🌼

...

Sebetulnya kepalanya sudah pening sejak perjalanan pulang dari kampus, bahkan jauh sejak dia ditarik ke tengah lapangan. Tapi begitu sampai rumah dan membuka grup kelasnya, dia mendapatkan info dadakan mengenai deadline tugas. Ralat, bukan dadakan, salahkan saja dia yang baru sampai rumah hampir jam sepuluh malam. Hal itu menambah kadar pusing di kepalanya. Semua pikiran tercampur aduk, bahkan perut yang sedari tadi menjerit kelaparan pun tak lagi dia rasakan, diabaikannya oleh laki-laki manis itu. Maka yang dilakukan Ansel sekarang adalah fokus mengerjakan tugas yang begitu banyak, sambil pandangannya sesekali melirik ponselnya, berharap ada notifikasi masuk dari pacarnya yang sejak insiden itu diam seribu bahasa.

.

.

.

Ansel tidak terlalu ambil pusing dengan omongan orang di sosial media. Satu-satunya yang membuatnya merasa bersalah, karena hal itu pastinya menambah pekerjaan banyak orang karena ulahnya, sebut saja Karin, juga Jazel. Niatnya tidur setelah tugasnya selesai jadi urung. Beberapa kali ibunya bolak-balik kamar, memintanya turun untuk makan, tapi Ansel mengatakan belum lapar, atau sebentar lagi.

Maka siang hari menjadi puncaknya, ketika kepalanya terus-terusan berputar, dan perutnya berdenyut sakit. Di saat dia mencoba mengisi perutnya, semua kembali keluar. Beruntung sang ibu adalah dokter, yang dengan cekatan mengobatinya sampai-sampai kantuk langsung menyerangnya.

Ansel membuka matanya sayup-sayup, tak tahu berapa lama dia terlelap. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali sampai pandangannya fokus, barulah dia menyadari seseorang duduk di pinggir kasurnya dengan pandangan tertuju pada ponselnya.

Orangnya bukan lain adalah Jazel.

Laki-laki itu seketika menoleh merasakan pergerakan di atas kasur. Senyum tipis mengembang di bibirnya.

“Iaan, uhh.”

Ansel berusaha bangun sambil meringis merasakan sakit menghantam kepalanya. Tangan besar Jazel langsung bergerak menahan bahunya yang mencoba beranjak dari posisi tidurnya.

“Jangan bangun dulu kalo masih pusing bby,” ucapnya dengan suara yang begitu lembut. Di jarak yang sedekat itu, Ansel melingkarkan lengannya di leher Jazel, membawa lelakinya itu merunduk semakin dekat dengannya. Pipinya menempel satu sama lain, Jazel bisa merasakan hangat menyapanya.

“Jangan maraah,” kata Ansel dengan suara serak.

Jazel memberi jarak meskipun kedua tangan Ansel tak mau melepaskan ikatan kedua jemarinya di belakang kepala Jazel. Jazel membawa sebelah tangan besarnya mengusak helaian rambut Ansel, kemudian turun mengusap pipi gembulnya.

“Aku ga marah sayang. Gak bisa marah kalo sama kamu.”

Jazel kembali menunduk, menghujani seluruh sudut wajah Ansel dengan ciuman seringan kapas. Setelahnya Jazel tersenyum hangat, membuat Ansel ikut tersenyum manis dengan rona merah samar-samar merekah di pipi. Ansel mengulurkan tangannya, meminta Jazel menariknya dari posisi rebah menjadi duduk bersandar di kasur.

“Tapi kamu diemin aku tuh,” protes Ansel. Jazel cuma memasang wajah bersalah sambil meraih jemari Ansel untuk dikecup punggung tangannya.

“Maaf.”

“Kenapa bisa tau aku sakit?”

“Karena kamu ga jawab chat aku, aku beberapa kali nelfon. Diangkat sama Mama kamu, terus bilang Ansel sakit.”

“Ohh.”

“Sama sebenernya aku butuh follow up obrolan kamu sama Kabem FEB sih, jadi tadi sempet buka hp kamu. Maaf ya.”

“Eh kok jadi minta maaf terus. Gapapa buka aja, kalo gak boleh pasti aku gak kasih tau kamu password hp aku lah.”

Jazel terkekeh gemas melihat Ansel mengerucutkan bibirnya.

“Gemes banget bby, kok bisa ya aku diemin kamu kemarin,” kata Jazel menarik gemas sebelah pipi Ansel, sementara yang ditarik pipinya semakin mengerucutkan bibirnya.

“Oh ya, tadi mama kamu titip pesen kalo udah bangun disuruh makan sama minum obat,” lanjut Jazel. Ansel hanya menghela napas berat seraya menggeleng lemah.

“Mual tau, bawaanya pengen muntah terus abis makan.”

“Sedikit aja juga gapapa, makan yaa.. yang penting ada yang masuk. Sebentar aku ke bawah dulu, tadi mama kamu udah masak buat kamu.”

Ansel mengangguk kecil, dia tersenyum tipis ketika Jazel pergi keluar kamarnya. Dia tak canggung lagi, seolah sering kemari. Sepertinya tak ada yang perlu Ansel khawatirkan tentang Jazel dan keluarganya.


Jazel sampai ke rumah Ansel di waktu matahari terbenam, jauh sebelum laki-laki manis itu bangun. Dia datang disambut Mama dan Papanya. Begitu sampai, Mama Ansel langsung mengajaknya makan malam bersama. Jazel tak kuasa untuk menolak. Mamanya menceritakan sedikit banyak hal, termasuk Ansel yang tidak pernah membawa temannya sejak mereka pindah rumah. Karibnya, Harta pun hanya sebatas antar-jemput, atau hanya mengobrol sebentar dengan Mama Ansel di depan gerbang.

“Ansel tuh emang gampang sakit kalo capek. Makanya pas dia minta izin buat daftar jadi Wakil Ketua BEM Fakultas tuh, tante agak keberatan. Tapi dia tuh keras kepala banget. Sampai janji bakal rutin minum vitamin. Tapi bulan ini dia udah dua kali drop, meskipun ga separah hari ini.”

Jazel melebarkan mata mendengarnya. Padahal sebulan ini Ansel kelihatan baik-baik saja.

“Jazel itu Ketua BEM nya kan ya? Bisa gak ya buat berhentiin Ansel jadi wakil kamu. Pasti masih banyak mahasiswa lain yang bisa gantiin Ansel kan?”

Oh, permintaan yang sulit. Kalau untuk kebaikan pacarnya, Jazel juga maunya begitu. Tapi kan tau sendiri Ansel juga punya pemikirannya yang keras dan kritis, kalau mau selesai pun harus dengan alasan yang jelas.

“Jazel bukannya ga mau tante, tapi selama ini Ansel kerjanya bagus. Kalau tanpa alasan yang masuk akal, Ansel pasti gak mau disuruh berhenti.”

Ibunya hanya mengangguk paham sambil menghela napas berat.

“Tapi tante tenang aja, Jazel bakal usahain supaya kerjaan Ansel di BEM ga terlalu berat dan punya banyak waktu istirahat cukup.”

...

Hari ini sekali lagi Ansel menonton pertandingan futsal anak-anak teknik. Dia duduk di pojok, agak jauh dari pinggir lapangan, sendirian. Tadi Seno menemaninya, sampai dia pergi untuk bersiap-siap main di pertandingan nanti. Sementara Juan, sibuk mondar-mandir mengobrol dengan teman-teman anak futsal yang dikenalinya. Terkadang anak-anak teknik yang dikenali Ansel lewat sekedar meyapanya. Kalau Jazel, jangan ditanya.. laki-laki yang menyuruh Ansel untuk datang itu sepertinya lagi mampir ke rapat internal Divisi PSDM. Katanya sih cuma sebentar, tapi Ansel juga kurang tau sebentarnya Jazel tuh sampai Rapat PSDM selesai, atau futsalnya selesai.

Ansel tuh sebetulnya tidak terlalu suka dan mengerti dengan permainan rebutan bola yang begitu disukai kebanyakan anak laki-laki itu. Tapi sepertinya sekarang dia mulai paham setelah beberapa kali menonton. Saat tengah serius menonton pertandingan, pipi gembulnya ditusuk dengan jari telunjuk, membuatnya menengok ke samping.

Pelakunya tak lain adalah Jazel. Dia tersenyum, mengambil tempat duduk tepat di samping Ansel. Laki-laki manis itu hanya diam menanggapi, atensinya kembali tertuju penuh pada bola di lapangan.

“By.. cobain deh.”

Jazel menyodorkan gelas plastik ke arah bibirnya, tanpa menoleh Ansel mendekatkan bibirnya ke arah sedotan, meminum entah apa yang disodorkan padanya.

“Ihhh, kamu beli matcha-latte dimanaa?!” tanya Ansel, kini atensinya teralihkan penuh pada Jazel. Maniknya berbinar, membuat Jazel terkekeh kecil.

“Tadi titip anak psdm pada gofood,” balas Jazel.

“Enak hehe.” Wajah datarnya yang tampak sejak tadi kini secerah mentari pagi. Gelas plastik matcha latte itu kini sudah di tangan Ansel.
Jazel memang jenius soal sogok-menyogok. Sengaja dia mampir membawa minuman kesukaan Ansel.

Ngomong-ngomong suasana lapangan memang ramai, tapi atensi penuh semua orang jelas lah pada pertandingan yang sedang berlangsung. Bukan pada sepasang muda-mudi yang menjalin kasih diam-diam.

“Teknik belum main ya?” tanya Jazel.

“Belum, abis ini. Oh, ya.. udah selesai rapat anak psdmnya?”

“Belum kok, aku cabut duluan.”

“Kok gitu.”

“Matcha-lattenya udah sampe soalnya haha. Mau nonton anak teknik main.”

“Lah, cuma nitip minum doang?” Ansel meliriknya dengan bibir mengerucut, matanya melirik Jazel sangsi.

“Enggaa kok, tadi dengerin pembahasan yang penting. Sisanya cuma bahas internal psdm aja makanya aku cabut duluan. Lagian ada Harta, nanti juga dia ceritain yang penting kalo ada kelewat.”

Ansel mengangguk mengerti.

“Ehh.. itu teknik udah mulai.”

“Majuan yuk by ke tengah nontonnya.”


Pertandingan futsal yang diadakan oleh UKM ini skalanya tingkat Universitas. Di jeda waktu pertandingan selanjutnya biasanya ada penampilan yang disiapkan oleh panitia entah tarian, nyanyian, atau stand up. Sayangnya teknik kalah di semi final. Masih ada pertandingan lainnya, tapi Jazel mengajak Ansel untuk pulang.

“Sebentar dulu, mau liat penampilan,” kata Ansel.

Sebuah intro yang familiar diputar, lagu milik Pink Sweat$ 'At My Worst'. Ansel melebarkan mulutnya, matanya berpendar ke seluruh penjuru lapangan, mencari siapa gerangan orang yang akan bernyanyi. Ketika untaian lirik mulai dinyanyikan, Ansel mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dia lumayan akrab dengan suara itu.

Jonathan.

Sambil bernyanyi dia berjalan mengitari lapangan.

Bukan.

Bukan lapangan.

Tapi langkahnya berhenti tepat di depan Ansel. Tangannya terulur tepat di depannya, membuat Ansel dihadapi kebingungan yang begitu nyata. Ujung matanya melirik ke arah Jazel yang terdiam dengan wajah datar. Sorak-sorak suara orang-orang begitu ramai, memaksanya menerima uluran tangan itu. Jonathan membawanya ikut ke tengah lapangan, mereka menjadi atensi penuh semua orang.

Ansel pikir ini hanya sebagian dari skenario penampilan Jonathan supaya menghibur orang-orang.

Ansel pikir begitu sampai Jonathan mengeluarkan subuket bunga dari belakang punggungnya kemudian berlutut di tanah,

“I'm so glad you're in my life, but I want to be more than friends. Can you be my lover, Ansel?”


“Ansel mana? Katanya udah selesai futsalnya?” Harta menghampiri Jazel setelah laki-laki itu mengirim pesan. Begitu rapat divisinya selesai dia memilih ngadem di ruang sekretariat BEM daripada menonton futsal di lapangan yang panas dan ramai, sembari menunggu Ansel.

Tapi sekarang, dia tak mendapati Ansel di samping Jazel, pun rahang Jazel tampak begitu mengeras. Dia membuang napas kasar, dagunya menunjuk ke tengah lapangan, membuat mata Harta mengikuti fokus sahabat karibnya itu.

“Oh, waww.”

Hari ini sekali lagi Ansel menonton pertandingan futsal anak-anak teknik. Dia duduk di pojok, agak jauh dari pinggir lapangan, sendirian. Tadi Seno menemaninya, sampai dia pergi untuk bersiap-siap main di pertandingan nanti. Sementara Juan, sibuk mondar-mandir mengobrol dengan teman-teman anak futsal yang dikenalinya. Terkadang anak-anak teknik yang dikenali Ansel lewat sekedar meyapanya. Kalau Jazel, jangan ditanya.. laki-laki yang menyuruh Ansel untuk datang itu sepertinya lagi mampir ke rapat internal Divisi PSDM. Katanya sih cuma sebentar, tapi Ansel juga kurang tau sebentarnya Jazel tuh sampai Rapat PSDM selesai, atau futsalnya selesai.

Ansel tuh sebetulnya tidak terlalu suka dan mengerti dengan permainan rebutan bola yang begitu disukai kebanyakan anak laki-laki itu. Tapi sepertinya sekarang dia mulai paham setelah beberapa kali menonton. Saat tengah serius menonton pertandingan, pipi gembulnya ditusuk dengan jari telunjuk, membuatnya menengok ke samping.

Pelakunya tak lain adalah Jazel. Dia tersenyum, mengambil tempat duduk tepat di samping Ansel. Laki-laki manis itu hanya diam menanggapi, atensinya kembali tertuju penuh pada bola di lapangan.

“By.. cobain deh.”

Jazel menyodorkan gelas plastik ke arah bibirnya, tanpa menoleh Ansel mendekatkan bibirnya ke arah sedotan, meminum entah apa yang disodorkan padanya.

“Ihhh, kamu beli matcha-latte dimanaa?!” tanya Ansel, kini atensinya teralihkan penuh pada Jazel. Maniknya berbinar, membuat Jazel terkekeh kecil.

“Tadi titip anak psdm pada gofood,” balas Jazel.

“Enak hehe.” Wajah datarnya yang tampak sejak tadi kini secerah mentari pagi. Gelas plastik matcha latte itu kini sudah di tangan Ansel.
Jazel memang jenius soal sogok-menyogok. Sengaja dia mampir membawa minuman kesukaan Ansel.

Ngomong-ngomong suasana lapangan memang ramai, tapi atensi penuh semua orang jelas lah pada pertandingan yang sedang berlangsung. Bukan pada sepasang muda-mudi yang menjalin kasih diam-diam.

“Teknik belum main ya?” tanya Jazel.

“Belum, abis ini. Oh, ya.. udah selesai rapat anak psdmnya?”

“Belum kok, aku cabut duluan.”

“Kok gitu.”

“Matcha-lattenya udah sampe soalnya haha. Mau nonton anak teknik main.”

“Lah, cuma nitip minum doang?” Ansel meliriknya dengan bibir mengerucut, matanya melirik Jazel sangsi.

“Enggaa kok, tadi dengerin pembahasan yang penting. Sisanya cuma bahas internal psdm aja makanya aku cabut duluan. Lagian ada Harta, nanti juga dia ceritain yang penting kalo ada kelewat.”

Ansel mengangguk mengerti.

“Ehh.. itu teknik udah mulai.”

“Majuan yuk by ke tengah nontonnya.”

__

Pertandingan futsal yang diadakan oleh UKM ini skalanya tingkat Universitas. Di jeda waktu pertandingan selanjutnya biasanya ada penampilan yang disiapkan oleh panitia entah tarian, nyanyian, atau stand up. Sayangnya teknik kalah di semi final. Masih ada pertandingan lainnya, tapi Jazel mengajak Ansel untuk pulang.

“Sebentar dulu, mau liat penampilan,” kata Ansel.

Sebuah intro yang familiar diputar, lagu milik Pink Sweat$ 'At My Worst'. Ansel melebarkan mulutnya, matanya berpendar ke seluruh penjuru lapangan, mencari siapa gerangan orang yang akan bernyanyi. Ketika untaian lirik mulai dinyanyikan, Ansel mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dia lumayan akrab dengan suara itu.

Jonathan.

Sambil bernyanyi dia berjalan mengitari lapangan. Bukan, bukan lapangan. Tapi langkahnya berhenti tepat di depan Ansel. Tangannya terulur tepat di depannya, membuat Ansel dihadapi kebingungan yang begitu nyata. Ujung matanya melirik ke arah Jazel yang terdiam dengan wajah datar. Sorak-sorak suara orang-orang begitu ramai, memaksanya menerima uluran tangan itu. Jonathan membawanya ikut ke tengah lapangan, mereka menjadi atensi penuh semua orang.

Ansel pikir ini hanya sebagian dari skenario penampilan Jonothan supaya menghibur orang-orang.

Ansel pikir begitu sampai Jonathan mengeluarkan subuket bunga dari belakang punggunya kemudian berlutut di tanah,

“I'm so glad you're in my life, but I want to be more than friends. Can you be my lover, Ansel?”

__

“Ansel mana? Katanya udah selesai acaranya?” Harta menghampiri Jazel setelah laki-laki itu mengirim pesan, begitu rapat divisinya selesai dia memilih ngadem di ruang sekretariat BEM daripada menonton futsal di lapangan yang panas dan ramai, sembari menunggu Ansel.

Tapi sekarang, dia tak mendapati Ansel di samping Jazel, pun rahang Jazel tampak begitu mengeras. Dia membuang napas kasar, dagunya menunjuk ke tengah lapangan, membuat mata Harta mengikuti fokus sahabat karibnya itu.

“Oh, waww.”

...

Mereka sampai di tempat kemah sore hari. Daerah yang ditunjukkan Harta bukan di tengah hutan, masih dekat dengan perkotaan. Meskipun begitu tempatnya dikelilingi pohon tinggi, dan ada danau di dekatnya. Esa bahkan sudah menyiapkan kail untuk memancing.

Selagi Esa, Kevin, Harta dan Jazel membangun tenda, Ansel dan Juan menyiapkan makan malam, mengupas semua bahan yang ada, bagi tugas ceritanya. Sudah hampir satu jam tapi,

“Ga bisa anjing,” kesal Jazel.

“Lo pegang yang bener babi,” balas Harta ga kalah emosi.

“Ayo lah, ga berdiri ga tidur lu berdua,” kata Esa begitu tenang, tenda yang dibuat dia dan Kevin sudah hampir selesai.

“Tenda baru lu rusak kayanya sa,” kata Jazel.

“Sembarangan lu.”

“Rusak tuh maksudnya dirusakin si Harta ama Jazel,” timpal Kevin.

Tenda yang dipegang Kevin dan Esa sudah berdiri, tapi punya Jazel sama Harta masih rata. Berakhir Esa dan Kevin ikut turun tangan.

Sementara di sisi lain, Juan tak penah absen dengan rutinitasnya menjahili Ansel.

“Aaaa Juaan,” protes Ansel. Masalahnya pipinya dicolek dengan kecap sampai belepotan. Sementara Juan hanya tertawa puas.

“Anjir Ju pacar gua lu apain.”

Entah sejak kapan Jazel berada di belakang mereka, dia merangkulkan lengannya di leher Juan sampai-sampai laki-laki bongsor itu menjerit, dia memukul-mukul lengan Jazel.

“Sel anjing gua ga bisa napas.”

“Eh udah,” panik Ansel. Jazel langsung melepas lengannya, sumpah serapah tak berhenti keluar dari mulut Juan, tapi Jazel cuma tertawa menanggapinya. Jazel langsung mendekati Ansel, mengusap pipinya yang belepotan kecap dengan jarinya. Kemudian jarinya dia isap.

“Masih lengket ya by?” tanya Jazel, dia sudah mendekatkan wajahnya ke pipi Ansel, tapi Ansel lebih dulu beranjak bangun.

“Aku ada tisu basah.”

Ansel tau niatan Jazel kalau sudah sedekat itu. Maka sebelum niatan itu terlaksana dia bangun lebih dulu.

Jazel pasti mau jilat pipi dia.

...

Malam itu mereka menyalakan api unggun, memasak semua bahan yang dibawa Ansel. Tak lupa Esa dengan totalitas niatnya untuk camping, dia sampai-sampai membawa gitar.

Di malam itu banyak yang baru Ansel ketahui. Esa yang biasanya tenang itu bisa berisik, Kevin yang sejak awal tidak terlalu dekat dengannya pun bagaikan sosok kakak di antara mereka, pantas saja pacarnya itu lengket betul dengan Kevin. Harta dan Juan sama sekali tidak jauh beda dari biasanya, kerjaannya usil apalagi pada Ansel.

Jazel pun tak jauh beda, hanya saja tawanya begitu lepas daripada biasanya. Pun dia begitu perhatian pada Ansel, memastikan laki-laki mungil itu makan dengan baik, dan sama sekali tidak membiarkan Ansel merasa sendirian meskipun banyak hal yang dia tidak mengerti dari obrolan mereka.

Jazel membawa Ansel dekat dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga kecilnya.

...

Mereka sampai di tempat kemah sore hari. Daerah yang ditunjukkan Harta bukan di tengah hutan, masih dekat dengan perkotaan. Meskipun begitu tempatnya dikelilingi pohon tinggi, dan ada danau di dekatnya. Esa bahkan sudah menyiapkan kail untuk memancing.

Selagi Esa, Kevin, Harta dan Jazel membangun tenda, Ansel dan Juan menyiapkan makan malam, mengupas semua bahan yang ada, bagi tugas ceritanya. Sudah hampir satu jam tapi,

“Ga bisa anjing,” kesal Jazel.

“Lo pegang yang bener babi,” balas Harta ga kalah emosi.

“Ayo lah, ga berdiri ga tidur lu berdua,” kata Esa begitu tenang, tenda yang dibuat dia dan Kevin sudah hampir selesai.

“Tenda baru lu rusak kayanya sa,” kata Jazel.

“Sembarangan lu.”

“Rusak tuh maksudnya dirusakin si Harta ama Jazel,” timpal Kevin.

Tenda yang dipegang Kevin dan Esa sudah berdiri, tapi punya Jazel sama Harta masih rata. Berakhir Esa dan Kevin ikut turun tangan.

Sementara di sisi lain, Juan tak penah absen dengan rutinitasnya menjahili Ansel.

“Aaaa Juaan,” protes Ansel. Masalahnya pipinya dicolek dengan kecap sampai belepotan. Sementara Juan hanya tertawa puas.

“Anjir Ju pacar gua lu apain.”

Entah sejak kapan Jazel berada di belakang mereka, dia merangkulkan lengannya di leher Juan sampai-sampai laki-laki bongsor itu menjerit, dia memukul-mukul lengan Jazel.

“Sel anjing gua ga bisa napas.”

“Eh udah,” panik Ansel. Jazel langsung melepas lengannya, sumpah serapah tak berhenti keluar dari mulut Juan, tapi Jazel cuma tertawa menanggapinya. Jazel langsung mendekati Ansel, mengusap pipinya yang belepotan kecap dengan jarinya. Kemudian jarinya dia isap.

“Masih lengket ya by?” tanya Jazel, dia sudah mendekatkan wajahnya ke pipi Ansel, tapi Ansel lebih dulu beranjak bangun.

“Aku ada tisu basah.”

Ansel tau niatan Jazel kalau sudah sedekat itu. Maka sebelum niatan itu terlaksana dia bangun lebih dulu.

Jazel pasti mau jilat pipi dia.

...

Malam itu mereka menyalakan api unggun, memasak semua bahan yang dibawa Ansel. Tak lupa Esa dengan totalitas niatnya untuk camping, dia sampai-sampai membawa gitar.

Di malam itu banyak yang baru Ansel ketahui. Esa yang biasanya tenang itu bisa berisik, Kevin yang sejak awal tidak terlalu dekat dengannya pun bagaikan sosok kakak di antara mereka, pantas saja pacarnya itu lengket betul dengan Kevin. Harta dan Juan sama sekali tidak jauh beda dari biasanya, kerjaannya usil apalagi pada Ansel.

Jazel pun tak jauh beda, hanya saja tawanya begitu lepas daripada biasanya. Pun dia begitu perhatian pada Ansel, memastikan laki-laki mungil itu makan dengan baik, dan sama sekali tidak membiarkan Ansel merasa sendirian meskipun banyak hal yang dia tidak mengerti dari obrolan mereka.

Jazel membawa Ansel dekat dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga kecilnya.

...

Kevin memberhentikan mobilnya di depan rumah berpagar putih, sesuai arahan Harta yang duduk di jok sebelahnya. Begitu mobil berhenti, Jazel langsung keluar. Bukan pertama kali Jazel kemari, tapi bukan yang sering setiap hari. Jazel disambut oleh Ansel yang kewalahan membawa banyak barang. Dengan sigap dia mengambil alih barang di tangan Ansel, membawanya ke bagasi mobil.

Sementara itu wanita cantik yang wajahnya persis dengan Ansel keluar. Harta yang sedari tadi memang membuka kaca jendela lantas menyapa wanita cantik itu.

“Hai tante, Anselnya pinjem dulu ya,” kata Harta. Bukan sekali dua kali dia bertemu dengan Mama Ansel. Lagipula mereka masih satu komplek, ibunya bahkan kenal baik dengan Mama Ansel.

“Eh nak Harta, titip ya.. jangan sampe lecet loh.”

“Haha, engga lah.”

“Ibu di rumah lagi apa?” tanya Mama Ansel. Jazel dan Ansel sibuk memindahkan barang sementara Harta berbincang dengan Mama Ansel.

“Tadi pas Harta pergi sih, ibu berangkat arisan, sekalian transfer data biasalah. Kok tante ga ikutan.”

“Arisan yang mana dulu nih?”

“Gak ngerti Harta, ibu ikut arisan banyak.”

“Udah ya, aku pergi dulu,” kata Ansel memutus obrolan keduanya. Sang Mama pun memeluk Ansel singkat, dia juga tersenyum menyalami Jazel yang baru selesai menutup pintu bagasi. Keduanya pun masuk ke dalam mobil, Esa dan Juan duduk di kursi paling belakang, sisa kursi tengah yang kosong yang kini ditempati Jazel dan Ansel.

“Pamit dulu ya tante,” pamit Harta seraya melambaikan tangannya. Begitu pun dengan Ansel yang melambaikan tangannya pada sang Mama, sementara yang lain ikut tersenyum menyalami Mama Ansel.

“Iya, hati-hati yaaa semua.”

“Akrab banget nih sama Mamanya Ansel,” kata Kevin sementara matanya fokus mengemudi keluar komplek.

“Ya kan gua bilang kemaren, Mama kita ya cel,” kata Harta bercanda, yang dibalas tawa kecil oleh Ansel.

Mungkin ini pertama kalinya Jazel bertemu dengan Mama Ansel, tidak seperti Harta yang sudah akrab betul.

***

Hari ini Ansel datang sejak pagi-pagi sekali. Biasanya ia langsung masuk ke kelas, tapi kali ini dia melangkahkan kakinya lebih dulu ke ruang BEM Prodi Arsitektur. Ansel sedang tidak mau berbicara atau sekedar menjawab pertanyaan orang-orang di kelas, maka dia menunggu di sini sampai jam pertama benar-benar akan dimulai.

5 menit sebelum jam pertama dimulai Ansel bersiap-siap, namun tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan, membuatnya mengernytkan keningnya.

“Iya, masuk,” jawabnya.

Seseorang membuka pintunya, Ansel melebarkan matanya melihat siapa tamu yang datang sepagi ini. Orang itu berjalan menghampirinya, lalu dengan begitu saja menubruk tubuh mungil Ansel yang masih duduk, merengkuhnya.

Pelakunya adalah Jazel.

Ansel tersenyum kecil, tangannya diarahkan ke kepala Jazel, mengusak helaian rambutnya yang sedikit berantakan. Sementara Jazel semakin menelusupkan wajahnya di ceruk leher Ansel.

“Katanya ada kelas pertama?” tanya Ansel, suaranya serak terdengar seperti bisikan.

“Jatah bolos aku masih ada sih.”

Ansel menepuk punggung laki-laki itu, memintanya melepaskan pelukannya, yang langsung diturutinya.

“Aku baru mau siap-siap ke kelas padahal,” kata Ansel dengan bibir mengerucut. Matanya melirik arloji di pergelangan tangan, seharusnya kelasnya sudah dimulai.

“Udah sarapan belum?” tanya Jazel, meskipun dia tahu bahwa seharusnya pacarnya itu tidak pernah melewatkan sarapan paginya.

“Udah sih.”

“Kalo gitu temenin aku makan.”

Jazel dengan segera meraih tas Ansel yang sudah akrab di matanya itu, lalu menggenggam tangan Ansel untuk beranjak bangun dari duduknya.

“Sebentar.” Ansel berusaha melepaskan genggaman erat Jazel meskipun tidak bisa.

“Ga ada orang sepagi ini, oke. Ga bakal ada yang liat kita.” Jazel berujar dengan wajah dan nada bicara yang datar, membuat Ansel jadi takut-takut untuk membantahnya.

“Oke.”

Pada akhirnya dia menurut, mengikuti langkah besar Jazel yang membawanya entah kemana.

Haruto baru saja keluar dari kantornya, dengan langkah besar dia setengah berlari menyusuri jalan. Pekerjaannya sudah selesai sejak satu jam lalu, jika saja atasannya tidak mendadak menghentikannya dan membangun beberapa argumen, dia pasti tidak akan telat pada janji yang dibuatnya. Haruto semakin mengeratkan mantel panjang yang dikenakannya.

New York menjelang akhir tahun terasa semakin dingin, bahkan ketika salju belum turun. Meskipun begitu jalanan tetap ramai dan terasa hangat dengan lampu warna warni yang menyala di malam hari, mengingatkannya pada malam natal yang masih satu bulan lagi. Keramaian yang ada membawa kehangatan di hati, namun disini Haruto merasa tubuhnya hampir membeku kedinginan.

Haruto memperlambat langkah kakinya begitu melihat seseorang dengan jaket tebal berdiri tak jauh darinya. Dari samping, wajahnya terlihat semakin mungil dengan topi dan syal yang menutupi lehernya sampai ke dagu. Namun Haruto bisa melihat bibir merahnya mengerucut, sambil sesekali pipi tembamnya mengembung, lalu meniupkan kepulan asap akibat cuaca dingin.

“Kim Junkyu-ssi.” Haruto datang menyapa, membuat laki-laki manis itu menoleh dengan wajah masih merengut.

“Uh, kau membuatku menunggu.”

Haruto pun melirik arloji di pergelangan tangannya. Ya, dia memang terlambat 15 menit lamanya.

“Maaf.”

“Aku hampir membeku kedinginan.” Dia mengusap kedua telapak tangannya, membuat Haruto mengerutkan keningnya.

“Kau tidak memakai sarung tangan?” Tanya Haruto.

“Hm, aku lupa membawanya. Tapi jangan khawatir ini tidak terlalu dingin-”

Haruto meraih jemari itu, lalu diletakannya di pipi. Rasa dingin langsung menyapa pipinya yang hangat. Membuat Haruto lantas melepas sarung tangannya, namun tangan yang lebih pucat lebih dulu menahannya, kemudian dia menggeleng cepat.

“Aku tidak apa-apa, nanti kau yang kedinginan.”

Tapi Haruto tetaplah Haruto, dia memaksanya memakai sarung tangan miliknya.

“Tidak mau Haru.. nanti kau yang kedinginan.” Kim Junkyu kembali menggeleng, sementara Haruto masih sibuk memakaikan sebelah tangannya sarung tangan. Setelah selesai dia mendongak, membuat Junkyu mengerjapkan mata bulatnya melihat hanya sebelah tangannya yang mengenakan sarung tangan.

Belum sempat protes, jemarinya yang kosong digenggang erat. Haruto menyimpan jemari kosong itu kedalan saku jaketnya, dalam tautan yang erat, saling memberi kehangatan di dalam sana.

“Apa-apaan sih..” ucap Junkyu setengah berbisik, sambil melihat kesekeliling mereka.

“Kalau begini kan impas, kita sama-sama tidak akan kedinginan.”

Junkyu hanya tersenyum kecil, sambil mengerutkan hidung mancungnya.

“Kita akan kemana?” Tanya Haruto. Sebenarnya dia tidak tahu kemana tujuannya, hanya saja lelaki manis di sampingnya ini merengek meminta ditemani keluar di malam yang semakin dingin, diperalihan musim.

Mereka berjalan bersisian, dengan tangan saling bertaut di dalam saku Haruto.

“Aku ingin membeli peralatan dapur, menurut laporan cuaca salju pertama akan turun hari ini, dan mereka akan mengadakan diskon besar-besaran.”

Haruto hanya mengangguk mengiyakan. Lelaki manis di sampingnya ini sangat menyukai diskon. Beberapa kali dia membeli barang diskon bahkan meskipun barang itu tidak dibutuhkannya. Katanya euforia membeli barang diskon itu berbeda.

Pernah dulu Haruto berkata, “kau sangat menyukai diskon ya, bahkan sampai rela mengantri, atau terjaga sampai dini hari.”

Tapi laki-laki manis itu hanya tertawa kecil, “Kau harus mencobanya. Rasanya sangat asik membeli barang mahal dengan harga miring, rasanya tidak jauh berbeda dengan orang yang menghabiskan malamnya untuk menonton orang bermain menggiring bola. Entah kenapa orang-orang akan bersorak girang melihat orang lain mencetak gol.” Waktu itu dia berucap setengah mencibir, jelas sekali menggoda Haruto.

“Itu euforia yang berbeda.” Sangkal Haruto.

“Sama.”

“Berbeda.”

“Sama.”

Waktu itu mereka akan beradu mulut, saling mencibir mengenai kesukaannya masing-masing. Namun sekarang, Haruto berdiri menemaninya mengantri, bahkan di tengah dinginnya udara malam.

“Setelah ini aku ingin mampir ke toko roti di pinggir jalan sana ya.” Ucap Junkyu menunjuk toko roti yang cukup jauh, namun masih dapat tertangkap oleh mata. Haruto mengangguk, lalu sedikit membenahi syal yang melorot di leher si manis. Hidung mungilnya mulai memerah, dan Haruto mengeratkan syal yang dikenakannya agar dia merasa lebih hangat.

.

.

.

Belanjaan yang dibeli Junkyu sangat banyak, rencananya hanya ingin membeli satu, tapi jadi banyak. Selalu begitu. Hingga mereka memutuskan untuk membayar jasa antar milik toko tsb, untuk mengantar ke rumah. Karena Haruto tidak membawa mobil, mereka sama-sama bertemu dengan berjalan kaki kemari.

Mereka masuk ke toko roti yang di maksud Junkyu tadi, membawa satu tote bag berukuran sedang. Sebelum kemari Junkyu berhenti di depan sebuah toko, matanya terpaku pada benda lucu yang memancarkan cahaya gemerlap dengan bunyi gemerincing. Tiba-tiba saja Junkyu ingin membelinya, menurutnya cocok untuk dipasang di pohon natal. Lagipula dia belum menghias pohon natalnya dengan apapun, sehingga mereka mampir lebih dulu, membeli beberapa aksesoris sebelum datang kemari.

Begitu masuk ke dalam toko, Haruto bisa mencium harum aroma kopi dan wangi mentega, membuat perutnya tiba-tiba saja menjerit. Padahal sebelumnya dia tidak merasa lapar. Di dalam toko terasa lebih hangat, penghangat ruangannya berfungsi dengan baik. Haruto langsung berjalan menuju meja di samping jendela kaca, sementara Junkyu pergi memesan. Dia melepaskan mantel yang dikenakannya, menyisahkan kemeja lengan pajang.

Tak lama Junkyu datang menghampiri, dia berjalan dengan kedua tangannya yang dikepal di depan dada, sambil matanya melirik kanan dan kiri, memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Begitu duduk di hadapan Haruto, dia menunjukan kedua telapak tangannya dimana hanya ada satu sarung tangan yang terpasang.

“Pelayan tadi tertawa melihatku begini.” Ucapnya berbisik pelan. Haruto hanya menarik sudut bibirnya, melihat Junkyu mengembungkan pipinya, membuat bibirnya mengerucut, menjadikan wajahnya semakin imut dengan ekspresinya.

“Itu karena kau lucu, dalam artian yang sebenarnya. Maksudku imut.”

“Hmm..” Junkyu hanya balas bergumam, masih mengembungkan pipinya. Kepalanya melengos memandang keluar jendela, dan Haruto bisa melihat telinganya yang memerah.

Tak butuh waktu lama untuk pesanannya datang, membuat Junkyu buru-buru menoleh dan tersenyum senang. Dia memesan dua cangkir kopi dan 3 roti dengan jenis yang berbeda, satu roti coklat, satu roti dengan taburan gula di atasnya, dan satu lagi roti polos entah apa isinya.

Haruto memilih menyesap sedikit kopi yang masih begitu mendidih, namun langsung memberi kehangatan ke dalam tubuhnya.

“Haruto mau yang mana?”

“Terserah, kau ingin yang mana?” Haruto balik bertanya. Karena sedari awal Haruto hanya mengikuti laki-laki manis ini, dia yang ingin mampir mencicipi roti.

“Sebenarnya aku ingin mencoba semuanya, nanti kita makan sama-sama ya.”

Haruto mengangguk mengiyakan, sementara Junkyu mulai memotong roti dengan pisau.

“Sebenarnya aku tidak tahan, ingin langsung menggigitnya saja.” Ucap Junkyu dengan tangan sibuk memotong.

“Kalau begitu kenapa repot-repot.”

Junkyu menghela nafas, lalu meletakan pisaunya di atas meja. Kalau di pikir-pikir mereka kan tidak sedang berada di kerajaan Inggris. Ini hanya toko roti di Amerika, kenapa dia sesungkan itu.

Junkyu mengambil roti dengan taburan gula. Setelah satu gigitan matanya berkilat penuh gairah.

“Hmm.. enak.”

Junkyu langsung menyodorkan rotinya ke arah Haruto, membuatnya langsung membuka mulutnya. Junkyu terkekeh gemas melihat laki-laki itu. Taburan gulanya tertinggal di sudut bibirnya.

“Kau makan sangat berantakan.” Ucap Junkyu meletakan jarinya di sudut bibirnya sendiri. Memberitahu Haruto akan gula yang tertinggal. Begitu isi mulutnya sudah kosong, Haruto menjulurkan lidahya, menyapu sisa gula di permukaan bibirnya.

“Terlalu banyak gula.”

“Tapi enak, Haruto makan yang coklat saja deh, itu kan kesukaanmu.”

Haruto kembali menyesap kopinya, dia terlalu malas untuk makan, memilih menunggu Junkyu kembali memaksanya dengan menyodorkan roti ke bibirnya, dan dia hanya tinggal membuka mulutnya.

Sembari makan, Junkyu bercerita mengenai kegiatannya sepanjang hari ini. Sementara Haruto lebih banyak tersenyum, sesekali tertawa mendengarnya.

“Mau lagi?” Tanya Junkyu, matanya menunjuk potongan terakhir roti di piring.

Ketika datang kemari Haruto merasa perutnya mendadak lapar, tapi sekarang, melihat Junkyu memakan rotinya dengan lahap, perutnya menjadi kenyang. Haruto pun menggeleng.

“Tidak, untukmu saja.”

“Kau akan menyesal loh.”

“Nanti kau akan menangis kalau aku habiskan.”

Junkyu kemudian tersenyum, lalu dia memainkan kedua pipinya yang terasa semakin tembam dengan jarinya.

“Sebenarnya aku sedang diet, berat badanku bertambah, tapi aku terus makan sejak tadi.”

“Kalau begitu makanlah apapun yang kau suka. Diet atau tidak pipimu memang gendut seperti itu.” Ucap Haruto, membuat Junkyu mengerutkan keningnya, bibirnya semakin mengerucut, dan dia bersiap untuk marah.

“Apasih-”

“Aku suka kau yang begitu.” Tambah Haruto, tidak mau Junkyu salah mengartikan maksudnya. Tak selamanya kata gendut berkonotasi negatif. Haruto justru tidak suka Junkyu yang kurus, dengan pipi tirus. Junkyu yang sekarang jauh lebih hidup.

“Aku tahu.” Cicit Junkyu, dia kembali memakan habis roti yang tersisa. Kepalanya menunduk, dan pipinya kembali merona.

“Setelah ini ingin kemana lagi?”

“Aku ingin pulang saja.”

.

.

.

Di perjalanan pulang Haruto masih menggengam jemari Junkyu di dalam sakunya. Semakin malam, dingin semakin terasa menusuk kulit.

“Katanya malam ini akan turun salju pertama, tapi sampai saat ini belum ada.” Junkyu mengadahkan sebelah telapak tangannya, sambil kepalanya mendongak ke atas langit yang gelap.

“Mungkin nanti, atau besok.” Jawab Haruto.

“Apa di Korea sudah turun salju?” Sebuah pertanyaan retoris, yang sebenarnya tak mengharapkan jawaban apa-apa. Tanpa bertanya sekalipun Junkyu tahu jawaban Haruto.

“Entahlah, sepertinya belum.”

Junkyu diam-diam mengulum senyum manisnya, tiba-tiba saja teringat mengenai negara asalnya itu.

“Musim dingin di Korea tidak sedingin di Amerika.” Katanya, memandang jauh akan ingatan musim dingin di sana. Dia mengeratkan jaket yang dikenakannya, memeluk dirinya. Ada setitik kerinduan, namun segera dihempaskannya perasaan itu.

“Tapi disini tetap terasa hangat, jauh lebih hangat.” Lanjut laki-laki manis itu, membuat Haruto menoleh ke arahnya.

“Dimanapun rumah, itu adalah tempat yang paling hangat, meskipun terkadang bisa menjadi sangat panas.” Ucap Haruto, membuat hidung Junkyu semakin memerah, tak lagi hanya karena dingin.

Ketika beberapa langkah lagi sampai di depan rumah. Junkyu mendongak, merasakan setetes air menyentuh pipinya. Matanya membola, dan dia refleks melepaskan tautan jemari mereka, sekali lagi mengadah ke langit, merasakan tetesan salju yang perlahan turun.

“Salju.” Ucapnya bersemangat, tersenyum kearah Haruto, sangat manis. Wajahnya berpuluh-puluh kali lebih manis ketika tersenyum, membuat Haruto beribu-ribu kali menjadi kagum, dan semakin jatuh pada pesonanya. Haruto lantas balas tersenyum, ikut mendongakan wajahnya ke langit. Salju perlahan benar-benar mulai jatuh, layaknya hujan, namun terasa ringan dan lambat. Tak mau terburu-buru, sepertinya dan Junkyu.

Ketika dia menoleh ke samping, Junkyu sedang menangkup kedua tangannya dengan mata terpejam. Di salju pertama ini dia berdoa, dan Haruto ikut memejamkan matanya. Berdoa dengan segenap hati untuk kebahagiaan orang di sampingnya.

Haruto membuka matanya sepersekian detik sebelum Junkyu. Junkyu menyudahi doanya, lalu tersenyum pada Haruto. “Katanya kalau berdoa di saat salju pertama turun, permohonanmu akan terkabul.” Ucapnya.

“Katanya kalau menyampaikan perasaan di saat salju pertama turun cintanya akan terbalaskan.” Sahut Haruto, membuat Junkyu menautkan alisnya, masih dengan senyum yang membingkai wajah manisnya.

“Kau masih percaya hal seperti itu?” Tanya Junkyu, memiringkan kepalanya. Padahal pernyataan milik Haruto tak jauh beda dengan miliknya.

“Hm, dan aku mencintaimu.”

Ketika Haruto berucap demikian, Junkyu tak lagi bisa menahan tawanya untuk keluar. Suara tawa yang terdengar merdu, dan bagi Haruto itu adalah satu-satunya nada yang paling indah dalam hidupnya, yang akan selalu Haruto jaga, dan tak akan membiarkan tawa itu hilang. Junkyu menyeka sedikit air yang keluar dari ujung matanya, sebelum tersenyum.

“Sudah berapa tahun kita menikah, dan kau selalu mengucapkan hal itu di saat salju pertama turun.” Balas Junkyu.

Kenyataannya Junkyu merasa tersentuh setiap mendengar kalimat cinta yang dilontarkan Haruto. Tak peduli seberapa sering dia mengucapkannya, tak ada kata bosan. Haruto akan selalu membawa percikan api kecil, yang membuat darahnya berdesir hebat, dan jantungnya berdetak tidak karuan.

Junkyu kemudian mengangkat sebelah tangannya untuk mengusap pipi laki-laki yang sudah menghabiskan waktu begitu lama bersamanya. Menjadi suaminya, berdiri di sampingnya, berbagi suka dan duka.

“Aku juga mencintaimu Haruto.” Ucap Junkyu, sedikit berjinjit dia menempelkan bibirnya di bibir Haruto. Menyalurkan rasa cinta yang besar, yang tidak cukup lagi diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah Junkyu memberi jarak, mereka terdiam beberapa detik lamanya, saling menyelami netra satu sama lain, lalu tertawa bersama. Junkyu menarik tangan Haruto untuk masuk ke dalam pekarangan rumah mereka. Rumah yang sudah bertahun-tahun mereka singgahi bersama.

Junkyu mulai mengeluarkan kunci rumahnya, membuka pintu, dan perlahan masuk. Sementara Haruto sejenak memandang pekarangan rumahnya yang perlahan mulai dipenuhi salju. Di musim dingin, pekerjaannya tentu akan bertambah banyak dengan membereskan tumpukan salju yang nantinya kian menumpuk. Tapi momen dimana dia akan menghabiskan waktu untuk berbagi kehangatan dengan Junkyu di rumah ini, cukup mengobati lelah yang akan melandanya.

“Sayang masuklah, di luar dingin. Aku akan buatkan coklat panas.” Suara yang melengking lembut dari dalam membuat Haruto mengulum senyumnya.

“Yes, my love.”

End.

#Hujan

___

Apa kau ingat, ketika hujan.. untuk pertama kalinya kita bertemu.

Kau berlari, mencari tempat berteduh. Aku duduk dan kau berdiri. Kau membungkuk sopan padaku, melemparkan senyum manis. Hujan, tapi aku merasa pipiku menghangat melihat senyum itu.

Canggung.

Kita tidak saling mengenal dan terjebak dalam hujan.

“Ah.. sepertinya lama akan berhenti.” Kau berucap, terdengar merajuk dan itu lucu.

“Hm, iya.” Aku menyahut, tak peduli meskipun kau hanya bermonolog.

Dan lagi, kau menoleh ke arahku dengan senyum yang merekah semakin indah menghiasi wajahmu.

“Haruto, watanabe Haruto.”

Aku mengerjapkan mata cepat sebelum mengangguk paham.

“Ah, Junkyu. Kim Junkyu.” Jawabku, mencoba tersenyum ramah. Sedikit menggeser pantatku, lalu menepuk sisi kursi yang masih kosong.

“Sepertinya hujan akan lama berhenti.” Aku hanya mengulang ucapanmu yang lalu, dan kau terkekeh sebelum mengambil tempat di sampingku.

“Hm.. iya.”

...

Apa kau ingat, ketika hujan.. kita semakin dekat.

Kau bekerja tak jauh dari tempatku juga bekerja. Kita berbagi tempat berteduh bersama. Kadang, aku membawa payung. Tapi benar-benar lupa untuk menggunakannya. Aku lebih memilih duduk berteduh dan menunggumu datang.

Hujan benar-benar berlangsung lama, tapi aku tidak ingin ini berakhir. Karena kita akan terpisah setelahnya.

....

Apa kau ingat, ketika hujan.. dalam balutan kaos tipis kau membawaku dalam kehangatan

Kita selalu bertemu dalam hujan, berbagi cerita lucu dan menarik, berbagi kontak dan untuk pertama kalinya kita keluar bersama. Awalnya langit cerah, tapi takdir memang mempertemukan kita dalam hujan.

Aku mengusap kedua telapak tanganku, berteduh di gubuk kecil dengan atap genting yang tersisa sedikit. Tetesan rinai hujan jatuh membasahi helaian rambut. Sapuan angin membawa dingin yang semakin menusuk kulit.

“Dingin?” Tanyamu. Aku menoleh ke samping, tersenyum kemudian menggeleng.

“Tidak.” Jawabku. Tubuhku bahkan hampir menggigil, maaf aku terlalu lemah dengan cuaca.

Kamu melepaskan jaket yang kau kenakan, hanya menyisahkan balutan kaos tipis. Menyampirkannya di pundakku..

“Haru-”

“Ahh panas..” kau mengibaskan jarimu di wajah, menatap hujan yang tak kunjung reda. Aku hanya tersenyum,

“Terimakasih.”

...

Apa kau ingat, ketika kita memaksa menembus hujan.. dan kau sakit setelahnya.

“Ya, Junkyu-ah.. sesekali ayo hujan-hujanan.”

“Tidak mau..” aku menggeleng, menolak. Tapi kau memaksa, menarik tanganku.

“Ayolah..” dan aku berakhir menurut. Kita berjalan dengan tangan saling tertaut. Menginjak genangan air hingga terciprat tinggi, lalu ertawa bersama. Aneh, usia kita sudah sama-sama matang untuk bermain-main seperti anak remaja.

Keesokan harinya kita kembali berteduh, dengan hidungmu yang memerah karena flu.

...

Apa kau ingat, ketika hujan.. aku menangis dalam diam.

Bersamaan dengan hujan yang jatuh membasahi tanah, air mataku jatuh. Teredam bersamanya, aku membiarkan tubuhku basah dan hujan menyamarkannya. Sungguh baik.

Aku memang tidak tahu apapun tentangmu, dan aku bukan siapapun. Kenyataan kalau kau memiliki seseorang dalam hidupmu, dan aku bukan apapun.

“Maaf.” Kata itu terlontar lagi dari mulutmu.

Aku diam, aku tidak mau berpisah, tapi kekecewaan membuatku tidak bisa mengatakan apapun.

Aku masih menangis, dan kau menarik pergelangan tanganku. Kita berjalan dalam diam, dan kau berhenti tepat di pintu depan rumahku.

Aku masih tidak mau menatap ke arahmu.

“Junkyu-ah.”

Tolong, jangan katakan apapun.

“Masuklah, cari kehangatan dan berbahagialah.” Itu adalah kalimat terakhir yang kau ucapkan sebelum kau pergi. Dan aku berakhir terjatuh dan menangis dengan tergugu.

...

Aku duduk di halte, menunggu bus. Tersisa rintik-rintik hujan, dan aku bisa melihat keberadaanmu lewat ujung mataku. Kau selalu datang disaat hujan. Tapi kini, langit mulai cerah tak lagi gelap seperti biasa. Kau berjalan melewatiku.

Asing, kembali seperti dulu.

Aku hanya tersenyum kecut. Tetesan terakhir hujan jatuh, ini bukan berarti akhir. Tapi awal yang baru, dalam langkah masing-masing.

Sebab hujan bukanlah tentang yang jatuh, Tetapi apa yang akan tumbuh” (Barista tanpa nama)

End

Bring Back a Cat and You

“Aku ingin seseorang yang tidak hanya menyukaiku, tapi juga ruby noona dan aengdu noona.”

***

Kim Junkyu, mahasiswa jurusan bahasa dan budaya korea, kebetulan saat itu ada mahasiswa pertukaran pelajar yang katanya sih dari Jepang, Junkyu yang sedikit banyak mengerti bahasa Jepang pun akhirnya diamanahkan oleh dosen untuk memperkenalkan seluk-beluk kampusnya. Dimulai sejak itulah, perkenalannya dengan laki-laki bernama Watanabe Haruto.

“Eh.. watanabe?”

***

“Kyu.. udah liat mahasiswa pertukaran pelajar yang dari Jepang itu?” Ucap Jihoon, teman satu kampusnya. Mereka beda jurusan, jadi wajar kalau Jihoon tidak tahu jika ia bahkan menjadi tour guide si orang asing itu.

“Yang tampangnya sengak, tapi takut kucing itu.”

“Hah.. takut kucing?”

Junkyu hanya mengangguk, kemudian pikirannya jadi mengingat kejadian tadi.

**

“Ohayou gozaimasu, hajimemashite watashi wa Junkyu desu.” Junkyu tersenyum ramah pada laki-laki di hadapannya. Tapi hanya di tanggapi dengan sedikit membungkuk. Sopan sih di awal, tapi tetap saja Junkyu kesal karena tidak dijawab sapaannya.

Sepanjang jalan Junkyu rasanya benar-benar seperti bicara dengan tembok. Tak ada respon apapun. Hingga ia selesai memperkenalkan segala penjuru kampus, orang Jepang itu akhirnya membuka mulutnya.

“Aku ingin makan.” Junkyu menaikan sebelah alisnya. Tunggu.., orang asing ini bicara bahasa korea.

Junkyu kesal setengah mati, iya dia hampir mati. Berjam-jam bicara bahasa Jepang tahu-tahunya orang yang diajak bicara juga mengerti bahasa korea.

“Makan sendiri aja sana, lo kan udah tau kantin dimana.” Junkyu berujar ketus, membalikkan badannya bermaksud pergi, tapi tangannya ditahan.

“Gue kan masih tanggung jawab lo.”

“Gue..” sebelum ia sempat menolak lagi, tangannya ditarik lebih dulu ke arah kantin.

'Tuh.. kan, ga tau diri.'

***

“Gue ga suka kucing..” Junkyu sekali lagi mengangkat sebelah alisnya bingung. Dipangkuannya sekarang memang ada kucing liar. Ya terus masalahnya dimana, posisinya sekarang dengan Haruto bahkan terhalang oleh meja, jauh.

“Terus..?”

“Ya, dibuang kucingnya.” Junkyu hanya memutar bola matanya malas.

“Please.. posisinya dia bahkan jauh dari lo.”

“Tapi gue ga suka.”

Junkyu kesal, jengah dengan makhluk dihadapannya. Tadi sedingin es, sekarang sekeras batu.

Junkyu kemudian menarik sudut bibirnya kecil, lalu menyodorkan kucingnya kedepan wajah Haruto, hingga si korban jatuh terjungkal dari kursi, akibat menghindari serangan si kucing.

Junkyu hanya tertawa puas.

.

.

Besoknya Haruto tidak datang ke kampus.

*

“Hei itu kucingku.”

“Dia kucing liar, kenapa kamu mengakuinya.”

“Setiap hari dia bermain denganku.. makanya dia kucingku, noonaa..” Junkyu kecil kemudian mengerucutkan bibirnya, karena kucing yang diakuinya malah menjauh, mendekati anak laki-laki yang tampaknya seumuran dengannya.

“Lihat, dia lebih menyukaiku..” anak laki-laki dihadapannya mengelus kepala kucing itu dengan sayang.

Junkyu kecil sudah berkaca-kaca. Lalu tak lama tangisnya pecah.

“Itu kucingkuuu huhuhuhu....”

“Hei, jangan menangis, kita bisa bermain bersama.”

Pikiran Junkyu kembali berkelana, mengingat teman kecilnya dulu. Bahkan sampai sekarang, ia masih belum bisa menemukan orang yang sebegitu penyayang pada binatang sepertinya.

*****

Junkyu pulang dari kampus mendapati ibunya tengah sibuk di dapur, melihat banyak makanan di meja, Junkyu mengerutkan keningnya bingung.

“Bun, kok masak banyak banget?” tanyanya bingung. Sambil mengangkat Ruby, kucing peliharaannya ke dalam gendongannya.

“Mau ada tamu.”

“Eh siapa?” Tanya Junkyu.

“Tetangga baru.”

“Oh..” Jawab Junkyu.

“Ruby sama Aengdu dibawa ke kamar dulu Kyu, ga enak sama tamunya.” Junkyu hanya mengerucutkan bibirnya, lalu membawa Ruby ke kamarnya.

'Loh emang kenapa sih, padahal Ruby lucu gini, kenapa harus di umpetin juga.' Batinnya kesal sendiri.

***

Malam harinya, tadinya Junkyu ingin berdiam diri di kamar saja. Tapi disuruh ibunya untuk ikut turun, menjamu tamu.

“Ngapain juga sih bun.” Tanya Junkyu masih mengetuk-ngetuk tangan di meja. Perutnya sudah minta diisi, tapi tamunya tak kunjung datang.

“Itu anak tetangga seumuran sama kamu, kan bisa sekalian temenan.. biar kamu ga cuma main sama kucing doang.”

“Ih.. bunda, ini Junkyu bukan mau di jodoh-jodohin kan..” Junkyu menatap ibunya curiga, meletakan tangan di dagunya.

“Kamu kebanyakan nonton drama.” Ibunya menarik ujung hidung anaknya gemas.

Mendengar suara bel, keduanya beranjak bangun.

Annyeonghaseyo..” sapa suara wanita yang tampaknya seumuran dengan ibunya, tapi wajahnya terlihat muda.

Annyeonghaseyo, udah lamaa banget yaa ga ketemu, ayo masukk..” ucap ibunya berpelukan singkat dengan wanita itu, lalu wanita itu masuk bersama gadis kecil, juga laki-laki dewasa yang sepertinya suaminya.

Junkyu sih hanya tersenyum menyapanya, masih biasa saja, hingga ia melihat laki-laki yang lebih muda masuk. Tampangnya tidak asing.

“LOH !!”

“Kim Junkyu.”

***

“Bun, Haruto kan cuma pertukaran pelajar setahun, kok pindahnya sampe sekeluarga gitu. Pasti anak manja yah, ga bisa hidup sendiri..”

“Kamu jugaa manja kan kyu..” ucap si bunda sambil mencubit sebelah pipi gembilnya.

“Ihh bunda...”

“Rumah di sebelah kan emang rumahnya keluarga watanabe dari dulu, tadi katanya sih mereka emang pindah sekalian mau nerusin bisnis di korea. Paling tahun depan kalo Haruto udah selesai disini, balik ke Jepang lagi sendiri.” Jelas si bunda membuat Junkyu hanya mengangguk, tidak tertarik sih.

“Kamu ga inget Haruto, dulu waktu kecil kalian sering main di taman bareng loh..” Junkyu hanya mengetuk-ngetukan jarinya di dagu, sambil berfikir.

“Ga inget bun, temen main Junkyu dulu di taman kan banyak..” balasnya menyerah untuk mengingat.

“Iya sih.. emang udah lama banget yaa..”

*

“Ayo kita beri nama kucingnyaa..”

“Boleh..”

“Bagaimana kalau kyualaa.”

“Tapi dia kucing, bukan koala.”

“Heh.. tapi itu lucuu..”

“Kalau begitu, bagaimana jika memberi namanya Junkyu.”

“Hei itu namakuu..” Junkyu merengut marah.

“Tidak apa, kan lucu.” Junkyu mau marah, tapi tak dipungkiri ia senang disebut lucu.

“Kalau begitu mau memberi nama siapa?”

“Hakyuu.. bagaimana kalau hakyu..” Junkyu berucap girang, sambil melompat-lompat.

Temannya hanya tersenyum lalu mengangguk.

“Aneh, tapi tidak apa-apa.”

*****

Di hari libur, kegiatan Junkyu ya hanya itu, duduk di sofa sambil menyisir rambut ruby dan aengdu, bermain-main dengan kedua kucingnya. Entah apa yang membuatnya tumbuh dewasa dengan kucing, pedoman hidupnya adalah kucing lebih baik dari teman. Junkyu bukan menutup diri, hanya malas untuk hangout keluar seperti yang dilakukan teman-temannya.

Ting tong~

Ya, suara bel sungguh menggangu kegiatan bersantainya. Ia lantas berdiri sambil mengerucutkan bibir sebal. Semakin menekuk wajah melihat tamu yang datang.

“EH.. Noonaa jangan deket-deket diaa, dia bau...” ucapnya langsung menarik Ruby yang sudah mendusel di kaki sang tamu, yang tak lain tak bukan tentu saja Watanabe Haruto.

“Kucing lo bahkan lebih tau mana yang bau mana yang engga.” Junkyu hanya memutar bola mata malas, Ruby-nya sudah di gendongannya, sekarang Aengdu yang meringsek di kaki Haruto.

“Ih.. lo mau ngapain cepetann.. katanya ga suka kucing buruan pergi sanaa...” ucap Junkyu galak.

“Ini titipan dari nyokap.” Haruto menyelipkan totebag di sela tangan Junkyu, sebelum pergi mengusap kedua kucingnya kemudian berlalu pergi.

Junkyu mengerjapkan matanya berkali-kali, hingga Haruto benar-benar menghilang dari pandangannya.

Yang di usap kucingnya, tapi efeknya sampai ke ulu hatinya.

“Gimana sih, katanya ga suka kucing.. kok jadi soft gitu..”

*

“Hari ini aku bawa snack basah untuk hakyu, semalam aku membelinya bersama ayah.”

“Hari ini aku tidak bawa apa-apa.”

“Hehh.. kenapaa..” Yang ditanya hanya tersenyum masih dengan tangan mengusap kepala kucing dengan sayang.

“Hari ini mama hanya masak sayur, jadi tidak ada yang bisa dibawa.”

Junkyu kecil mendekat dengan wajah sedih.

“Karena aku tahu, Junkyu pasti akan datang membawa makanan.”

“Kalau begitu ini.. kita beri makan sama-sama.”

Junkyu menggeleng, mencoba mengingat. Aneh, ia bahkan tidak ingat siapa nama teman kecil yang dulu selalu bermain kucing bersama dengannya.

*****

“Ruby-noonaaa huhuhu...” Haruto baru pulang dari kampus, masih beberapa langkah hingga sampai ke rumahnya, namun ia melihat seseorang berjongkok memeluk lututnya sambil menangis tergugu.

“Hei..” ucapnya meletakan tangannya di kepala si manis. Junkyu mengangkat kepalanya mendapati Haruto ikut berjongkok didepannya. Tampang sengak-nya tergantikan oleh senyum tampan. Junkyu mengusap bekas air matanya cepat.

“Kenapa?” Tanyanya lagi.

“Ruby..hiks.. hilangg...”

“Kok bisa?”

“Tadi gue marahin, terus dia kabur huhu..” jelasnya kembali menangis.

Setelah itu tanpa berkata apapun Haruto berdiri, kemudian berjalan menjauh.

Junkyu hanya kembali menyembunyikan kepalanya dilutut, memang apa yang dia harapkan dari Haruto. Sungguh ia lelah sudah 2 jam keliling komplek untuk mencari Ruby.

Junkyu bangkit berdiri sambil menyeka sisa-sisa air matanya. Kembali berjalan ke arah taman, lalu matanya membola terkejut melihat kucing kesayangannya ditangan orang yang akhir-akhir ini menjadi deretan orang yang tidak disukainya.

“Noonaa...”

“Kucing lo ga gue apa-apain, hati-hati makanya.. hewan juga punya perasaan.” Haruto lalu menyerahkan Ruby ke tangan Junkyu, yang segera di dekapnya.

“Noona.. mianhae..” Junkyu masih menangis sambil memeluk ruby. Setelahnya Junkyu teringat belum berterimakasih, tapi Haruto sudah menghilang lebih dulu. Junkyu berakhir pulang ke rumahnya. Berterimakasih pada Haruto bisa nanti.

***

Setelah selesai berbaikan dengan kucingnya, ibunya menyuruh membawa makanan ke rumah keluarga watanabe. Pas sekali kan, sekalian ia juga ingin berterimakasih dengan Haruto.

Di depan rumahnya ia sudah bertemu dengan tukang kebun keluarga watanabe, yang menyuruhnya langsung saja masuk ke dalam. Junkyu sebenarnya merasa tidak sopan, meskipun ini bukan kali pertama ia berkunjung. Orang tua mereka berhubungan baik, makanya ia sering datang untuk membawa bingkisan buatan ibunya, begitu juga dengan Haruto.

“Sore, tante..”

“Eh iyaa.. Junkyu, sini masuk aja..” suara ibu Haruto terdengar dari arah dapur, Junkyu langsung bergegas ke dapur.

“Tante.. ini titipan dari bunda.”

“Iya sayang, makasih yaa..” jawab ibu Haruto mengambil bingkisan di tangan Junkyu sambil tersenyum manis.

“Tante, Haruto mana?”

“Di kamar sayang, lagi kambuh.”

“Eh.. kambuh?” Junkyu bertanya bingung, sejauh ini.. ia tidak tahu Haruto punya penyakit berat.

Astagaa, Apa Haruto sakit keras, kalau gitu Junkyu harus buru-buru minta maaf. Kalau-kalau terjadi yang iya-iya.

“Loh, tante ga pernah cerita ya..” Junkyu hanya menggeleng, masih dengan mata membola lucu.

“Haruto itu alergi kucing, sekarang lagi kambuh, bersin-bersin pileknya.” Junkyu semakin membola terkejut, iya.. rasanya matanya sampai ingin keluar. Satu fakta baru ia ketahui soal Haruto, dan semakin membuatnya merasa bersalah karena Haruto baru saja membantunya mencari keberadaan Ruby.

“Tante.. maafin Junkyu, tadi Haruto abis bantu Junkyu cari Ruby..”

***

Haruto tengah bergulung dengan selimut, dengan gadget di tangan. Tak lama suara pintu terketuk membuatnya menoleh ke arah pintu, tapi pintunya tak kunjung terbuka.

“Kenapa mah..?”

Pintu terbuka, tapi yang tampak bukan ibunya, melainkan anak tetangga sebelah.

“Lo mau ngapain?”

Junkyu melangkah masuk, sambil memperhatikan kamar Haruto. Ini kali pertama ia masuk ke kamar Haruto.

“Katanya lo sakit?”

“Lo mau jenguk gue?”

Junkyu langsung saja duduk di kursi yang ada di kamar Haruto.

Haruto hanya menatapnya bingung, aneh. Junkyu aneh, biasanya dia berisik.

“Lo mau ngapain sih, aneh banget.”

“Gue mau bilang makasih tadi udah bantuin cari Ruby.. sama mau minta maaf juga, gue ga tau lo punya alergi sama kucing.”

Haruto hanya terkikik geli melihat wajah Junkyu yang tertekuk karena rasa bersalah yang menyelimutinya.

“Bukan alergi yang parah kok.”

“Sorry..”

“Gue ga nerima permintaan maaf dengan tangan kosong.”

Junkyu yang tadinya merasa bersalah jadi mual lihat muka Haruto.

“Tau ah males banget gue liat muka lo.”

Junkyu beranjak bangun, mau pergi jauh-jauh dari hadapan Haruto, tapi belum juga keluar ibu Haruto membuka pintu lebih dulu.

“Junkyu mau kemana?”

“Mau pulang dulu tante..”

“Makan dulu yuk sayang bareng, tante baru buat kue sekalian cobain.”

“Eh ga usah tante..”

“Ayo, tante maksa.”

***

Sekarang, Junkyu berakhir duduk di meja makan keluarga watanabe. Hanya bertiga sih, Junkyu, Haruto dan ibunya. Adiknya Haruto masih les sementara ayahnya belum pulang kerja. Ini bukan jam makan malam, yang mereka santap juga hanya kue ringan buatan ibu Haruto.

“Gimana sayang kuenya?” Tanya ibu Haruto.

“Enak kok tante..”

“Haruto cepetan obatnya di minum.”

“Iya mah..”

“Makanya kalo main tuh hati-hati, udah tau kulitnya sensitif.” Junkyu sebisa mungkin menahan tawanya. Lucu melihatnya, ibunya Haruto seperti memarahi anak kecil, ditambah Haruto yang cemberut... oh, tidak.. itu tidak lucu sama sekali.

“Salahin aja Junkyu tuh, kucingnya ga pernah di mandiin pasti.”

“Ih sembarangann..” kesalnya.

Ya, mereka selalu begitu. Beradu argumen sudah menjadi rutinitas hari-hari. Ibunya Haruto hanya terkekeh gemas melihat kedua anak muda didepannya.

***

Haruto sudah kembali ke kamarnya, sementara Junkyu membantu ibunya Haruto lebih dulu sebelum pamit pulang.

“Tante, Junkyu beneran minta maaf.. gara-gara Junkyu, Haruto jadi kambuh gitu alerginya.” Ucapnya menyesal.

“Gapapa sayang, itu masih normal kok, ga parah banget.” Ucap Ibu Haruto berusaha mengeyahkan rasa bersalah yang menyelimuti Junkyu.

“Emang kalo parah itu kaya gimana tante?” Tanya Junkyu.

“Biasanya sampe sesak nafas, demam, flu tinggi. Kalo kaya gitu udah harus dibawa ke rumah sakit.” Jelas ibu Haruto membuat Junkyu mengangguk paham.

“Emang Haruto pernah tante sampe parah kaya gitu?” Tanya Junkyu lagi.

“Pernah sih, tapi dulu.. waktu kecil banget. Sejak alerginya parah kaya gitu tante ga pernah izinin dia keluar rumah.”

*

“Hatchi.. hatchii”

Junkyu kecil menoleh, kemudian tangannya merogoh sakunya, memberikan sapu tangan yang selalu dibawanya.

“Kamu baik?”

“Aku baik.” Jawabnya sambil tersenyum.

”..sepertinya aku harus pulang sebelum mama tahu..” Junkyu hanya mengangguk, tapi sebelum mereka beranjak bangun..

“Sayang..” mereka berdua sama-sama menoleh ke asal suara.

”..mamaa..”

“Sedang apa.. kamu lupa ya perkataan mama.” Junkyu hanya bisa menatap temannya yang tampak dimarahi, tapi dia tidak menangis malah tersenyum menatapnya.

“Ayo pulang.”

Wanita dewasa itu menarik temannya pergi. Junkyu masih berjongkok dengan kucing di hadapannya. Sebelum benar-benar menjauh, temannya berbalik.

“Sampai jumpa besok Junkyu-ah.” Junkyu hanya mengangguk lalu tersenyum, kemudian melambaikan tangan.

“Sampai besok.......”

Dan hingga esok, dan esoknya lagi, dia tak pernah datang lagi.

Junkyu menghempaskan tubuhnya di ranjang. Pikirannya berkecamuk soal teman kecil, kucing dan tetangga barunya. Perasaannya tidak asing, atau cuma kebetulan.

“Dia itu siapa?”

*****

Di kampus, sepanjang waktu Haruto terus-terusan mengikuti Junkyu. Junkyu menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuat punggungnya bertabrakan dengan dada bidang Haruto.

“Lo ngapain sih, ngikutin gue.” Kesalnya.

“Iseng, ga ada kerjaan.. gue kan mahasiswa pertukaran pelajar.”

“Ya, cari temen..” ucap Junkyu sinis, lalu kembali melanjutkan langkahnya.

“Lo kan temen gue.” Haruto menyusul, dan seenak jidat merangkul bahu Junkyu. Junkyu tidak suka, mahasiswa asing ini terlalu jadi pusat perhatian orang-orang sehingga berakibat ia jadi perhatian juga.

Junkyu menatapnya tajam, membuat Haruto langsung melepas rangkulannya.

“Oke..oke.. lo mau kemana sih?” Junkyu hanya diam, dan Haruto masih tetap mengikutinya.

Junkyu bertemu dengan seseorang, yang jelas Haruto tidak tahu ia siapa. Haruto asal saja menempatkan diri di samping Junkyu, toh Junkyu juga tidak marah.

“Ini siapa kyu?”

“Mana tuh kak? Ga ada siapa-siapa?” Ucap Junkyu masih berlaga, mengabaikan Haruto disampingnya.

“Perkenalkan Haruto kak, temen Junkyu.” Inisiatif Haruto sendiri, Junkyu hanya memutar bola mata malas.

“Haruto nanti ikutan juga buat jadi volunter animal day care?”

“Wah boleh tuh kak..” jawab Haruto.

Sementara Junkyu hanya melotot panik, kemudian menggelengkan kepalanya. “EH DIA NGGAA IKUT KAK..”

***

“Lo jangan cari masalah deh..” omel Junkyu, begitu Kak Hanbin seniornya sudah pergi meninggalkan mereka berdua.

“Kenapa sih, gue kan cuma mau ikut jadi volunter.”

“Lo punya alergi sama kucing, lo baru sembuh banget kemarin.”

“Ya kan kucing, animal daycare kan banyak hewannya kyu.. ada anjing juga.. gue gapapa.”

“Ga boleh, kulit lo sensitif.”

“Kok lo jadi kaya nyokap gue sekarang.” Junkyu hanya memijat pelipisnya bingung.

Minggu besok agendanya dia menjadi volunter di animal care, semacam yayasan yang mengurus hewan liar yang tersesat. Sekali lagi itu hewan liar. Jelas berbagai macam hewan dan virus-virusnya ada banyak disana. Sekarang Haruto merengek minta diajak, Haruto yang megang Ruby sebentar saja langsung pundung, gimana sama hewan liar disana.

“Katanyaa lo ga suka kucing.”

“Iya, gue ga suka kucing yang bikin gue jadi keliatan lemah. Tapi kali ini ajaa.. kyu please..” Haruto memohon dengan kedua tangan di tangkup ke wajah. Junkyu tidak tahu, kenapa Haruto jadi banyak bicara gini, tampang memelasnya membuatnya tak tega untuk menolak.

“Kalo lo mau, gue bisa nemenin lo ke petshop khusus anjing.”

“Gue janji, gue bakal baik-baik aja..”

*****

Tadinya Haruto menyuruhnya diam-diam saja, tapi Junkyu tetap Junkyu yang melaporkan tentang kegiatan minggunya pada ibu Haruto. Ibu Haruto juga melarang keras, tapi Haruto tetap kekeh pada pendiriannya. Memaksa ikut.

Dan berakhir Junkyu yang direpotkan disini.

“Obat udah lo bawa semua?”

“Ayee sir.”

“Hmm.. air putih, handuk, masker, sarung tangan, topi..” Junkyu masih sibuk mengecek kotak peralatan yang ada di bagasi mobil. Lalu pandangannya teralih pada Haruto yang berdiru disampingnya.

“KOK LO PAKE BAJU PENDEK..”

“Kyu panas.”

“Ganti sekarang atau gue ga mau jalan!”

“Iyaaa..”

***

Sesampainya di yayasan, Junkyu dan Haruto langsung menyapa pemilik yayasan, beserta beberapa volunter lain yang bergabung. Mereka langsung memakai beberapa atribut yayasan seperti apron, dll.

“Trus sekarang kita ngapain?” Tanya Haruto. Masih di ruang ganti, Junkyu merogoh tas kecilnya mengambil sarung tangan dan masker.

“Nih pake..”

“Lo ga pake?”

“Gue engga..”

“Kalo gitu gue ga mau.”

Junkyu berjalan mendekati Haruto, tanpa bicara apa-apa lagi ia memakaikan sarung tangan di tangan Haruto, juga menyampirkan masker di telinganya. Haruto juga diam, tak bicara selama Junkyu terfokus memasangkan masker dan sarung tangan.

“Ayo ke kandang anjing.” Ajak Junkyu berjalan keluar lebih dulu, disusul Haruto yang membuntutinya.

***

Lelah, menjadi volunter di animal care ternyata sangat melelahkan. Haruto dan Junkyu hanya memberi makan dan merawat anjing. Padahal biasanya setiap bergabung Junkyu memilih masuk ke kamar kucing.

Selama di animal care Junkyu sedikit tersihir, iya.. awalnya dia pikir Haruto adalah pria dingin, sengak, tidak tahu diri dan kasar pada binatang. Tapi tatapan tajam pria berahang tegas itu menjadi lembut, bibir yang biasa mengeluarkan perkataan menyebalkan itu menyungging keatas, ketika tangan besarnya mengusap bulu hewan-hewan dengan sayang. Dan Haruto benar-benar seperti anak-anak yang baru pertama kali berinteraksi dengan hewan, sangat senang.

“Minum..” Junkyu menyodorkan sebotol air mineral. Haruto langsung meminumnya, selesai minum Junkyu berdiri di hadapannya, menyeka keringatnya dengan handuk kecil, lalu meletakan telapak tangan di keningnya.

“Jangan salting, gue disuruh nyokap lo buat cek suhu lo.” Ucap Junkyu, membuat Haruto menarik sudut bibirnya kecil.

“Muka lo merah tuh..”

*****

Hubungan Junkyu dan Haruto tidak lebih baik, berceloteh ribut setiap saat. Mereka selalu bertemu, karena mereka tetangga, karena mereka teman sekampus, karena Haruto selalu mengunjungi ruby dan aengdu.

Alergi Haruto pada ruby dan aengdu tidak separah dengan kucing lain, karena Junkyu selalu memandikannya, memberikan vitamin, memberikan sampo anti bakteri pada kedua kucingnya. Hal itu jadi rutin di lakukan Junkyu, sejak ada Haruto.

“Junkyuu bangun..” Junkyu menarik selimutnya menutupi seluruh wajahnya, tapi seseorang menyibak selimutnya hingga cahaya lampu berhasil menusuk kelopak matanya.

“Bangun pemalas.. ayo ke petshop.” Junkyu kembali menyembunyikan kepalanya di bawah bantal.

Tapi badannya terangkat, Junkyu buru-buru mengerjapkan matanya menyadari situasi yang akan terjadi.. tapi terlambat.

Haruto lebih dulu menjatuhkannya ke dalam bathup berisi air dingin.

“HARUTOO!!!”

***

Mereka berdua pergi ke petshop memberi keperluan ruby dan aengdu, sekalian mampir ke pet cafe, menuruti permintaan Haruto.

Setelahnya Junkyu di seret paksa ke Sungai Han. Sudah jam 10, menjelang siang bukankah sebentar lagi sedang terik-teriknya, oh iya.. sangat pas untuk menikmati es krim.

Mereka hanya duduk di kursi-kursi sambil menikmati es krim, serta cemilan lain. Junkyu tidak masalah dibawa kemana saja, selama perutnya tak dibiarkan lapar.

“Gue mau beli minum dulu.” Junkyu hanya mengangguk, Haruto beranjak pergi namun menjatuhkan sesuatu dari saku celananya. Junkyu buru-buru mengambilnya.

Yang terjatuh hanya sapu tangan, yang warnanya sudah hampir seluruhnya pudar.

.

.

Tunggu... kenapa tidak asing

.

.

Haruto kembali dengan 2 kaleng softdrink. Junkyu menerimanya satu, lalu menatap Haruto ragu ingin bertanya.

“Haruto..” Haruto menoleh kesamping, mendapati Junkyu masih menatap lurus kedepan.

“Ini punya lo?” Tanya Junkyu, menyodorkan sapu tangan yang tadi terjatuh.

.

.

“Bukan.. itu punya lo.”

.

.

Setelahnya mereka berdua hanya sama-sama diam.

“Ayo pulang, bentar lagi waktu makan siang Ruby sama aengdu.” Ajak Haruto, Junkyu hanya menurut beranjak dari duduknya.

Mereka berjalan ke arah mobil Haruto, Haruto berjalan lebih dulu kearah kursi kemudi. Junkyu baru mau membuka pintu mobil tapi atensinya teralih pada anak kucing yang sedang bergelayut di ranting pohon.

“HARUTO!!” Junkyu buru-buru memanggil Haruto yang posisinya lebih dekat ke pohon.

Haruto mengikuti arah pandang Junkyu, langsung bergegas menangkap anak kucing yang hampir saja terjatuh ke tanah. Untung saja tepat waktu. Anak kucing itu sudah dipelukan Haruto.

“Hatchi.. hatchi..” Junkyu melototkan matanya buru-buru menghampiri Haruto, mengambil alih kucing di gendongannya, lalu meletakannya di tanah.

“Hatchi.. hatchi..”

“Haruto..” Junkyu merogoh ranselnya, mengambil antiseptik, lalu menyemprotkannya di sekitar tangan Haruto yang perlahan mulai menjadi kemerahan.

“Ayo pulang, gue yang nyetir.”

***

Sesampainya di rumah, Haruto langsung merebahkan dirinya di kasur. Kepalanya langsung pening, ditambah hidung dan tangan yang terasa mulai gatal. Junkyu langsung menelfon ibu Haruto karena keluarga mereka sedang pergi ke luar Seoul.

Junkyu mengikuti arahan ibu Haruto. Ia langsung menarik kaos Haruto, mengelap tubuhnya dengan lap basah.. menggantikannya dengan baju hangat. Haruto hanya diam, ia mendadak lemas, suhu tubuhnya juga jadi lebih panas.

Junkyu meletakan jarinya di depan hidung Haruto, merasakan nafasnya yang putus-putus, lalu mendekatkan telinganya di dada Haruto, merasakan detak jantungnya berpacu cepat. Dia harus segera menelpon dokter.

***

Haruto berakhir di rawat inap di rumah sakit. Alerginya kambuh sangat parah untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Junkyu menemaninya di rumah sakit, karena orangtuanya masih sedang dalam perjalanan pulang.

Junkyu tengah sibuk membalas pesan di ponselnya, lalu punggung tangannya di sentuh lembut, membuatnya menoleh.

“Kenapa? Lo butuh apa? Ada yang sakit?” Haruto hanya menggeleng lemah, meraih tangan Junkyu, untuk diletakan di atas perutnya.

Junkyu masih menatapnya, yang perlahan-lahan mulai terlelap dalam tidurnya. Begitu Haruto terlelap, Junkyu kembali membuka ponselnya, masih membiarkan sebelah tangannya di genggam lembut.

*****

“Ruby-noona.. aengdu-noona, aku pergi menjenguk si jelek dulu ya..”

Junkyu mengecup kepala kedua kucingnya. Setelah memberikan makan kedua kucingnya, Junkyu bersiap berangkat ke rumah sakit. Sudah hampir seminggu Haruto di rawat, parah ya kelihatannya. Padahal cuma masalah alergi saja.

Kenapa Junkyu repot-repot menjenguk? Tidak tahu, mungkin ia merasa bertanggung jawab, atau mungkin ia sudah membuka diri untuk berteman dengan Haruto. Mungkin..

Sesampainya di rumah sakit, Haruto sedang duduk bersandar dengan tangan memainkan gadget.

Oh, dia sudah sembuh rupanya.

“Hei..” panggil Junkyu.

“Oh.. hai..” sapa balik Haruto, menoleh sekilas lalu kembali fokus ke gadgetnya.

“Tante mana?” Tanyanya mendapati kamar rawat Haruto sepi, hanya ada dirinya.

“Lagi ngurus adminstrasi...”

“Oh lo udah mau pulang?” Tanyanya lagi, mengambil tempat duduk di sebelah Haruto, yang masih fokus bermain game.

“Iya, lo kangen kan sama gue..”

Junkyu melongok ke ponsel Haruto, lalu dengan sengaja menekan ikom home.

“Kim Junkyuuu!!!” Sudahnya Junkyu hanya terkikik geli.

“Gue lebih suka lo sakit, adem liat lo anteng gitu.” Junkyu tersenyum mengejek.

“Gue juga sama, lo lebih perhatian soalnya.” Haruto balas tersenyum manis, yang malah berakibat fatal untuk Junkyu. Senyum mengejeknya beralih menjadi wajah cemberut, tak di pungkiri Junkyu mati-matian berusaha menahan malunya.

Tak lama pintu terbuka, dan Junkyu sangat berterimakasih kepada ibu Haruto yang masuk.

“Eh.. ada Junkyu, ayo nak siap-siap pulang..”

***

Mereka sudah sampai di rumah, selesai membantu membereskan barang bawaan dari rumah sakit tadinya Junkyu ingin langsung pulang, tapi tangannya di tahan oleh Haruto.

“Mau ikut dong, kangen ruby sama aengdu.” Ucap Haruto memelas.

“Eh jangan sekarangg..”

“Kenapa?”

“Gue belum sempet mandiin ruby sama aengdu lagi.” Junkyu menggaruk pelipisnya pelan.

“Nanti ya, lo istirahat dulu. Gue juga bersihin ruby sama aengdu dulu..” jelas Junkyu lagi.

Haruto hanya mengangguk kemudian tersenyum.

“Oke.”

*****

Ngomong-ngomong sudah lewat beberapa hari sejak Haruto pulang dari rumah sakit, dan juga sudah beberapa minggu berlalu Junkyu tahu fakta kalau Haruto adalah teman kecilnya dulu.

Junkyu hanya berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Dia tidak sempat bertanya lagi soal ini kepada Haruto, tapi memangnya apa yang harus ditanyakan. Itu hanya kenangan masa kecil juga, masa lalu yang mungkin untuk sebagian orang tidak penting, tapi tidak untuk Junkyu.

Masih dengan pikiran berkelana, pintu kamarnya terbuka. Junkyu menoleh mendapati Haruto masuk dengan jaket dan celana denim rapih, tidak seperti pakaian santai biasa.

“Keluar yuk..”

“Males ah..” jawab Junkyu membalikkan badannya memunggungi Haruto.

“Ayo, gue tau tempat bagus.” Bujuk Haruto.

“Paling lo doang yang baru pertama kali kesana, gue sih pasti udah tau.”

“Kyu please.. ayo, nanti gue traktir.”

Junkyu sebenarnya malas, dia juga bukan luluh karena traktiran. Hanya saja, ia benar-benar tidak bisa menolak permintaan Haruto. Junkyu menghela nafas beratnya sebelum beranjak bangun.

“Gue mandi dulu.”

“Oke sayang.”

***

Junkyu mengikuti langkah Haruto yang menuntunnya berjalan menuju pohon besar di area taman, tempat mereka dulu bermain sewaktu kecil. Junkyu menatap sekeliling, jujur meskipun tinggal di Korea ia sudah lama tidak bermain ke taman ini.

“Masih inget nama kucingnya?” Tanya Haruto, Junkyu hanya mengangguk.

“Hakyu kan..”

“Lo tau itu maksudnya apa?” Lanjut Junkyu bertanya kepada Haruto. Haruto hanya tertawa, kemudian mengangguk.

“Haruto Junkyu kan..” Junkyu hanya mengangguk, sambil menggaruk pelipisnya malu. Namanya lucu, wajar.. itu buatan anak-anak.

“Lo mau ngambil time capsule?” Tanya Junkyu, melihat Haruto berjongkok dengan tangan meraba tanah.

“Gue kira lo lupa, kaya lo lupain gue.”

“Gue ga lupa.” Elak Junkyu, Haruto hanya tersenyum tipis masih sambil menunduk, lalu perlahan menggali tanah yang sedari tadi rabanya.

Junkyu ikut berjongkok, membantu Haruto menggali dengan kayu yang di temukannya.

“Lo kenapa sih tiba-tiba pengen liat time capsule dulu.” Tanya Junkyu, kalau dipikir-pikir itu kan cuma permainan anak-anak dulu.

“Lo masih inget pernah nulis apa?” Tanya Haruto masih sambil menggali tanah.

Junkyu meneguk ludahnya kasar, dia hanya menggeleng meskipun pada kenyataannya ia samar-samar mengingat apa yang ia tulis dulu.

“Gue pengen tau aja, apa impian gue waktu kecil udah terwujud atau belum. Kalo belum gue mau wujudin.” Ucap Haruto.

Mereka berhenti begitu mendapati kotak berukuran sedang. Haruto mengeluarkannya dari dalam tanah, lalu menatap Junkyu.

“Buka sekarang?” Junkyu hanya mengangguk ragu.

Mereka berdua membukanya, ada 2 kapsul besar berwarna biru dan oranye, Haruto mengambil yang berwarna biru sementara Junkyu mengambil yang oranye.

“Junkyu ingin jadi pacar Ha..” Junkyu buru-buru merebut kertas di tangan Haruto, kapsul mereka tertukar membuat Junkyu jadi malu setengah mati.

“Haruto kann pastii..” Junkyu menggeleng keras, sambil melihat kertasnya.

“HARRY POTTER, BUKAN HARUTO!!” Teriaknya. Wajahnya sudah memerah malu. Haruto hanya terkikik geli, lalu membuka kapsul miliknya.

“Mau tau isi punya gue?”

“Apa?” Junkyu mengerutkan keningnya, menantikan jawaban Haruto.

“Haruto mau bisa main kucing bersama Junkyu lagi kalau sudah besar.” Ucap Haruto. Mereka hanya saling tatap, kemudian terkekeh bersama menertawakan impian kecil Haruto, lalu diam dalam waktu yang lama.

“Huh.. impian anak kecil emang sesimpel itu ya..” Haruto merebahkan tubuhnya diatas rumput, sambil memandang langit sore. Junkyu duduk sambil memeluk kedua lututnya.

“Iya simpel..”

“Lo ga berubah kyu..” Junkyu menautkan alisnya bingung.

“Maksudnya?”

“Impian lo dari dulu sampe sekarang sama ga berubah.”

“Hahh!!” Junkyu semakin dibuat bingung, tidak mengerti arah pembicaraan Haruto.

“Tadi gue buka diary SMA lo, isinya aku ingin seseorang yang penyayang sama binatang. Sekarang atau dulu, impian lo cuma muter soal cowo doang.” Wajah Junkyu semakin memerah kesal dan malu, mengetahui Haruto dengan seenak jidat membaca diarynya.

“HARUTO!!”

***

Begitu pulang Haruto langsung duduk di pinggir kasurnya. Merogoh saku jaketnya, sambil tersenyum menatap kertas yang sekarang di genggamnya. Tanpa membukanya juga ia sudah tahu isinya.

“Lo ga mau ngasih tahu gue impian lo dulu?” Tanya Haruto.

“Impian anak kecil ga penting, lagian kan lo udah tahu.” Jawab Junkyu sambil menunduk, menatap kertasnya.

“Siapa tau gue bisa bantu wujudin.”

Sebelum masuk ke dalam rumahnya, Junkyu meraih tangan Haruto.

“Baca waktu lo udah sampe rumah.” Junkyu menyelipkan gulungan kertasnya ke dalam genggaman tangan Haruto lalu berlari masuk.

.

.

.

'Aku ingin jadi pacar Haruto'

*****

Sekarang keluarga mereka sedang makan malam bersama di rumah Junkyu, makan malam terakhir sebelum Haruto kembali ke Jepang.

Iya, tak disangka waktu berjalan cepat juga. Perasaan mereka baru mulai ribut-ribut kemarin, ternyata sudah hampir setahun juga Haruto pindah.

“Sekarang Junkyu jadi lebih sering mandiin Ruby sama Aengdu sejak ada Haruto.” Ucap sang bunda di tengah makannya.

“Ohyaa.. Haruto juga udah ga alergi parah lagi kalo main kucing sama Junkyu.” Balas ibu Haruto.

“Lucu ya, padahal hobinya berantem gara-gara kucing, tapi juga akur karena kucing..”

“Iya..”

Yang jadi bahan obrolan kedua ibunya hanya mendengarkan, menikmati makanan dalam diam.

***

Setelah acara makan malam selesai, Junkyu dan Haruto pergi ke taman belakang di rumah Junkyu. Sementara orangtua mereka lanjut mengobrol di dalam.

Duduk di kursi kayu panjang, dengan ruby dipangkuan Haruto sementara aengdu dipangkuan Junkyu.

“Ruby-noona akhir-akhir ini jadi lebih sering nempel sama lo.”

“Oh ya..” ucap Haruto sambil mengusap lembut bulu ruby. Junkyu hanya membalas dengan gumaman sementara tangan sibuk memainkan telinga aengdu.

“Iya lah, abis gue ganteng sih..” Junkyu hanya melirik sinis Haruto.

“Ehhh noona jangann...” Junkyu segera menarik ruby menjauh begitu dia megendus, hingga menjilat pipi Haruto. Kok jadi kaya anjing.

“Gapapa..”

“Ga boleh.”

“Ga usah cemburu gitu..”

“Hah.. apasii..”

“Hatchii..”

“Tuh kan..”

Junkyu dengan segera membawa kedua kucingnya masuk. Tak lama ia kembali membawa kain dan air hangat. Kembali duduk di samping Haruto lalu mengusap seluruh wajah Haruto dengan kain basah, khususnya di tempat bekas jilatan ruby. Haruto hanya memandangnya yang dengan telaten mengusap wajah hingga tangannya. Mengibas pakaiannya takut-takut kalau ada bulu ruby yang tertinggal.

Junkyu kemudian meletakan tangannya di kening Haruto.

“Gue gapapa..” balasnya sambil tersenyum. Junkyu mendadak malu sendiri menyadari posisinya yang sangat dekat dengan Haruto. Ia kembali duduk, memberi jarak dengan Haruto.

“Gue mau balik ke Jepang loh..”

“Ya.. terus?” Junkyu menjawab acuh sambil memperhatikan kuku jarinya.

“Jangan jorok, ruby sama aengdu dimandiin setiap hari. Jangan galak juga, kalo kucing lo kabur lagi ga ada gue yang bantu nyariin.. cari temen juga.. pilih temen yang baik, jangan cuma main sama kucing aja..“Junkyu mendongakan wajahnya begitu Haruto berdiri di hadapannya.

“Lo udah mau pulang?” Tanyanya.

“Iya.. penerbangan gue besok pagi banget..” jawabnya kemudian tersenyum. Junkyu ikut berdiri, kemudian menunduk melihat kakinya, dia tidak tahu harus bilang apa ke Haruto.

Mulai besok tak ada yang akan maksa dia bangun pagi lagi, dia juga tidak harus memandikan ruby dan aengdu setiap hari lagi. Kehidupannya akan kembali normal, tapi perasaanya tiba-tiba kosong.

Masih berkecamuk dengan pikirannya, Haruto tiba-tiba menariknya kedalam dekapan hangat.

“Udah ketemu sama yang suka kucing?” Junkyu hanya mengangguk dalam dekapan Haruto.

”..tapi dia mau pergi lagi..” Haruto menyunggingkan senyum tipisnya, tangannya mengusap rambut Junkyu sayang.

“Cuma setahun kyu..”

Haruto kemudian menangkupkan wajah Junkyu, memaksa si manis untuk menatapnya.

“Inget pesen gue yang tadi.”

“Yang mana, pesen lo buat ruby sama aengdu semua.”

“Dengerin.. sekarang buat lo.” Tangan Haruto masih setia menangkup pipi Junkyu, sambil mengusapnya lembut. Junkyu masih menunggu apa yang akan di ucapkan Haruto.

“Jaga mata, jaga hati lo buat gue..”

“Maksud lo apa?” Tanya Junkyu menautkan alisnya bingung, bingung sama desiran aneh yang tiba-tiba menjalar di dadanya.

“1 tahun lagi.. kita ketemu, kita wujudin mimpi lo.”

Junkyu mulai berkaca-kaca, lalu menyodorkan kelingkingnya “lo harus janji bakal wujudin mimpi gue.”

Haruto tersenyum kemudian mengangguk, menautkan kelingkingnya.

“Yes, i promise.”

End