wjmmmy

Happy Birthday!

“Happy Birthday to You, Happy Birthday to You, Happy Birthday Happy Birthday Happy Birthday to You”

Suara cempreng nyanyian ulang tahun diiringi tepuk tangan yang tidak serasi memenuhi setiap sudut ruang tengah sebuah rumah malam itu. Walaupun kombinasi nyanyian ulang tahun dan tepuk tangan itu tidak enak didengar, Ford tidak protes. Ia tidak keberatan mendengarnya selama seharian penuh, tahun ini.

“Ayo Ford tiup lilinnya,” sosok wanita paruh baya menyodorkan cake ke arah anak lelakinya, memintanya meniup lilin yang membentuk angka dua puluh.

Ford menantap nyala lilin yang bependar menerangi ruangan temaram dari atas kue ulang tahun mungil yang mungkin tidak bisa lagi ia miliki tahun depan. Netranya ia edarkan menatap satu persatu wajah di hadapannya, mencoba merekam sebaik-baiknya bagaimana sosok mereka di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh.

Mama, wanita empat puluh lima tahun dengan garis-garis wajah cantik yang bahkan masih kentara walaupun umurnya sudah hampir mencapai setengah abad. Sosok tegas dan terlihat galak namun berhati lembut.

Ayah, lelaki pekerja keras dengan paras yang terlihat lelah, bagaimana tidak, di usianya yang segera menginjak lima puluh ituㅡ dengan gigih masih bekerja keras untuk memberi penghidupan yang layak untuk keluarganya. Sosok dengan senyuman paling hangat dan cerah, mengalahkan sinar mentari pagi bulan Juni.

Fourth, adiknya yang berusia tujuh belas, dengan segala tetek bengek kenakalan khas remaja, selalu saja bertengkar dengannya mengenai segala hal yang mungkin sekarang terasa menyebalkan, tapi suatu saat nanti pasti akan ia rindukan.

Keluarganya yang berharga.

“Buruan tiup lilinnya, gue mau makan kue nih.” Fourth sudah ribut sendiri ingin buru-buru menyantap cake ulang tahun sang kakak.

Make a wish dulu ya Ford,” imbuh Ayah.

Ketiganya menatap ke arah Ford, menghantarkannya untuk meniup lilin ulang tahunㅡ mungkin untuk yang terakhir kalinya.

“Fuuhh...” Nyala lilin itu padam diiringi tepuk meriah dan derai tawa Ayah, Mama, dan adiknya.

Tapi Ford menangis. Menangisi nyala lilin ulang tahun terakhirnya yang kini sudah padam dan mungkin tidak akan bisa ia miliki lagi nyalanya tahun depan. Tangisan pertama di usianya yang ke dua puluh. ㅤ

✧ ㅤ

Sebelumnya, Ford tidak berbeda dengan pemuda lain seusianya. Idealis dan penuh energi menjalani tahun terakhirnya di universitas. Sampai dokter memvonisnya menderita kanker perut stadium akhir, seminggu yang lalu.

Kini hanya gelap yang membayangi Ford setiap hari. Segala planning masa depan yang sudah ia rencanakan setelah ia lulus dan mendapatkan gelar sarjananya nanti seketika hancur berserakan. Bahkan hanya untuk memimpikan hari kelulusan itu akan tiba pun Ford tidak memiliki keberanian sebesar itu.

Waktunya tinggal tiga bulan, itu yang dokter katakan.

Tapi Ford tetaplah Ford. Lelaki dua puluh tahun yang idealis walaupun di sisa usianya yang tinggal tiga bulan ini. Kalau ada yang ingin ia lakukan dalam tiga bulan, itu adalah mewujudkan segala keinginannya, wishlist yang belum sempat terwujud. Keinginan-keinginan yang selama ini hanya mengendap, mewarnai buku hariannya.

Match Meowker

#1

Mix terpana melihat bagaimana tetangganya yang menyebalkan itu muncul di pintu rumahnya tepat pukul tujuh malam, tidak kurang dan tidak lebih. Apa lagi melihat penampilan lelaki itu yang lain dari yang biasa Mix lihat ketika secara tidak sengaja mereka berdua berpapasan di jalanan depan rumah mereka.

Pemilik kucing belang yang Mix duga sudah menghamili kucingnya itu muncul dengan setelan rapih, kemeja hitam yang dipadukan dengan celana jeans hitam. Mix hampir salah mengira kalau lelaki itu baru saja menghadiri upacara pemakaman entah siapa. Biasanya, Mix selalu melihatnya tampak lusuh dengan kaos atau hoodie dan celana pendek.

Hal lain yang terasa aneh adalah rambutnya yang tiba-tiba disisir rapih ke belakang dan tampak stylish dengan pomade alih-alih rambut semrawut yang selalu dibiarkan jatuh menjuntai atau paling mentok ia mengenakan bando atau topi.

Segala tampilan sang tetangga hari ini tampak aneh di mata Mix, atau bisa dibilang mungkin Mix tidak terbiasa melihatnya dengan wujud seperti itu. Kalau boleh memilih, Mix lebih menyukai tampilan naturalnya yang biasa.

EH SEBENTAR,

Siapa yang menyukai siapa?

Ralatㅡ Mix lebih nyaman melihat tetangganya itu dalam tampilan naturalnya yang biasa. Bukan berarti sebelumnya Mix sering memperhatikan si tetangga ya, nggak, nggak sama sekali. Hanya saja yah, namanya juga hidup berdampingan, mau tidak mau tentu Mix sering melihatnya ketika lelaki itu sedang mencuci motor di halaman atau sekedar menyiram bunga.

“Ayo, udah siap belum?” kalimat pertama yang keluar dari belah bibirnya ketika Mix membukakan pintu.

“Ayo? Kemana?”

“Kan kita udah setuju buat diskusi masalah cucu-cucu kita.”

Cucu-cucu kita, katanya. Mix ingin menangis mendengarnya. Lelaki ini tampak lebih nyeleneh dari pada yang selama ini Mix bayangkan.

“Kan kita cuma mau bahas masalah kucing, di sini aja bisa kan? Kenapa harus pergi ke tempat lain?”

Dan lagi, dia sendiri yang bilang ini bukan date.

“Wellㅡ”

Lelaki dengan pakaian serba hitam itu bergerak mendekat ke arah Mix. Terlihat sedikit mengintimidasi kalau dibandingkan dengan balasan-balasan chatnya yang lebih memberi kesan dungu. Sosoknya semakin mendekat, terlalu dekat, hingga Mix dapat dengan jelas menghirup aroma mungkin satu liter perfume yang ia gunakan.

“Kalau dipikir-pikir kita belum pernah kenalan dengan bener ya.”

Mix masih bersikap santai sampai lelaki itu tiba-tiba meraih tangannya, “Nama gue Earth, gue mau ngajak lo ngedateㅡ EH KENAPA GUE DITAMPAR?”

This guy is weird. No one can say to Mix otherwise. Mix berfikir sudah saatnya ia melupakan tentang segala tetek bengek child support untuk Somporn dan calon bayi-bayi kucing tidak berdosa itu.

******

Pelajaran pertama yang Earth terima malam ini, jangan menggunakan metode pendekatan yang terlalu agresif apabila gebetanmu jelmaan kucing galak, atau kalian bisa kena tampar. At least gunakanlah helm atau sejenis alat perlindungan diri lain, agar apabila kondisi terburuk itu terjadiㅡ dalam kasus ini kalau tiba-tiba gebetan galak menamparmu agak terlalu keras sampai menghantam tembokㅡ kalian nggak akan gegar otak guys.

Tapi bagian positifnya, kalian mungkin akan mendapatkan kompres es gratis sebagai kompensasi. Seperti saat ini, Mix tengah menempelkan kompres es ke salah satu bagian wajah Earth yang tadi ia pukul. It's okay baby please hit me one more time.

“Jadi nama lo Earth?” Mix bukannya tertarik, ia hanya merasa canggung sehingga ia pikir tidak ada salahnya mencari bahan obrolan.

Earth seketika menutupi wajahnya.

“Nggak akan gue pukul lagi ish,”

“Tapi terakhir kali tadi pas gue nyebutin nama, gue ditampar.”

Mix berdecak kesal, “Iyaaa iyaaa maaf... Lagian salah lo sendiri kenapa creepy banget. Bisa nggak sih bersikap biasa aja?”

Earth menatap si kucing galakㅡ maksudnya Mixㅡ tepat di manik mata lelaki itu. Sorry kalau terkesan creepy, gue cuma mencoba untuk ramah dan bersahabat.”

Bersahabat, dia bilang...

“Dengan ngajakin gue ngedate?”

“Kenapa?? Sesama teman juga boleh kok ngedate.”

“Kita bukan teman.”

“Kita bisa jadi teman.” Earth nyengir sambil menggerak-gerakkan alisnya naik dan turun.

Mix menghela nafas. Baru saja ia menyadari kalau menampar Earth adalah hal paling tepat yang ia lakukan hari ini. Rasanya ingin ia ulangi sekali lagi. Rupanya menampar orang menyebalkan memberi efek adiktif.

“Ya kan?? Berawal dari tetangga, hubungan kita bakal berubah jadi kakek dan kakek mertua. Jadi gue pikir, seharusnya kita berteman nggak sih?”

What?? Kakek? Kakek mertua???

“Ehmㅡ gimana?”

“Anak-anak kita saling jatuh cinta dan dalam waktu dekat mereka bakalan punya anak. So, kita bakalan jadi kakek.” Earth menjelaskan seolah perkataannya akan membuat segalanya menjadi lebih masuk akal.

Hal yang membuat Mix menyadari, yang salah dari tetangganya ini adalah cara berfikirnya yang absurd dan tidak bisa diselamatkan lagi. Sampai di level ini saja sepertinya penggunaan istilah weird untuk menyebut lelaki yang mengaku bernama Earth itu terkesan meng-underestimated kepribadiannya. This guy is beyond weird.

“Gue nggak tau ya ini kepribadian asli lo atau gimana, tapi ayo dong kita yang serius, ngomong intinya aja gitu. Bisa kan?”

Mix menyaksikan sendiri bagaimana cengiran di wajah Earth perlahan menghilang. Ada perasaan bersalah tiba-tiba menyergapnya, walaupun aslinya sih Mix bukan orang yang mudah merasa bersalah terhadap siapa pun.

“Sorry,” ucap Earth kemudian.

Earth sekarang menundukkan kepalanya, tampak sedih. Ia terlihat persis seperti Sommaii, kucing jantan milik Mix ketika ia membentak kucing itu karena pee dan poop offside dari litter box-nya. Mix lagi-lagi dibuat tidak enak hati.

“Kita sama-sama gak menyangka sama kejadian kucing lo yang hamil, gue nyesel ngelepasin Edin keluar rumah. Tapi jangan khawatir, tadi sebelum ke sini Edin udah gue omelin!!!”

Mix tidak bisa tidak tertawa melihat ekspresi serius di wajah Earth ketika ia bilang ia sudah memarahi Edin si kucing belang.

“Lo marahin gimana dia?” Mix kepo.

“Gue bilang next time pake kondom atau jangan keluar di dalem.”

“AH BEGOOOO.....!!!”

Mix menyesali dirinya yang satu menit lalu sempat iba pada paras sedih Earth. Ayunan tangannya tidak bisa lagi ia tahan untuk mendaratkan sebuah pukulan di bahu si tetangga.

“Tuh kan gue dipukul lagi!!!”

“Lo layak dipukul!!”

Walaupun mulut Mix terus mengoceh, mengumpat kebodohan demi kebodohan yang dilaku Earth secara langsung di hadapannya, mau tak mau Mix tertawa juga. Bahkan terpingkal-pingkal sampai keluar air mata.

Yes lo ketawa seheboh ini. Gue berhasil bikin lo ketawa...” Earth berucap girang.

Mix terdiam menatap lelaki yang beberapa menit lalu masih ia anggap aneh itu. Lelaki itu terlihat begitu bahagia hanya karena berhasil membuatnya tertawa. Mix tertegun, ia tidak pernah tahu kalau tawanya dapat membuat orang lain begitu bahagia.

Mix memang jarang tertawa. Nyaris tidak pernah. Bukan karena ia tidak pernah bahagia, hanya saja ia tidak terbiasa mengekspresikan perasaannya lewat mimik wajah atau pun kata-kata. Ia tidak pernah berfikir bahwa bahagianya dapat pula menjadi bahagia untuk orang lain, sebelum hari ini. Perkenalan yang kedua kalinya dengan tetangga aneh bernama Earth paling tidak mengajarinya sesuatu yang baru hari ini.

“Gitu dong jangan cemberut terus. Jangan marah-marah sendiri juga kalau Sommaii ngacak-ngacak pot bunga lo.”

“Kok lo tau???”

“Lo teriak segitu kencengnya manggil tuh kucing, bukan cuma gue yang denger. Pak Mahmud di blok sebelah juga gue yakin denger.”

Lebay ah, perasaan gue teriak nggak sekenceng itu.”

“Coba tes...”

“Ngapain? Sommaii di kandang.”

“Keluarin...” Earth sudah beranjak, bergerak menuju kandang kucing di sudut ruangan.

“Tolong dong bersikap layaknya tamu...”

“Oh iya, gue tamu ya? Sorry, udah terlalu nyaman sama yang punya rumah.”

“Diemmmmmm!!”

“Oke gue diem,” Earth tampak waspada setelahnya, mungkin takut Mix bisa saja melayangkan pukulan lain sewaktu-waktu ketika ia lengah.

By the way, makasih ya Earth,” ucap Mix tiba-tiba setelahnya.

“Hah??? Makasih buat apa?”

“Buat usaha lo bikin gue ketawa.”

“Lo nggak marah lagi sama gue?”

“Marah? Marah kenapa? Gue nggak marah.”

“Gue kira lo marah karena kucing lo hamil...”

“Nggak marah, gue cuma minta lo sama kucing lo tanggung jawab.”

“Iya gue sama Edin bakalan tanggung jawab kok. Gue janji bakal mendidik Edin jadi ayah yang baik.”

Entah kenapa kali ini Mix sudah tidak heran mendengar lelucon yang dilontarkan Earth. Tanpa sadar, Mix mungkin sudah terbiasa bahkan mulai menikmati tingkah uniknya.

“Dan masalah child support, tenang. Gue udah persiapin semuanya matang-matang.”

“Wow lo udah siap-siap? Jangan bilang kalo Edin selama ini sering hamilin kucing betina lain? Jadi lo udah biasa...”

“Jangan nuduh Edin sembarangan gitu!!! Edin itu setia, cintanya cuma buat Sompornㅡ”

“Kalo lo?”

“Hah?”

“Lo setia nggak?”

“Cinta gue cuma buat lo kok...”

“Gue cuma nanya setia apa nggak...”

“Ya setia sama lo, kenapa sih kurang jelas ya gue ngomongnya?”

“Kita aja baru hari ini ngobrol proper dan lo udah ngegombal aja?”

“Emang baru hari ini akhirnya kita bisa ngobrol proper, tapi lo nggak tau kan seberapa lama gue nunggu momen ini untuk tiba? Yup betul dari 6 bulan lalu waktu pertama kali gue ngasih lo cheese cake...”

“Ya kenapa nggak ngajak ngobrol aja sih selama ini tiap ketemu di depan??”

“Mana berani, muka lo cemberut terus.”

“Emang muka gue begini, salah gue??”

“Ya salah gue lah, kenapa suka sama orang yang mukanya begitu.” Earth terdengar pasrah karena dia tahu Mix tidak akan mau kalah.

“Ini lo confess?”

“Nggak, gue curcol.”

Kali ini Mix yang diam, ada rona kemerahan yang pelan-pelan menjalar di pipinya yang dengan sialnya dilihat oleh Earth, “Jadi gimana?”

“Gimana apanya?”

“Curcolan gue responnya gimana?”

“Masalah kucing kita dulu deh selesain.”

“Kalau udah selesai?”

“Ya liat aja nanti...”

“Selama nunggu masalah kucing selesai, gue boleh sering-sering ke sini?”

“Ngapain???”

“Nengok Somporm bumil...”

“Nggak perlu.”

“Kalo nengok lo?”

“Earth udahan dong, gue capek...”

“Capek kenapa???”

“Gue capek, gak pernah-pernahnya sebelum ini gue senyum-senyum sebanyak ini. Pipi gue pegel.”

“Jawab dulu boleh nggak??”

“Terserah lo ih...”

“Berarti boleh.”

“Gue bilang terserah.”

“Gue bilang boleh.”

“Ya udah terserah...”

Mix capek. Seluruh urat-urat di pipnya malam ini terasa ditarik karena terlalu banyak tertawa. Kehadiran tetangga aneh si pemilik kucing belang membuat harinya yang semula biasa-biasa saja jadi memiliki akhir yang berbeda. Mix yakin hari esok dan seterusnya hidupnya akan lebih berwarna karena kehadiran Earth si tetangga aneh di dalamnya.

Fin. @wjmmmy, 2022.

Februari 6th, 2022 Katedral Jakarta.

Sebuah janji suci pernikahan diucapkan dengan lugas oleh sosok lelaki tampan dengan setelan jas hitam dan tatanan rambut yang terpotong pendek rapi namun tetap trendy, Earth Pirapat. Janji pernikahan yang kemudian balas diucapkan oleh sang pengantin wanita itu diikrarkan dihadapan pendeta dan jemaat gereja yang menghadiri upacara pemberkatan pernikahan di katedral pagi itu, tepatnya pukul sepuluh.

Pasangan pengantin di altar melemparkan senyuman cerah ke arah jemaat gereja yang memenuhi barisan kursi-kursi kayu di dalam katedral. Prosesi pemberkatan pernikahan mereka telah selesai, keduanya resmi menjadi sepasang suami-istri yang akan selalu setia seperti yang mereka ucapkan dalam janji pernikahan beberapa saat lalu.

Dari baris ketiga deretan kursi kayu mahoni, Mix menatap kedua mempelai yang tengah berbahagia itu dengan senyum mengembang di bibirnya. Hari itu Janㅡ sang mempelai wanitaㅡ terlihat begitu cantik, seperti biasanya. Jan-nya yang tercantik, satu-satunya wanita paling cantik dalam hidupnya setelah ibunya sendiri. Wanita yang ia sayangi lebih dari dirinya sendiri. Wanita yang untuk kebahagiaannya Mix rela menukar apa pun miliknya. Gaun pernikahan yang Jan kenakan terlihat pas di tubuh rampingnya. Membuat kecantikan yang wanita itu pancarkan dari dirinya hari ini semakin paripurna.

Sementara sang mempelai pria, tidak ada kata lain yang terasa lebih mewakili sosok Earth Pirapat hari itu selain sempurna. Senyumnya yang menawan tidak pernah tanggal dari wajahnya barang sedetik pun. Senyuman yang untuk dapat melihatnya Mix rela berkorban apa pun, termasuk senyumannya sendiri.

Jan dan Earth, sepasang pengantin hari itu, dua sahabatnya yang paling ia kasihi di dunia ini.


Tiga bulan yang lalu, Paris, Perancis.

“Surpriseeeeee!!!!”

Pintu studio kerja Mix menjeblak terbuka, menampilkan sesosok gadis cantik berdiri di sana mengayun-ayunkan bungkusan kantong plastik bening berisi sebuah kotak persegi sewarna kayu yang nampak seperti kotak kue. Tangan kirinya menarik koper berukuran dua puluh empat inci, bersusah payah membawanya masuk ke dalam tempat kerja Mix.

Si pemilik ruangan masih berusaha mencerna apa yang baru saja ia lihat, “Jan?!?!?!”

Gadis bernama Jan itu memeluknya erat-erat dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di pipi kirinya, “Aaaa kangen banget.”

“Kok lo bisa tiba-tiba di Paris? Heyㅡ kenapa nggak ngabarin kalau mau dateng?”

“Namanya juga surprise. Kaget kan??”

Mix mengangguk. Binar-binar kebahagiaan kini mewarnai wajah lelaki Sahaphap menyambut kedatangan sahabatnya setelah pertemuan terakhir mereka satu tahun silam.

“Lo ada perlu ke Paris? Nggak mungkin kan cuma mau ketemu gue?”

“Kenapa nggak mungkin??? Mungkin aja lah...”

“Jan...”

“Gue jadi kurir bika ambon spesial buatan Mami nih.” Jan kini berusaha mengeluarkan kotak kue dari dalam plastik dan memamerkan isinya pada Mix.

“Nyokap lo masih mikir kalau gue sesuka itu sama bika ambon buatannya?”

“Sekali aja lo muji masakan nyokap, dia bakal inget itu seumur hidup dan bakal ngasih lo makanan itu di setiap kesempatan, tau nggak?”

Mix tersenyum penuh kerinduan manakala mengingat wanita paruh baya yang kerap kali ia sapa Mami itu. Wanita yang melahirkan wanita cantik yang kini berdiri di hadapannya.

“Cepet makan kuenya!”

“Harus sekarang?”

At least hargai perjuangan gue bawa-bawa nih kue long flight 14 jam dari Jakarta, belum lagi harus transit di Istanbul 2 jam. Buruan makan, gue mau fotoin terus kirim ke Mami biar dia happy.”

“Oke okeㅡ nih gue makan. Cepet foto!”

Jan mengambil beberapa foto sahabatnya yang tengah mencicipi kue yang jauh-jauh ia bawa dari Jakarta itu, tak lama ia sudah tertawa geli sembari menatap layar ponselnya, bertukar kabar dengan sang Mami lewat pesan teks.

“Oh iya, gue mau ngasih tau Earth kalau lo dateng,” Mix merasa perlu mengabari Earth mengenai kedatangan tiba-tiba sahabat mereka dari Jakarta.

“Nggak perlu. Dia udah tau, nanti sore pulang kerja dia naik kereta dari Lyon ke sini,” ujar Jan sambil masih menatap layar ponsel.

Mix mengerutkan keningnya, heran. Mengapa Jan memberi kabar mengenai kedatangannya ke Paris pada Earth, tapi tidak padanya? Tapi Mix tidak ambil pusing. Mungkin memang Jan ingin memberinya kejutan seperti yang gadis itu sebutkan tadi.

Earth sudah mereservasi sebuah restoran untuk makan malam mereka bertiga di L'Abeille, salah satu restoran terkenal yang terletak di jantung kota Paris. Entah kapan lelaki itu mengurus semuanya untuk menyambut kedatangan Jan, di tengah-tengah kesibukannya bekerja.

Sesuai jadwal, Earth akan tiba di Paris pukul tujuh malam. Sambil menunggu waktu janjian mereka, Mix membawa Jan berjalan-jalan sepanjang Rue de Passy, tempat impian para gadis untuk memanjakan mata, menyapu deretan toko-toko barang mewah nan klasik mulai dari busana, sepatu, perhiasan, sampai perfume.

Kedua sahabat itu bercengkrama sepanjang jalanan yang dipenuhi bangunan-bangunan vintage berwujud pertokoan. Jan terlihat bahagia menunjuk kesana-kemari ketika melihat sesuatu yang ia anggap menarik. Ini memang bukan pertama kalinya gadis itu menginjakkan kakinya di Paris, tapi Jan masih begitu mengagumi tiap sudut kota itu.

Mix, Jan dan Earthㅡ ketiganya mengantongi gelar sarjana dari perguruan tinggi di Paris. Namun berbeda dengan kedua sahabat lelakinya yang memilih untuk menetap dan bekerja di negara asing ini, Jan memutuskan untuk kembali ke Jakarta setelah pendidikannya selesai. Sang Mami seperti tidak bisa lebih lama lagi berpisah dengan putri bungsunya. Namun mereka bertiga tetap menjaga hubungan baik mereka walaupun harus terpisah benua, persahabatan ketiganya tidak pernah pudar, masih sama lekatnya seperti ketika mereka berjuang bersama di bangku kuliah.

Jan masih berceloteh riang mengenai tempat mana saja yang akan ia kunjungi selama ia berada di Paris ketika Mix menghentikan langkahnya di depan sebuah butik dengan pajangan gaun pengantin yang begitu cantik di etalasa kacanya. Mix selalu suka menghabiskan waktunya untuk menatap lekat-lekat tiap detail gaun pengantin yang terpajang di etalase butik. Bukan, bukan karena ia ingin membelinya. Justru ia ingin membuat gaun seindah itu. Sebagai perancang busana, ia ingin tahu rasanya mewujudkan sebuah sketsa yang sudah lama mengendap dalam notebook tua miliknya, menjadi kenyataan.

“Mix...? Mau nampir?”

Mix tersadar dari kekagumanya menatap keindahan sebuah gaun ketika Jan tiba-tiba mengamit lengannya.

“Nggak, cuma lagi liat aja. Bagus ya???”

“Lo pasti bisa bikin gaun pengantin secantik ini juga.”

Mix tertawa, “Ya dong, gue kan designer keren...”

“Berarti lo bisa bikinin gaun pengantin buat pernikahan gue?”

“Emang ada yang mau nikahin lo?”

Jan merengut mendengar pertanyaan, Mix. “Jangan ngeremehin yaaa, kalau gue tiba-tiba nikah nanti lo kaget.”

“Bercanda cantikkk, cowok yang nikahin lo tuh cowok paling beruntung di abad ini.”

“Lebayyy. Pokoknya gue mau gaun pengantin yaaa.”

“Yang jelek aja gapapa? Hasil gue trial and error?”

“Jahaaaaaat.”

Mix tertawa menatap gadis itu kembali mengerucutkan bibirnya.

Mix tidak pernah tahu kalau permintaan Jan di depan etalase butik gaun pengantin di deretan pertokoan Rue de Passy yang sempat ia olok-olok tadi bukan hanya sekedar omong-omong ringan yang boleh ia anggap angin lalu, sampai malam ini.

“Mix, we're engaged,” ujar Earth malam itu di L'Abeille sambil menggenggam erat tangan Jan, cincin berkilau melingkar di jemari keduanya.

Earth menyampaikan berita ini dengan senyuman paling cerah yang pernah Mix lihat tersemat di wajah tampannya.

“Jan khawatir lo marah karena kita terlambat ngasih tau semu ini ke lo. Makanya dia dateng ke Paris, khusus buat ngasih tau berita ini lo.”

Gadis itu menatap Mix dengan takut-takut, “Mix lo nggak marah kan?”

Mana mungkin Mix bisa marah.

“Hah?” Mix berusaha menyembunyikan kekagetannya akan berita tiba-tiba ini. “Nggak mungkin lah gue marah, ini kan kabar bahagia.”

“Beneran???” Jan menatapnya ragu.

Mix memaksakan dirinya mengangguk, walaupun sulit baginya untuk memproses semuanya saat ini.

“Selamat buat kalian berdua,” butiran kristal bening bergulir jatuh begitu saja ke pipinya, terlambat untuk ia sembunyikan.

“Mix, kenapa nangis?” Jan tampak khawatir.

Mix menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia takut tangisnya-lah yang akan pecah alih-alih sebuah jawaban ketika ia membuka mulutnya.

“Nggak apa-apa, gue terharu, gue bahagia kalau dua orang yang paling gue sayang bakalan saling mendampingi satu sama lain,” ujarnya kemudian, setelah mampu mengatur emosinya.

“Mix...” Jan buru-buru bangkit dari kursinya dan memberinya sebuah pelukan erat.

Earth hanya tersenyum memandangi dua sahabatnya. Tak lama lelaki itu menyusul, memeluk erat keduanya.

Notebook tua yang lembarannya sudah menguning dimakan usia itu terbuka begitu saja di meja balkon apartemen Mix. Halamannya menampilkan sebuah sketsa berantakan gaun pengantin yang pernah dibuatnya empat tahun lalu, namun belum pernah ia wujudkan.

Mix menghembuskan nafasnya keras-keras sambil menatap kelamnya langit malam kota Paris. Ia berharap dapat melihat bintang di hamparan langit luas di atas sana, namun parahnya tingkat polusi udara di Paris membuat keinginan sederhana itu menjadi mustahil.

“Mau temenin gue minum?”

Sliding door di belakangnya berderit terbuka. Earth muncul di sana membawa satu botol wine dan dua buah gelas.

Mix menoleh ke arah sumber suara, “Sure!”

“Nggak bisa tidur?” ucap Earth sembari menyodorkan gelas berisi anggur merah itu ke arah Mix.

Mix hanya mengangguk, “Jan mana?”

“Barusan aja dia tidur.”

Mix mengangguk lagi. Keduanya kini sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Mix...”

“Hm?”

“Maaf,” ucap Earth singkat.

Walau kata maaf yang tiba-tiba Earth ucapkan itu tidak jelas konteksnya, namun Mix mengerti ke mana obrolan ini bermuara. Ini adalah kata maaf yang sama dengan yang pernah Mix dengar tiga tahun lalu ketika ia memberanikan diri menyatakan perasaanya pada sahabatnya itu.

Perasaan perih yang familiar tiba-tiba kembali menyeruak ke ulu hatinya. Mix merasakan kelopak matanya berdenyut. Lara yang mendesak ingin keluar dan mewujud dalam butiran kristal air mata itu tengah berusaha ia tahan sekuat-kuatnya.

“Maaf karena nggak bisa membalas perasaan lo dengan perasaan yang sama, Mix. Tapi satu hal yang harus lo tau, lo sama berartinya seperti Jan buat gue. Gue sayang sama lo, Mix. But not in that way.”

Love between two man sounds impossible for you, Earth?” Mix terdengar skeptis.

Earth menggelengkan kepalanya, “No, it's possible, Mix.”

“But love between us isn't,” imbuh Mix, terlihat lebih terpukul dari sebelumnya.

Jemari Earth mengusap butir air mata yang mulai luruh jatuh ke pipi Mix, walaupun dengan penerangan seadanya bohlam lampu yang menyinari balkon itu, Earth dapat melihat lelaki di hadapannya itu hancur dan terluka. Kerlip manik bercahaya yang selalu Earth lihat dibalik kelopak mata indah milik Mix kini pudar. Mendung. Air matalah yang kini menetes bak hujan di bulan Januari.

I know it's never been easy for you, Mix. Tapi gue selalu berdoa buat kebahagiaan lo, gue harap lo akan menemukan orang yang tepat.”

Can't it be you, Earth???”

“Sorry...”

“You can't love me because i m a man, right? I wish i was born as woman so it will easier for usㅡ”

“Mix, jangan ngomong kayak gitu.” Earth memegangi kedua bahu lelaki yang lebih kecil itu dengan tangannya.

“Dengerin gue! Nggak ada yang salah dengan diri lo, nggak ada yang salah dengan perasaan lo. Terlahir sebagai laki-laki itu bukan hal yang harus lo sesali cuma karena cinta lo nggak terbalas, Mix. Orang yang tepat ituㅡ yang selalu gue harapkan hadir buat lo, dia pasti bakalan nerima apa adanya diri lo.”

Mix ingin mengelak, ingin membantah seluruh ucapan Earth karena satu-satunya orang yang ia inginkan untuknya adalah lelaki yang kini berdiri di hadapannya itu.

“Maafin gue karena nggak bisa jadi orang itu buat lo,” Earth menggenggam kedua tangan Mix erat-erat dan membawa lelaki itu melunasi tangisnya dalam sebuah hangat pelukan persahabatan.

— ㅤ

Jan menutup mulut dengan telapak tangan, menahan sekuat tenaga suara tangisnya dan menangis dalam diam di balik sliding door yang mengarah ke balkon apartemen milik Mix. Dini hari itu, satu fakta Jan ketahui dengan baik, bahwa kebahagiannya telah menghancurkan bahagia milik orang lain, salah satu sahabat baik, orang yang begitu berharga untuknya. Ia sadar, bahwa untuk meraih bahagia itu, ada mimpi dan harapan milik Mix yang terampas.


Satu bulan yang lalu Jakarta, Indonesia.

Sebuah kotak kardus besar pagi ini dikirimkan tukang paket ke alamat Jan. Gadis itu keheranan karena merasa tidak memesan barang di online shop, begitu juga Mami. Namun nama dan alamat penerima yang tercantum di paket itu benar nama dan alamatnya, Jan berakhir menerimanya dan segera membuka kotak itu untuk melihat isinya.

Mata gadis itu membulat ketika ia menemukan sebuah gaun pengantin di dalamnya. Gaun berwarna putih yang begitu cantik, membuat Jan terkesima menatapnya, hingga ia menemukan benda lain di dalam kotak itu, sebuah amplop putih berhiaskan pita sewarna emas.

Sepucuk surat.

Paris, Jan 6th 2022

Maybe it's too late and you already have your wedding gown, tapi janji tetap sebuah janji kan? Seperti janji yang pernah kita sepakati di Rue de Passy 2 bulan lalu, here's my present for your wedding!

It might not be your favorite gown to wear in your special day but i still want to give it to you because you're the reason i made my random sketch became real. So i want you to keep it.

Happy Wedding, Jan. I love you, always.

Mix.

Tulisan tangan Mix di kertas itu sedikit luntur, Jan tahu lelaki itu menangis ketika menulis surat ini untuknya. Jan tidak bisa menahan air matanya turut luruh menetes membasahi selembar kertas di tangannya itu. Gadis itu menatap gaun pengantin di dalam kotak dan tangisnya semakin pecah. Ia mengusap gaun itu perlahan dan membawa fabrik itu dalam pelukannya bersama selembar surat.

Jan tahu, ini tidak mudah untuk Mix. Membayangkan segala rasa yang Mix tuangkan dalam setiap detail gaun yang lelaki itu ciptakan untuknya. Membayangkan segala sakit dan kesepian yang Mix rasakan ketika lelaki itu membuat sebuah gaun pengantin untuk wanita yang akan menikahi lelaki yang dicintainya.

“Ini hadiah pernikahan terbaik yang bisa aku terima, Mix. It's forever will be my favorite wedding gown. Thanks, Mix.” Jan berujar di sela-sela isak tangisnya.

Kalau Tuhan bisa mengabulkan satu permintaan Jan kali ini saja, Tuhan tolong buat Mix bahagia. Karena Jan tidak akan pernah bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri setiap kali luka nampak bersarang di mata sahabatnya.


“Jan Ployshompoo, saya memilih engkau menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepada engkau dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup.”

Sebuah janji suci pernikahan diucapkan oleh Earth di depan altar.

Mix baru saja mengeluarkan sapu tangan sewarna aprikot bermotif salur bunga dari saku setelan jasnya untuk mengusap matanya yang tiba-tiba basah ketika lelaki yang duduk di sebelahnya mulai menangis terisak di kursi kayu itu. Lelaki ituㅡ Joss. Kakak Jan satu-satunya, putra sulung Mami. Dulu, Mix sering bertemu lelaki itu ketika Joss mengunjungi Jan selama kuliah di Paris.

Mix mengulurkan sapu tangan miliknya, “Terharu ya, Kak?”

Joss menatap Mix sesaat dan menerima sapu tangan itu, “Nggak nyangka Jan yang di mata gue selalu jadi adik perempuan kecil yang harus selalu dijagain, sekarang jadi istri orang.”

By the way thanks ya, Mix,” sambung Joss.

“Buat sapu tangan?”

“Buat gaun pengantinnya. Kata Jan itu buatan lo, dia cantik banget pakai gaun itu. Aduh gue mau nangis lagi...”

Mix hampir tertawa di sebelahnya, pasalnya Joss yang bertubuh tinggi besar dan terkesan seram nampaknya tidak cocok memiliki kepribadian soft seperti ini.

“Lo ngetawain gue ya, Mix?”

“Nggak...”

“Lo emang nggak sedih ditinggal menikah temen baik lo? Dulu kan kalian selalu bertiga. Lo merasa tertinggal nggak? Gue merasa tertinggal dilangkahin Jan menikah duluan.”

“Ngerasa sih dan itu wajar aja, Kak. Tapi liat deh senyuman Jan hari ini Kak, lo pernah lihat Jan lebih bahagia dari hari ini?”

Joss kemudian menatap Jan yang masih berdiri di altar dari tempatnya duduk. Betul kata Mix, Joss belum pernah melihat Jan tersenyum lebih cerah dibandingkan hari ini.

“Demi senyuman itu, Kak. Gue kesampingkan segala perasaan nggak menyenangkan yang sempet ada di sini.” Mix menyentuh dadanya sendiri.

Joss tampak mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. “Tapi nggak ada lagi adik kecil yang selalu gue jagain selama ini, gue tetep sedih.”

Mix hanya memutar bola matanya melihat tingkah kekanakan Joss.

Hari ini Mix menyadari, merelakan sesuatu yang kita cintai bukanlah hal yang mudah. Namun kini ia menjadi saksi bahwa ikhlas dan rela miliknya telah memberikan kebahagiaan dan senyuman paling cerah di wajah Jan dan Earth di hari pernikahan mereka. Ia tidak pernah menyesali keputusannya. Gaun pengantin yang Jan kenakan itu menjadi saksi betapa ia mencintai Jan sama besarnya dengan cintanya untuk Earth. Perasaan cinta ini akan selalu ada di sana, di hatinya, dan akan selalu bermakna.

Fin. ㅡwjmmmy, 2022.

SISI LAINㅡ

Dua hal yang paling Earth benci dalam hidup ini, perpisahan dan rasa kesepian yang timbul akibat rasa ditinggalkan yang lamat-lamat berubah menjadi perasaan tidak diinginkan. Earth pernah mengalaminya, dulu, setahun yang lalu dan hari ini.

Dulu, ketika ia harus kehilangan kedua orang tuanya sekaligus dalam sebuah kecelakaan maut, yang membuatnya menjadi yatim piatu. Setahun yang lalu, ketika ia harus kehilangan cintanya yang paling berharga, yang membuat hidupnya terasa timpang karena salah satu kaki penumpunya patah.

Dan hari ini ketika, ia harus kehilangan sosok dibalik keberhasilannya melalui dua kejadian yang paling menghancurkannya dulu dan setahun yang lalu. Kini siapakah yang akan membantunya? Siapa yang akan menyelamatkannya? Tidak ada.

Karena tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkannya menjalani kehidupannya dengan baik, melebihi Mix Sahaphapㅡ bahkan dirinya sendiri pun, tidak.

ㅡㅤ

Arm memasuki unit apartemen milik sahabatnya itu setelah lima hari Earth tidak bisa dihubungi. Sebelumnya Arm sengaja memberi waktu untuk Earth menyelesaikan permasalahnnya pasca pengunduran diri Mix secara tiba-tiba dari galeriㅡ yang Arm seratus persen yakin ada kaitannya dengan hubungan asmara mereka berdua.

Unit apartemen itu gelap, panas, pengap dan berbau tidak sedap yang entah berasal dari mana. Pemilik unit ini seperti tidak ingin repot-repot memijit saklar lampu, menyalakan pendingin ruangan, apa lagi berbenah. Arm bahkan sempat ragu pemiliknya masih hidup sekarang.

Sliding door yang mengarah ke balkon sedikit terbuka, membuat tirai berbahan tile tipis yang berwarna putih itu sesekali berkibar diterpa angin malam yang menerobos masuk lewat celah pintu.

Arm menilik keadaan di luar balkon dan mendapati sang pelukis tengah merokok di sana. “Masih idup lo?”

Dengan sudut matanya, Earth melirik Arm yang muncul tiba-tiba di unitnya selama satu detik, kemudian kembali acuh. Seolah Arm hanya seekor lalat yang tidak sengaja mampir.

“Gue kira keadaan lo lebih parah dari ini, ternyata lo baik-baik aja. Sedikit menyesal gue khawatir,” Arm ikut menyelipkan batang rokok ke bibirnya, bahkan meminjam puntung rokok yang tengah Earth hisap, dan menyulut apinya dari sana.

“Lo tau nggakㅡ setiap gue berfikir kalau gue nggak akan bisa lebih hancur dari saat ini, gue bahkan langsung merasa lebih hancur sedetik setelahnya,” ujar Earth sambil mengepulkan asap nikotinnya bergulung-gulung di udara.

“Tapi lo selalu bisa mengatasi badai apa pun itu yang menerpa hidup lo kan?”

“Ini beda Arm, lo tau kan gimana berpengaruhnya Mix dalam hidup gue selama ini. Sekarang dia pergi. How am i supposed to live?”

“Broㅡ ini hidup lo. Nggak seharusnya lo menggantungkannya di tangan orang lain.”

“Dengan atau tanpa Mix, bumi terus berputar, matahari terus terbit, begitu juga hidup lo harus terus berjalan. Mau berapa kali lo hancur karena ditinggal pacar?

Earth hanya diam, termangu, menatap nyala lampu di kejauhan.

“Mungkin gue nggak tau apa yang sebetulnya terjadi antara lo dan Mix, bukan ranah gue juga untuk ikut campur urusan pribadi staf dan talent gue. Gue di sini ngomong sebagai sahabat lo, coba berpijak di kaki lo sendiri. Lo bisa kok, gue yakin.”

Earth menggeleng-gelengkan kepalanya, mencemooh ucapan sahabatnya.

“Mereka yang datang dan pergi dalam hidup lo selama ini bukan tanpa tujuan, Earth. Mereka mengajari banyak hal dan membuat lo menyadari hal-hal yang ternyata terlewat. Lo nggak bisa mengubah apa yang udah terjadi, tapi lo bisa berusaha memperbaiki diri supaya nggak terulang lagi.” Arm menepuk-nepuk bahu Earth, sementara pemiliknya sejak tadi hanya diam menatap langit malam yang kelam tanpa bintang.

Truth? Or? Dare?

Truth or Dare, sebuah permainan sederhana yang mengharuskan pesertanya memilih untuk menjawab satu pertanyaan secara jujur atau melakukan sebuah tantangan. Keliatan seru kan?

Selama ini Mix juga berpikir begitu. Menurutnya Truth or Dare adalah permainan simpel yang menyenangkan. Paling tidak sampai hari ini. Ralat, paling tidak sampai satu menit yang lalu.

Seluruh penilaian objektif yang ia miliki tentang permainan ini ambruk seketika manakala netranya perlahan menelisik goresan huruf demi huruf dalam gulungan kertas mungil yang ia pilih sendiri dari toples berisi kumpulan dare yang sudah disiapkan sebelumnya.

Empat pasang mata lain yang sedang duduk melingkar di ruangan itu tertuju sepenuhnya pada Mix, menantinya membacakan tantangan apakah yang harus ia lakukan.

“Lah kok diem, Mix? Ayo baca!” Ujar Pod yang duduk di seberangnya.

Mix menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering.

“CㅡCiㅡCi ...” Mix tergagap, persis seperti anak berusia lima tahun yang baru belajar membaca.

Firstㅡ yang tidak sabarㅡ berhasil merebut kertas itu dari tangan Mix yang gemetar dan membacakan isinya secara lantang. “Cium bibir teman di sebelah kanan lo!”

Pod berteriak histeris sambil bertepuk tangan ketika mendengarnya, sementara Khaotungㅡ si kalem itu hanya terkekeh tanpa suara.

“Bagus nih bagus, gue suka dare macem ini,” ujar Pod bersemangat.

“Gampang ini Mix, ayo cium gue!” First sudah siap menyodorkan bibirnya untuk mendapatkan kecupan gratis dari sahabat manisnya.

Seandainya semudah itu, First.

“Apa-apaan lo?!?! Darenya cium teman sebelah kanan, lo kan sebelah kirinya,” Pod melempar bantal duduk ke arah First, tepat mengenai wajahnya.

Nah itu masalahnya, Mix akan dengan senang hati mengecup First atau Khaotung atau Pod sekalipun, tapi tidak dengan sisa satu orang lagi di ruangan itu yang sejak tadi duduk diam di sebelah kanannya, Earth.

First berseru histerisㅡ mengalahkan pekik milik Pod sebelumnyaㅡ ketika ia menyadari, Earth-lah yang harus Mix kecup, bukan dirinya. Mix mencubit pinggang sahabatnya itu, kesal.

Bukan bermaksud membeda-bedakan teman, tapi sampai kapan pun perasaannya pada Earth tidak akan bisa disamakan dengan perasaannya pada tiga temannya yang lain. Tidak ada yang salah dalam diri lelaki jangkung berkulit tan itu, kesalahan terletak pada dirinya dan degup-debar jantung miliknya yang selalu terasa berbeda setiap kali Earth bersamannya.

Iya, Mix jatuh cinta. Sejak pertama kali melihat lelaki itu saat orientasi mahasiswa baru. Ia jatuh cinta diam-diam, pada sosok Earth Pirapat dalam balutan seragam putih-hitam siang itu, yang entah tiba-tiba datang dari mana. Sosok yang menyapanya dengan hangat di bawah teriknya sinar matahari pukul dua siang dan mengajaknya bergabung dengan kelompok diskusi beranggotakan Pod, First, dan Khaotung. Itulah awal cerita bagaimana persahabatan ini terbentuk.

Hingga satu tahun berlalu, Mix masih menyimpan rapat-rapat perasaannya itu untuk dirinya sendiri. Tidak ada seorang pun yang boleh tahu. Pod, First, dan Khaotung pikir hubungan persahabatan antara Earth dan Mix-lah yang paling awkward dalam geng mereka, nyatanya tidak begitu. Ketiganya salah paham. Earth tidak pernah bersikap canggung ketika berada di dekat Mix, ia masih seramah dan sebersahabat dulu, namun tidak sebaliknya.

Mix tidak bisa mengontrol dirinya sendiri ketika Earth bersikap baik padanya, memberinya perhatian-perhatian kecil atau menawari untuk pulang bareng usai kelas sore. Mix seringkali menolak, memilih untuk menghindar.

Mix takut. Perhatian sekecil-kecilnya dari Earth dapat membuatnya mengharapkan hal yang lebih dari lelaki itu. Mix tidak mau baper hanya karena Earth dan sikap baiknya.

He's just being nice to everyone. Mix berkali-kali harus memperingatkan dirinya sendiri.

— ㅤ

Sentuhan lembut tangan Earth di lengan Mix, mengembalikannya ke ruang tengah rumah Khaotung sekaligus mengembalikannya pada fakta bahwa ia harus mencium Earth, sekarang.

Earth menatapnya khawatir. “Mix, nggak apa-apa kalau nggak mau, lagian ini kan cuma permainan,” bisik Earth pelan.

“Tapi ini bagus tau, kalian berdua kan paling awkward tuh, ayo biar makin akrab,” imbuh Pod, mengambil nilai positif dari tantangan cium-mencium ini.

“Malah jadi makin awkward nggak sih?” Khaotung tersenyum.

“Ini konsekuensi dari permainan Mix, udah mending lo jalani aja. Atau kalau lo milih pass, lo mau nggak jajanin kita berempat makan siang selama sebulan?” First mendesak Mix.

“Ogahhh!!!” Mix melotot ke arah First.

“Yaudahㅡ yuk bisa yuk.”

“Lo bertiga jangan liatin.” Semburat oranye kemerahan mewarnai pipi chubby Mix.

“Nanti lo curang!!!” Pod menolak keras permintaan Mix.

“Kayaknya lo yang nulis dare ini ya? Lo paling semangat dari tadi,” Khaotung menuduh Pod.

“Bukan gue sumpah! First pasti, ini akal-akalan dia.” Pod melempar tuduhan pada First.

Yang dituduh hanya terkekeh geli, entah betul atau tidak tuduhan yang baru saja disebutkan Pod itu.

“Yaudah gih Mix, udah siap belum?”

Mix akhirnya mampu mengangkat kepalanya dan menatap Earth. Memastikan dirinya siap melakukannya.

Earth balas menatapnya dengan sorot mata tenang namun begitu dalam, miliknya yang biasanya, yang berkali-kali berhasil menenggelamkan Mix dalam samuderanya.

Mix memulai hitungan satu sampai tiga dalam benaknya, kemudian bergerak memangkas celah antara mereka. Dapat ia rasakan hangat nafas Earth menyapa wajahnya hingga akhirnya belah bibir mereka menyatu. Mix menutup kedua matanya ketika ia merasakan gejolak aneh di perutnya saat bibirnya menyentuh milik Earth.

Sebut saja dia berhalusinasi, tapi Mix berani bersumpah bahwa kejadian ini nyata. Seratus persen fakta. Bukan sekedar euforia akibat berhasil mencium crush semata.

Earth membalas ciumannya.

Mix membuka mata dan mendapati Earth tengah menatapnya lekat-lekat. Earth sejak tadi menatapnya dengan cara seperti itu selama ciuman singkat mereka. Mix buru-buru menarik dirinya menjauh ketika ia merasakan jantungnya seperti hendak melompat keluar. Rona kemerahan kini bahkan sudah sampai ke telinganya.

Ketiga temannya yang lain hanya bertepuk tangan riang menyaksikan Mix yang berhasil menyelesaikan tantangan. Mereka tentu tidak tahu bahwa ada hasrat tersembunyi dalam diri Mix yang berusaha ia redam sekuat tenaga.

Mix beruntung, pizza yang mereka pesan akhirnya datang dan mendistraksi teman-temannya dari permainan sialan bernama Truth or Dare ini.

— ㅤ

“Lo kan yang bikin dare ngaco tadi?!” Mix melayangkan tinju ke lengan Pod ketika mereka berpapasan di depan pintu kulkas, sama-sama ingin mengambil air dingin.

“Bukan elah ... Kan gue bilang tadi bukan gue.”

“Boong!”

“Yeee dibilangin nggak percaya, tanya tuh First.”

First yang mendengar namanya disebut-sebut, muncul tak lama kemudian. “Apa? Nuduh gue yang nulis dare? Gue nggak sekreatif itu, Mix.”

“Awas ya lo berdua kalau sampai ketahuan salah satu dari antara kalian yang nulis. Lihat aja ...”

“Khao kali noh ...” First kali ini menuduh Khaotung.

“Mana mungkin anjir, dia anak baik nggak kayak lo berdua.”

“Terserah dah, percayalah apa yang mau lo percayai Mix.” First dan Pod beranjak meninggalkan dapur.

“Khao, menurut lo ini tulisan tangan siapa? First atau Pod? Gue nggak hafal tulisan mereka.” Mix menunjukkan gulungan kertas mungil berisi dare yang masih ia simpan di saku celananya.

Khaotung mengamati tulisan tangan itu lekat-lekat selama beberapa menit. Kemudian menatap Mix dengan tatapan prihatin.

“Kenapa ekspresi lo kayak gitu?”

“Gws, Mix. Ini bukan tulisan First, apa lagi Pod.”

“Terus?”

“Ini tulisan Earth.”

Ucapan Khaotung barusan membuat Mix terbelalak kaget. Matanya yang besar dan bulat terlihat seperti sewaktu-waktu dapat melesat keluar, begitu terkejutnya.

“Lo yakin?”

“Seratus persen. Hahahaha nggak nyangka dia yang nulis sendiri dan dia yang kena cium. Sumpah lawak.”

Tapi Mix berpikiran lain. Entah, mungkin benih-benih frustasi dalam dirinya yang kemudian memicu pikirannya menjadi tidak rasional atau apalah, tapi menurutnya Earth tidak terlihat keberatan dengan ciuman itu, bahkan menikmatinya. Buktinya dia membalas ciuman Mix dengan santai. Apakah Earth sengaja menulis dare itu untuknya? Mix tahu ini terdengar sangat kepedean, tapi segalanya masuk akal.

— ㅤ

Malamnya Mix tidak bisa tidur. Coba pikir, bagaimana caranya dia bisa tidur setelah mengalami serentetan kejadian tidak terduga hari ini?

Belum reda pikiran kalutnya perkara Earth yang tiba-tiba membalas ciumannya sore tadi, kini fakta baru seperti dijejalkan secara paksa ke dalam otaknya, fakta bahwa Earth sendirilah yang menulis dare itu. Menurut Mix, ini sangat tidak seperti Earth yang dia kenal. Agak aneh rasanya kalau betul lelaki itu iseng dengan cara menuliskan dare konyol untuk sekedar seru-seruan.

Ia memutuskan untuk mencari udara segar di luar karena pikirannya kini semrawut. Dengan perlahan dan hati-hati, ia bergerak membuka pintu ke arah balkon kamar Khaotung. Berusaha tidak membuat kegaduhan karena keempat temannya terlihat sudah terlelap.

Angin dingin seketika berhembus galak, menerpa wajah Mix dan menyibak helaian rambutnya. Bukan salah angin, memang beginilah iklim di awal musim hujan. Basah dan berangin, samar-samar petrichor sisa hujan jam delapan malam tadi masih bisa ditangkap indra penciumannya. Mix menarik napas dalam-dalam, mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya dan merasakan pikirannya sedikit lebih jernih ketimbang sebelumnya. Mix tahu pasti ini hanya sugesti, sugesti positif yang ia pelihara sendiri.

— ㅤ

Earth terbangun dari tidur-tidur ayam-nya ketika merasakan semilir angin yang semula tidak terasa, kini mengelitik telapak kakinya yang tidak tertutup selimut karena First merebut tiga per empat bagiannya untuk menutupi dirinya sendiri. Ia mencoba memaksimalkan penglihatannya dalam temaram cahaya lampu kamar yang sudah dipadamkan, mendapati pintu ke arah balkon kamar sedikit terbuka. Dari sanalah hembusan angin dingin itu berasal.

Earth bukan orang yang rumit dan mudah overthinking, ia pikir Khaotung si pemilik kamar lupa mengunci pintu sebelum mereka semua tidur, sehingga pintu itu terbuka sendiri dihempas angin. Hingga ia melihat salah satu temannya sedang bertopang dagu di luar sana, bersandar pada pagar balkon setinggi dada orang dewasa. Earth hampir mengira sosok itu tengah bercengkrama dengan pot bunga.

“Mix ...?”

— ㅤ

Lengan yang sedang menopang dagunya itu tergelincir seketika saat si pemilik mendengar seseorang menyebut namanya. Jantungnya mencelos mendapati ada yang memanggilnya pukul tiga dini hari.

Earth muncul di pintu balkon.

“Lo belum tidur?” Earth menatap Mix dengan ekspresi heran.

Yang ditanya hanya menggeleng pelan sambil berujar, “Gue nggak bisa tidur.”

“Di luar dingin loh, nanti lo masuk angin. Masuk aja yuk.” Earth terdengar khawatir, seperti dia yang biasanya.

Mix hanya memeluk lengannya sendiri, mencoba mengatasi hawa dingin yang menusuk kulitnya yang hanya dilapisi piama tipis bermotif garis.

“Tapi gue masih mau di sini, Earth.”

“Beneran?”

“Iya, lagian nggak sedingin yang lo kira kok.”

Earth mengangguk samar, kemudian menghilang kembali masuk ke dalam kamar.

Aneh, Mix merasa kecewa. Perasaan seperti ini yang tidak ia sukai ketika Earth memberinya perhatian, perasaan terus menginginkan lebih dari porsi yang seharusnya ia terima pasti hanya berakhir pada satu hal yang disebut kekecewaan.

Mix menghembuskan nafas keras-keras, berharap segala perasaan yang membuatnya tidak nyaman sekarang ini ikut musnah bersama karbon dioksida yang ia buang. Ia menyentuh bibirnya sendiri, meraba-raba titik tepat di mana beberapa jam lalu ia merasakan bibir Earth singgah di sanaㅡ ketika sebuah selimut hangat tiba-tiba menyelimuti kedua bahu dan membungkus tubuh mungilnya.

Earth bersama senyumannya yang selalu hangat itu, berdiri di sisinya. “Kalau lo sakit, siapa yang bakalan minjemin catatan buat anak-anak?”

“Lo lah ...”

“Gue? Nyatet? Yang bener aja, gue biasa foto copy punya lo kan.”

“Kenapa sih kalian semua tuh males banget nyatet materi penting di kelas.”

Earth tidak menjawab, kini sibuk menatap pucuk pohon di kejauhan, entah apa yang menarik di sana. Tapi, dari sorot matanya yang menerawang jauh, Mix menyimpulkan bahwa Earth juga punya sesuatu yang kini mengganggu pikirannya.

Apa ada kaitannya dengan ciuman sore tadi?

Haruskah ia mulai membahasnya dengan Earth? Tapi bagaimana cara memulainya? Tepatnya harus mulai dari mana?

Belum juga Mix memutuskan dari manakah ia harus membuka obrolan, Earth membukanya lebih dahulu.

“Tentang yang tadi sore ...”

Mix memberanikan diri menatap Earth ketika lelaki itu membuka obrolan tentang kejadian keramat itu.

“Lo nggak perlu merasa canggung sama gue ya, Mix. Santai aja,” Earth mengucapkannya dengan hati-hati.

“Gue nggak mau lo semakin membatasi diri dari gue,” imbuh Earth kemudian.

Mix membulatkan matanya yang memang sudah bulat itu, ia tidak menyangka Earth juga merasa kalau selama ini Mix membatasi diri darinya.

“Earth, gue nggak membatasi diri dari lo kok.”

“Faktanya nggak gitu.” Earth tertawa getir. “Awalnya gue nggak mikirin banget tentang ini Mix, tapi lama-lama sikap lo makin obvious. Sampai anak-anak juga mikir kalo ada beef antara lo sama gue. Kalau gue boleh tau, sebenernya apa yang salah di antara kita? Gue harap bisa benerin semua ini sama lo.”

Ada rasa bersalah yang diam-diam merayap menyesaki sudut-sudut hati Mix. Selama ini ia tidak pernah berpikir kalau sikapnya ini akan mengusik Earth.

“Masalahnya bukan di lo kok Earth, masalahnya ada di diri gue sendiri.”

“Gue nggak tau apa yang terjadi sama lo atau apa yang sebenernya lo pikirin. Butㅡ at least biarin gue ngelakuin hal-hal buat lo Mix, paling nggak sambut setiap uluran tangan yang gue kasih buat lo, biarin gue jagain lo, biarin gueㅡ”

Mix buru-buru menimpali ucapan Earth. “Lo nggak perlu ngelakuin semua itu Earth, kenapa lo perlu ngelakuin hal-hal buat gue?”

“Mix, lo satu dari sekian orang yang paling penting buat gue. Kenapa gue nggak boleh ngelakuin itu semua buat lo?”

Mix diam lagi, bagaimana dia harus mengatakannya.

“Kasih gue alasan yang masuk akal, Mix. Or you can just simply say that you hate me.”

“Nggak gitu Earth, nggak ada alasan kenapa gue harus benci sama lo.”

“So?”

Mix menggigiti bibirnya sendiri.

“Liat gue, Mix.” Earth meraih kedua sisi wajah Mix dan membawa wajah itu mendongak menatapnya.

“Karena dengan biarin lo care ke gue, lo perhatian ke gue, lo jagain gueㅡ gue nggak akan bisa menganggap lo cuma sebagai ... temen.” Mix berucap lirih.

“Terus kenapa? Ada yang salah kalau lo menganggap gue lebih dari temen? Ada yang marah?”

Mix tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Keningnya berkerut, tidak mengerti.

“Lo kira gue ngelakuin semuanya karena cuma pengen jadi temen lo doang? Nggak, Mix.”

“Maka dari ituㅡ EH?!?!? LO BILANG APA BARUSAN?” Mix baru menyadari sesuatu.

“Dasar o'on!” Earth menghadiahi Mix sebuah jitakan di kening.

“Earth?!?! Apa maksudnya yang tadi?? Jelasin!”

“Maksudnya lo bloon ...”

“BUKAN YANG ITU, YANG SEBELUMNYA.”

“Perasaan suka lo itu harus lo tunjukkin Mix, biar gue tau kalau ternyata bukan cuma gue yang jatuh cinta sendirian. Bukan malah lo menghindar kaya gini, gue bukan peramal, gue mikirnya lo terganggu sama sikap gue dan nggak suka, makanya lo jaga jarak.”

“NㅡNggak gitu ... Salah gue kenapa gue cupu.” Mix menunduk sedih.

Earth tertawa geli, Mix terlihat seperti anak kucing yang lucu sekarang.

“Gue takut kalau ternyata gue doang yang punya perasaan kaya gini. Lo selalu baik ke semua orang, gue pikir lo cuma sekedar bersikap baik ke gue karena kita temenan, Earth.”

“Betul sih gue bersikap baik ke semua orang, tapi cuma lo yang tiap hari gue ingetin makan karena lo suka lupa. Cuma lo yang gue paksa anterin pulang abis kelas sore. Cuma lo yang gue telfonin tengah malem dengan alasan nanya tugas walaupun lo seringnya nggak angkat. Cuma lo yang gue selimutin kaya barusan pas dingin, padahal gue juga kedinginan.”

Mix baru sadar, sejak tadi Earth hanya mengenakan kaus tipis dan celana pendek.

“Ayo kita masuk aja, ngobrol di dalem.”

Mix menarik lengan Earth, mengajaknya masuk, tapi Earth menahannya. “Nggak ah, gue mau nebeng selimut lo aja.”

Belum selesai keterkejutan Mix akan satu hal, Earth tiba-tiba memberinya kejutan lain. Mereka berdua kini berdiri bersisian, begitu dekat, dalam balutan satu selimut yang sama.

Mix bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat dan kedua belah pipinya yang kini terasa panas ketika tanpa sengaja bahu mereka saling beradu.

“JㅡJadi ... EㅡEarth ...” ujar Mix terbata-bata.

“Hm? Kenapa?”

“Jadi lo sengaja bikin dare itu karena berharap gue yang dapet?”

Waitㅡ Kok lo tau kalo gue yang buat?”

“Kata Khao itu tulisan tangan lo. Serius gue kaget banget.”

“He he he, namanya juga usaha, ternyata pas kena sasaran.”

“Jahat! Gue kan malu.” Mix meninju lengan Earth, pelan.

“Lo lucu kalo lagi malu-malu, gue suka.”

Mix tidak tahu lagi sudah semerah apa wajahnya sekarang. Earth terus menerus membuatnya berdebar.

“Tentang dare yang tadiㅡ Gue nggak halu kan kalau gue ngerasa lo balas ciuman gue?” Mix mencoba memastikan sesuatu.

“Balas gimana?”

“Ya balas cium.”

“Ya gimana?”

“Ya gitu ...”

“Gini?”

Sedetik kemudian sebuah kecupan singkat sudah mendarat di bibir Mix. Begitu kilat, sampai Mix tidak ingat rasanya, hanya rasa geli di perutnya bak puluhan kupu-kupu berterbangan di sana yang kini terasa.

“Bukan ... Gitu ...”

Earth mendekatkan wajahnya lagi pada Mix, tapi Mix menepuk bibirnya sebelum pemiliknya kembali nyosor sembarangan untuk kedua kalinya.

“Nggak mau main-main gitu ah,” ujar Mix.

“Oh maunya yang serius?”

Mix diam saja, memilih tidak menjawab pertanyaan jebakan ini.

“Mix ...” Earth meraih jemari milik pemuda manis di hadapannya itu lalu menautkannya dengan miliknya.

Ia menggengamnya erat, menciptakan suasana hangat dan nyaman dalam lingkupan selimut yang membungkus mereka berdua. Earth mengunci manik bulat milik Mix, membawanya hanya menatap ke satu titik pasti di hadapannya, miliknya.

“Mulai sekarangㅡ gue pengen jadi bagian dari rencana lo besok, rencana lo lusa, rencana lo bulan depan, bahkan tahun depan. Boleh nggak?”

Mix masih terkesima, tidak menyangka dengan apa yang terjadi dalan kurun waktu setengah jam ke belakang. Tapi ia buru-buru mengangguk, dengan senyuman mengembang di wajahnya. Senyuman paling cerah yang pernah dilihat Earth.

Earth jatuh cinta, lagi. Setiap kali lelaki manis ini tersenyum, berkali-kali itu pulalah Earth terus merasakan jatuh cinta pada senyum yang sama. Dengan gerakan ragu-ragu, Earth kembali membawa dirinya mendekat, tidak bisa menahan dirinya untuk mereguk manisnya kecup bibir lelaki yang selama ini selalu memenuhi pikirannya itu, sekali lagi.

Mix menangkap keragu-raguan itu dan memilih mengeksekusinya lebih dulu.

Cup.

Bibir keduanya kembali bertemu dalam sebuah kecup manis dan singkatㅡ namun ternyata Earth tidak semudah itu puas.

Kali ini Earth serius.

Untuk kesekian kalinya, balkon kamar Khaotung dan pucuk-pucuk pohon di kejauhan menjadi saksi bisu bagaimana dua buah hati dipersatukan dan dua belah bibir kembali hanyut saling pagut. Ciuman mereka kali ini lebih menuntut, seolah melepaskan jutaan rasa yang mereka pendam selama satu tahun.

Keduanya tertawa setelahnya. Sama-sama bahagia.

“I love you, Mix Sahaphpap.”

“I love you too, Mr. Pirapat.”

Begitulah bagaimana akhirnya sebuah dare membawa mereka berdua kepada kebenaran yang selama ini terpendam, mengenai isi hati masing-masing.

Fin. 2021ㅡ 𝐖𝐣 𝐀𝐦𝐲.

Meet Me at November 8th

Sama seperti delapan november tahun-tahun sebelumnya dalam tujuh tahun terakhir, tahun ini pun Earth belum berhasil menemukan lelaki bernama Mix Sahaphap itu. Sang takdir seolah belum mengijinkan mereka berdua untuk saling menemukan.

Earth tidak akan pernah lupa pesan yang Mix tinggalkan sesaat sebelum tubuhnya melebur bersama angin malam bulan september dan menghilang. Mix berjanji akan datang menemuinya di delapan november. Meski sudah tujuh kali tanggal itu terlewati, Earth akan terus kembali dan menunggu Mix lagi, di tanggal yang sama, tahun depan, dua tahun yang akan datang, sampai waktu yang tepat untuk mereka itu akhirnya datang.

Mix masih sempat melihat bagaimana cahaya kuning yang begitu terang menyorot langsung menusuk matanya sebelum ia merasakan tubuhnya terhempas ke depan dengan begitu keras lalu dikembalikan lagi dengan tak kalah kerasnya ke kursinya. Seat belt menahan tubuhnya dengan kuat sehingga tidak terlempar ke depan menghantam dashboard mobil honda city yang ia kendarai ketika kecelakaan naas malam itu terjadi.

Mobil itu terguling setelah lebih dulu menabrak bodi kokoh sebuah truk kontainer di sebuah pertigaan jalan. Suara dentuman terdengar begitu keras memekakkan telinga Mix, rasa sakit itu terasa begitu nyata ketika ia merasakan tubuhnya terjepit diantara kursi kemudi dan setir. Bagian depan mobilnya yang ringseklah penyebab utamanya. Namun segala sakit dan rasa tak berdaya yang menderanya sekarang kalah ngerinya dibandingkan pemandangan akan tubuh Earth yang malam itu terkapar di aspal yang dingin, kemejanya yang semula sewarna biru langit kini berubah kemerahan, sewarna darah.

Earthnya yang malang, tubuhnya terlempar keluar dari mobil ketika tabrakan itu terjadi. Wajah tampan lelaki yang kini terpejam itu dipenuhi luka akibat serpihan pecahan kaca yang hancur menghujaninya. Darah segar mengalir dari bagian belakang kepalanya yang menghantam kerasnya aspal.

“Kak Earth ... ” Mix berusaha memanggil nama itu berulang kali, namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya.

Sekuat tenaga Mix berusaha mengulurkan tangannya yang bahkan sudah sulit ia gerakkan, berharap tangan lemah itu dapat menggapai tubuh Earth. Tidak ia pedulikan rasa sakit bak ribuan palu tak kasat mata yang menghantam tubuhnya secara bergantian, ia masih gigih berusaha melepaskan seat belt yang mengikat tubuhnya kuat dengan menggerakkan lengannya yang bahkan sudah tidak bisa ia rasakan lagi keberadaannya.

Mix menangis sejadi-jadinya ketika ia menyadari bahwa ia tidak akan bisa menggapai tubuh itu, ia tidak akan sempat menyelamatkan tubuh itu. “Kak Earth ... Maaf ... Maafin aku ...”

Suara terakhir yang Mix ingat ketika itu hanyalah suara sirine ambulans yang sahut menyahut dan suara ramai orang-orang yang berlarian mendekat, memberi pertolongan. Satu hal yang Mix minta sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya, Tuhan tolong selamatkan Kak Earth ...

— ㅤ

Isak tangis dan samar-samar obrolan pelan para pengunjung rumah duka siang itu dapat Mix dengar dengan jelas. Ia tidak dapat membedakan apakah ini nyata atau hanyalah bunga tidurnya.

Peti jenazah berwarna putih itu terletak di tengah ruangan, dikelilingi lilin-lilin yang dihiasi serangkaian bunga krisan dan mawar putih yang aromanya semerbak mewangi ke seluruh ruangan. Mix tidak berani menerka tubuh siapakah yang kini bersemayam di dalamnya.

Sosok-sosok yang Mix kenal dengan baikㅡkeluarga besar Earthㅡ terlihat memakai pakaian kedukaan dan duduk sambil memegang kidung pujian di tangan mereka, menanti Bapak Pendeta memulai misa penghiburan.

Mix bergerak mendekat ke tengah ruangan.

Ia ambrukㅡ jatuh terdudukㅡ ketika mendapati sebuah pigura kaca yang membingkai sebuah foto. Earth dalam foto itu tengah tersenyum dengan hangatㅡ yang malah membuat hati Mix terasa seperti dicabik-cabik melihat foto setampan itu kini terpampang di antara rangkaian bunga yang menghiasi peti mati.

Tangisnya pecah saat itu juga, tangisannya yang seperti orang gila. Mix menangis sekeras-kerasnya yang ia bisa. Berulang kali memanggil nama Earth berharap lelaki itu akan muncul di sana, di hadapannya, dengan senyumnya yang biasanya. Senyumannya yang hangat yang masih melekat erat dalam ingatan Mix.

Beragam kenangan yang Mix lalui dengan Earth selama delapan tahun berkelebat cepat di matanyaㅡ bagaikan menonton ulang tayangan televisi jaman dahulu. Warnanya keabuan, namun semuanya indah, karena senyuman Earth mewarnai setiap ceritanya.

Sekuat tenaga Mix bangkit, menatap sosok yang kini terpejam di dalam peti sewarna porselen. Mix melihat Earthnya di sana, terlelap untuk selamanya. Lelaki itu terlihat tampan bahkan di hari kematiannya, dengan menggunakan setelan jas hitam lengkap dengan dasinya, Earth hanya seperti sedang tertidur dengan nyaman.

“Kak Earth maafin aku, maafin aku ... ” Mix menyebut nama Earth berulang kali diiringi dengan ratusan permintaan maaf.

Mix menutup kedua telinganya rapat-rapat ketika ia merasakan dengung seperti ribuan lebah berkumpul di kedua rongga telinganya. Suara dengungan yang perlahan berubah menjadi sumpah serapah di pendengarannya.

“Semua gara-gara kamu!”

“Earth harusnya masih hidup sekarang!”

“Dasar pembunuh!!!”

“Harusnya kamu yang mati, bukan dia!!!

Mix melihat semua orang di sana menatapnya dengan tatapan bengis. Menunjuk-nujuk ke arahnya penuh kemarahan. Mereka semua membencinya. Mereka semua menyalahkannya.

Mix ketakutan.

“Aku bukan pembunuh!!!”

“Aku juga mau Kak Earth hidup!!!”

“Berhenti!!! Tolong berhenti!!!”

Ingatan Mix kembali membawanya ke peristiwa di malam ketika kecelakaan naas itu terjadi.

— ㅤ

“Maaf Kak, aku belum bisa terima perasaan Kak Earth sekarang. Kak Earth tau kan kalau karir aku sekarang ini penting banget buat aku? Akhirnya aku bisa mencapai ini semua setelah struggle bertahun-tahun, aku nggak tau apa yang bakal terjadi kalau orang-orang tau kita pacaran, Kak. Maaf, aku belum siap.”

Mixㅡ yang malam itu menyetiri Earth dengan mobilnya menuju acara pameran foto yang Earth helatㅡ sekilas menatap lelaki yang tengah duduk tepekur di kursi penumpang, di sebelahnya.

“Kamu nggak marah kan, Kak? Kamu ngerti kan? Ini bukan karena aku nggak sayang kamu ... Kak Earth yang paling tau gimana perasaan aku kan? Aku cuma belum siap terikat hubungan ... “

“Sekarang atau minggu depan atau bulan depan, apa bedanya sih Mix?”

“Beda Kak, film pertama aku bakalan premiere bulan ini, aku cuma mau fokus sama itu sekarang.”

Earth diam.

Mix bisa melihat bagaimana lelaki itu kecewa karena dirinya menolak usulan untuk melabeli hubungan mereka sebagai sepasang kekasih.

Earth menggenggam erat sebuah kotak persegi kecil berwarna royal blue di tangannya, tanpa sempat menunjukkan isinya kepada Mix.

“Kamu marah ya Kak?”

“Nggak, aku nggak marah. Apa selama ini aku pernah marah walaupun selalu jadi prioritas kamu yang nomor sekian? Nggak kan? Kenapa sekarang aku harus marah?”

“Kak, aku nggak mau berantem ya sama kamu.”

“Aku pun nggak, Mix. Cuma kadang kamu bikin aku mikir, apa cuma aku yang serius dalam hubungan ini? Apa cuma aku yang mau hubungan kita maju? Apa cuma aku yang merencanakan masa depan untuk hidup bahagia sama kamu?”

“Kita masih punya banyak waktu, Kak. Nggak harus sekarang kan?”

“Waktu 8 tahun yang udah kita lewati juga nggak cukup buat kamu, Mix? Nggak cukup untuk bikin diri kamu siap nerima aku?”

“Siap atau nggaknya aku nggak ada hubungannya sama berapa lama waktu yang udah kita jalani, Kak.”

“Mix, umur aku udah tiga puluh. Udah bukan waktunya lagi buat aku nemenin kamu main-main.”

“Aku nggak pernah main-main sama kamu, Kak. Kenapa kamu mikir gitu sih?” Mix tidak terima ketika perasaannya terhadap Earth selama ini disebut main-main.

Perdebatan mereka semakin lama semakin serius di dalam mobil yang tengah melaju kencang malam itu.

“Aku cuma pengen bahagia berdua sama kamu, Mix,” ujar Earth lirih.

“Selama ini kamu nggak cukup bahagiakah sama aku, Kak?”

Earth melemparkan pandangannya ke pemandangan jalanan di luar yang bergulir cepat di sebelahnya.

“Kasih aku waktu sebentar lagi ya ...? Kita masih punya banyak waktu untuk meraih kebahagiaan kita nanti, Kak. Ya ...?”

Mix yang kini menaruh perhatiannya pada Earth yang duduk di sebelahnya tidak melihat sebuah truk kontainer yang tengah oleng karena kelebihan muatan itu bergerak ke arah mobil mereka. Earth melihatnya lebih dulu ketika ia menengok untuk menatap wajah Mix di minimnya cahaya mobil. Cahaya terang lampu truk itu menyorot langsung ke wajah Mix, menusuk matanya. Earth mengambil alih kemudi dan membanting setir ke arah berlawanan, namun sudah terlambat. Mobil yang mereka tumpangi menabrak bagian badan truk dan terguling karena kemudi setir yang dialihkan secara mendadak.

Kotak kecil persegi berwarna royal blue yang berisi cincin itu masih tergenggam erat di tangan, ketika tubuh Earth terlempar keluar mobil. Bahkan hingga nafas terakhir yang ia hembuskan malam itu, cincin yang ia pilihkan khusus untuk Mix tetap ia genggam erat di sana.

— ㅤ

Mix sudah siap untuk mati. Dia harus mati sekarang. Suara dalam benaknya hanya berisi satu instruksi untuk mati.

Ia menatap hamparan bibir pantai nan gelap kehitaman di hadapannya. Langit malam itu begitu kelam, namun tak sepekat hatinya. Angin malam yang dingin membuat Mix teringat bagaimana malam itu tubuh Earth terkapar di jalanan yang tak kalah dinginnya dengan malam ini. Cuaca bulan november.

Sang rembulan pun tak sudi menampakkan dirinya untuk sekedar menerima ucapan perpisahan Mix. Air mata yang menggenang di pelupuk matanya membuat padangannya kabur.

Satu langkahㅡ dua langkahㅡ dengan begitu perlahan, Mix membawa tiap langkahnya mendekati bibir pantai. Ia memejamkan mata ketika dingin air laut mulai menyapa telapak kakinya yang telanjang.

“Tunggu aku, Kak.”

Kalimat pertama yang Mix ucapkan ketika air laut mulai mencapai sebatas lututnya.

“Setelah ini kita bisa bahagia selamanya, Kak.”

Kalimat lain yang ia tuturkan ketika air sudah mencapai pinggangnya. Dengan tekad yang begitu kuat, Mix terus membawa tubuhnya masuk ke air, semakin dalam dan semakin dalam.

“Aku sayang kamu, Kak Earth. Maaf untuk semuanya. Aku harap ada kehidupan lain di mana kita berdua bisa hidup bahagia sama-sama dalam waktu yang lama Kak. Aku pasti nggak akan menyia-nyiakan semuanya seperti aku yang sekarang.”

Asinnya air laut mulai terasa di bibir Mix saat itu. Ia menghembuskan nafas terakhir yang bisa ia hirup.

“Andai aku punya kesempatan untuk merubah takdir kita, Kakㅡ seandainya kisah kita bisa diulang, aku rela menukar apa aja milik aku dengan hidup kamu, Kak.”

Mix menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam dingin dan asinnya air laut yang langsung menelannya dalam kegelapan yang tak tertembus cahaya. Mungkin ini yang dirasakan Earth di dalam peti kayu cendana yang menjadi rumah peristirahatannya yang terakhir. Gelap, sesak, dingin, dan kesepian.

— ㅤ

“Belum saatnya lo mati.”

Mix membuka mata ketika ia mendengar suara seorang lelaki berbisik di telinganya. Matanya perih, rasanya seperti bola matanya akan melompat keluar. Terlebih lagi silau matahari berada tepat di atas wajahnya, kemilau cahayanya seperti menaruh dendam untuk membakar tubuhnya dengan terik khas matahari siang bolong. Entah bagaimanaㅡ tubuhnya kini terbaring di atas rumput, pakaiannya kering, padahal Mix ingat betul sebelumnya ia menenggelamkan dirinya ke laut.

Apa dia sudah mati?

Apa ini wujud neraka?, batinnya sesaat. Atau ini bentuk kehidupan setelah kematian?

“Bukan dua-duanya,” sahut lelaki dengan setelan hitam dan berambut klimis yang kini tengah mengorek kuping dengan batang rumput ilalang, dia bisa membaca pikiran Mix. Mix menatap lelaki asing itu dengan ribuan tanda tanya, siapa dia?

“Jangan repot-repot mikirin siapa gue. Sebut aja gue sang takdir, nggak perlu gue jelasin lebih jauh karena eksistensi gue cukup rumit untuk bisa diterima nalar manusia.”

Lelaki yang menyebut diri dengan sebutan sang takdir itu tampan, namun menakutkan. Kulitnya putih pucatㅡ memberi kesan seperti tidak ada darah yang mengalir dalam tubuh setinggi dua meter ituㅡ entah mengapa hal itu yang terlintas dalam benak Mix. Suaranya rendah dan dalamㅡ seperti berada dalam frekuensi suara infrasonik yang seharusnya hanya bisa ditangkap oleh hewan-hewan seperti anjing, gajah, atau jangkrikㅡ namun Mix bisa mendengarnya dengan jelas. Aroma melati yang begitu kuat menguar dari tubuhnya.

“Sedih ya kehilangan orang yang lo sayang buat selamanya?”

“Dan kalimat terakhir yang lo ucapin ke dia apa? Kita masih bisa bahagia nantiㅡ?” lanjut sang takdir, tertawa geli sembari menyalakan pemantik untuk menyulut cerutu yang terselip di bibirnya.

Mix terdiam, sibuk mengasihani dirinya sendiri.

“Lo pikir lo bisa mendahului takdir? Tapi semua manusia emang seperti itu. Kalau kalian tau kalian nggak akan punya kesempatan lain di masa depan, kalian pasti bakal ngelakuin yang terbaik saat ini kan?”

“Makanya manusia punya istilah do your best like there's no tomorrow. Padahal apa salahnya ngelakuin yang terbaik setiap saat?”

Mix bahkan tidak sanggup merespon setiap kata yang sang takdir ucapkan, perasaan menyesal itu kini seperti mencekiknya. Lelaki beraroma melati hanya menatap Mix, dengan eskpresi yang tidak terdefinisi.

“Lo siapa? Ini di mana? Harusnya gue udah mati tenggelam.”

“Kan udah gue bilang belum saatnya.”

“Kenapa? Gue udah nggak mau hidup. Gue mau mati,” Mix mulai mencekik dirinya sendiri dan mencari benda-benda tajam di sekitarnya.

“Ck ... Ck ... Ck... Lo tau nggak banyak di luar sana yang minta-minta hidup tapi lo minta mati? Aneh.”

“Kenapa lo nyelametin gue?”

“Bukan gue! Tuh yang di atas.”

Mix mendongak, hanya matahari yang ia lihat di atas sana.

“Matahari?”

“Tuhan lo.”

“MㅡMaksudnya?”

“Kalau mau mati harusnya langsung aja, kenapa berdoa bikin-bikin permohonan aneh segala. Nambah-nambahin kerjaan gue aja,” sang takdir terdengar sewot.

Sebuah kitab berwarna kuning keemasan tiba-tiba muncul di tangannya. Dia membuka lembar-demi lembar, entah mencari halaman berapa.

“Earth orang baik, cuma nasibnya jelek. Seharusnya dia nggak mati dengan cara begitu. 12 September 2013, takdir kalian yang ini yang harus dihapus. Kalau takdir kalian dirubah sejak awal, dia mungkin bakal hidup sampai lima puluh tahun lagi. Dia nggak akan mati kalau dia nggak naik mobil itu bareng lo. Intinya dia nggak akan mati secepat itu kalau lo nggak pernah ada di hidup dia.”

Mix tidak suka lelaki ini, bicaranya terlalu blak-blakan dan terdengar kejam.

“Kenapa diem aja? Kan lo sendiri yang minta merubah takdir.”

Mix bingung, sebenarnya apa yang sedang ia alami ini.

“Lo nggak inget tempat ini?”

Untuk pertama kalinya Mix mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mereka berdua tengah duduk-duduk di halaman berumput sebuah museum seni yang terletak di sebuah kawasan wisata edukasi.

“Ini? Museum seni?”

“Yup! Tempat pertama kalinya takdir mempertemukan kalian. Lo harus memutus takdir itu, cegah Earth ketemu diri lo yang berumur enam belas tahun itu hari ini.”

“Jangan bilangㅡ”

“Betul! Hari ini 12 September 2013. Selamat datang di masa lalu.”

“Dengan cara ini Kak Earth bakalan selamat?”

“Dia bakal baik-baik aja delapan tahun mendatang kalau dia nggak ketemu anak SMA menyedihkan yang lagi nangis di selasar museum.”

Mixㅡ yang pikirannya kala itu hanya dipenuhi dengan keinginannya menyelamatkan Earthㅡ buru-buru menyanggupi.

“Jangan buru-buru. Ini bukan pilihan mudah ya manusia. Karena perkara merubah sekecil apapun masa lalu akan membawa dampak besar untuk nasib kalian di masa depan. Jadi, apa lo yakin udah siap? Karena pada saat lo bangun di masa depan nanti, lo bakalan jadi orang dengan nasib yang berbeda, lo bukan lagi Mix Sahaphap model terkenal, lo bisa jadi entah apa aja di luar sana.”

Mix tidak peduli. Dia tidak peduli akan jadi apa dia kelak kalau hari ini ia tidak pernah bertemu Earth.

“Dengan memutus takdir pertemuan kalian, lo bakal kehilangan semua memori tentang kehidupan yang pernah lo jalani sebelumnya. Semuanya otomatis bakal tergantikan dengan memori tentang kehidupan lo yang baru.”

“Gue nggak akan bisa ingat apa-apa tentang dia?”

“Ada waktu 1 jam setelah kembali ke masa depan dan lo masih bisa ingat semuanya. Abis itu, semuanya plop bakal hilang.”

Mix rela, apa pun itu. Entah harus kehilangan kehidupan yang sekarang atau bahkan lebih buruk, sungguh ia bersedia menukar semuanya dengan kehidupan Earth. Mix tidak peduli tentang dirinya sendiri, yang paling penting sekarangㅡ Earth harus hidup.

“Waktu yang tersedia cuma sampai jam 12 malam. Lo harus cegah Earth ketemu diri lo hari ini, setelahnya takdir kalian akan terputus. Sisa waktu yang ada anggap aja bonus, lo boleh menikmati saat-saat terakhir perasaan cinta lo untuk dia.”

“Lo akan kembali ke masa depan pada malam saat kecelakaan itu terjadi, tepatnya 8 November 2021. Kalau lo gagal dalam misi ini, mayat lo bakal mengambang di pantai dua hari setelahnya.”

12 September 2013 11.30 AM Museum Seni

Mix ingat tempat ini. Pertemuannya dengan Earth pertama kali terjadi di sini. Siang itu gerimis kecil, ia ingat dengan jelas dirinya yang berusia enam belas tahun, dalam balutan seragam SMA kebesaran yang ia dapatkan dari kakak sepupunya. Ia ingat bagaimana ibunya yang single parent dan bekerja sebagai penjaga toko bahkan tidak punya cukup uang untuk membeli seragam putih abu-abu.

Hari itu, kelasnya mengadakan study tour dan Museum Seni adalah salah satu destinasi yang mereka tuju. Alasan ia menangis siang itu di selasar gedung karena ia tersesat selagi asik melihat-lihat beragam koleksi keramik. Ketika ia berhasil menemukan jalan keluar, rombongan teman-teman sekelasnya sudah berpindah ke destinasi kunjungan lain. Mix remaja adalah pribadi yang tertutup dan penyendiri, dia tidak memiliki teman yang akan menyadari ketidakhadirannya dalam rombongan.

Saat itu, Earthlah satu-satunya orang yang menanyainya kenapa ia menangis di sana. Earth menyapanya dengan begitu hangat, dengan kekhawatiran yang jelas tampak di rautnya. Mix berusaha mengingat sepuas-puasnya senyum dan wajah itu, selagi ia masih bisa. Salah satu memori berharga yang ia miliki, yang dalam hitungan kurang dari dua puluh empat jam tidak akan menjadi miliknya lagi.

Mix mengedarkan pandangannya ke seisi museum dan menemukan serombongan remaja berseragam SMA tengah bergerak menuju pintu keluar. Ia tidak melihat dirinya ada di dalam rombongan itu, Mix remaja pasti sedang tersesat di antara keramik porselen.

“Aduh, gue di mana sih????” Mix kebingungan mencari dirinya sendiri yang berusia enam belas.

Rasanya ingin menahan rombongan teman-teman sekolahnya dan meminta mereka untuk menunggu dirinya yang sedang tersesat. Sebuah ide terlintas di benaknya. Mix berlari menuju pusat informasi dan tiba-tiba suaranya sudah mengudara di seluruh penjuru museum.

“Informasi kepada rombongan SMA Pelita Harapan bahwa ada siswanya yang tertinggal di area pajangan keramik. Dimohon untuk menunggu di pintu keluar.”

Rombongan siswa yang didampingi beberapa guru yang perlahan tengah bergerak menuju pintu keluar itu seketika berhenti untuk mengecek personilnya. Beberapa siswa dan guru pun memeriksa ke area pajangan keramik, tak lama berselangㅡ Mix melihat dirinya yang berseragam SMA telah kembali bersama rombongannya. Ia menarik napas lega, sampai yang selanjutnya ia lihat di sana hampir membuat jantungnya mencelos. Sosok Earth di kejauhan dengan kamera di tangannya, bergerak mendekat ke arah rombongan pelajar dan kemungkinan besar akan berpapasan dengan Mix remaja di pintu keluar.

Tidak boleh.

Earth tidak boleh bertemu Mix remaja.

Lagi-lagi Mix harus berlari secepat yang ia bisa, ke arah Earth. Tanpa basa-basi, Mix menarik lengan lelaki itu, mengalihkan pandangannya dari arah pintu keluar dan membuatnya tidak sempat bertemu pandang dengan Mix remaja.

Earth bingung melihat laki-laki asing yang tidak ia kenal ini tiba-tiba menariknya.

“Maaf, tapi lo siapa ya?”

“Aku tau ini terdengar nggak masuk akal, tapi aku dateng ke sini buat nyelametin kamu, Kak.”

“Hah? Nyelametin gue?”

“Iya, aku mohon kamu bersikap kooperatif dan percaya sama aku ya. Ini demi masa depan kamu juga.”

“Kita nggak saling kenal, kenapa lo harus nyelametin gue?”

“Kamu bisa panggil aku Mix, Mix Sahaphap. Aku tau kamu fotografer, Earth Pirapat.”

Earth terlihat bingung ketika Mix ternyata mengenalnya.

“Gue bukan fotografer,” ujarnya.

“Nggak nggak nggak! Jangan ngomong gitu, Kak Earth bakal jadi fotografer hebat.”

“Lo peramal?”

“Bukan.”

“Terus tau dari mana?”

“Pokoknya aku tau.”

Earth memicingkan matanya dengan curiga, sepertinya dia menganggap semua ucapan Mix hanyalah omong kosong, ia pergi begitu saja mengabaikan Mix setelahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala dan kembali mulai memotret sana-sini.

“Kak Earth tunggu, kamu belom boleh keluar.”

“Ada apa lagi?”

Mix bolak-balik melirik ke arah rombongan pelajar SMA di luar yang sedang bergerak perlahan meninggalkan komplek museum menuju area lain. Mix harus memastikan rombongan itu sudah pergi sebelum ia membiarkan Earth menyusul ke luar museum.

“5 menit doang!!! Please stay di sini 5 menit lagi, abis itu Kak Earth boleh keluar.”

Kening Earth yang berkerut menandakan bahwa dia semakin bingung.

“Oke! Kayaknya sia-sia juga gue tanya maksud lo apa, karena dari tadi pun gue gak ngerti sama isi omongan lo. Anggep aja gue males ribet, jadi oke 5 menit. Gue bakal tetep di sini. Abis itu gue boleh pergi?”

Mix mengangguk. Ada kesungguhan dalam dirinya yang membuat Earth mau menuruti permintaanya.

Mereka berdua berdiri saling berhadapan tak jauh dari pintu keluar museum. Mix mengamati wajah Earth yang kala itu berusia dua puluh dua tahun, wajahnya tidak berubah bahkan setelah usianya memasuki kepala tiga.

“Ada yang aneh di muka gue?” Earth bertanya tiba-tiba.

Mix menggeleng.

“Kak Earth awet muda,” ucap Mix tiba-tiba.

“Kan memang gue masih muda.”

Mix tersenyum kecil menangkap nada sewot dalam suaranya.

“Umur lo berapa?” Earth menatap Mix penasaran.

“Hmmm ... enam belas.”

“Jangan bohong. Lo keliatan seumuran gue.”

Betul, usianya saat ini memang dua puluh empat tahun, mendekati usia Earth yang sekarang berdiri di hadapannya.

“Udah lima menit, bye bocah,” Earth malambaikan tangannya dan pergi menjauh.

“Aku bukan bocah!”

“Tadi lo bilang umur lo 16.”

“Tapi sekarang udah 24 kok.”

“Terus kenapa panggil gue kakak? Padahal gue lebih muda.”

“Karena aslinya umur kamu udah tiga puluh.”

Earth tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa ya? Gue mulai terbiasa sama omongan-omongan aneh lo.”

Mix mengikuti Earth keluar museum. Dia akan mengikuti Earth kemana pun hari ini.

“Kenapa lo ngikutin gue?”

“Aku bilang Kak Earth boleh pergi setelah 5 menit, bukan berarti aku nggak bakalan ikut.”

“Orang aneh! Jangan ikutin gue!”

“Abis ini Kak Earth mau ke mana?”

“Jangan nanya-nanya, lo stalker!”

“Langsung pulang atau mampir beli kopi di Sudut Cerita?”

“Lo bahkan tau gue biasa mampir beli kopi di Sudut Cerita?”

“Tau nggak? Sudut Cerita bakalan tutup tahun 2019.”

“Jangan ngarang! Itu coffee shop kesayangan gue!”

“Iya, bahkan kamu ngambek nggak mau minum kopi selama sebulan karena itu.”

“Lo beneran dukun ya?” Earth mulai merasa ngeri.

“Jangan lupa mampir beli makanan buat Keita-kun,” Mix mengingatkan Earth untuk mampir membeli makanan untuk anjing shiba peliharaannya.

“Oh iya, Keita-kun bakalan panjang umur sampe tahun 2021 dan dia selalu sehat. Jadi aku harap, Kak Earth juga panjang umur dan selalu sehat ya ... “

“Lo?? Lo sebenernya siapa sih?” Wajah Earth kini terlihat benar-benar ketakutan.

Mix tertawa lebar saat itu, menikmati saat-saat terakhir kebersamaannya dengan Earth. Segalanya terasa begitu indah dan hatinya terasa damai.

— ㅤ

Earth tengah mengganti lensa kameranya dan mencoba mengambil beberapa foto langit dan gedung-gedung di sekitarnya ketika Mix berdiri begitu dekat dengannya dan mengintip hasil jepretan Earth.

“Ini lensa Canon EF 35mm ya?”

Earth terkesimaㅡ

“Lo tau banyak tentang lensa?”

“Nggak banyak sih, ada orang yang pernah ngajarin aku tentang fotografi.”

Earth mengangguk-anggukan kepalanya.

“Bagus kan hasilnya dari pada pakai lensa standar?”

“Lebih bagus pakai lensa ini untuk foto landscape ...” Mix sudah membongkar tas perlengkapan milik Earth dan mengeluarkan lensa lain.

“Masa?”

“Iya, dia yang ngasih tau aku kalau dia menang kontes fotografi pertamanya karena lensa ini.”

“Dia ini pacar lo ya?”

“Belum sempet jadian ... “

“Kenapa belum sempet? Jadian aja abis pulang dari sini ... “

Mix tersenyum getir mendengarnya.

“Ceritain dong tentang gebetan lo ini, kayaknya dia fotografer keren.”

“Awalnya dia sama aja kayak kamu, Kak. Nggak mau menyebut fotografer sebagai profesinya. Dia motret karena dia suka dan merasa passionya di fotografi. Pernah merasa pengen menyerah karena nggak ada dukungan dari keluarga, orang tuanya pikir motret objek itu cuma buang-buang waktu. Mereka prefer anak laki-laki mereka kerja jadi dokter, pengacara, polisi, atau kerja di instansi pemerintahan.”

“Wahㅡ kenapa mirip banget sama keluarga gue? Terus-terus akhirnya???”

“Akhirnya dia bisa ngebuktiin ke keluarganya kalau dia serius dengan apa yang lagi dia kerjain, dan bukan cuma dokter, pengacara, atau polisi doang yang bisa punya kehidupan yang baik. Jadi Kak Earthㅡ semangat ya! Jangan pernah berpikir untuk menyerah terhadap mimpi dan hal yang kamu sukai, Kak.”

Mix menatap manik mata Earth yang mendadak terlihat berkaca-kaca itu. Lalu Mix tertawa.

“Cengeng,” ucapnya mengejek.

Earth menyedot ingusnya. Belum pernah ada seseorang yang mengatakan hal seperti jangan menyerah terhadap mimpinya itu seumur hidup. Tidak pernah mengira hal yang demikian suportif seperti ini dia dapatkan dari orang aneh yang tanpa sengaja ia temui di Museum.

“Mata gue kelilipan debu.”

“Jadi, dia pakai lensa ini untuk motret dan akhirnya menang kontes foto pertamanya?” Earth mengalihkan topik.

Mix mengangguk.

“Oke, gue akan ngikutin jejak dia,” Earth mengganti lensa kamera untuk kedua kalinya.

“Ayo ... ” ujar Earth setelah selesai mengganti lensa.

“Hah?”

“Ayo! Mau ikut gue ngambil foto hari ini?”

“Kamu ngajak aku, beneran?”

“Iya. Kayaknya pengalaman lo belajar fotografi sama gebetan lo itu bisa berguna hari ini.”

Mix mengerucutkan bibirnya, merasa dimanfaatkan.

“Bercanda, lebih baik punya teman untuk dimintai pendapat kan dari pada jalan sendirian?”

Kali ini, sebuah senyum mengembang di wajah Mix. Earth mengulurkan sebuah disposable camera ke arahnya.

“Buat loㅡ biar nggak bosen. Boleh lo abisin filmnya, buat kenang-kenangan.”

Mix menerimanya sambil tersenyum cerah.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka berkeliling kawasan wisata edukasi itu, mengunjungi beberapa macam museum, melihat beragam jenis tanaman, menghabiskan waktu berkeliling planetarium.

Beberapa kali mereka tanpa sengaja bertemu Mix remaja bersama rombongan teman-teman sekolahnya, tapi Mix berhasil mengalihkan Earth agar tidak sampai bertemu dengan dirinya yang berumur enam belas tahun itu.

“Selesai!!!!” Earth berteriak puas ketika memeriksa hasil fotonya hari itu.

Ia sudah menemukan foto yang ia rasa paling tepat untuk ia submit dalam kontes.

“Gue udah dapet fotonya!”

“Coba liat ... “

“Jangan!”

“Pelit.”

“Masih rahasia.”

Mix mencebikkan bibirnya ke arah Earth.

“Foto apa yang disubmit gebetan lo waktu itu sampe bisa menang kontes?”

“Foto planetarium yang tadi kita ke sana.”

“Lebih tepatnya? Bagian mana planetarium?” Earth tiba-tiba sangat ingin tahu.

Mix merebut kamera di tangan Earth dan jarinya sudah bergulir untuk melihat satu per satu hasil jepretan foto lelaki itu.

“Ini, yang ini ... ” Mix menunjukkan sebuah foto ke arah Earth.

Earth menelan ludahnya. Segala hal tiba-tiba berkecamuk dalam pikirannya sendiri. Hal-hal di luar nalar tapi terasa masuk akal apabila dikaitkan dengan kejadian-kejadian aneh dengan lelaki asing di sebelahnya ini.

Dari banyaknya kemungkinan di dunia ini, bagaimana mungkin foto yang sudah Earth pilih untuk ia ikutsertakan dalam kontes pertamanya ini adalah foto dengan objek yang sama dengan foto yang membuat lelaki fotografer yang Mix sebut-sebut mirip dengannya itu memenangkan kontes foto pertamanya, juga.

Bagaimana bisa ada kebetulan seperti ini terjadi di dunia?

Earth kembali melihat satu per satu foto yang berhasil ia jepret hari itu. Jemarinya berhenti menekan tombol next ketika netranya menangkap hal ganjil pada salah satu foto. Foto yang ia ambil secara tidak sengaja di Museum Seni ketika ia tengah menguji coba lensa. Foto itu berisikan serombongan anak SMAㅡ dan lelaki di sebelahnya yang memperkenalkan diri bernama Mix ini ada di dalam foto itu, berseragam putih abu-abu. Terlihat jauh lebih muda, namun Earth yakin itu orang yang sama.

“Mix? Tadi lo bilang berapa umur lo sekarang? Enam belas?”

“Iya, harusnya aku enam belas tahun ini, kelas dua SMA. Kenapa, Kak?”

ㅤ Earth terdiam beberapa saat, sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Mix, apa mungkin lo datang dari masa depan? Lo time traveler ya?”

“Kamu percaya sama hal-hal seperti itu, Kak?”

“Enggak. Sampai hari ini,” Earth menatap Mix lekat-lekat.

Mix tidak berani balas menatap manik itu.

Earth tiba-tiba bangkit dan begerak meninggalkan Mix. Langkahnya mantap, ada tujuan yang ingin ia capaiㅡ serombongan murid SMA yang tengah berbaris rapih untuk masuk ke bus sekolah. Mix menyadari tujuannya dua detik kemudian.

“Kak Earth, nggak boleh!!” Mix memekik saat itu juga ketika Earth bergerak ke arah rombongan itu.

Mengandalkan kekuatan tubuhnya, Mix menghalangi Earth mencapai rombongan Mix remaja. Ia menarik kuat-kuat lengan Earth.

“Kak jangan! Please dengerin aku, jangan ke sana!”

“Jelasin kenapa?”

Mix kesulitan menyusun kalimat untuk menjelaskannya. Tidak tahu harus dia mulai dari mana.

“Ini semua demi kamu, Kak.”

“Demi gue apanya? Lo nggak bisa jelasin kan?”

“Kamu mau aku jelasin apa, Kak? Aku bakal jelasin.”

“Kenapa gue nggak boleh ketemu sama diri lo yang berumur enam belas dalam rombongan itu?”

“Aku nggak ngerti kamu ngomong apa, Kak,” Mix ngeles.

“Lo pikir gue nggak ngeh seharian ini lo mencegah gue bersinggungan sama rombongan itu?”

Mix menggigiti bibirnya sendiri, bingung.

“Apa tujuan lo sebenernya, Mix? Kasih tau gue,” Earth mencengkeram kedua bahu Mix kuat-kuat, memaksanya bicara.

“Ini satu-satunya cara yang bisa aku lakuin buat nyelametin kamu, Kak.”

“Nyelametin gue? Dari apa?”

“Dari kecelakaan malem itu ... “

Mix tidak bisa menahan air matanya ketika ia mengingat lagi tubuh Earth yang bersimbah darah saat kecelakaan yang menimpa mereka berdua terjadi.

“Kecelakaan?”

“Aku dan kamu di masa ini nggak boleh ketemu, Kak. Kita nggak boleh saling kenal. Itu satu-satunya cara buat memutus takdir kita. Dengan begitu kamu akan selamat. Kalau kamu nggak pernah kenal aku, kamu nggak akan meninggal dalam kecelakaan itu.”

“Kalau gue harus meninggal, ya itu emang udah takdir. Bukan salah lo, bukan salah siapa-siapa, bukan karena hari ini gue ketemu lo ... ” Earth dengan idealismenya yang tidak pernah berubah.

“Semua karena aku, Kak. Aku yang nyetir malam itu, aku yang mulai perdebatan kita, aku yang ... aku yang mikir kita masih punya banyak waktu untuk bahagiaㅡ”

Earth terdiam menyaksikan Mix yang kini gemetar di hadapannya. Ia tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar sekarang. Lelaki aneh yang tidak sengaja ia temui di Museum siang tadi, yang selalu berbicara tentang masa depannya itu, sungguh-sungguh berasal dari masa depan.

“Kalau gue dan lo yang enam belas tahun itu nggak ketemu hari ini? Apa yang terjadi di masa depan?”

“Kita akan baik-baik aja, Kak. Kamu akan tetap hidup dan sehat. Aku janji akan baik-baik aja dan menjaga diri sendiri dengan baik. Kita berdua akan baik-baik aja dengan hidup kita tanpa saling mengenal, Kak.”

“Jangan pernah ketemu aku, jangan pernah kenal aku. Jangan pernah menyelamatkan hidup aku, jangan pernah mencintai aku, Kak. Aku mohon.”

“Kalau gue nekat ketemu lo? Kenal sama lo? Nyelametin lo? Mencintai lo? Gue bakal meninggal dalam kecelakaan mobil?”

Mix mengangguk sambil menyeka basah yang jatuh ke pipinya dengan punggung tangan.

“DㅡDan aku bakal meninggal karena menenggelamkan diri di laut, Kak. Mayat ku akan ditemukan mengambang suatu pagi nggak lama dari kecelakaan itu,” lanjutnya lirih.

Kali ini Earth menatap Mix dengan tatapan tidak percaya, ada segurat perasaan getir di sana yang bisa Mix rasakan dengan sekali lihat. Earth mengatur napasnya, meraup oksigen sebanyak-banyaknya dan menghembuskan nafasnya keras-keras. Lelaki itu terlihat shock mendengar kalimat terakhir yang Mix ucapkan.

Mix melangkahkan kakinya, mendekati Earth. Menggenggam kedua tangan lelaki itu.

“Aku rela ngelakuin apa aja asalkan kamu tetap hidup, Kak. Waktu ku cuma sampai jam 12 malam ini, setelah itu aku percayakan kamu untuk menjaga takdir baru yang udah digariskan Tuhan untuk kamu, takdir di mana nggak pernah ada aku di dalamnya.”

Lidah Earth terasa kelu, bibirnya terasa terkunci. Tidak ada sepatah kata pun yang mampu dia ucapkan.

— ㅤ

Pagar besi tua itu bederak terbuka menimbulkan bunyi derit yang membuat Keita-kunㅡ anjing shiba peliharaan Earthㅡ menyalak keras, sebelum mengetahui majikannyalah yang datang.

Anjing shiba itu menggoyang-goyangkan ekornya ke kanan dan ke kiri sambil berlari-lari kecil mengitari kaki pemiliknya.

Mix muncul dari belakang Earth.

“Keita-kun, udah makan???” sapa Mix, ramah.

Anjing itu tidak menyalak, hanya mencium-cium sepatu Mix lalu mengeluarkan dengkingan dengan nada manja. Membuat Earth merengut, sebal.

“Hoy Keita-kun, kalau ada orang asing tuh harusnya menggonggong.”

“Dia tau aku bukan orang asing,” Mix membela Keita-kun.

Mix melangkahkan kakinya memasuki rumah mungil yang merangkap studio cetak foto milik Earth. Tidak nampak perbedaan yang signifikan dari rumah ini, di tahun 2013 ataupun 2021. Hanya rumah Earth di tahun 2021 terasa lebih penuh karena ia memiliki banyak barang dan properti fotografi setelah sukses menjadi fotografer terkenal.

Ia baru saja meletakkan bokongnya di sebuah sofa yang nyaman, ketika Earth kembali dengan sebuah teko teh dan dua cangkir.

“Minum ... “

“Teh chamomile ... ” Mix memandangi secangkir teh yang Earth tuangkan untuknya.

“Iya, bagus untuk menenangkan pikiran.”

Mix menyesap teh itu perlahan, menikmati bagaimana apigenin dalam teh itu masuk ke dalam tubuhnya dan membantunya tenang dan rileks. Earth duduk di sebelahnya, menatapnya lekat-lekat. Mix balas menatap lelaki itu, seolah bertanya kenapa?

“Ceritain tentang kita di masa depan yang udah lo lalui, gue pengen tau.”

“Apa yang kamu pengen tau?”

“Kita? Saling sayang?”

Mix tampak berpikir sejenak, matanya menerawang jauh ke beragam peristiwa yang sudah ia lalui bersama Earth selama delapan tahun ini.

“Sebesar itu rasa sayang kamu buat aku, Kak. Nggak pernah sehari pun aku merasa nggak dicintai oleh kamu.”

“Ah iyaㅡ aku sebelumnya nggak sempet ngomong ini ke kamu, kalau aku mencintai kamu sebanyak kamu mencintai aku, Kak. Bukan cuma kamu yang pengen kita hidup bahagia berdua, aku juga,” lanjut Mix.

Perasaan haru pelan-pelan menyelinap ke dalam sanubari Earth, perasaan asing yang entah tidak tahu dari mana asalnya. Ia penasaran apakah selama sepersekian detik dirinya di masa depan mengambil alih kuasa tubuhnya karena desakan untuk memeluk Mix tiba-tiba muncul begitu kuat.

“Karena kebodohan akuㅡ either kita kehilangan kesempatan bahagia berdua atau dunia ini harus kehilangan orang baik seperti kamu, aku prefer opsi yang pertama, Kak. Nggak ada yang bisa aku kasih ke kamu selain ini, please janji untuk jalani kesempatan hidup yang kedua kali ini sebaik-baiknya.”

Earth tidak tahu kenapa dia menangis. Dia tidak tahu alasan dibalik basah yang tiba-tiba jatuh ke pipinya di suatu petang hari ketika lelaki yang mengaku kekasihnya di masa depan ini memintanya berjanji untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Dia tidak pernah berfikir bahwa dia akan menangis, tapi emosi menguasainya. Untuk alasan yang tidak diketahui, matanya terasa panas dan kristal bening air mata jatuh begitu saja bertepatan dengan rintik gerimis yang menutup serangkaian senja keunguan di langit barat.

Dinginnya telapak tangan Mix dapat Earth rasakan mengusap air mata di pipinya. Satu hal yang baru Earth sadari saat iniㅡ manusia hidup tidak akan memiliki suhu tubuh sedingin lelaki di hadapannya.

“Impian kamu apa, Kak?” tiba-tiba Mix bertanya.

Belum sempat Earth menjawabㅡ Mix mendahuluinya.

“Membuktikan diri ke keluarga kamu kalau pilihan hidup kamu selama ini tepat, jadi fotografer keren, menikah dengan orang yang kamu sayang, menghabiskan masa tua dengan dia sampai umur delapan puluh, lalu meninggal dengan tenang karena selama hidup kamu udah merasa cukup bahagia.”

Earth menggenggam tangan Mixㅡ di pipinya. Menggenggamnya sangat erat di sana, mengharapkan tangan itu akan berubah menjadi hangat dan lelaki di hadapannya ini hanya pemuda iseng yang sedang melakukan prank seolah hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Semua yang Mix ucapkan tentang impiannya begitu akurat, seolah Mix menghafalnya di luar kepala.

“Janji ya kamu bakalan hidup sampai umur delapan puluh,” Mix mengulurkan jari kelingking mungilnya ke arah Earth, memintanya melakukan pinky promise.

Earth menganggukan kepalanya dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Mix.

“Janji ya jangan pernah cari aku setelah ini. Bahkan kalau kita berpapasan di jalan, jangan peduliin aku, Kak.”

Earth merengkuh tubuh dingin Mix ke dalam pelukannya, ia tidak peduli apabila ia akan ikut membeku bersamanya saat ini. Ia hanya ingin merasakan bagaimana rasanya merengkuh takdir yang esok hari tidak akan lagi menjadi miliknya. Kenapa harus sedingin ini?

“Biar aku yang menemukan kamu, kalau waktunya udah tiba, Kak. Tunggu aku ya, suatu hari tanggal delapan november, mudah-mudahan aku masih punya cukup waktu untuk nemuin kamu. Walaupun nanti aku bakal lupa semua tentang kita, paling nggak kamu akan ingat satu hari yang pernah kita lewati sama-sama Kak, hari ini.”

Malam itu, dua buah janji dari dua buah takdir yang saling bertentangan ternyata bisa saling mengikat menjadi satu. Berharap keduanya dapat saling melunasi apa yang mereka ikrarkan berdua disaksikan gerimis bulan september.

Yang Earth ingat malam ituㅡ ia tertidur dengan memeluk Mix, walaupun hawa dingin membekukannya, tapi hatinya tak pernah terasa sehangat ini. Dalam lelap, Earth berharap malam ini tidak pernah berakhir.

Earth membuka matanya keesokan paginya dengan perasaan kosong dan kehilangan yang tak terperi, tanpa Mix di sisinya. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk erat-erat selimut yang semalam menjadi saksi kembalinya Mix Sahaphap yang berusia dua puluh empat itu ke masa dari mana dia berasal, dan menunggu saat yang tepat untuk mereka dapat kembali saling menemukan di masa depan.

— ㅤ

8 November 2021ㅡ delapan tahun kemudian.....

Delapan tahun berlalu, delapan kali tanggal delapan november Earth habiskan dengan menunggu lelaki yang pernah datang padanya delapan tahun silam datang menemukannya. Tapi hari itu tidak pernah datang, tak terkecuali hari ini.

Delapan tahun ini, Earth hidup seperti yang ia pernah janjikan pada Mix, tak sekali pun dalam hidupnya ia berusaha mencari dan menemukan Mix Sahaphap. Ia hidup dengan baik. Earth berhasil menggapai mimpinya menjadi fotografer keren dalam kamusnya. Ia berhasil memenangkan kontes foto pertamanya delapan tahun yang lalu dengan foto planetarium yang ia ambil hari itu, bersama Mix. Ia bisa membuktikan diri kepada orang tuanya, bahwa ia bisa menggapai mimpinya, bahkan kini ia akan menggelar pameran foto tunggalnya malam ini.

— ㅤ

Mix terbangun pukul setengah tujuh di kamarnya. Kamar sederhana, di rumah yang pernah ia tempati delapan tahun lalu, bukan kamar apartemen mewah yang ia tinggali setelah ia menjadi model terkenal.

Takdirnya sungguh berubah.

Ingatannya masih ada di sana, dalam benaknya hingga satu jam ke depan. Ia harus segera menemui Earthㅡ sebelum ia kehilangan seluruh ingatannya.

Ibunya tiba-tiba muncul mengagetkannya di pintu kamar. “Tidur seharian kayak orang pingsan, mentang-mentang libur,” sudah lama rasanya tidak mendengar sosok wanita paruh baya ini mengomelinya.

“Ma, sekarang tanggal berapa?”

“Tanggal 8.”

“Bulan?”

“November.”

“Tahun?”

“2021. Kamu amnesia abis bangun tidur, Mix?”

Mix terhenyak. Hari iniㅡ hari kecelakaan naas itu terjadi.

“Sekarang jam berapaaaa?”

“Hampir setengah tujuh.”

Mix meloncat turun dari kasurnya. Kecelakaan naas itu harusnya terjadi di waktu-waktu ini, Mix tidak ingat pasti pukul berapa. Tapi ia harus memastikannya, memastikan bahwa kecelakaan itu tidak menimpa Earth kali ini.

“Aku pergi dulu.”

“Hey mau ke mana???”

“Pinjem motornya!” Mix meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja.

“Mix!!! Kamu kan nggak bisa bawa motor???”

Mix sudah pergi. Melaju mengendarai motor tua yang terparkir di depan rumah.

“Sejak kapan itu anak bisa naik motor ... ” Ibu Mix hanya menatap kepergiannya dengan heran.

Mix melewati jalanan yang ia hafal betul, menuju galeri foto milik Earth, lokasi pameran foto tunggal malam itu dihelat. Ia bergidik ngeri ketika ia melintasi pertigaan jalan di mana kecelakaan itu seharusnya sudah terjadi. Jalanan itu ramai lancar, tanpa sebuah mobil honda city yang menabrak bodi kontainer hingga terbalik. Tidak ada serpihan kaca yang hancur berantakan di aspal dan tubuh kekasihnya yang terkapar penuh luka di sana.

— ㅤ

Mix memarkirkan motornya secara sembaranganㅡ bahkan hampir lupa mencabut kuncinyaㅡ kemudian berlari menghampiri sosok yang dari kejauhan sudah ia kenali itu.

Earth Pirapat, dalam balutan kemeja biru sewarna langit, terlihat tampan seperti ia yang biasanya. Lelaki itu tengah berjalan ke arah pintu masuk galeri setelah turun dari mobilnya.

Mix bahkan mengabaikan panggilan securiti yang meneriakinya untuk memindahkan motornya ke area parkir, ia tidak punya waktu. Waktunya tinggal sepuluh menit lagi sebelum ia kehilangan segala ingatannya tentang Earth dan mungkin tentang tujuannya datang ke tempat ini.

Kehadirannya secara tiba-tiba di galeri foto malam iniㅡ sama mengagetkannya dengan kehadirannya di Museum Seni delapan tahun silam. Earth menatap sosok yang kini berdiri di hadapannya dengan senyum sumringah itu. Tatap mata keduanya bertemu, saling mengunci. Tidak ada lisan yang terucap dari belah bibir masing-masing namun batin mereka bercengkrama dengan kalimat-kalimat seperti apa kabar dan senang bertemu lagi.

“Kak Earth, ini aku ... ” paling tidak, Mix sempat mengucapkannya.

Earth merengkuh tubuh pemuda lusuh dengan tampilan seperti orang bangun tidur itu, memeluknya erat. Begitu erat, kalau bisa Earth ingin meleburkan diri bersama sosok yang ia tunggu-tunggu kehadirannya selama sekian tahun ini.

“Mix ... ini lo? Ini beneran lo? Akhirnya saat ini dateng juga. Gue udah menuhin janji gue, Mix. Gue hidup sampai sekarang ... “

Mix mendorong tubuh Earth menjauh, secara tiba-tiba.

“Maaf? Anda siapa ya?”

Begitulah, waktu enam puluh menit yang tersedia sudah habis. Mix berdiri di sana dengan kebingungan mengapa lelaki yang tidak ia kenal ini memeluknya begitu erat dengan wajah dipenuhi air mata haru.

“Maaf mas, bisa tolong dipindahkan motornya ke area parkir?” Securiti yang tadi meneriaki Mix muncul tak lama kemudian.

“Motor? Apa?”

“Motor yang mas kendarai tadi.”

“Hah?? Saya nggak bisa mengendarai motor, Pak.”

Earth sebagai satu-satunya yang mengetahui kenapa hal ini terjadi, kini menahan tawanya, geli.

“Bapak juga siapa? Kenapa peluk-peluk barusan?” Mix melotot.

“Bapak?” Earth tidak terima dipanggil Bapak.

“Iya, Bapak.”

“Saya pacar kamu di kehidupan kita yang lainㅡ dan calon pacar kamu di kehidupan yang sekarang,” ujar Earth formal, menyesuaikan gaya bicara Mix.

“Hah? Maaf Bapak, saya nggak tertarik pacaran sama bapak-bapak,” ujar Mix, sopan.

Earth tertawa memikirkan kenapa ia bisa berada di situasi lucu seperti ini alih-alih pertemuan mengharukan seperti yang terjadi di drama korea.

“Nggak apa-apa kalau sekarang kamu belum tertarik, nanti saya yang buat kamu tertarik ya, Nak.”

FINㅡ wjmmmy, 2021

Khao tidak peduli akan panas dan sengat sinar matahari yang membakar kulitnya sejak tadi. Ia menikmatinya, menikmati bagaimana terik membakar permukaan kulit dan membuatnya kemerahan.

Ia kini tengah merebahkan diri beralaskan selembar kain di hamparan pasir pinggir pantai, menyelami heningnya suasana yang hanya didominasi oleh deburan ombak yang membentur karang bebatuan di kejauhan sana dan sesekali diiringi suara cicit burung camar mencari makan.

Lelaki mungil itu mengatur nafasnya, menghirup aroma laut yang selalu bisa membuatnya tenang. Dua kotak pizza tergeletak begitu saja, tak tersentuh di sebelahnya. Hanya sepotong pizza yang berhasil ia gigit setengahnya yang mendapatkan kesempatan meluncur masuk mengisi perut yang kosong ditemani segelas minuman yang baru sekali pula ia teguk.

Khao tidak tahu pukul berapa sekarang, yang ia tahuㅡ sudah berjam-jam dia melakukan kegiatan monoton ini. Anehnya, dia tidak bosan. Matahari berada tepat di atas kepala, sinarnya memantul cantik di atas laut. Hamparan pasir tampak berkilauan tersentuh terpaan cahaya matahari siang. Kalau mengamati dari posisi matahari saat ini, mungkin sekarang sudah hampir pukul dua siang.

Panas dan silau sang matahari semakin menjadi-jadi, tak ada pilihan lain untuk Khao selain dengan menutupi wajah dengan telapak tangannya. Ia memejamkan matanya sesaatㅡ berpikir mengenai kegiatan apa yang sebaiknya dia lakukan setelah iniㅡ ketika ia merasakan panas matahari tidak lagi jatuh tepat di wajahnya, apakah tiba-tiba mendung? Khao membuka matanya perlahan.

“Mana ada orang berjemur jam 2 siang,” Podd berdiri menjulang di sana, menghalangi cahaya matahari jatuh di wajah Khao dengan kedua telapak tangannya.

Khao tersentak, kaget. Rasanya seperti melihat hantu di tengah hari bolong. Apa yang Podd lakukan di sini??? Oke, ini memang resort miliknya, tapi kenapa Podd harus muncul saat dirinya sedang ada di sini?

“Udahan berjemurnya, ayo,” Podd menarik tangan Khao, membantunya berdiri.

“Lo kenapa ada di sini?”

“Kan ini resort punya keluarga gue, lo lupa?”

“Iya sih hehe, maaf salah nanya.”

“Bercanda! Gue ke sini karena nyari lo.”

“Nyari gue?? K-Kenapa?”

Podd menarik lepas kacamata hitam yang Khao kenakan, ingin melihat wajah lelaki kesayangannya itu tanpa penghalang. Wajah yang ia rindukan.

“Gue kangen sama lo, Khao.”

“Tiba-tiba?”

“Nggak tiba-tiba, tiap detik gue kangen lo.”

“Bukannya lo benci sama gue?”

“Gue udah tau semuanya.”

“Semua? Apa?”

“Kalau lo nggak balikan sama Earth. Kenapa sih nggak bilang dari awal?”

“Oh....”

“Cuma oh???”

“Ya lo dateng-dateng nuduh kan malem itu, bikin kesel.”

“Gue salah paham selama ini, Khao. Gue malu dan merasa bego banget.”

“Emang.”

“Khao, gue minta maaf ya. Lo mau kan maafin gue? Lo mau kan kalau kita balik kayak kita yang dulu hm?” Podd meraih kedua tangan Khao dan menggenggamnya erat.

Khao hanya diam. Mungkin berpikir.

“Gue bakal berusaha nggak bikin lo kecewa dan nangis lagi. Gue sayang banget sama lo.”

“Gue mikir-mikir dulu,” ujar Khao, jual mahal seperti dia yang biasanya.

“Please.... lo boleh pukul gue sepuasnya, buat lampiasin kekesalan lo ke gue. Nih pukul....” Podd menyodorkan wajahnya, pasrah apabila Khao ingin memukulinya.

Khao memukul sisi kiri wajah Podd, pelan.

“Lagi, yang keras. Ayo.”

“Masokis lo ya? Nggak mau ah.”

“Tapi lo mau kan maafin gue?”

“Belom tau.”

“Anggep aja kita impas gimana? Gue udah maafin omongan dan tuduhan jahat lo ke gue waktu itu.”

Khao seketika teringat kalau ia juga pernah memperlakukan Podd dengan begitu buruk dan belum sempat minta maaf atas hal itu.

“Ah iya....” Khao bergumam pelan.

“Ya udah gue maafin. Gue juga minta maaf karena waktu itu gue kasar dan nuduh lo ngelakuin hal yang nggak lo lakuin. Jujur aja gue langsung nyesel nggak lama setelahnya. Sebenernya gue udah siap banget kalau lo marah karena itu dan nggak mau ketemu gue lagi. Butㅡ sekarang lo di sini, makasih ya udah jauh-jauh nyusulin gue ke sini dan berniat memperbaiki hubungan kita,” lanjut Khao panjang lebar.

“Beneran lo maafin???”

“Iya....”

“Beneran???”

“Nanya mulu ih, gue berubah pikiran nih.”

Podd menarik tubuh Khao ke dalam dekapannya detik itu juga. Menenggelamkan tubuh kecil lelaki itu ke luasnya dekapan dada bidang miliknya.

“Jadi pacar gue ya?” Ujar Podd setelahnya.

“Gue pikir-pikir dulu.”

Podd tertawa kecil melihat Khao masih konsisten dengan sikap jual mahalnya itu sejak pertama kali mereka bertemu sampai saat ini. Menggemaskan. Tak urung, sebuah kecup Podd daratkan di bibir lelakinya itu. Bibir mungil itu ia lumat perlahan, menyesap dan menikmati setiap pagut yang begitu manis siang itu. Kali ini Khao tidak diam, ia merespon ciuman ituㅡ yang malah membuat Podd tiba-tiba tertawa.

“Kenapa ketawa ihhhh???”

“Katanya mau mikir-mikir dulu jadi pacar gue, tapi pas dicium ngerespon,” ledek Podd.

Khao memukul dada Podd, sebal. Wajahnya kini merona kemerahan.

“Udah ah gue mau balik ke resort,” Khao bergerak pergi mendahului Podd untuk menyembunyikan rasa malunya.

“Khao tunggu,” Podd berlari menyusulnya.

Tiba-tiba Podd mengangkat tubuh Khao ke pundaknyaㅡ menganggap tubuh itu bagaikan karungan beras lima puluh kilogram. Khao meronta-ronta, kakinya menendang-nendang udara kosong.

“Turunin!! Mau lo apain gue???”

“Saatnya kita temu kangen sama air laut.”

“Nggak mau Podd, nggak mau basah!! Lepasin!!” Khao memukul-mukul punggung Podd.

“Lepasin!!!! Turunin!!!”

“Iya ini gue lepasin.”

“BYUUUURR!!!” Podd melepaskan tubuh Khao dengan menceburkannya ke air laut, lalu dia tertawa puas.

“PODD BRENGSEK LO!!!”

“Kok kasar gitu ngomong sama pacarnya??”

“NGGAK JADI BAIKAN YA KITA BODO,” Khao susah payah bangun hanya untuk Podd tarik lagi tubuhnya jatuh ke dalam air.

Akhirnya Khao mengalah, ia lelah harus bergerak melawan air dan Podd. Ia mengikuti permainan lelaki jangkung itu dan berkali-kali berhasil mendorong tubuh besar Podd terjatuh ke dalam air. Pertarungan sengit mereka berlangsung hampir satu jam, sampai keduanya kelelahan.

Khao baru saja turun dari stage, selepas menampilkan dua buah lagu bersama bandnya dalam acara festival band siang itu, tepatnya pukul satu. Dengan menggendong gitar, Khao dan empat orang anggota bandnya kembali ke kursi mereka dan menikmati penampilan peserta lain yang selanjutnya mendapatkan giliran perform. Tak lama, seseorang menarik kursi plastik kosong dan bergabung dengan Khao sambil tangannya yang membawa bungkusan- yang entah berisi apa itu- menyerahkannya pada First.

“Wah thanks bos,” First berlagak memberikan penghormatan bak di upacara bendera ke arah Podd, lalu mulai membagikan isi bungkusan yang ternyata minuman dan snack kepada Toptap, Frank, dan Drake.

Khao hanya melirik jutek ke arahnya.

“Bagus lagunya yang tadi, lo yang bikin kan?” Ujar Podd.

“Hmmm makasih,” Khao menjawab sekenanya.

“Lo masih ngambek?”

“Khaoo .... Jawab dong,” bujuk Podd kemudian, ketika Khao tidak merespon pertanyaannya.

“First, temen lo nih ngambekan.”

“Udah biarin aja, dia emang kayak gitu. Nggak usah lo rayu-rayu, ntar juga baik sendiri,” ucap First yang mendapatkan respon berupa gumpalan kertas yang melayang tepat mengenai kepalanya, hasil karya Khao.

“Cium aja Podd, biasanya minta disayang-sayang kalo ngambek gitu,” Toptap nimbrung dalam obrolan dan disambut gelak tawa dari First, Frank, dan Drake.

“Mau cium di sini?” Bisik Podd tepat di telinga Khao.

“Udah gila lo!!!”

Podd tertawa geli melihat respon lelaki mungil itu, persis sekali dengan yang apa yang ia bayangkan.

“Makanya udahan dong diem-diemannya,” Podd mengusak pelan rambut Khao, penuh sayang.

“Ehm mohon maaf nih ganggu,” ucap First tiba-tiba.

“Khao .... psst psst .... arah jam 9.”

Mendapatkan kode dari First, Khao buru-buru menengok ke arah jam sembilan seperti yang temannya itu ucapkan. Ohm- adik Earth- dan beberapa remaja berseragam putih abu-abu yang sepertinya teman satu bandnya tampak tengah mendekat ke arah mereka.

“Mampus, gue ngumpet di mana???”

“Telat, dia udah nunjuk-nunjuk ke arah sini,” First mematahkan ambisi terakhir Khao untuk menyembunyikan diri.

“Nggak, nggak, gue harus pergi,” Khao buru-buru beranjak berdiri ketika sebuah suara memanggil namanya.

“Kak Khao!”

“Gue bilang juga apa, udah telat. Udahlah.” First memaksa Khao untuk menerima kenyataan kalau siang ini dia harus bertemu Ohm.

“Halo Ohm,” Khao memaksakan senyum di wajahnya dan menyapa Ohm yang meninggalkan teman-temannya dan sudah jauh-jauh menghampirinya ke sini.

“Kak, tadi gue liat lo perform, keren deh, lagunya juga bagus. Lo yang bikin ya?” Ohm terlihat antusias.

“Ah biasa aja Ohm, nggak sebagus itu. Iya gue yang bikin lagunya. Band lo udah tampil?”

“Belom Kak, kayaknya molor deh, harusnya jam 2 sih, tapi bisa jadi jam setengah 3. Bang Earth juga nanti ke sini mau nonton.”

Mendengar nama Earth disebut, ekspresi wajah Khao langsung berubah. Podd melemparkan isyarat kepada First, menanyakan tentang identitas si remaja SMA ini. First menjawab adeknya earth dengan tanpa suara.

“Oh sorry-sorry, gue tau kok kalian udah putus. Cuma gue nggak tau kalo ternyata putusnya nggak baik-baik ya. Sorry Kak.”

Wajah Khao berubah masam, tidak lagi berpura-pura ramah pada adik mantan pacarnya itu.

Ohm memperhatikan rombongan yang duduk bersama Khao di sana, ia mengerutkan keningnya ketika melihat Podd.

“Lo nggak tanya abang lo kenapa Khao mutusin dia?” Imbuh First setelah mendengar kalimat terakhir Ohm.

“Tanya sih, cuma nggak dijawab detail. Sebenernya gue menyayangkan sih kenapa kalian putus, makanya gue pengen ketemu lo, tapi kayaknya lo udah ada pacar baru ya Kak?”

“Maksud lo? Pacar baru?”

“Gue liat kalian tadi dari kejauhan,” Ohm menunjuk Podd.

“Sebaiknya lo cari tau dulu deh gimana kelakuan kakak lo sebelum lo nuduh gue yang nggak-nggak.” Khao geram.

Ohm terdiam melihat respon Khao, padahal ia sungguh tidak bermaksud menuduh.

“Kak Khao, bukan gitu maksud gue. Lagian nggak ada salahnya juga misal lo udah dapet pengganti Abang. Maaf kalo lo tersinggung, kayaknya gue salah ngomong,” Ohm terlihat bingung.

“Ini biar lo tau aja ya Ohm, gue sama Earth udah putus dan nggak ada yang bisa diperbaiki lagi diantara kami. Gue mutusin Earth karena dia selingkuh.”

Ohm kaget mendengar penuturan Khao.

“Nggak mungkin Kak, nggak mungkin Bang Earth selingkuh. Dia cinta banget sama lo Kak, nggak mungkin.”

“Dia udah ketangkap basah selingkuh sama Mix.”

“Kak Mix? Itu mah kliennya Abang.” Ohm langsung menutup mulutnya ketika sadar kalau ia mengatakan apa yang tidak seharusnya ia katakan.

“Klien??? Maksudnya???”

Ohm terdiam.

“Jawab gue, apa maksudnya klien? Earth .... nggak jual diri kan?” Khao mendesak Ohm untuk bicara.

“B-bukan gitu Kak.”

“Jawab gue, Ohm. Jelasin semuanya, kalau emang lo nggak terima abang lo gue bilang tukang selingkuh.”

“Abang emang bukan tukang selingkuh, Kak. Abang itu setia, dia cuma sayang sama lo.”

“Terus apa hubungan dia sama Mix?”

Ohm diam sejenak, berpikir apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Khao. Karena jujur saja, ia tidak terima kakaknya disebut tukang selingkuh.

“Kak Mix itu kliennya Abang. Abang selama ini kerja di BFR buat ngelunasin hutang gue, harusnya gue yang kerja di sana, tapi Abang gantiin gue ....” Tutur Ohm sambil menundukkan kepala, menyesali perbuatannya yang membuat susah kakaknya.

“Hah??? BFR? Boy for Rent?”

“Iya.”

“Jadi? Selama ini Earth kerja di sana buat lunasin hutang lo?”

“Iya, waktu itu gue balapan liar Kak, terus sialnya gue kecelakaan dan nabrak orang, orangnya nggak mau damai dan minta kompensasi yang lumayan besar, kebetulan ada orang yang mau bantuin gue bayar semuanya, tapi gue harus ngelunasin dengan cara kerja di BFR. Gue udah nggak tau lagi harus dapet uang dari mana, jadi gue iyain aja. Abang marah banget pas tau. Semua salah gue Kak, Abang nggak salah apa-apa, dia cuma gantiin gue kerja di sana. Abang bukan tukang selingkuh kayak yang lo pikir.”

Khao merasakan kakinya lemas, mendengar kisah yang belum pernah ia dengar dan bahkan tidak pernah terlintas dalam benaknya sama sekali.

“Lo ngomong yang sebenernya kan Ohm? Bukan karena lo pengen belain dia doang?”

“Lo tanya aja sama dia, Kak,” tiba-tiba Ohm menujuk Podd.

Podd yang sejak tadi hanya terdiam menyimak, kini menatap mereka berdua.

“Podd? Kenapa dia?”

“Dia kan ownernya BFR, dia ada di sana waktu gue dibawa ke studio ketemu Bang Off. Dia pasti tau semuanya. Dia pasti tau Bang Earth kerja di sana gantiin gue untuk bayar hutang.”

Betul. Pantas saja.

Sejak tadi Podd merasa pernah melihat remaja lelaki berseragam ini dan kenapa anak ini sejak tadi mencuri-curi lihat ke arahnya.

Malam itu, sekitar empat bulan yang lalu, Podd bertemu dengan Ohm di BFR studio, ketika Ohm pertama kalinya dibawa ke sana oleh Mike.


Flashback, Empat bulan lalu.

Malam itu Podd melangkahkan kakinya memasuki studio Boy for Rent, usaha layanan jasa yang ia rintis bersama Off- kenalan yang ia temui di klub malam- rekan bisnisnya sejak dua tahun lalu. Biasanya Podd jarang mengunjungi tempat ini, karena selain menyumbang tujuh puluh persen saham kepemilikan, Podd tidak pernah ikut campur terlalu jauh mengenai bagaimana Off mengelolanya.

Podd memasuki ruangan Off dan disambut oleh si pemilik ruangan dengan ceria.

“Suatu kehormatan owner Boy for Rent yang super sibuk ini bersedia mampir,” Off menyindir Podd yang hampir tiga bulan tidak menujukkan batang hidungnya di sana.

Podd melirik sesaat ke arah seorang remaja lelaki berseragam putih abu-abu yang sedang berbicara dengan Off di ruangan itu. Wajah bocah itu dipenuhi luka memar.

“Ada apaan ini? Boy for Rent khusus 17 tahun ke atas. Bukan buat bocah.”

“Anak ini dibawa sama Mike, dia butuh bantuan.”

“Bantuan?”

“Dia butuh duit. Jadi dia mau kerja di sini.”

“Tapi dia masih anak-anak.”

“Dia udah 17 tahun.”

“Terserah lo deh, mana laporan bulanan Boy for Rent? Gue mau cek.”

“Itu di meja gue.”

Podd tidak lagi menaruh perhatian kepada Off dan remaja lelaki berseragam SMA itu ketika ia sudah mendapatkan apa yang ia cari di meja kerja Off.

“Boss, kakaknya anak ini dateng ke sini,” Mike datang melapor.

“Oh bagus, suruh dia masuk.”

Seorang lelaki yang mengaku kakak dari si bocah berseragam memasuki ruangan.

“Gue yang bakal gantiin adek gue kerja di sini. Jangan libatin dia dalam bisnis kotor ini, dia bahkan belum lulus SMA.”

Podd melirik lelaki itu sesaat ketika dia mengatakan bisnisnya ini adalah bisnis kotor. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum mengejek, selebihnya ia tidak peduli dengan apa yang terjadi di ruangan itu kemudian. Dia percaya sepenuhnya pada Off untuk mengoperasikan Boy for Rent.


“Khao dengerin gue dulu, dengerin penjelasan gue ....” Podd meraih lengan Khao dan memaksa lelaki itu untuk berhenti dan mendengar penjelasannya di pelataran parkir area festival band digelar.

“Lepasin!! Lepasin gue.”

“Gue lepasin, tapi kita harus ngomong. Jangan pergi.”

“Ngomong apa? Ayo, gue mau denger lo mau ngomong apa? Lo mau ngasih tau gue kalo selama ini menyenangkan ya jadi orang yang tau semuanya sedangkan gue nggak tau apa-apa? Seneng kan lo berhasil mainin gue??? Lucu ya ngeliatin gue nangis-nangis kayak orang bego di saat lo tau apa yang sebenernya terjadi? Gila ya lo ....” Khao memukul bahu Podd berkali-kali hingga tubuh lelaki jangkung itu terjajar mundur.

“Gue nggak pernah mainin lo.”

“Lo tau kan Earth selama ini kerja di BFR???”

“Nggak.”

Khao mendengus, tidak percaya.

“Lo ownernya.”

“Tapi gue beneran nggak tau.”

“Ohm bilang dia ketemu lo malem itu. Jangan ngeles.”

“Gue emang ketemu dia. Tapi gue gak tau dia adeknya Earth. Lagian gue nggak kenal Earth dan gue nggak tau kalau selama ini dia pacar lo.”

“Lo kira gue percaya?”

“Lo kira gue tau siapa aja orang-orang yang kerja di BFR? Nggak, gue nggak tau. Bahkan gue nggak peduli.”

“Ya .... itu salah lo. Karena lo nggak pernah peduli.”

“Khao, lo sadar nggak kalau sekarang lo lagi melampiaskan kekesalan lo ke gue?”

Mereka berdua sekarang saling beradu pandang, tidak ada yang ingin mengalah.

“Lo tau nggak lo itu egois?” Imbuh Podd sesudahnya.

Khao diam, tidak menjawab. Ia menahan emosinya agar tidak tumpah.

“Terserah ya lo mau percaya atau nggak. Tapi gue cuma bakal ngomong sekali ini doang, pertama .... gue nggak tau-menau tentang Earth pacar lo kerja di BFR dan Mix itu adalah kliennya, kedua .... gue nggak pernah ada niat untuk mainin lo dan terakhir .... gue nggak pernah ngerasa itu menyenangkan ketika gue ngeliat lo nangis karena cowok lain.”

“Bullshit. Lo pasti tau semuanya. Dari awal emang tujuan lo ngerusak hubungan gue sama Earth. Lo brengsek!!”

“Lo beneran nggak percaya sama gue Khao? Bahkan setelah semua yang kita lewatin bareng-bareng? Lo nggak bisa percaya sama gue sama sekali? Oh gue tau, lo bukannya nggak bisa. Tapi lo nggak mau.”

“Kemaren gue percaya sama lo dan sekarang gue nyesel. Sekarang lo pergi, tolong jangan pernah temuin gue lagi, gue nggak mau liat lo!!!”

Podd tersenyum pahit. Khao bisa melihat mata lelaki itu memerah dan ia merasakan hatinya sakit.

Podd mengangguk,

“Makasih Khao, meski cuma sebentar gue sempet ngerasain gimana rasanya ketika hati lo yang dingin itu menghangat .... walaupun gue tau selama ini gue cuma lo jadiin pelarian saat lo kesepian dan saat lo patah hati.”

Sebutir air mata lolos dari pelupuk mata Khao, menetes ke pipinya, yang langsung buru-buru ia tepis dengan punggung tangannya.

“Jaga diri lo baik-baik, gue harap suatu saat lo bisa lebih percaya dan menghargai orang yang bener-bener tulus sama lo.”

Podd bergerak pergi meninggalkan Khao- sesuai dengan permintaan lelaki itu- tanpa menoleh lagi ke belakang, karena Podd tahu, sekali ia menoleh, ia akan kembali berlari ke sana, dan memeluk tubuh Khao erat-erat, tidak ingin meninggalkannya.

Tangis Khao pecah bersamaan dengan menghilangnya punggung Podd dari jarak pandangnya. Ia terisak-isak di sana, tidak peduli dengan banyaknya pasang mata yang menatapnya dengan bertanya-tanya. Setiap kata yang Podd ucapkan terasa mencabik-cabik hatinya hingga hancur berantakan.


Earth baru saja tiba dan memarkirkan motornya di pelataran parkir area festival band berlangsung.

“Udah perform belum adek lo? Ini kesiangan tauuu ....” Ujar Mix sembari turun dari boncengan motor Earth dan melepas helmnya.

“Nggak tau, hp gue lowbat jadi nggak bisa kontak Ohm. Mudah-mudahan belum. Yuk ....” Earth mengulurkan tangannya dan mengamit jari-jemari Mix.

Mix hanya tersenyum malu-malu sambil memandangi jemarinya yang kini saling bertaut dengan milik Earth. Mereka berdua saling bergurau, sampai Earth menangkap sosok yang ia kenal sedang menangis di sana.

“Khao ....” Ucap Earth keheranan melihat mantan pacarnya itu.

Khao mendongak dan melihat Earth ada, sekitar tiga meter dari tempatnya berjongkok dan menangis.

“Earth ....” Khao bangkit berdiri menghampiri Earth dan langsung memeluk lelaki itu, melanjutkan tangisannya dalam dekap peluk sang mantan.

“Lo kenapa? Kenapa nangis di sini?”

“Gue udah tau semuanya Earth, gue udah tau lo kerja di BFR buat ngelunasin hutang Ohm, maafin gue Earth, harusnya gue percaya sama lo, lo nggak pernah selingkuh kaya tuduhan gue selama ini, maafin gue,” tutur Khao sambil terisak-isak.

Mix terdiam menyaksikan reuni antara bekas sepasang kekasih yang ia yakin masih saling mencintai itu, lagi-lagi Mix merasa berada di tempat dan waktu yang salah. Perlahan, ia melepaskan jari-jemarinya dari genggaman tangan Earth, membuat lelaki itu menoleh.

“Bentar, Phuwin telepon,” ujar Mix berbohong sambil melepaskan genggaman tangan itu sepenuhnya lalu pergi menjauh.

Mix hanya mencari-cari alasan untuk pergi dari sana, tidak ingin lagi merasakan perasaan salah tempat ini lebih lama.

Sore itu selesai kuliah, Mix sengaja menyempatkan diri untuk mampir ke hall teater Satya Ganesa, tempat klub teater berlatih untuk pentas pertunjukkan bertajuk Romeo & Juliet.

Klub jurnalis sudah membekali masing-masing anggotanya dengan sebuah kamera untuk mengabadikan momen-momen persiapan yang selanjutnya nanti akan dikemas dalam bentuk liputan eksklusif klub mereka. Setelah bicara beberapa saat dengan Foei- humas dari klub teater- dan memperkenalkan diri sebagai perwakilan klub jurnalis yang bertugas meliput proses persiapan teater, Mix dipersilakan memasuki hall.

Para anggota klub teater yang mendapatkan peran dalam pentas itu sibuk menghafal naskah masing-masing, menunggu giliran mereka beradegan di atas panggung. Sutradara pentas ini- lelaki bernama Guy- tampak berdiri tepat di depan panggung dengan gulungan naskah di tangannya, di sebelahnya adalah Bang Arm, seorang alumni dan pentolan klub teater yang selama ini menjadi pelatih di klub.

“Earth ....Cut! Cut!” Guy berteriak.

Earth tengah berada di atas panggung, sedang berlatih suatu adegan bersama Namtan, sang Juliet.

“Ini mana jatuh cintanya???? Lo nggak kaya orang lagi jatuh cinta sama Juliet, ayo dong serius. Dari kemaren lo nggak maju-maju di adegan ini.”

“Sorry bang.”

“Ayo kita ulangin lagi ya ....”

Tak sampai lima menit, Guy kembali berteriak.

“Istirahat 15 menit deh, itu tolong kasih Namtan minum, ntar dia pingsan,” ujar Guy kepada salah satu kru bagian konsumsi.

“Earth sini bentar,” Arm memanggil Earth untuk turun dari panggung menemuinya.

Earth, Guy, dan Arm tampak bericara serius beberapa saat, mungkin mengoreksi penampilannya tadi. Earth menganggukan kepalanya beberapa kali sambil meminta maaf.

“Padahal tiga minggu yang lo keren waktu audisi, kenapa? Lagi ada masalah ya? Berantem sama pacar lo?” Ucap Guy sambil berkelakar.

Earth hanya menggaruk-garuk bagian belakang lehernya sambil berkata, “Ya begitulah, Bang.”

Mix pikir, ia datang di saat yang kurang tepat. Rencananya, ia ingin meliput penampilan memukau sang Romeo di atas panggung, tapi tampaknya Romeo sedang tidak berada di kondisi terbaiknya hari ini. Mix memutuskan untuk menghampiri Earth yang kini duduk seorang diri di salah satu kursi di pojok, menatap naskahnya. Ia mengulurkan gelas tumblr yang ia bawa ke hadapan Earth.

“Free Americano!!! Punya gue sih, tapi nggak apa-apa deh buat lo. Belum gue minum kok.”

“Mix ....” Manik yang semula redup itu kembali hidup dan berbinar-binar ketika pemiliknya melihat kehadiran Mix di sana.

“Lo kenapa bisa di sini?” Earth masih takjub akan kehadiran Mi yang tiba-tiba.

“Kan lo sendiri yang ngasih saran gue untuk ngeliput kegiatan klub teater.”

“Beneran akhirnya lo yang ngeliput?”

“Iya hehehehe.”

“Pasti karena lo kangen kan beberapa hari ini nggak ketemu gue?”

“Nggak ....”

“Bo'ong?? Tuh bola matanya gerak-gerak.”

“Ya gimana caranya bisa nggak gerak? Nih ambil kopinya, biar semangat.”

“Buat lo aja, liat lo gue udah semangat kok,” Earth tertawa bahagia.

“Y-Yaudah kalo nggak mau,” Mix menyedot kopi itu untuk dirinya sendiri, tapi tiba-tiba Earth merebut tumblr itu dari tangannya.

“Mau deh,” dengan santainya lelaki itu menyedot kopinya.

Indirect kiss, Mix berteriak dalam hatinya. Tapi kenapa dia harus histeris? Mereka bahkan pernah berciuman secara langsung. Mix tiba-tiba canggung mengingat saat itu. Untuk menutupi wajahnya yang tiba-tiba merona, Mix duduk di kursi sebelah Earth.

“Lo lagi ada masalah ya? Tadi gue liat lo ditegur.”

Earth menghembuskan nafasnya keras.

“Nggak tau nih, ekspresi jatuh cinta gue tiba-tiba flat banget katanya. Padahal gue udah berusaha semaksimal yang gue bisa. Tapi tetep nggak sampe ke audiens katanya.”

“Capek ya?”

“Gue stress banget, bahkan sampe pulang ke rumah pun gue masih stress.”

“Jangan lo jadi'in beban gitu Earth, inget kan teater ini adalah hal yang lo suka, lo harus enjoy ngejalaninnya. Kalo nggak, lo cuma akan capek kaya gini ....”

“Gue takut nggak sesuai sama ekspektasi orang-orang terhadap gue.”

“Earth, gue yakin kok lo bisa,” Mix menepuk-nepuk bahu Earth.

“Waktu harus akting jatuh cinta kaya tadi, lo mikirin apa?” Lanjut Mix.

“Nggak ada. Pikiran gue kosong.”

“Lo paling nggak harus mikirin hal-hal yang bikin lo seneng nggak sih??? Yang bikin lo berdebar gitu. Misalnya cinta pertama lo atau saat-saat lo jatuh cinta. Ya nggak sih??? Ini kenapa gue yang ngajarin, padahal kemaren lo yang ngajarin gue cinta-cintaan.”

“Iya, sebelum gue patah hati.”

“Inget aja momen-momen manis lo sama dia, nggak ada salahnya kalau itu ngebantu penjiwaan lo.”

Earth menatap Mix, lekat-lekat.

“Mau tau sesuatu nggak?”

“Apa?”

“Gue kangen nyubit pipi lo,” Earth selanjutnya mencubit pipi gembil lelaki manis di hadapannya itu, gemas.

“Sakit ih ....” Mix protes, tapi diam saja ketika Earth mencubitnya.

“Kita mulai lagi semua ya,” suara Guy terdengar dari kejauhan.

“Gue latihan lagi ya.”

“Iyaaa!! Semangaat!!”

“Tungguin ya, nanti gue anter baliknya.”

“Siap ojek gratis.” ㅤ


Semilir angin malam menyapa lembut wajah Mix ketika ia sudah duduk di boncengan motor Earth, usai menunggui lelaki itu selesai latihan. Sebelum mengantar Mix pulang, mereka sempat mampir menyantap ketoprak telor kebanggaan Earth yang terletak tak jauh dari area kampus.

“Mix kayaknya ujan deh.”

“Emang iya?”

Bertepatan dengan itu, tetes air hujan jatuh keroyokan tanpa aba-aba. Gerimis sedang yang segera bertambah intensitasnya menjadi hujan deras. Earth menghentikan motornya di pinggir jalan ketika ia melihat sebuah halte, satu-satunya tempat berteduh terdekat yang dapat mereka temukan.

Tubuh keduanya sudah setengah basah. Earth membantu Mix melepas helmnya agar ia bisa mengibaskan rambutnya yang basah sebagian.

“Padahal udah deket dorm gue,” ujar Mix, bibirnya mengerucut lucu.

“Ini namanya cobaan.”

“Gue gampang flu.”

“Wah gawat dong?”

Suara bersin Mix merespon ucapan Earth setelahnya. Earth melepas jaket parka yang ia pakai dan menyampirkan jaket itu di kedua bahu Mix.

“Earth nggak usah, nanti lo kedinginan.”

“Udah pake aja nggak apa-apa.”

“M-Makasih ....”

Earth tersenyum ke arah Mix melihat tubuh lelaki itu tenggelam dalam jaketnya. Pemuda yang lebih kecil itu lalu mengeluarkan sapu tangan dari celananya. Sapu tangan biru muda yang pernah Earth berikan pada Mix di teater saat pertemuan pertama mereka, ketika Mix menangisi pentas teater Beauty and The Beast, beberapa waktu lalu. Mix mengusapkan sapu tangan itu ke wajah Earth yang basah karena air hujan.

“Gue aja Mix,” Earth tidak sengaja memegang tangan Mix alih-alih merebut sapu tangan biru itu darinya.

Keduanya merasa seperti tersengat listrik akibat sentuhan kulit tidak sengaja barusan, mereka berdua mematung, saling menatap kedalaman manik mata masing-masing seolah berlomba siapakah yang terlebih dahulu akan tenggelam.

Earth kalah.

Ia merasakan debar keras di dalam dadanya manakala netranya menatap sosok Mix dengan mata bulatnya yang selalu berpendar dalam kegelapan, bak penunjuk jalan bagi dirinya yang tersesat. Rambutnya yang setengah basah dan bibirnya yang gemetar kedinginan bagaikan adiktif yang kapan saja siap merenggut kewarasannya. Earth buru-buru mengalihkan perhatiannya ke tempat lain, beberapa kali harus berpura-pura menggaruk dan juga terbatuk.

Walaupun suasana saat ini dingin karena hujan, tapi Mix merasa kedua belah pipinya menghangat.

“Earth ....”

“Hah?”

“Sini'in tangan lo?”

“Untuk?” Walaupun tidak tahu untuk apa, Earth mengulurkan tangannya.

Mix menautkan jari-jemari miliknya dengan kepunyaan Earth, lalu memasukkan genggaman tangan mereka ke saku jaket parka yang ia kenakan.

“Biar hangat.”

Earth menatap Mix, tidak percaya. Apa mungkin si lelaki manis dan polos yang beberapa hari lalu ia ajari masalah cinta-cintaan ini kini sekarang sedang fliting padanya? Pikiran itu membuatnya tersenyum sendiri.

“Kenapa ketawa?”

“Nggak apa-apa, lo lucu.”

Di dalam saku parka, genggaman tangan Mix terasa mengendur di jemari Earth, sepertinya lelaki itu malu. Ketika Mix sudah hampir melepaskan tangannya, Earth menggenggam tangan itu kuat-kuat. Tidak rela melepaskannya.

“Jangan dilepas,” ucap Earth sambil menatap rintik hujan, sengaja tidak mau menatap wajah Mix.

Sebuah senyum berhasil Mix sembunyikan di wajahnya, padahal benaknya sudah meronta-ronta bahagia. Momen sederhana yang terasa tidak masuk akal malam ini, ditemani rintik hujan, berlindung di bawah atap halte, ada dua hati yang berlomba berdegup dan berdetak, yang menjadi alasan satu sama lain menyunggingkan senyuman diam-diam karena hanya mereka berdua pula yang mampu mendefiniskan maknanya.

( Terima kasih tertulis dari Amy untuk @Kiyobiyo dan inspirasi adegan cringey tentang hujan dan kedinginan)

♫︎ Happy Birthday to You Happy Birthday to You Happy Birthday Happy Birthday Happy Birthday to You ♫︎

Suara nyanyian Happy Birthday terdengar di kejauhan, dari salah satu sudut cafe. Suara yang membuat perhatian pengunjung Lucy in The City malam itu yang lumayan ramai teralihkan dan ikut-ikutan menonton acara surprise birthday, bahkan beberapa ikut bertepuk tangan dan menyanyi.

“Kayaknya ada yang surprise party deh... seru banget tuh tuh...” Mix menunjuk-nunjuk ke arah sumber keramaian.

Tidak jauh berbeda dengan pengunjung lain yang kepo, rasa ingin tahu Earth membuatnya memperhatikan serangkaian acara surprise itu dari kejauhan, hingga netranya menangkap sosok lelaki di balik kue ulang tahun kecil yang dihiasi lilin.

Khao, pacarnya.

Earth tidak mempercayai apa yang ia lihat, sempat berpikir kalau semua ini hanya halusinasi, dia mencubit dirinya sendiri sampai sepenuhnya tersadar bahwa ini bukan mimpi.

Itu benar Khao, yang berdiri di sana dengan senyum dan tawa lebar menghiasi wajahnya. Senyum dan tawa yang rasanya sudah sangat lama tidak Earth lihat tersemat di wajah manis pacarnya. Khao tampak menyerahkan kue ulang tahun kepada seorang lelaki jangkung di hadapannya, disusul dengan lelaki itu meniup lilin ulang tahun itu hingga padam kemudian melingkarkan lengannya ke pundak Khao sambil mengusak pelan rambut bagian belakangnya. Mereka tertawa bahagia, bersama.

Earth masih bisa mengendalikan dirinya dengan baik- untuk tidak tiba-tiba muncul mengacaukan pesta ulang tahun itu. Sampai ia mengetahui identitas si lelaki jangkung yang masih melingkarkan lengannya di pundak Khao dan tertawa bersamanya.

Itu Podd.

“Earth... lo mau kemana???”

Mix kaget ketika tiba-tiba Earth bangkit berdiri dan berjalan terburu-buru menghampiri pusat keramaian. Ia mengikuti lelaki itu karena suara hatinya berkata ada yang tidak beres. ㅤ

— ㅤ

Kue ulang tahun yang tidak berdosa itu jatuh ke lantai cafe setelah Earth merebutnya secara tiba-tiba dari tangan Podd dan melemparkannya ke lantai. Suasana seketika hening saat acara kejutan ulang tahun yang seharusnya romantis itu tiba-tiba berubah.

Podd bingung melihat Earth- lelaki yang pernah meninjunya di area parkir kampus- ada di sana dan tiba-tiba bersikap kurang ajar seperti barusan. Menyusul di belakang Earth, Mix muncul. Mix terlihat kaget atas tindakan yang baru saja Earth lakukan, lebih terkejut lagi melihat bahwa lelaki yang berulang tahun adalah Podd, kakak tingkatnya.

Baru saja Podd hendak membuka mulutnya, menanyakan maksud kedatangan Earth merusak suasana ulang tahunnya ketika Khao bersuara.

“Earth!!! Lo apa-apaan sih?”

Podd tidak mengerti bagaimana Khao bisa mengenal Earth. Mix pun sama.

Tanpa menjawab, Earth langsung menarik lengan Khao kuat-kuat, berniat membawa pacarnya pergi dari tempat itu.

“Lepasin!! Earth lepasin gue... lo udah gila ya... lepasin nggak?!??!” Khao berontak, mencoba melepaskan lengannya dari cengkraman tangan Earth.

Podd menengahi mereka dengan membantu membebaskan tangan Khao dari Earth.

“Dia bilang lepasin... lo nggak denger?”

“Lo nggak usah ikut campur, ini urusan gue sama pacar gue.”

Mendengar kata pacar disebutkan, Podd dan Mix mulai bisa membaca situasi yang sedang terjadi dan mengerti alasan dibalik murka Earth yang tiba-tiba.

“Lo nggak liat Khao kesakitan?” Ujar Podd, akhirnya.

“Hahaha bajingan kaya lo? Peduli tentang rasa sakit orang lain?”

Sebuah tinju Podd daratkan langsung di wajah Earth, buah dari emosinya yang sejak tadi ia tahan, pembalasan dari tinju Earth yang pernah bersarang di wajahnya sebelumnya. Podd mencengkeram kerah baju Earth.

“Ini pukulan nggak ada apa-apanya dibandingin seberapa banyak lo bikin Khao nangis selama ini, lo bilang gue bajingan??? Lo apa hah?!?!”

Earth melayangkan tinju balasan yang tidak dapat Podd hindari, mendarat mulus di pelipisnya. Sebuah tamparan keras melayang ke wajah Earth setelahnya, ini dari Khao. Tamparan yang sukses membuat lelaki itu mematung di tempat, sebuah tamparan yang tidak seberapa sakit di pipinya, tapi begitu sakit terasa di hatinya.

“Khao... kamu belain dia? Aku masih pacar kamu, Khao.”

“Earth, udah ya... cukup. Kalau dengan status pacar itu kamu pikir kamu bisa berbuat kaya tadi terhadap aku dan temen aku, denger ini baik-baik ya... kita putus.”

Earth tertawa miris.

“Putus? Cuma gara-gara orang yang kamu bilang cuma temen ini? Temen apaan Khao yang nginep di hotel bareng? Kamu kira selama ini aku nggak tau kamu ngapain aja sama dia?”

“Aku??? Ngapain aja? Hey, kamu tanya sama diri kamu sendiri, kamu ngapain aja sama dia?” Khao menunjuk Mix yang berdiri mematung di sebelah Earth.

Pertanyaan Khao langsung menohok Earth tepat di ulu hatinya.

“Ngapain?? Ngabisin waktu luang mumpung kamu lagi break sama aku? Gitu?” Khao balik menuntut penjelasan.

Mix merasa tidak seharusnya dia ada di sini. Tidak seharusnya dia ada di tengah-tengah keributan Earth dan pacarnya ini. Mix ingin mengatakan yang sebenarnya kalau hubungannya dengan Earth selama ini hanyalah hubungan profesional antara klien dan Boy for Rent, tapi Earth tiba-tiba menggenggam tangannya erat, seolah memintanya untuk tidak bicara apapun. Mix menatap lelaki di sebelahnya itu, ingin rasanya bertanya kenapa.

Kali ini Khao terluka, melihat lelaki yang selama dua tahun ini ia cintai menggenggam erat tangan lain yang bukan miliknya. Ia menarik lengan Podd, meninggalkan tempat itu. ㅤ

— ㅤ

Khao hanya diam sepanjang perjalanan yang entah menuju kemana malam ini. Podd menyetir mobilnya menyusuri jalanan yang ada di hadapannya, juga tanpa bicara. Tidak ada yang mengajak satu sama lain bicara, memberikan personal space masing-masing seluas-luasnya.

Hingga dengan sudut matanya Khao menangkap Podd mengernyit beberapa kali, sepertinya ia merasakan nyeri akibat pukulan di pelipisnya, hasil karya Earth beberapa saat lalu.

“Kalo sakit mengaduh aja kali, jangan ditahan.” Ujar Khao, memecahkan beberapa puluh menit keheningan mereka.

“Ngomong sama diri sendiri?”

Khao menoyor kepala Podd secara sengaja di tempat pelipisnya terluka.

“Sakit anji—...”

“Ngatain gue?”

Podd mengerem lidahnya di saat yang tepat.

“Mana kotak P3K lo?” Khao membuka dashboard mobil, mencari-cari kotak persegi panjang yang biasanya berwarna putih, di sana.

“Nggak ada.”

“Kok bisa nggak ada sih? Itu kan harus ada di mobil untuk pertolongan pertama kalo ada kejadian nggak terduga kaya gini!”

“Ya siapa yang ngira sih bakal ditinju sama pacar orang di hari ulang tahun.”

Khao kembali diam.

“Sekarang kita di mana? Deket mana?” Ujarnya kemudian.

“Deket apartment gue tuh di depan. Mau mampir?” Jawab Podd asal.

“Yaudah, belok.”

“Lo serius mau mampir?”

“Iya.”

“Gue tanya lagi, lo serius mau mampir?”

“Ada kotak P3K kan?”

“Yaelah... gue kira...”

“MIKIR APAAN LO? SINI GUE TOYOR LAGI.”

— ㅤ

“Earth... kayaknya lo mendingan temuin Khao deh, jelasin semuanya. Jelasin kalo kita tuh nggak kaya apa yang dia kira... atau kalau perlu gue bantu ngomong ke dia... ya? Ayo...” Ucap Mix setelah turun dari boncengan motor Earth, saat lelaki itu mengantarnya pulang ke dorm.

“Nggak perlu Mix, nggak usah. Dia udah milih Podd dari pada gue, dia yang milih buat putus. Kalau dia aja udah nggak mau mempertahankan hubungan ini, jadi kenapa gue harus mau?”

“Itu kan karena dia nggak tau yang sebenernya Earth, dia pikir lo selingkuh selama ini. Mungkin bakalan beda kalau lo ceritain yang sebenernya.”

“Nggak bakal ngerubah fakta kalau dia selama ini berhubungan sama Podd, dan gue nggak tau sejauh apa mereka sampe nginep bareng di resort.”

“Paling nggak lo coba dulu...”

“Lagian gue juga udah banyak bohongin dia selama kerja di boy for rent, bikin dia sedih dan nangis, kalau dipikir-pikir dia berhak dapetin kebahagiaan yang selama ini nggak bisa gue kasih. Tapi kenapa harus Podd... sempit banget dunia ini sampe hubungan kita berempat muter di sini-sini aja.”

“Yaudah lo pikir-pikir lagi aja nanti, jangan pas masih emosi kaya gini. Pokoknya kalau lo butuh bantuan gue, bilang aja ya...”

“Kayaknya sekarang gue butuh batuan lo deh.”

“A-Apa???”

“Punya makanan nggak? Gue laper.” Bertepatan dengan itu, perut Earth berbunyi.

Mix terpingkal-pingkal dibuatnya, memang mereka belum sempat menyantap makanan apapun ketika insiden di Lucy in The Sky terjadi.

“Ada indomi sama nugget. Mau?”

“Mau-mau. Gue parkir motor dulu ya... tungguin...”

“Iyaaa gue tungguin di lobby.”

— ㅤ

“Sorry for ruined your birthday...” Ucap Khao usai memasangkan plester di pelipis Podd.

Mereka berdua tengah duduk berhadapan di sofa ruang tamu apartment milik Podd.

“Bukan salah lo, Khao. Gue ngerti kok.”

“Ultah lo jadi berantakan karena masalah pribadi gue.”

“It's okay. At least i get to kiss you, hahahaha...” Podd masih sempat berkelakar.

Khao memberanikan dirinya untuk balas menatap Podd yang sejak tadi menatapnya lekat-lekat. Netra keduanya bertemu, Khao dapat merasakan hangat menjalar dari sorot mata Podd, seolah peristiwa yang baru saja merusak pesta ulang tahunnya bukan apa-apa.

“Jangan mikirin gue, tanya diri lo sendiri, are you okay?” Podd mengusap salah satu sisi wajah Khao dengan telapak tangannya.

Khao mendekatkan wajahnya ke wajah Podd dan mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir lelaki itu, membuat Podd mengerutkan keningnya, kenapa tiba-tiba Khao malah menciumnya.

“Wanna make me feel better?” Ucap Khao setelahnya.

Belum sempat Podd menjawab, Khao kembali menciumnya, kali ini dengan ciuman yang lebih liar dan menuntut. Khao mendominasi ciuman itu dengan memagut dan melumat bibir Podd. Baru saja Podd hendak merespon ciuman yang ia terima ketika ia merasakan basah di pipinya. Khao yang kini sedang menciumnya itu menangis.

“Khao... stop...” Podd berusaha menghentikan Khao, tapi lelaki itu tidak mau mendengarnya.

“Khao dengerin gue, stop!!!”

Podd memegang kedua bahu Khao dan menjauhkan tubuhnya dari pemuda itu.

“It's just make you feel worst.” Kata-kata yang keluar dari mulut Podd itu terasa menamparnya.

Tangis Khao pecah setelahnya, air mata yang sejak tadi ia tahan-tahan, sejak tamparannya ia layangkan ke wajah Earth, lelaki yang selama ini ia cintai. Air mata yang seharusnya sudah jatuh ketika kata putus terucap dari bibirnya, dan air mata yang harusnya tumpah ketika kekasihnya itu menggenggam tangan lain di hadapannya. Tapi Khao tetaplah Khao, yang tidak sudi dilihat sebagai sosok yang lemah.

Sejak tadi ia mati-matian mencoba meyakinkan diri kalau ia akan baik-baij saja, bahwa kandasnya hubungannya dengan Earth tidak berarti apa-apa baginya. Bahkan ia mencoba melupakan sakit hatinya dengan mencium Podd, tapi pemuda itu benar, tindakannya tidak mengobati apa pun, malah membuatnya merasa lebih buruk.

Podd membawa tubuh Khao ke dalam pelukannya dan membiarkan ia menangis sepuasnya di sana.

— ㅤ

Earth dengan lahap menghabiskan tiga per empat bagian dari tiga porsi indomi goreng yang Mix masak malam itu, tak lupa dengan tambahan nasi putih yang kebetulan tersisa di rice cooker Mix. Belum lagi beberapa potong nugget yang juga meluncur masuk ke dalam perut lelaki putus cinta ini. Mereka berdua duduk lesehan di karpet sambil menyantap makan malam seadanya.

“Lo laper apa marah sih?” Mix heran.

“Marah kenapa?”

“Ya emosi gitu...”

“Nggak, buat apa emosi-emosi. Gue laper aja hehehe...”

Mix tahu pasti, lelaki di hadapannya itu sedang tidak baik-baik saja. Earth terbatuk-batuk karena mengunyah terlalu terburu-buru, Mix menyodorkan gelas berisi air putih untuknya.

“Pelan-pelan aja makannya.”

Earth hanya meringis. Mix tidak tega melihat lelaki di depannya bersikap sok tegar begitu.

“Kalau mau nangis ya nangis aja, Earth.” Mix mengigit sepotong nugget, satu-satunya yang masih tersisa di piring.

Earth menghentikan kegiatan menyuapkan mi goreng ke mulutnya sesaat, mendengar ucapan Mix.

“Gue nggak selemah itu, yang putus cinta terus nangis.” Ujar Earth, terdengar tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

“Nangis nggak bikin lo keliatan lemah kok.” Mix mengusap lembut kepala lelaki itu.

Earth terdiam, lagi. Ia merasakan matanya panas dan hidungnya berair. Mix mengulurkan dua lembar tissue ke arahnya yang ia terima dengan malu-malu, lalu ia gunakan untuk menyeka hidungnya yang berair.

“Mau peluk?” Mix bertanya, hati-hati.

“Bolehkah?” Earth meminta ijin.

Mix merentangkan tangannya lebar-lebar, menyambutnya. Earth menenggelamkan dirinya dalam pelukan Mix dan diam di sana beberapa saat, tanpa suara. Walaupun tidak ada isak yang terdengar, punggungnya yang berguncang beberapa kali menunjukkan bahwa laki-laki itu menangis.

“Nggak apa-apa Earth, semuanya bakalan baik-baik aja...” Ucap Mix beberapa kali sambil mengusap-usap punggung lelaki dalam pelukannya itu.