useeoi

Hari Keempat UTS (Bagian Satu): Biologi

.

“Iwa ngeblock gue dong, anjing! Lo gue end, ya, Iwa bangsat!” omel Oikawa.

“Terus bio gimana, anjir? Hitung kancing apa pake Al-Fatihah?” tanya Bokuto khawatir.

“Bok, sekali lagi lo nyontek, gue aduin ke Abah kalo matmin lo hasil nyalin jawaban orang!” ancam Yukie yang kebetulan mendengar keresahan Oikawa dan Bokuto.

Bokuto melongo. “YUKIPPE LO TEGA BANGET AMA GUE!” pekiknya kemudian.

“Lo yang tega, anjir! Curang banget kagak belajar tapi nilainya gede hasil nyontek!”

“Iya, iya, gue gak nyontek lagi!”

“Heh, Bok! Lo mau khianatin gue juga bareng Iwa?” hardik Oikawa galak.

“Oik, bukannya gue gak mau nyontek. Tapi kalo Abah gue tau gue nyontek bisa-bisa gue dibimbelin!”

“Oke, fine! Cukup tau aja gue, Bok!” Oikawa berbalik kesal, kemudian duduk di tempat duduknya.

“Sun, lo yakin banget kagak bisa bio?” tanya Kuroo pada Suna.

Suna menghela napas. “Kalo gua bisa ya gua iyain dah elu sedari tadi,” jawabnya malas.

Kuroo menepuk dahi. “Bio gue juga pas-pasan, pula. Kira-kira soalnya bakal sama kayak tahun lalu, gak, ya?”

“Kagak tau, gua bukan cenayang.” Suna menjawab sambil memejamkan matanya, mengantuk karena melihat bentukan makhluk hidup di buku paket Biologi.

“Ck! Coba aja gue tiba-tiba terilhami kunci jawaban,” Kuroo berdecak.

“Lu kalo penasaran cobain dah cek ntuh amplop soal di depan. Mane tau ade noh kunci jawaban!” celetuk Suna.

Tanpa komando, Kuroo dan Oikawa yang mendengar celetukan Suna langsung berlari menuju meja guru dan membuka amplop soal yang tidak tersegel tersebut.

“Lah, ini kuncinya?” Kuroo bertanya setelah ia menemukan selembar kertas berisi kunci jawaban pilihan ganda.

“WOI MAU LIAT!” seru Bokuto heboh.

“Halah, bacot lo, Bok! Tadi aja lo sok iye ogah nyontek lagi!” cibir Oikawa galak.

“Plis, gue mau nyalin duluan mumpung Yukippe lagi di kamar mandi!” pinta Bokuto memelas.

“Salin bareng-bareng aja napa?” cibir Kuroo.

Oikawa, Kuroo, Bokuto, beserta beberapa peserta ujian lain kini sedang sibuk menyalin kunci jawaban. Hingga akhirnya, bel masuk pun berbunyi dan seluruh tim penyalin kini sudah berada di bangkunya masing-masing.

Kertas soal dibagikan oleh pengawas secara terbalik. Semua yang tadi sempat menyalin memandangi bagian belakang kertas yang putih tak bernoda tersebut dengan wajah menang, apalagi Oikawa dan Bokuto tentunya.

“Silakan dibuka lembar soalnya!” perintah pengawas.

Suara kertas dibalik pun mulai terdengar bersahutan. Namun beberapa teriakan yang tertahan pun turut menyahut.

”... nani the fck, essay semua?!”

.

Hari Ketiga UTS: Calon Islam KTP

.

UTS Fisika pagi tadi berjalan dengan lancar tanpa drama sontek-menyontek yang berarti. Paling hanya Oikawa yang sempat meminta jawaban Hanamaki karena ia stuck di soal vektor terakhir, namun tentu saja ditolak mentah-mentah karena Hanamaki tahu Oikawa cukup jago fisika.

Yang jadi masalah adalah UTS Agama. Berhubung satu ruangan ini muslim semua, tentu saja soal yang diberikan akan sama. Namun, kaum-kaum Calon Islam KTP (karena mereka belum memiliki KTP tentunya) sudah mulai merasa terancam dengan keberadaan mata ujian agama. Mereka pun mulai mencari-cari siswa yang terlihat seperti ahli agama untuk diajak bekerja sama.

“Yak, lo murid kesayangan Bu Dati, kan?” tanya Kuroo, anggota pertama Calon Islam KTP.

“Hooh! Bu Dati sering ngomongin lo di kelas gue,” dukung Bokuto, anggota kedua Calon Islam KTP.

“Mau nyontek ya lo pada?” tanya Yaku galak. “Ogah, ogah! Ke si Suna aja. geh! Dia semua pelajaran jago.”

“Kalo buat agama sih mukanya gak meyakinkan,” komentar Kuroo.

“Gue masih percaya dia mualaf, Yak. Mending lo aja dah yang bantu kita-kita!” tandas Oikawa, anggota terakhir Calon Islam KTP.

“Halah, lo niat nyontek aja masih belagu!” cibir Yaku. “Musnah aja lo semua!”

“Dih, pelit! Kuburannya meledak awas aja!” Kuroo mencibir sambil berbalik. “Dah, lah, kita cari orang lain aja!”

“Ujian agama lo kagak berkah, goblok!” sahut Yaku kesal.

“Mau ke siapa, Bro? Gue gak tau siapa lagi yang tampang ustad,” celetuk Bokuto.

Langkah Oikawa terhenti. Kuroo dan Bokuto pun ikut menghentikan langkah mereka. “Ngape, Oik? Dapet hidayah?” ceplos Kuroo.

Oikawa menunjuk siswa yang duduk di dua bangku sebelah kiri bangku Kuroo. “Itu yang namanya Ennoshita bukan?” tanyanya.

“Lah, iya tuh Ennoshita anak MPLS gue!” seru Bokuto. “Alim dia rajin ngaji ama solat duha!”

Kuroo nyengir licik. “Fix bisa dicontekin,” katanya. Tanpa aba-aba, ia pun langsung mendekati Ennoshita yang terlihat sedang membuka buku paket.

“Ennoshita, kan?” sapa Kuroo dengan aura licik mengintimidasi. “Gue denger lo jago agama.”

Namun Ennoshita terlihat tidak terpengaruh dengan aura Kuroo. “Gak juga, sih. Belajar agama Islam emang wajib hukumnya sebagai muslim,” jawabnya.

Belum apa-apa trio Calon Islam KTP ini sudah tertohok duluan. Namun bukan mereka kalau segini saja sudah mundur.

“Kita-kita mau nawarin bisnis nih sama lo. Lo bagi ke kita bertiga jawaban agama lo pas ujian, nanti kita traktir lo nasi ayam Mbak Suti sepuasnya. Mau gak?” tawar Oikawa.

“Lo mau contekan kimia juga sabi, dah! Si Kuroo jago soalnya,” tambah Bokuto.

“Kimia udah hari pertama, goblok!” sahut Oikawa kesal.

“Oh iya. Gue kan remed,”

Ennoshita menghela napas. “Maaf-maaf, Bro. Gue udah belajar pun gak bakal bagi-bagi jawaban.”

“Ah, elah. Masa iya orang baik kayak lo gak mau berbagi?” bujuk Kuroo setengah mencibir. Sesaat kemudian, ia seperti menyadari sesuatu. “Hah? Lo belum belajar?”

“Belum. Dua pertemuan terakhir juga gue kagak masuk gara-gara tipes,” jawab Ennoshita.

“Waduh, mau dicariin contekan, gak?” tawar Bokuto yang entah mengapa merasa simpati.

“Lo kalo butuh contekan pasti kita cariin, dah!” dukung Kuroo.

“Woi, kok?” bisik Oikawa protes sambil menyikut Kuroo.

“Mayan nanti kalo seruangan lagi bisa dapet bantuan,” jawab Kuroo tanpa suara.

Oikawa mengangguk paham. “Bentar lagi juga dapet kita contekan!” Ia menegaskan perkataan Bokuto dan Kuroo.

Ennoshita beristighfar pelan. “Kagak usah, elah. Santai.”

Kuroo menoleh ke arah pintu dan menemukan seseorang yang ia cari dan kebetulan saja lewat. “Terushima!”

Yang dipanggil menghentikan langkahnya. “Oit?” sahutnya.

Kuroo mengambil kertas bekas kotretan kemarin dan pensil di mejanya, kemudian menghampiri Terushima. Setelah beberapa saat, Kuroo pun kembali. “Kata Terushima guru agama jarang ganti soal ujian tiap tahun. Kuncinya juga itu-itu aja, makanya Terushima minta kunci tahun lalu ke kakak kelas. Kalopun ada yang beda juga gak bakal jauh,” jelasnya.

“Wah, mantep tuh kunci gratis!” sahut Bokuto antusias.

“Ennoshita, gue salinin kuncinya buat lo, ya?” tawar Oikawa. “Tet, bagi kertas!”

“Halah, kotretan lo aja masih bersih,” cibir Kuroo.

Oikawa manyun mendengarnya. Ia pun mengambil kertas kotretannya kemarin serta pensil, kemudian menyalin kunci jawaban bersama Bokuto.

“Buruan, anjir! Udah mau bel!” seru Kuroo.

“Gue nulis dua kali ya, sat. Sabar!” omel Oikawa.

“Jangan pake lama, elah!”

Oikawa pun memberikan sobekan kertas berisi kunci jawaban pada Ennoshita. “Gue tau lo anak baik, jadi gue ikhlas berbagi kunci sama lo.”

“Dah ya, No. Pokoknya lo harus pake biar label lo sebagai ahli agama gak rusak,” Kuroo menepuk-nepuk bahu Ennoshita, kemudian berlalu bersama Oikawa dan Bokuto.

“Bismillah Ennoshita dapet cepe!” ucap Bokuto semangat. “Ennoshita cepe, kita juga cepe,” lanjutnya.

Lagi-lagi Ennoshita dibuat beristighfar oleh trio Calon Islam KTP. Kemudian, ia mendengar langkah kaki mendekat. Ia pun menoleh dan mendapati Suna Rintaro si Dewa Matematika.

“Lu maklumin ae ntuh orang betiga, No. Emang kek gitu sedari orok,” ucapnya pelan dengan tatapan julid. “Heran, dah. Mereka emang kagak nyadar, ape?”

.

“KOK LO KAGAK NYALIN KJ-NYA, SIH?!” Oikawa berseru heboh.

Kuroo yang hanya berjarak dua bangku dari Ennoshita memperhatikan Ennoshita selama ujian sampai ia dipelototi oleh pengawas. Ia jelas ingin teriak karena dilihatnya Ennoshita sama sekali tidak membuka kunci jawaban yang sudah ditulis Oikawa sebelumnya. Oikawa yang menuliskannya tentu saja ingin mengamuk. Namun ia ditahan oleh Kuroo walaupun Kuroo sendiri juga ingin mengamuk.

“No, gue udah dapetin kuncinya susah-susah, loh,” ringis Kuroo.

“Lo sanggup emang tadi ngerjain agama tanpa kunci? Lo belom belajar, loh,” Bokuto berkomentar. “Gue ae kagak sanggup!”

“Gue juga, anjir! Gak paham dah bener!” dukung Oikawa.

“Elu pade kebanyakan setan, ege!” komentar Suna dari bangkunya.

“Bacot lo, Merem!” sahut Oikawa kesal.

Ennoshita beristighfar lagi. “Nyontek bukan perbuatan terpuji. Lebih terpuji nilai lo jelek tapi jujur daripada nilai lo 100 hasil nyontek,” jawabnya.

Calon Islam KTP kembali tertohok. Apalagi Bokuto yang kemarin mendapatkan nilai 80 hasil menyalin jawaban Suna. Oikawa pun merasa cukup tertohok karena sudah menyontek, belagu pula ia kemarin mengganti jawaban seenaknya.

.

“Nilai agama udah keluar, cuy!”

“Yaku, nilai lo berapa?”

“100, alhamdulillah. Soalnya gampang semua.”

“Lah iya elu calon ustad!”

“Aamiin, sih, tapi ogah.”

“Gue gak heran kalo lo ntar pake baju koko kemana-mana.”

“Ennoshita, lo berapa?”

Trio Calon Islam KTP sontak menoleh pada Yaku yang tengah bertanya pada Ennoshita. Tentu saja mereka penasaran pada nilai yang Ennoshita dapatkan berhubung siswa satu itu sama sekali tidak membuka kunci jawabannya.

Ennoshita tersenyum. “Sama, Yak. Alhamdulillah 100,” jawabnya dengan ekspresi lega.

Kuroo, Oikawa, dan Bokuto melongo dan saling berpandangan dengan wajah memucat.

“Nyet, nilai kita gimana?” tanya Oikawa pelan.

Kuroo terkekeh paksa. “Gak usah diliat. Paling donat,” jawabnya.

Hikmah pertama untuk hari ini. Setidakbelajar apapun seseorang yang pandai di suatu bidang, pastinya tidak akan sebodoh orang yang sudah tidak pandai, tidak tahu diri pula dengan tidak belajar.

“Kagak, nilai lu pade kagak bakalan nol mutlak, elah. Kalem ae,” Suna tiba-tiba menyahut.

“Apaan lo ngikut-ngikut?” sahut Oikawa galak. Rupanya lupa dia kalau kemarin habis mendapat sontekan dari Suna. Yah, walau ia belagu, sih.

“Kira-kira peluang lu pade buat jawab bener di tiap soalnye nih seperdualima. Peluang lu pade buat dapet cepe kek Ennoshita noh baru seperdualima dipangkatin 50 karena total 50 soal,” jelas Suna.

“Bacot Suna!” sahut Kuroo kesal.

“Lo mau nenangin apa bikin makin panik, sih, anjing?!” omel Bokuto.

“Yeu, gua ngomong serius, nih! Lagian ape kagak nyadar lu pade kalo Bu Dati guru baru? Pak Abdul yang guru lama ngajar IPS doang lagi sekarang mah!”

Oikawa, Kuroo, dan Bokuto terdiam. Apalagi Kuroo, karena ia baru sadar kalau Terushima anak IPS makanya santai saja meminta kunci jawaban.

Hikmah kedua untuk hari ini. Kalau mau cari kunci jawaban ke ruangan lain, pastikan soal ujiannya sama.

.

“Tet, nilai lo berapa?”

“56. Lo?”

“Anjing, lo gak pake semua kuncinya, ya? 32 gue.”

“Gue paham dikit doang.”

“Kurtet bangsat kagak ada solid-solidnya lo emang sama gue sama Bokuto!”

.

Hari Kedua UTS

Oikawa terbengong-bengong memandangi catatannya yang tidak jelas beserta latihan-latihan soal kemarin yang sama tidak jelasnya.

Sesulit-sulitnya soal Kimia kemarin, ia sangat yakin kalau soal Matematika Peminatan hari ini akan jauh lebih sulit. Guru yang mengajar terkenal tidak jelas dalam memaparkan materi dan latihan yang diberikannya pun terkenal sulit. Apalagi soal ujiannya. Bahkan rumor yang beredar mengatakan bahwa 90 adalah nilai tertinggi yang dapat dicapai murid-murid kelas 10 yang diajari oleh guru tersebut, dan itu pun jarang. Sedangkan KKM-nya masih di angka 75.

Apa tidak mampus?

“Bok, lo yakin bisa?” tanya Oikawa pada Bokuto yang duduk di sebelah kirinya.

Bokuto menggeleng dengan wajah memelas. “Demi Allah gue kagak paham,” ringisnya.

“Lo ada catetan minggu kemaren, gak?”

“Ya kan gue juga turnamen bareng lo!”

“Oh iya,” Oikawa baru ingat kalau Bokuto satu ekskul dengannya dan sama-sama diajak untuk menjadi cadangan di turnamen minggu lalu.

“TERUS GUE NGERJAINNYA GIMANAAAA?!” Oikawa kemudian berteriak frustrasi sendiri. “IWA-CHAN KENAPA LO DI RUANGAN LAEN, SIH?!”

“Mending belajar dah sono daripada jejeritan kagak jelas!” Terdengar gerutuan Suna dari sebelah kanan Oikawa.

Oikawa menoleh. Terlihat Suna yang baru datang dengan wajah mengantuknya tengah melepas jaketnya.

Bukan Oikawa namanya kalau tidak memanfaatkan peluang menyontek pada orang pintar ketika kepepet seperti ini.

“Sun!” Oikawa memanggil Suna.

Yang dipanggil hanya menatap Oikawa dengan tatapan bertanya.

“Bagi jawaban jadi kan?” tanya Oikawa memastikan. “Gak usah semua, sampe kira-kira lolos KKM aja lah.”

Suna mengerutkan dahinya sejenak. Ia kemudian mengangguk. “Ntar gua kasih,” jawabnya tanpa beban. Oikawa bersorak riang mendengarnya.

“Mau juga, woi!” seru Bokuto heboh.

“Iye, gampang,” jawab Suna malas. Bokuto pun turut bersorak riang.

“Kalem, goblok! Ntar pada minta!” omel Oikawa pada Bokuto.

“Lo juga jejeritan, anjir!” Bokuto membela dirinya.

.

Ujian Matematika Peminatan dimulai. Pengawas mata ujian ini adalah Pak Mizoguchi yang seperti makan gaji buta. Bukannya berkeliling atau setidaknya memperhatikan gerak-gerik para peserta, Pak Mizoguchi malah tertidur di meja guru.

Tentu saja sikapnya tersebut membuat merdeka para otak kriminal tidak pro seperti Oikawa dan Bokuto. Apalagi ujian kali ini pilihan ganda, jalan setan pun semakin mudah untuk dilalui.

“Oikawa!” bisik Suna.

Oikawa menoleh, kemudian mendapati Suna yang tengah menyodorkan sobekan kertas kotretan padanya. Senyuman pun mengembang di wajahnya.

“Makasih!” bisik Oikawa sambil mengambil sobekan kertas tersebut. Oikawa pun langsung membuka kertas tersebut dan mulai menghitamkan jawaban sesuai dengan jawaban yang Suna tulis.

“Oikawa, buruan!” bisik Bokuto.

“Sabar!” Oikawa menyahut kesal, tetap berbisik tentunya. Ia pun lanjut menyalin jawaban.

Bentar, dah. Tadi pagi bukannya di chat si Suna bilang belom belajar? pikir Oikawa tiba-tiba. Ia lalu menepukkan dahinya ketika menyadari bahwa dirinya melupakan fakta tersebut. Pada akhirnya, ia pun memilih untuk hanya menyalin sebagian jawaban yang terlihat meyakinkan. Selebihnya, ia memilih opsi jawaban lain yang menurutnya lebih benar. Padahal ia sendiri hanya sanggup menghitung sampai setengah jalan.

“Oikawa!” bisik Bokuto, kali ini dengan wajah agak panik.

Oikawa pun melipat kembali sobekan kertas dari Suna dan menyerahkannya pada Bokuto. Tidak, ia sama sekali tidak memberitahu Bokuto kalau Suna sebenarnya belum belajar.

Siapa suruh mintanya numpang ke gue? Dah lah, ini mah fix gue lolos KKM! batin Oikawa licik.

.

“Matmin dah keluar, woi!” teriak Kuroo mengumumkan.

“Lo berapa, Kur?” tanya salah satu peserta.

Kuroo tersenyum bangga dan memamerkan layar HP-nya. “90, lah! Emang gue doang yang mampu ngadepin soal Pak Batu!”

“Anjir, Kuroo sakti bener emang!”

“Lah, Bok, lu pake jin mana bisa dapet 80?!”

Oikawa terkejut mendengar seruan Yukie. Ia menoleh dan mendapati Bokuto dengan wajah senang namun panik.

“Gu-gue gak tau. Ngasal,” jawab Bokuto gugup sambil meremas-remas HP-nya.

“Gila, gila! Bokuto sakti mandraguna emang dispen-dispen juga dapet 80 di ujiannya Pak Batu!”

“SUNA PAKE PELET APAAN LO BISA DAPET 100?!”

“Kagak tau. Gua cuma pernah kelarin Kumon ampe gumoh.”

“Oalah, pantesan. Untung masih idup lo!”

“Ini mah sakti mandraguna level raja!”

Oikawa terduduk lemas sebelum sempat membuka portal belajar. Lebih baik ia tidak usah tahu nilainya dulu sampai dirinya siap lahir batin.

“Bro, remed lo?” tegur Kuroo. “Lemes amat!”

“Belom buka,” jawab Oikawa seadanya.

“Kagak bakalan remed die,” celetuk Suna. “Tadi bilangnya lancar jaya, kok!”

TAPI GUE GANTI SETENGAH JAWABAN LO, ANJIR! AUTO REMED LAH! pekik Oikawa dalam hati.

Kini yang Oikawa petik adalah sebuah hikmah. Jangan belagu kalau sudah dikasih sontekan gratis sama orang pintar.

Emm, seharusnya sih jangan coba-coba untuk menyontek, ya.

Hari Pertama UTS

“Kur,” Kuroo mendengar suara Oikawa memanggilnya.

“Apa?” Tanya Kuroo.

“Temen gue kan lo?” Oikawa bertanya dengan nada memastikan.

“Ya, temen. Kenapa?”

Oikawa menepuk-nepuk lengan Kuroo sok akrab. “Bagi UTS Kimia, dong, ntar. Yang gue gak bisa aja, gak mesti semua,” pinta Oikawa sambil nyengir.

“Dih, ogah! Jago gue!” Tolak Kuroo mentah-mentah.

“Ya gue minta ke lo juga karena lo jago!”

“Ogah, ah! Belajar sono!”

Oikawa berdecak kesal. Sungguh Oikawa bukanlah tukang minta-minta jawaban seperti ini. Ia sudah menurunkan setidaknya setengah dari ego serta harga dirinya hanya untuk meminta jawaban pada Kuroo setelah ia mati-matian belajar kimia semalam. Yang Oikawa mau hanya nilai aman supaya ia bisa tetap bertahan di ekskul voli karena rumor mengatakan bahwa UTS Smaikyuu ini seberat SBMPTN.

Padahal ia tertinggal dan kelabakan di hampir semua pelajaran pun karena sebelumnya ia ikut turnamen voli di Yogyakarta selama seminggu tanpa membawa satupun buku pelajaran mentang-mentang dapat dispensasi.

Setelah semua mata ujian hari ini selesai ...

“LAH? LANGSUNG MUNCUL NILAINYA?!” Bokuto berteriak heboh, menarik perhatian satu ruangan.

“Muncul di mana, Bok?” tanya Kuroo dengan intonasi tenang yang dibuat-buat. Padahal dalam hatinya sudah berseru-seru tidak sabar ingin melihat nilai.

Bokuto mengerjapkan matanya dengan ekspresi polos. “Ini di portal Smaikyuu,” jawabnya. “Pembahasannya juga ada.”

Kontan seisi ruangan membuka HP masing-masing dan memeriksa portal belajar online Smaikyuu.

“Kimia lo berapa, Tet?” tanya Bokuto sambil berusaha mengintip HP Kuroo.

Kuroo menyeringai bangga, kemudian memamerkan layar HP-nya pada Bokuto. “Cepe, lah! Lo berapa?”

“Gak usah gitu lo, anjing! Remed gue!” cibir Bokuto galak. “Yang penting Inggris gue aman!”

“Lah, gue juga aman, kali!”

“Ini guru-guru masukin nilai kimia gimana, dah? Perasaan tadi ngerjain di lembar jawaban biasa. Inggris mah iya pake LJK!”

“Mana gue tau!”

Oikawa mengembuskan napas lega karena ternyata ia berhasil lolos KKM di pelajaran kimia walaupun tidak jadi menyontek jawaban Kuroo. Ia ingin sekali pamer, namun Kuroo dan Bokuto sedang ribut. Sedangkan Iwaizumi, temannya sejak kecil, berada di ruangan yang berbeda.

Oikawa kemudian mendengar gerutuan Suna dari bangku sebelah. Ia pun menoleh dan bertanya, “Kenapa? Kimia lo jelek?”

Oikawa percaya diri sekali bertanya seperti itu karena ia melihat Suna mengerjakan kimia sambil setengah tidur. Ia yakin dengan apa yang dilihatnya, jadi ia pun yakin bisa flexing untuk kali ini.

“Kagak. Baru ngeh ae ketuker hukum Gay Lussac ama Dalton di essay. Sisanya palingan ketuker jawaban di PG,” jawab Suna dengan wajah masam.

”... lah? Nilai lo berapa?”

“90.”

Oikawa mengumpat dalam hati. Percuma saja ia flexing nantinya karena yang ia pameri nilai bahkan mendapat nilai lebih tinggi walaupun mengerjakan soal sambil terkantuk-kantuk.