, Cakra kalo gak diingetin bisa nabrak tiang. Titenono (tunggu aja).”

Selangkah pemuda Sergei berjalan, serapah berbahasa Jawa terdengar syahdu merasuk indra rungu.

“Belum ada satu menit,” ujar Radewa. Lagi-lagi matanya kembali menyaring adik-adiknya yang belum kunjung mendekati mobil, Narapati masih belum terlihat batang hidungnya.

Mahesa mendekat ke arah dua adiknya, “Nana mana?”

Keduanya menggeleng tak tahu, Radewa kembali mempersiapkan suaranya. Untung saja Mahesa sempat menahan adiknya bersuara kembali sebelum kembali memelengkingkan panggilannya.

“Lha kok pada ngumpul?” tanya Nana yang tiba-tiba datang mendekat kearah tiga saudara tertuanya, “mobilnya gak dipanasi ta, Mas?”

“Harusnya aku yang tanya dari tadi kamu kemana, Na,” ujar Mahesa kemudian menyerahkan kunci mobilnya, “panasi sisan ae (panasin sekalian aja).”

Jahan pun menyalakan pendingin, “Dhisik, yo. Tak majuin dulu mobilnya,” tuturnya dan menutup kaca mobil yang disusul kericuhan dari dua adiknya kala memasuki kendaraannya.


Masih lekat senyummu yang begitu indah, enam tahun lalu saat kita berada di klub yang sama dan berbagi tawa. Rasanya seperti baru kemarin, sama seperti jabat tanganku dan pengalungan medali dimana kau berdiri dan membacakan puisi pelepasanku.

“Kak Haidar!” serumu di Sabtu pagi, di mana embun masih menetes dalam hijaunya rerumputan dekat sekolah.

Tak ada yang salah denganmu hari itu dan hari-hari sebelum bahkan setelahnya, hanya gadis periang yang sangat suka sekali bermain dengan segudang bakat yang kadangkala aku inginkan pula. Sempurna, itu kata yang pantas untukmu dan aku tidak berhak memilikimu karenanya.

Kalau boleh jujur, aku cukup cemburu dengan sahutan kawan-kawanmu yang menyatakan hatimu untuk kawan sekelasmu. Sakit memang, tetapi toh yang dijodohkan itu pula seorang pemenang lomba karate, tidak sepertiku yang hanya mendapat predikat si anak baik dari para guru.

Kubanting perasaanku kepada gadis yang memang dijodohkan pula denganku,


Masih lekat senyummu yang begitu indah, enam tahun lalu saat kita berada di klub yang sama dan berbagi tawa. Rasanya seperti baru kemarin, sama seperti jabat tanganku dan pengalungan medali dimana kau berdiri dan membacakan puisi pelepasanku.

“Kak Haidar!” serumu di Sabtu pagi, di mana embun masih menetes dalam hijaunya rerumputan dekat sekolah.

Tak ada yang salah denganmu hari itu dan hari-hari sebelum bahkan setelahnya, hanya gadis periang yang sangat suka sekali bermain dengan segudang bakat yang kadangkala aku inginkan pula. Sempurna, itu kata yang pantas untukmu dan aku tidak berhak memilikimu karenanya.

Kalau boleh jujur, aku cukup cemburu dengan sahutan kawan-kawanmu yang menyatakan hatimu untuk kawan sekelasmu. Sakit memang, tetapi toh yang dijodohkan itu pula seorang pemenang lomba karate, tidak sepertiku yang hanya mendapat predikat si anak baik dari para guru.

Kubanting perasaanku kepada gadis yang memang dijodohkan pula denganku,


“Mas,” panggil sang ragil kepada kakak keduanya yang berbaring di depan televisi bersama seluruh saudaranya seraya mengunyah kastengel buatan Nana, “Bunda dulu kalo pas lebaran gimana penampilannya?”

Radewa menarik napas panjang, melirik adiknya yang setengah sendu, “Cantik.”

Sang alpha mengamati dua anggotanya, kemudian mengambil kastengel yang dipeluk Jingga dan bergabung dalam obrolan mereka, “Bunda biasanya berpendirian kokoh, Ngga,” ujarnya dan mengambil kastengel kembali, “Bunda itu bakal lembur sampai H-5 lebaran, nanti izin cuti lebaran. Kalo nganti diminta untuk datang, Bunda nolak terus protes.”

“Kayak Abang kalo disuruh beli tepung terus diminta lagi beli telur dan yang lain ya?” tanya Jingga penasaran.

“Persis kayak Danar, sifat Bunda banyak turun ke Danar sama Nana. Kamu yo ada, tapi lebih ke campuran Ayah sama Bunda,” jelas Mahesa.

“Bunda itu penyayang, ngopeni, sama teman yang baik,” tambah Danar yang tiba-tiba datang menyambar kastengel, “dulu kita itu iri sama kamu, kamu yang paling Bunda sayang. Akhirnya kita sadar kalo Bunda begitu karena dapetin kamu itu susah.”

Jahan dengan koci-koci di pipinya ikut menyambung, “Bunda suka aneh-aneh, yang namanya ikut lomba panjat pohon waktu keluar rumah sakit, bantu kawan Ayah nglakoni pekerjaan berat, sama suka ngajak kita penasaran dengan satu hal yang cukup aneh.”

“Bukan cukup, pancen aneh,” ujar Danar.

Yo podho ambek arek iku (sama kayak anak itu),” tambah Radewa yang merujuk kepada Jingga dengan kekehannya.

Nana membuat atensi saudaranya teralih, potongan-potongan bistik dengan aroma menyeruak menghentikan obrolan mereka. Dibawanya pula piring-piring dan alat makan untuk digunakan saudaranya, bersama dengan sebotol besar sirup yang ia jepit dengan lengan dan tubuhnya agar tidak serat.

“Ngomongin Bunda ya?” tanya Nana dan meletakkan barang-barangnya yang dijawab dengan sahutan ramai, “tak ceritani dulu Bunda gimana waktu riyaya.”

Nana menarik napas panjang, tentu saja saudaranya mengizinkan karena dialah yang paling pandai menahan tangis kala bercerita tentang ibunya.

“Bunda dulu sebelum sakitnya parah dan akhirnya 'pulang' pernah ngajak aku masak, kita bikin kastengel sedangkan kalian lagi bareng Ayah mlaku-mlaku. Bunda bilang kalo aku harus pintar masak karena masakan aku enak, mungkin Bunda udah tau kalo sebentar lagi gak bakal bisa masak yang enak-enak buat kita,” mulainya.

Sedari tadi Cakra memilih diam, ia tak ingin menangis. Sederhananya, Cakra tidak ingin teringat tentang kenangannya dengan sang ibu karena saat menangis pipinya selalu dijadikan mainan oleh beliau.

“Bunda suka masak, Bunda suka banget. Tapi Bunda gak pernah biarin dia makan duluan sampai akhirnya sakit dan berpulang ya karena begitu,” ucap Nana. Napasnya memberat dan ucapannya sedikit tercekat, “Bunda paling suka bikin gado-gado karena kita suka semua, Bunda pernah bilang itu ke aku karena kalian podho gak doyan sayur.

“Aku gak pernah bikin gado-gado pas lebaran mergo takut kalian kecewa dan makin kangen Bunda,” ujarnya dan menghilangkan air matanya, “Mas Danar pernah marah dulu karena gado-gado buatan aku gak sama kayak Bunda, jadi sejak itu aku bikin gado-gado buat aku sendiri,” tutup Nana dan menahan gemuruh di dadanya.

Jangan tanya kondisi Danar sekarang, air matanya sudah memenuhi pipinya dan masih menggenggam beberapa potong kastengel di tangan kirinya. Sejujurnya ia sangat merasa tidak enak hati dengan adiknya, terlebih menyangkut masakannya. Nana sangat ingin membuat makanannya terasa sama seperti ibu mereka dengan alasan agar merasa ibunya masih berada di sekitar mereka.

“Bunda sayang banget sama Ayah, sama kita semua. Kita juga sayang sama Bunda, tapi ada yang lebih sayang dari kita semua dan minta Bunda pulang.”

Tangis Nana pecah, isaknya hening namun penderitaannya begitu dalam. Mahesa merengkuhnya sebisa mungkin walau hatinya juga sama-sama pedih.

“Harus pas sebelum aku ulang tahun ya?” tanya Cakra yang membuat suasana kian hening, “hadiahku sebelum ulang tahun itu doa dari Bunda yang bilang aku bakal sukses dan banggakan keluarga ini.”

Mari riyaya wis ditinggal ibu (setelah lebaran sudah ditinggal ibu),” gerutu Cakra yang segera ditenangkan oleh Jahan.

Jingga terdiam, pundaknya sudah naik-turun tak teratur, matanya memerah bersama dengan aliran dari netra yang deras menuruni pipinya, “Bunda baik, pantes ya disayang Allah,” ucapnya, “cuma Bunda ninggalin aku cepat banget, Mas sama Abang jangan gitu.”

“Kita semua gak bakal ninggal Jingga, ayo kita tumbuh bareng-bareng sampai bisa ngeliat kamu sukses,” ucap Radewa mengelus kepala adiknya.

“Besok kamu cerita ke Bunda ya? Kamu boleh cerita sak puase, gak masalah kalo kita semua nangis, sing penting kamu gak kangen Bunda untuk waktu yang agak lama,” ucap Danar memeluk adiknya dalam.

Ketujuhnya sadar, hal yang paling menyakitkan ialah kala mereka tak bisa lagi mendapat jawaban akan permohonan maaf dan permintaan doa dari ibunya. Pintu surga mereka hanya tersisa milik ayahnya, walau jauh tetapi hati mereka tetap tinggal dan bersemayam bersama sang ayah


Wajah Danar lebih pahit ketimbang buah maja muda, telinganya terlihat abang dengan netra dengan sorotan tajam. Mungkin memang Danar akan berkata aku gak marah tetapi menunjukkan senyumnya yang saat itu akan terlihat seperti singa belum makan selama tiga hari. Danar memang bisa menahan ledakan emosinya, namun wajahnya tidak bisa berbohong.

“Mas Danar, dulu emang ada kejadian apa di kapal?” tanya Cakra kepada kakaknya yang tengah membereskan makanan yang berserakan di meja jati ruang keluarga sebelum menghantamkan tubuhnya kembali ke sofa.

Cakra hanya mengamati kakaknya kesana kemari, saat Danar duduk barulah anak tengah itu menarik napas dan menyalakan televisi agar ramai sebelum ia bercerita kepada adiknya.

“Kamu bukannya ikut ke kapal ya waktu itu?” tanya Danar begitu dingin.

Kayak badboy wattpad aja, ngomongnya datar banget, batin Cakra. Syukur saja bukan Radewa atau Jingga, jiwa kritikus keduanya sangat tinggi kala menghadapi Danar.

“Iya aku ikut,” angguk Cakra, “tapi lha kok aku bisa-bisanya gak tau Mas Danar jatoh?”

Wong yang tau setengah itu Nana seinget aku, itu juga dia gak terlalu tau awalnya gara-gara lagi menambah koleksi fotonya,” ujar Danar seraya meraih wadah kerupuk terung dan mengunyah isinya, “sini tak ceritakan.”

5 Oktober, setahun lalu

“Kamu itu bisa nggak gak ngeledek aku gara-gara masih botak?” tegur Ja'far yang kesal adik sepupunya mengejek tampilannya tak henti, rasanya ingin membawa sepupunya menuju tiang layar kapal dewaruci di samping kapal yang mereka jelajahi.

Danar tertawa tanpa dosa, “Nggak, kepala Mas Ja'far kayak mikrofon. Nanti tak pake halo-halo ke orang di luar kapal,” ejeknya dan berlarian mendekati para kapten dan mungkin kawan-kawan sejawat kakak sepupunya.

“Danar!” seru Ja'far dan mengejar anak bibinya.

Tersisa kurang lebih satu meter jaraknya dari kerumunan petinggi kapal, langkahnya terhenti dan terlihat Danar yang mengejeknya kembali. Anak itu bersembunyi tepat di belakang ayahnya yang pasti tak akan bisa dikejar oleh Ja'far.

Kapten Johan—sebelum naik pangkat—melirik ke arah belakangnya, kemudian menatap Ja'far penuh canda, “Sun, kamu apain Danar?”

Ja'far memasang pose siaga, “Siap, Tor. Bukan apa-apa, iseng doang,” jawabnya dan melirik Danar dengan kesabarannya yang hampir menipis.

“Yang lain mana, le?” tanya Kapten Johan.

“Nana di belakang lagi foto buat konsumsi pribadi.”

“Dia pake kamera gede apa sing punyanya HP?”

“HP kok, Yah. Dikasih tau Mas Mahesa tadi jangan bawa kamera gede.”

Sang ayah mengangguk, kemudian kembali berjalan bersama beberapa rekannya.

Danar begitu tertarik dengan ruangan per ruangan dari kapal, langkahnya terhenti dan otaknya memberi perintah untuk tinggal sejenak. Entah pula mengapa ia begitu menghayati apa yang dirinya lihat, yang pasti Danar begitu antusias memperhatikan sudut demi sudut ruangan kapal dari luar.

Ja'far menghentikan langkahnya menunggu dua sepupunya berjalan dan mendekat ke rombongan rekan pamannya. Sebenarnya karena Ja'far malas lagi diinterogasi jika sampai hilang dan keduanya bertindak seperti anak hilang lelaki muda itu pun menahan hasratnya untuk tetap berjalan.

Anak tengah dari Kapten Johan tersadar bahwa sudah cukup lama mengamati ruangan, tak tahu apa yang ada di kepalanya yang pasti ia diminta untuk berlari. Seakan dibutakan oleh keinginannya untuk mengejar ayahnya, bahkan sekat-sekat pun dilewat seakan tak ada sesuatu di sana.

Ja'far menatap sepupunya yang berlari dengan posisi badan yang tersandar di dinding, “Danar pelan-pe—”

Nahas diderita Danar, nasibnya memilih dirinya untuk menghantamkan kakinya ke kaki Ja'far yang sedikit menghalangi jalan.

Pemuda Narapati menoleh, tepat pada saat itu pula suara debuman keras terdengar dari depannya. Langkahnya terpacu dan melihat kakak kembarnya mendesis nyeri sembari mengelus lutut dan siku, agak kasihan ia melihatnya.

Iya benar, hanya agak.

Sedangkan Kapten Johan dan rekannya menghentikan kaki mereka, sengaja melihat dan mendengar penjelasan dari Ja'far atau mungkin Danar sebagai korban. Beberapa ada yang terkekeh, termasuk Kapten Johan sendiri menahan tawanya karena tahu pasti apa yang dilakukan anaknya.

“Aku lho belum selesai ngomong, kamu langsung nggeblas. Di kapal juga gak boleh lari,” babat Ja'far sebelum sepupunya menyerang dengan argumen, “isih bisa jalan kan?”

Danar terdiam dan menatap Ja'far tajam, napasnya ditarik bersamaan dengan Nana dan Ja'far mencoba membantunya bangkit untuk berjalan.

“Kamu itu juga ngapain lari? Disuruh apel? Makanya segala sesuatu gak baik terburu-buru yo karena ngunu,” omel Ja'far kembali dan Danar pun hanya bisa terdiam seraya menahan malu yang teramat sangat karena dilihat oleh kawan ayahnya.

cw // a bit cursing


“COK!” seru Cakra berdebat dengan adiknya. Jingga masih bersikeras Cakra-lah yang mengambil fotonya secara diam-diam saat sedang berargumen, intinya Cakra, Cakra, dan pasti Cakra yang melakukannya.

Getar dan suara notifikasi pesan dari ponsel keduanya tak henti berdering, seakan dalam mode senyap mereka tidak mengindahkan suara-suara tersebut, yang ada hanyalah amarah dan emosi berkobar di hati mereka.

Jingga memang sedikit lebih dewasa saat perdebatan, meski dia terbilang paling kecil dibanding seluruh kakaknya tetapi ia memiliki tingkat kesabaran yang lebih tinggi ketimbang Cakra, walau tetap saja juara paling sabar masih dipegang oleh Jahan.

“Sok ngomong privasi, mukaku juga privasi!” terobos Jingga menyanggah perkataan kakaknya dan mencoba menerka kunci layarnya kembali.

“JINGGA GAK SOPAN KAMU SAMA MASMU!” amuk Cakra dan meraih lego berbentuk pesawat milik adiknya, “kasih itu atau aku banting ini.”

Dengan segera Jingga menyambar lego miliknya dan tanpa sengaja tangannya malah memukul kepala Cakra yang tengah menunduk menghindar.

Lego didapat, amarah pun terlempar. Lagi-lagi Cakra memarahi Jingga dan mulai melanjutkan sumpah serapah, walau hal ini bukan hal yang aneh lagi di keluarga Segoro namun tetap saja panas telinga mereka mendengar teriakan dan amuk dari dua adik yang paling kecil.

“CAKRA KAMU ITU—” Jingga siap menyerang kakaknya.

“JINGGA! CAKRA!” seru kakak yang paling sering dititipi amanah untuk menenangkan keributan diantara para adiknya. Ia menarik Jingga dan Cakra dalam rangkulannya sehingga jarak mereka hanya dibatasi oleh torsonya, “siapa yang ngajarin kalian berantem begini?”

“Jingga nuduh duluan!” protes Cakra.

Jingga tidak terima, dia melakukan pembelaan, “Cakra duluan yang ngambil fotoku tanpa izin!”

Merasa disudutkan, Cakra pun membalas, “Nggak! Tau dari mana kalo—”

“Udah tho, kalian berdua ini ribut gara-gara hal begini sampe polusi suara,” sela Jahan memangkas perdebatan keduanya sebelum perang kembali terjadi.

Terdengar derap langkah susulan dari tangga, sesosok pemuda berkulit sewarna madu menarik napasnya dalam-dalam dan meneguk saliva guna membasahi tenggorokannya yang kering oleh udara.

“Jingga-Cakra, maafin Mas bikin kalian ribut,” ucap Danar terengah.

Jahan terkekeh melihat adik kembarnya yang begitu terburu-buru, “Napas dulu baru ngomong, kalo bareng nanti keselek.”

Danar mengangguk dan menunggu pernapasannya normal, kemudian menatap kedua adiknya, “Mas minta maaf, mungkin kesannya kayak ngadu kalian, tapi yang fotoin sama up ke twitter itu aku bukan Cakra atau Mas Mahesa,” jelasnya, “Mas gak niat bikin kalian berantem, jujur. Dikirain juga kalian gak bakal berantem sampai kayak begini, Mas minta maaf banget.”

Lha awakmu kok bisa buka HP Mas Mahesa lho, Nar?” tanya Jahan.

“Aku kan biasanya kalo ada urusan apa-apa pake HP Mas, makanya aku tau kunci layarnya.”

Cakra dan Jingga terhanyut dalam pikirannya. Keduanya ingin meminta maaf tapi ego dan gengsi masih terlalu tinggi, hening suasana dibuat, untung saja Jahan peka dengan kondisi berikut dan segera mengeratkan rangkulannya.

Jahan meraih tangan Cakra, bersama dengan tangan Jingga pun ia raih dan menyatukan tangan keduanya lalu meminta bersalaman seperti anak usia taman kanak-kanak, “Minta maaf ya, siapa yang mau duluan?”

Keduanya masih membisu.

Yo wis, 'Mas Cakra, Jingga minta maaf karena nuduh yang gak bener. Tolong dimaafkan',” bantu Jahan menyalami tangan Jingga dan Cakra.

“Cakra gimana?” tanya Jahan, “Gak jawab? Oke, 'Aku maafin, lain kali crosscheck dulu kalo mau nuduh'.”

“Ayo pelukan kayak teletubbies, gak tak video kok,” goda Danar memandangi adik-adiknya.

Keduanya terdiam, kemudian Jahan menyatukan keduanya dalam pelukan. Biasanya mereka akan luluh jika melakukan hal ini.

“Jingga,” bisik Cakra, “aku minta maaf ya udah nyeplos kasar, maaf tadi aku kesal soalnya kamu asal nuduh aku.”

“Aku yang minta maaf,” balas sang ragil, “harusnya aku gak asal nuduh tapi aku keburu kesal. Udah aku maafin kok kelakuanmu.”

“Nah gini, kelihatannya yo adem lho. Kalian apa gak capek ribut terus?” tanya Danar.

“Ngaca, awakmu aja kerjaannya nyari ribut. Harusnya aku yang tanya ini ke kamu,” balas Jahan dengan dua bulan sabit yang terbentuk di matanya.


Terkadang sendiri dan merindu adalah cara yang tepat agar semesta mengenalkan diriku dengan sisi yang harus kuketahui tentangmu

“Ini hari ketujuh, Sa,” tutur seorang lelaki yang memeluk gitar—karena hanya itu satu-satunya hal yang bisa Aksa peluk sekarang—kepada dirinya, “lepas, seminggu ini lu udah ngegenjreng La La Lost You. Lu gak bosen?”

Petrikor menyergap indra penghidunya dan membuat ia tersenyum di tengah derita yang dia alami, “Selalu, ya?”

Diam namun pasti, lelaki itu tak kapoknya menengok ke arah meja belajar kayu di sudut ruangan. Potret seorang gadis yang berdiri di sampingnya, memegang sekotak cokelat dari Aksa. Bibir ranum dengan kulit bersih melekat dalam memori Aksa, teringat akan dirinya yang pernah mengelus kulit milik puan tersebut kala sedih, menggenggamnya kala mencurahkan kasih sayangnya, serta banyak kisah yang Aksa ingat betul.

Hari ketujuh setelah Aksa tahu bahwa gadis itu menduakannya dan membuangnya seperti binatang liar pengganggu. Sayang beribu sayang, cinta membuat ia buta, tetapi karena ini bukan pertama kali berbuat seenak hati, Aksa segera membantainya dengan ucapan Kita lebih baik selesai ketimbang aku sakiti hati aku sendiri.

Napasnya ia tarik perlahan, melemparkan pandangannya kearah luar jendela dan memerhatikan rintik gerimis yang mengetuk jendela seakan meneriakkan kepiluan pula kepada Aksa. Jika Aksa tidak salah kira, ini hari ketujuh pula hujan tak henti turun. Agaknya sang taruna sudah muak sekali, permainan gitar tembang La La Lost You, hujan yang turun sedikit demi sedikit, bersama dengan perasaan yang berkecamuk sudah menjadi syair tujuh harinya.

Aksa melepas gitarnya dan meraih potret sang gadis dengan dirinya. Dadanya sesak menahan gemuruh amarah yang bercampur lara, ibu jarinya mengelus kaca bingkai perlahan, “Kasih tau aku, apa alasan kamu berpaling?”

Kosong, hanya jam yang berdenting dan hujan menabrak kaca bersuara.

“Kamu,” suara Aksa tertahan, ada sesuatu yang hendak keluarkan namun dirinya tak kuasa melakukannya, “senang 'kan sama dia? Tolong bilang kamu senang dan bahagia sama dia.”

Hujan turun begitu deras mengguyur seperti ada yang menyiram air begitu banyak, Aksa membuka bingkai miliknya dan menarik foto yang membuat pilu lalu mengamati lekat-lekat.

“Kata kamu, aku itu semesta. Ternyata benar, ya? Kata hujan, dia ikut pilu karena melihat semesta yang sedang sakit hati. Semoga malam milikmu ramai penuh warna, gak kayak aku yang sepi diisi layu,” bisik Aksa dan merobek gambar itu lalu menyisakan potret dirinya seorang.

— Day 1; selesai — @andsvng

Tanyakan pada diri Akankah dia masih bisa bertahan Atau jatuh sudah ia terguling pilu

Bara dalam sukma berderak Katakan saja bahwa tak dapat mengalah Biar angkasa tahu Biar hembus anemoi menyapa paras Perjuanganmu sudah cukup Beri dia rehat walau sejenak

Aku ingin pulang Namun tak punya rumah Aku ingin berkisah Namun kelu lisan dibuat Aku ingin merasakan sedikit afeksi Namun milik siapa yang bisa kupinta

Terkurung Sendiri Layaknya semesta meminta membuang seisi bebannya Diletakkan dan ditekan pada bahumu

Malam ini biarlah netra tergenang Biar lenganmu memeluk dirimu sendiri Lepas topengmu sesaat Buat dirimu nikmati rasanya menghidu udara

Buat matamu terpejam Sudah Kau layak mendapatkannya Perjuanganmu sudah cukup jauh Biar gelapnya malam menghibur diri Yang tergulung sepi Yang terikat sendu

— Σ —

Angin lembah berembus begitu kencang, dinginnya menembus lapis kulit milik gadis yang baru menginjakkan kakinya di gunung suci rakyat Korea. Umurnya masih lima belas tahun terlewat enam bulan namun ibunya memutuskan untuk melepas anak perempuan satu-satunya di tengah dinginnya salju yang menusuk demi memberikan tempat aman bagi dirinya.

Raungan dengan bumbu lolongan serigala di malam yang bisa saja membunuh setiap yang bernyawa tak menggetarkan kata-kata yang menjadi titipan ibunya, “You'll find the real side of you.”

Salvia tidak peduli dengan segerombol makhluk bertaring dan bernapas hangat yang dihadapinya, pilihannya hanya dua: melawan atau berhenti sementara. Tak ada opsi putar balik, hatinya telah mengeras dan membulat seiring dibekukan oleh suhu minus derajat.

Netra cokelat gelapnya berkilat, genggamannya menguat. Jantungnya berdetak begitu kencang tak henti dan ia tak suka itu, sebenarnya Salvia tidak merasa terganggu, hanya saja makhluk itu terus menerus mengaum seakan menghalangi dirinya.

“Asian bear, eh?” bisiknya dan memerhatikan kalung putih di dadanya, “kalian terancam dan masuk di list WWF. Ada baiknya kalau pergi dari sini terus cari makan,” pinta Salvia.

Tak ada perubahan, yang ada hanyalah taring-taring dan cakar tajam di depan wajahnya. Gadis itu mau tidak mau bertindak, terkadang ia menjahili beruang grizzly di tempatnya berasal, namun ini pertama kalinya berhadapan dengan beruang asia.

Mulai dihitung jumlah beruang tersebut, enam lawan satu. Salvia mendengus dan perlahan mengambil langkah untuk menghindar sebisa mungkin dari gerombolan beruang tersebut. Nahas, keadaannya terkepung, mau tidak mau ia harus mengeluarkan perlawanan.

Senyum miringnya menyapa para beruang, “Kalian yang minta, aku cuma mau melindungi diri,” tuturnya dan segera memberikan erangan balik agak memukul mundur para beruang di depannya.

Tanpa senjata, Salvia mencoba melumpuhkan beberapa beruang tersebut sampai dirinya merasa sesuatu yang cukup besar mencoba menghantamnya. Benar saja, seekor beruang menghantamnya dan mengurung Salvia di bawahnya.

Gigi-giginya berada di depan wajah gadis berkelahiran Paman Sam dan cakar kanannya mengenai pipi kiri Salvia. Tak sampai Salvia memberikan perlawanan, beruang itu kembali menarik garis sepanjang lengan kanannya. Amarah membara dan darahnya bergejolak, dirinya seperti dipermainkan beruang di hadapannya.

“MUNDUR!” teriak sejumlah orang yang memegang senjata, Salvia tak ingin melakukannya, sekuat tenaga ia berdiri dan meninju wajah hewan tersebut.

Salvia kembali menyeru kepada para beruang, “DEMI ZEUS DAN SUNGAI STYX, PERGI!”

Bersamaan dengan suaranya yang memecah keheningan malam, tubuhnya diselimuti aura kemerahan yang mengusir kerumunan beruang dan helm yang berasal dari logam. Chiton hitam dan kain merah di punggungnya berkibar bersamaan dengan senjatanya yang sudah berada di tangan kanannya.

Senyum sumringah terlukis di bibirnya, beriringan dengan langkah bahagia kala mengetahui hanya tersisa beberapa langkah menuju pintu masuk kamp yang bertuliskan huruf-huruf Yunani.

Lelaki dewasa dengan lesung pipi yang manisnya mengalahkan berton-ton gula dari penjuru bumi menyambut Salvia dengan kurva bahagianya.

“All hail to the Daughter of Ares,” ujarnya dan memberikan jalan kepada gadis yang baru saja diklaim oleh ayah sejatinya.