urukyu

wonwoo ingin mengutuk diri sendiri. lagi-lagi otak dan tubuhnya seperti punya pikiran masing-masing. kepalanya mengatakan untuk menyerah tapi kakinya justru membawanya ke sini. wonwoo menatap bangunan di depannya. wonwoo beberapa kali lewat tapi gedung FEB nggak pernah terlihat seseram ini.

tapi apa yang wonwoo harapkan dari kedatangannya ke tempat ini? apa yang akan dia lakukan apabila orang yang dicarinya mendadak muncul dari sudut sana dan menyapanya? apakah wonwoo masih bisa memasang wajah ceria dan menyapa balik dengan sama antusiasnya seperti biasa? apakah wonwoo masih bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja?

coba kita evaluasi rencana wonwoo. mungkin isinya kira-kira begini; hai mingyu! jadi selain motret gue, ternyata lo tuh hobi motret cewek lain juga ya? nggak pakai baju lagi. sangar!

wonwoo ingin facepalm mendengar rencananya sendiri.

“siang, kak wonwoo.”

suara itu menghentikan wonwoo dari usahanya menjedotkan kepala ke dinding terdekat. dia mengangkat wajah dan mendapati sosok itu memandangnya lucu.

“jaehyun. hai.”

yang disapa hanya membenarkan posisi tas ransel di bahunya dan tersenyum, menunjukkan lesung pipinya. senyum itu mungkin terlihat manis di mata orang lain, tapi entah kenapa semua itu justru membuat wonwoo...risih.

“chat gue nggak pernah dibales nih, sombong ya,” sindir jaehyun, entah apa maksudnya. “kok di sini? tumben. jarang-jarang ada anak FK nyasar sejauh ini. nyari siapa?”

jaehyun benar, apa sih yang dia lakukan di sini? tapi jaehyun nggak bisa mendengar konflik batinnya dan melanjutkan.

“kalo nyari mingyu, anaknya lagi sembunyi,” tambah jaehyun. kepalanya mengedik ke toilet pria di seberang mereka berdiri. kalimat itu sukses menyita perhatian wonwoo.

“sembunyi? kenapa?”

senyum itu lagi. tapi kali ini lebih mirip seringai. dia menarik pundak wonwoo ke sisinya dan meletakkan satu tangan disana tanpa izin—jaehyun lebih pendek darinya selisih beberapa senti—seakan belum cukup, wajahnya tiba-tiba mendekat lalu berbisik di telinga wonwoo yang membuatnya refleks menjauh. jaehyun mengencangkan pegangan di pundaknya.

“don't be too obvious tapi coba liat cewek yang duduk disana, rambut pendek.”

wonwoo menuruti jaehyun dan melirik ke tempat yang dimaksud. benar saja. ada seorang gadis cantik berambut sebahu yang duduk bersama seorang teman. gadis itu terlihat lebih berisi dari yang lain. mereka terlihat gelisah.

“kenapa emang?” tanya wonwoo menyudahi observasinya. dia punya firasat apa yang keluar dari mulut jaehyun selanjutnya nggak akan bagus. baginya, paling tidak.

“namanya sarah. mingyu sama dia punya sejarah—one night stand,” jelas jaehyun nggak sabar pada wonwoo yang bingung. “doi baper, mingyu nggak. sekarang dia ngejar-ngejar mingyu. kasihan, kabar terakhir gue denger dia hamil.”

dan benar saja. jantung wonwoo serasa anjlok ke dasar perutnya. jaehyun akhirnya melepas pundak itu sementara wonwoo hanya bisa mematung. beginikah rasanya jadi manusia paling goblok sedunia?

“jadi? lo belum cerita tujuan lo ke sini,” jaehyun membersihkan debu imajiner di bajunya. “ada yang mau gue sampein ke mingyu? mungkin?”

wonwoo menatap jaehyun yang mengangkat alis. kakinya lemas, tapi dia nggak punya apa pun untuk dijadikan pegangan selain tali strap yang menyilang di dadanya.

“nggak. nanti gue bilang sendiri. thanks jae, gue harus balik.”

jaehyun menatap punggung wonwoo sampai dia hilang di belokan. di sebelahnya, mingyu akhirnya muncul sambil mengibas-ngibas telapak tangannya yang basah.

“lama banget sih lo? diare apa gimana?”

“sorry, nyet. eh barusan kayaknya gue denger suara kak wonwoo deh. dia ngapain ke sini? nyari gue ya?” cecar mingyu, ada harap di kalimatnya.

“nggak ada tuh. ngawur lo. bucin boleh, halu jangan,” jaehyun berbohong. dia berjalan duluan meninggalkan mingyu. ada senyum samar di wajah tampannya. mereka melewati dua gadis yang duduk di kursi lorong. keduanya bahkan tidak mengangkat kepala dan lanjut mengobrol ketika kedua pemuda itu menyapa.

//remember when we first kissed?

“jujur ya, hasil foto lo tuh nggak ada yang jelek. bagus semua asli.”

puji wonwoo dari samping mingyu. perhatian penuh tertuju pada kamera si pemilik. jarinya bergulir kanan kiri demi mengagumi kumpulan hasil tangkapan mingyu.

mayoritas foto lanskap; langit, gunung, pantai. semua dalam citra gelap dan hitam putih. ada juga beberapa objek acak; pensil, daun, bumper mobil kuno, bahkan sepatu. dan yang membuat wonwoo tersenyum, seekor anak anjing.

kemudian seolah dibawa ke dunia yang sama sekali berbeda. cerah, berwarna, dan segalanya yang lembut dan manis. ada wonwoo dalam berbagai ekspresi; wonwoo tersenyum, wonwoo tertawa, wonwoo berlari, wonwoo melamun, wonwoo tidur, wonwoo makan, lalu wonwoo yang marah karena mingyu iseng mengabadikannya. bila foto anak anjing tadi mampu membuatnya tersenyum, maka yang ini sukses membuat pipi wonwoo menyemu merah.

dan mingyu mengagumi betapa cantiknya warna itu di kulit wonwoo. mingyu akan mengabadikannya saat itu juga andaikan dia memegang kamera. maka dia melahap pemandangan indah itu dengan rakus. memindai profil wajah wonwoo dari samping; dari bulu matanya yang tipis pendek ke hidung lancipnya. tulang pipinya yang tinggi. lalu jatuh ke bibir yang sedang tersenyum itu. kedua sudutnya naik. lucu, seperti kucing.

andai wonwoo menoleh sedetik saja dan tidak terlalu fokus pada si kamera, maka dia bisa menyaksikan bagaimana cara mingyu menatapnya pada saat itu; mereka lapar, intens. nyaris memuja.

“i love your skill, mingyu. kayak profesional loh. you got taste. kalo istilah jaman sekarang, estetik,” tambah wonwoo lagi. kali ini nadanya menggoda. semua itu dan pujian dari pujaan membuat mingyu ingin terbang.

what about me? do you love me too? hati mingyu serasa ingin menjerit.

di luar, hujan gerimis masih memukuli mobil dimana mereka tadi berlarian untuk berteduh. rintiknya berlomba-lomba menciptakan jejak halus pada kaca di sebelah kiri wonwoo. langit mendung di atas kepala dan jalan kosong beraspal membentang di hadapan dan punggung mereka. kanan kirinya padang rumput, semak perdu, serta pohon yang terisolasi satu dengan lain yang daunnya rontok terancam gundul. mereka tampak kesepian. perbukitan tak bernama melatari semua itu serupa benteng kokoh. wonwoo masih penasaran bagaimana mingyu tahu tempat ini.

“makasih, kak. my skill's just fine. amatir. good, but not the best,” jawab mingyu, kakinya baru saja mendarat lagi ke bumi.

“kenapa harus jadi yang terbaik kalo lo udah jadi the best version of yourself?” celetuk wonwoo, tangannya merogoh saku celananya. “eh, kemarin gue nemu info kompetisi fotografi deh. bentar gue cari linknya—”

“eh, nggak usah, kak. ini cuma hobi kok. lagian pasti banyak yang lebih bagus dari gue.”

“hmm kalo mikirnya gitu, kapan dong mulainya?” wonwoo menggumam, jarinya menari gesit di atas layar ponselnya. tak diragukan lagi mencari link yang dimaksud. “orang lain boleh bagus, tapi alih-alih sebagai pembanding, kenapa nggak jadikan itu sebagai motivasi lo? tapi pernah nggak sih lo liat karya orang lain dan mikir, ah bagus banget gue nggak bakal bisa...ujung-ujungnya jadi self-loathing. ya udah, nggak usah diliat. kesannya emang ignorant dan bisa membatasi kreativitas karena nggak boong, kadang karya orang lain itu bisa jadi sumber inspirasi— tapi kalo itu bikin lo berdamai dengan diri sendiri ya sah-sah aja menurut gue. mental health lo lebih penting.”

mingyu melahap semua itu dengan senyum di wajah. sungguh, dia suka segala sesuatu tentang wonwoo. dia tahu maksud pemuda itu baik. namun, sudah diijinkan merekam kehidupan wonwoo bukan hanya dalam bentuk ingatan saja itu sudah lebih dari cukup bagi mingyu dan nggak ada kebahagiaan apa pun yang setara dengan semua itu.

“tarik nafas dulu, kak,” goda mingyu. “semangat banget kayaknya. diangkat dari kisah nyata ya?”

“hahaha sial, kok lo tau sih?” wonwoo tertawa dan meninju bisep mingyu. mingyu ganti menangkap tangan wonwoo dan menggenggamnya aman. ibu jarinya membelai punggung tangan pemuda itu. wonwoo membiarkannya dan senyum mingyu semakin lebar hingga pipinya sakit. orang akan mengira ada bintang di mata wonwoo apabila melihat cara mingyu menatapnya sekarang.

“lo bener dan itu sempet bikin gue down. tapi kapan majunya kalo gue gitu terus? akhirnya gue gas aja. bagus jelek kalah menang urusan nanti. dengan lo berani memulai dan ngambil langkah pertama itu aja lo udah jadi pemenang dengan ngalahin musuh terbesar, yaitu hal negatif yang ada dalam diri lo sendiri.”

“first step or baby step is still a step. gitu kan, kak?” mingyu menimpali yang dibalas anggukan.

“mereka bisa ini itu, fine. itu mereka. tapi coba deh dikasih task beda-beda, belum tentu mereka bisa eksekusi sebagus versi yang lo buat. semua punya ciri khas sendiri.”

“yes, we're all stars and we do shine our own way,” ujar mingyu, jelas berbicara tentang bintang yang lain.

“udah paham kan? nih link-nya udah ketemu, gue share ke lo ya—”

untuk menyebutnya ciuman adalah terlalu membesarkan. bibir mingyu di bibirnya tak lebih dari kecupan. mereka polos dan tak buru-buru. malu-malu bak kekasih kemarin sore. mengetuk dan menyapa pelan seolah berkata; i'm here, notice me.

wonwoo mengakui bahwa segalanya terlalu cepat. kecupan mingyu di bibir wonwoo harusnya terasa asing, namun apabila demikian, lalu mengapa rasanya justru seperti bertemu kekasih lama? mengapa bibir mingyu terasa begitu pas dan benar di bibirnya? apabila demikian, mengapa jantungnya jadi seberisik ini...

“mingyu, stop—”

mingyu merasakan bahunya didorong menjauh sementara pemuda yang diciumnya itu membungkuk. yang terlihat olehnya saat itu hanya tengkuk wonwoo dan rambut tebal yang menutupi matanya. mingyu berusaha tertawa yang justru terdengar canggung.

“sorry, kak. too soon ya?”

idiot, did he scared him?

“bukan—” jawab wonwoo. kedua tangannya meremas kain di bahu mingyu, masih menunduk. mingyu baru menyadari telinga pemuda di hadapannya itu merah sekali.

“jantung gue mau meledak.”

//sick, sick, i think i'm sick

pemandangan wonwoo di apartemennya adalah sosok terakhir yang mingyu duga akan ia dapati setelah keluar dari kamar. ini adalah pertama kalinya wonwoo mendatangi tempatnya setelah pemuda itu resmi mengakhiri kontrak eksklusif mereka. sudah sangat lama hingga melihat sosok yang dirindukan itu kembali hadir di kediamannya terasa seperti mimpi. tapi semua itu nyata dan jeon wonwoo ada di depan mata. mingyu hanya nggak memahami apa yang sedang pemuda itu lakukan.

“lo kapan datengnya, kak?” sapa mingyu cerah. mengawasi namun membiarkan wonwoo mengacak-acak isi kabinetnya. “kok gue nggak denger.”

laci dibanting tutup adalah jawaban wonwoo. tidak menemukan apa yang dicari, ia bangkit dan kali ini menuju kamar mingyu. melewati si pemilik rumah begitu saja bagai hantu.

“dimana ya...,” wonwoo mulai bicara sendiri yang membuat mingyu khawatir.

“lo kenapa, kak? ada barang ketinggalan?” mingyu mengejarnya dan menemukan wonwoo sedang memeriksa nakas. nihil. wonwoo berbalik dan nyaris menabrak mingyu yang berdiri persis di belakangnya. keduanya terkesiap. bedanya, itu pertama kali wonwoo menunjukkan tanda-tanda menyadari mingyu ada.

wonwoo melengos. matanya menangkap lemari besar di sudut kamar dan memutuskan disanalah pencarian selanjutnya. mingyu masih nggak tahu apa tujuan wonwoo, tapi dia nggak akan membiarkan pemuda itu dekat-dekat sana. panik. dia menarik tangan wonwoo sebelum terlalu jauh.

“lo nyari apa sih!?” tanya mingyu, mulai kesal.

wonwoo memindai mingyu dari kepala sampai ujung kaki, lalu menatap tangan pemuda itu di lengannya, merasa tidak suka pemandangan itu dan menepisnya kasar.

“lepasin. beraninya lo pegang gue.”

dulu sekali, mingyu pernah mendengar nada sedingin es itu ditujukan padanya oleh orang yang sama. dia sangat membenci nada itu. bukan, mungkin takut adalah kata yang lebih tepat.

“lo kenapa sih, kak? cerita ke gue jangan gini—”

“inget amplop besar warna cokelat tempo hari nggak? yang ketinggalan di jok dan lo tawarin sukarela buat dikirim?”

tentu saja mingyu ingat. faktanya, objek yang dipermasalahkan itu aman tersembunyi hanya semeter dari mereka. tidak berdosa dan ada sidik jari mingyu di seluruh permukaannya.

“nggak bisa ngomong kan lo?” wajah pucat mingyu sudah cukup jadi jawaban buat wonwoo. “alasan apa lagi yang bakal lo kasih ke gue selain karena lo emang bajingan.”

wonwoo mengawasi gerak-gerik mingyu. itu mengingatkannya pada mahasiswa dihadapan penguji pada sidang akhir. tapi bohong karena itu hanya sekedar cerita, wonwoo belum sempat merasakan berada di situasi semacamnya dan terancam tetap selamanya seperti itu. dia sudah muak dengan kenyataan pahit, kalimat andai, dan ending prematur yang menjadi rapor akhir pendidikannya. bodoh bila mingyu pikir wonwoo akan diam saja melihat kesempatan sekali lagi lolos dari jarinya begitu saja.

mudah membayangkan mingyu di suatu malam; satu tangan membelit tubuh lelap wonwoo post-orgasme, naif, dan tak curiga, dan satu lagi memegang ponsel yang bukan miliknya. menyusup lancang. dia bahkan bisa menebak apa isi surel yang dialamatkan padanya namun tak pernah dibalas.

dengan hormat, dengan ini kami memberitahukan bahwa saudara diterima dan diharapkan hadir pada hari sekian jam sekian...

dan seterusnya,

dan seterusnya.

mungkin semacam itu bunyinya, dihapus sebelum dibaca. lagi-lagi wonwoo hanya bisa berandai-andai. kesempatan kedua yang diberikan wonwoo pada mingyu tempo hari terasa mahal sekarang dan wonwoo harus membayar semua itu. bicara tentang penyesalan.

“tawaran pekerjaan ini mahapenting buat gue dan lo memperlakukan itu kayak bungkus kacang rebus,” wonwoo histeris sekarang. mingyu nggak pernah melihatnya seperti ini. “orang yang dilahirkan kaya raya dan disuapin dari kecil sampe gede bagong kayak lo nggak bakal ngerti gimana susahnya cari pekerjaan!!!”

wonwoo berhenti untuk menarik napas. orang yang melihatnya sekarang akan mengira dia selesai marathon.

“mungkin dosa gue ke lo terlalu banyak sampe kata maaf nggak cukup. kalo ini cara lo balas dendam—congrats, mingyu, lo berhasil,” wonwoo tersenyum getir. dia memandang mingyu terakhir kali dan beranjak pergi.

“kak, dengerin gue dulu—”

“JANGAN SENTUH GUE!”

mingyu didorong kasar, tubuhnya mendarat di ranjang. wajah memelasnya bisa membuat anak anjing malu. kasihan. tapi wonwoo nggak akan tertipu untuk kali kedua.

mingyu terduduk di tepi ranjang dan menatap kosong pola kayu di lantai kamarnya. kedua siku di lutut, dia meremas-remas rambutnya; kehabisan akal. langkah kaki wonwoo terdengar semakin jauh. mengancam meninggalkan bukan hanya tempat ini, namun hidup mingyu juga dan dia tidak mampu melakukan apa pun untuk mencegah hal itu terjadi.

“gue takut lo balikan sama rowoon.”

bila ada yang mampu mencegah wonwoo pergi, mungkin itu hanya kejujuran mingyu. terbukti dengan tersendatnya pemuda itu di ambang pintu kamar; wonwoo menatap mingyu aneh.

“apa hubungannya rowoon sama semua ini?”

semuanya. bagaimana pria itu yang mendapat semua yang diinginkan mingyu dari wonwoo, alih-alih dirinya.

“dikenalin ke orang tua, dikasih kerjaan, habis ini apa? dilamar? oh, udah ya? terus nikah. congrats! jangan lupa undang gue ya, kak.”

“mingyu, lo ngomong apa sih, gue sama mas rowoon udah lama selesai...”

wonwoo seheran itu, tapi nggak ada yang bisa menghentikan nyinyiran pria yang tersakiti.

“is he any good? did he fuck you like me?” tambah mingyu pedas.

seperti ditampar, wonwoo hanya bisa tercengang. nggak ada sosok lain yang wonwoo inginkan menghangatkan ranjangnya selain sosok yang kini menatapnya sengit itu. serendah itukah dia di mata mingyu?

“you know what, at least mas rowoon tuh super baik dan bantu gue, pake privilege dia sebagai orang dalem dan rekomenin gue yang cuma lulusan SMA dan kuliah aja nggak tamat ini. kalo lo?” balas wonwoo tak kalah sengit. “cuma ngentot yang ada di kepala lo!!!”

“JANGAN—” mingyu bangkit memburu wonwoo yang respon alami tubuhnya adalah mundur. menjulang dan mengancam mirip bahaya, sosok jangkung itu menunjuk-nunjuk wajah wonwoo kurang ajar.“—PERNAH BANDINGIN GUE SAMA MANTAN-MANTAN LO.”

mingyu menjangkau satu sisi leher wonwoo dengan tangannya dan mencakar disana. that neck looks so tempting now...

“coming from a guy yang cuma jadiin gue jongos dan temen bobo doang, bisa-bisanya lo ngomong gitu— ngaca, anjing!”

wonwoo mendorong mingyu sekuat tenaga hanya untuk diempas ke dinding. memori kekerasan yang terjadi di hotel waktu itu datang membayangi lagi.

“sekarang gue tanya sama lo—kalo waktu itu bukan gue yang DM dan nawar lo, apa lo mau nerima mereka?”

jawabannya tidak, tapi mingyu nggak perlu tahu.

“omongan lo mulai ngelantur. ini cuma tentang lo yang bohongin gue, kenapa harus bawa-bawa mantan gue dan masalah DM?!”

“jawab dulu,” mingyu mengguncang tubuh wonwoo kasar.

“fine! jawabannya nggak, karena cuma elo satu-satunya orang di dunia ini yang mikir badan gue bisa dituker pake lembaran duit. lo cuma orang sakit yang punya obsesi balas dendam sama gue—”

“GUE CINTA ELO, BANGSAT!”

kata-kata menyakitkan apa pun yang ada di ujung lidahnya seolah kalah oleh deklarasi itu. diucapkan dengan lantang dan sangat intens, deklarasi itu tampaknya menguras seluruh emosi mingyu. dadanya naik turun namun wajahnya lega. seolah beban di pundaknya hilang separuh bersama kalimat yang susah payah dilepasnya.

sekujur tubuh wonwoo terasa dingin yang kemudian digantikan dengan yang lebih mengerikan, horor. mustahil ada orang yang disakiti dari segala arah namun tetap menolak menukar cintanya dengan kebencian. nggak, wonwoo menolak percaya.

“i fucking love you,” ulang mingyu menyedihkan. “gue udah keabisan akal gimana caranya supaya lo ngeliat gue...”

“nggak—nggak mungkin. jangan ngomong cinta sama gue,” wonwoo menepis tangan mingyu dari lehernya. “kalo itu emang cinta, lo bener-bener payah nunjukkinnya.”

mingyu tidak pernah membayangkan pengakuannya harus terjadi seperti ini— dia selalu membayangkan sinar temaram dan debur ombak di suatu tempat mirip surga. bulan mengintip malu-malu dari balik tirai. mungkin bali. mingyu selalu ingin mengajak wonwoo kesana— bukan seperti ini; saling teriak dan tangannya menemukan jalan ke leher wonwoo. lagi-lagi.

“to hell with it, i'm leaving.”

seperti ini. selalu seperti ini. always belittling his feelings, menganggap perasaan mingyu nggak cukup valid untuk diakui. nggak, setelah sekian lama jadi penonton dan cuma jadi figuran dalam hidup wonwoo, mingyu nggak akan melepasnya. dia tidak akan membiarkan wonwoo pergi.

punggung itu menjauh dan mingyu semakin tergoda untuk melukainya. apa pun yang bisa membuat wonwoo merasakan sakit yang sama yang ada di dadanya sekarang.

gelas kristal berisi air itu pecah di dinding tepat di samping kepala wonwoo. pemuda itu merunduk dan melindungi kepalanya dari hujan air juga kaca, bersyukur tepat waktu. wonwoo nggak mau membayangkan apa yang terjadi bila dia telat sedetik saja. masih merunduk di lantai, wonwoo menoleh dan melihat mingyu, wajahnya tenang.

“gue belum selesai ngomong.”

“lo sakit,” suara wonwoo luar biasa goyah, dia heran masih bisa bicara.

“jangan sampe gue mukul lo lagi.”

mingyu bergerak hingga dia sudah berada di samping wonwoo dalam sekejap. dia mengangkat sosok gemetaran itu dari lantai dan mendorongnya seperti boneka. monster itu hanya tidur, dan sekarang dia menggeliat bangun.

terjadinya sangat cepat. mingyu nggak melihat kemana mendorong, wonwoo hilang keseimbangan, suara benturan dan mendadak ada darah dimana-mana. mingyu seharusnya mendengar nasehat mamanya yang menyarankan mengganti meja makan kaca yang keempat sudutnya tampak berbahaya itu. mingyu hanya nggak menyangka wonwoo yang harus jadi korban pertamanya.

wonwoo berlutut di bawah meja terkutuk itu. darah menetes-netes dari bibir bawahnya, jarinya meraba kerusakan yang terjadi dan meringis kemudian. sakit. mingyu mengawasi wonwoo bangkit susah payah dengan napas tertahan. niatnya mencelakai menguap kini melihat pemuda benar-benar celaka.

“kak—”

wonwoo berhasil berdiri dan menyadari ada yang nggak beres. sial, dia mendarat di kaki yang salah. bajunya bebercak merah. dia seperti korban pembunuhan tapi sayangnya masih hidup.

“— maaf— gue nggak sengaja— jangan gerak— tissue mana tissue— bangsat— “

wonwoo nggak menghiraukan mingyu dan mencoba berjalan. salah besar, kakinya bagai menginjak duri. mingyu menemukan tissue yang dia cari dan menjangkau wonwoo. keliru bila mingyu berpikir wonwoo akan membiarkan dirinya disentuh begitu saja. wonwoo cepat-cepat meraih sebuah objek di atas meja makan itu dan mengarahkannya pada mingyu yang terpaku.

“tinggalin gue.”

“taruh pisaunya.”

“no, you leave me alone.”

“put it down, kak, please...”

keras kepala, wonwoo ganti mengarahkan mata pisau ke arahnya sendiri, ke kulit lengannya yang polos. wonwoo tergoda melakukannya. sedikit goresan nggak akan membunuhnya kan?

“mundur.”

mingyu tampak kehabisan kata dan mundur selangkah. tangannya menangkup di depan dada, memohon. hatinya hancur melihat wonwoo lebih memilih berdarah daripada disentuh olehnya.

“kak...”

darah masih menetes, meninggalkan jejak merah di lantai apartemen mingyu bagaikan panggung kriminal. perih di bibirnya semakin hebat. berjalan mundur sambil mengawasi mingyu, wonwoo membuang pisau itu ketika sudah mendekati pintu, berkelontangan berisik ketika mendarat di lantai.

“kak! kak wonwoo!”

wonwoo lari secepat kaki cacatnya sanggup membawa. kelak, itu akan menjadi penyesalan seumur hidup bagi mingyu.

//sick, sick, i think i'm sick

pemandangan wonwoo di apartemennya adalah sosok terakhir yang mingyu duga akan ia dapati setelah keluar dari kamar. ini adalah pertama kalinya wonwoo mendatangi tempatnya setelah pemuda itu resmi mengakhiri kontrak eksklusif mereka. sudah sangat lama hingga melihat sosok yang dirindukan itu kembali hadir di kediamannya terasa seperti mimpi. tapi semua itu nyata dan jeon wonwoo ada di depan mata. mingyu hanya nggak memahami apa yang sedang pemuda itu lakukan.

“lo kapan datengnya, kak?” sapa mingyu cerah. mengawasi namun membiarkan wonwoo mengacak-acak isi kabinetnya. “kok gue nggak denger.”

laci dibanting tutup adalah jawaban wonwoo. tidak menemukan apa yang dicari, ia bangkit dan kali ini menuju kamar mingyu. melewati si pemilik rumah begitu saja bagai hantu.

“dimana ya...,” wonwoo mulai bicara sendiri yang membuat mingyu khawatir.

“lo kenapa, kak? ada yang ketinggalan?” mingyu mengejarnya dan menemukan wonwoo sedang memeriksa nakas. nihil. wonwoo berbalik dan nyaris menabrak mingyu yang berdiri persis di belakangnya. keduanya terkesiap. bedanya, itu pertama kali wonwoo menunjukkan tanda-tanda menyadari mingyu ada.

wonwoo melengos. matanya menangkap lemari besar di sudut kamar dan memutuskan disanalah pencarian selanjutnya. mingyu masih nggak tahu apa tujuan wonwoo, tapi dia nggak akan membiarkan pemuda itu dekat-dekat sana. panik. dia menarik tangan wonwoo sebelum terlalu jauh.

“lo nyari apa sih!?” tanya mingyu, mulai kesal.

wonwoo memindai mingyu dari kepala sampai ujung kaki, lalu menatap tangan pemuda itu di lengannya, merasa tidak suka pemandangan itu dan menepisnya kasar.

“lepasin. beraninya lo pegang gue.”

dulu sekali, mingyu pernah mendengar nada sedingin es itu ditujukan padanya oleh orang yang sama. dia sangat membenci nada itu. bukan, mungkin takut adalah kata yang lebih tepat.

“lo kenapa sih, kak? cerita ke gue jangan gini—”

“inget amplop besar warna cokelat tempo hari nggak? yang ketinggalan di jok dan lo tawarin sukarela buat dikirim?”

tentu saja mingyu ingat. faktanya, objek yang dipermasalahkan itu aman tersembunyi hanya semeter dari mereka. tidak berdosa dan ada sidik jari mingyu di seluruh permukaannya.

“nggak bisa ngomong kan lo?” wajah pucat mingyu sudah cukup jadi jawaban buat wonwoo. “alasan apa lagi yang bakal lo kasih ke gue selain karena lo emang bajingan.”

wonwoo mengawasi gerak-gerik mingyu. itu mengingatkannya pada mahasiswa dihadapan penguji pada sidang akhir. tapi bohong karena itu hanya sekedar cerita, wonwoo belum sempat merasakan berada di situasi semacamnya dan terancam tetap selamanya seperti itu. dia sudah muak dengan kenyataan pahit, kalimat andai, dan ending prematur yang menjadi rapor akhir pendidikannya. bodoh bila mingyu pikir wonwoo akan diam saja melihat kesempatan sekali lagi lolos dari jarinya begitu saja.

mudah membayangkan mingyu di suatu malam; satu tangan membelit tubuh lelap wonwoo post-orgasme, naif, dan tak curiga, dan satu lagi memegang ponsel yang bukan miliknya. menyusup lancang. dia bahkan bisa menebak apa isi surel yang dialamatkan padanya namun tak pernah dibalas.

dengan hormat, dengan ini kami memberitahukan bahwa saudara diterima dan diharapkan hadir pada hari sekian jam sekian...

dan seterusnya,

dan seterusnya.

mungkin semacam itu bunyinya, dihapus sebelum dibaca. lagi-lagi wonwoo hanya bisa berandai-andai. kesempatan kedua yang diberikan wonwoo pada mingyu tempo hari terasa mahal sekarang dan wonwoo harus membayar semua itu. bicara tentang penyesalan.

“tawaran pekerjaan ini mahapenting buat gue dan lo memperlakukan itu kayak bungkus kacang rebus,” wonwoo histeris sekarang. mingyu nggak pernah melihatnya seperti ini. “orang yang dilahirkan kaya raya dan disuapin dari kecil sampe gede bagong kayak lo nggak bakal ngerti gimana susahnya cari pekerjaan!!!”

wonwoo berhenti untuk menarik napas. orang yang melihatnya sekarang akan mengira dia selesai marathon.

“mungkin dosa gue ke lo terlalu banyak sampe kata maaf nggak cukup. kalo ini cara lo balas dendam—congrats, mingyu, lo berhasil,” wonwoo tersenyum getir. dia memandang mingyu terakhir kali dan beranjak pergi.

“kak, dengerin gue dulu—”

“JANGAN SENTUH GUE!”

mingyu didorong kasar, tubuhnya mendarat di ranjang. wajah memelasnya bisa membuat anak anjing malu. kasihan. tapi wonwoo nggak akan tertipu untuk kali kedua.

mingyu terduduk di tepi ranjang dan menatap kosong pola kayu di lantai kamarnya. kedua siku di lutut, meremas-remas rambutnya; kehabisan akal. langkah kaki wonwoo terdengar semakin jauh. mengancam meninggalkan bukan hanya tempat ini, namun hidup mingyu juga dan dia tidak mampu melakukan apa pun untuk mencegah hal itu terjadi.

“gue takut lo balikan sama rowoon.”

bila ada yang mampu mencegah wonwoo pergi, mungkin itu hanya kejujuran mingyu. terbukti dengan tersendatnya pemuda itu di ambang pintu kamar; wonwoo menatap mingyu aneh.

“apa hubungannya rowoon sama semua ini?”

semuanya. bagaimana pria itu yang mendapat semua yang diinginkan mingyu dari wonwoo, alih-alih dirinya.

“dikenalin ke orang tua, dikasih kerjaan, habis ini apa? dilamar? oh, udah ya? terus nikah. congrats! jangan lupa undang gue ya, kak.”

“mingyu, lo ngomong apa sih, gue sama rowoon udah lama selesai...”

wonwoo seheran itu, tapi nggak ada yang bisa menghentikan nyinyiran pria yang tersakiti.

“is he any good? did he fuck you like me?” tambah mingyu pedas.

seperti ditampar, wonwoo hanya bisa tercengang. nggak ada sosok lain yang wonwoo inginkan menghangatkan ranjangnya selain sosok yang kini menatapnya sengit itu. serendah itukah dia di mata mingyu?

“you know what, at least mas rowoon tuh super baik dan bantu gue, pake privilege dia sebagai orang dalem dan rekomenin gue yang cuma lulusan SMA dan kuliah aja nggak tamat ini. kalo lo?” balas wonwoo tak kalah sengit. “cuma ngentot yang ada di kepala lo!!!”

“JANGAN—,” mingyu bangkit memburu wonwoo yang respon alami tubuhnya adalah mundur. menjulang dan mengancam mirip bahaya, sosok jangkung itu menunjuk-nunjuk wajah wonwoo kurang ajar. “—PERNAH BANDINGIN GUE SAMA MANTAN-MANTAN LO.”

mingyu menjangkau satu sisi leher wonwoo dengan tangannya dan mencakar disana. that neck looks so tempting now...

“coming from a guy yang cuma jadiin gue jongos dan temen bobo doang, bisa-bisanya lo ngomong gitu— ngaca, anjing!”

wonwoo mendorong mingyu sekuat tenaga hanya untuk diempas ke dinding. memori kekerasan yang terjadi di hotel waktu itu datang membayangi lagi.

“sekarang gue tanya sama lo—kalo waktu itu bukan gue yang DM dan nawar lo, apa lo mau nerima mereka?”

jawabannya tidak, tapi mingyu nggak perlu tahu.

“omongan lo mulai ngelantur. ini cuma tentang lo yang bohongin gue, kenapa harus bawa-bawa mantan gue dan masalah DM?!”

“jawab dulu,” mingyu mengguncang tubuh wonwoo kasar.

“fine! jawabannya nggak, karena cuma elo satu-satunya orang di dunia ini yang mikir badan gue bisa dituker pake lembaran duit. lo cuma orang sakit yang punya obsesi balas dendam sama gue—”

“GUE CINTA ELO, BANGSAT!”

kata-kata menyakitkan apa pun yang ada di ujung lidahnya kalah oleh deklarasi itu. diucapkan dengan lantang dan sangat intens, deklarasi itu tampaknya menguras seluruh emosi mingyu. dadanya naik turun namun wajahnya lega. seolah beban di pundaknya hilang separuh bersama kalimat yang susah payah dilepasnya.

sekujur tubuh wonwoo terasa dingin yang kemudian digantikan dengan yang lebih mengerikan, horor. mustahil ada orang yang disakiti dari segala arah namun tetap menolak menukar cintanya dengan kebencian. nggak, wonwoo menolak percaya.

“i fucking love you,” ulang mingyu menyedihkan. “gue udah keabisan akal gimana caranya supaya lo ngeliat gue...”

“nggak—nggak mungkin. jangan ngomong cinta sama gue,” wonwoo menepis tangan mingyu dari lehernya. “kalo itu emang cinta, lo bener-bener payah nunjukkinnya.”

mingyu tidak pernah membayangkan pengakuannya harus terjadi seperti ini— dia selalu membayangkan sinar temaram dan debur ombak di suatu tempat mirip surga. bulan mengintip malu-malu dari balik tirai. mungkin bali. mingyu selalu ingin mengajak wonwoo kesana— bukan seperti ini; saling teriak dan tangannya menemukan jalan ke leher wonwoo. lagi-lagi.

“to hell with it, i'm leaving.”

seperti ini. selalu seperti ini. always belittling his feelings, menganggap perasaan mingyu nggak cukup valid untuk diakui. nggak, setelah sekian lama jadi penonton dan cuma jadi figuran dalam hidup wonwoo, mingyu nggak akan melepasnya. dia tidak akan membiarkan wonwoo pergi.

punggung itu menjauh dan mingyu semakin tergoda untuk melukainya. apa pun yang bisa membuat wonwoo merasakan sakit yang sama yang ada di dadanya sekarang.

gelas kristal berisi air itu pecah di dinding tepat di samping kepala wonwoo. pemuda itu merunduk dan melindungi kepalanya dari hujan air juga kaca, bersyukur tepat waktu. wonwoo nggak mau membayangkan apa yang terjadi bila dia telat sedetik saja. masih merunduk di lantai, wonwoo menoleh dan melihat mingyu, wajahnya tenang.

“gue belum selesai ngomong.”

“lo sakit,” suara wonwoo luar biasa goyah, dia heran masih bisa bicara.

“jangan sampe gue mukul lo lagi.”

mingyu bergerak cepat hingga sudah berada di samping wonwoo dalam sekejap. dia mengangkat sosok gemetaran itu dari lantai dan mendorongnya seperti boneka. monster itu hanya tidur, dan sekarang dia menggeliat bangun.

terjadinya sangat cepat. mingyu nggak melihat kemana mendorong, wonwoo hilang keseimbangan, suara benturan dan mendadak ada darah dimana-mana. mingyu seharusnya mendengar nasehat mamanya yang menyarankan mengganti meja makan kaca yang keempat sudutnya tampak berbahaya itu. mingyu hanya nggak menyangka wonwoo yang harus jadi korban pertamanya.

wonwoo berlutut di bawah meja terkutuk itu. darah menetes-netes dari bibir bawahnya, jarinya meraba kerusakan yang terjadi dan meringis kemudian. sakit. mingyu mengawasi wonwoo bangkit susah payah dengan napas tertahan. niatnya mencelakai menguap kini melihat sasarannya benar-benar celaka.

“kak—”

wonwoo berhasil berdiri dan menyadari ada yang nggak beres. sial, dia mendarat di kaki yang salah. bajunya bebercak merah. dia seperti korban pembunuhan.

“— maaf— gue nggak sengaja— jangan gerak— tissue mana tissue— bangsat— “

wonwoo nggak menghiraukan mingyu dan mencoba berjalan. salah besar, kakinya bagai menginjak duri. mingyu menemukan tissue yang dia cari dan mendekati wonwoo. keliru bila mingyu pikir wonwoo mau dekat-dekat pemuda itu sekarang. wonwoo cepat-cepat menyambar sebuah objek yang tergeletak di meja makan dan mengarahkannya pada mingyu, yang terpaku.

“tinggalin gue.”

“taruh pisaunya.”

“no, you leave me alone.”

“put it down, kak, please...”

keras kepala, wonwoo ganti mengarahkan mata pisau ke arahnya sendiri, ke kulit lengannya yang polos. wonwoo tergoda melakukannya. sedikit goresan nggak akan membunuhnya, kan?

“mundur.”

mingyu tampak kehabisan kata dan mundur selangkah. tangannya menangkup di depan dada, memohon. hatinya hancur melihat wonwoo lebih memilih berdarah daripada disentuh olehnya.

“kak...”

darah masih menetes, meninggalkan jejak merah di lantai apartemen mingyu bagaikan panggung kriminal. perih di bibirnya semakin hebat. berjalan mundur sambil mengawasi mingyu, wonwoo membuang pisau itu ketika sudah mendekati pintu, berkelontangan berisik ketika mendarat di lantai.

“kak! kak wonwoo!”

wonwoo lari secepat kaki cacatnya sanggup membawa. kelak, itu akan menjadi penyesalan terbesar mingyu seumur hidupnya.

“jangan dilepas, you look good in it.”

mingyu tersendat ketika jarinya sudah setengah jalan melucuti kancing kemeja putih yang dia pakai malam itu. dasi kupu-kupunya sudah duluan terlepas. lama jatuh di lantai kos wonwoo yang dingin. bila bisa bicara mungkin lehernya sudah bernafas lega. jas formalnya mengancam menyusul kemudian andai saja wonwoo tidak melarangnya barusan.

said guy himself is lying on the bed like a sin. already naked and half-hard. legs bent in such way that make mingyu's blood rippled and go down south. teasing, as if beckoning him to come and make a room in between. only him. only for him.

mata panjang sipitnya tampak ngantuk memandangi mingyu, namun ada yang beda malam ini. dia sudah terbiasa menelanjangi diri di hadapan wonwoo tapi sorot matanya kali ini membuat mingyu salah tingkah. pipi dan tengkuknya mendadak panas.

“really? gue nggak bisa gerak bebas dong.”

“then let me do the job,” wonwoo meraih tangannya. “i want you to fuck me in it. besides, already said i would ride you tonight, right?”

berbaring menyamping saling berhadapan. mingyu menjari di lubang wonwoo, melumuri dengan lubrikan sebelumnya. satu tungkai wonwoo naik ke pinggangnya. sementara tangan liar wonwoo menjangkau isi celana mingyu dan menjamah disana. membelai remas. soon, wonwoo is a moaning mess. lick a finger and insert it inside himself. joining two of mingyu's digit.

“kondom? gue pengen tidur cepet malem ini,” tawar wonwoo. mingyu mengangguk dan duduk di tengah ranjang. mengawasi wonwoo memasang pengaman di kepunyaannya. tangannya cermat dan lihai. memberi jilat dan isapan ekstra sebelumnya, tak lupa tersenyum polos.

mingyu cursed. such a pretty little vixen...

then, wonwoo sits on his lap and align mingyu's cock with his gaping hole. moaning sensually right beside mingyu's ear after. balls deep inside, wonwoo starts to bounce. the bed springs with each every move.

punggung wonwoo melengkung ke arah mingyu. dada saling bergesekan. one is naked, another still fully dressed. lengan wonwoo merangkul lehernya.

“tadi minum ya?” ujar wonwoo di bibir mingyu. a little kiss here and there.

“wine. dikit.”

“pantesan, manis.”

just like you, mingyu tersenyum. membuka mulutnya dan menyambut lidah wonwoo disana. letting wonwoo chase the sweet aftertaste.

“you said i look good in this suit?” tanya mingyu.

“i did,” jawab wonwoo. he can feel mingyu smile on the kiss.

“tell me how good i look then.”

“hmm,” wonwoo mengecup bibirnya sekali lalu membuka mata. menemui mata mingyu yang memindai wajahnya. wonwoo berpikir, alisnya mengerut. mingyu menyingkirkan sehelai rambut dari matanya; sayang.

“so powerful. like, you can sweep everyone's off their feet. charming...kayak pengantin,” wonwoo adds as an afterthought.

ide liar mendatangi kepala mingyu tanpa diundang. tentang dirinya dan seseorang yang sama-sama berpakaian formal. one in a tailcoat and bowtie alike. uniform. swaying gently to the music on the deck under the starry night sky and pearly sea. seketika, bukan seokmin dan joshua yang bertukar sumpah disana. digantikan oleh dirinya dan sosok yang sangat sangat mirip wonwoo...

mingyu segera menyembunyikan wajah di ceruk leher wonwoo. dia sangat menginginkan semua itu jadi nyata sampai rasanya memalukan. mendadak mingyu sangat bersyukur pemuda di pangkuannya ini nggak bisa membaca pikiran.

garmen di bahunya merosot dan mingyu mengangkat kepala. ada wonwoo yang tengah melucuti jas tersebut dari lengannya. kemudian, wonwoo merebahkan diri dan menarik serta mingyu bersamanya. berpindah posisi.

mingyu suka bagaimana wonwoo nggak perlu mengatakan apa pun untuk menyampaikan keinginannya. wonwoo bisa mengedipkan mata cantik serupa rubah itu dan bila sanggup, mingyu akan memberinya seisi dunia dalam genggaman tangan. bahasa privat yang hanya mereka berdua yang tahu. bahasa mereka. sesederhana itu.

tapi ada satu yang gagal dia terjemahkan. bahasa paling asing dan tak satu pun kamus di dunia ini mampu mengartikan. tulisannya kabur dan samar. kelak mingyu akan mendengarnya sendiri dari bibir wonwoo. tapi nggak sekarang. nggak sekarang.

“brace yourself,” ujarnya.

wonwoo menarik nafas. tungkainya membuka lebar demi menerima massa tubuh mingyu di atasnya. mingyu bergerak tanpa diminta.

“keep it slow, we don't want piss my neighbours again. jangan sampe gue diusir sama mbak maya.”

mingyu can't help but snorts.

“lo liar banget. i've never cum so hard in my life before.”

“cuma gue yang bisa bikin lo gitu,” wonwoo smiles from ear to ear. dia dan segudang prestasinya.

mingyu setuju.

soon, his hips thrusts and pistons into wonwoo's hole. if it turns out to be real, will their first night be something just like this? with wonwoo clings and kisses mingyu like his life depends on it? will they finally on the same page, while mingyu whispering sweet and declaring his undying love right beside his ear? will wonwoo said it back with the same amount of love?

“lo—ah—lo bilang apa barusan?”

mingyu menggeleng. some dreams are meant to remain so.

“nothing. bilang ya kalo ada yang sakit.”

satu tumbukan mingyu menjangkau titik terdalamnya, nikmat. wonwoo mendengus desah, seolah mendengar pernyataan konyol.

“iya, bawel. lo nggak akan nyakitin gue lagi kok, ya kan?”

wonwoo menatapnya lurus-lurus. seakan menantang mingyu untuk bersumpah, dan mingyu nggak pernah berkata tidak pada tantangan. lagipula, lelaki macam apa yang melanggar sumpahnya? jawaban mingyu berikutnya terdengar mantap dan tanpa ragu.

“never.”

tapi bohong.

mingyu memandangi isi percakapan di ponselnya. fortuner putih itu tiba tepat setelah wonwoo mengirim pesan pertama yang mengabarkan dia ada urusan. tidak perlu menjemputnya. hanya selisih beberapa detik.

parkiran kultur sepi. cuma ada satu dua kendaraan. begitu juga isi kafenya. beberapa pengunjung duduk di dekat pintu dan tampak asyik menikmati hidangan mereka.

alih-alih putar balik, mingyu mematikan mesin dan menurunkan jendela. seorang pemuda sedang mengelap meja dan merapikan kursi di teras. bajunya identik dengan seragam yang sering wonwoo pakai.

cowok itu memandang mingyu. mingyu juga memandang cowok itu. mingyu dan cowok itu pandang-pandangan.

“apa lu liat-liat,” celetuk mingyu.

yang ditegur langsung kaku dan balik badan. nabrak kursi saking buru-burunya. nahan ketawa, mingyu turun dari mobil dan menduduki kursi tersebut. entah apa yang mendorongnya melakukan itu.

“sorry bang gue beresin dulu...”

duduk santai dan melipat tangan di dada, mingyu cuma mengangguk dan mengawasi mejanya dilap oleh cowok itu, yang makin salah tingkah. mingyu tahu otaknya lagi berpikir keras.

“lo....lo pacarnya kak won yang nonjok orang tempo hari itu ya, bang?”

mingyu tersenyum.

“yoi.”

kayak lampu yang dinyalain, wajah pemuda itu langsung cerah. terpesona. tanpa diundang, dia duduk di seberang mingyu dan ngelupain pekerjaannya sama sekali.

“pantesan kayak pernah liat!”

“tapi gue bukan pacarnya dia.”

heboh sendiri. cowok itu ber-oh ria dan manggut-manggut. mingyu baru memperhatikan parasnya yang nggak biasa. rahang tegas ditambah mata sayu dan alisnya yang tebal nggak ada otak. apa sih istilahnya?

“tapi serius bang gue mau bilang makasih karena lo udah ngasih pelajaran tuh orang,” buka si bule.

ah, iya bule.

“kok bisa?” mingyu keheranan.

“jadi sebenernya dia tuh udah sering bikin onar disini. kita aja yang sungkan ngusir karena nggak ada bukti. kak won juga kelewat sabar menurut gue, seungkwan bilang—”

“seungkwan?” selidik mingyu.

“anotherwaiter,” jawabnya cepat, mukanya mendadak merah. mingyu mencibir.

hm, dasar bocah.

“—intinya lo tuh keren, bang! gara-gara lo, cowok sialan itu juga udah nggak pernah nongol lagi disini, takut sama lo kali.”

“sama-sama,” balas mingyu sambil gegayaan merapikan kerah kemeja. diam-diam berbangga diri.

cowok itu masih mengamati mingyu kayak objek paling menarik di muka bumi.

“gue kira lo cowoknya kak won,” celetuknya lagi, menyipit memandangi mingyu dari sudut mata. “lo yang sering jemput dia kan? gue sampe apal mobil lo.”

gue juga maunya gitu, batin mingyu. tapi dia nggak yakin rekan kerja wonwoo ini siap mendengar sejarah dibaliknya. jadi mau nggak mau keduanya harus puas dengan jawaban yang keluar dari bibirnya berikut.

“bukan. maksud gue—belum,” koreksinya setelah beberapa saat.

ternyata si bule cukup cerdas karena dia nggak nanya-nanya lagi. tapi jelas di kepalanya masih banyak tanda tanya.

“cowoknya kak won banyak ya,” dikatakan ringan dan sambil lalu kayak orang mengomentari cuaca. nggak tahu aja pengaruh ujaran random itu buat mingyu. “kak won sering dijemput cowok lain. in fact, dia dijemput cowok itu barusan, gue kira elo.”

binatang dalam diri mingyu menggeram. ekornya naik. waspada. siapa?

“siapa?”

“mana gue tau,” jawabnya, mengedik bahu. “gue no kepo-kepo, tapi karena lo penasaran, orangnya tinggi—”

“gue juga tinggi,” sela mingyu, nggak terima.

“—lebih tinggi dari lo. bawa camry item. no offense ya bukannya lo jorok, tapi orang ini keliatan rapi, berpendidikan...dewasa.”

mingyu sudah terbiasa jadi pilihan pertama dalam hidup seorang jeon wonwoo. siaga dua-empat-tujuh antar jemput (ambulans pun kalah). hafal semua tempat makanan favorit. tahu playlist apa yang harus diputar di hari yang buruk. and especially, on his speed dial when wonwoo feels...needy.

dia sudah sangat terbiasa jadi juara satu hingga lupa bahwa kadang jadi juara pun nggak berarti dirinya layak mendapatkan titel itu. setan pun minder melihat daftar dosanya. banyak di luar sana yang lebih pantas daripada dirinya. mingyu yakin wonwoo juga sepemikiran.

“soool, lo dimana? nyebat lagi yaaa?”

when too much information feels like no information at all. nggak ada gunanya menebak-nebak. semuanya terlalu abu-abu.

“loh, udah cabut, bang? nggak mau pesen dulu?”

mingyu bangkit dari kursinya. rekan kerja wonwoo yang lupa dia tanya namanya mengekor di belakang. mingyu meraih satu pak marlboro reds di laci dasbor dan melemparnya. tersegel dan masih baru.

“buat lo aja, gue udah nggak nyebat.”

mata si bule berbinar kayak ketiban durian runtuh. atau dalam konteks ini, kretek runtuh!

“makasih, bang! sering-sering mampir!”

oh. he will, he will.

mingyu melambai sebelum menggeser jendela mobil dan melaju meninggalkan parkiran kultur. kepalanya sibuk berpikir.