tequierre

“Bang,” Andy mengetuk pintu kamar Peter sedikit kencang, agak terselimuti rasa takut karena rumah yang mereka tinggali merupakan peninggalan kakek mereka kala berlayar mengarungi Nusantara.

Andy kembali mengetuk pintu, “Bang, buka.”

“Bang, ah. Gak lucu,” ucapnya dengan sedikit meninggi.

Belum sampai suaranya keluar, Peter membuka pintunya dengan menggenggam secangkir minuman hangat. Andy tak tahu jelas apa itu, namun yang ia tahu warnanya gelap, entah teh, kopi, atau susu coklat.

“Masuk,” tutur Peter dan disusul oleh adiknya.


Andy duduk di sofa 3 in 1 milik kakaknya, seraya melingkarkan selimut di lehernya.

Peter menyeruput minumannya syahdu, agaknya dia meresapi dinginnya malam yang bercampur dengan udara pendingin di kamarnya. Matanya melirik sosok adiknya, air wajahnya terlihat tak baik, pasti ada yang mengganggu pikirannya.

“Kenapa?” tanya Peter singkat, ditariknya napas dalam dan menepuk sisi kasur yang dia duduki, “pindah sini, ojo niru suami-istri berantem.”

Tanpa diperintah, Andy berseluncur di atasnya sampai tubuh Peter yang lebih kecil dari Andy melambung, “Santai!” tegur sang kakak.

Andy hanya tersenyum dan menghadapkan wajahnya ke arah langit-langit kamar, “Kok aku kepikiran kata Mas Dennis ya, Bang?”

Disesapnya minuman di cangkir Peter sebelum membuka kalimat, “Tanggung jawab, hm?”

“Bukan,” sanggah Andy, “eh kui kopi, yo? Dimarahin Kak Bri lho nanti.”

Guduk yo, nuduh ae awakmu. Ini susu anget,” ucap Peter, “lha kamu kok bisa kepikiran kata Mas? Kamu kesel ta sama kata-kata dia?”

“Nggak,” geleng si ragil, “ah gak usah lah, gak sido.”

Peter menatap adiknya tajam, dengan mode siap mengguyur ia berhasil membuat Andy melanjutkan kata-katanya, “Ngomong, jangan setengah-setengah.”

Iyo-iyo, tapi janji jangan kenapa-kenapa habis ini,” pintanya polos dan dibalas anggukan Peter, “kangen Bapak.”

“Dulu Bapak sering ngajak aku sama Abang ke monkasel setiap pulang layar, terus dinyanyiin Jalesveva Jayamahe sambil ngomongin hal tentang tanggung jawab jadi seseorang yang ada di kapal. Mas kangen gak?” tanya Andy jujur.

Tamat, Andy telah menusuk wilayah rentannya. Peter hanya bisa meneguk salivanya sendiri menahan pahitnya kenyataan.

“Kalo dibilang kangen, ya Abang kangen, Ndy. Tapi kan kita gak bisa ngapa-ngapain lagi,” singkat Peter.

Perasaannya berderu, Peter harus kuat di depan adik kecilnya. Dua orang Peter itu memang yang paling dekat dengan sosok bapak, tak ayal jika mereka yang paling sensitif tentang kepergiannya.

“Bapak biasanya cerita tentang Kakung yang layar pakai Dewaruci sebelum kita tidur,” ucap Andy dengan suaranya yang tertahan, mencegah air mata yang hendak merembes.

“Kalo mau nangis, ditangisi aja tapi jangan lama-lama. Mengko diece Bapak,” kekeh Peter yang sebenarnya sama-sama menahan tangis.

“Andy mau Mas ceritak'ne Kakung numpak Dewaruci?” tanya Peter mengelus jalinan surai tebal Andy.

“Kalo Mas gak keberatan,” cicit Andy dan siap dengan bantalnya untuk mendengarkan kisah kakaknya.

Bapak, Andy kangen Bapak. Tapi karena ada Bang Peter, Andy gak terlalu kangen lagi. Nanti Bapak main ya? Biar kita berdua gak nangis lagi

Dibuatnya sang Surya berpulang Bersama letup demi letup sorai pasir pantai dipeluk laut Namun upacara lain dirayakan Kala Paksi kembangkan sayapnya mengarungi Pertiwi

Soraknya riuh Seriuh tongkat dicium api Senyala api ditimpa minyak Membara dan meninggi

Paksi yang dicinta nyiur Paksi yang dirindu daratan Paksi yang diharap terlihat dalam netra pelancong Kini kembali mulai arungi angkasa

Angin membawa bahagianya Paksi Ikan menyapa dibawah sepasang sayapnya Bahkan segumpal awan pandu dirinya untuk menari di putihnya ia

Kian mengangkasalah Paksi Dengan restu semesta dikepakkan sayap tak henti Kian tinggi sampai tak terbatas Hingga daratan memanggil untuk pulang Berikut pasir yang rindu menyentuh cakar

Selamat hari jadi, Paksi kami, Jung Jaehyun. Semesta menyertai bahagiamu!