tequierre

Dikatakannya pada kalangan malam Meminta untuk dilahirkan seorang putra bumantara Berikut suara semanis madu Dengan wajah tampan bukan main

Dimintanya bilangan keduapuluh tiga untuk bersorak Sedang bulan ketiga untuk bersorai Dalam balut indahnya milenium kedua sejak Masehi Biar didengar olehnya kisah bahagia dari insan

Nusantara bergelora Sambut hari bahagianya menemui semesta Peluk kasih dan cium mesra Silih berganti layak debur ombak yang menghampiri

Namanya Wijaya Diberikan olehnya segala kejayaan yang indah Seluruh kebahagiaan dan seluruh kemenangan Larut dalam tiap deru napas yang ditariknya

Duhai sayang yang terkasih Taklah harus risau Taklah harus gundah Deras nian kata dan kalimat seindah seloka yang terangkai Bahkan Diraja Semesta memberikan kehormatan mulia Hanya untukmu dalam hari bahagianya

Tidaklah berhenti cinta dan afeksi yang diberi Andai harap bintang jatuh turun beribu Takkan cukup untuk beri harap baik dan indah Hanya untuknya dari seluruh jagat

Sonata malam mengiringi Harap dalam dasa kedua ditambah ahad miliknya Lebih indah ketimbang nirwana Lebih berwarna dari keluwung di ufuk Juga lebih nyaring dalam bahagianya Yang lebih dari kidung Pertiwi

Selamat menginjak angka dua puluh satu Moga buminya Nusantara mengiringi Diberinya pula doa baik kepada lelaki kesayangan kami Guna mengabdi dan membawa senyum indah Kepada khatulistiwa milik Ibu

'Ji, have you eat?' I asked to him while watching a Netflix series on TV.

'No, how about you?' he asked me.

I just took a deep breath and pausing for a time, 'I always said to you, please eat whenever you're busy or not,' I said without looking at him then focused on the TV.

'Hey, you too! How much I must to tell it, you have to eat whenever there's a break. You're the worst, you have stomach ulcer and you keep eat spicy food even you're not breakfast!'

He revenged and I just kept silent, with his white shirt that he rolled up as my favourite look from him, he took the remote from my back and close my series.

'Give it back! I must finish it, it just ten minutes left,' I said and tried to catched the remote.

He took it on his pocket and ruffled my hair, 'Come on, let's cook.'

I was kinda pissed off, then he smiled and went to front of me for give me his huge hands.

I touched it, 'Why you give me your hands? Do you want me to buy something?'

He shook his head, 'No that's not my purpose,' he said and grabbed my hands until I stood up, 'i know you're too lazy for cook something, but we must eat something.'

I obeyed his order, then lazily went to kitchen and looking for some food material that still can cooked or warmed.


'So, what should we make?' I asked him while looking at inventory.

He followed me and pointed at bunch of noodles, I don't know why he's so addicted with instant noodles, especially Indonesian instant noodles.

I kept his finger and looked at his face, oh God he's aegyo-ing, shouted me to myself.

How dare him to puffed his cheeks in front of me when I looking for foods, what's on his mind right now.

'No noodles, ramyeon, ramen, or some kinds of that for this week. We have eaten four servings each we made in four days in a row, you could sick if too much noodles in your tummy,' I poked his cheeks and pinched it.

He opened his mouth to spoke and I kissed his cheek for interrupted him, 'If you beg me to make it, I'll tell your mom.'

There's red ball on both sides of his cheeks, I pinched it again, 'Let's eat sausage and fries, it's better than noodle.'

He grabbed my wrist and looked at my eyes, 'If you don't want to make a noodle, I'll tell your mom for abandoning her boy.'

'Hey, that's not fair!'

'Yeah, that is,' he giggled and kissed my cheek before he ruffled my hair again, 'I won, Babe.'


As far as I watched him cooking, he did it so well, sometimes he became proud with his skill even that's must be very basic for a human, but everything that he was done is so cute.

I came to him and wrote his name on his back, then I hugged him tightly and closed my eyes. His perfume still on his shirt, I kept hugged him until he put his hand on mine.

'I know you're tired,' he said and connecting our hands.

'But not tired as you,' I whispered and kept hugged him.

He rubbed my hand and giggled, 'We're tired, but you can't said you're not tired. Everyone has their limits,' told him and took a sip of the soup, 'wanna try it?'

I nodded and I tried it too, 'Not bad, is that done?'

'Yes it is, let's watch a movie!' said him.

'Let me bring the pan and you can choose which one will suits with us for this night,' I said and bring it to TV table.

He arranged the pillows and blankets, because we can't stand with extremely cold temperature, then brought our couple jackets and took it over the blankets.

Jisung was choose the movie, his choice fell on Theory Of Everything. I put the pan over the table and slammed my body to the sofa, then wait for him to sat beside me.

'Gosh, you like a romantic-science movie,' I muttered to him.

He looked at me and grabbed my hands, 'What's wrong with that? If you could see two genres in one movie, so why not we try it?'

I giggled and took a chopsticks for eat the noodle, he knew I like that kind of movie, same like him.

'Ji,' I called him and he looked at me, there's a soup besides of his lips, I told him to remove it and he did that like a little boy.

I put my arm around his waist and looked at TV while my eyes almost closed because so sleepy, 'If we can't celebrate our anniversary together at the same place, is that okay?'

He seems confused, 'What do you mean?'

'You often going abroad, and that's not easy for move your schedule just for me then I won't you did that too. Is that okay?' I asked.

He took a deep breath and started playing with my hair, 'Of course, but no matter what happened if I still can make it, I'll come for you.'

I took my head over his shoulder and close my eyes, 'Because it's my first time for build a relationship, I'm afraid if you'll left everything for me. I won't make you come in a hard time.'

He smiled and kissed my head, 'Don't worry, I'll do everything as you want, Princess.'

I felt his arms grabbed mine and hugged me tightly with whispering some words that I can't understand because half asleep, he moved my position from sit to lay on the sofa with him. His warm hugs wrapped me up, and his heartbeat made me so relaxed.

'I love you,' I said without any purposes and hugged him more tight, 'stop being insecure, you just perfect just the way you are.'

He smiled and started connecting our hands, 'Thank you, I love you too,' he said before he started playing with my hair again, 'come on, close your eyes and started to take a rest, I after you.'

The night was so warm, as warm as his hug. Jisung's heartbeat was made me felt so safe and being his charms whenever I hugged him, he kissed my forehead before he really went to sleep.

'Good night, Babe. I hope tomorrow will be better than yesterday,' he whispered over my ear.


'Woo, I'm bored,' you told him together with his orbs gesture.

Again, you rolled on your bed and looking at your boy, 'I'm bored,' repeated you slowly.

Seems like you were talking with a handsome statue, finally you stood up and pulled his white shirt, 'What we gonna do this night?'

Hari ini Sarwa membuatmu terluka, esok pagi katakan padanya ia harus bertanggungjawab untuk bahagiakanmu

Kalangannya baladewa candra meninggi Sama tingginya dengan amarah dan sendumu malam ini Dinda katakan apa yang telah mengoyak bahagiamu

Udaramu berembus layaknya debur pasang ombak Kutahu itu akan berakhir Namun tak segera, benar bukan?

Prosa apa lagi yang hendak tertulis, Sayangku? Kutahu halamanmu masih banyak yang kosong Suatu kehormatan untukmu mengisinya sampai penuh Juga menaruh segalanya dalam derak tinta berwarna hitam

Kau tahu? Batasmu telah terlampaui Dan itu pula bukan yang kau minta Sedikit menyakitkan memang Tetapi hampir seisi semesta memintamu untuk mendobrak Tak ada pilihan lain, hanya ada maju lalu membiarkanmu terseok penuh lara

Mutiara dalam wajahmu tak seindah biasanya Karena peluh dari apa yang kau lakukan membuatnya kian mengabu Katakan saja apa yang tertahan Tak apa, jujur lebih baik ketimbang menyimpannya

Tak masalah jikalau kau tak berucap Akankah dekapku membantumu? Jika iya, mari bagi rasamu denganku Setidaknya agar kau percaya Kau tak sendiri

“Aku kuat, tapi sekarang sedang tidak seperti itu” Bisik laramu menelisik dalam atma Setelahnya tak ada kata yang keluar lagi Dunia terlalu membuatmu bungkam, Manis Sedangkan aku tahu jalinan benang merah begitu runyam dalam benak

Amor Kupeluk tubuhmu yang bergemuruh tanpa guntur “Tak apa, tak ada salahnya untuk menangis. Gadis ini tidak boleh menjerujikan keluhnya” Tanganku menelisik rambutmu penuh afeksi Menarikmu lebih dalam Mengantarkan ribuan kehangatan yang kau butuhkan

Hari ini berat Kau berjuang begitu kuat Kuceritakan ribuan kisah indah Setidaknya memberikanmu sedikit kebahagiaan sesaat Lalu menghantarkanmu dalam kegelapan yang damai Dimana ditutup ucapan “Selamat malam, Kasihku. Sang Surya esok pagi merindukan kurva manis di parasmu”

Kalangannya baladewa candra meninggi Sama tingginya dengan amarah dan sendumu malam ini Dinda katakan apa yang telah mengoyak bahagiamu

Udaramu berembus layaknya debur pasang ombak Kutahu itu akan berakhir Namun tak segera, benar bukan?

Prosa apa lagi yang hendak tertulis, Sayangku? Kutahu halamanmu masih banyak yang kosong Suatu kehormatan untukmu mengisinya sampai penuh Juga menaruh segalanya dalam derak tinta berwarna hitam

Kau tahu? Batasmu telah terlampaui Dan itu pula bukan yang kau minta Sedikit menyakitkan memang Tetapi hampir seisi semesta memintamu untuk mendobrak Tak ada pilihan lain, hanya ada maju lalu membiarkanmu terseok penuh lara

Mutiara dalam wajahmu tak seindah biasanya Karena peluh dari apa yang kau lakukan membuatnya kian mengabu Katakan saja apa yang tertahan Tak apa, jujur lebih baik ketimbang menyimpannya

Tak masalah jikalau kau tak berucap Akankah dekapku membantumu? Jika iya, mari bagi rasamu denganku Setidaknya agar kau percaya Kau tak sendiri

“Aku kuat, tapi sekarang sedang tidak seperti itu” Bisik laramu menelisik dalam atma Setelahnya tak ada kata yang keluar lagi Dunia terlalu membuatmu bungkam, Manis Sedangkan aku tahu jalinan benang merah begitu runyam dalam benak

Amor Kupeluk tubuhmu yang bergemuruh tanpa guntur “Tak apa, tak ada salahnya untuk menangis. Gadis ini tidak boleh menjerujikan keluhnya” Tanganku menelisik rambutmu penuh afeksi Menarikmu lebih dalam Mengantarkan ribuan kehangatan yang kau butuhkan

Hari ini berat Kau berjuang begitu kuat Kuceritakan ribuan kisah indah Setidaknya memberikanmu sedikit kebahagiaan sesaat Lalu menghantarkanmu dalam kegelapan yang damai Dimana ditutup ucapan “Selamat malam, Kasihku. Sang Surya esok pagi merindukan kurva manis di parasmu”


“Selamat malam pengunjung Surabaya Town Square yang terhormat, seperti biasa malam minggu kalian bertemu kembali dengan De Koepangz, berikut lagu-lagu spesial untuk semua,” buka Dennis.

Brian pun membuka suara, “Dalam putaran nada malam ini, di tengah hujan di kota pahlawan kita akan menemani para jomblo, baik yang tengah berpatah hati mau pun tak mendapat kepastian dari si dia.”

“Tidak perlu berlama-lama, selamat menikmati malam mendung ini!” Dennis mulai memutar lagu pertama yaitu Cucak Rowo, senar gitarnya ia petik, bersamaan dengan ketukan dari kursi yang tersedia di tempat kejadian.


Tibalah di lagu Siap Terluka, wajah Peter sudah mulai tak sedap lagi untuk dipandang. Terlalu miris untuk ditengok, rasa sakit tergambar jelas di dalamnya. Brian menarik tipis bibirnya dan mulai mengangkat suaranya, “Lagu ini spesial di-request oleh adik saya sendiri, Peter, dikarenakan—”

“Tidak dikarenakan apa-apa,” tiba-tiba Peter tersenyum dan menatap Brian membulat, khawatir sang mantan kekasih berada di dalam pusat perbelanjaan yang sama.

“Lagu ini semoga bisa menemani orang-orang yang masih sayang ke pacarnya tapi dia gak kelihatan kasih timbal balik untuk kalian, mudah-mudahan menggambarkan perasaan kalian,” ucap Andy.

Dennis berbisik kepada dua Peternya, “Kalian yang nyanyi.”

Andy terkejut, “Lha Mas sama Kakak gak nyanyi ta?”

Brian menggeleng, “Biar lebih terasa.”

“Peters Haryanto, Siap Terluka,” buka Dennis.

Nada demi nada dicapai oleh keduanya, seiring dengan wajah Peter yang kian masam menahan kepahitan kisah cintanya. Terlebih ini adalah debut menyanyi dari Andy sejak penampilan De Koepangz pertama kali.

“Wahai sang hujan, sampaikan kata-kataku hanyut di genangan, letihku menyanjung cinta.”

Suara Peter begitu halus, namun penderitaan terasa di dalam suaranya. Dirinya mengantisipasi untuk tidak terbawa emosinya di depan umum, namun Peter tahu, suara adiknya bahkan bisa berubah menjadi sang pemilik penderitaan kala membawa emosi.

Andy menarik napasnya, suara serak beratnya menggelora di seisi Surabaya Town Square. Tergambar jelas bagaimana sakit perasaan Peter dalam suara Andy. Matanya terpejam, meratapi nasib kakaknya yang bukan main buruk.

“Dan kini kutanya, apakah wajahku masih hadir? Saat engkau bersamanya, ku siap terluka.”

Para pengunjung yang ingat dengan De Koepangz terdiam, mulai berasumsi si kecil kesayangan mereka baru saja terkena patah hati dikarenakan nyanyiannya.

Harmonisasi di akhir membuat lagu yang menyayat kian syahdu. Tak luput beberapa pengunjung yang tengah melakukan me time melupakan sang mantan atau kekasih hatinya tak sengaja menguarkan air mata. Suara kedua Peter Haryanto memang tiada bandingnya untuk kelas musisi yang berkarir selama dua tahun.

“Ku siap terluka.”

Keduanya mengharmonisasi mengakhiri lagu, untung saja lagu itu adalah lagu terakhir, kalau tidak Peter sudah tidak ingin menyanyi lagi karena mau tidak mau harus menanggung sakit hati.

Abang deserve better than her, gak usah sedih,” hibur Andy agar kakaknya tidak terbawa emosi buruk.

Peter hanya mengangguk, ia tidak kuat menahan dadanya yang sesak karena sakit.

“Gak usah muter-muter di pikiranku, aku capek mikirin kamu padahal udah mantan.”


“KAKAK AKU JANGAN DITINGGAL!” seru Andy yang berlari mengejar tiga rakanya di garasi.

Brian menggelengkan kepalanya dan menarik napas dalam, dibunyikan olehnya klakson mobil, “TAK TINGGAL, MAU AWAKMU LAPO AE? (aku tinggal, dari tadi kamu ngapain aja?)” seru Brian.

“Dari tadi dia ngapain aja kok sampai telat?” tanya Dennis yang membuka pintu samping supir tanpa memasukinya, masih menunggu Andy.

“Dia itu udah tak bilangin, 'Andy ndang mandi'o' gak dirungokne,” gerutu Peter, “tapi tadi katanya tinggal ambil jaket terus berangkat.”

Brian menyalakan radio, tidak perlu ditanya lagi, pasti 97.15 FM tempat dimana ia bekerja. Tepat di pukul tujuh kurang lima belas, suara milik Renan mengangkasa di mobil para anak bapak Haryanto.

“Selamat malam semuanya! Jangan lupa jaga kesehatan, buat yang lagi pacaran semoga malam ini kencannya lancar, yang jomblo tak doakan segera dapat jodoh. Sampai jumpa besok malam semua!”

Suara Renan berakhir bersamaan dengan Andy yang terengah memasuki mobil. Rambutnya ia acak agar segera kering akibat dibasahi keringat adrenalin, diikuti oleh Dennis yang memasuki mobil pula.

Sorry telat, tadi lupa bilang kalo wisuda dulu,” ucap Andy, “oiya, jadi beli es krim kan?”

Awakmu itu es krim aja sing dipikir,” celoteh Peter seraya mengamati gemerlap lampu tetangga yang menyala sementara mobil menderu.

“Lha emang kenapa sih? Abang aja kopi terus yang dibeli,” protes Andy.

“Aku kan udah punya uang sendiri, kamu masih minta ke Kakak sama Mas. Kayak zangrandi gak mahal ae.”

Yo podo lah! Janji jiwa juga mahal, apa lagi kadang Abang beli Starbucks habis ngampus, aku kalo minta suka diamuk,” tambah di Ragil.

Peter memutar matanya, “Kalo setiap minggu kamu minta ke Mas, opo gak mesakke? Mas lho bilang disuruh hemat, kamu malah beli makanan banyak banget.”

Andy tak mau kalah, argumennya harus dibenarkan oleh Peter, “Abang sendiri suka minta tambahan ke Kakak. Abang juga udah dijatah bulanannya isih njaluk wae (masih minta aja).”

Tiba-tiba Dennis membuka suara, “Ayo berantem, tak tunggu ini,” kodenya.

Dennis tahu dan paham betul, jika adiknya mulai berdebat akan ada perpecahan diantara mereka. Begitu cekatan Dennis segera menghentikan apa yang kedua Peter pertengkarkan.

Keduanya diam, tak ingin masalahnya lebih panjang.

“Mas gak keberatan kalian mintain terus, kenapa kalian yang ribut?” tanya Dennis menginterogasi.

“Dua-duanya Mas sayang, banget. Rasah meri (gak usah iri), duit jajanmu aja kelebihan dari segala keperluan kuliahmu, belum lagi ditambah uang manggung,” sambungnya.

Dennis menengok kearah keduanya, kemudian mengacak rambutnya, “Udah, baikan lagi sana. Gak usah sok gengsi, kalian ngambek yang dapet uang cuma Brian sama Mas.”

Peter tersenyum singkat, kemudian kembali menatap jalanan. Benar apa kata Dennis, Peter iri dengan perlakuan kakaknya kepada Andy.


“KAKAK AKU JANGAN DITINGGAL!” seru Andy yang berlari mengejar tiga rakanya di garasi.

Brian menggelengkan kepalanya dan menarik napas dalam, dibunyikan olehnya klakson mobil, “TAK TINGGAL, MAU AWAKMU LAPO AE? (aku tinggal, dari tadi kamu ngapain aja?)” seru Brian.

“Dari tadi dia ngapain aja kok sampai telat?” tanya Dennis yang membuka pintu samping supir tanpa memasukinya, masih menunggu Andy.

“Dia itu udah tak bilangin, 'Andy ndang mandi'o' gak dirungokne,” gerutu Peter, “tapi tadi katanya tinggal ambil jaket terus berangkat.”

Brian menyalakan radio, tidak perlu ditanya lagi, pasti 97.15 FM tempat dimana ia bekerja. Tepat di pukul tujuh kurang lima belas, suara milik Renan mengangkasa di mobil para anak bapak Haryanto.

“Selamat malam semuanya! Jangan lupa jaga kesehatan, buat yang lagi pacaran semoga malam ini kencannya lancar, yang jomblo tak doakan segera dapat jodoh. Sampai jumpa besok malam semua!”

Suara Renan berakhir bersamaan dengan Andy yang terengah memasuki mobil. Rambutnya ia acak agar segera kering akibat dibasahi keringat adrenalin, diikuti oleh Dennis yang memasuki mobil pula.

Sorry telat, tadi lupa bilang kalo wisuda dulu,” ucap Andy, “oiya, jadi beli es krim kan?”

Awakmu itu es krim aja sing dipikir,” celoteh Peter seraya mengamati gemerlap lampu tetangga yang menyala sementara mobil menderu.

“Lha emang kenapa sih? Abang aja kopi terus yang dibeli,” protes Andy.

“Aku kan udah punya uang sendiri, kamu masih minta ke Kakak sama Mas. Kayak zangrandi gak mahal ae.”

Yo podo lah! Janji jiwa juga mahal, apa lagi kadang Abang beli Starbucks habis ngampus, aku kalo minta suka diamuk,” tambah di Ragil.

Peter memutar matanya, “Kalo setiap minggu kamu minta ke Mas, opo gak mesakke? Mas lho bilang disuruh hemat, kamu malah beli makanan banyak banget.”

Andy tak mau kalah, argumennya harus dibenarkan oleh Peter, “Abang sendiri suka minta tambahan ke Kakak. Abang juga udah dijatah bulanannya isih njaluk wae (masih minta aja).”

Tiba-tiba Dennis membuka suara, “Ayo berantem, tak tunggu ini,” kodenya.

Dennis tahu dan paham betul, jika adiknya mulai berdebat akan ada perpecahan diantara mereka. Begitu cekatan Dennis segera menghentikan apa yang kedua Peter pertengkarkan.

Keduanya diam, tak ingin masalahnya lebih panjang.

“Mas gak keberatan kalian mintain terus, kenapa kalian yang ribut?” tanya Dennis menginterogasi.

“Dua-duanya Mas sayang, banget. Rasah meri (gak usah iri), duit jajanmu aja kelebihan dari segala keperluan kuliahmu, belum lagi ditambah uang manggung,” sambungnya.

Dennis menengok kearah keduanya, kemudian mengacak rambutnya, “Udah, baikan lagi sana. Gak usah sok gengsi, kalian ngambek yang dapet uang cuma Brian sama Mas.”

Peter tersenyum singkat, kemudian kembali menatap jalanan. Benar apa kata Dennis, Peter iri dengan perlakuan kakaknya kepada Andy.

“KAKAK AKU JANGAN DITINGGAL!” seru Andy yang berlari mengejar tiga rakanya di garasi.

Brian menggelengkan kepalanya dan menarik napas dalam, dibunyikan olehnya klakson mobil, “TAK TINGGAL, MAU AWAKMU LAPO AE? (aku tinggal, dari tadi kamu ngapain aja?)” seru Brian.

“Dari tadi dia ngapain aja kok sampai telat?” tanya Dennis yang membuka pintu samping supir tanpa memasukinya, masih menunggu Andy.

“Dia itu udah tak bilangin, 'Andy ndang mandi'o' gak dirungokne,” gerutu Peter, “tapi tadi katanya tinggal ambil jaket terus berangkat.”

Brian menyalakan radio, tidak perlu ditanya lagi, pasti 97.15 FM tempat dimana ia bekerja. Tepat di pukul tujuh kurang lima belas, suara milik Renan mengangkasa di mobil para anak bapak Haryanto.

“Selamat malam semuanya! Jangan lupa jaga kesehatan, buat yang lagi pacaran semoga malam ini kencannya lancar, yang jomblo tak doakan segera dapat jodoh. Sampai jumpa besok malam semua!”

Suara Renan berakhir bersamaan dengan Andy yang terengah memasuki mobil. Rambutnya ia acak agar segera kering akibat dibasahi keringat adrenalin, diikuti oleh Dennis yang memasuki mobil pula.

Sorry telat, tadi lupa bilang kalo wisuda dulu,” ucap Andy, “oiya, jadi beli es krim kan?”

Awakmu itu es krim aja sing dipikir,” celoteh Peter seraya mengamati gemerlap lampu tetangga yang menyala sementara mobil menderu.

“Lha emang kenapa sih? Abang aja kopi terus yang dibeli,” protes Andy.

“Aku kan udah punya uang sendiri, kamu masih minta ke Kakak sama Mas. Kayak zangrandi gak mahal ae.”

Yo podo lah! Janji jiwa juga mahal, apa lagi kadang Abang beli Starbucks habis ngampus, aku kalo minta suka diamuk,” tambah di Ragil.

Peter memutar matanya, “Kalo setiap minggu kamu minta ke Mas, opo gak mesakke? Mas lho bilang disuruh hemat, kamu malah beli makanan banyak banget.”

Andy tak mau kalah, argumennya harus dibenarkan oleh Peter, “Abang sendiri suka minta tambahan ke Kakak. Abang juga udah dijatah bulanannya isih njaluk wae (masih minta aja).”

Tiba-tiba Dennis membuka suara, “Ayo berantem, tak tunggu ini,” kodenya.

Dennis tahu dan paham betul, jika adiknya mulai berdebat akan ada perpecahan diantara mereka. Begitu cekatan Dennis segera menghentikan apa yang kedua Peter pertengkarkan.

Keduanya diam, tak ingin masalahnya lebih panjang.

“Mas gak keberatan kalian mintain terus, kenapa kalian yang ribut?” tanya Dennis menginterogasi.

“Dua-duanya Mas sayang, banget. Rasah meri (gak usah iri), duit jajanmu aja kelebihan dari segala keperluan kuliahmu, belum lagi ditambah uang manggung,” sambungnya.

Dennis menengok kearah keduanya, kemudian mengacak rambutnya, “Udah, baikan lagi sana. Gak usah sok gengsi, kalian ngambek yang dapet uang cuma Brian sama Mas.”

Peter tersenyum singkat, kemudian kembali menatap jalanan. Benar apa kata Dennis, Peter iri dengan perlakuan kakaknya kepada Andy.

“Bang,” Andy mengetuk pintu kamar Peter sedikit kencang, agak terselimuti rasa takut karena rumah yang mereka tinggali merupakan peninggalan kakek mereka kala berlayar mengarungi Nusantara.

Andy kembali mengetuk pintu, “Bang, buka.”

“Bang, ah. Gak lucu,” ucapnya dengan sedikit meninggi.

Belum sampai suaranya keluar, Peter membuka pintunya dengan menggenggam secangkir minuman hangat. Andy tak tahu jelas apa itu, namun yang ia tahu warnanya gelap, entah teh, kopi, atau susu coklat.

“Masuk,” tutur Peter dan disusul oleh adiknya.


Andy duduk di sofa 3 in 1 milik kakaknya, seraya melingkarkan selimut di lehernya.

Peter menyeruput minumannya syahdu, agaknya dia meresapi dinginnya malam yang bercampur dengan udara pendingin di kamarnya. Matanya melirik sosok adiknya, air wajahnya terlihat tak baik, pasti ada yang mengganggu pikirannya.

“Kenapa?” tanya Peter singkat, ditariknya napas dalam dan menepuk sisi kasur yang dia duduki, “pindah sini, ojo niru suami-istri berantem.”

Tanpa diperintah, Andy berseluncur di atasnya sampai tubuh Peter yang lebih kecil dari Andy melambung, “Santai!” tegur sang kakak.

Andy hanya tersenyum dan menghadapkan wajahnya ke arah langit-langit kamar, “Kok aku kepikiran kata Mas Dennis ya, Bang?”

Disesapnya minuman di cangkir Peter sebelum membuka kalimat, “Tanggung jawab, hm?”

“Bukan,” sanggah Andy, “eh kui kopi, yo? Dimarahin Kak Bri lho nanti.”

Guduk yo, nuduh ae awakmu. Ini susu anget,” ucap Peter, “lha kamu kok bisa kepikiran kata Mas? Kamu kesel ta sama kata-kata dia?”

“Nggak,” geleng si ragil, “ah gak usah lah, gak sido.”

Peter menatap adiknya tajam, dengan mode siap mengguyur ia berhasil membuat Andy melanjutkan kata-katanya, “Ngomong, jangan setengah-setengah.”

Iyo-iyo, tapi janji jangan kenapa-kenapa habis ini,” pintanya polos dan dibalas anggukan Peter, “kangen Bapak.”

“Dulu Bapak sering ngajak aku sama Abang ke monkasel setiap pulang layar, terus dinyanyiin Jalesveva Jayamahe sambil ngomongin hal tentang tanggung jawab jadi seseorang yang ada di kapal. Mas kangen gak?” tanya Andy jujur.

Tamat, Andy telah menusuk wilayah rentannya. Peter hanya bisa meneguk salivanya sendiri menahan pahitnya kenyataan.

“Kalo dibilang kangen, ya Abang kangen, Ndy. Tapi kan kita gak bisa ngapa-ngapain lagi,” singkat Peter.

Perasaannya berderu, Peter harus kuat di depan adik kecilnya. Dua orang Peter itu memang yang paling dekat dengan sosok bapak, tak ayal jika mereka yang paling sensitif tentang kepergiannya.

“Bapak biasanya cerita tentang Kakung yang layar pakai Dewaruci sebelum kita tidur dan tanggung jawab kalo kita layar pakai kapal itu,” ucap Andy dengan suaranya yang tertahan, mencegah air mata yang hendak merembes.

“Kalo mau nangis, ditangisi aja tapi jangan lama-lama. Mengko diece Bapak,” kekeh Peter yang sebenarnya sama-sama menahan tangis.

“Andy mau Mas ceritak'ne Kakung numpak Dewaruci?” tanya Peter mengelus jalinan surai tebal Andy.

“Kalo Mas gak keberatan,” cicit Andy dan siap dengan bantalnya untuk mendengarkan kisah kakaknya.

Bapak, Andy kangen Bapak. Tapi karena ada Bang Peter, Andy gak terlalu kangen lagi. Nanti Bapak main ya? Biar kita berdua gak nangis lagi