Meet Me at November 8th
Sama seperti delapan november tahun-tahun sebelumnya dalam tujuh tahun terakhir, tahun ini pun Earth belum berhasil menemukan lelaki bernama Mix Sahaphap itu. Sang takdir seolah belum mengijinkan mereka berdua untuk saling menemukan.
Earth tidak akan pernah lupa pesan yang Mix tinggalkan sesaat sebelum tubuhnya melebur bersama angin malam bulan september dan menghilang. Mix berjanji akan datang menemuinya di delapan november. Meski sudah tujuh kali tanggal itu terlewati, Earth akan terus kembali dan menunggu Mix lagi, di tanggal yang sama, tahun depan, dua tahun yang akan datang, sampai waktu yang tepat untuk mereka itu akhirnya datang.
ㅤ
ㅤ
Mix masih sempat melihat bagaimana cahaya kuning yang begitu terang menyorot langsung menusuk matanya sebelum ia merasakan tubuhnya terhempas ke depan dengan begitu keras lalu dikembalikan lagi dengan tak kalah kerasnya ke kursinya. Seat belt menahan tubuhnya dengan kuat sehingga tidak terlempar ke depan menghantam dashboard mobil honda city yang ia kendarai ketika kecelakaan naas malam itu terjadi.
Mobil itu terguling setelah lebih dulu menabrak bodi kokoh sebuah truk kontainer di sebuah pertigaan jalan. Suara dentuman terdengar begitu keras memekakkan telinga Mix, rasa sakit itu terasa begitu nyata ketika ia merasakan tubuhnya terjepit diantara kursi kemudi dan setir. Bagian depan mobilnya yang ringseklah penyebab utamanya. Namun segala sakit dan rasa tak berdaya yang menderanya sekarang kalah ngerinya dibandingkan pemandangan akan tubuh Earth yang malam itu terkapar di aspal yang dingin, kemejanya yang semula sewarna biru langit kini berubah kemerahan, sewarna darah.
Earthnya yang malang, tubuhnya terlempar keluar dari mobil ketika tabrakan itu terjadi. Wajah tampan lelaki yang kini terpejam itu dipenuhi luka akibat serpihan pecahan kaca yang hancur menghujaninya. Darah segar mengalir dari bagian belakang kepalanya yang menghantam kerasnya aspal.
“Kak Earth ... ” Mix berusaha memanggil nama itu berulang kali, namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya.
Sekuat tenaga Mix berusaha mengulurkan tangannya yang bahkan sudah sulit ia gerakkan, berharap tangan lemah itu dapat menggapai tubuh Earth. Tidak ia pedulikan rasa sakit bak ribuan palu tak kasat mata yang menghantam tubuhnya secara bergantian, ia masih gigih berusaha melepaskan seat belt yang mengikat tubuhnya kuat dengan menggerakkan lengannya yang bahkan sudah tidak bisa ia rasakan lagi keberadaannya.
Mix menangis sejadi-jadinya ketika ia menyadari bahwa ia tidak akan bisa menggapai tubuh itu, ia tidak akan sempat menyelamatkan tubuh itu. “Kak Earth ... Maaf ... Maafin aku ...”
Suara terakhir yang Mix ingat ketika itu hanyalah suara sirine ambulans yang sahut menyahut dan suara ramai orang-orang yang berlarian mendekat, memberi pertolongan. Satu hal yang Mix minta sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya, Tuhan tolong selamatkan Kak Earth ...
ㅤ
—
ㅤ
Isak tangis dan samar-samar obrolan pelan para pengunjung rumah duka siang itu dapat Mix dengar dengan jelas. Ia tidak dapat membedakan apakah ini nyata atau hanyalah bunga tidurnya.
Peti jenazah berwarna putih itu terletak di tengah ruangan, dikelilingi lilin-lilin yang dihiasi serangkaian bunga krisan dan mawar putih yang aromanya semerbak mewangi ke seluruh ruangan. Mix tidak berani menerka tubuh siapakah yang kini bersemayam di dalamnya.
Sosok-sosok yang Mix kenal dengan baikㅡkeluarga besar Earthㅡ terlihat memakai pakaian kedukaan dan duduk sambil memegang kidung pujian di tangan mereka, menanti Bapak Pendeta memulai misa penghiburan.
Mix bergerak mendekat ke tengah ruangan.
Ia ambrukㅡ jatuh terdudukㅡ ketika mendapati sebuah pigura kaca yang membingkai sebuah foto. Earth dalam foto itu tengah tersenyum dengan hangatㅡ yang malah membuat hati Mix terasa seperti dicabik-cabik melihat foto setampan itu kini terpampang di antara rangkaian bunga yang menghiasi peti mati.
Tangisnya pecah saat itu juga, tangisannya yang seperti orang gila. Mix menangis sekeras-kerasnya yang ia bisa. Berulang kali memanggil nama Earth berharap lelaki itu akan muncul di sana, di hadapannya, dengan senyumnya yang biasanya. Senyumannya yang hangat yang masih melekat erat dalam ingatan Mix.
Beragam kenangan yang Mix lalui dengan Earth selama delapan tahun berkelebat cepat di matanyaㅡ bagaikan menonton ulang tayangan televisi jaman dahulu. Warnanya keabuan, namun semuanya indah, karena senyuman Earth mewarnai setiap ceritanya.
Sekuat tenaga Mix bangkit, menatap sosok yang kini terpejam di dalam peti sewarna porselen. Mix melihat Earthnya di sana, terlelap untuk selamanya. Lelaki itu terlihat tampan bahkan di hari kematiannya, dengan menggunakan setelan jas hitam lengkap dengan dasinya, Earth hanya seperti sedang tertidur dengan nyaman.
“Kak Earth maafin aku, maafin aku ... ” Mix menyebut nama Earth berulang kali diiringi dengan ratusan permintaan maaf.
Mix menutup kedua telinganya rapat-rapat ketika ia merasakan dengung seperti ribuan lebah berkumpul di kedua rongga telinganya. Suara dengungan yang perlahan berubah menjadi sumpah serapah di pendengarannya.
“Semua gara-gara kamu!”
“Earth harusnya masih hidup sekarang!”
“Dasar pembunuh!!!”
“Harusnya kamu yang mati, bukan dia!!!
Mix melihat semua orang di sana menatapnya dengan tatapan bengis. Menunjuk-nujuk ke arahnya penuh kemarahan. Mereka semua membencinya. Mereka semua menyalahkannya.
Mix ketakutan.
“Aku bukan pembunuh!!!”
“Aku juga mau Kak Earth hidup!!!”
“Berhenti!!! Tolong berhenti!!!”
Ingatan Mix kembali membawanya ke peristiwa di malam ketika kecelakaan naas itu terjadi.
ㅤ
—
ㅤ
“Maaf Kak, aku belum bisa terima perasaan Kak Earth sekarang. Kak Earth tau kan kalau karir aku sekarang ini penting banget buat aku? Akhirnya aku bisa mencapai ini semua setelah struggle bertahun-tahun, aku nggak tau apa yang bakal terjadi kalau orang-orang tau kita pacaran, Kak. Maaf, aku belum siap.”
Mixㅡ yang malam itu menyetiri Earth dengan mobilnya menuju acara pameran foto yang Earth helatㅡ sekilas menatap lelaki yang tengah duduk tepekur di kursi penumpang, di sebelahnya.
“Kamu nggak marah kan, Kak? Kamu ngerti kan? Ini bukan karena aku nggak sayang kamu ... Kak Earth yang paling tau gimana perasaan aku kan? Aku cuma belum siap terikat hubungan ... “
“Sekarang atau minggu depan atau bulan depan, apa bedanya sih Mix?”
“Beda Kak, film pertama aku bakalan premiere bulan ini, aku cuma mau fokus sama itu sekarang.”
Earth diam.
Mix bisa melihat bagaimana lelaki itu kecewa karena dirinya menolak usulan untuk melabeli hubungan mereka sebagai sepasang kekasih.
Earth menggenggam erat sebuah kotak persegi kecil berwarna royal blue di tangannya, tanpa sempat menunjukkan isinya kepada Mix.
“Kamu marah ya Kak?”
“Nggak, aku nggak marah. Apa selama ini aku pernah marah walaupun selalu jadi prioritas kamu yang nomor sekian? Nggak kan? Kenapa sekarang aku harus marah?”
“Kak, aku nggak mau berantem ya sama kamu.”
“Aku pun nggak, Mix. Cuma kadang kamu bikin aku mikir, apa cuma aku yang serius dalam hubungan ini? Apa cuma aku yang mau hubungan kita maju? Apa cuma aku yang merencanakan masa depan untuk hidup bahagia sama kamu?”
“Kita masih punya banyak waktu, Kak. Nggak harus sekarang kan?”
“Waktu 8 tahun yang udah kita lewati juga nggak cukup buat kamu, Mix? Nggak cukup untuk bikin diri kamu siap nerima aku?”
“Siap atau nggaknya aku nggak ada hubungannya sama berapa lama waktu yang udah kita jalani, Kak.”
“Mix, umur aku udah tiga puluh. Udah bukan waktunya lagi buat aku nemenin kamu main-main.”
“Aku nggak pernah main-main sama kamu, Kak. Kenapa kamu mikir gitu sih?” Mix tidak terima ketika perasaannya terhadap Earth selama ini disebut main-main.
Perdebatan mereka semakin lama semakin serius di dalam mobil yang tengah melaju kencang malam itu.
“Aku cuma pengen bahagia berdua sama kamu, Mix,” ujar Earth lirih.
“Selama ini kamu nggak cukup bahagiakah sama aku, Kak?”
Earth melemparkan pandangannya ke pemandangan jalanan di luar yang bergulir cepat di sebelahnya.
“Kasih aku waktu sebentar lagi ya ...? Kita masih punya banyak waktu untuk meraih kebahagiaan kita nanti, Kak. Ya ...?”
Mix yang kini menaruh perhatiannya pada Earth yang duduk di sebelahnya tidak melihat sebuah truk kontainer yang tengah oleng karena kelebihan muatan itu bergerak ke arah mobil mereka. Earth melihatnya lebih dulu ketika ia menengok untuk menatap wajah Mix di minimnya cahaya mobil. Cahaya terang lampu truk itu menyorot langsung ke wajah Mix, menusuk matanya. Earth mengambil alih kemudi dan membanting setir ke arah berlawanan, namun sudah terlambat. Mobil yang mereka tumpangi menabrak bagian badan truk dan terguling karena kemudi setir yang dialihkan secara mendadak.
Kotak kecil persegi berwarna royal blue yang berisi cincin itu masih tergenggam erat di tangan, ketika tubuh Earth terlempar keluar mobil. Bahkan hingga nafas terakhir yang ia hembuskan malam itu, cincin yang ia pilihkan khusus untuk Mix tetap ia genggam erat di sana.
ㅤ
—
ㅤ
Mix sudah siap untuk mati. Dia harus mati sekarang. Suara dalam benaknya hanya berisi satu instruksi untuk mati.
Ia menatap hamparan bibir pantai nan gelap kehitaman di hadapannya. Langit malam itu begitu kelam, namun tak sepekat hatinya. Angin malam yang dingin membuat Mix teringat bagaimana malam itu tubuh Earth terkapar di jalanan yang tak kalah dinginnya dengan malam ini. Cuaca bulan november.
Sang rembulan pun tak sudi menampakkan dirinya untuk sekedar menerima ucapan perpisahan Mix. Air mata yang menggenang di pelupuk matanya membuat padangannya kabur.
Satu langkahㅡ dua langkahㅡ dengan begitu perlahan, Mix membawa tiap langkahnya mendekati bibir pantai. Ia memejamkan mata ketika dingin air laut mulai menyapa telapak kakinya yang telanjang.
“Tunggu aku, Kak.”
Kalimat pertama yang Mix ucapkan ketika air laut mulai mencapai sebatas lututnya.
“Setelah ini kita bisa bahagia selamanya, Kak.”
Kalimat lain yang ia tuturkan ketika air sudah mencapai pinggangnya. Dengan tekad yang begitu kuat, Mix terus membawa tubuhnya masuk ke air, semakin dalam dan semakin dalam.
“Aku sayang kamu, Kak Earth. Maaf untuk semuanya. Aku harap ada kehidupan lain di mana kita berdua bisa hidup bahagia sama-sama dalam waktu yang lama Kak. Aku pasti nggak akan menyia-nyiakan semuanya seperti aku yang sekarang.”
Asinnya air laut mulai terasa di bibir Mix saat itu. Ia menghembuskan nafas terakhir yang bisa ia hirup.
“Andai aku punya kesempatan untuk merubah takdir kita, Kakㅡ seandainya kisah kita bisa diulang, aku rela menukar apa aja milik aku dengan hidup kamu, Kak.”
Mix menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam dingin dan asinnya air laut yang langsung menelannya dalam kegelapan yang tak tertembus cahaya. Mungkin ini yang dirasakan Earth di dalam peti kayu cendana yang menjadi rumah peristirahatannya yang terakhir. Gelap, sesak, dingin, dan kesepian.
ㅤ
—
ㅤ
“Belum saatnya lo mati.”
Mix membuka mata ketika ia mendengar suara seorang lelaki berbisik di telinganya. Matanya perih, rasanya seperti bola matanya akan melompat keluar. Terlebih lagi silau matahari berada tepat di atas wajahnya, kemilau cahayanya seperti menaruh dendam untuk membakar tubuhnya dengan terik khas matahari siang bolong. Entah bagaimanaㅡ tubuhnya kini terbaring di atas rumput, pakaiannya kering, padahal Mix ingat betul sebelumnya ia menenggelamkan dirinya ke laut.
Apa dia sudah mati?
Apa ini wujud neraka?, batinnya sesaat. Atau ini bentuk kehidupan setelah kematian?
“Bukan dua-duanya,” sahut lelaki dengan setelan hitam dan berambut klimis yang kini tengah mengorek kuping dengan batang rumput ilalang, dia bisa membaca pikiran Mix. Mix menatap lelaki asing itu dengan ribuan tanda tanya, siapa dia?
“Jangan repot-repot mikirin siapa gue. Sebut aja gue sang takdir, nggak perlu gue jelasin lebih jauh karena eksistensi gue cukup rumit untuk bisa diterima nalar manusia.”
Lelaki yang menyebut diri dengan sebutan sang takdir itu tampan, namun menakutkan. Kulitnya putih pucatㅡ memberi kesan seperti tidak ada darah yang mengalir dalam tubuh setinggi dua meter ituㅡ entah mengapa hal itu yang terlintas dalam benak Mix. Suaranya rendah dan dalamㅡ seperti berada dalam frekuensi suara infrasonik yang seharusnya hanya bisa ditangkap oleh hewan-hewan seperti anjing, gajah, atau jangkrikㅡ namun Mix bisa mendengarnya dengan jelas. Aroma melati yang begitu kuat menguar dari tubuhnya.
“Sedih ya kehilangan orang yang lo sayang buat selamanya?”
“Dan kalimat terakhir yang lo ucapin ke dia apa? Kita masih bisa bahagia nantiㅡ?” lanjut sang takdir, tertawa geli sembari menyalakan pemantik untuk menyulut cerutu yang terselip di bibirnya.
Mix terdiam, sibuk mengasihani dirinya sendiri.
“Lo pikir lo bisa mendahului takdir? Tapi semua manusia emang seperti itu. Kalau kalian tau kalian nggak akan punya kesempatan lain di masa depan, kalian pasti bakal ngelakuin yang terbaik saat ini kan?”
“Makanya manusia punya istilah do your best like there's no tomorrow. Padahal apa salahnya ngelakuin yang terbaik setiap saat?”
Mix bahkan tidak sanggup merespon setiap kata yang sang takdir ucapkan, perasaan menyesal itu kini seperti mencekiknya. Lelaki beraroma melati hanya menatap Mix, dengan eskpresi yang tidak terdefinisi.
“Lo siapa? Ini di mana? Harusnya gue udah mati tenggelam.”
“Kan udah gue bilang belum saatnya.”
“Kenapa? Gue udah nggak mau hidup. Gue mau mati,” Mix mulai mencekik dirinya sendiri dan mencari benda-benda tajam di sekitarnya.
“Ck ... Ck ... Ck... Lo tau nggak banyak di luar sana yang minta-minta hidup tapi lo minta mati? Aneh.”
“Kenapa lo nyelametin gue?”
“Bukan gue! Tuh yang di atas.”
Mix mendongak, hanya matahari yang ia lihat di atas sana.
“Matahari?”
“Tuhan lo.”
“MㅡMaksudnya?”
“Kalau mau mati harusnya langsung aja, kenapa berdoa bikin-bikin permohonan aneh segala. Nambah-nambahin kerjaan gue aja,” sang takdir terdengar sewot.
Sebuah kitab berwarna kuning keemasan tiba-tiba muncul di tangannya. Dia membuka lembar-demi lembar, entah mencari halaman berapa.
“Earth orang baik, cuma nasibnya jelek. Seharusnya dia nggak mati dengan cara begitu. 12 September 2013, takdir kalian yang ini yang harus dihapus. Kalau takdir kalian dirubah sejak awal, dia mungkin bakal hidup sampai lima puluh tahun lagi. Dia nggak akan mati kalau dia nggak naik mobil itu bareng lo. Intinya dia nggak akan mati secepat itu kalau lo nggak pernah ada di hidup dia.”
Mix tidak suka lelaki ini, bicaranya terlalu blak-blakan dan terdengar kejam.
“Kenapa diem aja? Kan lo sendiri yang minta merubah takdir.”
Mix bingung, sebenarnya apa yang sedang ia alami ini.
“Lo nggak inget tempat ini?”
Untuk pertama kalinya Mix mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mereka berdua tengah duduk-duduk di halaman berumput sebuah museum seni yang terletak di sebuah kawasan wisata edukasi.
“Ini? Museum seni?”
“Yup! Tempat pertama kalinya takdir mempertemukan kalian. Lo harus memutus takdir itu, cegah Earth ketemu diri lo yang berumur enam belas tahun itu hari ini.”
“Jangan bilangㅡ”
“Betul! Hari ini 12 September 2013. Selamat datang di masa lalu.”
“Dengan cara ini Kak Earth bakalan selamat?”
“Dia bakal baik-baik aja delapan tahun mendatang kalau dia nggak ketemu anak SMA menyedihkan yang lagi nangis di selasar museum.”
Mixㅡ yang pikirannya kala itu hanya dipenuhi dengan keinginannya menyelamatkan Earthㅡ buru-buru menyanggupi.
“Jangan buru-buru. Ini bukan pilihan mudah ya manusia. Karena perkara merubah sekecil apapun masa lalu akan membawa dampak besar untuk nasib kalian di masa depan. Jadi, apa lo yakin udah siap? Karena pada saat lo bangun di masa depan nanti, lo bakalan jadi orang dengan nasib yang berbeda, lo bukan lagi Mix Sahaphap model terkenal, lo bisa jadi entah apa aja di luar sana.”
Mix tidak peduli. Dia tidak peduli akan jadi apa dia kelak kalau hari ini ia tidak pernah bertemu Earth.
“Dengan memutus takdir pertemuan kalian, lo bakal kehilangan semua memori tentang kehidupan yang pernah lo jalani sebelumnya. Semuanya otomatis bakal tergantikan dengan memori tentang kehidupan lo yang baru.”
“Gue nggak akan bisa ingat apa-apa tentang dia?”
“Ada waktu 1 jam setelah kembali ke masa depan dan lo masih bisa ingat semuanya. Abis itu, semuanya plop bakal hilang.”
Mix rela, apa pun itu. Entah harus kehilangan kehidupan yang sekarang atau bahkan lebih buruk, sungguh ia bersedia menukar semuanya dengan kehidupan Earth. Mix tidak peduli tentang dirinya sendiri, yang paling penting sekarangㅡ Earth harus hidup.
“Waktu yang tersedia cuma sampai jam 12 malam. Lo harus cegah Earth ketemu diri lo hari ini, setelahnya takdir kalian akan terputus. Sisa waktu yang ada anggap aja bonus, lo boleh menikmati saat-saat terakhir perasaan cinta lo untuk dia.”
“Lo akan kembali ke masa depan pada malam saat kecelakaan itu terjadi, tepatnya 8 November 2021. Kalau lo gagal dalam misi ini, mayat lo bakal mengambang di pantai dua hari setelahnya.”
ㅤ
ㅤ
12 September 2013
11.30 AM
Museum Seni
Mix ingat tempat ini. Pertemuannya dengan Earth pertama kali terjadi di sini. Siang itu gerimis kecil, ia ingat dengan jelas dirinya yang berusia enam belas tahun, dalam balutan seragam SMA kebesaran yang ia dapatkan dari kakak sepupunya. Ia ingat bagaimana ibunya yang single parent dan bekerja sebagai penjaga toko bahkan tidak punya cukup uang untuk membeli seragam putih abu-abu.
Hari itu, kelasnya mengadakan study tour dan Museum Seni adalah salah satu destinasi yang mereka tuju. Alasan ia menangis siang itu di selasar gedung karena ia tersesat selagi asik melihat-lihat beragam koleksi keramik. Ketika ia berhasil menemukan jalan keluar, rombongan teman-teman sekelasnya sudah berpindah ke destinasi kunjungan lain. Mix remaja adalah pribadi yang tertutup dan penyendiri, dia tidak memiliki teman yang akan menyadari ketidakhadirannya dalam rombongan.
Saat itu, Earthlah satu-satunya orang yang menanyainya kenapa ia menangis di sana. Earth menyapanya dengan begitu hangat, dengan kekhawatiran yang jelas tampak di rautnya. Mix berusaha mengingat sepuas-puasnya senyum dan wajah itu, selagi ia masih bisa. Salah satu memori berharga yang ia miliki, yang dalam hitungan kurang dari dua puluh empat jam tidak akan menjadi miliknya lagi.
Mix mengedarkan pandangannya ke seisi museum dan menemukan serombongan remaja berseragam SMA tengah bergerak menuju pintu keluar. Ia tidak melihat dirinya ada di dalam rombongan itu, Mix remaja pasti sedang tersesat di antara keramik porselen.
“Aduh, gue di mana sih????” Mix kebingungan mencari dirinya sendiri yang berusia enam belas.
Rasanya ingin menahan rombongan teman-teman sekolahnya dan meminta mereka untuk menunggu dirinya yang sedang tersesat. Sebuah ide terlintas di benaknya. Mix berlari menuju pusat informasi dan tiba-tiba suaranya sudah mengudara di seluruh penjuru museum.
“Informasi kepada rombongan SMA Pelita Harapan bahwa ada siswanya yang tertinggal di area pajangan keramik. Dimohon untuk menunggu di pintu keluar.”
Rombongan siswa yang didampingi beberapa guru yang perlahan tengah bergerak menuju pintu keluar itu seketika berhenti untuk mengecek personilnya. Beberapa siswa dan guru pun memeriksa ke area pajangan keramik, tak lama berselangㅡ Mix melihat dirinya yang berseragam SMA telah kembali bersama rombongannya. Ia menarik napas lega, sampai yang selanjutnya ia lihat di sana hampir membuat jantungnya mencelos. Sosok Earth di kejauhan dengan kamera di tangannya, bergerak mendekat ke arah rombongan pelajar dan kemungkinan besar akan berpapasan dengan Mix remaja di pintu keluar.
Tidak boleh.
Earth tidak boleh bertemu Mix remaja.
Lagi-lagi Mix harus berlari secepat yang ia bisa, ke arah Earth. Tanpa basa-basi, Mix menarik lengan lelaki itu, mengalihkan pandangannya dari arah pintu keluar dan membuatnya tidak sempat bertemu pandang dengan Mix remaja.
Earth bingung melihat laki-laki asing yang tidak ia kenal ini tiba-tiba menariknya.
“Maaf, tapi lo siapa ya?”
“Aku tau ini terdengar nggak masuk akal, tapi aku dateng ke sini buat nyelametin kamu, Kak.”
“Hah? Nyelametin gue?”
“Iya, aku mohon kamu bersikap kooperatif dan percaya sama aku ya. Ini demi masa depan kamu juga.”
“Kita nggak saling kenal, kenapa lo harus nyelametin gue?”
“Kamu bisa panggil aku Mix, Mix Sahaphap. Aku tau kamu fotografer, Earth Pirapat.”
Earth terlihat bingung ketika Mix ternyata mengenalnya.
“Gue bukan fotografer,” ujarnya.
“Nggak nggak nggak! Jangan ngomong gitu, Kak Earth bakal jadi fotografer hebat.”
“Lo peramal?”
“Bukan.”
“Terus tau dari mana?”
“Pokoknya aku tau.”
Earth memicingkan matanya dengan curiga, sepertinya dia menganggap semua ucapan Mix hanyalah omong kosong, ia pergi begitu saja mengabaikan Mix setelahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala dan kembali mulai memotret sana-sini.
“Kak Earth tunggu, kamu belom boleh keluar.”
“Ada apa lagi?”
Mix bolak-balik melirik ke arah rombongan pelajar SMA di luar yang sedang bergerak perlahan meninggalkan komplek museum menuju area lain. Mix harus memastikan rombongan itu sudah pergi sebelum ia membiarkan Earth menyusul ke luar museum.
“5 menit doang!!! Please stay di sini 5 menit lagi, abis itu Kak Earth boleh keluar.”
Kening Earth yang berkerut menandakan bahwa dia semakin bingung.
“Oke! Kayaknya sia-sia juga gue tanya maksud lo apa, karena dari tadi pun gue gak ngerti sama isi omongan lo. Anggep aja gue males ribet, jadi oke 5 menit. Gue bakal tetep di sini. Abis itu gue boleh pergi?”
Mix mengangguk. Ada kesungguhan dalam dirinya yang membuat Earth mau menuruti permintaanya.
Mereka berdua berdiri saling berhadapan tak jauh dari pintu keluar museum. Mix mengamati wajah Earth yang kala itu berusia dua puluh dua tahun, wajahnya tidak berubah bahkan setelah usianya memasuki kepala tiga.
“Ada yang aneh di muka gue?” Earth bertanya tiba-tiba.
Mix menggeleng.
“Kak Earth awet muda,” ucap Mix tiba-tiba.
“Kan memang gue masih muda.”
Mix tersenyum kecil menangkap nada sewot dalam suaranya.
“Umur lo berapa?” Earth menatap Mix penasaran.
“Hmmm ... enam belas.”
“Jangan bohong. Lo keliatan seumuran gue.”
Betul, usianya saat ini memang dua puluh empat tahun, mendekati usia Earth yang sekarang berdiri di hadapannya.
“Udah lima menit, bye bocah,” Earth malambaikan tangannya dan pergi menjauh.
“Aku bukan bocah!”
“Tadi lo bilang umur lo 16.”
“Tapi sekarang udah 24 kok.”
“Terus kenapa panggil gue kakak? Padahal gue lebih muda.”
“Karena aslinya umur kamu udah tiga puluh.”
Earth tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa ya? Gue mulai terbiasa sama omongan-omongan aneh lo.”
Mix mengikuti Earth keluar museum. Dia akan mengikuti Earth kemana pun hari ini.
“Kenapa lo ngikutin gue?”
“Aku bilang Kak Earth boleh pergi setelah 5 menit, bukan berarti aku nggak bakalan ikut.”
“Orang aneh! Jangan ikutin gue!”
“Abis ini Kak Earth mau ke mana?”
“Jangan nanya-nanya, lo stalker!”
“Langsung pulang atau mampir beli kopi di Sudut Cerita?”
“Lo bahkan tau gue biasa mampir beli kopi di Sudut Cerita?”
“Tau nggak? Sudut Cerita bakalan tutup tahun 2019.”
“Jangan ngarang! Itu coffee shop kesayangan gue!”
“Iya, bahkan kamu ngambek nggak mau minum kopi selama sebulan karena itu.”
“Lo beneran dukun ya?” Earth mulai merasa ngeri.
“Jangan lupa mampir beli makanan buat Keita-kun,” Mix mengingatkan Earth untuk mampir membeli makanan untuk anjing shiba peliharaannya.
“Oh iya, Keita-kun bakalan panjang umur sampe tahun 2021 dan dia selalu sehat. Jadi aku harap, Kak Earth juga panjang umur dan selalu sehat ya ... “
“Lo?? Lo sebenernya siapa sih?” Wajah Earth kini terlihat benar-benar ketakutan.
Mix tertawa lebar saat itu, menikmati saat-saat terakhir kebersamaannya dengan Earth. Segalanya terasa begitu indah dan hatinya terasa damai.
ㅤ
—
ㅤ
Earth tengah mengganti lensa kameranya dan mencoba mengambil beberapa foto langit dan gedung-gedung di sekitarnya ketika Mix berdiri begitu dekat dengannya dan mengintip hasil jepretan Earth.
“Ini lensa Canon EF 35mm ya?”
Earth terkesimaㅡ
“Lo tau banyak tentang lensa?”
“Nggak banyak sih, ada orang yang pernah ngajarin aku tentang fotografi.”
Earth mengangguk-anggukan kepalanya.
“Bagus kan hasilnya dari pada pakai lensa standar?”
“Lebih bagus pakai lensa ini untuk foto landscape ...” Mix sudah membongkar tas perlengkapan milik Earth dan mengeluarkan lensa lain.
“Masa?”
“Iya, dia yang ngasih tau aku kalau dia menang kontes fotografi pertamanya karena lensa ini.”
“Dia ini pacar lo ya?”
“Belum sempet jadian ... “
“Kenapa belum sempet? Jadian aja abis pulang dari sini ... “
Mix tersenyum getir mendengarnya.
“Ceritain dong tentang gebetan lo ini, kayaknya dia fotografer keren.”
“Awalnya dia sama aja kayak kamu, Kak. Nggak mau menyebut fotografer sebagai profesinya. Dia motret karena dia suka dan merasa passionya di fotografi. Pernah merasa pengen menyerah karena nggak ada dukungan dari keluarga, orang tuanya pikir motret objek itu cuma buang-buang waktu. Mereka prefer anak laki-laki mereka kerja jadi dokter, pengacara, polisi, atau kerja di instansi pemerintahan.”
“Wahㅡ kenapa mirip banget sama keluarga gue? Terus-terus akhirnya???”
“Akhirnya dia bisa ngebuktiin ke keluarganya kalau dia serius dengan apa yang lagi dia kerjain, dan bukan cuma dokter, pengacara, atau polisi doang yang bisa punya kehidupan yang baik. Jadi Kak Earthㅡ semangat ya! Jangan pernah berpikir untuk menyerah terhadap mimpi dan hal yang kamu sukai, Kak.”
Mix menatap manik mata Earth yang mendadak terlihat berkaca-kaca itu. Lalu Mix tertawa.
“Cengeng,” ucapnya mengejek.
Earth menyedot ingusnya. Belum pernah ada seseorang yang mengatakan hal seperti jangan menyerah terhadap mimpinya itu seumur hidup. Tidak pernah mengira hal yang demikian suportif seperti ini dia dapatkan dari orang aneh yang tanpa sengaja ia temui di Museum.
“Mata gue kelilipan debu.”
“Jadi, dia pakai lensa ini untuk motret dan akhirnya menang kontes foto pertamanya?” Earth mengalihkan topik.
Mix mengangguk.
“Oke, gue akan ngikutin jejak dia,” Earth mengganti lensa kamera untuk kedua kalinya.
“Ayo ... ” ujar Earth setelah selesai mengganti lensa.
“Hah?”
“Ayo! Mau ikut gue ngambil foto hari ini?”
“Kamu ngajak aku, beneran?”
“Iya. Kayaknya pengalaman lo belajar fotografi sama gebetan lo itu bisa berguna hari ini.”
Mix mengerucutkan bibirnya, merasa dimanfaatkan.
“Bercanda, lebih baik punya teman untuk dimintai pendapat kan dari pada jalan sendirian?”
Kali ini, sebuah senyum mengembang di wajah Mix. Earth mengulurkan sebuah disposable camera ke arahnya.
“Buat loㅡ biar nggak bosen. Boleh lo abisin filmnya, buat kenang-kenangan.”
Mix menerimanya sambil tersenyum cerah.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka berkeliling kawasan wisata edukasi itu, mengunjungi beberapa macam museum, melihat beragam jenis tanaman, menghabiskan waktu berkeliling planetarium.
Beberapa kali mereka tanpa sengaja bertemu Mix remaja bersama rombongan teman-teman sekolahnya, tapi Mix berhasil mengalihkan Earth agar tidak sampai bertemu dengan dirinya yang berumur enam belas tahun itu.
“Selesai!!!!” Earth berteriak puas ketika memeriksa hasil fotonya hari itu.
Ia sudah menemukan foto yang ia rasa paling tepat untuk ia submit dalam kontes.
“Gue udah dapet fotonya!”
“Coba liat ... “
“Jangan!”
“Pelit.”
“Masih rahasia.”
Mix mencebikkan bibirnya ke arah Earth.
“Foto apa yang disubmit gebetan lo waktu itu sampe bisa menang kontes?”
“Foto planetarium yang tadi kita ke sana.”
“Lebih tepatnya? Bagian mana planetarium?” Earth tiba-tiba sangat ingin tahu.
Mix merebut kamera di tangan Earth dan jarinya sudah bergulir untuk melihat satu per satu hasil jepretan foto lelaki itu.
“Ini, yang ini ... ” Mix menunjukkan sebuah foto ke arah Earth.
Earth menelan ludahnya. Segala hal tiba-tiba berkecamuk dalam pikirannya sendiri. Hal-hal di luar nalar tapi terasa masuk akal apabila dikaitkan dengan kejadian-kejadian aneh dengan lelaki asing di sebelahnya ini.
Dari banyaknya kemungkinan di dunia ini, bagaimana mungkin foto yang sudah Earth pilih untuk ia ikutsertakan dalam kontes pertamanya ini adalah foto dengan objek yang sama dengan foto yang membuat lelaki fotografer yang Mix sebut-sebut mirip dengannya itu memenangkan kontes foto pertamanya, juga.
Bagaimana bisa ada kebetulan seperti ini terjadi di dunia?
Earth kembali melihat satu per satu foto yang berhasil ia jepret hari itu. Jemarinya berhenti menekan tombol next ketika netranya menangkap hal ganjil pada salah satu foto. Foto yang ia ambil secara tidak sengaja di Museum Seni ketika ia tengah menguji coba lensa. Foto itu berisikan serombongan anak SMAㅡ dan lelaki di sebelahnya yang memperkenalkan diri bernama Mix ini ada di dalam foto itu, berseragam putih abu-abu. Terlihat jauh lebih muda, namun Earth yakin itu orang yang sama.
“Mix? Tadi lo bilang berapa umur lo sekarang? Enam belas?”
“Iya, harusnya aku enam belas tahun ini, kelas dua SMA. Kenapa, Kak?”
ㅤ
Earth terdiam beberapa saat, sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Mix, apa mungkin lo datang dari masa depan? Lo time traveler ya?”
“Kamu percaya sama hal-hal seperti itu, Kak?”
“Enggak. Sampai hari ini,” Earth menatap Mix lekat-lekat.
Mix tidak berani balas menatap manik itu.
Earth tiba-tiba bangkit dan begerak meninggalkan Mix. Langkahnya mantap, ada tujuan yang ingin ia capaiㅡ serombongan murid SMA yang tengah berbaris rapih untuk masuk ke bus sekolah. Mix menyadari tujuannya dua detik kemudian.
“Kak Earth, nggak boleh!!” Mix memekik saat itu juga ketika Earth bergerak ke arah rombongan itu.
Mengandalkan kekuatan tubuhnya, Mix menghalangi Earth mencapai rombongan Mix remaja. Ia menarik kuat-kuat lengan Earth.
“Kak jangan! Please dengerin aku, jangan ke sana!”
“Jelasin kenapa?”
Mix kesulitan menyusun kalimat untuk menjelaskannya. Tidak tahu harus dia mulai dari mana.
“Ini semua demi kamu, Kak.”
“Demi gue apanya? Lo nggak bisa jelasin kan?”
“Kamu mau aku jelasin apa, Kak? Aku bakal jelasin.”
“Kenapa gue nggak boleh ketemu sama diri lo yang berumur enam belas dalam rombongan itu?”
“Aku nggak ngerti kamu ngomong apa, Kak,” Mix ngeles.
“Lo pikir gue nggak ngeh seharian ini lo mencegah gue bersinggungan sama rombongan itu?”
Mix menggigiti bibirnya sendiri, bingung.
“Apa tujuan lo sebenernya, Mix? Kasih tau gue,” Earth mencengkeram kedua bahu Mix kuat-kuat, memaksanya bicara.
“Ini satu-satunya cara yang bisa aku lakuin buat nyelametin kamu, Kak.”
“Nyelametin gue? Dari apa?”
“Dari kecelakaan malem itu ... “
Mix tidak bisa menahan air matanya ketika ia mengingat lagi tubuh Earth yang bersimbah darah saat kecelakaan yang menimpa mereka berdua terjadi.
“Kecelakaan?”
“Aku dan kamu di masa ini nggak boleh ketemu, Kak. Kita nggak boleh saling kenal. Itu satu-satunya cara buat memutus takdir kita. Dengan begitu kamu akan selamat. Kalau kamu nggak pernah kenal aku, kamu nggak akan meninggal dalam kecelakaan itu.”
“Kalau gue harus meninggal, ya itu emang udah takdir. Bukan salah lo, bukan salah siapa-siapa, bukan karena hari ini gue ketemu lo ... ” Earth dengan idealismenya yang tidak pernah berubah.
“Semua karena aku, Kak. Aku yang nyetir malam itu, aku yang mulai perdebatan kita, aku yang ... aku yang mikir kita masih punya banyak waktu untuk bahagiaㅡ”
Earth terdiam menyaksikan Mix yang kini gemetar di hadapannya. Ia tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar sekarang.
Lelaki aneh yang tidak sengaja ia temui di Museum siang tadi, yang selalu berbicara tentang masa depannya itu, sungguh-sungguh berasal dari masa depan.
“Kalau gue dan lo yang enam belas tahun itu nggak ketemu hari ini? Apa yang terjadi di masa depan?”
“Kita akan baik-baik aja, Kak. Kamu akan tetap hidup dan sehat. Aku janji akan baik-baik aja dan menjaga diri sendiri dengan baik. Kita berdua akan baik-baik aja dengan hidup kita tanpa saling mengenal, Kak.”
“Jangan pernah ketemu aku, jangan pernah kenal aku. Jangan pernah menyelamatkan hidup aku, jangan pernah mencintai aku, Kak. Aku mohon.”
“Kalau gue nekat ketemu lo? Kenal sama lo? Nyelametin lo? Mencintai lo? Gue bakal meninggal dalam kecelakaan mobil?”
Mix mengangguk sambil menyeka basah yang jatuh ke pipinya dengan punggung tangan.
“DㅡDan aku bakal meninggal karena menenggelamkan diri di laut, Kak. Mayat ku akan ditemukan mengambang suatu pagi nggak lama dari kecelakaan itu,” lanjutnya lirih.
Kali ini Earth menatap Mix dengan tatapan tidak percaya, ada segurat perasaan getir di sana yang bisa Mix rasakan dengan sekali lihat. Earth mengatur napasnya, meraup oksigen sebanyak-banyaknya dan menghembuskan nafasnya keras-keras. Lelaki itu terlihat shock mendengar kalimat terakhir yang Mix ucapkan.
Mix melangkahkan kakinya, mendekati Earth. Menggenggam kedua tangan lelaki itu.
“Aku rela ngelakuin apa aja asalkan kamu tetap hidup, Kak. Waktu ku cuma sampai jam 12 malam ini, setelah itu aku percayakan kamu untuk menjaga takdir baru yang udah digariskan Tuhan untuk kamu, takdir di mana nggak pernah ada aku di dalamnya.”
Lidah Earth terasa kelu, bibirnya terasa terkunci. Tidak ada sepatah kata pun yang mampu dia ucapkan.
ㅤ
—
ㅤ
Pagar besi tua itu bederak terbuka menimbulkan bunyi derit yang membuat Keita-kunㅡ anjing shiba peliharaan Earthㅡ menyalak keras, sebelum mengetahui majikannyalah yang datang.
Anjing shiba itu menggoyang-goyangkan ekornya ke kanan dan ke kiri sambil berlari-lari kecil mengitari kaki pemiliknya.
Mix muncul dari belakang Earth.
“Keita-kun, udah makan???” sapa Mix, ramah.
Anjing itu tidak menyalak, hanya mencium-cium sepatu Mix lalu mengeluarkan dengkingan dengan nada manja. Membuat Earth merengut, sebal.
“Hoy Keita-kun, kalau ada orang asing tuh harusnya menggonggong.”
“Dia tau aku bukan orang asing,” Mix membela Keita-kun.
Mix melangkahkan kakinya memasuki rumah mungil yang merangkap studio cetak foto milik Earth. Tidak nampak perbedaan yang signifikan dari rumah ini, di tahun 2013 ataupun 2021. Hanya rumah Earth di tahun 2021 terasa lebih penuh karena ia memiliki banyak barang dan properti fotografi setelah sukses menjadi fotografer terkenal.
Ia baru saja meletakkan bokongnya di sebuah sofa yang nyaman, ketika Earth kembali dengan sebuah teko teh dan dua cangkir.
“Minum ... “
“Teh chamomile ... ” Mix memandangi secangkir teh yang Earth tuangkan untuknya.
“Iya, bagus untuk menenangkan pikiran.”
Mix menyesap teh itu perlahan, menikmati bagaimana apigenin dalam teh itu masuk ke dalam tubuhnya dan membantunya tenang dan rileks. Earth duduk di sebelahnya, menatapnya lekat-lekat. Mix balas menatap lelaki itu, seolah bertanya kenapa?
“Ceritain tentang kita di masa depan yang udah lo lalui, gue pengen tau.”
“Apa yang kamu pengen tau?”
“Kita? Saling sayang?”
Mix tampak berpikir sejenak, matanya menerawang jauh ke beragam peristiwa yang sudah ia lalui bersama Earth selama delapan tahun ini.
“Sebesar itu rasa sayang kamu buat aku, Kak. Nggak pernah sehari pun aku merasa nggak dicintai oleh kamu.”
“Ah iyaㅡ aku sebelumnya nggak sempet ngomong ini ke kamu, kalau aku mencintai kamu sebanyak kamu mencintai aku, Kak. Bukan cuma kamu yang pengen kita hidup bahagia berdua, aku juga,” lanjut Mix.
Perasaan haru pelan-pelan menyelinap ke dalam sanubari Earth, perasaan asing yang entah tidak tahu dari mana asalnya. Ia penasaran apakah selama sepersekian detik dirinya di masa depan mengambil alih kuasa tubuhnya karena desakan untuk memeluk Mix tiba-tiba muncul begitu kuat.
“Karena kebodohan akuㅡ either kita kehilangan kesempatan bahagia berdua atau dunia ini harus kehilangan orang baik seperti kamu, aku prefer opsi yang pertama, Kak. Nggak ada yang bisa aku kasih ke kamu selain ini, please janji untuk jalani kesempatan hidup yang kedua kali ini sebaik-baiknya.”
Earth tidak tahu kenapa dia menangis. Dia tidak tahu alasan dibalik basah yang tiba-tiba jatuh ke pipinya di suatu petang hari ketika lelaki yang mengaku kekasihnya di masa depan ini memintanya berjanji untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Dia tidak pernah berfikir bahwa dia akan menangis, tapi emosi menguasainya. Untuk alasan yang tidak diketahui, matanya terasa panas dan kristal bening air mata jatuh begitu saja bertepatan dengan rintik gerimis yang menutup serangkaian senja keunguan di langit barat.
Dinginnya telapak tangan Mix dapat Earth rasakan mengusap air mata di pipinya. Satu hal yang baru Earth sadari saat iniㅡ manusia hidup tidak akan memiliki suhu tubuh sedingin lelaki di hadapannya.
“Impian kamu apa, Kak?” tiba-tiba Mix bertanya.
Belum sempat Earth menjawabㅡ Mix mendahuluinya.
“Membuktikan diri ke keluarga kamu kalau pilihan hidup kamu selama ini tepat, jadi fotografer keren, menikah dengan orang yang kamu sayang, menghabiskan masa tua dengan dia sampai umur delapan puluh, lalu meninggal dengan tenang karena selama hidup kamu udah merasa cukup bahagia.”
Earth menggenggam tangan Mixㅡ di pipinya. Menggenggamnya sangat erat di sana, mengharapkan tangan itu akan berubah menjadi hangat dan lelaki di hadapannya ini hanya pemuda iseng yang sedang melakukan prank seolah hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Semua yang Mix ucapkan tentang impiannya begitu akurat, seolah Mix menghafalnya di luar kepala.
“Janji ya kamu bakalan hidup sampai umur delapan puluh,” Mix mengulurkan jari kelingking mungilnya ke arah Earth, memintanya melakukan pinky promise.
Earth menganggukan kepalanya dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Mix.
“Janji ya jangan pernah cari aku setelah ini. Bahkan kalau kita berpapasan di jalan, jangan peduliin aku, Kak.”
Earth merengkuh tubuh dingin Mix ke dalam pelukannya, ia tidak peduli apabila ia akan ikut membeku bersamanya saat ini. Ia hanya ingin merasakan bagaimana rasanya merengkuh takdir yang esok hari tidak akan lagi menjadi miliknya. Kenapa harus sedingin ini?
“Biar aku yang menemukan kamu, kalau waktunya udah tiba, Kak. Tunggu aku ya, suatu hari tanggal delapan november, mudah-mudahan aku masih punya cukup waktu untuk nemuin kamu. Walaupun nanti aku bakal lupa semua tentang kita, paling nggak kamu akan ingat satu hari yang pernah kita lewati sama-sama Kak, hari ini.”
Malam itu, dua buah janji dari dua buah takdir yang saling bertentangan ternyata bisa saling mengikat menjadi satu. Berharap keduanya dapat saling melunasi apa yang mereka ikrarkan berdua disaksikan gerimis bulan september.
Yang Earth ingat malam ituㅡ ia tertidur dengan memeluk Mix, walaupun hawa dingin membekukannya, tapi hatinya tak pernah terasa sehangat ini. Dalam lelap, Earth berharap malam ini tidak pernah berakhir.
Earth membuka matanya keesokan paginya dengan perasaan kosong dan kehilangan yang tak terperi, tanpa Mix di sisinya. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk erat-erat selimut yang semalam menjadi saksi kembalinya Mix Sahaphap yang berusia dua puluh empat itu ke masa dari mana dia berasal, dan menunggu saat yang tepat untuk mereka dapat kembali saling menemukan di masa depan.
ㅤ
—
ㅤ
8 November 2021ㅡ delapan tahun kemudian.....
Delapan tahun berlalu, delapan kali tanggal delapan november Earth habiskan dengan menunggu lelaki yang pernah datang padanya delapan tahun silam datang menemukannya. Tapi hari itu tidak pernah datang, tak terkecuali hari ini.
Delapan tahun ini, Earth hidup seperti yang ia pernah janjikan pada Mix, tak sekali pun dalam hidupnya ia berusaha mencari dan menemukan Mix Sahaphap. Ia hidup dengan baik. Earth berhasil menggapai mimpinya menjadi fotografer keren dalam kamusnya. Ia berhasil memenangkan kontes foto pertamanya delapan tahun yang lalu dengan foto planetarium yang ia ambil hari itu, bersama Mix. Ia bisa membuktikan diri kepada orang tuanya, bahwa ia bisa menggapai mimpinya, bahkan kini ia akan menggelar pameran foto tunggalnya malam ini.
ㅤ
—
ㅤ
Mix terbangun pukul setengah tujuh di kamarnya. Kamar sederhana, di rumah yang pernah ia tempati delapan tahun lalu, bukan kamar apartemen mewah yang ia tinggali setelah ia menjadi model terkenal.
Takdirnya sungguh berubah.
Ingatannya masih ada di sana, dalam benaknya hingga satu jam ke depan. Ia harus segera menemui Earthㅡ sebelum ia kehilangan seluruh ingatannya.
Ibunya tiba-tiba muncul mengagetkannya di pintu kamar. “Tidur seharian kayak orang pingsan, mentang-mentang libur,” sudah lama rasanya tidak mendengar sosok wanita paruh baya ini mengomelinya.
“Ma, sekarang tanggal berapa?”
“Tanggal 8.”
“Bulan?”
“November.”
“Tahun?”
“2021. Kamu amnesia abis bangun tidur, Mix?”
Mix terhenyak. Hari iniㅡ hari kecelakaan naas itu terjadi.
“Sekarang jam berapaaaa?”
“Hampir setengah tujuh.”
Mix meloncat turun dari kasurnya. Kecelakaan naas itu harusnya terjadi di waktu-waktu ini, Mix tidak ingat pasti pukul berapa. Tapi ia harus memastikannya, memastikan bahwa kecelakaan itu tidak menimpa Earth kali ini.
“Aku pergi dulu.”
“Hey mau ke mana???”
“Pinjem motornya!” Mix meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja.
“Mix!!! Kamu kan nggak bisa bawa motor???”
Mix sudah pergi. Melaju mengendarai motor tua yang terparkir di depan rumah.
“Sejak kapan itu anak bisa naik motor ... ” Ibu Mix hanya menatap kepergiannya dengan heran.
Mix melewati jalanan yang ia hafal betul, menuju galeri foto milik Earth, lokasi pameran foto tunggal malam itu dihelat. Ia bergidik ngeri ketika ia melintasi pertigaan jalan di mana kecelakaan itu seharusnya sudah terjadi. Jalanan itu ramai lancar, tanpa sebuah mobil honda city yang menabrak bodi kontainer hingga terbalik. Tidak ada serpihan kaca yang hancur berantakan di aspal dan tubuh kekasihnya yang terkapar penuh luka di sana.
ㅤ
—
ㅤ
Mix memarkirkan motornya secara sembaranganㅡ bahkan hampir lupa mencabut kuncinyaㅡ kemudian berlari menghampiri sosok yang dari kejauhan sudah ia kenali itu.
Earth Pirapat, dalam balutan kemeja biru sewarna langit, terlihat tampan seperti ia yang biasanya. Lelaki itu tengah berjalan ke arah pintu masuk galeri setelah turun dari mobilnya.
Mix bahkan mengabaikan panggilan securiti yang meneriakinya untuk memindahkan motornya ke area parkir, ia tidak punya waktu. Waktunya tinggal sepuluh menit lagi sebelum ia kehilangan segala ingatannya tentang Earth dan mungkin tentang tujuannya datang ke tempat ini.
Kehadirannya secara tiba-tiba di galeri foto malam iniㅡ sama mengagetkannya dengan kehadirannya di Museum Seni delapan tahun silam. Earth menatap sosok yang kini berdiri di hadapannya dengan senyum sumringah itu. Tatap mata keduanya bertemu, saling mengunci. Tidak ada lisan yang terucap dari belah bibir masing-masing namun batin mereka bercengkrama dengan kalimat-kalimat seperti apa kabar dan senang bertemu lagi.
“Kak Earth, ini aku ... ” paling tidak, Mix sempat mengucapkannya.
Earth merengkuh tubuh pemuda lusuh dengan tampilan seperti orang bangun tidur itu, memeluknya erat. Begitu erat, kalau bisa Earth ingin meleburkan diri bersama sosok yang ia tunggu-tunggu kehadirannya selama sekian tahun ini.
“Mix ... ini lo? Ini beneran lo? Akhirnya saat ini dateng juga. Gue udah menuhin janji gue, Mix. Gue hidup sampai sekarang ... “
Mix mendorong tubuh Earth menjauh, secara tiba-tiba.
“Maaf? Anda siapa ya?”
Begitulah, waktu enam puluh menit yang tersedia sudah habis. Mix berdiri di sana dengan kebingungan mengapa lelaki yang tidak ia kenal ini memeluknya begitu erat dengan wajah dipenuhi air mata haru.
“Maaf mas, bisa tolong dipindahkan motornya ke area parkir?” Securiti yang tadi meneriaki Mix muncul tak lama kemudian.
“Motor? Apa?”
“Motor yang mas kendarai tadi.”
“Hah?? Saya nggak bisa mengendarai motor, Pak.”
Earth sebagai satu-satunya yang mengetahui kenapa hal ini terjadi, kini menahan tawanya, geli.
“Bapak juga siapa? Kenapa peluk-peluk barusan?” Mix melotot.
“Bapak?” Earth tidak terima dipanggil Bapak.
“Iya, Bapak.”
“Saya pacar kamu di kehidupan kita yang lainㅡ dan calon pacar kamu di kehidupan yang sekarang,” ujar Earth formal, menyesuaikan gaya bicara Mix.
“Hah? Maaf Bapak, saya nggak tertarik pacaran sama bapak-bapak,” ujar Mix, sopan.
Earth tertawa memikirkan kenapa ia bisa berada di situasi lucu seperti ini alih-alih pertemuan mengharukan seperti yang terjadi di drama korea.
“Nggak apa-apa kalau sekarang kamu belum tertarik, nanti saya yang buat kamu tertarik ya, Nak.”
ㅤ
FINㅡ
wjmmmy, 2021
ㅤ