tapi bohong.

mingyu memandangi isi percakapan di ponselnya. fortuner putih itu tiba tepat setelah wonwoo mengirim pesan pertama yang mengabarkan dia ada urusan. tidak perlu menjemputnya. hanya selisih beberapa detik.

parkiran kultur sepi. cuma ada satu dua kendaraan. begitu juga isi kafenya. beberapa pengunjung duduk di dekat pintu dan tampak asyik menikmati hidangan mereka.

alih-alih putar balik, mingyu mematikan mesin dan menurunkan jendela. seorang pemuda sedang mengelap meja dan merapikan kursi di teras. bajunya identik dengan seragam yang sering wonwoo pakai.

cowok itu memandang mingyu. mingyu juga memandang cowok itu. mingyu dan cowok itu pandang-pandangan.

“apa lu liat-liat,” celetuk mingyu.

yang ditegur langsung kaku dan balik badan. nabrak kursi saking buru-burunya. nahan ketawa, mingyu turun dari mobil dan menduduki kursi tersebut. entah apa yang mendorongnya melakukan itu.

“sorry bang gue beresin dulu...”

duduk santai dan melipat tangan di dada, mingyu cuma mengangguk dan mengawasi mejanya dilap oleh cowok itu, yang makin salah tingkah. mingyu tahu otaknya lagi berpikir keras.

“lo....lo pacarnya kak won yang nonjok orang tempo hari itu ya, bang?”

mingyu tersenyum.

“yoi.”

kayak lampu yang dinyalain, wajah pemuda itu langsung cerah. terpesona. tanpa diundang, dia duduk di seberang mingyu dan ngelupain pekerjaannya sama sekali.

“pantesan kayak pernah liat!”

“tapi gue bukan pacarnya dia.”

heboh sendiri. cowok itu ber-oh ria dan manggut-manggut. mingyu baru memperhatikan parasnya yang nggak biasa. rahang tegas ditambah mata sayu dan alisnya yang tebal nggak ada otak. apa sih istilahnya?

“tapi serius bang gue mau bilang makasih karena lo udah ngasih pelajaran tuh orang,” buka si bule.

ah, iya bule.

“kok bisa?” mingyu keheranan.

“jadi sebenernya dia tuh udah sering bikin onar disini. kita aja yang sungkan ngusir karena nggak ada bukti. kak won juga kelewat sabar menurut gue, seungkwan bilang—”

“seungkwan?” selidik mingyu.

“anotherwaiter,” jawabnya cepat, mukanya mendadak merah. mingyu mencibir.

hm, dasar bocah.

“—intinya lo tuh keren, bang! gara-gara lo, cowok sialan itu juga udah nggak pernah nongol lagi disini, takut sama lo kali.”

“sama-sama,” balas mingyu sambil gegayaan merapikan kerah kemeja. diam-diam berbangga diri.

cowok itu masih mengamati mingyu kayak objek paling menarik di muka bumi.

“gue kira lo cowoknya kak won,” celetuknya lagi, menyipit memandangi mingyu dari sudut mata. “lo yang sering jemput dia kan? gue sampe apal mobil lo.”

gue juga maunya gitu, batin mingyu. tapi dia nggak yakin rekan kerja wonwoo ini siap mendengar sejarah dibaliknya. jadi mau nggak mau keduanya harus puas dengan jawaban yang keluar dari bibirnya berikut.

“bukan. maksud gue—belum,” koreksinya setelah beberapa saat.

ternyata si bule cukup cerdas karena dia nggak nanya-nanya lagi. tapi jelas di kepalanya masih banyak tanda tanya.

“cowoknya kak won banyak ya,” dikatakan ringan dan sambil lalu kayak orang mengomentari cuaca. nggak tahu aja pengaruh ujaran random itu buat mingyu. “kak won sering dijemput cowok lain. in fact, dia dijemput cowok itu barusan, gue kira elo.”

binatang dalam diri mingyu menggeram. ekornya naik. waspada. siapa?

“siapa?”

“mana gue tau,” jawabnya, mengedik bahu. “gue no kepo-kepo, tapi karena lo penasaran, orangnya tinggi—”

“gue juga tinggi,” sela mingyu, nggak terima.

“—lebih tinggi dari lo. bawa camry item. no offense ya bukannya lo jorok, tapi orang ini keliatan rapi, berpendidikan...dewasa.”

mingyu sudah terbiasa jadi pilihan pertama dalam hidup seorang jeon wonwoo. siaga dua-empat-tujuh antar jemput (ambulans pun kalah). hafal semua tempat makanan favorit. tahu playlist apa yang harus diputar di hari yang buruk. and especially, on his speed dial when wonwoo feels...needy.

dia sudah sangat terbiasa jadi juara satu hingga lupa bahwa kadang jadi juara pun nggak berarti dirinya layak mendapatkan titel itu. setan pun minder melihat daftar dosanya. banyak di luar sana yang lebih pantas daripada dirinya. mingyu yakin wonwoo juga sepemikiran.

“soool, lo dimana? nyebat lagi yaaa?”

when too much information feels like no information at all. nggak ada gunanya menebak-nebak. semuanya terlalu abu-abu.

“loh, udah cabut, bang? nggak mau pesen dulu?”

mingyu bangkit dari kursinya. rekan kerja wonwoo yang lupa dia tanya namanya mengekor di belakang. mingyu meraih satu pak marlboro reds di laci dasbor dan melemparnya. tersegel dan masih baru.

“buat lo aja, gue udah nggak nyebat.”

mata si bule berbinar kayak ketiban durian runtuh. atau dalam konteks ini, kretek runtuh!

“makasih, bang! sering-sering mampir!”

oh. he will, he will.

mingyu melambai sebelum menggeser jendela mobil dan melaju meninggalkan parkiran kultur. kepalanya sibuk berpikir.