seri

tags: 🔞 humiliation kink, dirty talk, degradation, mention of rimming, praise kink, blowjob.


“kamu beli apa aja, kok banyak banget?”

adalah hal pertama yang hanbin tanyakan saat melihat taerae membawa tas belanja yang berisikan banyak bahan makanan, yang hanbin sendiri nggak tahu untuk apa pacarnya membeli sebanyak itu, karena dia sendiri pun jarang masak.

“stok makanan untuk beberapa minggu kedepan, kak.” taerae meletakkan barang belanjaan di meja dapur. nggak lupa juga dia membereskan satu-satu bahan makanan itu ke dalam kulkas dan lemari. tapi ada satu hal yang membuat hanbin kaget— pacarnya yang lebih muda satu tahun itu membeli lebih dari satu kondom. menurutnya itu sangat banyak.

“kamu ngapain anjing beli sebanyak itu?”

“kuat nggak? makan dulu deh ya. aku masakin nanti kamu makan habis itu mandi, sekalian bersih-bersih alias douching.”

buah anggur yang dipegang hanbin kini jatuh ke lantai. semua karena omongan taerae barusan. entah apa yang ada dipikirannya sampai bisa membicarakan hal itu dengan santai, kayak emang udah biasa, padahal mereka belum pernah sampai ke tahap itu. taerae yang melihat itu langsung memungut anggurnya, dan membuangnya ke tempat sampah.

“untung anggurnya diskon, sayang banget kak jatuh begini.”

hanbin jelas lagi-lagi nggak paham sama pacarnya, bagaimana bisa habis ngomong begitu dia bersikap seolah-olah nggak berpengaruh sama kondisi hanbin saat ini.

“kamu tuh kenapa sih goblok banget, kayak itu hal serius kenapa gampang banget ngomongnya?”

“ngomongin apa?” taerae masih bingung kenapa hanbin segitu tersinggungnya ketika dia menyuruhnya untuk bersih-bersih. bukan nya itu hal biasa?

“itu tadi kamu nyuruh aku bersih-bersih, kita nggak pernah kan? aku juga belum siap.”

oh, jadi ini yang dimaksud, hanbin menyinggung perihal rimming. kali ini taerae paham kenapa hanbin bersikap seperti itu. memang mereka berdua selama ini belum pernah yang namanya bermain sampai ke tahap itu, bagi beberapa orang hal itu memang mengganggu. mungkin memang kali ini dirinya salah.

“maaf. nggak mau ya? yaudah mandi aja ya, nggak diapa-apain kok.”

“aku udah mandi sebelum kamu ke sini.”

entah kenapa suasana menjadi canggung setelah hanbin bilang kalau dia sudah mandi. taerae melihat pacarnya yang sedang menatapnya itu, tatapan ingin. ia sangat hafal sekali kalau hanbin sudah menatapnya seperti itu, salah taerae juga sudah menyinggung ke arah sana. niatnya makan dulu karena keduanya baru pulang dari kerja yang sangat menguras tenaga dan pikiran itu, tetapi mungkin bakalan ia urungkan niatnya.

“mau makan dulu atau—

“aku needy.

belum sempat taerae melanjutkan pertanyaannya, hanbin sudah lebih dahulu memotong. mengatakan bahwa ia dalam keadaan di mana dirinya ingin dimanjakan lagi oleh sang pacar. “aku nggak laper,” lanjutnya dengan gemetar. walaupun ia gugup saat ini, tetapi dia ingin.

yang lebih muda tertawa kecil mendengarnya, diletakkannya lap tangan di atas meja. “yang nggak laper itu kan lo, bukan gue. capek habis kerja pengennya langsung masak dan makan, tapi pacar gue malah minta dienakin. iya nggak, kak?”

hanbin tau kalau ini sudah memasuki di mana dirinya dan taerae berada di panggung permainan yang mereka ciptakan sendiri, taerae yang sedikit kasar tetapi hal itu membuat dirinya mau lebih. hanbin mau dijahatin terus kalau sama taerae. menurut dirinya, taerae sangat jauh lebih bergairah kalau sudah mode serius, yang membuat dirinya enak sampai mampus.

“iya, mau.”

“mau apa?”

“mau dienakin sama kamu sampe mampus.”

lagi-lagi taerae dibuat pusing sama kakak tingkat yang sangat nakal ini. dilepasnya jaket yang dari tadi memang belum ia lepas. “kalau nggak laper kenapa nggak telanjang aja dari tadi? kan bisa nyambut kedatangan gue yang habis dari belanja terus pas dibukain pintu langsung ngeliat lo yang nggak pake baju, makin semangat nggak sih gue?”

taerae berjalan menghampiri hanbin, “lo juga udah siap mandi, udah bersih katanya. emang jalang banget ya kak tanpa disuruh udah siap mau gue masukin. mana langsung bilang kalau lo needy. hanbin jalangnya siapa?”

hanbin menggeram. semua hinaan taerae barusan membuatnya gemetar, disebut jalang juga nggak membuat dirinya marah, justru hanbin senang dan merasa terangsang untuk kesekian kalinya. padahal, hanya dengan melihat tangan taerae memegang anggur hijau saja bisa membuat dirinya bergejolak, membayangkan mulut taerae mengulum buah itu lalu diberikan ke mulut hanbin lewat ciuman. panas ini sangat panas. pendingin yang ada di ruangan juga nggak membuat badannya kedinginan, justru semakin panas dengan imajinasi nggak terkontrolnya.

“kenapa nggak dijawab? belum tau jalangnya siapa? perlu gue kasih tau nggak nih hanbin jadi jalang cuma untuk gue seorang.”

“jalangnya lo.”

yang lebih muda menyeringai, yang di hadapannya ini adalah lelaki paling cantik dan nakal yang pernah ia temui. sungguh, hanbinnya sangat cantik. “buka kaos lo, kak.”

mereka masih berada di dapur, belum beranjak sedikitpun. ini memang salah satu wishlist hanbin, melakukannya dengan kekasih— lebih tepatnya taerae di dapur kesayangan. dengan suruhan taerae barusan, hanbin nurut. melepaskan kain katun miliknya dan dia letakkan di salah satu kursi.

“celananya kenapa nggak dibuka juga?”

“tadi bilangnya cuma kaos kan?”

“jalang biasanya tanpa disuruh juga udah menelanjangi diri. lo bilang kalau lo jalang gue, sekarang harus gue suruh dulu biar mau dilepas semuanya?”

semua yang diucapkan taerae itu jahat dan kasar, badan hanbin sampai panas dibuatnya. kepala pusing, tapi nagih. dia mau lagi dijahatin sama pacarnya. tetapi untuk kali ini dia ingin nurut, melepaskan celana di depan taerae sebenarnya membuat ia malu. bayangkan saja, taerae melihatnya dengan ekspresi yang datar tanpa ekspresi sama sekali. membuat hanbin bertanya-tanya, apakah badannya nggak bagus sampai membuat taerae hanya diam menatapnya? hanbin berharap pikirannya salah.

“badan lo cantik, kayak orangnya. segala tentang hanbin itu kalau bisa gue jelasin semuanya cantik. apalagi tato yang ada di lengan dan dada lo. punya gue cantik banget, fuck.” taerae menyentuh tato hanbin, setiap mereka melakukannya pasti dia selalu memujinya lebih dulu, meningkatkan semangat dalam berhubungan katanya. nggak lupa selalu ia puji tato milik hanbin yang selalu membuatnya salah fokus. diciumnya tato itu, dengan pelan.

“cium tato akunya udah, sekarang aku mau penis kamu.”

pardon me? beg me first. enak aja langsung gue kasih. padahal lagi enak nyiumin tato cantik lo malah mau ngisep penis gue. sabar, kalau kayak gini mah such as slut.

lagi, hanbin dibuatnya pusing. dihina bagaimanapun justru membuat dirinya lebih gemetar. “please, i want to suck your cock. kakak kamu yang cantik ini, jalang kamu mau ngisep penis kamu sekarang juga, please?”

fuck. kalau boleh jujur hanbinnya sekarang sangat cantik. bahkan tanpa disuruhpun yang lebih tua sudah bersimpuh di lantai, siap dengan apa yang diinginkannya. bola mata yang berbinar itu juga membuat pertahanan taerae runtuh, mata hanbin sangat cocok dengan wajahnya. taerae dibuat kaget oleh hanbin yang saat ini mendekat ke arahnya. dipegang kakinya, hanbin terlihat seperti mengemis akan sebuah penis. wajah kucing lucu seperti roti itu membuat taerae mengulum bibirnya sendiri, sambil tertawa kecil.

“udah nggak tahan banget ya kak?” layaknya seorang majikan ke peliharaanya, taerae mengelus rambut hanbin dengan lembut sambil tersenyum lebar. dan nggak lama, rambut hanbin ditarik pelan. “agaknya muka merah kakak udah keliatan pengen penis gue banget. coba buka mulut lo.”

hanbin menurut, dibukanya mulutnya. “yang lebar dong. kalau sedikit doang mah mana bisa masuk ke mulut lo, kak hanbin.”

“kamu nyuruh aku buka mulut lebar-lebar tapi celana kamu belum dibuka.”

“yaudah, tinggal dibuka apa susahnya.”

hanbin membantu taerae untuk menanggalkan celana pacarnya itu. sedikit susah karena pacarnya kali ini menggunakan jeans yang agak ketat. “kalau nggak bisa, nggak usah aja.”

“jangan gitu. ini udah kebuka.”

“yaudah, buka mulut lo yang lebar.”

hanbin membuka mulutnya dengan lebar, di hadapannya ini sudah ada penis pacarnya yang siap untuk dihisap olehnya. mereka sudah sering melakukannya tetapi suasana kali ini benar-benar berbeda. taerae dapat melihat hanbin yang mengulum penisnya penuh dengan gairah dan keringat yang sedikit bercucuran. ia suka hanbin yang ada di bawahnya. penampilannya dengan mudah membuat taerae tercengang sangking cantiknya. hanbin dengan badan yang nggak dibaluti kain sama sekali, lutut yang menyentuh lantai, dan juga mulut yang diisi penuh dengan miliknya.

fuck,kak hanbin jangan kena gigi lo. it hurts.”

karenanya hanbin berhenti, mengeluarkan penis yang ada di dalam mulutnya. “maaf, maaf banget. taerae sayang, maafin aku. nggak sengaja.” hanbin menangis, air matanya sudah keluar. padahal taerae hanya mengeluh sakit sekali saja.

don't say that.lo emang salah, tapi kan udah minta maaf. udah bagus, pacar gue yang dari tadi ngulum penis gue beneran pinter. my princess hambin.”

bukannya berhenti, tangisan hanbin semakin kencang. tapi dia juga masih sempat memakaikan taerae celananya kembali. kegiatan sebelumnya nggak dilanjutkan. taerae yang melihat itu juga bingung. setelah hanbin selesai, taerae baru bisa mengajak pacarnya berbicara, “kamu nggak mau lanjut, kak? aku nggak papa kok serius. tadi emang sakit, tapi kalau kamu mau lanjut juga aku mau.”

“hanbin nggak mau lanjut, pakein aku kaos sama celana.”

kali ini giliran taerae yang menurut. dengan pelan dan nggak ada omongan lagi dia mulai memakaikan hanbin kaos dan juga celananya. taerae masih melihat hanbin yang menitikkan air mata. “kamu kenapa, kak? karena aku bilang sakit tadi ya terus kamu nggak mau lanjut? apa gimana?”

hanbin nggak menjawab, dia justru menuntun taerae untuk berjalan dekat konter dapur. “aku mau duduk di konter, gendong aku biar bisa duduk di situ,” pinta hanbin dengan suara yang sangat amat pelan.

yang lebih muda menggendong hanbin dan diturunkannya di konter dapur. “cerita ke aku, jangan diem kayak gini ya, kak. kalau aku ada salah dan terlalu kasar maafin aku.”

“aku inget sesuatu.”

“sesuatu apa, kak?”

“waktu pertama kali kita having sex kamu pernah bilang kalau paling nggak suka penis kamu kena gigi atau ke gigit. dari situ aku mulai hati-hati, setiap mau blowjob pasti aku selalu ngelakuinnya pelan dan nggak buru-buru. tapi hari ini aku salah, aku mau nangis. rasanya kayak kamu udah ngizinin aku untuk ngisep penis kamu malah akunya yang nakal kena gigi.”

Oh God.

sangat heran jika dipikir kenapa hanbin menangis sampai hidung lucunya itu menjadi warna merah. tapi setelah pacarnya menjelaskan, taerae jadi paham. mungkin nada bicaranya tadi terdengar galak di telinga hanbin.

“aku nggak marah sama sekali, tadi aku beneran kaget makanya refleks. iya bener aku nggak suka, tapi bukan berarti aku bakalan benci kamu, kak hanbin sayang.”

“mau peluk.”

“iya sini aku peluk.”

hanbin memeluk erat taerae. kakinya ia kalungkan ke pinggang pacarnya. “kamu nginep tiga hari di apart aku karena apa?”

ah, taerae sampai lupa membicarakan yang satu ini.

“nggak jadi tiga hari, cuma malam ini aja. aku mau bilang tapi jangan marah dulu ya, kak. bisa kan?” taerae cuma takut, kalau dia bilang saat seperti ini, dirinya akan dimarahi lagi. dan kayaknya sih bakalan beneran kejadian. hanbin cuma ngangguk aja, dia nggak mengira ini hal serius.

“jadi di kantor aku ada trip gitu ke bali, dan aku harus ikut. katanya aku disuruh jadi interpreter mereka. bakalan ada klien dari luar soalnya.”

“berapa hari?”

“dua minggu doang.”

anjing lah.”

“jangan marah, kak.”

“aku nggak marah bangsat, aku kesel kenapa harus bulan ini. kan aku libur terus kalau nggak ada kamu ya aku kesepian, tolol. kamu pergi aja lah dari apart aku.”

hanbin sudah siap ingin turun dari konter, tetapi ditahan oleh taerae. “jangan gitu, kak. aku cuma malam ini aja ada waktu buat kamu. kalau mau marah nanti aja. i need you.

cemberut adalah hal yang dilakukan hanbin saat ini. memasang wajah kesal di depan taerae. “pokoknya kalau udah sampai bali kamu jangan ngelupain aku. jangan ngelirik yang lebih cantik, jangan sampe kamu kepincut bule.”

“apaan sih, kak? bagi aku mah yang cantik di dunia ini cuma kamu, sama mama aku juga sih.”

“peluk aku lagi.”

“iya kakak, ini dipeluk.”


zhang hao x taerae ditulis sebanyak empat ribu enam ratus kata.

tags self blaming thoughts, boys kissing (just peck kiss not that deep)

academic rivals au, commissioned by yua.


“Lo jadi ikutan lomba paper, Re?”

Sudah ketiga kalinya Chaehyun menanyakan hal ini kepadanya, dan jawabannya tetap sama; Taerae akan tetap mengikuti perlombaan membuat paper yang diadakan oleh kampusnya sendiri. Dia tertarik karena hadiah yang ditawarkan membuat Taerae bergejolak ingin memenangkan perlombaan kali ini.

“Udah berapa kali sih lo nanya?”

“Abisnya si Hao anak kelas sebelah juga ikutan tau, gue cuma takut beasiswa lo dicabut karena dia.”

Taerae mengerutkan dahinya, sumpah seumur hidup, Kim Taerae nggak pernah sekalipun merasa terancam karena seseorang. Jadi bisa dibilang siapapun yang ikut lomba kali ini, dia nggak peduli.

“Si Zhang Hao maksud lo?”

“Iya.”

Zhang Hao, pesaing yang selalu Taerae perhatikan. Mulai dari cara Hao menulis essay-nya, kata-kata yang dia pilih, atau bahkan relasi apa saja yang sudah dibangun oleh anak kelas sebelah si Zhang Hao itu. Kalian boleh menganggap kalau Hao adalah mahasiswa yang selalu bersaing dengannya. Taerae masih ingat bagaimana Hao mengikutinya untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Dia tahu betul kalau Hao nggak mungkin ada pikiran ingin kuliah di kota yang katanya penuh kenangan itu.

Entah Taerae atau Hao yang memiliki rasa obsesi, intinya diantara mereka berdua jika sudah bersaing, nggak ada yang mau kalah. Keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, Taerae dengan kehidupan middle class-nya, dan Zhang Hao dengan kehidupan high class-nya. Makanya, waktu Chaehyun bilang kalau Hao bakalan ikut lomba yang sama dengannya, ia tahu niat terselubung dari Hao. Laki-laki itu nggak mungkin mengincar hadiah, melainkan ia hanya ingin mengalahkan Kim Taerae. Itu saja.

Dan Kim Taerae, jelas ia merasa tersaingi. Hasrat ingin menangnya lebih membuncah detik ini.

“Kan gue nggak peduli, Chae. Gue bisa menang kok dari dia,” ujarnya penuh dengan percaya diri.

Chaehyun, sahabat dekatnya saat di perkuliahaan ini. Bertemu saat orientasi kampus dan berakhir menjadi sahabat karibnya.

Chaehyun yang mendengar jawaban dari Taerae merasa tenang sedikit, walaupun masih banyak khawatirnya. Ia paham kalau Taerae sangat menjaga predikatnya sebagai mahasiswa berprestasi di kampusnya. Dan karena itu juga, Chaehyun menyarankan untuk nggak pernah ikut perlombaan dimana Zhang Hao menjadi saingannya. Si yang selalu peraih nomor satu, kata seantero kampus.

“Chae, lo jangan ngeliatin gue kayak kasihan gitu dong. Gue bisa ngalahin dia, kenapa jadi lo yang pesimis?”

“Terakhir lo bilang gitu, Hao selangkah lebih awal daripada lo, Re. Gue nggak bisa kalau beasiswa lo dicabut terus putus kuliah, guenya sama siapa?”

Taerae menghela nafasnya. Ternyata Chaehyun masih ingat dimana dia dikalahkan oleh Hao di lomba debat kala itu, kalau nggak salah ingat, saat itu terjadi sekitar semester dua.

“Chae, gue nggak pernah se-percaya diri ini tau. Gue yakin kali ini gue pasti menang kok. Walaupun nggak juara satu, mungkin gue bisa lebih unggul nilainya daripada Hao.” Taerae menenangkan sahabatnya, ia nggak mau Chaehyun punya rasa pesimis di depannya. Ia nggak suka.

“Yaudah, mau mampir ke Lawson nggak? Gue lagi pengen odeng.”

“Boleh. Tapi gue ke ruangan sekretariat dulu ya mau ngumpulin berkas.”

Taerae langsung pergi setelah mengatakannya. Berkas yang ingin ia kumpulkan saat ini adalah persyaratan untuk beasiswa ke luar negeri, tepatnya di Perancis. Ia selalu bilang ke siapapun yang baru mengenalnya, kalau suatu saat Taerae pasti akan meninggalkan kota Yogyakarta dan ingin mulai kehidupan di Perancis.

Menjadi mahasiswa berprestasi membuat dirinya dikenal dengan banyak dosen, ia juga perlu membangun relasi yang kuat saat di bangku kuliah. Dan Taerae nggak akan menyia-nyiakannya. Sejak Taerae kuliah, nilainya nggak pernah turun, selalu di angka 4.00.

“Berkas apaan tuh? Ribet banget kayaknya, gue bantu bawain, mau nggak?”

Suara yang paling ia benci itu tiba-tiba menawarkan bantuan. Sangat aneh bagi Taerae. Benar, lelaki yang baru saja ingin membantunya itu adalah Zhang Hao, saingannya dalam memperebutkan gelar mahasiswa berprestasi. Sebenarnya, mereka berdua sudah mendapatkan gelar itu, karena keduanya selalu berada di tingkat yang sama perihal nilai. Dan hal itu, membuat Taerae muak karena terus disandingkan oleh Zhang Hao.

“Nggak usah sok kenal.” Taerae memandang Hao dengan tatapan kesal.

Saat Taerae bersikap ketus padanya, Hao hanya bisa tertawa kecil. Entahlah, ia paling suka kalau melihat Taerae kesal karenanya. Mungkin bisa dibilang itu termasuk hiburan bagi Hao.

“Lo doang mah gue kenal, Re. Sahabat sejati nggak sih? Dari dulu setiap ada lo pasti selalu ada gue.” Hao hanya berniat menggoda Taerae, yang diomongin sama dia barusan juga nggak ada benarnya, karena mereka nggak pernah sesering itu bersama.

“Lo nggak usah ganggu deh. Urusin aja paper lo.”

“Oh, Kim Taerae ini ikutan lomba juga ya? Asik dong, gue saingan lagi sama lo.”

“Apa asiknya?”

Hao menatap Taerae tepat di kedua matanya. Saat Taerae bertanya seperti itu, dia tertawa kecil. Hao mendekat ke Taerae, langkah demi langkah, sampailah ia sekarang di hadapan saingannya itu, hanya berjarak kurang dari sepuluh senti.

“Asik banget kalau ngeliat muka lo natap nggak suka ke gue. Apalagi kalau lo kalah, rasanya pengen gue foto terus gue jadiin kenang-kenangan.”

“Minggir lo, anjing.”

Taerae mendorong badan Hao ke samping, hampir saja jatuh kalau saja ia nggak menjaga keseimbangan secepat mungkin. “Lo jahat banget sama gue, Re,” keluhnya. Nggak lupa juga Hao pasang wajah melas di depan Taerae.

Dan Kim Taerae, hanya memutar bola matanya malas.

Ditinggalnya Hao yang masih mengeluarkan seringaian andalannya. “Let’s see, Kim Taerae. Lo bakalan kalah lagi sama gue.”


Taerae sudah nggak tahu lagi harus apa, harus bagaimana ia menghadapi situasi ini untuk kedepannya. Terhitung sudah lebih dari puluhan kali ia mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah untuk hari ini. Menurutnya, hari ini adalah hari yang mungkin paling sial yang pernah dihadapi. Berpasangan dengan Zhang Hao di acara prodi membuatnya ingin menghilang. Dari sekian banyak mahasiswa di jurusannya, nggak tahu kenapa harus Hao yang menjadi pasangannya.

Dia jelas sangat kesal, terlihat dari raut wajah yang memang menatap nggak suka dengan orang yang saat ini ada di sampingnya. Nggak lain dan nggak bukan, Zhang Hao.

“Re, kok diem aja?” Hao bingung, karena sejak pembagian pasangan, Taerae selalu diam dan nggak menunjukkan raut wajah bahagia sama sekali.

Taerae memicingkan matanya, “Coba lo pikir sendiri, deh,” jawabnya dengan nada ketus.

“Padahal kalau kita pasangan gini enak, loh. Bayangin aja deh mahasiswa yang sama-sama unggul dipasangin. Mereka makin takut nggak sih sama kita? Bahkan gue sama lo bisa main alat musik dan bisa nyanyi juga. Yakin banget nggak mau satu kelompok sama gue?”

Jelas saja Taerae sangat menantikan tugas kali ini, dimana dia bisa menunjukkan bakatnya selain bidang akademik. Naasnya, Hao juga punya bakat yang sama, dan Taerae awalnya nggak mengetahui tentang hal yang satu ini. Dengan omongan Hao barusan, membuat Taerae berpikir sejenak. Memang benar, keuntungan yang didapat pasti adalah nilai A, mereka berdua yakin. Tetapi berjuang mendapatkan nilai A dengan sainganmu sendiri, apakah itu sebuah keputusan yang bisa ia pikirkan lagi? Dia nggak tahu.

Ini semua di luar dugaannya.

Taerae enggan mengakui kalau ia setuju dengan Hao.

“Gimana, Re? Kalau emang lo nggak mau, gue bilang nih ke dosen.”

“Peduli banget sampe lo mau bilang ke dosen cuma karena gue nggak mau.”

“Dengerin gue deh, gue begini mah bukan karena lo, tapi ini kepentingan personal. Gue nggak suka kerja sama orang yang dari awal nggak ada minatnya ke gue, buang waktu.”

Ah, Taerae sampai lupa kalau seorang Zhang Hao itu sangat perfeksionis.

“Yaudah, gue mau.”

“Mau apa tuh? Yang jelas dong.”

Lagi-lagi ia digoda.

“Mau sekelompok sama lo, anjing. Bisa nggak sih nggak usah banyak tanya? Nyebelin.”

“Gitu dong, harusnya dari tadi, Re.”

Sumpah, kalau bisa ia jabarkan tentang perasaannya saat ini, Taerae pasti bakalan jawab kalau dia beneran kesal dengan Zhang Hao. Entahlah, kalau itu berhubungan dengan Hao pasti Taerae kesal sampai mampus.

“Kalau nanti balik abis kelas langsung bahas tentang lagu yang bakalan kita bawain, gimana? Lo nggak bakalan lupa kan kalau Sir Damar cuma kasih waktu empat hari? Jadi tolong banget, Re, usahakan pisahin jadwal part time lo sama projek kita.”

“Hao, tanpa lo suruh juga gue udah paham. Gue bisa urus diri waktu gue sendiri.”

Well, that’s good kalau gitu. Empat hari rutin ketemu gue ya?”

Mau nggak mau Taerae mengiyakannya. Dia beneran nggak tau ini pertanda baik atau buruk, bertemu dengan Hao setiap hari membuat dirinya mungkin bakalan terbiasa sama tingkah konyol nggak jelas yang bisa membuat Taerae naik pitam.


Hari pertama, 25 Juni 2023. Public Us Coffee.

Lebih dari tiga puluh menit Taerae menunggu Hao yang sampai detik ini nggak memunculkan batang hidungnya sama sekali. Ia sangat kesal. Kalau tahu bakalan begini, dia nggak akan datang tepat waktu. Semua waktu yang telah ia atur berantakan sudah, ini semua karena Hao telat. Mereka berjanji untuk mendiskusikan tentang konsep yang akan mereka bawakan saat kelas Music Performance di salah satu kafe Yogyakarta yang cukup ramai, Public Us Coffee.

Yang menentukan semua rencana hari ini adalah Hao, mulai dari jam dan tempat. Tetapi bisa kalian tahu kalau Hao sampai saat ini nggak datang. Taerae sudah mencoba untuk menghubunginya, tetapi lagi-lagi panggilannya ditolak.

“Ah, bangsat. Tau gini gue nggak izin kerja.”

Memang ya menyesal itu pasti di akhir. Taerae sudah mengambil libur sehari karena ia pikir Hao bakalan datang dan nggak telat lebih dari tiga puluh menit. Kacau sudah. Ia sudah kehilangan kesabaran, dia nggak bisa menunggu lebih lama lagi. Baru saja Taerae memasuki tab yang sudah disiapkan tadi, Hao dengan wajah tanpa dosanya menyapanya seolah nggak terjadi apa-apa.

“Hai! Lo udah concepting?” Hao duduk di seberang Taerae. Lelaki itu mengambil minuman yang sudah Taerae pesan, dan tentu saja— meminumnya.

“Anjing ya lo, enak banget udah buat gue nunggu lebih dari tiga puluh menit terus lo malah ngambil minuman gue. Lagi, muncul pake wajah nggak berdosa lo itu.”

“Gue ganti, berapa harganya?”

Taerae menahan amarahnya, sumpah kalau dia lagi nggak di publik, bisa-bisa Hao udah babak belur. “Ini bukan soal duit, Hao. Ini tentang lo yang telat dan nggak sopan.”

“Oh, sorry. Gue minta maaf. Tadi tiba-tiba dipanggil Sir Orbi terus gue sebagai mahasiswa yang teladan, ya langsung pergi. Gue lupa ngabarin lo, Re. Maaf banget ya.”

“Lo bisa aja ngabarin gue. Di sini gue nungguin lo kayak orang bego tau nggak sih? Gue kesel.”

“Gue kan udah minta maaf, Re? Masa masih mau kesel dan marah? Lagipula gue telat nggak sampe satu jam kok, nggak begitu lama.”

“Gue benci banget sama lo, Zhang Hao.”

Kesabarannya sudah nggak bisa ditahan lagi, Taerae pergi dari sana dan tentu saja meninggalkan Hao yang masih nggak merasa bersalah. Hari pertama berdiskusi dengan Hao semuanya sia-sia. Dan sekarang, mereka hanya punya waktu enam hari.

Hari Kedua, 26 Juni 2023. Kelas 2.403, Gedung Sastra.

Setelah kejadian di Public Us Coffee, Taerae mulai menegaskan ke Hao kalau mereka ini tim, dan nggak seharusnya bersikap nggak peduli sama keadaan sesama tim. Juga, ia yang menetapkan dimana dan kapan mereka akan berdiskusi untuk penampilan mereka.

Saat Taerae memasuki kelas yang jadi tempat diskusi dengan Hao, dia melihat lelaki yang ia benci itu sudah sampai lebih dulu. “Langsung pilih lagu aja, ya. Gue nggak bisa lama-lama soalnya izin kerja cuma sebentar.” Taerae mengatakannya setelah dia meletakkan tasnya di kursi.

“Kenapa izinnya cuma sebentar?”

“Kemarin kan gue udah izin libur, tapi yang bikin janji sama gue malah telat. Hari ini gue udah nggak bisa ambil libur lagi.”

Hao sadar kalau yang dimaksud Taerae itu adalah dirinya. “Iya, Taerae. Maafin gue ya sekali lagi. Ini gue udah nggak telat kok.”

“Emang udah seharusnya begitu sih.”

“Lagunya lo aja deh yang milih, gue apa aja bisa.” Hao menyerahkan semuanya ke Taerae, sebenarnya kalau boleh jujur dia memang percaya kalau Taerae bakalan milih lagu yang sesuai dengan keduanya. Selain karena dia malas memikirkan lagu yang pas juga sih.

“Gue kepikiran lagunya Seventeen deh, lo tau mereka nggak?”

“Harus lagu Indonesia, Re.”

“Iya, Hao. Ini ngomongin Seventeen Indonesia, bukan Korea.”

“Gue tau sih, mau lagu yang judulnya apa?”

Jaga selalu hatimu.”

“Lo lagi cinta banget sama seseorang apa gimana?”

Taerae memberikan respon nggak suka sama pertanyaan Hao barusan. Pertanyaannya sangat menyebalkan. “Emangnya gue harus jatuh cinta dulu untuk nyanyi lagu cinta? Kan nggak ya, Hao. Gue suka aja lagunya, artinya juga dalem banget.”

“Sedalam apa tuh? Sedalam perasaan benci lo ke gue nggak, Re?”

“Bisa nggak anjing sehari aja nggak sih?”

“Iya Re, maaf lagi. Tapi menurut gue aneh deh, gue nggak mau nyanyi melodi yang agak sedih gitu. Gimana kalau lagunya Hivi! aja? Terserah deh yang mana aja, gue ngikut.”

Hivi! ya? Kalau yang Remaja gimana?”

“Duh, mending yang Tersenyum, untuk siapa? itu deh. Gue suka banget, Re, sama lagu itu. Pertimbangkan lagi coba permintaan gue yang nggak seberapa ini.”

Lagi-lagi Hao membuat Taerae kesal.

Bayangkan saja mereka sudah berdiskusi selama satu jam tetapi belum menemukan lagu siapa yang akan mereka bawakan nanti. Setiap Hao memberikan saran nama suatu artis, Taerae selalu menjawab satu lagu kesukaannya, tetapi Hao nggak mengindahkannya. Dia justru memberikan opsi lain, begitu saja terus dan nggak ada ujungnya.

“Kalau gitu mah mending lo aja yang milih, bangsat. Dari tadi gue sebutin judul dari artis yang lo mau malah ngasih opsi lain terus. Minimal mikir deh, capek gue kalau kayak gini terus.”

“Istirahat kalau capek, Re. Sini duduk di pangkuan gue.” Hao menarik tubuh Taerae secara tiba-tiba, membuat yang ditarik itu jatuh ke pelukannya. Entah, ini modus atau apa. Cuma Hao saja yang mengerti.

“Zhang Hao brengsek!”

Taerae menampar pipi Hao.

Hao langsung memegangi pipinya yang panas akibat dari tamparan Taerae barusan. “Kok lo nampar gue sih, bangsat? Gue kan cuma pengen ngasih lo perhatian karena lo bilang kalau capek, Re.”

“Perhatian apa sih? Lo tinggal diem doang aja udah buat gue bersyukur daripada lo ngomong dan ngelakuin hal nggak jelas kayak tadi. Gue muak.”

“Turunin ego lo dulu. Kita di sini mau bahas tentang penampilan kita ‘kan?”

Ya lo duluan dasar anjing, babi ngepet lo sialan.

Semuanya Taerae keluhkan di dalam hati, karena kalau ia bilang langsung, pasti keadaan semakin memburuk. Dan lagi-lagi diskusi mereka akan gagal. “Lo juga ya tolong kerjasamanya. Gue nggak suka disentuh, Hao,” jelasnya.

Okay, sorry again. Gue nggak akan begitu lagi.”

“Ya udah, dengerin lagunya dulu aja. Gue belum pernah denger soalnya.”

Taerae mulai memainkan lagu Hivi! yang berjudul Tersenyum, untuk siapa?. Butuh berulang kali untuk mengingat melodi yang ada di lagu itu, nggak lupa juga menafsirkan kalimat setiap kalimat biar Taerae bisa membawakan lagunya dengan sempurna.

Ada satu lirik yang membuat dirinya memikirkan dengan serius. Sesuai dengan judulnya, Tersenyum, untuk siapa?

“Re, besok pengumuman lomba paper.

Ah, Taerae bahkan lupa kalau besok sudah tanggalnya untuk melihat apakah dia lolos untuk beasiswa lagi atau nggak.

“Hao, kalau misalkan besok nggak latihan, oke nggak menurut lo? Gue butuh seharian penuh untuk nyiapin mental gue.” Taerae nggak pernah segugup ini, memang bohong waktu dia bilang ke Chaehyun kalau dia mempunyai sifat percaya diri yang tinggi ketika bilang Gue bisa unggul dari Zhang Hao. Nyatanya sekarang Taerae menciut. Lucu lagi dia izin ke orang yang membuatnya seperti ini.

Hao tampak memikirkan sejenak. Mereka berdua cuma punya latihan sehari penuh kalau memang dia memperbolehkan Taerae untuk izin sehari. “Tapi lo yakin bisa nggak kalau cuma latihan sehari? Gue maunya penampilan kita nggak ada salah lho, Re.”

“Lo jangan ngeraguin gue.”

Fine. Lusa di rumah gue, ya.”

“Kenapa jadi rumah lo, anjing?”

“Pengen aja, biar kalau kemalaman kan lo bisa nginep. Udah sih, semua fasilitas ada di rumah gue kok.”

Dia nggak bisa menolak. Lagi pula Taerae juga yang meminta untuk libur latihan sehari, dan dia juga yang harus menurut sama Zhang Hao untuk kali ini saja.


Gelisah.

Taerae sama sekali nggak bisa berpikir jernih kali ini, dari pagi hingga sore hari, dia sama sekali nggak melakukan apapun, hanya berdiam diri di kamar sambil menatap layar laptopnya yang masih menyala. Chaehyun bahkan sudah menawari untuk menemai Taerae seharian, tetapi lelaki itu menolak, ia nggak mau kalau kesedihannya terlihat. Padahal pengumuman masih dua jam lagi.

Kepalanya sangat berisik.

Ia butuh seseorang untuk diajak mengobrol, tetapi ia nggak mau kalau Chaehyun terus-terusan menanggapi dirinya yang sangat drama ini. “Ah anjing, gue telpon siapa kalau kayak gini.”

Baru saja Taerae ingin merebahkan dirinya dan berniat ingin tidur, ponselnya berbunyi. Tertera nama paling rese satu dunia. Ah, itu Zhang Hao. Sengaja nggak Taerae angkat, dia malas adu mulut dengan Hao. Tetapi ponselnya terus berbunyi dan mengirimkan pesan ‘Re, pengumuman udah keluar. Angkat telpon gue sekarang.’

Taerae nggak paham sama sikap Hao sekarang, kenapa dia menghubunginya begitu pengumuman sudah keluar? Entah Hao bersikap sok dekat dengannya atau memang hanya ingin mengejeknya. Dia belum siap untuk melihat pengumumannya.

“Apasih anjing jangan telpon gue terus, berisik tau nggak?”

“Selamat, Kim Taerae.”

“Hah— maksudnya gue….

“Selamat jadi nomor dua lagi setelah gue.”

Rasanya dunia ini hancur untuk kesekian kalinya. Taerae nggak mengindahkan omongan Hao barusan— tentu saja. Ia sangat tersinggung, terserah orang lain mau bilang dia sensitif atau gimana, tetapi Taerae kecewa; pada dirinya sendiri.

“Re? Lo masih di sana? Sorry gue nggak bermaksud ngejek—

“Gue nggak mau sekelompok sama orang bajingan kayak lo.”

Ia langsung mematikan telepon dari Hao.

Taerae terduduk di lantai. Selalu saja seperti ini, kenapa sih dia nggak bisa mengalahkan Zhang Hao? Kenapa selalu Zhang Hao yang selalu jadi nomor satu dan dirinya selalu kalah? Di dunia ini, nggak ada yang mau melihat nomor dua kalau nomor satu saja sudah menonjol segitunya. Harus bagaimana Taerae bersikap dengan masa depannya yang nggak tau mau dibawa kemana itu. Mungkin bagi kalian sikap Taerae ini berlebihan, tapi perasaannya valid, dengan keadaan finansial yang nggak mendukung, dia sangat kecewa dengan hasil pengumuman kali ini.

Hasil terburuk— ia dikalahkan lagi oleh Zhang Hao.

Memangnya apa sih yang diincar dari Hao waktu mengikuti perlombaan yang nggak seberapa bagi orang kaya seperti dia? Taerae masih heran. Kalau cuma mau menjatuhkan dirinya, berarti Hao adalah orang paling jahat yang pernah Taerae kenal.


Hari keempat, 28 Juni 2023. Rumah Zhang Hao.

Zhang Hao menunggu Taerae lebih dari dua jam, teman satu kelompoknya itu nggak juga muncul. Ia juga sudah menelpon dan mengirimkan SMS sebanyak mungkin, tetapi tetap nggak dibalas. Apa ini karena perkataannya kemarin? Hao rasa nggak mungkin, tetapi— bisa jadi juga sih.

“Apa gue telpon Chaehyun aja, ya?”

Alhasil Hao menelpon Chaehyun, yang ia ketahui sebagai sahabat baik Taerae. Begitu diterima, Hao langsung menanyakan keberadaan Taerae.

“Chae, Taerae lagi sama lo nggak?”

Yang di seberang telpon hanya diam, nggak menjawab pertanyaannya. Ini yang bikin dia heran.

“Halo, Chae? Suara gue nggak kedengeran apa gimana?”

“Brengsek lo, Zhang Hao.”

Hao menjauhkan ponsel dari telinganya, suara Chaehyun sangat keras. “Ini kenapa ya tiba-tiba lo bilangin gue brengsek?”

“Lo tuh manusia tolol, sok pinter, kayak anjing. Bisa-bisanya lo nggak paham kalau omongan kontol lo itu bisa ngebuat orang sakit hati?”

“Oh, ngomongin Taerae?”

“Si anjing.”

“Dimana dia?”

“Rumah gue.”

“Suruh dia kesini, enak aja abis kalah dari gue langsung nggak mau ketemu dan mangkir dari tugas kelompoknya. Katanya si beliau ini tanggung jawab? Kok masalah gini nggak sama sekali sih.”

Setelah Hao mengatakan hal itu, teleponnya mati. Kemungkinan besar Taerae terpancing sama omongannya barusan. Perlu kalian tahu, jarak rumah Chaehyun dan Hao nggak lebih dari dua kilometer, yang artisnya hanya dalam kurun waktu dua menit saja, Taerae bisa langsung sampai di rumah Hao.

Dan benar, nggak lama dari mereka selesai telponan, suara ketukan pintu terdengar. Hao tahu kalau itu adalah Taerae. Dihampirinya lelaki itu— yang mengetuk pintu dengan nggak sabar. Hao membuka pintu rumahnya, muncul Taerae yang memasang wajah seolah mengatakan ‘Gue benci lo banget, anjing. Musnah lo sekarang.’ seperti itu. Hao tahu karena setelahnya Taerae meninju tepat di rahangnya.

Sakit sekali.

“Bajingan lo, Zhang Hao. Gue benci banget sama lo. Nggak pernah sama sekali ngertiin mahasiswa miskin kayak gue.”

Hao memegang rahangnya yang masih sakit itu. “Re, tahan emosi lo bentar dong. Rahang gue sakit nih.”

Taerae lagi-lagi memukul Hao, kali ini perutnya yang kena. Hebat juga ternyata. “Lain kali kalau mau sombong itu jangan sama gue, Zhang Hao. Silahkan sombong ke satu kampus, asalkan jangan sama gue.”

Baru saja Taerae ingin melayangkan pukulan lagi, Hao justru menghalanginya dengan cara menahan pergelangan tangan Taerae. “Kita bisa ngomongin ini baik-baik, Re. Jangan pake emosi.”

“Nggak bisa, gue udah terlanjur benci sampe mampus sama lo. Lagian kenapa juga sih lo ikutan lomba buat dapet beasiswa? Orang kayak lo itu nggak butuh, Hao. Sengaja banget mau pamer ke gue apa gimana sih?”

“Lo kenapa benci banget sama gue sih, Re?”

“Lo lupa?”

“Lupa apa? Lo tau sendiri kan kalau gue orangnya emang nggak pernah inget yang dulu. Gue ingetnya lo udah benci gue aja gitu waktu awal kuliah.”

“Lo lupa apa ya anjing. Lo itu pernah nuker sendal kesayangan gue waktu jaman SMA, di lab biologi. Itu sendal mahal, harganya lima ratus ribu. Gue kerja pake duit sendiri terus dengan seenaknya lo nuker bangsat Zhang Hao.”

“Re.”

“Apa?”

“Jadi ini semua karena sendal kita ketuker?”

“Nggak cuma. Lo nggak paham sama perasaan gue waktu masih kecil dulu SMA kelas satu.”

“Re? Yang bener aja ini karena sendal?”

“Zhang Hao apaan sih? Ya nggak sendal doang anjing, lo tuh kerjaannya bikin gue naik darah mulu. Setiap hari gangguin nggak jelas, sok pinter banget kalau di depan guru, terus pas kuliah ketemu lagi. Sialnya lagi satu jurusan walaupun beda kelas utama. Terus ya Hao, lo tuh kayak anjing tau nggak?”

“Nggak tau, Re. Coba jelasin.”

Fuck. I hate you sampe gue mati. Dengan seenaknya lo daftar lomba sama kayak gue terus dan lo menang bekali-kali, kalau aja Chaehyun nggak nahan gue, pasti lo udah gue—

Brengsek.

Zhang Hao tiba-tiba mencium bibirnya. Ini semua aneh. Situasi macam apa sih ini?

“Hao anjing lo—

“Berisik banget sih, Re. Mau gue tutup pake tangan tapi gue belum cuci tangan. Yaudah gue cium aja. Eh, tapi itu nggak termasuk ciuman sih ya? Kan kecup doang. Mau nyoba lagi nggak?”

Anjing.


Hari Keempat, Music Performance, 29 Juni 2023. Pendopo Kampus.

Taerae sama sekali nggak pernah nyangka kalau penampilan mereka bakalan ditonton satu jurusan. Dia cuma dikasih tahu kalau memang bakalan ada yang nonton, tapi nggak sebanyak ini juga pikirnya. Taerae memang biasa kok tampil di hadapan orang banyak, tapi kali ini rasanya berbeda. Menyanyikan sebuah lagu bersama Zhang Hao, dengan lagu yang mencurigakan pula. Kemarin, setelah kejadian yang nggak disangka bakalan terjadi antara mereka berdua itu, Taerae dan Zhang Hao melakukan rekaman video agar penampilan hari ini nggak begitu berantakan. Itu saja harus berulang kali take-nya karena Hao yang tertawa terus tiap ada lirik yang menurutnya aneh.

Video mereka berdua Taerae perlihatkan ke Chaehyun, dan respon pertama yang perempuan itu tunjukkan adalah wajah datar tanpa ekspresi sambil melihat videonya. “Yang milih lagunya siapa, Re?” tanya Chaehyun.

“Zhang Hao. Aneh ya?”

“Kalau soal lagunya sih nggak aneh ya, tapi raut wajah lo berdua yang aneh.” Chaehyun mengembalikkan ponselnya. Jawaban sahabatnya itu membuat dia bingung.

Emangnya ada yang salah ya?

“Re, tiga orang lagi kita tampil.” Hao langsung menariknya dan nggak dilihatnya Chaehyun yang ada di samping Taerae itu.

Bohong kalau Taerae bilang dia nggak gugup, mereka berdua menunggu di belakang pendopo yang nggak kelihatan penonton. Konsep yang ditampilkan mereka berdua juga sesuai judul, anak remaja yang sering adu mulut tapi nggak sadar kalau sebenarnya mereka juga menyimpan perasaan selain saling membenci. Dan alasan lain yang membuat Taerae merasa gugup adalah kejadian kemarin. Hao terlihat biasa saja dan nggak kelihatan seperti kalau di hidupnya dia pernah sengaja mencium bibir Taerae.

Hal itu membuat Taerae bingung. Berpikir kalau memang Hao memang memiliki sifat seperti itu dan mencium lawan bicaranya yang berisik. Ini adalah pikiran aneh, tapi Taerae juga nggak bisa berpikir hal lain. Baru saja ia berniat untuk bertanya ke Hao, lagi-lagi lelaki itu membuatnya kaget karena secara sengaja Hao menautkan tangan mereka berdua.

“Lo emang suka skinship ya?”

Hao menoleh ke arah Taerae, melihat pasangannya untuk duet hari ini menunjukkan wajah penuh tanda tanya dan bingung. “Nggak juga sih. Kenapa tuh?” Beginilah Zhang Hao, seolah nggak paham apa yang dia lakukan kemarin dan tentu saja, barusan.

“Lo cium gue kemarin, terus sekarang pegang tangan gue.”

“Bukannya gue udah bilang ya? Kemarin karena lo berisik, makanya gue cium. Kalau hari ini gue pegang tangan lo karena lo gugup.”

“Terus kalau lawan bicara lo berisik juga lo cium?”

“Nggak.”

“Kenapa?”

“Re, mereka mah kalau gue bilang diem ya pasti menciut. Kalau lo kan harus gue cium dulu baru diem, udah gue bilang berhenti ngoceh tapi masih aja.”

Boleh nggak Taerae menganggap kalau jawaban nggak masuk akalnya Hao barusan itu berarti dia spesial? Tolong biarin manusia satu ini memiliki ekspektasi tinggi ya. Ini bukan berarti dia menyukai Hao, dia hanya suka afeksi yang Hao kasih. Itu saja dan nggak lebih.

Taerae tersadar dari lamunannya saat Hao menyenggol pelan pundaknya. “Re, nama kita udah dipanggil.” Hao menuntun Taerae untuk naik ke panggung buatan untuk mereka tampil.

Dan sekarang, semua mata tertuju ke mereka berdua.

Mereka berdua itu sangat terkenal satu kampus, makanya kalau cuma jurusan begini mah teriakannya pasti paling besar di antara yang lain. Apalagi nggak biasa juga pemandangan saat ini, dimana Hao dan Taerae yang akur dan nggak adu mulut, khusus di panggung sih tentu saja. Suara Hao memenuhi sekitar pendopo, nggak lupa diiringi suara gitar yang Taerae mainkan. Baru bait pertama, penonton sudah heboh.

gemar sekali kita bersilat lidah

Bangsat. Ini mereka berdua sengaja ya lagunya tentang mereka banget gitu?”

“Emang boleh sejelas ini?”

Hanya sebagai rival mereka dikenal, nggak lebih. Mereka mana tahu kalau bibir keduanya sudah pernah bersentuhan. Nggak ada yang tahu kalau mereka berdua itu hubungannya lebih dari sekadar rival, walaupun lebihnya nggak sampai bisa disebut pacaran. Kalau yang itu sih mana bisa.

Dan ku tersenyum entah untuk siapa?

Lirik ini, mereka menyanyikannya berdua.

Awalnya Taerae pikir lagu yang dipilih oleh Hao ini cuma lagu favoritnya dan nggak ada yang mesti dikhawatirkan mengenai liriknya. Tetapi kali ini dia salah. Sampai dimana dia melihat notes kecil yang di ada di dalam gitarnya, yang katanya nggak ada orang yang boleh tahu selain mereka berdua.

Re, lagu yang kita bawain itu sebenarnya isi hati gue ke lo. Tapi tolong sebelum gue nyanyiin depan lo secara serius, jangan diungkit ya. Gue malu. Ajak ngobrol waktu habis tampil, boleh.

Tentu saja hal itu membuat Taerae sempat kehilangan fokusnya. Makanya waktu lirik itu dinyanyikan, dia melihat ke arah Hao, dan benar. Hao tersenyum saat menyanyikannya. Definisi mempersembahkan lagu untuk seseorang tetapi kali ini Hao menyanyikannya bersama Taerae, seseorang yang memang ia dedikasikan atas penampilannya kali ini.

Tanpa sadar, Taerae juga ikut tersenyum. Bertanya siapa dalang di balik semua senyumannya hari ini. Dia nggak mau repot, karena memang senyuman lebarnya ini untuk rival-nya yang paling ia benci, Zhang Hao.

Entah karena apa menanti-nanti akhir cerita

Siapa sih yang nggak penasaran sama hubungan Hao dan Taerae selanjutnya? Kalau mau dipikir keras pun mereka juga nggak akan lanjut ke hubungan yang lebih serius alias pacaran. Selalu berbeda pandangan, setiap hari bersilat lidah, pun saling meremehkan satu sama lain di bidang akademik walaupun nggak dengan cara kotor.

Tiga menit sudah mereka tampil, waktu mau turun dari panggung kecil, Hao memberi isyarat ke Taerae agar mengikutinya. Taerae nurut, diikutinya Hao yang ternyata menuntun ke ruang himpunan yang kosong dan nggak ada orang di sana.

“Re.”

Taerae bisa melihat kalau Hao yang ada di hadapannya saat ini mau ngomong sesuatu. Memanggilnya dengan lembut. “Gimana?”

Notes yang gue kirim ke lo itu bener.”

“Iya, paham.”

“Termasuk bagian sudahi saja.

“Maksudnya?”

“Ini dari awal udah salah, Re. Gue sama lo emang harusnya jadi rival aja sih. Gue salah, gue minta maaf banget udah nyium lo kemarin. Tapi untuk pegangan tangan gue nggak akan minta maaf, karena saling benci juga tetep bisa pegangan tangan.”

“Bentar, Hao. Lo kenapa deh? Gue kan nggak pernah nuntut lo untuk jadi pacar gue pas lo sengaja nyium itu. Gue juga nggak paham deh kenapa lo sampe ngerasa bersalah segitunya sama gue. Hao, dari awal sampe sekarang, atau bahkan kedepannya kita berdua kan nggak akan sampai ke tahap yang lo tau maksud gue apa.”

“Gue cuma kepikiran waktu lo nanya gue suka skin-ship apa nggak. Rasanya pas itu gue jadi ngerasa bersalah nya gede banget, gue pikir lo naksir sama gue, Re. Makanya gue takut.”

Taerae tertawa miris, nggak tahu kenapa Hao bisa sampai ada pikiran seperti itu. “Kebanyakan nonton sinetron lo. Gue nggak akan suka sama orang yang gue benci kan? Gue senyum ke lo, bahagia karena lo, nggak menutup kemungkinan kalau kebencian gue ke lo ilang, Hao.”

“Iya kan?”

“Iya. Gue nggak naksir lo, kok. Ciuman mah biasa bagi gue, cuma tadi gue nanya karena ini dicium sama Zhang Hao.”

“Terus kalau gitu, mau lanjutin ciuman yang kemarin nggak, Re?”

Sial.


zhang hao x taerae ditulis sebanyak empat ribu enam ratus kata.

tags cw // self blaming thoughts, boys kissing (just peck kiss not that deep)

academic rivals au, commissioned by yua.


“Lo jadi ikutan lomba paper, Re?”

Sudah ketiga kalinya Chaehyun menanyakan hal ini kepadanya, dan jawabannya tetap sama; Taerae akan tetap mengikuti perlombaan membuat paper yang diadakan oleh kampusnya sendiri. Dia tertarik karena hadiah yang ditawarkan membuat Taerae bergejolak ingin memenangkan perlombaan kali ini.

“Udah berapa kali sih lo nanya?”

“Abisnya si Hao anak kelas sebelah juga ikutan tau, gue cuma takut beasiswa lo dicabut karena dia.”

Taerae mengerutkan dahinya, sumpah seumur hidup, Kim Taerae nggak pernah sekalipun merasa terancam karena seseorang. Jadi bisa dibilang siapapun yang ikut lomba kali ini, dia nggak peduli.

“Si Zhang Hao maksud lo?”

“Iya.”

Zhang Hao, pesaing yang selalu Taerae perhatikan. Mulai dari cara Hao menulis essay-nya, kata-kata yang dia pilih, atau bahkan relasi apa saja yang sudah dibangun oleh anak kelas sebelah si Zhang Hao itu. Kalian boleh menganggap kalau Hao adalah mahasiswa yang selalu bersaing dengannya. Taerae masih ingat bagaimana Hao mengikutinya untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Dia tahu betul kalau Hao nggak mungkin ada pikiran ingin kuliah di kota yang katanya penuh kenangan itu.

Entah Taerae atau Hao yang memiliki rasa obsesi, intinya diantara mereka berdua jika sudah bersaing, nggak ada yang mau kalah. Keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, Taerae dengan kehidupan middle class-nya, dan Zhang Hao dengan kehidupan high class-nya. Makanya, waktu Chaehyun bilang kalau Hao bakalan ikut lomba yang sama dengannya, ia tahu niat terselubung dari Hao. Laki-laki itu nggak mungkin mengincar hadiah, melainkan ia hanya ingin mengalahkan Kim Taerae. Itu saja.

Dan Kim Taerae, jelas ia merasa tersaingi. Hasrat ingin menangnya lebih membuncah detik ini.

“Kan gue nggak peduli, Chae. Gue bisa menang kok dari dia,” ujarnya penuh dengan percaya diri.

Chaehyun, sahabat dekatnya saat di perkuliahaan ini. Bertemu saat orientasi kampus dan berakhir menjadi sahabat karibnya.

Chaehyun yang mendengar jawaban dari Taerae merasa tenang sedikit, walaupun masih banyak khawatirnya. Ia paham kalau Taerae sangat menjaga predikatnya sebagai mahasiswa berprestasi di kampusnya. Dan karena itu juga, Chaehyun menyarankan untuk nggak pernah ikut perlombaan dimana Zhang Hao menjadi saingannya. Si yang selalu peraih nomor satu, kata seantero kampus.

“Chae, lo jangan ngeliatin gue kayak kasihan gitu dong. Gue bisa ngalahin dia, kenapa jadi lo yang pesimis?”

“Terakhir lo bilang gitu, Hao selangkah lebih awal daripada lo, Re. Gue nggak bisa kalau beasiswa lo dicabut terus putus kuliah, guenya sama siapa?”

Taerae menghela nafasnya. Ternyata Chaehyun masih ingat dimana dia dikalahkan oleh Hao di lomba debat kala itu, kalau nggak salah ingat, saat itu terjadi sekitar semester dua.

“Chae, gue nggak pernah se-percaya diri ini tau. Gue yakin kali ini gue pasti menang kok. Walaupun nggak juara satu, mungkin gue bisa lebih unggul nilainya daripada Hao.” Taerae menenangkan sahabatnya, ia nggak mau Chaehyun punya rasa pesimis di depannya. Ia nggak suka.

“Yaudah, mau mampir ke Lawson nggak? Gue lagi pengen odeng.”

“Boleh. Tapi gue ke ruangan sekretariat dulu ya mau ngumpulin berkas.”

Taerae langsung pergi setelah mengatakannya. Berkas yang ingin ia kumpulkan saat ini adalah persyaratan untuk beasiswa ke luar negeri, tepatnya di Perancis. Ia selalu bilang ke siapapun yang baru mengenalnya, kalau suatu saat Taerae pasti akan meninggalkan kota Yogyakarta dan ingin mulai kehidupan di Perancis.

Menjadi mahasiswa berprestasi membuat dirinya dikenal dengan banyak dosen, ia juga perlu membangun relasi yang kuat saat di bangku kuliah. Dan Taerae nggak akan menyia-nyiakannya. Sejak Taerae kuliah, nilainya nggak pernah turun, selalu di angka 4.00.

“Berkas apaan tuh? Ribet banget kayaknya, gue bantu bawain, mau nggak?”

Suara yang paling ia benci itu tiba-tiba menawarkan bantuan. Sangat aneh bagi Taerae. Benar, lelaki yang baru saja ingin membantunya itu adalah Zhang Hao, saingannya dalam memperebutkan gelar mahasiswa berprestasi. Sebenarnya, mereka berdua sudah mendapatkan gelar itu, karena keduanya selalu berada di tingkat yang sama perihal nilai. Dan hal itu, membuat Taerae muak karena terus disandingkan oleh Zhang Hao.

“Nggak usah sok kenal.” Taerae memandang Hao dengan tatapan kesal.

Saat Taerae bersikap ketus padanya, Hao hanya bisa tertawa kecil. Entahlah, ia paling suka kalau melihat Taerae kesal karenanya. Mungkin bisa dibilang itu termasuk hiburan bagi Hao.

“Lo doang mah gue kenal, Re. Sahabat sejati nggak sih? Dari dulu setiap ada lo pasti selalu ada gue.” Hao hanya berniat menggoda Taerae, yang diomongin sama dia barusan juga nggak ada benarnya, karena mereka nggak pernah sesering itu bersama.

“Lo nggak usah ganggu deh. Urusin aja paper lo.”

“Oh, Kim Taerae ini ikutan lomba juga ya? Asik dong, gue saingan lagi sama lo.”

“Apa asiknya?”

Hao menatap Taerae tepat di kedua matanya. Saat Taerae bertanya seperti itu, dia tertawa kecil. Hao mendekat ke Taerae, langkah demi langkah, sampailah ia sekarang di hadapan saingannya itu, hanya berjarak kurang dari sepuluh senti.

“Asik banget kalau ngeliat muka lo natap nggak suka ke gue. Apalagi kalau lo kalah, rasanya pengen gue foto terus gue jadiin kenang-kenangan.”

“Minggir lo, anjing.”

Taerae mendorong badan Hao ke samping, hampir saja jatuh kalau saja ia nggak menjaga keseimbangan secepat mungkin. “Lo jahat banget sama gue, Re,” keluhnya. Nggak lupa juga Hao pasang wajah melas di depan Taerae.

Dan Kim Taerae, hanya memutar bola matanya malas.

Ditinggalnya Hao yang masih mengeluarkan seringaian andalannya. “Let’s see, Kim Taerae. Lo bakalan kalah lagi sama gue.”


Taerae sudah nggak tahu lagi harus apa, harus bagaimana ia menghadapi situasi ini untuk kedepannya. Terhitung sudah lebih dari puluhan kali ia mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah untuk hari ini. Menurutnya, hari ini adalah hari yang mungkin paling sial yang pernah dihadapi. Berpasangan dengan Zhang Hao di acara prodi membuatnya ingin menghilang. Dari sekian banyak mahasiswa di jurusannya, nggak tahu kenapa harus Hao yang menjadi pasangannya.

Dia jelas sangat kesal, terlihat dari raut wajah yang memang menatap nggak suka dengan orang yang saat ini ada di sampingnya. Nggak lain dan nggak bukan, Zhang Hao.

“Re, kok diem aja?” Hao bingung, karena sejak pembagian pasangan, Taerae selalu diam dan nggak menunjukkan raut wajah bahagia sama sekali.

Taerae memicingkan matanya, “Coba lo pikir sendiri, deh,” jawabnya dengan nada ketus.

“Padahal kalau kita pasangan gini enak, loh. Bayangin aja deh mahasiswa yang sama-sama unggul dipasangin. Mereka makin takut nggak sih sama kita? Bahkan gue sama lo bisa main alat musik dan bisa nyanyi juga. Yakin banget nggak mau satu kelompok sama gue?”

Jelas saja Taerae sangat menantikan tugas kali ini, dimana dia bisa menunjukkan bakatnya selain bidang akademik. Naasnya, Hao juga punya bakat yang sama, dan Taerae awalnya nggak mengetahui tentang hal yang satu ini. Dengan omongan Hao barusan, membuat Taerae berpikir sejenak. Memang benar, keuntungan yang didapat pasti adalah nilai A, mereka berdua yakin. Tetapi berjuang mendapatkan nilai A dengan sainganmu sendiri, apakah itu sebuah keputusan yang bisa ia pikirkan lagi? Dia nggak tahu.

Ini semua diluar dugaannya.

Taerae enggan mengakui kalau ia setuju dengan Hao.

“Gimana, Re? Kalau emang lo nggak mau, gue bilang nih ke dosen.”

“Peduli banget sampe lo mau bilang ke dosen cuma karena gue nggak mau.”

“Dengerin gue deh, gue begini mah bukan karena lo, tapi ini kepentingan personal. Gue nggak suka kerja sama orang yang dari awal nggak ada minatnya ke gue, buang waktu.”

Ah, Taerae sampai lupa kalau seorang Zhang Hao itu sangat perfeksionis.

“Yaudah, gue mau.”

“Mau apa tuh? Yang jelas dong.”

Lagi-lagi ia digoda.

“Mau sekelompok sama lo, anjing. Bisa nggak sih nggak usah banyak tanya? Nyebelin.”

“Gitu dong, harusnya dari tadi, Re.”

Sumpah, kalau bisa ia jabarkan tentang perasaannya saat ini, Taerae pasti bakalan jawab kalau dia beneran kesal dengan Zhang Hao. Entahlah, kalau itu berhubungan dengan Hao pasti Taerae kesal sampai mampus.

“Kalau nanti balik abis kelas langsung bahas tentang lagu yang bakalan kita bawain, gimana? Lo nggak bakalan lupa kan kalau Sir Damar cuma kasih waktu empat hari? Jadi tolong banget, Re, usahakan pisahin jadwal part time lo sama projek kita.”

“Hao, tanpa lo suruh juga gue udah paham. Gue bisa urus diri waktu gue sendiri.”

Well, that’s good kalau gitu. Empat hari rutin ketemu gue ya?”

Mau nggak mau Taerae mengiyakannya. Dia beneran nggak tau ini pertanda baik atau buruk, bertemu dengan Hao setiap hari membuat dirinya mungkin bakalan terbiasa sama tingkah konyol nggak jelas yang bisa membuat Taerae naik pitam.


Hari pertama, 25 Juni 2023. Public Us Coffee.

Lebih dari tiga puluh menit Taerae menunggu Hao yang sampai detik ini nggak memunculkan batang hidungnya sama sekali. Ia sangat kesal. Kalau tahu bakalan begini, dia nggak akan datang tepat waktu. Semua waktu yang telah ia atur berantakan sudah, ini semua karena Hao telat. Mereka berjanji untuk mendiskusikan tentang konsep yang akan mereka bawakan saat kelas Music Performance di salah satu kafe Yogyakarta yang cukup ramai, Public Us Coffee.

Yang menentukan semua rencana hari ini adalah Hao, mulai dari jam dan tempat. Tetapi bisa kalian tahu kalau Hao sampai saat ini nggak datang. Taerae sudah mencoba untuk menghubunginya, tetapi lagi-lagi panggilannya ditolak.

“Ah, bangsat. Tau gini gue nggak izin kerja.”

Memang ya menyesal itu pasti di akhir. Taerae sudah mengambil libur sehari karena ia pikir Hao bakalan datang dan nggak telat lebih dari tiga puluh menit. Kacau sudah. Ia sudah kehilangan kesabaran, dia nggak bisa menunggu lebih lama lagi. Baru saja Taerae memasuki tab yang sudah disiapkan tadi, Hao dengan wajah tanpa dosanya menyapanya seolah nggak terjadi apa-apa.

“Hai! Lo udah concepting?” Hao duduk di seberang Taerae. Lelaki itu mengambil minuman yang sudah Taerae pesan, dan tentu saja— meminumnya.

“Anjing ya lo, enak banget udah buat gue nunggu lebih dari tiga puluh menit terus lo malah ngambil minuman gue. Lagi, muncul pake wajah nggak berdosa lo itu.”

“Gue ganti, berapa harganya?”

Taerae menahan amarahnya, sumpah kalau dia lagi nggak di publik, bisa-bisa Hao udah babak belur. “Ini bukan soal duit, Hao. Ini tentang lo yang telat dan nggak sopan.”

“Oh, sorry. Gue minta maaf. Tadi tiba-tiba dipanggil Sir Orbi terus gue sebagai mahasiswa yang teladan, ya langsung pergi. Gue lupa ngabarin lo, Re. Maaf banget ya.”

“Lo bisa aja ngabarin gue. Di sini gue nungguin lo kayak orang bego tau nggak sih? Gue kesel.”

“Gue kan udah minta maaf, Re? Masa masih mau kesel dan marah? Lagipula gue telat nggak sampe satu jam kok, nggak begitu lama.”

“Gue benci banget sama lo, Zhang Hao.”

Kesabarannya sudah nggak bisa ditahan lagi, Taerae pergi dari sana dan tentu saja meninggalkan Hao yang masih nggak merasa bersalah. Hari pertama berdiskusi dengan Hao semuanya sia-sia. Dan sekarang, mereka hanya punya waktu enam hari.

Hari Kedua, 26 Juni 2023. Kelas 2.403, Gedung Sastra.

Setelah kejadian di Public Us Coffee, Taerae mulai menegaskan ke Hao kalau mereka ini tim, dan nggak seharusnya bersikap nggak peduli sama keadaan sesama tim. Juga, ia yang menetapkan dimana dan kapan mereka akan berdiskusi untuk penampilan mereka.

Saat Taerae memasuki kelas yang jadi tempat diskusi dengan Hao, dia melihat lelaki yang ia benci itu sudah sampai lebih dulu. “Langsung pilih lagu aja, ya. Gue nggak bisa lama-lama soalnya izin kerja cuma sebentar.” Taerae mengatakannya setelah dia meletakkan tasnya di kursi.

“Kenapa izinnya cuma sebentar?”

“Kemarin kan gue udah izin libur, tapi yang bikin janji sama gue malah telat. Hari ini gue udah nggak bisa ambil libur lagi.”

Hao sadar kalau yang dimaksud Taerae itu adalah dirinya. “Iya, Taerae. Maafin gue ya sekali lagi. Ini gue udah nggak telat kok.”

“Emang udah seharusnya begitu sih.”

“Lagunya lo aja deh yang milih, gue apa aja bisa.” Hao menyerahkan semuanya ke Taerae, sebenarnya kalau boleh jujur dia memang percaya kalau Taerae bakalan milih lagu yang sesuai dengan keduanya. Selain karena dia malas memikirkan lagu yang pas juga sih.

“Gue kepikiran lagunya Seventeen deh, lo tau mereka nggak?”

“Harus lagu Indonesia, Re.”

“Iya, Hao. Ini ngomongin Seventeen Indonesia, bukan Korea.”

“Gue tau sih, mau lagu yang judulnya apa?”

Jaga selalu hatimu.”

“Lo lagi cinta banget sama seseorang apa gimana?”

Taerae memberikan respon nggak suka sama pertanyaan Hao barusan. Pertanyaannya sangat menyebalkan. “Emangnya gue harus jatuh cinta dulu untuk nyanyi lagu cinta? Kan nggak ya, Hao. Gue suka aja lagunya, artinya juga dalem banget.”

“Sedalam apa tuh? Sedalam perasaan benci lo ke gue nggak, Re?”

“Bisa nggak anjing sehari aja nggak sih?”

“Iya Re, maaf lagi. Tapi menurut gue aneh deh, gue nggak mau nyanyi melodi yang agak sedih gitu. Gimana kalau lagunya Hivi! aja? Terserah deh yang mana aja, gue ngikut.”

Hivi! ya? Kalau yang Remaja gimana?”

“Duh, mending yang Tersenyum, untuk siapa? itu deh. Gue suka banget, Re, sama lagu itu. Pertimbangkan lagi coba permintaan gue yang nggak seberapa ini.”

Lagi-lagi Hao membuat Taerae kesal.

Bayangkan saja mereka sudah berdiskusi selama satu jam tetapi belum menemukan lagu siapa yang akan mereka bawakan nanti. Setiap Hao memberikan saran nama suatu artis, Taerae selalu menjawab satu lagu kesukaannya, tetapi Hao nggak mengindahkannya. Dia justru memberikan opsi lain, begitu saja terus dan nggak ada ujungnya.

“Kalau gitu mah mending lo aja yang milih, bangsat. Dari tadi gue sebutin judul dari artis yang lo mau malah ngasih opsi lain terus. Minimal mikir deh, capek gue kalau kayak gini terus.”

“Istirahat kalau capek, Re. Sini duduk di pangkuan gue.” Hao menarik tubuh Taerae secara tiba-tiba, membuat yang ditarik itu jatuh ke pelukannya. Entah, ini modus atau apa. Cuma Hao saja yang mengerti.

“Zhang Hao brengsek!”

Taerae menampar pipi Hao.

Hao langsung memegangi pipinya yang panas akibat dari tamparan Taerae barusan. “Kok lo nampar gue sih, bangsat? Gue kan cuma pengen ngasih lo perhatian karena lo bilang kalau capek, Re.”

“Perhatian apa sih? Lo tinggal diem doang aja udah buat gue bersyukur daripada lo ngomong dan ngelakuin hal nggak jelas kayak tadi. Gue muak.”

“Turunin ego lo dulu. Kita di sini mau bahas tentang penampilan kita ‘kan?”

Ya lo duluan dasar anjing, babi ngepet lo sialan.

Semuanya Taerae keluhkan di dalam hati, karena kalau ia bilang langsung, pasti keadaan semakin memburuk. Dan lagi-lagi diskusi mereka akan gagal. “Lo juga ya tolong kerjasamanya. Gue nggak suka disentuh, Hao,” jelasnya.

Okay, sorry again. Gue nggak akan begitu lagi.”

“Ya udah, dengerin lagunya dulu aja. Gue belum pernah denger soalnya.”

Taerae mulai memainkan lagu Hivi! yang berjudul Tersenyum, untuk siapa?. Butuh berulang kali untuk mengingat melodi yang ada di lagu itu, nggak lupa juga menafsirkan kalimat setiap kalimat biar Taerae bisa membawakan lagunya dengan sempurna.

Ada satu lirik yang membuat dirinya memikirkan dengan serius. Sesuai dengan judulnya, Tersenyum, untuk siapa?

“Re, besok pengumuman lomba paper.

Ah, Taerae bahkan lupa kalau besok sudah tanggalnya untuk melihat apakah dia lolos untuk beasiswa lagi atau nggak.

“Hao, kalau misalkan besok nggak latihan, oke nggak menurut lo? Gue butuh seharian penuh untuk nyiapin mental gue.” Taerae nggak pernah segugup ini, memang bohong waktu dia bilang ke Chaehyun kalau dia mempunyai sifat percaya diri yang tinggi ketika bilang Gue bisa unggul dari Zhang Hao. Nyatanya sekarang Taerae menciut. Lucu lagi dia izin ke orang yang membuatnya seperti ini.

Hao tampak memikirkan sejenak. Mereka berdua cuma punya latihan sehari penuh kalau memang dia memperbolehkan Taerae untuk izin sehari. “Tapi lo yakin bisa nggak kalau cuma latihan sehari? Gue maunya penampilan kita nggak ada salah lho, Re.”

“Lo jangan ngeraguin gue.”

Fine. Lusa di rumah gue, ya.”

“Kenapa jadi rumah lo, anjing?”

“Pengen aja, biar kalau kemalaman kan lo bisa nginep. Udah sih, semua fasilitas ada di rumah gue kok.”

Dia nggak bisa menolak. Lagi pula Taerae juga yang meminta untuk libur latihan sehari, dan dia juga yang harus menurut sama Zhang Hao untuk kali ini saja.


Gelisah.

Taerae sama sekali nggak bisa berpikir jernih kali ini, dari pagi hingga sore hari, dia sama sekali nggak melakukan apapun, hanya berdiam diri di kamar sambil menatap layar laptopnya yang masih menyala. Chaehyun bahkan sudah menawari untuk menemai Taerae seharian, tetapi lelaki itu menolak, ia nggak mau kalau kesedihannya terlihat. Padahal pengumuman masih dua jam lagi.

Kepalanya sangat berisik.

Ia butuh seseorang untuk diajak mengobrol, tetapi ia nggak mau kalau Chaehyun terus-terusan menanggapi dirinya yang sangat drama ini. “Ah anjing, gue telpon siapa kalau kayak gini.”

Baru saja Taerae ingin merebahkan dirinya dan berniat ingin tidur, ponselnya berbunyi. Tertera nama paling rese satu dunia. Ah, itu Zhang Hao. Sengaja nggak Taerae angkat, dia malas adu mulut dengan Hao. Tetapi ponselnya terus berbunyi dan mengirimkan pesan ‘Re, pengumuman udah keluar. Angkat telpon gue sekarang.’

Taerae nggak paham sama sikap Hao sekarang, kenapa dia menghubunginya begitu pengumuman sudah keluar? Entah Hao bersikap sok dekat dengannya atau memang hanya ingin mengejeknya. Dia belum siap untuk melihat pengumumannya.

“Apasih anjing jangan telpon gue terus, berisik tau nggak?”

“Selamat, Kim Taerae.”

“Hah— maksudnya gue….

“Selamat jadi nomor dua lagi setelah gue.”

Rasanya dunia ini hancur untuk kesekian kalinya. Taerae nggak mengindahkan omongan Hao barusan— tentu saja. Ia sangat tersinggung, terserah orang lain mau bilang dia sensitif atau gimana, tetapi Taerae kecewa; pada dirinya sendiri.

“Re? Lo masih di sana? Sorry gue nggak bermaksud ngejek—

“Gue nggak mau sekelompok sama orang bajingan kayak lo.”

Ia langsung mematikan telepon dari Hao.

Taerae terduduk di lantai. Selalu saja seperti ini, kenapa sih dia nggak bisa mengalahkan Zhang Hao? Kenapa selalu Zhang Hao yang selalu jadi nomor satu dan dirinya selalu kalah? Di dunia ini, nggak ada yang mau melihat nomor dua kalau nomor satu saja sudah menonjol segitunya. Harus bagaimana Taerae bersikap dengan masa depannya yang nggak tau mau dibawa kemana itu. Mungkin bagi kalian sikap Taerae ini berlebihan, tapi perasaannya valid, dengan keadaan finansial yang nggak mendukung, dia sangat kecewa dengan hasil pengumuman kali ini.

Hasil terburuk— ia dikalahkan lagi oleh Zhang Hao.

Memangnya apa sih yang diincar dari Hao waktu mengikuti perlombaan yang nggak seberapa bagi orang kaya seperti dia? Taerae masih heran. Kalau cuma mau menjatuhkan dirinya, berarti Hao adalah orang paling jahat yang pernah Taerae kenal.


Hari keempat, 28 Juni 2023. Rumah Zhang Hao.

Zhang Hao menunggu Taerae lebih dari dua jam, teman satu kelompoknya itu nggak juga muncul. Ia juga sudah menelpon dan mengirimkan SMS sebanyak mungkin, tetapi tetap nggak dibalas. Apa ini karena perkataannya kemarin? Hao rasa nggak mungkin, tetapi— bisa jadi juga sih.

“Apa gue telpon Chaehyun aja, ya?”

Alhasil Hao menelpon Chaehyun, yang ia ketahui sebagai sahabat baik Taerae. Begitu diterima, Hao langsung menanyakan keberadaan Taerae.

“Chae, Taerae lagi sama lo nggak?”

Yang di seberang telpon hanya diam, nggak menjawab pertanyaannya. Ini yang bikin dia heran.

“Halo, Chae? Suara gue nggak kedengeran apa gimana?”

“Brengsek lo, Zhang Hao.”

Hao menjauhkan ponsel dari telinganya, suara Chaehyun sangat keras. “Ini kenapa ya tiba-tiba lo bilangin gue brengsek?”

“Lo tuh manusia tolol, sok pinter, kayak anjing. Bisa-bisanya lo nggak paham kalau omongan kontol lo itu bisa ngebuat orang sakit hati?”

“Oh, ngomongin Taerae?”

“Si anjing.”

“Dimana dia?”

“Rumah gue.”

“Suruh dia kesini, enak aja abis kalah dari gue langsung nggak mau ketemu dan mangkir dari tugas kelompoknya. Katanya si beliau ini tanggung jawab? Kok masalah gini nggak sama sekali sih.”

Setelah Hao mengatakan hal itu, teleponnya mati. Kemungkinan besar Taerae terpancing sama omongannya barusan. Perlu kalian tahu, jarak rumah Chaehyun dan Hao nggak lebih dari dua kilometer, yang artisnya hanya dalam kurun waktu dua menit saja, Taerae bisa langsung sampai di rumah Hao.

Dan benar, nggak lama dari mereka selesai telponan, suara ketukan pintu terdengar. Hao tahu kalau itu adalah Taerae. Dihampirinya lelaki itu— yang mengetuk pintu dengan nggak sabar. Hao membuka pintu rumahnya, muncul Taerae yang memasang wajah seolah mengatakan ‘Gue benci lo banget, anjing. Musnah lo sekarang.’ seperti itu. Hao tahu karena setelahnya Taerae meninju tepat di rahangnya.

Sakit sekali.

“Bajingan lo, Zhang Hao. Gue benci banget sama lo. Nggak pernah sama sekali ngertiin mahasiswa miskin kayak gue.”

Hao memegang rahangnya yang masih sakit itu. “Re, tahan emosi lo bentar dong. Rahang gue sakit nih.”

Taerae lagi-lagi memukul Hao, kali ini perutnya yang kena. Hebat juga ternyata. “Lain kali kalau mau sombong itu jangan sama gue, Zhang Hao. Silahkan sombong ke satu kampus, asalkan jangan sama gue.”

Baru saja Taerae ingin melayangkan pukulan lagi, Hao justru menghalanginya dengan cara menahan pergelangan tangan Taerae. “Kita bisa ngomongin ini baik-baik, Re. Jangan pake emosi.”

“Nggak bisa, gue udah terlanjur benci sampe mampus sama lo. Lagian kenapa juga sih lo ikutan lomba buat dapet beasiswa? Orang kayak lo itu nggak butuh, Hao. Sengaja banget mau pamer ke gue apa gimana sih?”

“Lo kenapa benci banget sama gue sih, Re?”

“Lo lupa?”

“Lupa apa? Lo tau sendiri kan kalau gue orangnya emang nggak pernah inget yang dulu. Gue ingetnya lo udah benci gue aja gitu waktu awal kuliah.”

“Lo lupa apa ya anjing. Lo itu pernah nuker sendal kesayangan gue waktu jaman SMA, di lab biologi. Itu sendal mahal, harganya lima ratus ribu. Gue kerja pake duit sendiri terus dengan seenaknya lo nuker bangsat Zhang Hao.”

“Re.”

“Apa?”

“Jadi ini semua karena sendal kita ketuker?”

“Nggak cuma. Lo nggak paham sama perasaan gue waktu masih kecil dulu SMA kelas satu.”

“Re? Yang bener aja ini karena sendal?”

“Zhang Hao apaan sih? Ya nggak sendal doang anjing, lo tuh kerjaannya bikin gue naik darah mulu. Setiap hari gangguin nggak jelas, sok pinter banget kalau di depan guru, terus pas kuliah ketemu lagi. Sialnya lagi satu jurusan walaupun beda kelas utama. Terus ya Hao, lo tuh kayak anjing tau nggak?”

“Nggak tau, Re. Coba jelasin.”

Fuck. I hate you sampe gue mati. Dengan seenaknya lo daftar lomba sama kayak gue terus dan lo menang bekali-kali, kalau aja Chaehyun nggak nahan gue, pasti lo udah gue—

Brengsek.

Zhang Hao tiba-tiba mencium bibirnya. Ini semua aneh. Situasi macam apa sih ini?

“Hao anjing lo—

“Berisik banget sih, Re. Mau gue tutup pake tangan tapi gue belum cuci tangan. Yaudah gue cium aja. Eh, tapi itu nggak termasuk ciuman sih ya? Kan kecup doang. Mau nyoba lagi nggak?”

Anjing.


Hari Keempat, Music Performance, 29 Juni 2023. Pendopo Kampus.

Taerae sama sekali nggak pernah nyangka kalau penampilan mereka bakalan ditonton satu jurusan. Dia cuma dikasih tahu kalau memang bakalan ada yang nonton, tapi nggak sebanyak ini juga pikirnya. Taerae memang biasa kok tampil di hadapan orang banyak, tapi kali ini rasanya berbeda. Menyanyikan sebuah lagu bersama Zhang Hao, dengan lagu yang mencurigakan pula. Kemarin, setelah kejadian yang nggak disangka bakalan terjadi antara mereka berdua itu, Taerae dan Zhang Hao melakukan rekaman video agar penampilan hari ini nggak begitu berantakan. Itu saja harus berulang kali take-nya karena Hao yang tertawa terus tiap ada lirik yang menurutnya aneh.

Video mereka berdua Taerae perlihatkan ke Chaehyun, dan respon pertama yang perempuan itu tunjukkan adalah wajah datar tanpa ekspresi sambil melihat videonya. “Yang milih lagunya siapa, Re?” tanya Chaehyun.

“Zhang Hao. Aneh ya?”

“Kalau soal lagunya sih nggak aneh ya, tapi raut wajah lo berdua yang aneh.” Chaehyun mengembalikkan ponselnya. Jawaban sahabatnya itu membuat dia bingung.

Emangnya ada yang salah ya?

“Re, tiga orang lagi kita tampil.” Hao langsung menariknya dan nggak dilihatnya Chaehyun yang ada di samping Taerae itu.

Bohong kalau Taerae bilang dia nggak gugup, mereka berdua menunggu di belakang pendopo yang nggak kelihatan penonton. Konsep yang ditampilkan mereka berdua juga sesuai judul, anak remaja yang sering adu mulut tapi nggak sadar kalau sebenarnya mereka juga menyimpan perasaan selain saling membenci. Dan alasan lain yang membuat Taerae merasa gugup adalah kejadian kemarin. Hao terlihat biasa saja dan nggak kelihatan seperti kalau di hidupnya dia pernah sengaja mencium bibir Taerae.

Hal itu membuat Taerae bingung. Berpikir kalau memang Hao memang memiliki sifat seperti itu dan mencium lawan bicaranya yang berisik. Ini adalah pikiran aneh, tapi Taerae juga nggak bisa berpikir hal lain. Baru saja ia berniat untuk bertanya ke Hao, lagi-lagi lelaki itu membuatnya kaget karena secara sengaja Hao menautkan tangan mereka berdua.

“Lo emang suka skinship ya?”

Hao menoleh ke arah Taerae, melihat pasangannya untuk duet hari ini menunjukkan wajah penuh tanda tanya dan bingung. “Nggak juga sih. Kenapa tuh?” Beginilah Zhang Hao, seolah nggak paham apa yang dia lakukan kemarin dan tentu saja, barusan.

“Lo cium gue kemarin, terus sekarang pegang tangan gue.”

“Bukannya gue udah bilang ya? Kemarin karena lo berisik, makanya gue cium. Kalau hari ini gue pegang tangan lo karena lo gugup.”

“Terus kalau lawan bicara lo berisik juga lo cium?”

“Nggak.”

“Kenapa?”

“Re, mereka mah kalau gue bilang diem ya pasti menciut. Kalau lo kan harus gue cium dulu baru diem, udah gue bilang berhenti ngoceh tapi masih aja.”

Boleh nggak Taerae menganggap kalau jawaban nggak masuk akalnya Hao barusan itu berarti dia spesial? Tolong biarin manusia satu ini memiliki ekspektasi tinggi ya. Ini bukan berarti dia menyukai Hao, dia hanya suka afeksi yang Hao kasih. Itu saja dan nggak lebih.

Taerae tersadar dari lamunannya saat Hao menyenggol pelan pundaknya. “Re, nama kita udah dipanggil.” Hao menuntun Taerae untuk naik ke panggung buatan untuk mereka tampil.

Dan sekarang, semua mata tertuju ke mereka berdua.

Mereka berdua itu sangat terkenal satu kampus, makanya kalau cuma jurusan begini mah teriakannya pasti paling besar di antara yang lain. Apalagi nggak biasa juga pemandangan saat ini, dimana Hao dan Taerae yang akur dan nggak adu mulut, khusus di panggung sih tentu saja. Suara Hao memenuhi sekitar pendopo, nggak lupa diiringi suara gitar yang Taerae mainkan. Baru bait pertama, penonton sudah heboh.

gemar sekali kita bersilat lidah

Bangsat. Ini mereka berdua sengaja ya lagunya tentang mereka banget gitu?”

“Emang boleh sejelas ini?”

Hanya sebagai rival mereka dikenal, nggak lebih. Mereka mana tahu kalau bibir keduanya sudah pernah bersentuhan. Nggak ada yang tahu kalau mereka berdua itu hubungannya lebih dari sekadar rival, walaupun lebihnya nggak sampai bisa disebut pacaran. Kalau yang itu sih mana bisa.

Dan ku tersenyum entah untuk siapa?

Lirik ini, mereka menyanyikannya berdua.

Awalnya Taerae pikir lagu yang dipilih oleh Hao ini cuma lagu favoritnya dan nggak ada yang mesti dikhawatirkan mengenai liriknya. Tetapi kali ini dia salah. Sampai dimana dia melihat notes kecil yang di ada di dalam gitarnya, yang katanya nggak ada orang yang boleh tahu selain mereka berdua.

Re, lagu yang kita bawain itu sebenarnya isi hati gue ke lo. Tapi tolong sebelum gue nyanyiin depan lo secara serius, jangan diungkit ya. Gue malu. Ajak ngobrol waktu habis tampil, boleh.

Tentu saja hal itu membuat Taerae sempat kehilangan fokusnya. Makanya waktu lirik itu dinyanyikan, dia melihat ke arah Hao, dan benar. Hao tersenyum saat menyanyikannya. Definisi mempersembahkan lagu untuk seseorang tetapi kali ini Hao menyanyikannya bersama Taerae, seseorang yang memang ia dedikasikan atas penampilannya kali ini.

Tanpa sadar, Taerae juga ikut tersenyum. Bertanya siapa dalang di balik semua senyumannya hari ini. Dia nggak mau repot, karena memang senyuman lebarnya ini untuk rival-nya yang paling ia benci, Zhang Hao.

Entah karena apa menanti-nanti akhir cerita

Siapa sih yang nggak penasaran sama hubungan Hao dan Taerae selanjutnya? Kalau mau dipikir keras pun mereka juga nggak akan lanjut ke hubungan yang lebih serius alias pacaran. Selalu berbeda pandangan, setiap hari bersilat lidah, pun saling meremehkan satu sama lain di bidang akademik walaupun nggak dengan cara kotor.

Tiga menit sudah mereka tampil, waktu mau turun dari panggung kecil, Hao memberi isyarat ke Taerae agar mengikutinya. Taerae nurut, diikutinya Hao yang ternyata menuntun ke ruang himpunan yang kosong dan nggak ada orang di sana.

“Re.”

Taerae bisa melihat kalau Hao yang ada di hadapannya saat ini mau ngomong sesuatu. Memanggilnya dengan lembut. “Gimana?”

Notes yang gue kirim ke lo itu bener.”

“Iya, paham.”

“Termasuk bagian sudahi saja.

“Maksudnya?”

“Ini dari awal udah salah, Re. Gue sama lo emang harusnya jadi rival aja sih. Gue salah, gue minta maaf banget udah nyium lo kemarin. Tapi untuk pegangan tangan gue nggak akan minta maaf, karena saling benci juga tetep bisa pegangan tangan.”

“Bentar, Hao. Lo kenapa deh? Gue kan nggak pernah nuntut lo untuk jadi pacar gue pas lo sengaja nyium itu. Gue juga nggak paham deh kenapa lo sampe ngerasa bersalah segitunya sama gue. Hao, dari awal sampe sekarang, atau bahkan kedepannya kita berdua kan nggak akan sampai ke tahap yang lo tau maksud gue apa.”

“Gue cuma kepikiran waktu lo nanya gue suka skin-ship apa nggak. Rasanya pas itu gue jadi ngerasa bersalah nya gede banget, gue pikir lo naksir sama gue, Re. Makanya gue takut.”

Taerae tertawa miris, nggak tahu kenapa Hao bisa sampai ada pikiran seperti itu. “Kebanyakan nonton sinetron lo. Gue nggak akan suka sama orang yang gue benci kan? Gue senyum ke lo, bahagia karena lo, nggak menutup kemungkinan kalau kebencian gue ke lo ilang, Hao.”

“Iya kan?”

“Iya. Gue nggak naksir lo, kok. Ciuman mah biasa bagi gue, cuma tadi gue nanya karena ini dicium sama Zhang Hao.”

“Terus kalau gitu, mau lanjutin ciuman yang kemarin nggak, Re?”

Sial.

mention of kissing


ZHANG HAO sebenarnya masih belum mengerti tentang pendekatan yang dimaksud adik tingkatnya, Kim Taerae. Kalau boleh jujur, dia nggak pernah mendekati seseorang lebih dulu. Bukan, Hao bukan tipe lelaki yang play hard to get. Kalau memang dirinya suka, dia bakalan bilang suka, walaupun harus disadarkan oleh Kevin terlebih dahulu. Pokoknya Kevin itu adalah sahabat terbaik bagi Hao.

Waktu Taerae mencoba bicara jujur dengannya, Hao merasa dirinya memang nggak terlalu menonjolkan perasaannya. Kalian tahu? Hao adalah seseorang yang terlalu memikirkan apa yang dikatakan Taerae, makanya Hao sedikit gelisah. Dan hari ini, Hao langsung ingin bertemu dan segera menceritakannya ke Kevin.

“Gue mau nanya alasan lu dulu deh, waktu nyuruh gue atau Matthew ngasih pemberian lu ke Taerae itu ada alasannya nggak? Selain alasan jadi-jadian lu yang katanya sibuk. Gue nggak percaya. Gue tuh tau lu, Hao. Orang yang pinter ngatur waktu, mustahil pake alasan sibuk.”

Bisa dibilang, Kevin memang sangat pintar dalam hal seperti ini, dan itu sangat membantu Hao.

“Jangan ketawa ya. Gue malu, Kev. Gimana ya, gue beneran nggak paham sama pendekatan yang dimau Taerae itu gimana.”

“Taerae tuh kayaknya mau pendekatan kayak biasanya, dia kan orangnya nggak ribet alias sederhana aja.”

“Yang kayak biasa itu gimana sih, Kev? Jelasin ke gue.”

“Pendekatan kan gunanya buat lu berdua kenal lebih jauh, intinya biar pacarannya nggak buang waktu. Terus dari yang gue perhatiin di cerita lu itu, lu berdua jarang komunikasi. Cuma di awal, Hao. Pantes aja Taerae mikir lu nggak serius.”

“Tapi bukannya kalau gue udah bilang naksir harusnya udah kelar ya? Dia tau gue suka, dia juga kayaknya suka, yaudah. Masalahnya dimana sih? Gue nggak cemburu karena gue merasa dia nggak bakalan suka sama yang lain.”

Kevin menoyor kepala Hao dengan gemas. Dia nggak tau apa yang ada di pikirannya temannya saat ini, benar-benar nggak tahu apa-apa tentang hubungannya dengan Taerae.

“Bego anjing. Serius lu mikir gitu? Pikiran tolol macam apa sih, Hao? Orang mah kalau gebetannya ditaksir atau bahkan ditawarin balik bareng sama yang lain pasti cemburu. Lu sama Taerae belum pacaran, masa iya udah percaya diri banget dia nggak akan berpaling dari lu?”

“Kan cuma si Kamden.”

“Cuma Kamden? Lu lupa Kamden itu double degree sama kampus sebelah? Lu juga lupa kalau Kamden yang lu remehin ini pernah dipuji karena papernya well-written? Jangan selalu ngerasa di atas, deh. Nggak baik.”

“Terus gue sekarang harus ngapain, Kev?”

“Lu tau nggak sih kuncinya suatu hubungan itu apa?”

“Apa?”

“Komunikasi dan ciuman.”

Giliran Hao yang langsung memukul bahu Kevin ketika mendengar jawabannya. “Ngaco, anjing.”

“Loh bener tau, hubungan bakalan langgeng kalau diisi dengan ciuman. Abis ciuman biasanya langsung deep talk.”

“Terus gue ciuman gitu sama Taerae?”

“Kalau lo mau.”

“Nggak nolak sih.”

“TOLOL.”


Sialan.

Taerae akan menganggap hari ini adalah hari kesialannya. Nggak pernah terbesit dalam pikirannya sedikitpun kalau dia bakalan satu kelompok dengan kakak tingkat menyebalkan bernama Kim Jiwoong. Ayolah, dia bukannya meremehkan kepintaran Jiwoong atau yang lainnya. Taerae benar-benar nggak suka karena Jiwoong sangat merepotkan.

Ia bisa mengakui kalau Jiwoong memang sangat pintar, tetapi hal itu nggak membuat Taerae berubah pikiran, dia masih mau menukar dengan temannya. Tetapi namanya juga takdir, lagi-lagi kesialan itu menimpa Taerae. Semua nggak mau tukeran partner sama dia. Taerae nggak paham ini sebuah kebetulan atau memang dunia nggak pernah berpihak padanya.

Kakak tingkatnya itu selalu telat masuk kelas, sama seperti hari ini. Kelas sudah diadakan tiga puluh menit yang lalu, tetapi Jiwoong nggak kunjung datang. Taerae sudah nggak peduli dengan hal itu, justru dia berharap kalau Jiwoong nggak masuk hari ini. Alhasil, dia bisa mendapatkan nilai untuk dirinya sendiri, nggak perlu ada nama Kim Jiwoong di lembar tugasnya.

“Re, partner lo kemana?”

Taerae lagi-lagi memutar bola matanya dengan malas karena pertanyaan yang dilontarkan oleh Park Sunghoon, teman satu kelasnya yang sering menggodanya.

“Mending diem deh.” Taerae sudah malas menanggapi Sunghoon. Biarlah, nggak hanya sekali Sunghoon menggodanya seperti itu.

“Kak Jiwoong telat lagi ya, Re? Sumpah deh, kata gue mah lo ganti partner aja.”

“Minimal mikir deh, gue dari tadi udah tanya satu persatu anak kelas tapi nggak ada yang mau tukeran sama gue. Gimana kalau lo aja yang sama Kak Jiwoong? Gue sama Jeongseong.”

“Duh, maaf. Pasangan lo udah dateng tuh.”

Taerae langsung menoleh ke belakang ketika Sunghoon bilang kalau pasangannya sudah masuk kelas. Dan memang benar, Jiwoong memasang wajah tanpa dosa dan langsung duduk di sampingnya. Nggak lupa dengan kepala yang dibaringkan di meja. Sangat menyebalkan bukan?

Kalau kalian penasaran kenapa Jiwoong bisa dengan mudah masuk ke kelas tanpa dimarahi oleh dosen, itu karena Jiwoong adalah anak kesayangan Pak Dong Wook, dosen mata kuliah public speaking.

Jiwoong kembali duduk tegak saat suara Pak Dong Wook memenuhi seisi kelas. Inilah pertempuran Taerae sebenarnya. Duduk di sebelah Jiwoong membuat Taerae hilang fokus. Bagaimana tidak? Jiwoong selalu saja menatap dirinya, sangat mengganggu.

“Kak, papan tulis ada di depan, bukan di muka gue.”

“Dek, bacain tulisan yang ada di papan tulis dong.” Jiwoong bukannya membalas omongan Taerae, justru membicarakan topik baru.

“Nggak mau.”

“Mata gue rabun jauh, Re. Guenya lupa bawa kacamata.”

Hanya berbekal dengan kata rabun jauh, Jiwoong berhasil membujuk adik tingkatnya itu. Dia nggak bohong, matanya memang rabun jauh, ia kesulitan membaca tulisan yang terpampang nyata di papan tulis.

“Lagian udah tau rabun jauh kenapa duduk di belakang sih?”

“Kalau duduk di depan kan nggak ada lo. Gue maunya duduk di samping lo.”

Sangat menyebalkan. Taerae paling nggak suka kalau Jiwoong sudah seperti ini, menggodanya sampai ia malas.

“Gue tulis aja, nanti lo bisa baca catetan gue ya, Kak.”

“Nggak mau, gue maunya dibacain.”

“Lo siapa gue sih, Kak? Kenapa manja banget gitu?”

Soon to be cowok lo.”

“Ngaco.”

Jiwoong tahu kalau adik tingkatnya itu salah tingkat ketika ia menggodanya. Kalau ditanya kenapa ia suka sekali menggoda Taerae, jawabannya sederhana. Jiwoong merasa dirinya sangat bahagia ketika melihat respon Taerae saat ia goda. Sungguh lucu.

“Kak, jadi gue bacain nggak? Kenapa ngelamun?”

“Maaf, lo cantik banget soalnya. Gue jadi nggak fokus.”

Demi Tuhan. Rasanya Taerae ingin segera berdiri dan langsung lari meninggalkan ruang kelas ini. Hatinya nggak tenang, pikirannya kacau kalau sudah mengobrol dengan Jiwoong. Ini semua salah. Dia nggak seharusnya terlalu memikirkan kakak tingkatnya itu.

“Kak Jiwoong.”

“Iya iya maaf, Taerae. Boleh bacain dari awal aja, gue dengerin sambil gue rekam ya.”

Jiwoong sudah bersiap mengambil ponsel miliknya yang ada di saku, tetapi tangan Taerae menahan. “Ngapain direkam? Jangan aneh-aneh, Kak.”

“Kalau cuma dengerin sekali tuh gue nggak bisa, Dek. Kalau gue rekam kan bisa didengar ulang. Ini bahan kerja kelompok kan? Lo mau gue kebingungan cari materinya? Oh, atau lo mau ngajarin gue lagi secara langsung?”

Taerae kikuk dengan alasan Jiwoong barusan. Dia memilih diam.

Dimulainya sesi membacakan materi kuliah hari ini untuk Jiwoong. Taerae nggak hanya asal membaca, ia juga menjelaskan dengan bahasanya sendiri. Ini yang membuat Jiwoong kagum sama adik tingkatnya itu, dan hal ini juga yang membuat dirinya sengaja mengambil mata kuliah public speaking. Selama Taerae membacakan apa yang ada di papan tulis, Jiwoong hanya menatapnya, nggak begitu memperhatikan atau bahkan mendengarkan Taerae membaca. Awalnya, hal itu nggak ketahuan, tetapi Taerae merasa janggal karena Jiwoong hanya diam, nggak memberikan reaksi apa-apa.

“Kak Jiwoong? Dengerin gue nggak sih?”

“Dek, gue nggak fokus banget ini gimana ya?”

“Nggak fokus gimana, Kak? Lo coba minta materinya sama Pak Dong Wook aja deh. Gue males.”

“Jangan gitu dong. Gue dengerin kok, serius. Cuma pas agak akhir emang kurang fokus soalnya lo beneran cantik banget gue sampe pengen pingsan.”

Lo beneran cantik banget gue sampe pengen pingsan.

Kali ini justru Taerae yang nggak bisa fokus. Rasanya aneh, ini nggak seperti dirinya. Taerae itu melihat Jiwoong sebagai kakak tingkat yang menyebalkan, sampai saat ini juga begitu. Hanya saja ketika Jiwoong melontarkan gombalan, dia salah tingkah.

“Dek, lo udah punya pacar?”

Jiwoong nggak bisa ya berhenti membuat Taerae jantungan. Ia tahu kok maksud dari pertanyaan itu arahnya kemana, ia sangat paham. “Nggak punya,” jawabnya.

“Gue mau.”

“Mau apa?”

“Jadi pacar lo, dek.”

“Guenya yang nggak mau.”


Sialan.

Taerae akan menganggap hari ini adalah hari kesialannya. Nggak pernah terbesit dalam pikirannya sedikitpun kalau dia bakalan satu kelompok dengan kakak tingkat menyebalkan bernama Kim Jiwoong. Ayolah, dia bukannya meremehkan kepintaran Jiwoong atau yang lainnya. Taerae benar-benar nggak suka karena Jiwoong sangat merepotkan.

Ia bisa mengakui kalau Jiwoong memang sangat pintar, tetapi hal itu nggak membuat Taerae berubah pikiran, dia masih mau menukar dengan temannya. Tetapi namanya juga takdir, lagi-lagi kesialan itu menimpa Taerae. Semua nggak mau tukeran partner sama dia. Taerae nggak paham ini sebuah kebetulan atau memang dunia nggak pernah berpihak padanya.

Kakak tingkatnya itu selalu telat masuk kelas, sama seperti hari ini. Kelas sudah diadakan tiga puluh menit yang lalu, tetapi Jiwoong nggak kunjung datang. Taerae sudah nggak peduli dengan hal itu, justru dia berharap kalau Jiwoong nggak masuk hari ini. Alhasil, dia bisa mendapatkan nilai untuk dirinya sendiri, nggak perlu ada nama Kim Jiwoong di lembar tugasnya.

“Re, partner lo kemana?”

Taerae lagi-lagi memutar bola matanya dengan malas karena pertanyaan yang dilontarkan oleh Park Sunghoon, teman satu kelasnya yang sering menggodanya.

“Mending diem deh.” Taerae sudah malas menanggapi Sunghoon. Biarlah, nggak hanya sekali Sunghoon menggodanya seperti itu.

“Kak Jiwoong telat lagi ya, Re? Sumpah deh, kata gue mah lo ganti partner aja.”

“Minimal mikir deh, gue dari tadi udah tanya satu persatu anak kelas tapi nggak ada yang mau tukeran sama gue. Gimana kalau lo aja yang sama Kak Jiwoong? Gue sama Jeongseong.”

“Duh, maaf. Pasangan lo udah dateng tuh.”

Taerae langsung menoleh ke belakang ketika Sunghoon bilang kalau pasangannya sudah masuk kelas. Dan memang benar, Jiwoong memasang wajah tanpa dosa dan langsung duduk di sampingnya. Nggak lupa dengan kepala yang dibaringkan di meja. Sangat menyebalkan bukan?

Kalau kalian penasaran kenapa Jiwoong bisa dengan mudah masuk ke kelas tanpa dimarahi oleh dosen, itu karena Jiwoong adalah anak kesayangan Pak Dong Wook, dosen mata kuliah public speaking.

Jiwoong kembali duduk tegak saat suara Pak Dong Wook memenuhi seisi kelas. Inilah pertempuran Taerae sebenarnya. Duduk di sebelah Jiwoong membuat Taerae hilang fokus. Bagaimana tidak? Jiwoong selalu saja menatap dirinya, sangat mengganggu.

“Kak, papan tulis ada di depan, bukan di muka gue.”

“Dek, bacain tulisan yang ada di papan tulis dong.” Jiwoong bukannya membalas omongan Taerae, justru membicarakan topik baru.

“Nggak mau.”

“Mata gue rabun jauh, Re. Guenya lupa bawa kacamata.”

Hanya berbekal dengan kata rabun jauh, Jiwoong berhasil membujuk adik tingkatnya itu. Dia nggak bohong, matanya memang rabun jauh, ia kesulitan membaca tulisan yang terpampang nyata di papan tulis.

“Lagian udah tau rabun jauh kenapa duduk di belakang sih?”

“Kalau duduk di depan kan nggak ada lo. Gue maunya duduk di samping lo.”

Sangat menyebalkan. Taerae paling nggak suka kalau Jiwoong sudah seperti ini, menggodanya sampai ia malas.

“Gue tulis aja, nanti lo bisa baca catetan gue ya, Kak.”

“Nggak mau, gue maunya dibacain.”

“Lo siapa gue sih, Kak? Kenapa manja banget gitu?”

Soon to be cowok lo.”

“Ngaco.”

Jiwoong tahu kalau adik tingkatnya itu salah tingkat ketika ia menggodanya. Kalau ditanya kenapa ia suka sekali menggoda Taerae, jawabannya sederhana. Jiwoong merasa dirinya sangat bahagia ketika melihat respon Taerae saat ia goda. Sungguh lucu.

“Kak, jadi gue bacain nggak? Kenapa ngelamun?”

“Maaf, lo cantik banget soalnya. Gue jadi nggak fokus.”

Demi Tuhan. Rasanya Taerae ingin segera berdiri dan langsung lari meninggalkan ruang kelas ini. Hatinya nggak tenang, pikirannya kacau kalau sudah mengobrol dengan Jiwoong. Ini semua salah. Dia nggak seharusnya terlalu memikirkan kakak tingkatnya itu.

“Kak Jiwoong.”

“Iya iya maaf, Taerae. Boleh bacain dari awal aja, gue dengerin sambil gue rekam ya.”

Jiwoong sudah bersiap mengambil ponsel miliknya yang ada di saku, tetapi tangan Taerae menahan. “Ngapain direkam? Jangan aneh-aneh, Kak.”

“Kalau cuma dengerin sekali tuh gue nggak bisa, Dek. Kalau gue rekam kan bisa didengar ulang. Ini bahan kerja kelompok kan? Lo mau gue kebingungan cari materinya? Oh, atau lo mau ngajarin gue lagi secara langsung?”

Taerae kikuk dengan alasan Jiwoong barusan. Dia memilih diam.

Dimulainya sesi membacakan materi kuliah hari ini untuk Jiwoong. Taerae nggak hanya asal membaca, ia juga menjelaskan dengan bahasanya sendiri. Ini yang membuat Jiwoong kagum sama adik tingkatnya itu, dan hal ini juga yang membuat dirinya sengaja mengambil mata kuliah public speaking. Selama Taerae membacakan apa yang ada di papan tulis, Jiwoong hanya menatapnya, nggak begitu memperhatikan atau bahkan mendengarkan Taerae membaca. Awalnya, hal itu nggak ketahuan, tetapi Taerae merasa janggal karena Jiwoong hanya diam, nggak memberikan reaksi apa-apa.

“Kak Jiwoong? Dengerin gue nggak sih?”

“Dek, gue nggak fokus banget ini gimana ya?”

“Nggak fokus gimana, Kak? Lo coba minta materinya sama Pak Dong Wook aja deh. Gue males.”

“Jangan gitu dong. Gue dengerin kok, serius. Cuma pas agak akhir emang kurang fokus soalnya lo beneran cantik banget gue sampe pengen pingsan.”

Lo beneran cantik banget gue sampe pengen pingsan.

Kali ini justru Taerae yang nggak bisa fokus. Rasanya aneh, ini nggak seperti dirinya. Taerae itu melihat Jiwoong sebagai kakak tingkat yang menyebalkan, sampai saat ini juga begitu. Hanya saja ketika Jiwoong melontarkan gombalan, dia salah tingkah.

“Dek, lo udah punya pacar?”

Jiwoong nggak bisa ya berhenti membuat Taerae jantungan. Ia tahu kok maksud dari pertanyaan itu arahnya kemana, ia sangat paham. “Nggak punya,” jawabnya.

“Gue mau.”

“Mau apa?”

“Jadi pacar lo, dek.”

“Guenya yang nggak mau.”


“Udah ngirim chat ke abang kau?”

Adalah hal yang ditanyakan Fourth ketika Gemini selesai meletakkan ponsel di salah satu meja kecil. Gemini mengangguk sebagai jawabannya, setelah menghubungi Phuwin, Gemini langsung naik ke ranjang Fourth, duduk di sampingnya. Sebenarnya, mereka nggak merencanakan apapun, karena Fourth bersikeras agar Gemini pulang malam ini juga. Awalnya Gemini menolak, ia hanya ingin menginap dan pulang keesokan paginya. Jelas saja Fourth menolak ide yang dilontarkan oleh Gemini, menurutnya itu nggak benar.

“Tapi nanti jam sepuluh pulang ya?” pinta Fourth.

“Iya. Kamu kalau mau ngerjain rekapan juga nggak papa. Aku kan netap di sini cuma mau ngeliatin kamu aja, nggak lebih.”

Fourth beranjak dari duduknya, menghampiri meja belajar dan membuka laptop. Kali ini, ia akan melanjutkan rekapan danusan yang belum juga di-update oleh Jingga, anaknya yang mangkir dari tanggung jawab. Kalau diingat lagi, jelas membuat Fourth kesal. Gemilang Festival akan diadakan seminggu lagi, tetapi anggotanya nggak ada yang muncul satupun di group. Dan karena itu, Fourth yang harus turun tangan untuk memesan semua hal yang bisa dijual.

Gemini dan koordinator divisi lain nggak ada yang mengetahui hal ini, Fourth nggak mau divisinya jelek hanya karena dirinya yang nggak cukup mampu untuk menjadi koordinator. Fourth itu nggak enakan, dalam dua minggu terakhir, hanya dirinya yang berjuang mendapatkan uang. Bahkan Aruna yang ia andalkan sejak awal nggak muncul di group. Memang, ia paham betul kalau saat ini adalah masa UAS, tetapi hal itu sebenarnya nggak bisa dijadikan alasan. Bukannya menjadi anggota usaha dana adalah salah satu tanggung jawab mereka?

Mau dibilang capek pun rasanya nggak sanggup lagi. Fourth sekarang ini ingin fokus kerja part time dan gajinya bakalan ia gunakan untuk menambah uang makan dan juga tambahan uang kas divisinya. Ini memang salahnya. Harusnya ia lebih tegas, tetapi Fourth nggak menggunakan jabatannya dengan baik. Ia memang payah.

“Gemini.”

Fourth rasanya ingin cerita saat ini juga saat ia panggil Gemini dan dia langsung menatapnya dengan tatapan seperti menunggu Fourth melanjutkan perkataannya.

“Kalau mau mengundurkan diri jadi koordinator, masih tetap kena denda ya?”

Padahal Fourth hanya bertanya seperti itu, tetapi Gemini langsung bangkit dari berbaringnya dan menghampiri Fourth yang masih berkutat dengan laptop, walaupun dengan tatapan yang kosong dan nggak tau mau diapakan laptop di hadapannya itu.

“Ada masalah apa lagi?”

Seolah tahu kalau Fourth ingin bercerita, Gemini langsung menuntunnya untuk duduk berdua di lantai yang sudah dilapisi karpet. “Cerita sama aku, Fourth,” ujarnya.

“Aku… capek banget. Berulang kali sudah ku bilang ke anggotaku kalau aku perlu mereka, tetapi nggak pernah ada satu orang pun yang peduli. Mereka semua lebih fokus sama pekerjaannya dan kuliah. Aku nggak bisa menyalahkan mereka karena aku pun bakalan begitu. Tapi, apa mereka pernah mikir kalau dengan nggak bekerja itu nggak dapat duit? Aku payah banget ya, Gem.”

“Nggak, kamu udah ngelakuin yang terbaik buat divisi kamu. Buang jauh-jauh pikiran jelek kamu, aku nggak suka. Semua evaluasi itu ditujukan untuk anggota kamu, bukan kamu. Jadi aku mohon jangan merasa kalau kamu payah. Aku ngomong sebagai ketua, aku udah lihat potensi kamu, kalau aku boleh jujur, kamu cuma kurang tegas sama mereka.”

“Aku udah pernah marah, tapi mereka sama sekali nggak ada yang minta maaf. Tapi anehnya waktu kau marah, mereka langsung cepat minta maaf. Mereka meremehkan aku kan, Gem?”

“Iya, mereka ngeremehin kamu. Kamu punya hak untuk marah kalau merasa bekerja sendiri, utamakan kamu dulu, baru mereka. Kalau merasa perlu bantuan, langsung bilang ke anggota kamu. Di sini kamu sama-sama nggak dibayar, jangan mau mereka seenaknya aja sama kamu Fourth, ayo coba lebih tegas lagi.”

Fourth menanamkan omongan Gemini barusan. Benar, ia harus lebih tegas.

“Gemini… makasih ya.”

“Aku panggilan darurat kamu, Fourth. Kalau kamu perlu aku sebagai orang yang bikin kamu nyaman, atau sebagai ketua kamu, aku siap. Limpahkan ke aku semua nggak papa. Kalau memang hal itu yang ngebuat kamu lebih baik.”

Fourth merasa beruntung punya seseorang yang bisa membuatnya tenang saat seperti ini. Dimana dia merasa tertekan karena kepanitiaan.

Part time kamu gimana? Kesusahan nggak?”

Ah, masalah itu. Fourth memang belum pernah cerita secara detail mengenai pekerjaannya. Gemini hanya tahu kalau ia bekerja sebagai barista, hanya itu nggak lebih. Kalau diingat juga saat itu memang mereka sedang perang dingin, nggak komunikasi sama sekali sebagai sepasang kekasih.

“Nggak kok, sejauh ini aman. Cuma terkadang aku capek saja, tapi itu kan emang konsekuensinya ya? Jadi yaudah. Aku terima semuanya saat ini.”

“Fourth.”

Gemini menarik tangan Fourth untuk digenggamnya.

“Aku harap aku bisa jadi seseorang yang bisa ngebuat kamu nyaman lagi.”

Fourth nggak paham sama arti dari tatapan Gemini. Yang ia tahu, Gemini menatapnya dengan tegas dan dalam.

“Iya, Gemini.”


“Udah ngirim chat ke abang kau?”

Adalah hal yang ditanyakan Fourth ketika Gemini selesai meletakkan ponsel di salah satu meja kecil. Gemini mengangguk sebagai jawabannya, setelah menghubungi Phuwin, Gemini langsung naik ke ranjang Fourth, duduk di sampingnya. Sebenarnya, mereka nggak merencanakan apapun, karena Fourth bersikeras agar Gemini pulang malam ini juga. Awalnya Gemini menolak, ia hanya ingin menginap dan pulang keesokan paginya. Jelas saja Fourth menolak ide yang dilontarkan oleh Gemini, menurutnya itu nggak benar.

“Tapi nanti jam sepuluh pulang ya?” pinta Fourth.

“Iya. Kamu kalau mau ngerjain rekapan juga nggak papa. Aku kan netap di sini cuma mau ngeliatin kamu aja, nggak lebih.”

Fourth beranjak dari duduknya, menghampiri meja belajar dan membuka laptop. Kali ini, ia akan melanjutkan rekapan danusan yang belum juga di-update oleh Jingga, anaknya yang mangkir dari tanggung jawab. Kalau diingat lagi, jelas membuat Fourth kesal. Gemilang Festival akan diadakan seminggu lagi, tetapi anggotanya nggak ada yang muncul satupun di group. Dan karena itu, Fourth yang harus turun tangan untuk memesan semua hal yang bisa dijual.

Gemini dan koordinator divisi lain nggak ada yang mengetahui hal ini, Fourth nggak mau divisinya jelek hanya karena dirinya yang nggak cukup mampu untuk menjadi koordinator. Fourth itu nggak enakan, dalam dua minggu terakhir, hanya dirinya yang berjuang mendapatkan uang. Bahkan Aruna yang ia andalkan sejak awal nggak muncul di group. Memang, ia paham betul kalau saat ini adalah masa UAS, tetapi hal itu sebenarnya nggak bisa dijadikan alasan. Bukannya menjadi anggota usaha dana adalah salah satu tanggung jawab mereka?

Mau dibilang capek pun rasanya nggak sanggup lagi. Fourth sekarang ini ingin fokus kerja part time dan gajinya bakalan ia gunakan untuk menambah uang makan dan juga tambahan uang kas divisinya. Ini memang salahnya. Harusnya ia lebih tegas, tetapi Fourth nggak menggunakan jabatannya dengan baik. Ia memang payah.

“Gemini.”

Fourth rasanya ingin cerita saat ini juga saat ia panggil Gemini dan dia langsung menatapnya dengan tatapan seperti menunggu Fourth melanjutkan perkataannya.

“Kalau mau mengundurkan diri jadi koordinator, masih tetap kena denda ya?”

Padahal Fourth hanya bertanya seperti itu, tetapi Gemini langsung bangkit dari berbaringnya dan menghampiri Fourth yang masih berkutat dengan laptop, walaupun dengan tatapan yang kosong dan nggak tau mau diapakan laptop di hadapannya itu.

“Ada masalah apa lagi?”

Seolah tahu kalau Fourth ingin bercerita, Gemini langsung menuntunnya untuk duduk berdua di lantai yang sudah dilapisi karpet. “Cerita sama aku, Fourth,” ujarnya.

“Aku… capek banget. Berulang kali sudah ku bilang ke anggotaku kalau aku perlu mereka, tetapi nggak pernah ada satu orang pun yang peduli. Mereka semua lebih fokus sama pekerjaannya dan kuliah. Aku nggak bisa menyalahkan mereka karena aku pun bakalan begitu. Tapi, apa mereka pernah mikir kalau dengan nggak bekerja itu nggak dapat duit? Aku payah banget ya, Gem.”

“Nggak, kamu udah ngelakuin yang terbaik buat divisi kamu. Buang jauh-jauh pikiran jelek kamu, aku nggak suka. Semua evaluasi itu ditujukan untuk anggota kamu, bukan kamu. Jadi aku mohon jangan merasa kalau kamu payah. Aku ngomong sebagai ketua, aku udah lihat potensi kamu, kalau aku boleh jujur, kamu cuma kurang tegas sama mereka.”

“Aku udah pernah marah, tapi mereka sama sekali nggak ada yang minta maaf. Tapi anehnya waktu kau marah, mereka langsung cepat minta maaf. Mereka meremehkan aku kan, Gem?”

“Iya, mereka ngeremehin kamu. Kamu punya hak untuk marah kalau merasa bekerja sendiri, utamakan kamu dulu, baru mereka. Kalau merasa perlu bantuan, langsung bilang ke anggota kamu. Di sini kamu sama-sama nggak dibayar, jangan mau mereka seenaknya aja sama kamu Fourth, ayo coba lebih tegas lagi.”

Fourth menanamkan omongan Gemini barusan. Benar, ia harus lebih tegas.

“Gemini… makasih ya.”

“Aku panggilan darurat kamu, Fourth. Kalau kamu perlu aku sebagai orang yang bikin kamu nyaman, atau sebagai ketua kamu, aku siap. Limpahkan ke aku semua nggak papa. Kalau memang hal itu yang ngebuat kamu lebih baik.”

Fourth merasa beruntung punya seseorang yang bisa membuatnya tenang saat seperti ini. Dimana dia merasa tertekan karena kepanitiaan.

Part time kamu gimana? Kesusahan nggak?”

Ah, masalah itu. Fourth memang belum pernah cerita secara detail mengenai pekerjaannya. Gemini hanya tahu kalau ia bekerja sebagai barista, hanya itu nggak lebih. Kalau diingat juga saat itu memang mereka sedang perang dingin, nggak komunikasi sama sekali sebagai sepasang kekasih.

“Nggak kok, sejauh ini aman. Cuma terkadang aku capek saja, tapi itu kan emang konsekuensinya ya? Jadi yaudah. Aku terima semuanya saat ini.”

“Fourth.”

Gemini menarik tangan Fourth untuk digenggamnya.

“Aku harap aku bisa jadi seseorang yang bisa ngebuat kamu nyaman lagi.”

Fourth nggak paham sama arti dari tatapan Gemini. Yang ia tahu, Gemini menatapnya dengan tegas dan dalam.

“Iya, Gemini.”


“Udah ngirim chat ke abang kau?”

Adalah hal yang ditanyakan Fourth ketika Gemini selesai meletakkan ponsel di salah satu meja kecil. Gemini mengangguk sebagai jawabannya, setelah menghubungi Phuwin, Gemini langsung naik ke ranjang Fourth, duduk di sampingnya. Sebenarnya, mereka nggak merencanakan apapun, karena Fourth bersikeras agar Gemini pulang malam ini juga. Awalnya Gemini menolak, ia hanya ingin menginap dan pulang keesokan paginya. Jelas saja Fourth menolak ide yang dilontarkan oleh Gemini, menurutnya itu nggak benar.

“Tapi nanti jam sepuluh pulang ya?” pinta Fourth.

“Iya. Kamu kalau mau ngerjain rekapan juga nggak papa. Aku kan netap di sini cuma mau ngeliatin kamu aja, nggak lebih.”

Fourth beranjak dari duduknya, menghampiri meja belajar dan membuka laptop. Kali ini, ia akan melanjutkan rekapan danusan yang belum juga di-update oleh Jingga, anaknya yang mangkir dari tanggung jawab. Kalau diingat lagi, jelas membuat Fourth kesal. Gemilang Festival akan diadakan seminggu lagi, tetapi anggotanya nggak ada yang muncul satupun di group. Dan karena itu, Fourth yang harus turun tangan untuk memesan semua hal yang bisa dijual.

Gemini dan koordinator divisi lain nggak ada yang mengetahui hal ini, Fourth nggak mau divisinya jelek hanya karena dirinya yang nggak cukup mampu untuk menjadi koordinator. Fourth itu nggak enakan, dalam dua minggu terakhir, hanya dirinya yang berjuang mendapatkan uang. Bahkan Aruna yang ia andalkan sejak awal nggak muncul di group. Memang, ia paham betul kalau saat ini adalah masa UAS, tetapi hal itu sebenarnya nggak bisa dijadikan alasan. Bukannya menjadi anggota usaha dana adalah salah satu tanggung jawab mereka?

Mau dibilang capek pun rasanya nggak sanggup lagi. Fourth sekarang ini ingin fokus kerja part time dan gajinya bakalan ia gunakan untuk menambah uang makan dan juga tambahan uang kas divisinya. Ini memang salahnya. Harusnya ia lebih tegas, tetapi Fourth nggak menggunakan jabatannya dengan baik. Ia memang payah.

“Gemini.”

Fourth rasanya ingin cerita saat ini juga saat ia panggil Gemini dan dia langsung menatapnya dengan tatapan seperti menunggu Fourth melanjutkan perkataannya.

“Kalau mau mengundurkan diri jadi koordinator, masih tetap kena denda ya?”

Padahal Fourth hanya bertanya seperti itu, tetapi Gemini langsung bangkit dari berbaringnya dan menghampiri Fourth yang masih berkutat dengan laptop, walaupun dengan tatapan yang kosong dan nggak tau mau diapakan laptop di hadapannya itu.

“Ada masalah apa lagi?”

Seolah tahu kalau Fourth ingin bercerita, Gemini langsung menuntunnya untuk duduk berdua di lantai yang sudah dilapisi karpet. “Cerita sama aku, Fourth,” ujarnya.

“Aku… capek banget. Berulang kali sudah ku bilang ke anggotaku kalau aku perlu mereka, tetapi nggak pernah ada satu orang pun yang peduli. Mereka semua lebih fokus sama pekerjaannya dan kuliah. Aku nggak bisa menyalahkan mereka karena aku pun bakalan begitu. Tapi, apa mereka pernah mikir kalau dengan nggak bekerja itu nggak dapat duit? Aku payah banget ya, Gem.”

“Nggak, kamu udah ngelakuin yang terbaik buat divisi kamu. Buang jauh-jauh pikiran jelek kamu, aku nggak suka. Semua evaluasi itu ditujukan untuk anggota kamu, bukan kamu. Jadi aku mohon jangan merasa kalau kamu payah. Aku ngomong sebagai ketua, aku udah lihat potensi kamu, kalau aku boleh jujur, kamu cuma kurang tegas sama mereka.”

“Aku udah pernah marah, tapi mereka sama sekali nggak ada yang minta maaf. Tapi anehnya waktu kau marah, mereka langsung cepat minta maaf. Mereka meremehkan aku kan, Gem?”

“Iya, mereka ngeremehin kamu. Kamu punya hak untuk marah kalau merasa bekerja sendiri, utamakan kamu dulu, baru mereka. Kalau merasa perlu bantuan, langsung bilang ke anggota kamu. Di sini kamu sama-sama nggak dibayar, jangan mau mereka seenaknya aja sama kamu Fourth, ayo coba lebih tegas lagi.”

Fourth menanamkan omongan Gemini barusan. Benar, ia harus lebih tegas.

“Gemini… makasih ya.”

“Aku panggilan darurat kamu, Fourth. Kalau kamu perlu aku sebagai orang yang bikin kamu nyaman, atau sebagai ketua kamu, aku siap. Limpahkan ke aku semua nggak papa. Kalau memang hal itu yang ngebuat kamu lebih baik.”

Fourth merasa beruntung punya seseorang yang bisa membuatnya tenang saat seperti ini. Dimana dia merasa tertekan karena kepanitiaan.

“Part time kamu gimana? Kesusahan nggak?”

Ah, masalah itu. Fourth memang belum pernah cerita secara detail mengenai pekerjaannya. Gemini hanya tahu kalau ia bekerja sebagai barista, hanya itu nggak lebih. Kalau diingat juga saat itu memang mereka sedang perang dingin, nggak komunikasi sama sekali sebagai sepasang kekasih.

“Nggak kok, sejauh ini aman. Cuma terkadang aku capek saja, tapi itu kan emang konsekuensinya ya? Jadi yaudah. Aku terima semuanya saat ini.”

“Fourth.”

Gemini menarik tangan Fourth untuk digenggamnya.

“Aku harap aku bisa jadi seseorang yang bisa ngebuat kamu nyaman.”

Fourth nggak paham sama arti dari tatapan Gemini. Yang ia tahu, Gemini menatapnya dengan tegas dan dalam.

“Iya, Gemini.”

jeongrae ft ziroto, kamden, and seunghwan

sebelumnya aku mau bilang kalau ini memang cerita minim konflik, jadi maklum kalau putus baru beberapa jam dan balikan lagi. namanya juga jeongrae.


zihao melihat jeonghyeon yang menangis karena skripsi miliknya sudah ditandatangani oleh dosen pembimbing. ia adalah saksi dimana jeonghyeon yang bahkan rela nggak makan karena mengerjakan tugas akhir yang menyebalkan itu. sebenarnya, zihao juga bingung kenapa jeonghyeon sampe nggak makan, padahal kan ada taerae yang perhatian sama temannya itu. dan hari ini dia baru mengetahui kalau taerae dan jeonghyeon sudah putus, atau bisa dibilang break.

“jeong, lo beneran kan skripsinya di-acc?” tanya zihao. bukan tanpa alasan dia nanya begini, kalian pasti tahu kenapa.

jeonghyeon bingung soalnya zihao selalu nanya kayak gitu, padahal seunghwan, kamden, hanbin pun nggak pernah memastikan dirinya beneran di-acc apa nggak. “iya, udah kok. ini besok gue bisa langsung daftar sidang, kebetulan emang berkasnya udah gue siapin dari pas masih skripsi-an,” jawab jeonghyeon.

zihao mengangguk mengerti, nggak lama dia berdiri dan mulai mendekati jeonghyeon. “berarti kalau gue tonjok lo sekarang nggak papa dong?”

tanpa ngomong apapun lagi, zihao melayangkan tinjunya ke pipi jeonghyeon. semua yang ada di ruangan itu kaget soalnya zihao nggak pernah adu mulut atau bahkan berkelahi dengan mereka tanpa alasan yang jelas. ini pasti sudah melebihi batas wajar.

“zi, lu apa-apaan sih? temen lu lagi seneng malah lu tonjok gitu.” seunghwan belum paham mengenai situasi saat ini, begitupun dengan kamden dan hanbin yang melongo aja sama kelakuan zihao.

“coba tanya deh ke temen lo itu. kita semua tau emang dia lagi stres karena skripsi, tapi tega banget mutusin taerae pas besoknya dia sidang? apa nggak keterlaluan? pacarnya— oh apa boleh disebut sebagai mantannya ya? oke, mantannya itu besok sidang, dan sekarang lagi nggak fokus gara-gara diputusin sama lee jeonghyeon.”

semua yang ada di ruangan itu kaget karena ucapan zihao barusan, bahkan jeonghyeon yang habis ditonjok sama zihao pun juga sama kagetnya. ternyata dia nggak tahu kalau pacarnya bakalan sidang besok. sangat disayangkan.

“jeong, lu beneran? mutusin taerae di saat besoknya dia sidang?” kali ini seunghwan yang nanya.

“gue…. nggak tahu kalau dia sidang besok.”

lagi-lagi, semua teman jeonghyeon shock ketika mendengarnya sekarang. bagaimana bisa jeonghyeon nggak tahu?

“serius jeong, taerae bahkan di tengah kesibukan persiapan sidang itu mikirnya ke lo doang. gue bahkan dikasih tahu kalau mantan lo itu udah niat ngasih vitamin dan makanan tapi dengan teganya lo nolak? bahkan langsung mutusin dia saat itu juga. gue emang temen lo, tapi gue paling nggak bisa ngeliat orang yang udah peduli sama lo malah lo sia-siakan kayak gitu, lee jeonghyeon.” zihao sangat serius waktu ngomong kayak gini, dia bahkan sampai memijat pelipisnya, terlalu pusing memikirkan kelakuan jeonghyeon yang sangat tolol itu.

“terus karena lu udah kelar nih skripsinya, lu mau balik lagi ke dia gitu ya, jeong? kasihan di taerae kalau terus-terusan kayak gini.” kamden yang dari tadi diam jadi ikutan ngomong karena memang teman tolol itu kelakuannya di luar nalar.

“kata gue lu langsung minta maaf sama taerae deh, jeong,” kata seunghwan, memberi saran.

jeonghyeon terlihat masih memproses semua ini di otaknya. dia hari ini sangat senang karena akhirnya skripsinya selesai dan dia bisa mendaftar sidang, tetapi dia lupa kalau dia telah menaruh rasa sedih ke kim taerae, pacarnya yang sekarang telah menjadi mantannya.

“taerae lagi sama hiro di rumahnya kalau lo beneran niat mau minta maaf sama dia.”

jeonghyeon langsung pergi waktu zihao ngomong gitu. semua yang dilakuin sama jeonghyeon dilihat sama teman-temannya yang ada di ruangan ini.

“ini kita anterin aja nggak sih? lu liat muka jeonghyeon jadi linglung gitu. boleh kan zi kalau kita ikut nganter?” tanya seunghwan.

zihao menghela nafas berat, “yaudah pake mobil gue aja deh.”

mereka semua menghampiri jeonghyeon yang masih mencari kunci motornya itu. entah sebenarnya jeonghyeon beneran cari kuncinya atau nggak karena dia cuma meraba-raba dan nggak dicari beneran. nggak papa, namanya juga lagi panik.

“jeong, pake mobil zihao aja ya. kasihan lu abis di-acc malah panik begitu. jangan nolak dah, langsung masuk ke mobil aja sono.”

awalnya jeonghyeon menolak karena ia pikir ini memang tanggung jawabnya jadi dia harus ke rumah taerae sendirian, nggak perlu ngajak teman-temannya. hanya saja tangannya ditarik paksa oleh kamden dan temannya itu menuntunnya untuk masuk ke mobil zihao. mereka nggak setega itu membiarkan jeonghyeon mengendarai motor sendiri selama tiga puluh menit dengan pikiran yang kemana-mana, bisa gawat di jalan kalau gitu.


mereka sudah sampai di kediaman rumah taerae. kelihatan sepi untuk keadaan rumah yang jeonghyeon tahu biasanya ramai. jeonghyeon langsung saja turun dari mobil dan meninggalkan teman-temannya yang masih di mobil. dia mengetuk pintu rumah taerae, nggak lama pintu terbuka tetapi yang jeonghyeon lihat justru hiroto, pacar zihao.

“ngapain kesini?” tanya hiro.

“lu ngapain di mari? gue mau ketemu taerae.”

“enak banget ya lu ngomongnya.”

“yang, udah biarin jeonghyeon ngobrol sama taerae ya. itu juga udah aku dan yang lainnya tonjok kok tadi. liat coba itu bibirnya ada lukanya ‘kan?” zihao mencoba membujuk hiroto yang masih marah sama jeonghyeon.

hiroto melihat luka yang ada di bibir jeonghyeon, memang benar ternyata. bahkan dia juga bisa melihat jeonghyeon yang sangat berantakan, sandal jepit hijau yang hiroto tahu kalau itu dibeliin sama taerae, juga kaos putih yang memang dipilihin sama taerae.

“anaknya ada di kamar, abis belajar buat sidang. nggak tahu masih kebangun apa nggak.”

jeonghyeon langsung berjalan ke kamar taerae, waktu dia mencoba untuk mengintip sedikit, jeonghyeon melihat taerae masih terbangun dengan memegang kertas yang bisa ia tebak adalah skripsinya. dia memberanikan diri untuk masuk ke kamar itu. taerae bahkan nggak sadar kalau ada orang masuk. ia terlalu fokus belajar untuk sidang besok.

“taerae,” panggil jeonghyeon secara pelan.

taerae langsung menengok, dia mendapati pacarnya— oh mantannya yang ada di hadapannya sekarang. dia nggak percaya, makanya dia coba untuk mencubit pipinya dan ternyata sakit. oh, ini semua nyata, bukan mimpi.

“jeonghyeon?”

“iya, ini aku. lee jeonghyeon, orang yang udah jahat sama kamu.”

taerae berdiri dari duduknya, ia menghampiri jeonghyeon. “kamu ngapain kesini?” tanyanya.

“aku minta maaf. aku tolol banget dan bahkan egois udah nggak peduli sama perasaan kamu, aku selalu ngutamain perasaan aku. kamu pasti capek. besok sidangnya gimana? udah belajar? aku buatin susu ya kayak biasanya.”

jeonghyeon berniat untuk keluar kamar dan membuat minuman hangat untuk taerae, tetapi ada yang menarik ujung kaosnya, menahannya untuk pergi. itu adalah tangan taerae.

“jangan pergi, please.”

“aku nggak pergi lama, cuma mau buatin susu biar kamu bisa fokus belajar buat sidang.”

“aku udah minum susu tadi dibuatin sama hiro.”

taerae memeluk jeonghyeon dari belakang. dia beneran capek. “jeonghyeon sebentar ya, aku tau kita udah putus tapi aku perlu pelukan kamu sekarang. makasih udah dateng.”

lagi, jeonghyeon diselimuti rasa bersalah. dia bakalan mengerti dan nggak akan maksa kalau memang taerae mau pisah dan nggak balikan sama dia. tangan taerae semakin erat memeluknya, dia mencoba menenangkan taerae dengan diusapnya punggung tangan yang sedang memeluknya itu. jeonghyeon pikir dirinya nggak akan menangis di saat seperti ini, ia malu mengakuinya tetapi air matanya menetes bersamaan dengan taerae yang melepaskan pelukannya.

taerae menyadari kalau jeonghyeon menangis. “kamu… kenapa nangis?” tanyanya. jelas dia heran, jeonghyeon yang dia kenal nggak pernah menangis atau terlihat lemah sedikitpun di hadapannya.

jeonghyeon nggak menjawab, dia cuma menggelengkan kepalanya dan mencoba untuk mengusap air matanya sendiri. taerae yang melihat itu membantu jeonghyeon untuk mengusap air matanya dengan kedua tangannya karena walaupun jeonghyeon sudah mengusap terus-menerus, air matanya nggak kunjung berhenti.

“aku jahat banget sama kamu. si lee jeonghyeon ini bisanya cuma nuntut tapi nggak pernah ngertiin perasaan kamu. bajingan memang.”

“siapa yang bajingan?”

“aku.”

“siapa yang bilang kamu bajingan?”

“aku… barusan.”

taerae menggenggam kedua tangan jeonghyeon, dielusnya pelan dan ia tatap kedua mata laki-laki yang ada di hadapannya sekarang. “udah, ngomongin diri sendiri bajingannya udah cukup. aku nggak mau kamu bilang omongan jelek itu lagi.”

“lu nggak marah sama gue?”

“marah, gue marah banget. tapi gue paham lu kan orangnya emang suka aneh kalau lagi stres, enak banget bilang break padahal bisa diselesaikan baik-baik tanpa ada kayak gitu. selain itu juga ada satu alasan kenapa gue nggak mau pisah sama lu, jeonghyeon.”

jeonghyeon mengerutkan dahinya, dia nggak paham sama omongan taerae barusan. “maksudnya gimana?”

“kamu nggak inget? dulu kamu pernah nolongin aku waktu bayaran UKT, dulu aku panik soalnya kartu ATM aku diblokir sama kakak aku sendiri, tapi kamu minjemin uang sekian juta. aku tau sih itu nggak seberapa buat kamu, tapi aku beneran merasa bersyukur saat itu juga. kamu tuh penyelamat aku, kamu yang bisa buat aku kuliah sampai selesai.”

jeonghyeon nggak pernah tahu kalau kejadian itu masih diingat sama taerae. kalau nggak salah waktu itu mereka masih menempuh semester dua akhir. jeonghyeon masih ingat waktu itu dimana taerae yang panik karena nggak bisa membayar uang kuliah yang sudah ia kumpulkan dari hasil kerja part-time.

“berarti kamu mau sama aku karena duitnya ya?”

“awalnya sih iya, tapi lama-kelamaan kok aku cocok ya sama kamu?”

“cocok gimana?”

“sama gilanya.”


jeonghyeon dan taerae keluar dari kamar setelah berbicara panjang dan menyelesaikan masalah mereka. saat ini mereka mendapati seunghwan, kamden, hiroto, dan zihao yang entah ngobrol tentang apa di ruang tamu. waktu jeonghyeon dan taerae mulai menghampiri mereka, hiroto langsung berdiri menarik taerae untuk duduk di sebelahnya.

“jeonghyeon, lu duduk samping zihao aja.”

jeonghyeon yang nggak ngerti apa-apa itu menuruti hiroto yang kelihatannya sedang marah dengan zihao. duduklah dia di sofa yang berseberangan dengan taerae dan hiroto. jeonghyeon duduk di samping zihao, sedangkan seunghwan dan kamden duduk di karpet. hiraukan saja, mereka memang hanya menonton dua pasangan yang sedang berantem itu.

“gimana jeong, balikan lagi atau tetep putus?” tanya seunghwan.

memang benar, ini kesekian kalinya taerae dan jeonghyeon putus hanya beberapa jam lalu balikan lagi. memang sudah biasa. yang ditanya sih cuma bisa nyengir aja. seperti nggak ada dosa pokoknya.

“lu berdua balikan, si zihao sama hiro malah berantem. nggak tau tuh putus apa nggak.” kamden menyahut.

“tumben banget anjir, kenapa?”

“gara-gara lu semua lah, udah tau zihao nggak bisa minum alkohol malah diajakin aneh-aneh. nggak ngotak lu semua.” hiroto membuat suasana di ruangan itu menjadi sunyi, semuanya diam dan merasa tegang.

“yang, aku udah bilang ini aku yang mau, mereka nggak salah.” zihao masih ingin membela teman-temannya, dan ini yang membuat hiroto malas.

“kamu diem dulu deh, aku nggak percaya. pasti kamden kan yang ngajarin kamu?”

serius, kamden dari tadi cuma diam saja. waktu mereka berantem juga dia nggak ngomong apa-apa. tapi yaudah, dia hidup pun salah di mata hiroto yang sangat membencinya itu.

“gue nggak ngapa-ngapain serius, deh. zihao waktu itu mau nyicip sendiri ya gue kasih. malah udah gue suapin juga kok. gue manja-manjain beneran deh, hir.”

hiroto masih menatap kamden dan seunghwan nggak suka.

“jeonghyeon lu kalau mutusin taerae sekali lagi, nggak akan gue izinin lu buat deket sama temen gue. sumpah, demi Allah, gue bakalan maki-maki lu sampe telinga lu nggak bisa denger.”

jeonghyeon dari tadi cuma ngeliatin taerae yang ada di seberangnya itu kaget sama suara hiroto. “yaudah kalau nggak lu izinin gue backstreet aja sama taerae,” jawab jeonghyeon.

“oh jadi lu berniat mau mutusin dia lagi? otak lu pindah kemana sih? lu, seunghwan, kamden, dan zihao sama aja gilanya.”

taerae menarik ujung kaos hiroto yang lagi marah sambil berdiri itu, sumpah besok dia sidang dan taerae nggak mau suasana kali ini tambah kacau.

“lu pulang aja deh semuanya, jeonghyeon juga. gue beneran mau fokus sama sidang besok, kalau mau berantem lanjut di luar rumah aja ya.”

semuanya diam. yang punya kuasa akhirnya ngomong, hiroto juga langsung duduk, walaupun tatapannya masih menatap mereka berempat dengan tatapan nggak suka.

“aku juga pergi, yang?” tanya jeonghyeon.

“iya, lu semua pergi dah. gue pusing tiba-tiba.”