teuaskmeflous

“Assalamualaikum,” ujar Gesthan di depan pagar rumah Nalya. Ia menekan tombol bel berulang kali tetapi tetap tidak ada jawaban.

Gesthan memberanikan diri untuk mencoba membuka pagar.

Terbuka! tidak terkunci, dengan langkah perlahan Gesthan mendekati pintu rumah berwarna coklat keemasan itu.

“Jadi anak nurut! dulu cantik gitu sekarang kering kerontang kaya tinggal tulang,” terdengar suara perempuan paruh baya yang berujar cukup lantang sehingga Gesthan mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu.

Diam tidak ada jawaban.

“Liat sekarang! kamu lebih kecil dari kakakmu, jelek banget sekarang nggak kaya dulu,” ujar seorang laki-laki yang ikut mengeluarkan suaranya.

Diam tidak ada jawaban.

Gesthan berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut mereka.

“Makan yang banyak! biar kaya dulu lagi nggak usah sok diet-diet segala!” ujar perempuan lain, terdengar seperti suara seorang nenek?

“Iya Nal aneh sekarang kaya orang nggak dikenal,” ujar perempuan lainnya.

Sekarang ini mereka kumpul keluarga? Gesthan membatin.

Diam masih tidak ada jawaban.

“Nal lo kemana sih?jawab dong!” ujar Gesthan lirih bahkan hampir tidak terdengar sama sekali.

“Makan yang banyak! nggak cocok kaya gitu.”

Diam tidak ada jawaban.

“Nalya jawab anying,” ujar Gesthan gemas sendiri.

“Orang-orang pada ngomong kalo kamu kurusan, enggak malu?”

“Liat kakakmu sekarang lebih gemuk dari kamu!”

“Jelek banget sekarang.”

“Sana balik ke kamar kamu! kalo nggak ke toilet nggak pernah keluar kamar.”

“Kumpul keluarga nggak keluar kamar, ngapain? nyari informasi diet di google?”

“Lama-lama ayah buang ponsel kamu!”

Diam tidak ada jawaban.

“Nalya anying jawab!” Gesthan gemas ingin masuk kedalam.

Hampir tidak terdengar, namun Gesthan mendengar sedikit ada langkah kaki menjauh dari tempat obrolan mereka.

“Nalya pergi gitu aja? gemes gue.”

“Balik aja gue ya?” perlahan Gesthan melangkah pergi menjauhi rumah Nalya dan segera menuntun motornya agar mereka tidak mendengar suara deru motornya.

“Assalamualaikum,” ujar Gesthan di depan pagar rumah Nalya. Ia menekan tombol bel berulang kali tetapi tetap tidak ada jawaban.

Gesthan memberanikan diri untuk mencoba membuka pagar.

Terbuka! tidak terkunci, dengan langkah perlahan Gesthan mendekati pintu rumah berwarna coklat keemasan itu.

“Jadi anak nurut! dulu cantik gitu sekarang kering kerontang kaya tinggal tulang,” terdengar suara perempuan paruh baya yang berujar cukup lantang sehingga Gesthan mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu.

Diam tidak ada jawaban.

“Liat sekarang! kamu lebih kecil dari kakakmu, jelek banget sekarang nggak kaya dulu,” ujar seorang laki-laki yang ikut mengeluarkan suaranya.

Diam tidak ada jawaban.

Gesthan berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut mereka.

“Makan yang banyak! biar kaya dulu lagi nggak usah sok diet-diet segala!” ujar perempuan lain, terdengar seperti suara seorang nenek?

“Iya Nal aneh sekarang kaya orang nggak dikenal,” ujar perempuan lainnya.

Sekarang ini mereka kumpul keluarga? Gesthan membatin.

Diam masih tidak ada jawaban.

“Nal lo kemana sih?jawab dong!” ujar Gesthan lirih bahkan hampir tidak terdengar sama sekali.

“Makan yang banyak! nggak cocok kaya gitu.”

Diam tidak ada jawaban.

“Nalya jawab anying,” ujar Gesthan gemas sendiri.

“Orang-orang pada ngomong kalo kamu kurusan, enggak malu?”

“Liat kakakmu sekarang lebih gemuk dari kamu!”

“Jelek banget sekarang.”

“Sana balik ke kamar kamu! kalo nggak ke toilet nggak pernah keluar kamar.”

Diam tidak ada jawaban.

“Nalya anying jawab!” Gesthan gemas ingin masuk kedalam.

Hampir tidak terdengar, namun Gesthan mendengar sedikit ada langkah kaki menjauh dari tempat obrolan mereka.

“Nalya pergi gitu aja? gemes gue.”

“Balik aja gue ya?” perlahan Gesthan melangkah pergi menjauhi rumah Nalya dan segera menuntun motornya agar mereka tidak mendengar suara deru motornya.

Gesthan berjalan perlahan dengan membawa sebaskom tape di tangannya dengan keadaan wajah masih bercucuran keringat membuat tingkat ketampanannya bertambah.

Hanya berjarak empat ruangan dari kelas Nalya, Gesthan segera mempercepat langkahnya menuju kelas XII IPA 1.

Siswa siswi yang berlalu lalang memandang aneh kearah Gesthan. Mungkin karena sebaskom tape di tangannya. Namun tingkat ketampanan Gesthan tetap membuat siswi yang berlalu lalang bertabrakan.

“Cowok kalo keringetan damagenya akar kuadrat ya?”

“Apalagi cowoknya Gesthan Travis,” begitulah celotehan siswi yang menjadi satu dari sekian ribu fans Gesthan.

“Thanks bestie, that's true,” ujar Gesthan dengan mengedipkan sebelah matanya yang membuat siswi tersebut melayang entah jauh kemana.

Gesthan hanya tersenyum sekilas. Setelah sampai di depan kelas Nalya Gesthan segera melambaikan tangannya yang membuat semua mata tertuju padanya.

“Nal!” ujar Gesthan dari balik pintu seraya tersenyum cerah mengangkat sebaskom tape di depan dadanya.

“Your tape datang!”ujar Gesthan dengan suara lantang.

“I'm cooming,” Nalya berujar tanpa menghiraukan semua teman kelas yang sudah melongo dibuatnya.

“Wih makasih Than!” ujar Nalya dengan senyum yang tak pudar dari sudut bibirnya.

Tiba-tiba Gesthan mencolek hidung Nalya dengan senyum yang tak pudar dari sudut bibirnya.

“Ih nggak usah toel-toel!”

“Lo yakin nggak sih?” Nalya bertanya dengan wajah yang masih fokus pada makanan yang sudah berpindah di tangannya.

Gesthan hanya menaikkan sebelah alisnya pertanda tidak mengerti apa yang dimaksud cewek dihadapannya.

“Tapenya sebaskom gila, buat berapa hari ya?”

“Kalo satu hari abis bilang! nanti gue beliin lagi satu pabrik sekalian sama pembuat tapenya.”

“Sinting.”

“Gini aja nih?”

“Haa? maksud?”

“Makasih aja?”

“Dih bilangnya hadiah, masa ngasih hadiah minta hadiah.”

“Enggak bercanda.”

“Cantik,” ujar Gesthan dengan memandangi wajah polos tanpa make up tebal Nalya.

“Gombal,udah sana balik! bentar lagi kan pulang.”

“Ngusir?

“Gesthan tampan nan baik balik gih sebelum gue di introgasi sama satu kelas!”

“Iya Nal, gue balik dulu ya,” ujar Gesthan seraya menoel kembali hidung Nalya.

“Hmm.”

“Bentar,” ujar Gesthan kembali membalikkan badannya.

“Kenapa?” Gesthan melangkah sedikit lebih maju.

“Tutup mulut! banjir nanti kelas lo,” ujar Gesthan kepada anak kelas XII IPA 1 yang memperhatikan mereka berdua dari tadi.

Nalya yang menyadarinya langsung menoleh kearah teman sekelasnya, mereka seketika menutup mulut rapat-rapat.

“Lucu, udah sana!”

“See you Nal.” Nalya hanya ternyum tipis melihat Gesthan yang sudah menjauh darinya.

Nalya segera mempercepat langkahnya menuju toilet yang dekat lapangan sekolah. Segera ia akan memasuki toilet tapi tiba-tiba ada seorang memanggil namanya.

“Nalya?” ucap seorang laki-laki yang tak asing ditelinganya.

“Gesthan? kenapa?” Nalya bertanya dan mengurungkan niatnya untuk memasuki toilet.

“Ke toilet?” ujar Gesthan yang sudah jelas-jelas Nalya menahan kencing untuk menjawab panggilannya.

“Gebuk nih!”

“Bercanda sayang, yaudah sana masuk hati-hati jangan sampai kepleset!” ujar Gesthan lalu melangkah pergi begitu saja.

“Than!” panggil Nalya.

“Iya?”

“Udah gitu doang?”

“Ha? emang mau gimana? gue ada futsal nanti telat Nal.”

“Oh mau peluk?” Gesthan menggoda.

“Nggak!”

“Yaudah peluknya nanti aku keburu telat oke!” ujar Gesthan seraya membalikkan badan.

“Than!” Nalya memanggilnya kembali.

“Apa?”

“Lo nggak ada niatan ganti muka?” ujar Nalya dengan pertanyaan tidak berbobot bagi Gesthan.

“Terlalu tampan ternyata,” sambung Nalya.

“Anjir Nal gue belum siap lo gombalin,” ujar Gesthan dengan wajah merona.

“Gede tu kepala.”

“Betewe lo kok tumben? udah suka sama gue ya? ngaku lo?”

“Tadi pake aku, panggil gue pake lo?”

“Tadi nggak sengaja.”

“Udah Nal gombalnya lanjut nanti gue keburu telat futsal!”

“Than!”

“Nal gebuk nih gebuk!”

“Tape mana tape?”

“Nggak ada cerita ke toilet bawa tape Nal serius,” ujar Gesthan dengan tampang kesalnya.

“Tape,” ujar Nalya dengan tampang memelas.

“Nal anjir jangan masang muka gitu! iya nanti gue bawa ke kelas lo, nanti tapi nanti!”

“Udah ya sayangku! aku mau futsal.”

“Iya hati-hati kamu!”

“Nal anjir belum siap,” ujar Gesthan dengan rona wajah yang sulit dijelaskan.

“Than!” Nalya kembali berulah.

“Nal sepatu gue berat lo bentar lagi melayang.”

“Tape jangan lupa!”

“Tape-tape rumpa.”

“Takk-taki plis udah ah gue kebelet itu juga gara-gara lo!”

Lah gue?”

Suara deru laju motor keluar dari halaman seorang laki-laki berperawakan tinggi, tampan, putih, dan terlihat cool menggunakan jaket kulit berwarna hitam.

Dengan meninggalkan seorang perempuan di di depan ambang pintu rumahnya.

“Than tumben berangkat pagi?” teriak perempuan tersebut dengan kerasnya.

“Iya Ma ada urusan sebentar,” jawab Gesthan memberhentikan laju motornya saat masih di sekitar pekarangan rumah.

“Hati-hati! Jangan ngebut!” perintah seorang perempuan yang dipanggil mama oleh Gesthan.

“Siap ratu,” Gesthan melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat tinggal.


Gesthan hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di depan rumah dengan pagar menjulang tinggi menutupi seluruh rumah berwarna hijau muda, dengan berbagai tanaman hias maupun pohon di sana.

Dengan cepat Gesthan melepaskan helm hitam miliknya dan turun dari motornya. Seraya menekan bel di dekat pagar rumah milik seorang yang kerap dipanggil Nalya.

Ting tong

Suara bel nyaris terdengar sangat jelas di telinganya. Namun tidak menampakkan orang keluar dari tempat itu.

Sekali lagi Gesthan menekan tombol bel untuk memastikan apakah benar rumah itu adalah milik keluarga Nalya. Jika benar pun ia hanya memastikan apakah Nalya sudah berangkat ke sekolah lebih awal untuk menghindarinya.

Benar saja ada seorang perempuan dengan rambut panjang dan tahi lalat di hidung berjalan kearahnya dengan tatapan bingung.

Srett suara pagar rumah itu saat dibuka oleh Nalya.

“Lo? Siapa?” tanyanya dengan raut wajah bertanya-tanya.

Gesthan mengulurkan tangannya dengan sopan seraya berkata “Kenalin gue Gesthan Travis Millard, yang kemarin kemarin-kemarin chat lo,” ucapnya.

Tidak menjawab uluran tangan Gesthan, Nalya justru hanya menatap halus tangan cowok didepannya.

“Yuk!” ajak Gesthan seraya mengambil helm di belakang jok motor miliknya.

“Kemana?” tanya Nalya bertambah bingung.

“Gue nggak ngerti lo itu pelupa atau emang melupa, tapi tadi pagi gue ajakin lo buat berangkat bareng.”

“Ayo!” ucap Gesthan sekali lagi mengajak.

“Sorry nggak usah gue bisa sendiri,” tolak Nalya masih dengan nada biasa. Dan berjalan meninggalkan Gesthan sendiri di samping motornya.

Dengan cekatan Gesthan menaiki motor miliknya dan mengejar Nalya tanpa menyalakan motornya.

“Kenapa?” Gesthan bertanya seraya melihat ke arah Nalya yang masih terus berjalan menghindar. Mengikuti langkah demi langkah Nalya.

“Gue introvert,” jawab Nalya singkat.

“Hubungannya?”

“Gue nggak pernah diajak kenalan sama orang lain di sekolah, gue cuma punya Nathan.”

“Aneh aja lo mau kenalan duluan sama gue,” sambungnya.

“Oh si Jo dia juga yang ngasih nomor lo ke gue.” Gesthan menjelaskan “Eh enggak gue yang minta sama si Jo he he.”

“Mau naik nggak? gue udah capek naik motor cuma kagak gue nyalain?” Gesthan menawarkan sekali lagi.

“Nyalain aja kali ribet.”

“Lo kan belum naik.”

“Nggak-”

“Nggak ada penolakan! ayo!”

“Nggakpapa lo duluan aja!” tolak Nalya halus.

Gesthan menunjuk jam tangan yang dipakai Nalya dan bertanya lagi.

“Yakin nggak telat?”

“Lo mau naik apa emang?” tanya Gesthan bertubi-tubi.

Nalya yang baru tersadar sudah pukul 06.30 seketika berubah pikiran.

“Emm oke tapi gue nggak ngrepotin kan?”

“Enggaklah, ayo!”

Setelah Nalya menaiki motor, Gesthan segera melajukan motonya dengan kecepatan rata-rata.


Langkah Nalya terburu-buru sesaat menuruni motor milik Gesthan. Ia berlari tanpa melihat dan berterima kasih kepada sang penyelamatnya dari ulangan.

“Nggakpapa permulaan,” ucap Gesthan santai.

Nalya yang sadar bahwa Gesthan akan menemaninya di perpustakaan pun berjalan perlahan melewati lorong demi lorong.

Tetapi hari ini adalah hari yang tidak biasa di SMA Teuffluence banyak siswa-siswi yang lalu lalang seperti ingin ke suatu ruangan tertentu. Tepatnya di mana arah menuju kelasnya.

Aneh. Batin Nalya. Ia pun mempercepat langkahnya agar tidak terdesak di antara kerumunan siswa lainnya.

Bruk!

Suara tabrakan terdengar cukup keras antara Nalya dan seorang siswi yang jatuh bersamaan tak jauh dari posisi Nalya.

“Sorry astaga gue nggak sengaja,” ucap siswi itu dengan tulus seraya berdiri membenarkan posisinya dan menjulurkan tangan dengan maksud membantu Nalya berdiri.

“Sorry sekali lagi,” Nalya menerima uluran tangan siswi tersebut.

“Gue yang harusnya minta maaf, sorry ya,” ujar Nalya.

“Ngomong-ngomong lo mau kemana?”

“Ke perpustakaan.”

“Nama lo siapa? kenalin gue Almara dari kelas 12 IPS 2,” ucapnya seraya menjulurkan tanganya. Nalya membalas uluran tangan Almara.

“Gue Nalya 12 IPA 1.”

“Sorry? siapa?”

“Nalya.”

“Anjir lo yang rame di menfess sekolah.”

“Ha?”

Tiba-tiba spontan Almara menarik tangan Nalya dan berlari tanpa menjelaskan apa yang terjadi. Ruang musik yang berada di lantai 2 menjadi tempat pemberhentian akhir Almara membawa Nalya. Dengan raut wajah yang tak bisa dijelaskan Nalya mulai kebingungan.

“Lo ngapain sih?” ujar Nalya dengan raut wajah bertanya-tanya. “Gue mau ke perpus ada yang nunggu gue,” sambungnya.

“Huff huff bentar gue napas dulu!”

“Lo tadi Nalya kan?” Almara bertanya untuk kesekian kalinya.

“IYA,” ujar Nalya dengan penuh penekanan.

“Lo lagi dicari sama anak-anak kelas lo sendiri.”

“To the point bisa!”

Nalya dan Almara

Suara deru laju motor keluar dari halaman seorang laki-laki berperawakan tinggi, tampan, putih, dan terlihat cool menggunakan jaket kulit berwarna hitam.

Dengan meninggalkan seorang perempuan di di depan ambang pintu rumahnya.

“Than tumben berangkat pagi?” teriak perempuan tersebut dengan kerasnya.

“Iya Ma ada urusan sebentar,” jawab Gesthan memberhentikan laju motornya saat masih di sekitar pekarangan rumah.

“Hati-hati! Jangan ngebut!” perintah seorang perempuan yang dipanggil mama oleh Gesthan.

“Siap ratu,” Gesthan melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat tinggal.


Gesthan hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di depan rumah dengan pagar menjulang tinggi menutupi seluruh rumah berwarna hijau muda, dengan berbagai tanaman hias maupun pohon di sana.

Dengan cepat Gesthan melepaskan helm hitam miliknya dan turun dari motornya. Seraya menekan bel di dekat pagar rumah milik seorang yang kerap dipanggil Nalya.

Ting tong

Suara bel nyaris terdengar sangat jelas di telinganya. Namun tidak menampakkan orang keluar dari tempat itu.

Sekali lagi Gesthan menekan tombol bel untuk memastikan apakah benar rumah itu adalah milik keluarga Nalya. Jika benar pun ia hanya memastikan apakah Nalya sudah berangkat ke sekolah lebih awal untuk menghindarinya.

Benar saja ada seorang perempuan dengan rambut panjang dan tahi lalat di hidung berjalan kearahnya dengan tatapan bingung.

Srett Suara pagar rumah itu saat dibuka oleh Nalya.

“Lo? Siapa?” tanyanya dengan raut wajah bertanya-tanya.

Gesthan mengulurkan tangannya dengan sopan seraya berkata “Kenalin gue Gesthan Travis Millard, yang kemarin kemarin-kemarin chat lo,” ucapnya.

Tidak menjawab uluran tangan Gesthan, Nalya justru hanya menatap halus tangan cowok didepannya.

“Yuk!” ajak Gesthan seraya mengambil helm di belakang jok motor miliknya.

“Kemana?” tanya Nalya bertambah bingung.

“Gue nggak ngerti lo itu pelupa atau emang melupa, tapi tadi pagi gue ajakin lo buat berangkat bareng.”

“Ayo!” ucap Gesthan sekali lagi mengajak.

“Sorry nggak usah gue bisa sendiri,” tolak Nalya masih dengan nada biasa. Dan berjalan meninggalkan Gesthan sendiri di samping motornya.

Dengan cekatan Gesthan menaiki motor miliknya dan mengejar Nalya tanpa menyalakan motornya.

“Kenapa?” Gesthan bertanya seraya melihat ke arah Nalya yang masih terus berjalan menghindar. Mengikuti langkah demi langkah Nalya.

“Gue introvert,” jawab Nalya singkat.

“Hubungannya?”

“Gue nggak pernah diajak kenalan sama orang lain di sekolah, gue cuma punya Nathan.”

“Aneh aja lo mau kenalan duluan sama gue,” sambungnya.

“Oh si Jo dia juga yang ngasih nomor lo ke gue.” Gesthan menjelaskan “Eh enggak gue yang minta sama si Jo he he.”

“Mau naik nggak? gue udah capek naik motor cuma kagak gue nyalain?” Gesthan menawarkan sekali lagi.

“Lo kan belum naik.”

“Nggak-”

“Nggak ada penolakan! ayo!”

“Nggakpapa lo duluan aja!” tolak Nalya halus.

Gesthan menunjuk jam tangan yang dipakai Nalya dan bertanya lagi.

“Yakin nggak telat?”

“Lo mau naik apa emang?” tanya Gesthan bertubi-tubi.

Nalya yang baru tersadar sudah pukul 06.30 seketika berubah pikiran.

“Emm oke tapi gue nggak ngrepotin kan?”

“Enggaklah, ayo!”

Setelah Nalya menaiki motor, Gesthan segera melajukan motonya dengan kecepatan rata-rata.


Langkah Nalya terburu-buru sesaat menuruni motor milik Gesthan. Ia berlari tanpa melihat dan berterima kasih kepada sang penyelamatnya dari ulangan.

“Nggakpapa permulaan,” ucap Gesthan santai.

Suara deru laju motor keluar dari halaman seorang laki-laki berperawakan tinggi, tampan, putih, dan terlihat cool menggunakan jaket kulit berwarna hitam.

Dengan meninggalkan seorang perempuan di di depan ambang pintu rumahnya.

“Than tumben berangkat pagi?” teriak perempuan tersebut dengan kerasnya.

“Iya Ma ada urusan sebentar,” jawab Gesthan memberhentikan laju motornya saat masih di sekitar pekarangan rumah.

“Hati-hati! Jangan ngebut!” perintah seorang perempuan yang dipanggil mama oleh Gesthan.

“Siap ratu,” Gesthan melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat tinggal.


Gesthan hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di depan rumah dengan pagar menjulang tinggi menutupi seluruh rumah berwarna hijau muda, dengan berbagai tanaman hias maupun pohon di sana.

Dengan cepat Gesthan melepaskan helm hitam miliknya dan turun dari motornya. Seraya menekan bel di dekat pagar rumah milik seorang yang kerap dipanggil Nalya.

Ting tong

Suara bel nyaris terdengar sangat jelas di telinganya. Namun tidak menampakkan orang keluar dari tempat itu.

Sekali lagi Gesthan menekan tombol bel untuk memastikan apakah benar rumah itu adalah milik keluarga Nalya. Jika benar pun ia hanya memastikan apakah Nalya sudah berangkat ke sekolah lebih awal untuk menghindarinya.

Benar saja ada seorang perempuan dengan rambut panjang dan tahi lalat di hidung berjalan kearahnya dengan tatapan bingung.

Srett suara pagar rumah itu saat dibuka oleh Nalya.

“Lo? Siapa?” tanyanya dengan raut wajah bertanya-tanya.

Gesthan mengulurkan tangannya dengan sopan seraya berkata “Kenalin gue Gesthan Travis Millard, yang kemarin kemarin-kemarin chat lo,” ucapnya.

Tidak menjawab uluran tangan Gesthan, Nalya justru hanya menatap halus tangan cowok didepannya.

“Yuk!” ajak Gesthan seraya mengambil helm di belakang jok motor miliknya.

“Kemana?” tanya Nalya bertambah bingung.

“Gue nggak ngerti lo itu pelupa atau emang melupa, tapi tadi pagi gue ajakin lo buat berangkat bareng.”

“Ayo!” ucap Gesthan sekali lagi mengajak.

“Sorry nggak usah gue bisa sendiri,” tolak Nalya masih dengan nada biasa. Dan berjalan meninggalkan Gesthan sendiri di samping motornya.

Dengan cekatan Gesthan menaiki motor miliknya dan mengejar Nalya tanpa menyalakan motornya.

“Kenapa?” Gesthan bertanya seraya melihat ke arah Nalya yang masih terus berjalan menghindar. Mengikuti langkah demi langkah Nalya.

“Gue introvert,” jawab Nalya singkat.

“Hubungannya?”

“Gue nggak pernah diajak kenalan sama orang lain di sekolah, gue cuma punya Nathan.”

“Aneh aja lo mau kenalan duluan sama gue,” sambungnya.

“Oh si Jo dia juga yang ngasih nomor lo ke gue.” Gesthan menjelaskan “Eh enggak gue yang minta sama si Jo he he.”

“Mau naik nggak? gue udah capek naik motor cuma kagak gue nyalain?” Gesthan menawarkan sekali lagi.

“Nyalain aja kali ribet.”

“Lo kan belum naik.”

“Nggak-”

“Nggak ada penolakan! ayo!”

“Nggakpapa lo duluan aja!” tolak Nalya halus.

Gesthan menunjuk jam tangan yang dipakai Nalya dan bertanya lagi.

“Yakin nggak telat?”

“Lo mau naik apa emang?” tanya Gesthan bertubi-tubi.

Nalya yang baru tersadar sudah pukul 06.30 seketika berubah pikiran.

“Emm oke tapi gue nggak ngrepotin kan?”

“Enggaklah, ayo!”

Setelah Nalya menaiki motor, Gesthan segera melajukan motonya dengan kecepatan rata-rata.


Langkah Nalya terburu-buru sesaat menuruni motor milik Gesthan. Ia berlari tanpa melihat dan berterima kasih kepada sang penyelamatnya dari ulangan.

“Nggakpapa permulaan,” ucap Gesthan santai.

Suara deru laju motor keluar dari halaman seorang laki-laki berperawakan tinggi, tampan, putih, dan terlihat cool menggunakan jaket kulit berwarna hitam.

Dengan meninggalkan seorang perempuan di di depan ambang pintu rumahnya.

“Than tumben berangkat pagi?” teriak perempuan tersebut dengan kerasnya.

“Iya Ma ada urusan sebentar,” jawab Gesthan memberhentikan laju motornya saat masih di sekitar pekarangan rumah.

“Hati-hati! Jangan ngebut!” perintah seorang perempuan yang dipanggil mama oleh Gesthan.

“Siap ratu,” Gesthan melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat tinggal.


Gesthan hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di depan rumah dengan pagar menjulang tinggi menutupi seluruh rumah berwarna hijau muda, dengan berbagai tanaman hias maupun pohon di sana.

Dengan cepat Gesthan melepaskan helm hitam miliknya dan turun dari motornya. Seraya menekan bel di dekat pagar rumah milik seorang yang kerap dipanggil Nalya.

Ting tong

Suara bel nyaris terdengar sangat jelas di telinganya. Namun tidak menampakkan orang keluar dari tempat itu.

Sekali lagi Gesthan menekan tombol bel untuk memastikan apakah benar rumah itu adalah milik keluarga Nalya. Jika benar pun ia hanya memastikan apakah Nalya sudah berangkat ke sekolah lebih awal untuk menghindarinya.

Benar saja ada seorang perempuan dengan rambut panjang dan tahi lalat di hidung berjalan kearahnya dengan tatapan bingung.

Srett suara pagar rumah itu saat dibuka oleh Nalya.

“Lo? Siapa?” tanyanya dengan raut wajah bertanya-tanya.

Gesthan mengulurkan tangannya dengan sopan seraya berkata “Kenalin gue Gesthan Travis Millard, yang kemarin kemarin-kemarin chat lo,” ucapnya.

Tidak menjawab uluran tangan Gesthan, Nalya justru hanya menatap halus tangan cowok didepannya.

“Yuk!” ajak Gesthan seraya mengambil helm di belakang jok motor miliknya.

“Kemana?” tanya Nalya bertambah bingung.

“Gue nggak ngerti lo itu pelupa atau emang melupa, tapi tadi pagi gue ajakin lo buat berangkat bareng.”

“Ayo!” ucap Gesthan sekali lagi mengajak.

“Sorry nggak usah gue bisa sendiri,” tolak Nalya masih dengan nada biasa. Dan berjalan meninggalkan Gesthan sendiri di samping motornya.

Dengan cekatan Gesthan menaiki motor miliknya dan mengejar Nalya tanpa menyalakan motornya.

“Kenapa?” Gesthan bertanya seraya melihat ke arah Nalya yang masih terus berjalan menghindar. Mengikuti langkah demi langkah Nalya.

“Gue introvert,” jawab Nalya singkat.

“Hubungannya?”

“Gue nggak pernah diajak kenalan sama orang lain di sekolah, gue cuma punya Nathan.”

“Aneh aja lo mau kenalan duluan sama gue,” sambungnya.

“Oh si Jo dia juga yang ngasih nomor lo ke gue.” Gesthan menjelaskan “Eh enggak gue yang minta sama si Jo he he.”

“Mau naik nggak? gue udah capek naik motor cuma kagak gue nyalain?” Gesthan menawarkan sekali lagi.

“Nyalain aja kali ribet.”

“Lo kan belum naik.”

“Nggak-”

“Nggak ada penolakan! ayo!”

“Nggakpapa lo duluan aja!” tolak Nalya halus.

Gesthan menunjuk jam tangan yang dipakai Nalya dan bertanya lagi.

“Yakin nggak telat?”

“Lo mau naik apa emang?” tanya Gesthan bertubi-tubi.

Nalya yang baru tersadar sudah pukul 06.30 seketika berubah pikiran.

“Emm oke tapi gue nggak ngrepotin kan?”

“Enggaklah, ayo!”

Setelah Nalya menaiki motor, Gesthan segera melajukan motonya dengan kecepatan rata-rata.


Langkah Nalya terburu-buru sesaat menuruni motor milik Gesthan. Ia berlari tanpa melihat dan berterima kasih kepada sang penyelamatnya dari ulangan.

“Nggakpapa permulaan,” ucap Gesthan santai.