zhang hao x taerae ditulis sebanyak empat ribu enam ratus kata.
tags cw // self blaming thoughts, boys kissing (just peck kiss not that deep)
academic rivals au, commissioned by yua.
“Lo jadi ikutan lomba paper, Re?”
Sudah ketiga kalinya Chaehyun menanyakan hal ini kepadanya, dan jawabannya tetap sama; Taerae akan tetap mengikuti perlombaan membuat paper yang diadakan oleh kampusnya sendiri. Dia tertarik karena hadiah yang ditawarkan membuat Taerae bergejolak ingin memenangkan perlombaan kali ini.
“Udah berapa kali sih lo nanya?”
“Abisnya si Hao anak kelas sebelah juga ikutan tau, gue cuma takut beasiswa lo dicabut karena dia.”
Taerae mengerutkan dahinya, sumpah seumur hidup, Kim Taerae nggak pernah sekalipun merasa terancam karena seseorang. Jadi bisa dibilang siapapun yang ikut lomba kali ini, dia nggak peduli.
“Si Zhang Hao maksud lo?”
“Iya.”
Zhang Hao, pesaing yang selalu Taerae perhatikan. Mulai dari cara Hao menulis essay-nya, kata-kata yang dia pilih, atau bahkan relasi apa saja yang sudah dibangun oleh anak kelas sebelah si Zhang Hao itu. Kalian boleh menganggap kalau Hao adalah mahasiswa yang selalu bersaing dengannya. Taerae masih ingat bagaimana Hao mengikutinya untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Dia tahu betul kalau Hao nggak mungkin ada pikiran ingin kuliah di kota yang katanya penuh kenangan itu.
Entah Taerae atau Hao yang memiliki rasa obsesi, intinya diantara mereka berdua jika sudah bersaing, nggak ada yang mau kalah. Keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, Taerae dengan kehidupan middle class-nya, dan Zhang Hao dengan kehidupan high class-nya. Makanya, waktu Chaehyun bilang kalau Hao bakalan ikut lomba yang sama dengannya, ia tahu niat terselubung dari Hao. Laki-laki itu nggak mungkin mengincar hadiah, melainkan ia hanya ingin mengalahkan Kim Taerae. Itu saja.
Dan Kim Taerae, jelas ia merasa tersaingi. Hasrat ingin menangnya lebih membuncah detik ini.
“Kan gue nggak peduli, Chae. Gue bisa menang kok dari dia,” ujarnya penuh dengan percaya diri.
Chaehyun, sahabat dekatnya saat di perkuliahaan ini. Bertemu saat orientasi kampus dan berakhir menjadi sahabat karibnya.
Chaehyun yang mendengar jawaban dari Taerae merasa tenang sedikit, walaupun masih banyak khawatirnya. Ia paham kalau Taerae sangat menjaga predikatnya sebagai mahasiswa berprestasi di kampusnya. Dan karena itu juga, Chaehyun menyarankan untuk nggak pernah ikut perlombaan dimana Zhang Hao menjadi saingannya. Si yang selalu peraih nomor satu, kata seantero kampus.
“Chae, lo jangan ngeliatin gue kayak kasihan gitu dong. Gue bisa ngalahin dia, kenapa jadi lo yang pesimis?”
“Terakhir lo bilang gitu, Hao selangkah lebih awal daripada lo, Re. Gue nggak bisa kalau beasiswa lo dicabut terus putus kuliah, guenya sama siapa?”
Taerae menghela nafasnya. Ternyata Chaehyun masih ingat dimana dia dikalahkan oleh Hao di lomba debat kala itu, kalau nggak salah ingat, saat itu terjadi sekitar semester dua.
“Chae, gue nggak pernah se-percaya diri ini tau. Gue yakin kali ini gue pasti menang kok. Walaupun nggak juara satu, mungkin gue bisa lebih unggul nilainya daripada Hao.” Taerae menenangkan sahabatnya, ia nggak mau Chaehyun punya rasa pesimis di depannya. Ia nggak suka.
“Yaudah, mau mampir ke Lawson nggak? Gue lagi pengen odeng.”
“Boleh. Tapi gue ke ruangan sekretariat dulu ya mau ngumpulin berkas.”
Taerae langsung pergi setelah mengatakannya. Berkas yang ingin ia kumpulkan saat ini adalah persyaratan untuk beasiswa ke luar negeri, tepatnya di Perancis. Ia selalu bilang ke siapapun yang baru mengenalnya, kalau suatu saat Taerae pasti akan meninggalkan kota Yogyakarta dan ingin mulai kehidupan di Perancis.
Menjadi mahasiswa berprestasi membuat dirinya dikenal dengan banyak dosen, ia juga perlu membangun relasi yang kuat saat di bangku kuliah. Dan Taerae nggak akan menyia-nyiakannya. Sejak Taerae kuliah, nilainya nggak pernah turun, selalu di angka 4.00.
“Berkas apaan tuh? Ribet banget kayaknya, gue bantu bawain, mau nggak?”
Suara yang paling ia benci itu tiba-tiba menawarkan bantuan. Sangat aneh bagi Taerae. Benar, lelaki yang baru saja ingin membantunya itu adalah Zhang Hao, saingannya dalam memperebutkan gelar mahasiswa berprestasi. Sebenarnya, mereka berdua sudah mendapatkan gelar itu, karena keduanya selalu berada di tingkat yang sama perihal nilai. Dan hal itu, membuat Taerae muak karena terus disandingkan oleh Zhang Hao.
“Nggak usah sok kenal.” Taerae memandang Hao dengan tatapan kesal.
Saat Taerae bersikap ketus padanya, Hao hanya bisa tertawa kecil. Entahlah, ia paling suka kalau melihat Taerae kesal karenanya. Mungkin bisa dibilang itu termasuk hiburan bagi Hao.
“Lo doang mah gue kenal, Re. Sahabat sejati nggak sih? Dari dulu setiap ada lo pasti selalu ada gue.” Hao hanya berniat menggoda Taerae, yang diomongin sama dia barusan juga nggak ada benarnya, karena mereka nggak pernah sesering itu bersama.
“Lo nggak usah ganggu deh. Urusin aja paper lo.”
“Oh, Kim Taerae ini ikutan lomba juga ya? Asik dong, gue saingan lagi sama lo.”
“Apa asiknya?”
Hao menatap Taerae tepat di kedua matanya. Saat Taerae bertanya seperti itu, dia tertawa kecil. Hao mendekat ke Taerae, langkah demi langkah, sampailah ia sekarang di hadapan saingannya itu, hanya berjarak kurang dari sepuluh senti.
“Asik banget kalau ngeliat muka lo natap nggak suka ke gue. Apalagi kalau lo kalah, rasanya pengen gue foto terus gue jadiin kenang-kenangan.”
“Minggir lo, anjing.”
Taerae mendorong badan Hao ke samping, hampir saja jatuh kalau saja ia nggak menjaga keseimbangan secepat mungkin. “Lo jahat banget sama gue, Re,” keluhnya. Nggak lupa juga Hao pasang wajah melas di depan Taerae.
Dan Kim Taerae, hanya memutar bola matanya malas.
Ditinggalnya Hao yang masih mengeluarkan seringaian andalannya. “Let’s see, Kim Taerae. Lo bakalan kalah lagi sama gue.”
Taerae sudah nggak tahu lagi harus apa, harus bagaimana ia menghadapi situasi ini untuk kedepannya. Terhitung sudah lebih dari puluhan kali ia mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah untuk hari ini. Menurutnya, hari ini adalah hari yang mungkin paling sial yang pernah dihadapi. Berpasangan dengan Zhang Hao di acara prodi membuatnya ingin menghilang. Dari sekian banyak mahasiswa di jurusannya, nggak tahu kenapa harus Hao yang menjadi pasangannya.
Dia jelas sangat kesal, terlihat dari raut wajah yang memang menatap nggak suka dengan orang yang saat ini ada di sampingnya. Nggak lain dan nggak bukan, Zhang Hao.
“Re, kok diem aja?” Hao bingung, karena sejak pembagian pasangan, Taerae selalu diam dan nggak menunjukkan raut wajah bahagia sama sekali.
Taerae memicingkan matanya, “Coba lo pikir sendiri, deh,” jawabnya dengan nada ketus.
“Padahal kalau kita pasangan gini enak, loh. Bayangin aja deh mahasiswa yang sama-sama unggul dipasangin. Mereka makin takut nggak sih sama kita? Bahkan gue sama lo bisa main alat musik dan bisa nyanyi juga. Yakin banget nggak mau satu kelompok sama gue?”
Jelas saja Taerae sangat menantikan tugas kali ini, dimana dia bisa menunjukkan bakatnya selain bidang akademik. Naasnya, Hao juga punya bakat yang sama, dan Taerae awalnya nggak mengetahui tentang hal yang satu ini. Dengan omongan Hao barusan, membuat Taerae berpikir sejenak. Memang benar, keuntungan yang didapat pasti adalah nilai A, mereka berdua yakin. Tetapi berjuang mendapatkan nilai A dengan sainganmu sendiri, apakah itu sebuah keputusan yang bisa ia pikirkan lagi? Dia nggak tahu.
Ini semua diluar dugaannya.
Taerae enggan mengakui kalau ia setuju dengan Hao.
“Gimana, Re? Kalau emang lo nggak mau, gue bilang nih ke dosen.”
“Peduli banget sampe lo mau bilang ke dosen cuma karena gue nggak mau.”
“Dengerin gue deh, gue begini mah bukan karena lo, tapi ini kepentingan personal. Gue nggak suka kerja sama orang yang dari awal nggak ada minatnya ke gue, buang waktu.”
Ah, Taerae sampai lupa kalau seorang Zhang Hao itu sangat perfeksionis.
“Yaudah, gue mau.”
“Mau apa tuh? Yang jelas dong.”
Lagi-lagi ia digoda.
“Mau sekelompok sama lo, anjing. Bisa nggak sih nggak usah banyak tanya? Nyebelin.”
“Gitu dong, harusnya dari tadi, Re.”
Sumpah, kalau bisa ia jabarkan tentang perasaannya saat ini, Taerae pasti bakalan jawab kalau dia beneran kesal dengan Zhang Hao. Entahlah, kalau itu berhubungan dengan Hao pasti Taerae kesal sampai mampus.
“Kalau nanti balik abis kelas langsung bahas tentang lagu yang bakalan kita bawain, gimana? Lo nggak bakalan lupa kan kalau Sir Damar cuma kasih waktu empat hari? Jadi tolong banget, Re, usahakan pisahin jadwal part time lo sama projek kita.”
“Hao, tanpa lo suruh juga gue udah paham. Gue bisa urus diri waktu gue sendiri.”
“Well, that’s good kalau gitu. Empat hari rutin ketemu gue ya?”
Mau nggak mau Taerae mengiyakannya. Dia beneran nggak tau ini pertanda baik atau buruk, bertemu dengan Hao setiap hari membuat dirinya mungkin bakalan terbiasa sama tingkah konyol nggak jelas yang bisa membuat Taerae naik pitam.
Hari pertama, 25 Juni 2023.
Public Us Coffee.
Lebih dari tiga puluh menit Taerae menunggu Hao yang sampai detik ini nggak memunculkan batang hidungnya sama sekali. Ia sangat kesal. Kalau tahu bakalan begini, dia nggak akan datang tepat waktu. Semua waktu yang telah ia atur berantakan sudah, ini semua karena Hao telat. Mereka berjanji untuk mendiskusikan tentang konsep yang akan mereka bawakan saat kelas Music Performance di salah satu kafe Yogyakarta yang cukup ramai, Public Us Coffee.
Yang menentukan semua rencana hari ini adalah Hao, mulai dari jam dan tempat. Tetapi bisa kalian tahu kalau Hao sampai saat ini nggak datang. Taerae sudah mencoba untuk menghubunginya, tetapi lagi-lagi panggilannya ditolak.
“Ah, bangsat. Tau gini gue nggak izin kerja.”
Memang ya menyesal itu pasti di akhir. Taerae sudah mengambil libur sehari karena ia pikir Hao bakalan datang dan nggak telat lebih dari tiga puluh menit. Kacau sudah. Ia sudah kehilangan kesabaran, dia nggak bisa menunggu lebih lama lagi. Baru saja Taerae memasuki tab yang sudah disiapkan tadi, Hao dengan wajah tanpa dosanya menyapanya seolah nggak terjadi apa-apa.
“Hai! Lo udah concepting?” Hao duduk di seberang Taerae. Lelaki itu mengambil minuman yang sudah Taerae pesan, dan tentu saja— meminumnya.
“Anjing ya lo, enak banget udah buat gue nunggu lebih dari tiga puluh menit terus lo malah ngambil minuman gue. Lagi, muncul pake wajah nggak berdosa lo itu.”
“Gue ganti, berapa harganya?”
Taerae menahan amarahnya, sumpah kalau dia lagi nggak di publik, bisa-bisa Hao udah babak belur. “Ini bukan soal duit, Hao. Ini tentang lo yang telat dan nggak sopan.”
“Oh, sorry. Gue minta maaf. Tadi tiba-tiba dipanggil Sir Orbi terus gue sebagai mahasiswa yang teladan, ya langsung pergi. Gue lupa ngabarin lo, Re. Maaf banget ya.”
“Lo bisa aja ngabarin gue. Di sini gue nungguin lo kayak orang bego tau nggak sih? Gue kesel.”
“Gue kan udah minta maaf, Re? Masa masih mau kesel dan marah? Lagipula gue telat nggak sampe satu jam kok, nggak begitu lama.”
“Gue benci banget sama lo, Zhang Hao.”
Kesabarannya sudah nggak bisa ditahan lagi, Taerae pergi dari sana dan tentu saja meninggalkan Hao yang masih nggak merasa bersalah. Hari pertama berdiskusi dengan Hao semuanya sia-sia. Dan sekarang, mereka hanya punya waktu enam hari.
Hari Kedua, 26 Juni 2023.
Kelas 2.403, Gedung Sastra.
Setelah kejadian di Public Us Coffee, Taerae mulai menegaskan ke Hao kalau mereka ini tim, dan nggak seharusnya bersikap nggak peduli sama keadaan sesama tim. Juga, ia yang menetapkan dimana dan kapan mereka akan berdiskusi untuk penampilan mereka.
Saat Taerae memasuki kelas yang jadi tempat diskusi dengan Hao, dia melihat lelaki yang ia benci itu sudah sampai lebih dulu. “Langsung pilih lagu aja, ya. Gue nggak bisa lama-lama soalnya izin kerja cuma sebentar.” Taerae mengatakannya setelah dia meletakkan tasnya di kursi.
“Kenapa izinnya cuma sebentar?”
“Kemarin kan gue udah izin libur, tapi yang bikin janji sama gue malah telat. Hari ini gue udah nggak bisa ambil libur lagi.”
Hao sadar kalau yang dimaksud Taerae itu adalah dirinya. “Iya, Taerae. Maafin gue ya sekali lagi. Ini gue udah nggak telat kok.”
“Emang udah seharusnya begitu sih.”
“Lagunya lo aja deh yang milih, gue apa aja bisa.” Hao menyerahkan semuanya ke Taerae, sebenarnya kalau boleh jujur dia memang percaya kalau Taerae bakalan milih lagu yang sesuai dengan keduanya. Selain karena dia malas memikirkan lagu yang pas juga sih.
“Gue kepikiran lagunya Seventeen deh, lo tau mereka nggak?”
“Harus lagu Indonesia, Re.”
“Iya, Hao. Ini ngomongin Seventeen Indonesia, bukan Korea.”
“Gue tau sih, mau lagu yang judulnya apa?”
“Jaga selalu hatimu.”
“Lo lagi cinta banget sama seseorang apa gimana?”
Taerae memberikan respon nggak suka sama pertanyaan Hao barusan. Pertanyaannya sangat menyebalkan. “Emangnya gue harus jatuh cinta dulu untuk nyanyi lagu cinta? Kan nggak ya, Hao. Gue suka aja lagunya, artinya juga dalem banget.”
“Sedalam apa tuh? Sedalam perasaan benci lo ke gue nggak, Re?”
“Bisa nggak anjing sehari aja nggak sih?”
“Iya Re, maaf lagi. Tapi menurut gue aneh deh, gue nggak mau nyanyi melodi yang agak sedih gitu. Gimana kalau lagunya Hivi! aja? Terserah deh yang mana aja, gue ngikut.”
“Hivi! ya? Kalau yang Remaja gimana?”
“Duh, mending yang Tersenyum, untuk siapa? itu deh. Gue suka banget, Re, sama lagu itu. Pertimbangkan lagi coba permintaan gue yang nggak seberapa ini.”
Lagi-lagi Hao membuat Taerae kesal.
Bayangkan saja mereka sudah berdiskusi selama satu jam tetapi belum menemukan lagu siapa yang akan mereka bawakan nanti. Setiap Hao memberikan saran nama suatu artis, Taerae selalu menjawab satu lagu kesukaannya, tetapi Hao nggak mengindahkannya. Dia justru memberikan opsi lain, begitu saja terus dan nggak ada ujungnya.
“Kalau gitu mah mending lo aja yang milih, bangsat. Dari tadi gue sebutin judul dari artis yang lo mau malah ngasih opsi lain terus. Minimal mikir deh, capek gue kalau kayak gini terus.”
“Istirahat kalau capek, Re. Sini duduk di pangkuan gue.” Hao menarik tubuh Taerae secara tiba-tiba, membuat yang ditarik itu jatuh ke pelukannya. Entah, ini modus atau apa. Cuma Hao saja yang mengerti.
“Zhang Hao brengsek!”
Taerae menampar pipi Hao.
Hao langsung memegangi pipinya yang panas akibat dari tamparan Taerae barusan. “Kok lo nampar gue sih, bangsat? Gue kan cuma pengen ngasih lo perhatian karena lo bilang kalau capek, Re.”
“Perhatian apa sih? Lo tinggal diem doang aja udah buat gue bersyukur daripada lo ngomong dan ngelakuin hal nggak jelas kayak tadi. Gue muak.”
“Turunin ego lo dulu. Kita di sini mau bahas tentang penampilan kita ‘kan?”
Ya lo duluan dasar anjing, babi ngepet lo sialan.
Semuanya Taerae keluhkan di dalam hati, karena kalau ia bilang langsung, pasti keadaan semakin memburuk. Dan lagi-lagi diskusi mereka akan gagal. “Lo juga ya tolong kerjasamanya. Gue nggak suka disentuh, Hao,” jelasnya.
“Okay, sorry again. Gue nggak akan begitu lagi.”
“Ya udah, dengerin lagunya dulu aja. Gue belum pernah denger soalnya.”
Taerae mulai memainkan lagu Hivi! yang berjudul Tersenyum, untuk siapa?. Butuh berulang kali untuk mengingat melodi yang ada di lagu itu, nggak lupa juga menafsirkan kalimat setiap kalimat biar Taerae bisa membawakan lagunya dengan sempurna.
Ada satu lirik yang membuat dirinya memikirkan dengan serius. Sesuai dengan judulnya, Tersenyum, untuk siapa?
“Re, besok pengumuman lomba paper.”
Ah, Taerae bahkan lupa kalau besok sudah tanggalnya untuk melihat apakah dia lolos untuk beasiswa lagi atau nggak.
“Hao, kalau misalkan besok nggak latihan, oke nggak menurut lo? Gue butuh seharian penuh untuk nyiapin mental gue.” Taerae nggak pernah segugup ini, memang bohong waktu dia bilang ke Chaehyun kalau dia mempunyai sifat percaya diri yang tinggi ketika bilang Gue bisa unggul dari Zhang Hao. Nyatanya sekarang Taerae menciut. Lucu lagi dia izin ke orang yang membuatnya seperti ini.
Hao tampak memikirkan sejenak. Mereka berdua cuma punya latihan sehari penuh kalau memang dia memperbolehkan Taerae untuk izin sehari. “Tapi lo yakin bisa nggak kalau cuma latihan sehari? Gue maunya penampilan kita nggak ada salah lho, Re.”
“Lo jangan ngeraguin gue.”
“Fine. Lusa di rumah gue, ya.”
“Kenapa jadi rumah lo, anjing?”
“Pengen aja, biar kalau kemalaman kan lo bisa nginep. Udah sih, semua fasilitas ada di rumah gue kok.”
Dia nggak bisa menolak. Lagi pula Taerae juga yang meminta untuk libur latihan sehari, dan dia juga yang harus menurut sama Zhang Hao untuk kali ini saja.
Gelisah.
Taerae sama sekali nggak bisa berpikir jernih kali ini, dari pagi hingga sore hari, dia sama sekali nggak melakukan apapun, hanya berdiam diri di kamar sambil menatap layar laptopnya yang masih menyala. Chaehyun bahkan sudah menawari untuk menemai Taerae seharian, tetapi lelaki itu menolak, ia nggak mau kalau kesedihannya terlihat. Padahal pengumuman masih dua jam lagi.
Kepalanya sangat berisik.
Ia butuh seseorang untuk diajak mengobrol, tetapi ia nggak mau kalau Chaehyun terus-terusan menanggapi dirinya yang sangat drama ini. “Ah anjing, gue telpon siapa kalau kayak gini.”
Baru saja Taerae ingin merebahkan dirinya dan berniat ingin tidur, ponselnya berbunyi. Tertera nama paling rese satu dunia. Ah, itu Zhang Hao. Sengaja nggak Taerae angkat, dia malas adu mulut dengan Hao. Tetapi ponselnya terus berbunyi dan mengirimkan pesan ‘Re, pengumuman udah keluar. Angkat telpon gue sekarang.’
Taerae nggak paham sama sikap Hao sekarang, kenapa dia menghubunginya begitu pengumuman sudah keluar? Entah Hao bersikap sok dekat dengannya atau memang hanya ingin mengejeknya. Dia belum siap untuk melihat pengumumannya.
“Apasih anjing jangan telpon gue terus, berisik tau nggak?”
“Selamat, Kim Taerae.”
“Hah— maksudnya gue….
“Selamat jadi nomor dua lagi setelah gue.”
Rasanya dunia ini hancur untuk kesekian kalinya. Taerae nggak mengindahkan omongan Hao barusan— tentu saja. Ia sangat tersinggung, terserah orang lain mau bilang dia sensitif atau gimana, tetapi Taerae kecewa; pada dirinya sendiri.
“Re? Lo masih di sana? Sorry gue nggak bermaksud ngejek—
“Gue nggak mau sekelompok sama orang bajingan kayak lo.”
Ia langsung mematikan telepon dari Hao.
Taerae terduduk di lantai. Selalu saja seperti ini, kenapa sih dia nggak bisa mengalahkan Zhang Hao? Kenapa selalu Zhang Hao yang selalu jadi nomor satu dan dirinya selalu kalah? Di dunia ini, nggak ada yang mau melihat nomor dua kalau nomor satu saja sudah menonjol segitunya. Harus bagaimana Taerae bersikap dengan masa depannya yang nggak tau mau dibawa kemana itu. Mungkin bagi kalian sikap Taerae ini berlebihan, tapi perasaannya valid, dengan keadaan finansial yang nggak mendukung, dia sangat kecewa dengan hasil pengumuman kali ini.
Hasil terburuk— ia dikalahkan lagi oleh Zhang Hao.
Memangnya apa sih yang diincar dari Hao waktu mengikuti perlombaan yang nggak seberapa bagi orang kaya seperti dia? Taerae masih heran. Kalau cuma mau menjatuhkan dirinya, berarti Hao adalah orang paling jahat yang pernah Taerae kenal.
Hari keempat, 28 Juni 2023.
Rumah Zhang Hao.
Zhang Hao menunggu Taerae lebih dari dua jam, teman satu kelompoknya itu nggak juga muncul. Ia juga sudah menelpon dan mengirimkan SMS sebanyak mungkin, tetapi tetap nggak dibalas. Apa ini karena perkataannya kemarin? Hao rasa nggak mungkin, tetapi— bisa jadi juga sih.
“Apa gue telpon Chaehyun aja, ya?”
Alhasil Hao menelpon Chaehyun, yang ia ketahui sebagai sahabat baik Taerae. Begitu diterima, Hao langsung menanyakan keberadaan Taerae.
“Chae, Taerae lagi sama lo nggak?”
Yang di seberang telpon hanya diam, nggak menjawab pertanyaannya. Ini yang bikin dia heran.
“Halo, Chae? Suara gue nggak kedengeran apa gimana?”
“Brengsek lo, Zhang Hao.”
Hao menjauhkan ponsel dari telinganya, suara Chaehyun sangat keras. “Ini kenapa ya tiba-tiba lo bilangin gue brengsek?”
“Lo tuh manusia tolol, sok pinter, kayak anjing. Bisa-bisanya lo nggak paham kalau omongan kontol lo itu bisa ngebuat orang sakit hati?”
“Oh, ngomongin Taerae?”
“Si anjing.”
“Dimana dia?”
“Rumah gue.”
“Suruh dia kesini, enak aja abis kalah dari gue langsung nggak mau ketemu dan mangkir dari tugas kelompoknya. Katanya si beliau ini tanggung jawab? Kok masalah gini nggak sama sekali sih.”
Setelah Hao mengatakan hal itu, teleponnya mati. Kemungkinan besar Taerae terpancing sama omongannya barusan. Perlu kalian tahu, jarak rumah Chaehyun dan Hao nggak lebih dari dua kilometer, yang artisnya hanya dalam kurun waktu dua menit saja, Taerae bisa langsung sampai di rumah Hao.
Dan benar, nggak lama dari mereka selesai telponan, suara ketukan pintu terdengar. Hao tahu kalau itu adalah Taerae. Dihampirinya lelaki itu— yang mengetuk pintu dengan nggak sabar. Hao membuka pintu rumahnya, muncul Taerae yang memasang wajah seolah mengatakan ‘Gue benci lo banget, anjing. Musnah lo sekarang.’ seperti itu. Hao tahu karena setelahnya Taerae meninju tepat di rahangnya.
Sakit sekali.
“Bajingan lo, Zhang Hao. Gue benci banget sama lo. Nggak pernah sama sekali ngertiin mahasiswa miskin kayak gue.”
Hao memegang rahangnya yang masih sakit itu. “Re, tahan emosi lo bentar dong. Rahang gue sakit nih.”
Taerae lagi-lagi memukul Hao, kali ini perutnya yang kena. Hebat juga ternyata. “Lain kali kalau mau sombong itu jangan sama gue, Zhang Hao. Silahkan sombong ke satu kampus, asalkan jangan sama gue.”
Baru saja Taerae ingin melayangkan pukulan lagi, Hao justru menghalanginya dengan cara menahan pergelangan tangan Taerae. “Kita bisa ngomongin ini baik-baik, Re. Jangan pake emosi.”
“Nggak bisa, gue udah terlanjur benci sampe mampus sama lo. Lagian kenapa juga sih lo ikutan lomba buat dapet beasiswa? Orang kayak lo itu nggak butuh, Hao. Sengaja banget mau pamer ke gue apa gimana sih?”
“Lo kenapa benci banget sama gue sih, Re?”
“Lo lupa?”
“Lupa apa? Lo tau sendiri kan kalau gue orangnya emang nggak pernah inget yang dulu. Gue ingetnya lo udah benci gue aja gitu waktu awal kuliah.”
“Lo lupa apa ya anjing. Lo itu pernah nuker sendal kesayangan gue waktu jaman SMA, di lab biologi. Itu sendal mahal, harganya lima ratus ribu. Gue kerja pake duit sendiri terus dengan seenaknya lo nuker bangsat Zhang Hao.”
“Re.”
“Apa?”
“Jadi ini semua karena sendal kita ketuker?”
“Nggak cuma. Lo nggak paham sama perasaan gue waktu masih kecil dulu SMA kelas satu.”
“Re? Yang bener aja ini karena sendal?”
“Zhang Hao apaan sih? Ya nggak sendal doang anjing, lo tuh kerjaannya bikin gue naik darah mulu. Setiap hari gangguin nggak jelas, sok pinter banget kalau di depan guru, terus pas kuliah ketemu lagi. Sialnya lagi satu jurusan walaupun beda kelas utama. Terus ya Hao, lo tuh kayak anjing tau nggak?”
“Nggak tau, Re. Coba jelasin.”
“Fuck. I hate you sampe gue mati. Dengan seenaknya lo daftar lomba sama kayak gue terus dan lo menang bekali-kali, kalau aja Chaehyun nggak nahan gue, pasti lo udah gue—
Brengsek.
Zhang Hao tiba-tiba mencium bibirnya. Ini semua aneh. Situasi macam apa sih ini?
“Hao anjing lo—
“Berisik banget sih, Re. Mau gue tutup pake tangan tapi gue belum cuci tangan. Yaudah gue cium aja. Eh, tapi itu nggak termasuk ciuman sih ya? Kan kecup doang. Mau nyoba lagi nggak?”
Anjing.
Hari Keempat, Music Performance, 29 Juni 2023.
Pendopo Kampus.
Taerae sama sekali nggak pernah nyangka kalau penampilan mereka bakalan ditonton satu jurusan. Dia cuma dikasih tahu kalau memang bakalan ada yang nonton, tapi nggak sebanyak ini juga pikirnya. Taerae memang biasa kok tampil di hadapan orang banyak, tapi kali ini rasanya berbeda. Menyanyikan sebuah lagu bersama Zhang Hao, dengan lagu yang mencurigakan pula. Kemarin, setelah kejadian yang nggak disangka bakalan terjadi antara mereka berdua itu, Taerae dan Zhang Hao melakukan rekaman video agar penampilan hari ini nggak begitu berantakan. Itu saja harus berulang kali take-nya karena Hao yang tertawa terus tiap ada lirik yang menurutnya aneh.
Video mereka berdua Taerae perlihatkan ke Chaehyun, dan respon pertama yang perempuan itu tunjukkan adalah wajah datar tanpa ekspresi sambil melihat videonya. “Yang milih lagunya siapa, Re?” tanya Chaehyun.
“Zhang Hao. Aneh ya?”
“Kalau soal lagunya sih nggak aneh ya, tapi raut wajah lo berdua yang aneh.” Chaehyun mengembalikkan ponselnya. Jawaban sahabatnya itu membuat dia bingung.
Emangnya ada yang salah ya?
“Re, tiga orang lagi kita tampil.” Hao langsung menariknya dan nggak dilihatnya Chaehyun yang ada di samping Taerae itu.
Bohong kalau Taerae bilang dia nggak gugup, mereka berdua menunggu di belakang pendopo yang nggak kelihatan penonton. Konsep yang ditampilkan mereka berdua juga sesuai judul, anak remaja yang sering adu mulut tapi nggak sadar kalau sebenarnya mereka juga menyimpan perasaan selain saling membenci. Dan alasan lain yang membuat Taerae merasa gugup adalah kejadian kemarin. Hao terlihat biasa saja dan nggak kelihatan seperti kalau di hidupnya dia pernah sengaja mencium bibir Taerae.
Hal itu membuat Taerae bingung. Berpikir kalau memang Hao memang memiliki sifat seperti itu dan mencium lawan bicaranya yang berisik. Ini adalah pikiran aneh, tapi Taerae juga nggak bisa berpikir hal lain. Baru saja ia berniat untuk bertanya ke Hao, lagi-lagi lelaki itu membuatnya kaget karena secara sengaja Hao menautkan tangan mereka berdua.
“Lo emang suka skinship ya?”
Hao menoleh ke arah Taerae, melihat pasangannya untuk duet hari ini menunjukkan wajah penuh tanda tanya dan bingung. “Nggak juga sih. Kenapa tuh?” Beginilah Zhang Hao, seolah nggak paham apa yang dia lakukan kemarin dan tentu saja, barusan.
“Lo cium gue kemarin, terus sekarang pegang tangan gue.”
“Bukannya gue udah bilang ya? Kemarin karena lo berisik, makanya gue cium. Kalau hari ini gue pegang tangan lo karena lo gugup.”
“Terus kalau lawan bicara lo berisik juga lo cium?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Re, mereka mah kalau gue bilang diem ya pasti menciut. Kalau lo kan harus gue cium dulu baru diem, udah gue bilang berhenti ngoceh tapi masih aja.”
Boleh nggak Taerae menganggap kalau jawaban nggak masuk akalnya Hao barusan itu berarti dia spesial? Tolong biarin manusia satu ini memiliki ekspektasi tinggi ya. Ini bukan berarti dia menyukai Hao, dia hanya suka afeksi yang Hao kasih. Itu saja dan nggak lebih.
Taerae tersadar dari lamunannya saat Hao menyenggol pelan pundaknya. “Re, nama kita udah dipanggil.” Hao menuntun Taerae untuk naik ke panggung buatan untuk mereka tampil.
Dan sekarang, semua mata tertuju ke mereka berdua.
Mereka berdua itu sangat terkenal satu kampus, makanya kalau cuma jurusan begini mah teriakannya pasti paling besar di antara yang lain. Apalagi nggak biasa juga pemandangan saat ini, dimana Hao dan Taerae yang akur dan nggak adu mulut, khusus di panggung sih tentu saja. Suara Hao memenuhi sekitar pendopo, nggak lupa diiringi suara gitar yang Taerae mainkan. Baru bait pertama, penonton sudah heboh.
gemar sekali kita bersilat lidah
“Bangsat. Ini mereka berdua sengaja ya lagunya tentang mereka banget gitu?”
“Emang boleh sejelas ini?”
Hanya sebagai rival mereka dikenal, nggak lebih. Mereka mana tahu kalau bibir keduanya sudah pernah bersentuhan. Nggak ada yang tahu kalau mereka berdua itu hubungannya lebih dari sekadar rival, walaupun lebihnya nggak sampai bisa disebut pacaran. Kalau yang itu sih mana bisa.
Dan ku tersenyum entah untuk siapa?
Lirik ini, mereka menyanyikannya berdua.
Awalnya Taerae pikir lagu yang dipilih oleh Hao ini cuma lagu favoritnya dan nggak ada yang mesti dikhawatirkan mengenai liriknya. Tetapi kali ini dia salah. Sampai dimana dia melihat notes kecil yang di ada di dalam gitarnya, yang katanya nggak ada orang yang boleh tahu selain mereka berdua.
Re, lagu yang kita bawain itu sebenarnya isi hati gue ke lo. Tapi tolong sebelum gue nyanyiin depan lo secara serius, jangan diungkit ya. Gue malu. Ajak ngobrol waktu habis tampil, boleh.
Tentu saja hal itu membuat Taerae sempat kehilangan fokusnya. Makanya waktu lirik itu dinyanyikan, dia melihat ke arah Hao, dan benar. Hao tersenyum saat menyanyikannya. Definisi mempersembahkan lagu untuk seseorang tetapi kali ini Hao menyanyikannya bersama Taerae, seseorang yang memang ia dedikasikan atas penampilannya kali ini.
Tanpa sadar, Taerae juga ikut tersenyum. Bertanya siapa dalang di balik semua senyumannya hari ini. Dia nggak mau repot, karena memang senyuman lebarnya ini untuk rival-nya yang paling ia benci, Zhang Hao.
Entah karena apa menanti-nanti akhir cerita
Siapa sih yang nggak penasaran sama hubungan Hao dan Taerae selanjutnya? Kalau mau dipikir keras pun mereka juga nggak akan lanjut ke hubungan yang lebih serius alias pacaran. Selalu berbeda pandangan, setiap hari bersilat lidah, pun saling meremehkan satu sama lain di bidang akademik walaupun nggak dengan cara kotor.
Tiga menit sudah mereka tampil, waktu mau turun dari panggung kecil, Hao memberi isyarat ke Taerae agar mengikutinya. Taerae nurut, diikutinya Hao yang ternyata menuntun ke ruang himpunan yang kosong dan nggak ada orang di sana.
“Re.”
Taerae bisa melihat kalau Hao yang ada di hadapannya saat ini mau ngomong sesuatu. Memanggilnya dengan lembut. “Gimana?”
“Notes yang gue kirim ke lo itu bener.”
“Iya, paham.”
“Termasuk bagian sudahi saja.”
“Maksudnya?”
“Ini dari awal udah salah, Re. Gue sama lo emang harusnya jadi rival aja sih. Gue salah, gue minta maaf banget udah nyium lo kemarin. Tapi untuk pegangan tangan gue nggak akan minta maaf, karena saling benci juga tetep bisa pegangan tangan.”
“Bentar, Hao. Lo kenapa deh? Gue kan nggak pernah nuntut lo untuk jadi pacar gue pas lo sengaja nyium itu. Gue juga nggak paham deh kenapa lo sampe ngerasa bersalah segitunya sama gue. Hao, dari awal sampe sekarang, atau bahkan kedepannya kita berdua kan nggak akan sampai ke tahap yang lo tau maksud gue apa.”
“Gue cuma kepikiran waktu lo nanya gue suka skin-ship apa nggak. Rasanya pas itu gue jadi ngerasa bersalah nya gede banget, gue pikir lo naksir sama gue, Re. Makanya gue takut.”
Taerae tertawa miris, nggak tahu kenapa Hao bisa sampai ada pikiran seperti itu. “Kebanyakan nonton sinetron lo. Gue nggak akan suka sama orang yang gue benci kan? Gue senyum ke lo, bahagia karena lo, nggak menutup kemungkinan kalau kebencian gue ke lo ilang, Hao.”
“Iya kan?”
“Iya. Gue nggak naksir lo, kok. Ciuman mah biasa bagi gue, cuma tadi gue nanya karena ini dicium sama Zhang Hao.”
“Terus kalau gitu, mau lanjutin ciuman yang kemarin nggak, Re?”
Sial.