useeoi

Koyo Cabe pt. 2 ; bctd

.

“Ya Tuhan, lucu banget ini orang!” Suguru berseru tertahan sambil mengantongi ponselnya di jaket. Dengan tangan yang menjinjing kresek hitam berisi sup, Suguru pun kembali ke dalam mobilnya dan melintasi panasnya Jatinangor menuju apartemen tempatnya dan Satoru bernaung.

Sesampainya di unit apartemennya, Suguru langsung membuka pintu yang memang tidak dikunci tersebut, lalu menaruh sup yang dibawanya di meja makan. Setelah melepas jaketnya dan mencuci tangan, Suguru pun membuka pintu kamarnya dan menemukan sosok pria yang tengah duduk meringkuk memeluk kakinya di kasur. Suguru kemudian mendekat dan menyentuh kening pemuda berambut putih tersebut, tanpa sengaja membangunkan sang pemuda yang ternyata sedang berkelana di alam bawah sadarnya itu.

“Belum turun,” ungkap Suguru yang kemudian menyentuh pipi Satoru yang panas. “Kenapa gak tiduran aja? Kan enak bisa selimutan.” Suguru bertanya sambil duduk di sebelah sang kekasih.

“Kalo tiduran ntar mampet lagi hidungnya,” jawab Satoru parau sembari menurunkan kakinya.

Astaga, benar-benar bayi besar! Suguru berseru gemas dalam hatinya. Ia kemudian membenamkan wajah Satoru di dadanya, lalu mengelus belakang kepala Satoru dengan lembut.

“Bekas koyo cabenya masih panas gak?” tanya Suguru. Satoru mengangguk pelan, masih dalam keadaan terbenam di dada bidang Suguru.

Suguru melepaskan kepala Satoru, lalu ia mengambil minyak telon dan mengoleskannya pada kulit bahu Satoru yang tertempel lembaran sialan berwarna hijau tersebut. Perlahan, Suguru pun melepaskannya tanpa tambahan rasa sakit yang berarti. Satoru hanya meringis pelan, kemudian mengembuskan napas lega ketika kedua koyo tersebut berhasil terlepas dari bahunya.

“Jangan coba-coba pake lagi, ya. Gue aja cuma pake sesekali kalo terlalu pegel habis ngeliput. Itu pun gue gunting dulu,” ucap Suguru.

Satoru cemberut. “Gue kan gak pernah pake koyo, mana tau bedanya!”

Suguru tertawa. “Iya, iya. Sekarang badannya di sebelah mana lagi yang sakit?”

“Semuanya,” jawab Satoru setengah meringis. “Apalagi yang bekas koyo cabe, perih banget!”

“Kemaren emang habis ngapain aja selain nerobos hujan tengah malem?”

“Bantuin anak logistik beberes sisa Unicup. Soalnya Balsan mau dipake orang.”

“Terus end up lo ngikut beberes sekre dan balikin barang-barang pinjeman juga?”

Satoru mengangguk.

Suguru menghela napas, menahan dirinya dari mengomeli sang kekasih. Memang sudah begitu adanya Satoru si budak proker, terlalu merasa bertanggung jawab akan pekerjaannya sebagai ketua pelaksana sampai ia lupa bahwa ia tidak sendiri. Akibatnya ia ingin buru-buru beristirahat dan tidak peduli akan hujan yang mengguyur di tengah malam.

“Ya udah, sekarang mau makan atau tidur?” tanya Suguru.

“Sugulu marah, ya?” Bukannya menjawab, Satoru justru malah balik bertanya.

Suguru mendengus geli. “Bukan marah, sih. Heran aja gue,” jawabnya.

“Ya udah. Gue minta maaf ya, Suguru. Gue ngerepotin terus selama ini,” ucap Satoru pelan.

Suguru menahan dirinya dari berseru gemas. Satoru being emotional …, so cute!

“Santai aja, sih. Gue udah kenal lo dari lama, udah gak heran juga sama kebiasaan lo yang kayak gini,” jawab Suguru sambil kembali membawa Satoru ke pelukannya. “Sekarang mau makan atau tidur lagi?”

“Mau pelukan dulu sama Sugulu. Anget,” jawab Satoru sambil memeluk Suguru erat.

Suguru tersenyum, lalu kembali mengusap kepala Satoru lembut. “Oke.”

.

End.

Prolog (Reader’s POV)

.

Orang tuaku pulang.

Aku menghela napas panjang, panjang sekali. Segala topik pembicaraan serta tanggapan dari topik yang mungkin akan mereka utarakan kususun secara mendadak dalam pikiranku. Betapa tidak dekatnya kami hingga aku perlu repot-repot demikian.

“Malam ini kita makan di luar,” ucap ayahku.

Kalau saja aku tidak sedang berada di depan kedua orang tuaku, pasti aku sudah berdecak kesal dan menggerutu sendiri. Acara makan malam ini sudah pasti makan malam persahabatan antara dua keluarga “silver spoon” atau lebih. Yang bisa kulakukan di sana hanyalah menjaga imej serta bersikap sesempurna dan seanggun mungkin layaknya putri raja. Membosankan.

Lebih baik aku menyelesaikan pekerjaanku, bukan?

“Makan di mana?” tanyaku. Tentu saja mulutku akan selalu berlawanan dengan pikiranku demi imej anak penurut di depan orang tuaku.

“Di Osteria Gia.”

Oh, astaga. Makan di sana sampai kenyang bisa menghabiskan separuh gajiku kalau aku membayarnya sendiri.

“Makan malam kali ini bersama keluarga Gojo. Jadi tolong pakai pakaian yang rapi.”

Tanpa disuruh pun aku akan memakai pakaian yang—sebentar. Keluarga Gojo?

“Keluarga Gojo?” tanyaku memastikan.

“Iya. Anaknya seumuran denganmu,” jawab mamaku.

Astaga, bukan seumuran lagi. Aku amat sangat mengenalinya.

Gojo Satoru. Dialah cowok yang kusukai sejak di jurusan dulu.

.

Bubur Sumsum

.

Suguru menghela napas resah. Pagi tadi ia terpaksa meninggalkan Satoru dalam keadaan demam karena ia harus mengumpulkan tugas dan kini ia masih saja terdampar di Gedung 3 FIKOM yang panas. Berbanding terbalik dengan Satoru yang barusan mengeluh kedinginan.

Ini gimana caranya gue cabut, ya? Dosen killer begini, pikir Suguru yang kemudian pusing sendiri.

Beruntung sekali sesaat kemudian Sang Pengampu pun izin membubarkan kelas terlebih dahulu karena ada urusan mendesak di prodi. Suguru pun buru-buru mengekor-namun-menjaga-jarak bersama dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang juga tergesa-gesa ingin kembali ke kamar kostnya. Setelah tiba di parkiran FIKOM, ia pun menaiki Honda Vario 150 hitam kesayangannya dan memacunya agak kencang saking terburu-burunya. Agaknya, ia cukup panik akan keadaan Satoru.

Namun, Suguru bukannya berhenti di apartemen tempat mereka tinggal, melainkan singgah terlebih dahulu di pasar. Tak memerlukan waktu lama baginya untuk membeli bahan-bahan masakan yang ia cari. Kemudian, ia pun kembali mengendarai motornya menuju apartemen.

.

Nihiwatu – Crazy Rich Fam

.

Mobil yang ditumpangi Ushijima dan Oikawa baru saja melewati papan bertuliskan “Nihi Sumba”. Tak lama setelah itu, mobil pun tiba di parkiran dan berhenti.

“Akhirnyaa, lepas dari kota juga!” Oikawa meregangkan tubuhnya begitu turun dari mobil.

“Kamu masih harus kerja juga hari ini, Oikawa.” Ushijima menegur sang suami.

“Elah, bacot bener pake ngingetin segala!” Oikawa mengomel.

Ushijima menghela napas. Oikawa memang seperti ini, batinnya tanpa sedikitpun rasa keberatan dalam dirinya.

Keduanya kemudian masuk ke dalam resort diantar oleh seorang staf. Staf tersebut kemudian menjelaskan seluruh fasilitas yang mereka terima serta mengantar mereka berkeliling. Setelahnya, mereka berdua pun merebahkan diri di kasur.

“Harusnya kita bawa anak-anak juga ke sini,” celetuk Ushijima.

“Nggak. Kalau mereka ngerusak barang atau tiba-tiba pengen bangun Trans Studio di sini gimana?” tolak Oikawa mentah-mentah dengan mata yang terpejam.

“Oh iya, ya.” Ushijima baru sadar akan kelakuan anak-anaknya yang membuat geleng-geleng kepala. Walau kaya sejak lahir, ia bukan tipe yang senang menghamburkan harta untuk hal-hal yang tidak penting.

Ushijima kemudian menatap Oikawa yang tengah terlelap dengan wajah manisnya yang menggemaskan. Saking gemasnya, Ushijima pun mengecup pipi Oikawa sekali. Namun, ketika Ushijima hendak mengecup Oikawa sekali lagi, Oikawa mendorong wajahnya dengan telapak tangan.

“Nanti malam horny-nya, Waka. Tooru ngantuk banget,” ucap Oikawa dengan suara parau khas orang tidur.

Ushijima terheran-heran sendiri walau agak kecewa karena gagal mencium suaminya yang menggemaskan itu. Ia kan hanya gemas, bukan turned on di siang bolong.

Tapi barusan Oikawa memanggilnya “Waka”, gemas sekali!

Oikawa’s Vlog – Crazy Rich Fam

.

Halo, guys. Balik lagi sama gue, Oikawa Tooru, di channel Oikatube.

“Oikawa, kamu kan gak punya channel Youtube.”

Haduh, kalian jangan dengarkan suara aneh itu, ya. Biarin aja suruh berkokok sendiri.

Yah, seperti yang kalian tahu, gue dan suami gue punya anak kembar dan gak pernah sekalipun liburan berdua—

Honeymoon, Oikawa.”

ISH BACOT LO SAPI! BISA DIEM GA?!

Astaghfirullahalazhim, capek gue punya suami kek gini. Tapi gue sayang juga, sih, kadang. Kadang, lho.

Oke, kembali ke topik. Hari ini, kami mau liburan ke Sumba—USHIJIMA AWAS YA JANGAN MOTONG!

“Saya lagi diem, lho.”

Hari ini, kami mau liburan ke Sumba mumpung gue sama Ushijima lagi sama-sama senggang. Agak risky, sih, ninggalin Si Kembar di rumah. Tapi bodo amat, gue mau relax dulu seminggu mumpung sempet.

Sekarang ini kami lagi di Soetta. Hai, Ushi!

LO NGOMONG, KEK!

“Katanya saya disuruh diem?”

ALLAHUAKBAR!

UDAH AH VLOG-NYA! Malesin banget Ushi!

Kesan Pertama

Latar waktu: Agustus 2018

Seorang gadis berpakaian anggun melangkah menelusuri food court yang ramai malam hari ini. Matanya terus mencari bentukan tubuh-tubuh dari teman-teman kelompok ospek fakultasnya yang pertama kali ia temui kemarin—syukurlah ingatannya cukup bagus. Pada akhirnya, kakinya spontan melangkah menuju salah satu dari beberapa meja yang digabungkan dan dikelilingi oleh sekelompok orang yang tengah bercanda.

“Halo, guys!” sapa Utahime, gadis itu, dengan ramah.

“Ciaaa, Neng Hime habis dari Bandung, kah?” tanya salah satu penghuni meja tersebut.

Utahime tersenyum. “Iya, tadi sempet pulang dulu. Aku udah mulai ngekost hari ini,” jawabnya.

“Kost di mana?” tanya yang lainnya.

“Di Cikuda.”

“Buset, jauh amat!”

“Mending PP sekalian gak, sih?”

“Nggak, woi. PP kelamaan. Kalo Cikuda kan masih bisa lewat Jembatan Cincin!”

“Ya gimana, orang dapetnya di sana,” jawab Utahime setengah meringis. Ia kemudian menyadari sesuatu. “Ini Akang-Teteh fasilnya belum dateng, gitu?”

“Belum, da. Santai aja,” jawab salah satu temannya.

“Ini dari tadi ge kita gibah doang sambil nunggu pada dateng,” sahut yang lainnya.

Setelah beberapa saat mereka bercengkrama diselingi canda tawa, Akang-Teteh fasilitator ospek mereka pun akhirnya datang hingga mereka pun memulai diskusi mengenai urusan kelompok ospek fakultas.

“Gak gitu, ya. Nanti kan kita buat videonya pake konsep vlog gitu.” Terdengar bantahan dari salah satu anggota kelompok.

Excuse me! Orang ganteng ketinggalan apa?”

Seluruh pasang mata sontak menoleh ke arah pemuda dengan kacamata hitam yang bertengger menutupi matanya. Pemilik surai putih itu menyeringai lebar dengan wajah penuh percaya diri.

Kesan pertama Utahime pada pemuda itu, tidak tahu malu.

“Eh, Gojo Satoru bukan? Akhirnya dateng juga!” seru Teteh Fasilitator.

“Dateng, lah! Udah keren begini masa gak dateng?”

“Buset, ternyata beneran kayak di group chat orangnya. Gue kira cuma aneh di chat doang,” ungkap salah satu anggota kelompok yang duduk di sebelah Utahime.

Utahime setuju. Untuk seorang yang baru menemui orang lain yang belum dikenalinya, cowok yang disebut Gojo Satoru tadi itu sangat aneh, setidaknya menurutnya.

.

Acara diskusi kelompok telah usai. Tiap anggota kelompok kini hendak bertolak ke kost atau rumahnya masing-masing. Mereka berpisah di salah satu pintu mall yang terletak di dekat Hokben. Ada yang membawa kendaraannya sendiri, ada pula yang memesan ojek online. Namun, berhubung di sekitar lokasi kuliah mereka masih banyak pangkalan ojek, tentunya mereka pengguna ojek online perlu berhati-hati.

“Utahime, lo ke Cikuda, kan? Mau nebeng gue gak?” tawar salah satu anggota kelompok mereka.

“Gue pake ojol aja,” jawab Utahime.

“Cikuda ada pangkalan, cuy. Nebeng gue aja mending!”

“Emang kost lo di mana?”

“Di Hegar. Tapi santai, lah, sekalian lewat.”

“Utahime mending bareng gue aja!”

Utahime menoleh dan menemukan sesosok Gojo Satoru yang tengah nyengir-nyengir tidak jelas.

“Gue di Cikuda juga, kok. Bisa barengan,” jelas Satoru tanpa diminta.

“Nah, udah tuh bareng Satoru aja!” Salah satu anggota kelompok tadi mendukung Satoru.

Utahime menimang-nimang pilihannya, kemudian ia pun membulatkan keputusan. “Ya udah, gue ikut lo,” jawab Utahime akhirnya.

Nama-nama lokal Aku Berhijrah (TPB 95)

Uchiha Sasuke: Arga Mahesa Dhiya Ulhaq Yamanaka Ino: Masayu Arianne Dara Nara Shikamaru: Saga Ardian Iskandarsyah Sai: Satria Dhaneswara Akimichi Choji: Fauzi Azhari Haruno Sakura: Safira Hasya Damayanti Namikaze Naruto: Muammar Raihan Nugroho Hyuuga Hinata: Nadja Gayatri Ayuningtyas Tenten: Jemima Isabel Wangsa Fuu: Silviana Sarah Agustina Inuzuka Kiba: Gibran Iskandar Suigetsu: Azmi Dias Hendarto Karin: Ananda Karin Utomo Gaara: Bara Kumala Adiwinata Samui: Samantha Graciella Putri Situmorang

Penolakan ; arka

“Sumpah, Utahime. Gue demen banget sama lo. Mau jadi cewek gue, gak?”

“Sorry, Sat. Gue gak minat sama orang kayak lo.”

Itulah bagaimana Iori Utahime menghentikan seorang Gojo Satoru dari mengejar-ngejarnya seperti orang gila. Yah, walaupun sebenarnya Satoru memang sudah sableng dari sananya. Setidaknya, kini Utahime bisa menjalani hari-harinya dengan sedikit lebih tenang tanpa gangguan Satoru.

“Nasi, tumis kangkung, tempenya dua, sambel. Sepuluh rebu, Neng,” ucap sang Ibu Kantin FISIP pada Utahime.

Utahime mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu, kemudian menyerahkannya pada Ibu Kantin.

Ceu! Dua rebuan sareng sapuluh rebuanna beak. Pang tukerkeun ka fotokopi, punten! (Mbak, dua ribuan dan sepuluh ribuannya habis. Tolong tukarkan ke tukang fotokopi, maaf!)” seru sang wanita paruh baya tersebut pada salah satu rekanannya sambil menyodorkan uang lima puluh ribuan. “Sakedap nya, Neng. (Sebentar ya, Neng.)”

Utahime mengangguk. “Iya, gak apa-apa, Bu.”

Ari Si Neng teh geuningan tumben gak bareng sama Si Satoru. Beda kelas, kitu?” tanya Ibu Kantin.

“Beda jurusan, Bu. Satoru HI, saya AP,” jawab Utahime.

“Oh, si Satoru teh anak HI. Kirain teh sama-sama AP da bareng-bareng terus,” ungkap Ibu Kantin.

“Emang anaknya aja, Bu, yang suka ngikutin saya,” jelas Utahime.

“Ibu kirain pacaran kalian teh, terus putus. Soalnya tadi teh tumben Satoru ke sini sendirian, bayar utang lagi. Kan kaget atuh Ibu teh.” Ibu Kantin bercerita.

Utahime salah. Ia memang tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang Satoru. Walaupun Satoru tidak lagi mengganggunya, orang-orang di sekitar mereka akan terus membicarakan mereka tanpa merasa berdosa.

Dan Satoru terus hadir mengusik pikirannya karena itu.

Hari Kelima UTS: Warga Negara Yang Baik

Tak terasa hari ini sudah hari terakhir UTS. Mata ujian untuk hari ini pun dianggap gampang bagi mayoritas peserta ujian, yaitu PPKN dan lintas minat. Lintas minat dianggap mudah karena tiap siswa di Smaikyuu wajib untuk mengikuti psikotes dan berkonsultasi terlebih dahulu untuk pemilihan jurusan serta lintas minat sejak sebelum KBM dimulai.

Namun tetap saja ada drama (usaha) sontek-menyontek.

“Haah? Elo mau nyontek ke guee?”

“Tolong lah, Bro. Gue kagak paham PPKN. Susah,” Kuroo memelas pada Oikawa.

“Bu Mela ngajar sebegitu jelas masih lo bilang susah? Warga negara macam apa lo, Tet?” cibir Oikawa.

“Kemampuan otak tiap orang kan beda, Bro. Gue gak bisa PPKN kayak lo gak bisa Biologi aja,” jelas Kuroo. “Makanya bantuin lah temen lo ini!”

“Dih, ogah! Lo Kimia aja kagak bantu gue sama sekali!” tolak Oikawa mentah-mentah.

Kuroo meringis. “Ah, elah. Kan itu masa lalu. Gak perlu, lah, lo ungkit-ungkit lagi.”

“Lah, gue aja bisa tuh lolos KKM Kimia tanpa lo kasih contekan. Apalagi elo!” Oikawa kembali mencibir. “Udah ah sono belajar! Warga negara yang baik harusnya kagak nyontek pas PPKN!”

Kuroo tersenyum paksa, kemudian kembali ke tempat duduknya dengan tangan kosong.

.

Kuroo Tetsurou. Nilai UTS PPKN: 40

.

Hari Keempat UTS (Bagian Dua): Heuristik

Oikawa galau.

Ia sudah membolak-balik buku paket sejarah wajibnya, namun sama sekali tidak ada materi yang masuk ke otaknya. Yah, memang yang ia lakukan hanya membolak-balik halaman dengan tatapan malas karena terlalu full-text, sih. Masuk kelas sejarah saja ia tidur.

Oikawa tidak mau remedial. Ia butuh sontekan.

Masalahnya, siapa lagi yang mau sukarela memberi jawaban?

“Ogah. Kalo gue salah ntar lo ngambek,” tolak Kuroo mentah-mentah.

“Cih, pelit!” cibir Oikawa.

Oikawa pun mencari-cari calon mangsa, lalu menemukan Bokuto yang terlihat celingukan. “Woi, Bok!” panggil Oikawa sambil menepuk bahu Bokuto sok akrab.

Rupanya lupa dia habis memusuhi Bokuto kemarin.

“NGGAK, YUKIE! BENERAN GUE GAK MAU NYONTEK LAGI!” Bokuto malah berteriak memelas.

“Hah?” Oikawa bengong dibuatnya.

“Loh?” Bokuto tersadar kalau Oikawa yang memanggilnya barusan. “Kenapa, Bro?”

“Bagi sejarah dong ntar!” pinta Oikawa tanpa basa-basi.

“Lah, gue juga lagi nyari!” sahut Bokuto. Ternyata tadi dia bohong.

“Barengan nyarinya. Kan temen ekskul!” Oikawa merangkul Bokuto.

“Gas, lah!”

Suna yang sedari tadi menonton menghela napas. Ia lalu kembali membaca buku paketnya karena ia pun tidak percaya diri menghadapi ujian sejarah wajib.

.

Kabar baiknya, Oikawa dan Bokuto sama-sama lolos KKM di mata ujian sejarah wajib.