Kenyataannya
“Assalamualaikum,” ujar Gesthan di depan pagar rumah Nalya. Ia menekan tombol bel berulang kali tetapi tetap tidak ada jawaban.
Gesthan memberanikan diri untuk mencoba membuka pagar.
Terbuka! tidak terkunci, dengan langkah perlahan Gesthan mendekati pintu rumah berwarna coklat keemasan itu.
“Jadi anak nurut! dulu cantik gitu sekarang kering kerontang kaya tinggal tulang,” terdengar suara perempuan paruh baya yang berujar cukup lantang sehingga Gesthan mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu.
Diam tidak ada jawaban.
“Liat sekarang! kamu lebih kecil dari kakakmu, jelek banget sekarang nggak kaya dulu,” ujar seorang laki-laki yang ikut mengeluarkan suaranya.
Diam tidak ada jawaban.
Gesthan berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut mereka.
“Makan yang banyak! biar kaya dulu lagi nggak usah sok diet-diet segala!” ujar perempuan lain, terdengar seperti suara seorang nenek?
“Iya Nal aneh sekarang kaya orang nggak dikenal,” ujar perempuan lainnya.
Sekarang ini mereka kumpul keluarga? Gesthan membatin.
Diam masih tidak ada jawaban.
“Nal lo kemana sih?jawab dong!” ujar Gesthan lirih bahkan hampir tidak terdengar sama sekali.
“Makan yang banyak! nggak cocok kaya gitu.”
Diam tidak ada jawaban.
“Nalya jawab anying,” ujar Gesthan gemas sendiri.
“Orang-orang pada ngomong kalo kamu kurusan, enggak malu?”
“Liat kakakmu sekarang lebih gemuk dari kamu!”
“Jelek banget sekarang.”
“Sana balik ke kamar kamu! kalo nggak ke toilet nggak pernah keluar kamar.”
“Kumpul keluarga nggak keluar kamar, ngapain? nyari informasi diet di google?”
“Lama-lama ayah buang ponsel kamu!”
Diam tidak ada jawaban.
“Nalya anying jawab!” Gesthan gemas ingin masuk kedalam.
Hampir tidak terdengar, namun Gesthan mendengar sedikit ada langkah kaki menjauh dari tempat obrolan mereka.
“Nalya pergi gitu aja? gemes gue.”
“Balik aja gue ya?” perlahan Gesthan melangkah pergi menjauhi rumah Nalya dan segera menuntun motornya agar mereka tidak mendengar suara deru motornya.