wjmmmy

Hive Bar, 9.30 PM Tag: podd-khao

Khao mengisi gelasnya yang sudah kosong dengan bir dari botol ketiganya malam itu, bersiap untuk meneguk kembali minumannya, ketika seseorang tiba-tiba muncul menahan tangannya. Khao menggeram marah.

“Lepasin tangan gue, gue mau minum.”

“Lo udah minum 2 botol.”

“Gue masih mau minum...” Mendadak ekspresi Khao berubah sedih.

“Lo siapa???” Khao mengerjap-erjapkan matanya yang mulai berkabut, menatap sosok orang yang baru saja datang ke hadapannya ini.

“Gue Podd.”

“Haaah Podd??? Oiya lo Podd... cowok yang mau gue sewa. Hehehe mau gue bayar berapa lo ayo sebut....tas gue??? Mana tas gue....?” Khao celingukan mencari tasnya yang sejak tadi ada di meja bar, di sebelahnya.

“Ayo pulang, gue anterin.”

“Haaah pulang??? Gue nggak mau pulang, gue mau minum.” Khao meraih kembali gelas bir yang tidak jadi ia minum tadi.

Tapi tangan Podd bergerak lebih cepat, ia meraih gelas itu lebih dulu dan menenggak habis isinya.

“Minuman gue!!!” Khao menatap Podd dengan marah.

“Khao denger gue, lo udah mabok, ayo kita pulang aja.” Podd memapah tubuh Khao yang sudah kehilangan keseimbangan itu.

“NGGAK!! NGGAK MAU PULANG.”

Tidak peduli dengan ocehan Khao, Podd memapah tubuh lelaki itu sampai ke mobilnya. Khao terus meracau tentang kisah cintanya dengan kekasihnya yang kandas di tengah jalan.

Podd hanya diam di balik kemudi setir usai menghidupkan mesin mobilnya, sementara Khao yang mabuk di sebelahnya kini tak lagi berusaha menyembunyikan tangisnya.

“Gue nggak mau putus... tapi gue capek, selama ini kayak cuma gue yang berjuang buat hubungan itu, selalu gue yang disuruh sabar, sedangkan dia?? Gue nggak tau apa yang dia kerjain selama ini.....” Kalimat-kalimat yang bisa Podd tangkap di sela-sela isak tangis Khao.

Podd melemparkan pandangannya ke arah luar, area sekitar mobilnya terparkir, mencoba tidak menatap ke arah Khao yang masih melanjutkan tangisnya itu. Tangannya mengulurkan berlembar-lembar tissue yang langsung ia taruh begitu saja ke pangkuan Khao.

Podd paling tidak bisa melihat orang menangis. Suara tangisan seringkali membangkitkan kenangan-kenangan lama yang selama ini ia simpan rapat-rapat dalam suatu kotak terkunci dalam benaknya. Itulah salah satu alasan kenapa dia selalu bersikap baik kepada siapa saja, termasuk orang-orang yang menyukainya selama ini. Sikapnya itulah yang seringkali disalahartikan sebagai pemberi harapan palsu. Ia hanya takut melukai orang-orang itu dan akhirnya membuat mereka menangis.

Demi Khao, dia menahannya dan berusaha mengatasi suara dengungan bak ribuan lebah yang berkumpul di lubang telinganya.

“Pulang ya???” Podd menawarkan kepada Khao untuk kesekian kalinya.

“Nggak!!! Bawa gue pergi yang jauhhhh... yang jauhhh jauhhhh nggak mau pulang lagi ke sini.”

“Ke mana?”

“Ke Amerika.”

“Jauh amat.” Gerutu Podd.

“Ayo cepet jalan... kita ke Amerika.”

Podd geleng-geleng kepala melihat tingkah lelaki mabuk satu ini.

“Oke, gue ajak lo ke tempat yang jauhhhhh tapi lo diem, jangan nangis lagi.”

“Siapa yang nangis?? Gak ada yang nangis. Gue nggak nangis. Ngapain gue nangis.”

“Nambah ngeselin lo ya kalo mabok.”

“Iya, emang ngeselin tuh orang.”

“Elooooo....”

“Hoeek.....” Khao menutup mulutnya dengan kedua tangan.

“JANGAN. JANGAN MUNTAH SEKARANG, AYOK TURUN.”

“HOEEEEK......”

Sedikit beruntung, Podd berhasil menyeret Khao keluar dari mobilnya sebelum lelaki itu memuntahkan isi perutnya di sana. ㅤ

— ㅤ

Tanjung Lesung 6 AM

Khao merentangkan tangannya lebar-lebar dan mengeliat, dilanjut dengan menguap satu kali sebelum ia benar-benar membuka matanya dan melihat apa yang ada di hadapannya.

“HAAAAAH... INI DI MANA??”

Ia terlonjak dari tempat duduknya ketika melihat hamparan laut lepas di depan sana.

“Podd... kita di mana??? Lo bawa gue ke mana???” Khao mencoba membangunkan Podd yang tertidur sambil mengenakan sunglasses di kursi kemudi.

Lelaki itu terbangun.

“Jawab gue, kita di mana?”

“Tanjung Lesung.”

“KENAPA LO BAWA GUE PERGI SEJAUH INI???”

“Lah nggak inget ya semalem lo malah minta bawa ke Amerika.”

“Jangan ngarang!!”

“Yaelah buat apa juga gue ngarang. Gue nyetirin lo jauh-jauh ke sini juga karena lo ngelindur bilang pengen ke pantai.”

Khao menatap Podd dengan tatapan tidak percaya.

“Lo pasti ngarang.”

“Tau ah, mendingan ayo kita liat sunrise.”

“BENTAAAR.....” Khao tiba-tiba mencekal lengan Podd yang sudah bersiap-siap keluar dari mobil.

“Kenapa lagi?”

“BAJU GUE?!?!?! KENAPA GUE PAKE BAJU INI?? KEMANA BAJU GUE?? LO APAIN GUE???” Khao histeris mendapati dirinya sudah tidak memakai pakaian yang ia kenakan tadi malam.

“Ssst... sst... sst.” Podd meletakkan telunjuknya di bibir Khao, membuat lelaki itu terdiam.

“Masih pagi kenapa sih udah bikin polusi suara?? Santai aja ngomongnya.” Ujar Podd.

“Gimana gue bisa santai sekarang?? Kenapa gue tiba-tiba ganti baju?? Lo gak ngapa-ngapain gue kan pas gue tidur???”

“Apa enaknya ngapa-ngapain orang pas orangnya gak sadar sih???”

“Mana gue tau. Kembaliin baju gue!”

“Noh baju lo.” Podd menunjuk kantong plastik hitam yang terbungkus rapat di dekat kaki Khao.

Dengan santainya, Khao membuka buntalan plastik hitam itu.

“INI APAAN?”

“Baju lo lah.”

“Kenapa kaya gini??? Ini apaan sih.... duh bau.”

Podd memilih diam saja, tidak menjawab. Sampai Khao menyadari sesuatu.

“Gue... muntah?”

“Banyak......”

Khao buru-buru membungkus kembali kantong plastik hitam itu rapat-rapat dan melemparkannya ke kursi belakang mobil.

“Terus... lo gantiin baju gue?”

“Iyalah, lo mau semaleman pake baju kena muntah? Untung gue selalu ada spare baju di mobil.”

“M-Makasih...” Ucap Khao beberapa saat kemudian setelah berhasil menyembuhkan shock.

“Hah apa? Nggak denger?”

“Makasih, budeg!!!”

Khao buru-buru turun dari mobil dan belari menyambut pantai di hadapannya. Podd yang menyaksikan bocah itu berlari-lari kegirangan ke arah pantai hanya tersenyum memandangi punggung itu, tak lama Podd menyusulnya. ㅤ

— ㅤ

Kurang lebih dua jam dua anak manusia ini bermain-main di sekitar pantai, sejak fajar baru saja menyingsing hingga kini mulai bergerak naik. Khao sudah berenang, bermain air, bermain pasir, bersama Podd pagi itu hingga kelelahan. Mereka merebahkan diri di hamparan pasir di tepian pantai, ombak kecil-kecil mencapai kaki mereka dan terasa menggelitik di sana. Podd masih memakai sunglassesnya sementara Khao meringis menahan silau cahaya matahari menusuk matanya. Ia tengah berusaha menutupi wajah dengan tangannya ketika telapak tangan besar lain, milik Podd mengambil alih pekerjaan itu untuknya.

Podd mengulurkan tangan dan memempatkannya tepat di atas wajah Khao, ia menjadikan tangannya sebagai tameng untuk menghalau sinar matahari dari wajah lelaki yang lebih kecil. Khao hanya tersenyum samar menyaksikan tingkah manis ini.

“Kenapa lo sampe ngigo pengen ke pantai?”

“Nggak tau ya, kayaknya karena terakhir kali gue ke pantai tuh pas SMA kelas 1 deh. Gue suka pantai, tapi nggak pernah punya temen buat diajak ke pantai.”

“Cowok lo?”

“Dia lebih suka gunung. Jadi gue lebih sering ikut dia naik gunung.”

Podd mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.

“Makasih ya Podd, udah ngajak gue ke sini. Gue happy dan ngerasa fresh banget abis nyebur.” Khao terdengar sangat tulus ketika mengatakan itu, membuat hati Podd menghangat.

“It's okay, gue juga butuh piknik.”

“Maaf juga kalo selama ini gue jahat dan jutek sama lo, padahal mungkin lo nggak seburuk yang gue pikirin.”

“Belum tentu ya, siapa tau abis ini gue ngapa-ngapain lo.”

“PODD...!!!!”

“Laper nggak? Gue laper nih, yuk cari makan.”

“Basah-basah kaya gini?”

“Ya mandi dulu lah. Sama ganti baju.”

“Di mana?”

“Resort.” Podd menunjuk deretan cottage dan bangunan, juga area berumput tempat Podd memarkir mobilnya yang sejak tadi luput dari perhatian Khao.

“Mandi doang ke resort? Ngga ada kamar mandi umum?”

— ㅤ

Podd berjalan memasuki resort dengan santai, diikuti Khao yang jauh ketinggalan di belakangnya karena asik melihat-lihat kesana kemari. Beberapa karyawan resort yang lewat menyapa mereka dengan ramah, menganggukan kepala dan tersenyum. Khao sedikit heran, apakah biasanya karyawan resort memang seramah ini pada pengunjung?

Khao akhirnya berhasil menyusul Podd di meja resepsionis. Pemuda tinggi besar itu tampak bicara sebentar dengan resepsionis dan kemudian mendapatkan kunci kamar untuk mereka.

“Ayo.” Ujar Podd pada Khao yang masih bingung.

Sepanjang perjalanan menuju kamar, Khao semakin keheranan. Beberapa karyawan yang pagi itu tengah bekerja seketika tampak kaget melihat kehadirannya dan Podd. Mereka menghentikan pekerjaanya hanya untuk menyapa dengan sopan, tapi Podd acuh tak acuh saja.

Seorang pria yang tampak seperti manajer hotel menghampiri mereka berdua dengan panik.

“Mas Podd, kenapa tidak telepon dulu kalau mau datang? Biar saya minta room boy bersihkan cottagenya dan mengganti seprai dengan yang baru.”

“Oh nggak perlu repot-repot Pak, ini juga mendadak cuma mau mandi aja, mungkin nggak menginap.”

“Mari saya antar Mas.”

“Nggak usah Pak, bapak lanjutin aja kerjaan Bapak, saya bisa sendiri kok.”

“Baik Mas, kalau butuh apa-apa bisa langsung hubungi saya atau resepsionis ya Mas.”

“Makasih Pak.”

Sepeninggal manajer resort itu, Khao mencibir ke arah Podd.

“Lo sering ke sini ya?”

“Hmm lumayan.”

“Pantesan...”

“Pantesan....?? Apa?”

“Gaya lo kaya yang punya resort.”

“Emang ini resort punya keluarga gue...”

“Hah?!?!?!!!”

Pantas saja, Khao merasa aneh kenapa semua karyawan di sini super ramah menyapa mereka. Ternyata...

“Gue baru ngeh lo tajir.”

“Padahal lo bolak-balik naik bmw.”

Khao diam, dalam hati berkata, iya juga ya. Selama ini Khao tidak pernah menaruh perhatian pada lelaki yang belakangan ini mondar-mandir mengganggu hidupnya, sehingga hal teramat jelas seperti fakta bahwa selama ini Podd mengendarai mobil seharga satu miliar itu pun luput dari perhatiannya.

“Terus lo ngapain kerja di bfr?”

“Gue nggak kerja di sana.”

“Terus???”

“Gue bantuin Off aja.”

Khao menatap Podd curiga.

“Udah sana mandi duluan, apa mau barengan?” Ujar Podd, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“MIMPI AJA SANA LO.” Jawab Khao galak, buru-buru angkat kaki dari hadapan Podd. ㅤ

— ㅤ

Makan siang mereka disiapkan oleh pihak resort dengan view pantai dan birunya laut dengan ombaknya yang berdebur jauh di lepas pantai sana. Senyuman terus-menerus terulas di wajah Khao hari ini, hal langka yang tidak pernah Podd lihat dalam diri lelaki itu sebelumnya. Khao yang selama ini Podd tahu adalah Khao yang selalu membangun jarak sejauh-jauhnya darinya, tapi Khao yang sekarang ini ada di depannya berbeda. Jangan tanya bagaimana pendapat Podd, dia sangat menyukai Khao dengan versi yang ini. Khao dengan senyuman menghiasi wajahnya.

Podd mengupas kulit lobster bakar- menu utama mereka siang ini- lalu meletakkanya di piring Khao.

“Thank you.” Khao langsung semangat melahapnya.

“Lo lagi good mood ya? Senyum mulu.” Podd penasaran.

“Good place makes good mood. Ya nggak sih?”

“Good person with too.”

“Maybe...” Khao tidak semudah itu mengiyakan.

“Lo beneran se-suka itu ya sama pantai?”

“SE-SUKA ITUUUUU.”

Khao memejamkan matanya sejenak dan menghirup aroma laut. Seketika segala beban dan permasalahan dalam hidupnya terasa lebih ringan dan ia memiliki kepercayaan diri untuk mengatasi dan melawannya.

“Kalo lo?” Khao balik bertanya.

“Gue...?”

“Heem, lo bilang lumayan sering ke sini? Lo suka pantai juga?”

Podd menggeleng.

“Gue ke sini kalo gue kesepian.”

Khao mencibir.

“Oh... berapa banyak orang yang udah lo bawa ke sini buat nemenin lo yang kesepian???”

Podd mengangkat sebelah alisnya, mendengar pertanyaan itu.

“Lo yang pertama dan gue nemenin lo yang kesepian, bukan sebaliknya.”

“Gue nggak kesepian!!”

Podd melemparkan pandangannya ke laut lepas.

“Nyokap gue yang suka banget pantai, makanya bokap bikin resort ini. Waktu gue kecil, kita bertiga sering banget ngabisin weekend dan liburan di sini.”

“Sekarang nggak pernah lagi?”

“Nyokap gue meninggal, udah lama waktu gue kelas 2 SMP dan abunya di buang di laut ini... makanya gue selalu ke sini tiap gue kesepian dan kangen nyokap.”

Podd terlihat santai menceritakannya. Sebaliknya, wajah Khao yang terlihat ingin menangis mendengarnya. Tidak menyangka, lelaki seperti Podd memiliki sisi melankolis juga.

“Kenapa muka lo kaya gitu???” Podd heran menatap wajah simpati Khao untuknya.

“Semangat ya Podd. Ini lobster buat lo.” Khao memberikan setengah potongan lobster di piringnya ke piring Podd.

Podd tersenyum ke arah lelaki yang lebih muda itu.

“Kayaknya setelah ini gue bakalan jarang ke sini.” Ujar Podd tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Karena kalo gue kesepian, gue bakal nyari lo aja... nggak perlu jauh-jauh ke sini liat laut.”

Lagi-lagi, Podd mengucapkannya dengan santai sambil menyantap lobsternya, tanpa tahu bahwa sosok yang diajaknya bicara kini tengah tersipu dan merona.

“Khao??”

“Ah- iya???”

“Lo alergi seafood? Kok pipi lo merah?” Podd tersenyum mengejek.

“DIEM DEH LO. Makan aja tuh lobster!!”

Hive Bar, 9 PM podd-khao

Khao mengisi gelasnya yang sudah kosong dengan bir dari botol ketiganya malam itu, bersiap untuk meneguk kembali minumannya, ketika seseorang tiba-tiba muncul menahan tangannya. Khao menggeram marah.

“Lepasin tangan gue, gue mau minum.”

“Lo udah minum 2 botol.”

“Gue masih mau minum...” Mendadak ekspresi Khao berubah sedih.

“Lo siapa???” Khao mengerjap-erjapkan matanya yang mulai berkabut, menatap sosok orang yang baru saja datang ke hadapannya ini.

“Gue Podd.”

“Haaah Podd??? Oiya lo Podd... cowok yang mau gue sewa. Hehehe mau gue bayar berapa lo ayo sebut....tas gue??? Mana tas gue....?” Khao celingukan mencari tasnya yang sejak tadi ada di meja bar, di sebelahnya.

“Ayo pulang, gue anterin.”

“Haaah pulang??? Gue nggak mau pulang, gue mau minum.” Khao meraih kembali gelas bir yang tidak jadi ia minum tadi.

Tapi tangan Podd bergerak lebih cepat, ia meraih gelas itu lebih dulu dan menenggak habis isinya.

“Minuman gue!!!” Khao menatap Podd dengan marah.

“Khao denger gue, lo udah mabok, ayo kita pulang aja.” Podd memapah tubuh Khao yang sudah kehilangan keseimbangan itu.

“NGGAK!! NGGAK MAU PULANG.”

Tidak peduli dengan ocehan Khao, Podd memapah tubuh lelaki itu sampai ke mobilnya. Khao terus meracau tentang kisah cintanya dengan kekasihnya yang kandas di tengah jalan.

Podd hanya diam di balik kemudi setir usai menghidupkan mesin mobilnya, sementara Khao yang mabuk di sebelahnya kini tak lagi berusaha menyembunyikan tangisnya.

“Gue nggak mau putus... tapi gue capek, selama ini kayak cuma gue yang berjuang buat hubungan itu, selalu gue yang disuruh sabar, sedangkan dia?? Gue nggak tau apa yang dia kerjain selama ini.....” Kalimat-kalimat yang bisa Podd tangkap di sela-sela isak tangis Khao.

Podd melemparkan pandangannya ke arah luar, area sekitar mobilnya terparkir, mencoba tidak menatap ke arah Khao yang masih melanjutkan tangisnya itu. Tangannya mengulurkan berlembar-lembar tissue yang langsung ia taruh begitu saja ke pangkuan Khao.

Podd paling tidak bisa melihat orang menangis. Suara tangisan seringkali membangkitkan kenangan-kenangan lama yang selama ini ia simpan rapat-rapat dalam suatu kotak terkunci dalam benaknya. Itulah salah satu alasan kenapa dia selalu bersikap baik kepada siapa saja, termasuk orang-orang yang menyukainya selama ini. Sikapnya itulah yang seringkali disalahartikan sebagai pemberi harapan palsu. Ia hanya takut melukai orang-orang itu dan akhirnya membuat mereka menangis.

Demi Khao, dia menahannya dan berusaha mengatasi suara dengungan bak ribuan lebah yang berkumpul di lubang telinganya.

“Pulang ya???” Podd menawarkan kepada Khao untuk kesekian kalinya.

“Nggak!!! Bawa gue pergi yang jauhhhh... yang jauhhh jauhhhh nggak mau pulang lagi ke sini.”

“Ke mana?”

“Ke Amerika.”

“Jauh amat.” Gerutu Podd.

“Ayo cepet jalan... kita ke Amerika.”

Podd geleng-geleng kepala melihat tingkah lelaki mabuk satu ini.

“Oke, gue ajak lo ke tempat yang jauhhhhh tapi lo diem, jangan nangis lagi.”

“Siapa yang nangis?? Gak ada yang nangis. Gue nggak nangis. Ngapain gue nangis.”

“Nambah ngeselin lo ya kalo mabok.”

“Iya, emang ngeselin tuh orang.”

“Elooooo....”

“Hoeek.....” Khao menutup mulutnya dengan kedua tangan.

“JANGAN. JANGAN MUNTAH SEKARANG, AYOK TURUN.”

“HOEEEEK......”

Sedikit beruntung, Podd berhasil menyeret Khao keluar dari mobilnya sebelum lelaki itu memuntahkan isi perutnya di sana. ㅤ

— ㅤ

Tanjung Lesung 6 AM

Khao merentangkan tangannya lebar-lebar dan mengeliat, dilanjut dengan menguap satu kali sebelum ia benar-benar membuka matanya dan melihat apa yang ada di hadapannya.

“HAAAAAH... INI DI MANA??”

Ia terlonjak dari tempat duduknya ketika melihat hamparan laut lepas di depan sana.

“Podd... kita di mana??? Lo bawa gue ke mana???” Khao mencoba membangunkan Podd yang tertidur sambil mengenakan sunglasses di kursi kemudi.

Lelaki itu terbangun.

“Jawab gue, kita di mana?”

“Tanjung Lesung.”

“KENAPA LO BAWA GUE PERGI SEJAUH INI???”

“Lah nggak inget ya semalem lo malah minta bawa ke Amerika.”

“Jangan ngarang!!”

“Yaelah buat apa juga gue ngarang. Gue nyetirin lo jauh-jauh ke sini juga karena lo ngelindur bilang pengen ke pantai.”

Khao menatap Podd dengan tatapan tidak percaya.

“Lo pasti ngarang.”

“Tau ah, mendingan ayo kita liat sunrise.”

“BENTAAAR.....” Khao tiba-tiba mencekal lengan Podd yang sudah bersiap-siap keluar dari mobil.

“Kenapa lagi?”

“BAJU GUE?!?!?! KENAPA GUE PAKE BAJU INI?? KEMANA BAJU GUE?? LO APAIN GUE???” Khao histeris mendapati dirinya sudah tidak memakai pakaian yang ia kenakan tadi malam.

“Ssst... sst... sst.” Podd meletakkan telunjuknya di bibir Khao, membuat lelaki itu terdiam.

“Masih pagi kenapa sih udah bikin polusi suara?? Santai aja ngomongnya.” Ujar Podd.

“Gimana gue bisa santai sekarang?? Kenapa gue tiba-tiba ganti baju?? Lo gak ngapa-ngapain gue kan pas gue tidur???”

“Apa enaknya ngapa-ngapain orang pas orangnya gak sadar sih???”

“Mana gue tau. Kembaliin baju gue!”

“Noh baju lo.” Podd menunjuk kantong plastik hitam yang terbungkus rapat di dekat kaki Khao.

Dengan santainya, Khao membuka buntalan plastik hitam itu.

“INI APAAN?”

“Baju lo lah.”

“Kenapa kaya gini??? Ini apaan sih.... duh bau.”

Podd memilih diam saja, tidak menjawab. Sampai Khao menyadari sesuatu.

“Gue... muntah?”

“Banyak......”

Khao buru-buru membungkus kembali kantong plastik hitam itu rapat-rapat dan melemparkannya ke kursi belakang mobil.

“Terus... lo gantiin baju gue?”

“Iyalah, lo mau semaleman pake baju kena muntah? Untung gue selalu ada spare baju di mobil.”

“M-Makasih...” Ucap Khao beberapa saat kemudian setelah berhasil menyembuhkan shock.

“Hah apa? Nggak denger?”

“Makasih, budeg!!!”

Khao buru-buru turun dari mobil dan belari menyambut pantai di hadapannya. Podd yang menyaksikan bocah itu berlari-lari kegirangan ke arah pantai hanya tersenyum memandangi punggung itu, tak lama Podd menyusulnya. ㅤ

— ㅤ

Kurang lebih dua jam dua anak manusia ini bermain-main di sekitar pantai, sejak fajar baru saja menyingsing hingga kini mulai bergerak naik. Khao sudah berenang, bermain air, bermain pasir, bersama Podd pagi itu hingga kelelahan. Mereka merebahkan diri di hamparan pasir di tepian pantai, ombak kecil-kecil mencapai kaki mereka dan terasa menggelitik di sana. Podd masih memakai sunglassesnya sementara Khao meringis menahan silau cahaya matahari menusuk matanya. Ia tengah berusaha menutupi wajah dengan tangannya ketika telapak tangan besar lain, milik Podd mengambil alih pekerjaan itu untuknya.

Podd mengulurkan tangan dan memempatkannya tepat di atas wajah Khao, ia menjadikan tangannya sebagai tameng untuk menghalau sinar matahari dari wajah lelaki yang lebih kecil. Khao hanya tersenyum samar menyaksikan tingkah manis ini.

“Kenapa lo sampe ngigo pengen ke pantai?”

“Nggak tau ya, kayaknya karena terakhir kali gue ke pantai tuh pas SMA kelas 1 deh. Gue suka pantai, tapi nggak pernah punya temen buat diajak ke pantai.”

“Cowok lo?”

“Dia lebih suka gunung. Jadi gue lebih sering ikut dia naik gunung.”

Podd mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.

“Makasih ya Podd, udah ngajak gue ke sini. Gue happy dan ngerasa fresh banget abis nyebur.” Khao terdengar sangat tulus ketika mengatakan itu, membuat hati Podd menghangat.

“It's okay, gue juga butuh piknik.”

“Maaf juga kalo selama ini gue jahat dan jutek sama lo, padahal mungkin lo nggak seburuk yang gue pikirin.”

“Belum tentu ya, siapa tau abis ini gue ngapa-ngapain lo.”

“PODD...!!!!”

“Laper nggak? Gue laper nih, yuk cari makan.”

“Basah-basah kaya gini?”

“Ya mandi dulu lah. Sama ganti baju.”

“Di mana?”

“Resort.” Podd menunjuk deretan cottage dan bangunan, juga area berumput tempat Podd memarkir mobilnya yang sejak tadi luput dari perhatian Khao.

“Mandi doang ke resort? Ngga ada kamar mandi umum?”

— ㅤ

Podd berjalan memasuki resort dengan santai, diikuti Khao yang jauh ketinggalan di belakangnya karena asik melihat-lihat kesana kemari. Beberapa karyawan resort yang lewat menyapa mereka dengan ramah, menganggukan kepala dan tersenyum. Khao sedikit heran, apakah biasanya karyawan resort memang seramah ini pada pengunjung?

Khao akhirnya berhasil menyusul Podd di meja resepsionis. Pemuda tinggi besar itu tampak bicara sebentar dengan resepsionis dan kemudian mendapatkan kunci kamar untuk mereka.

“Ayo.” Ujar Podd pada Khao yang masih bingung.

Sepanjang perjalanan menuju kamar, Khao semakin keheranan. Beberapa karyawan yang pagi itu tengah bekerja seketika tampak kaget melihat kehadirannya dan Podd. Mereka menghentikan pekerjaanya hanya untuk menyapa dengan sopan, tapi Podd acuh tak acuh saja.

Seorang pria yang tampak seperti manajer hotel menghampiri mereka berdua dengan panik.

“Mas Podd, kenapa tidak telepon dulu kalau mau datang? Biar saya minta room boy bersihkan cottagenya dan mengganti seprai dengan yang baru.”

“Oh nggak perlu repot-repot Pak, ini juga mendadak cuma mau mandi aja, mungkin nggak menginap.”

“Mari saya antar Mas.”

“Nggak usah Pak, bapak lanjutin aja kerjaan Bapak, saya bisa sendiri kok.”

“Baik Mas, kalau butuh apa-apa bisa langsung hubungi saya atau resepsionis ya Mas.”

“Makasih Pak.”

Sepeninggal manajer resort itu, Khao mencibir ke arah Podd.

“Lo sering ke sini ya?”

“Hmm lumayan.”

“Pantesan...”

“Pantesan....?? Apa?”

“Gaya lo kaya yang punya resort.”

“Emang ini resort punya keluarga gue...”

“Hah?!?!?!!!”

Pantas saja, Khao merasa aneh kenapa semua karyawan di sini super ramah menyapa mereka. Ternyata...

“Gue baru ngeh lo tajir.”

“Padahal lo bolak-balik naik bmw.”

Khao diam, dalam hati berkata, iya juga ya. Selama ini Khao tidak pernah menaruh perhatian pada lelaki yang belakangan ini mondar-mandir mengganggu hidupnya, sehingga hal teramat jelas seperti fakta bahwa selama ini Podd mengendarai mobil seharga satu miliar itu pun luput dari perhatiannya.

“Terus lo ngapain kerja di bfr?”

“Gue nggak kerja di sana.”

“Terus???”

“Gue bantuin Off aja.”

Khao menatap Podd curiga.

“Udah sana mandi duluan, apa mau barengan?” Ujar Podd, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“MIMPI AJA SANA LO.” Jawab Khao galak, buru-buru angkat kaki dari hadapan Podd. ㅤ

— ㅤ

Makan siang mereka disiapkan oleh pihak resort dengan view pantai dan birunya laut dengan ombaknya yang berdebur jauh di lepas pantai sana. Senyuman terus-menerus terulas di wajah Khao hari ini, hal langka yang tidak pernah Podd lihat dalam diri lelaki itu sebelumnya. Khao yang selama ini Podd tahu adalah Khao yang selalu membangun jarak sejauh-jauhnya darinya, tapi Khao yang sekarang ini ada di depannya berbeda. Jangan tanya bagaimana pendapat Podd, dia sangat menyukai Khao dengan versi yang ini. Khao dengan senyuman menghiasi wajahnya.

Podd mengupas kulit lobster bakar- menu utama mereka siang ini- lalu meletakkanya di piring Khao.

“Thank you.” Khao langsung semangat melahapnya.

“Lo lagi good mood ya? Senyum mulu.” Podd penasaran.

“Good place makes good mood. Ya nggak sih?”

“Good person with too.”

“Maybe...” Khao tidak semudah itu mengiyakan.

“Lo beneran se-suka itu ya sama pantai?”

“SE-SUKA ITUUUUU.”

Khao memejamkan matanya sejenak dan menghirup aroma laut. Seketika segala beban dan permasalahan dalam hidupnya terasa lebih ringan dan ia memiliki kepercayaan diri untuk mengatasi dan melawannya.

“Kalo lo?” Khao balik bertanya.

“Gue...?”

“Heem, lo bilang lumayan sering ke sini? Lo suka pantai juga?”

Podd menggeleng.

“Gue ke sini kalo gue kesepian.”

Khao mencibir.

“Oh... berapa banyak orang yang udah lo bawa ke sini buat nemenin lo yang kesepian???”

Podd mengangkat sebelah alisnya, mendengar pertanyaan itu.

“Lo yang pertama dan gue nemenin lo yang kesepian, bukan sebaliknya.”

“Gue nggak kesepian!!”

Podd melemparkan pandangannya ke laut lepas.

“Nyokap gue yang suka banget pantai, makanya bokap bikin resort ini. Waktu gue kecil, kita bertiga sering banget ngabisin weekend dan liburan di sini.”

“Sekarang nggak pernah lagi?”

“Nyokap gue meninggal, udah lama waktu gue kelas 2 SMP dan abunya di buang di laut ini... makanya gue selalu ke sini tiap gue kesepian dan kangen nyokap.”

Podd terlihat santai menceritakannya. Sebaliknya, wajah Khao yang terlihat ingin menangis mendengarnya. Tidak menyangka, lelaki seperti Podd memiliki sisi melankolis juga.

“Kenapa muka lo kaya gitu???” Podd heran menatap wajah simpati Khao untuknya.

“Semangat ya Podd. Ini lobster buat lo.” Khao memberikan setengah potongan lobster di piringnya ke piring Podd.

Podd tersenyum ke arah lelaki yang lebih muda itu.

“Kayaknya setelah ini gue bakalan jarang ke sini.” Ujar Podd tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Karena kalo gue kesepian, gue bakal nyari lo aja... nggak perlu jauh-jauh ke sini liat laut.”

Lagi-lagi, Podd mengucapkannya dengan santai sambil menyantap lobsternya, tanpa tahu bahwa sosok yang diajaknya bicara kini tengah tersipu dan merona.

“Khao??”

“Ah- iya???”

“Lo alergi seafood? Kok pipi lo merah?” Podd tersenyum mengejek.

“DIEM DEH LO. Makan aja tuh lobster!!”

Kokas, 4 PM Tag: earth-mix, tw // kissing

“Emangnya kita harus belajar sambil nonton gini???” Mix bertanya pada Earth yang tengah menggendong sewadah besar pop corn di dekapannya.

“Nggak sih, emang gue kebetulan belom nonton Black Widow aja.”

“Harus sama gue nih nontonnya?”

“Ya sama siapa lagi??? Pacar gue kan minta break.” Ujar Earth santai.

Ucapan Earth barusan mau tidak mau membuat rasa tidak enak hati milik Mix muncul kembali, karena secara tidak langsung dirinya turut andil menyebabkan keributan besar antara Earth dan pacarnya.

“Yaudah-yaudah gue temenin nontonnya.” Mix mengalah.

“Itung-itung latihan nonton di bioskop sama gebetan, siapa tau bisa nyuri-nyuri pegang tangan.”

“Belajaaaaar mulu ya kalo sama lo tuh.”

“Loh kan emang gue dibayar buat itu.”

— ㅤ

Sudah setengah jam berlalu sejak film dimulai. Mereka berdua fokus menatap layar besar di depan sana. Mix sampai lupa kalau ia ditugasi untuk mencuri-curi memegang tangan Earth dalam kegelapan gedung bioskop.

Sampai akhirnya, kedua tangan mereka bertemu ketika tanpa sengaja keduanya ingin mengambil pop corn di waktu yang bersamaan. Mix terperanjat, seperti tersengat listrik rasanya ketika tak sengaja tangannya bersentuhan dengan milik Earth. Padahal tangan itu pulalah yang sudah berkali-kali ia genggam seharian ini. Mix buru-buru menarik tangannya kembali, sementara Earth terlihat tidak ambil pusing, matanya fokus menatap layar, ingatan Mix kembali membawanya ke pertemuan pertama mereka di gedung teater. Earth dan kegemarannya akan seni, termasuk seni pertunjukkan dan film seringkali membuatnya terhanyut dalam alur yang disajikan, seperti sekarang ini.

Mix melirik jari-jemari Earth yang tergeletak bebas di atas pegangan kursi, keinginan untuk menyentuh dan menautkan miliknya pada barisan jemari jenjang milik lelaki itu muncul begitu saja dengan tiba-tiba dari dalam hati Mix. Berkali-kali lelaki itu mencoba untuk menyentuhnya, tapi ia menarik kembali tangannya sendiri, nyalinya mendadak ciut.

Tiba-tiba, tangan Earth bergerak meraih tangan Mix. Earth menautkan jemari yang sejak tadi Mix pandangi- dengan miliknya sendiri, lalu menggenggamnya erat. Selanjutnya Mix mendapati kedua manik mata gelap itu tengah menatapnya lekat-lekat.

Dug, dug, dug, dug.

Mix menelan ludahnya sendiri. Suara berisik itu berasal dari degup jantungnya yang tidak karuan, sampai-sampai Mix khawatir kalau Earth akan bisa mendengarnya.

“Earth... lepasin boleh?”

“Kenapa?”

“Gue deg-deg-an.” Ujar Mix polos.

Earth terlihat menahan tawanya.

“Lo ngetawain gue??? Emang lo nggak deg-deg-an?”

“Biasa aja tuh.”

Mix mendekat ke tubuh Earth, lalu menempelkan telinganya ke dada bidang lelaki itu dalam upaya untuk mendengar detak jantungnya. Earth tercekat, tidak menyangka kliennya itu akan bertindak ajaib seperti ini. Mix terdiam sesaat, ia merasakannya. Detak jantung lelaki di hadapannya yang kini berdetak tak kalah cepat dengan miliknya. Apakah ini tandanya ia telah berhasil membuat seseorang berdebar?

Ketika Mix mendongakan kepalanya, netra milik mereka berdua kembali dibawa bertemu dalam tatapan yang tidak terdefinisi maknanya. Beberapa saat tatapan mereka saling mengunci, seperti tidak ada yang mau mengalihkannya dari satu sama lain. Mix sibuk mengagumi betapa wajah di hadapannya itu tampak sempurna, alisnya yang tebal membingkai pekat dan legamnya manik mata, dilengkapi dengan garis wajah yang tegas namun teduh milik Earth Pirapat. Mix tenggelam dalam deru nafas hangat yang perlahan terasa menyentuh wajahnya.

Sementara Earth, selama ini setengah mati menahan diri agar tidak mencicipi manisnya belah bibir tebal yang selalu tampak basah milik Mix, yang selama ini seringkali mengganggu fokusnya ketika mereka tengah bersama. Apalagi sekarang, wajah polos itu tengah menatapnya dari jarak yang begitu dekat. Di tengah gelapnya cahaya bioskop ketika itu, Earth dapat melihat ribuan kerlip bintang berpendar dari tatap mata bulat kepunyaan Mix, membuatnya lupa kalau ia bahkan tidak berhak untuk menikmati kilauan cahayanya.

Sedetik kemudian- entah siapa yang mengawalinya- kedua belah bibir itu bertemu, saling pagut. Earth menikmati bagaimana dirinya mendominasi ciuman mereka, ia bisa merasakan rasa manis dan aroma cherry dari bibir lembut dan kenyal milik Mix yang sudah pasti berasal dari lipbalm yang selalu lelaki itu gunakan. Samar-samar aroma bedak bayi yang hidungnya tangkap, menguar dari tubuh Mix karena jarak antara keduanya yang telah sepenuhnya terkikis makin membuatnya lupa diri, Earth meraup penuh bibir ranum itu dalam pagutan.

Kesadaran Mix-lah yang pertama kali kembali ke raganya, ia menarik dirinya yang sekaligus mengakhiri ciuman mereka saat itu. Tidak ada yang bicara di antara mereka setelahnya.

Awkward.

Earth terlihat mencomot pop corn dengan setengah hati dan memakannya sebagai bentuk pengalihan isu. Sementara Mix, sibuk mengatur dan menampari diri dalam benak, mencoba menyadarkannya untuk berhenti meromantisasi hubungannya dengan Earth. Karena Mix tahu pasti, bagi Earth ia hanyalah klien, tidak lebih dari itu.

Tapi ciuman apa yang mereka perbuat barusan?

“M-Maaf, Mix...” Ucap Earth, tergagap.

Mix tidak tahu harus menjawab apa, tidak berani mengangkat kepalanya, apalagi menatap Earth.

“Yang barusan itu... bagian dari pelajaran kita kan, Earth? Iya... kan??”

“Mix... gue...”

“Jawab iya... please.”

Mix berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ciuman yang terjadi barusan adalah salah satu dari pelajaran, karena ia tidak bisa membiarkan egonya mengambil alih akal sehatnya, bahwa saat ini, detik ini ia ingin memiliki Earth Pirapat, hanya untuknya.

Kina Cafe, 10.45 PM Tag: podd-khao

Sebutir kristal air mata jatuh menetes ke pipi Khao usai pesan singkatnya yang terakhir sukses ia kirimkan untuk Earth barusan. Buru-buru ia usap sendiri basah yang ada di pipinya dengan punggung tangan. Air mata yang sejak tadi ia tahan-tahan untuk tidak jatuh, paling tidak untuk tidak jatuh di sini, di Kina Cafe. Khao bukanlah orang yang sudi titik teredahnya disaksikan oleh orang lain di tempat umum seperti ini, tapi dadanya kini terasa begitu sesak. Harapan demi harapan yang sudah ia gantungkan setinggi-tingginya dalam hubungannya dengan Earth, kali ini kembali Earth jatuhkan sekeras-kerasnya.

“Maaf Kak, cafenya sudah mau tutup.” Seorang waitress kembali datang menghampiri meja Khao, mengingatkan pemuda itu untuk yang kedua kalinya.

Khao masih terdiam di sana menatap couple set menu yang sudah dingin sejak berjam-jam yang lalu, sampai seseorang meraih tangannya dan menariknya untuk meninggalkan tempat itu.

“Ayo pulang.”

Khao hanya bergeming di kursinya.

“Ayo pulang! Ngapain sih lo buang waktu lo sia-sia nungguin itu orang?” Kali ini Podd terdengar marah.

Kalau saja Podd tahu, di luar sana juga ada orang lain yang membuang waktunya sia-sia hanya untuk menunggunya.

Podd menarik tangan Khao untuk kedua kalinya, kali ini lebih keras, membuat Khao mau tak mau mengikuti ke mana Podd membawanya.

Pertahanan Khao runtuh saat itu juga, ia menangis sejadi-jadinya bersamaan dengan langkahnya keluar dari cafe menuju area parkir, tempat Podd memarkirkan BMW 3 Series miliknya. Podd membawa tubuh mungil lelaki yang biasanya selalu terlihat tangguh itu ke dalam pelukannya, membiarkannya menangis di sana beberapa saat.

Kemeja Podd basah karena air mata milik Khao yang tumpah di sana.

“Gue anterin lo pulang ya.” Ucap Podd sambil menatap wajah lelaki di hadapannya.

Khao yang selama ini selalu terlihat tough di mata Podd, sosok yang tidak segan-segan meninjunya apabila ia berbuat macam-macam- ternyata bisa terlihat begitu rapuh seperti sekarang. Ia hanya menyandarkan kepalanya ke jendela mobil, matanya menatap jalanan malam yang mereka lalui sambil terisak pelan. Podd tahu, dia sedang mencoba menangis tanpa suara, tapi tetap saja luka yang menganga di hatinya itu tidak semudah itu dapat ia sembunyikan.


Kamar kos Khao, 11.15 PM Tags: earth-khao, tw // kissing

“Khao.....” Earth mengetuk pintu kamar kos pacarnya itu tiga kali.

Earth tahu Khao ada di kamarnya walaupun dia tidak menjawab. Di depan pintu, sepatu pemuda itu tergeletak tak beraturan pertanda dia baru tiba dan buru-buru masuk ke kamarnya.

Sebelumnya, Earth tiba di Kina Cafe sekitar pukul sebelas kurang sepuluh menit, tapi Khao sudah tidak ada di sana. Hanya tersisa beberapa pegawai cafe yang sudah bersiap closing.

“Khao please... kita perlu ngomong. Aku salah, aku minta maaf banget Khao.”

Masih tidak ada jawaban dari si pemilik kamar.

“Kalau kamu nggak mau buka pintu, aku bakalan tetep di sini sampe besok.” Earth mendudukkan pantatnya di depan pintu kamar Khao dan berniat tetap di sana sampai pemuda itu membukakan pintu untuknya.

Tak lama, terdengar suara kunci pintu yang dibuka dari dalam, Khao membukakan pintu untuk Earth.

“Khao....” Earth menatap wajah Khao yang sembab, usai menangis.

“Kamu nangis hm? Maafin aku sayang.” Earth berusaha meraih tangan Khao, tapi Khao menepisnya lebih dulu dan bergerak menjauhinya.

“Aku tau aku jahat banget, kamu boleh pukul aku, boleh marah ke aku, tapi kamu harus tau kalo aku beneran nggak ada niat buat terlambat dateng ke Kina dan bikin kamu nunggu selama itu.”

Sebuah pelukan Khao terima di punggungnya, Earth melingkarkan lengan kokohnya ke tubuh kecil milik Khao.

“Lepasin.”

“Khao... maafin aku.”

Khao memutar tubuhnya, menatap lelaki yang telah membuatnya menunggu berjam-jam di cafe tadi.

“Sekarang bilang ke aku, kamu dari mana? Kamu ngapain? Kenapa kamu bisa biarin aku nunggu berjam-jam kaya tadi? Ini anniversary kita Earth!!! Apa aku udah bukan prioritas kamu lagi sekarang?? Jawab!!!”* Khao berkali-kali memukul dada Earth dengan kepalan tangannya di setiap pertanyaan yang ia lontarkan.

“Khao, kamu dengerin aku dulu ya sayang, tadi abis motor aku mogok, ada insiden sedikit. Aku berantem sama orang jahat, ada kejadian di depan mata aku Khao, nggak mungkin aku nggak nolongin dia. Makanya aku sampe telat banget ke Kina.”

Khao tidak semudah itu percaya, tapi beberapa luka memar di wajah Earth yang sejak tadi tidak ia perhatikan seperti mengesahkan ucapannya.

“Earth, ini luka memar kamu....?” Raut wajah Khao seketika berubah panik.

“Iya, ini karena berantem sama orang jahat itu.”

“Kamu udah obatin?”

Earth menggeleng.

“Kamu tuh ya... sini aku obatin, duduk dulu di situ.”

Sebentar saja kemarahan Khao pada Earth sudah menguap ketika mendapati pacarnya itu terluka akibat menolong orang dalam perjalanan menemuinya. Dengan telaten, Khao membersihkan dan mengobati luka Earth.

“Khao, kamu udah nggak marah kan sama aku?”

“Kata siapa? Aku masih marah ya...”

“Kan udah aku jelasin, aku udah minta maaf juga.” Earth meletakkan kepalanya di pundak Khao, merajuk.

“Kamu nyebelin.”

“Tapi kamu sayang kan?” Earth mencuri sebuah kecupan dari bibir kekasihnya itu dengan lembut, berusaha mengembalikan keintiman diantara mereka yang belakangan ini hilang.

Sepasang kekasih ini lalu saling menatap, percikan cinta masih bisa mereka rasakan dari tatap mata keduanya.

“Selamat dua tahun ya sayang.” Ujar Earth.

“Selamat dua tahun juga.”

Belah bibir keduanya kembali dibawa bertemu dalam sebuah ciuman manis milik mereka. Manis bibir Khao masih membuat Earth ketagihan untuk mengecapnya lagi dan lagi. Khao pun sama, rasanya entah kapan sejak ciuman terakhir mereka, belakangan hubungannya dan Earth terasa merenggang, membuat ia merindukan momen-momen ketika Earth mencumbunya.

“Aku punya hadiah buat kamu.” Ujar Earth kemudian, menyerahkan sebuah kotak hadiah yang ia siapkan untuk Khao.

“Aku buka ya...?”

“Buka coba...”

Khao membuka kotak kecil hadiah dari Earth, sebuah parfum.

“Kamu biasanya nggak suka aku pake parfum?”

“Aku nggak sukanya kamu pake parfum kamu tuh, harumnya terlalu menggoda. Kamu pake ini aja.”

Khao membaui botol parfum pemberian Earth.

“Ini bau bedak bayi? Aku kan udah gedeee...”

“Kamu tetep bayi buat aku sayang.” Earth kembali mengecup pipi kekasihnya, gemas.

“Oh iya aku juga punya hadiah buat kamu.” Ujar Khao seperti baru tersadar.

“Mana mana hadiah aku??”

“Aku baru inget, nggak ada di sini hadiahnya, ada di kamar kamu. Aku bikin kejutan, aku sembunyiin di sana, rencananya abis dari Kina aku mau nginep di rumah kamu aja gituu... eh jadi lupa.”

“Hah?? Kamar aku??” Earth kaget.

“Iyaaaa, yuk ke rumah kamu aja sekarang.” Khao buru-buru beranjak berdiri dan menarik tangan Earth.

“Eh bentar-bentar Khao... besok aja nggak apa-apa kan ambil hadiahnya? Sekarang udah jam 12, malem ini aku nginep di sini aja ya sama kamu. Besok pagi baru kita ke rumahku. Gimana?”

“Nggak mau, itu surprisenya harus kamu liat sekarang, nggak bisa besok....”

Earth bingung, bagaimana cara menghalangi Khao ke rumahnya malam ini. Dia tidak mungkin membiarkan Khao ke sana sementara di kamarnya ada Mix yang sedang tidur.

“Kenapa sih Earth?? Ayoo....”

“Bentar aku telepon Ohm dulu, aku nggak bawa kunci soalnya, biar dia bukain pintu buat kita, takutnya dia tidur.”

Earth buru-buru menelepon Mix, berkali-kali namun tidak ada jawaban. Begitu juga Ohm, adiknya. Mungkin keduanya sudah terlelap.

“Ohm kayaknya udah tidur deh.... dia nggak bakal bangun bukain pintu buat kita. Besok pagi aja yuk....”

“Maunya sekarang. Udah itu masalah gampang, nanti aku yang gedor rumah kamu sampe dia bangun. Ayo...”

Earth berakhir dengan mengirimi Mix dan Ohm pesan singkat, berharap salah satunya sempat membacanya sebelum mereka berdua tiba di rumah.


Rumah Earth 12.30 PM

Ohm dengan wajah bangun tidurnya membukakan pintu untuk sang kakak. Earth berusaha mengirimkan sinyal lewat bahasa isyarat pada Ohm, menanyakan apakah dia sudah membaca pesannya. Wajah Ohm terlihat bingung. Fix dia tidur sejak tadi.

Khao langsung menuju kamar Earth setibanya mereka di rumah itu. Earth tidak bisa menghalanginya.

“Apaan?” Ohm bertanya tanpa suara, pada Earth.

“Baca chat gue.”

Khao menarik Earth ke kamarnya untuk menujukkan surprise yang ia buat di sana.

“Tadaaa....” Khao menujukkan sebuah sudut di kamar Earth yang sudah ia dekorasi sedemikian rupa untuk kejutan anniversary mereka.

Tapi fokus Earth tidak di sana. Hal pertama yang ia lakukan setelah mencapai kamarnya adalah mencari Mix. Memeriksa di balik pintu, ke dalam lemari, kolong tempat tidur, Mix tidak ada di mana pun.

“Earth? Kamu nyari apa?” Khao kebingungan melihat tingkah Earth.

“E-Enggak Khao, nggak nyari apa-apa, aku cuma meriksa kamar aja, biasanya ada kucing liar yang suka masuk.”

Khao mengerutkan keningnya, tidak semudah itu untuk dibodohi.

“Bentar ya Khao, kamu di sini dulu... aku mau ngomong sama Ohm.”

Earth berlari ke luar kamar, meninggalkan Khao yang berdiri di tempatnya, menatap penuh curiga.


“Bang, yang lo maksud chat yang mana sih? Yang lo bilang suruh pindahin kak Mix dari kamar lo? Dia aja udah pamit pergi tiba-tiba jam 12 tadi elah....”

“Pergi ke mana dia tengah malem?”

“Mana gue tau, gue nggak nanya.”

“Mix? Siapa dia? Kenapa dia di kamar kamu?” Tiba-tiba Khao muncul mengagetkan kedua kakak-beradik ini.

“Khao....”

“Apa lagi yang kamu sembunyiin dari aku? Seberapa banyak lagi???”

“Ini nggak kayak yang kamu pikir.”

“Emang aku mikir apa?”

“Aku bisa jelasin....”

“Earth... aku capek banget kaya gini. Barusan aja kita tadi baikan, terus sekarang kita ribut lagi.”

“Khao... maaf.”

“Kamu tau nggak sih Earth kamu tuh berubah? Aku kayak udah nggak kenal kamu lagi.”

“Aku nggak berubah Khao, aku tetep Earth yang kamu kenal.”

“Ada orang lain kan selain aku di hati kamu sekarang??”

“Engga Khao, sumpah cuma kamu. Aku nggak selingkuh.”

“Terus kenapa Earth??? Kenapa kamu kaya gini???”

“Ada sesuatu yang belum bisa aku ceritain ke kamu Khao, aku janji kalo urusan ini udah selesai, kita bakal kembali kaya kita yang sebelumnya. Aku bakal punya waktu 100% buat kamu.”

“Urusan apa?”

“Aku belum bisa kasih tau kamu.”

“Cukup Earth, aku udah mikirin ini semua dari lama, aku nggak sanggup lagi mengendalikan pikiran-pikiran jelek aku ke kamu kalau kaya gini terus. Sampe kamu selesai dengan entah apa urusan kamu itu, kita break aja ya...”

“Khao please aku nggak mau, aku sayang kamu Khao.”

“Aku juga sayang kamu Earth. Tapi aku capek, serius. Kita butuh waktu buat jalan sendiri-sendiri, butuh waktu buat mikir. Kamu punya waktu buat selesain urusan kamu dan aku punya waktu buat lebih mencintai diri aku sendiri.”

“Khao... nggak mau...”

“Kalau urusan kamu udah selesai, nanti kita omongin lagi ya hubungan kita mau gimana.”

Khao kelelahan. Dia tidak tahu kalau mencintai seseorang bisa begini melelahkannya, yang dia pikirkan adalah dia ingin berhenti sejenak. Khao tidak menangis. Dia lelah menangisi orang yang sama, berkali-kali.

Keputusannya kali ini sudah bulat, tidak ada yang bisa merubah keputusan ini, meskipun Earth bersujud di kakinya sekali pun.

Sakit hati dan dikecewakan bukanlah tujuannya menjalin hubungan dengan Earth, namun ketika hanya hal itu yang kini ia rasakan alih-alih kebahagiaan, untuk apa dia harus bertahan dalam suatu hubungan? Khao adalah sosok mandiri sebelumnya, ia rindu mengejar kebahagiaannya sendiri, tanpa perlu dibahagiakan oleh orang lain dengan label kekasih atau sejenisnya. Tidak nyaman untuknya menggantungkan kebahagiaan di tangan orang lain seperti ketika ia bersama Earth. Ia mampu membahagiakan dirinya sendiri tapi malah dikecewakan sedemikian rupa atas dasar cinta, dia tidak sebodoh itu untuk tetap mau bertahan.

Kina Cafe, 7 PM Tag: podd-khao

Tepatnya pukul tujuh- Khao sudah sampai di Kina Cafe, tempat janjiannya dengan Earth untuk merayakan hari jadi mereka yang ke-dua. Satu jam lebih awal dari janji temu dengan pacarnya yang seharusnya pukul delapan. Kina Cafe bukanlah tempat biasa dalam sejarah hubungan mereka berdua, dua tahun yang lalu- tempat inilah yang menjadi saksi bisu berubahnya status antara dua orang sahabat menjadi sepasang kekasih.

“Ini pesanannya, special couple set menu.” Khao terkejut ketika siang itu seorang waitress mengantarkan satu set menu makanan khusus couple ke meja mereka.

“Maaf Mbak, kayaknya salah deh. Kita nggak pesen makanan ini.” Ujar Khao

“Aku yang pesen ini Khao hehehe.”

“Earth? Ngapain kamu pesen makanan untuk couple kaya gini?”

“Karena aku pengen setelah ini kita jadi couple Khao. Aku sadar kalau selama ini aku sayang sama kamu, lebih dari temen. Setelah ini, aku nggak mau cuma jadi temen kamu lagi. Kamu mau nggak kalau kita pacaran?”

Earth dalam balutan seragam abu-abu putih mereka kala itu, menyatakan perasaannya secara jelas dan gamblang, to the point kepada sahabatnya itu.

Khao tersenyum sendiri di salah satu sudut ruangan, masih lucu membayangkan kejadian dua tahun silam yang terjadi begitu saja.

“Permisi Kak, sudah mau pesan makanannya?” Seorang wanita muda berseragam waitress menghampiri Khao.

“Saya mau pesan couple setnya satu, tambahannya hazelnut coffee aja mbak. Makasih.”

Waitress itu pergi setelah mencatat pesanan Khao dan kembali setelah lima belas menit, membawakan semua makanan yang Khao pesan.

Baru saja Khao mengirimi Earth sebuah pesan singkat- memberitahukan kalau ia sudah sampai ketika seorang lelaki tiba-tiba duduk di hadapannya dan mencomot kentang goreng yang tersaji di meja.

Khao tercengang menatap manusia kurang ajar satu ini.

“Lo lagi???”

Lelaki itu memasang senyum tak berdosa di depan Khao.

“Nama gue Podd, gue baru ngeh kalo mungkin lo belum tau siapa nama gue selama ini.”

“Gue nggak nanya dan nggak mau tau.”

“Tapi gue mau ngasih tau! Karena setiap kita ketemu lo selalu manggil gue dengan sebutan lo lagi lo lagi.”

“Ya karena emang lo lagi yang tiba-tiba muncul nggak tau dari mana kaya sekarang ini. Ngapain lo di sini? Ngaku deh lo tuh beneran stalker kan?”

“Gue cuma mau nemenin lo.”

“Capek gue sama lo, sumpah.” Ucap Khao jujur, lelah sekali rasanya dia menghadapi lelaki ini.

“Mau gue pijitin?”

“Nggak usah ngarep. Udah lo mendingan pergi deh, bentar lagi pacar gue dateng, jangan sampe dia liat lo di sini.”

“Yakin?”

“Maksud lo?”

“Yakin pacar lo bakalan dateng?”

“Ini hari anniversary gue sama dia dan dia juga yang ngajak gue ngerayain di sini. Mana mungkin dia yang nggak dateng.”

Podd mengangguk-anggukan kepalanya mendengarkan penuturan Khao.

“Mau taruhan?”

“Apaan sih lo?”

“Taruhan aja, nggak berani? Kan lo yakin pacar lo bakalan dateng.”

“Buat apaan?”

“Buat seru-seruan lah.”

“Lo tuh bener-bener nggak ada kerjaan ya?”

“Nggak ada! Kan lo sendiri yang bikin gue kehilangan kerjaan.”

Khao memegangi keningnya, pusing memikirkan bagaimana cara mengusir makhluk keras kepala ini.

“Oke! Apa taruhannya?”

“Kalo pacar lo nggak dateng ... ijinin gue ngelanjutin kerjaan gue.”

Khao mengerutkan keningnya, bingung. Kenapa di dunia ini ada manusia yang terobsesi dengan pekerjaannya seperti Podd. Little did he know, Podd bukan terobsesi pada pekerjaan, tapi pada dirinya.

“Deal! Kalo pacar gue dateng lo pergi dari hidup gue, selamanya. Jangan pernah muncul lagi.” Khao memberikan penawarannya.

Podd tertawa mendengarnya.

“Deal! Siapa takut.”

“Sekarang lo pergi dari sini.”

“Oke, gue bakal duduk di sana. Kalau lo mulai kesepian karena pacar lo nggak dateng, gue dengan senang hati bakal nemenin lo.”

Nada percaya diri dalam suara Podd entah mengapa membuat Khao terintimidasi. Membuat trust issue akan pacarnya sendiri muncul kembali ke permukaan setelah akhir-akhir ini Earth selalu mengecewakannya. Untungnya ia berhasil mengontrol ekspresinya sendiri di depan Podd, karena ia tidak mau Podd berpikir bahwa ia telah berhasil mempengaruhi mentalnya.

Waktu menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit, Earth belum muncul. Hanya pesan singkatnya mengatakan bahwa lelaki iu sedang on the way. Khao masih menunggunya di sana dengan sabar.

Pukul delapan lewat lima belas menit, pesan singkat masuk ke handphone Khao. Pesan dari Earth yang mengatakan kalau motornya mogok, Earth kemungkinan datang terlambat, Khao masih bersabar menunggu pacarnya itu.


Nu China Bar, 8.30 PM. Tag: earth-mix, tw // sexual harrasment, rape

Mix masih menanti kedatangan Podd di tempat janjian mereka ditemani segelas ice lychee tea yang sudah tinggal setengahnya. Sementara yang ia tunggu-tunggu belum kelihatan batang hidungnya. Mix sudah mengirimkan pesan singkat untuk Podd tapi tidak ada balasan dari kakak tingkatnya itu.

Jujur, Mix tidak nyaman ada di tempat yang dipilihkan Earth untuknya menghabiskan malam bersama Podd ini. Tempat ini gelap, bising, dan beraroma rokok dan alkohol. Intinya, Mix tidak biasa nongkrong di club.

Mix berfikir untuk menghubungi Earth tapi dia takut mengganggu acara perayaan hari jadi Earth dengan pacarnya. Mix semakin merasa tidak nyaman ketika beberapa laki-laki dewasa mulai mendekati tempatnya duduk dan menawarkan diri untuk menemaninya. Bahkan tidak segan-segan untuk menyentuhnya.

“Halo manis, sendirian aja? Nggak minat gue temenin?” Seorang pria nekat menghampiri Mix dan berani-beraninya melingkarkan lengan kurang ajarnya ke pinggang pemuda polos itu.

“Hehehe m-maaf kak, saya lagi nunggu temen.” Suara Mix bergetar, ia ketakutan tapi masih bisa mencoba untuk menyingkirkan tangan lelaki itu dari tubuhnya.

“Gue temenin ya sebelum temen lo dateng.” Lelaki asing dengan kemeja sewarna navy itu duduk di sebelahnya.

Mix mencoba mengabaikan kehadirannya dengan berpura-pura memeriksa handphonenya.

“Minuman lo udah abis? Mau gue traktir minum?”

Walaupun polos, Mix tau kalau minum yang dia maksud adalah minuman keras bukan ice tea seperti yang ia pesan sebelumnya.

“Nggak perlu kak makasih, saya nggak minum.”

“Terus ngapain lo ke sini kalo nggak minum hahahahaha.”

Mix merasa semakin tidak nyaman dengan keadaan ini. Apalagi si kemena navy mulai memanggil beberapa lelaki lain yang terlihat seperti teman-temannya untuk mengobrol bersama di sekitar Mix.

“Ayolah minum dikit, gue traktir ya.”

Gelas bir sudah disodorkan ke mulut Mix oleh entah siapa, salah satu rombongan itu.

“Nggak kak ... maaf.”

“Jangan jual mahal dong, ngapain lo duduk di sini sendirian kalo bukan buat nyari temen minum kan?”

“Tapi saya beneran nunggu temen saya kak...”

“Lo manis juga ya diliat-liat, polos-polos gitu asik.” Seorang lelaki dengan sweater merah mulai berani mengusap pipi Mix.

Mix semakin gemetar karena ketakutan. Ia sudah mengirimkan pesan S.O.S minta petolongan kepada Phuwin, tapi tidak ada jawaban dari temannya itu. Ia mengirimkan satu pesan lagi kepada Podd, mengkonfirmasi kedatangannya, karena ia ingin buru-buru pergi dari tempat itu kalau Podd ternyata tidak bisa datang, tapi Podd juga tidak membalas pesannya. Dengan tidak enak hati, akhirnya Mix mengirimi Earth pesan permintaan pertolongan juga.

“Kemana semua orang malam ini...” Batin Mix.

“Permisi kak...” Mix memutuskan untuk pergi meninggalkan rombongan itu yang dijawab dengan koor bernada kecewa dan sumbang dari rombongan itu.

Mix memutuskan untuk menelepon Earth.

“Earth maaf banget beneran maaf banget, gue harus ganggu acara lo tapi gue takut banget sama laki-laki ini pegang-pegang gue.” Mix langsung nyerocos ketika Earth mengangkat teleponnya.

“Iya... oke... maaf ya Earth. Iya nggak apa-apa deh gue balik aja abis ini.” Mix mematikan sambungan teleponnya dengan Earth dan melihat rombongan lelaki tadi masih menatapnya sambil tertawa.


Mix baru saja selesai buang air kecil di toilet dan sedang mencuci tangannya ketika handphonenya menerima sebuah panggilan masuk, dari Earth.

“Iya Earth gue lagi di toilet, abis ini gue mau keluar...”

“Hah apa??”

“Aaaaaa lepasinnnnn!!!” Mix berteriak ketika ia merasakan sebuah lengan melingkari pinggangnya dari belakang dan orang itu berniat menciumnya, si kemeja navy.

Mix berontak sekuat tenaga. Tapi tubuhnya kalah besar dan kuat. Akhirnya ia berteriak meminta pertolongan, tapi tak seorang pun ada yang mendengarnya. Sepertinya lelaki ini sudah mengunci pintu toiletnya dari dalam.

Si brengsek berkemeja navy itu mengurung tubuh kecil Mix di sudut toilet dan terus mencoba menciumnya sambil tanganya bergerak melepas kancing kemeja Mix.

“Lepasin gue bajingaaaannn!!!!” Mix meludahi wajah menjijikkan yang terus mencoba menciumnya itu.

“Lo dari tadi jual mahal ya anjing, biar gue kasih lo pelajaran.” Lelaki itu menampar wajah Mix hingga tubuhnya terhempas ke lantai dingin toilet.

Ia masih berusaha untuk melepas paksa kemeja yang Mix kenakan, Mix memegangi pakaiannya sekuat tenaga, tidak akan membiarkan lelaki ini menang. Sebuah tamparan keras kembali Mix terima di pipinya yang sudah terasa panas akibat dua kali tamparan. Air mata Mix sudah menetes ke pipinya, pedih memikirkan nasibnya di tangan lelaki bejat ini, hingga seseorang mendobrak pintu toilet dan menendang tubuh si kemeja nwvy, membuatnya tersungkur ke lantai.

Earth berdiri menjulang di sana.

Perkelahian terjadi di depan mata Mix antara Earth dan lelaki berkemeja navy. Earth meninju bajingan itu berkali-kali sampai tangannya sendiri terasa sakit, beberapa kali lelaki itu berhasil melawan dengan melayangkan serangan tinju balasan ke wajah Earth, tapi Earth masih lebih unggul melawan lelaki setengah mabuk seperti ini. Earth menendangnya, bahkan menginjak lelaki itu sampai dia tidak sanggup lagi melawan.

“Earth cukup... cukup!!!” Mix khawatir kalau-kalau Earth bisa saja membunuh orang itu.

Earth mengalihkan perhatiannya kepada Mix yang meringkuk di sudut toilet, kemeja dan rambutnya berantakan, bibirnya terluka, dan tubuhnya bergetar hebat dengan ekspresi ketakutan.

“Mix... lo nggak apa-apa kan?” Earth menghampiri tubuh yang terlihat lemah itu dan merengkuhnya ke dalam pelukannya.

Tangis Mix pecah ketika ia merasakan hangat tubuh Earth memeluknya dan rasa aman yang langsung menyelimutinya. Lelaki yang lebih kecil itu menenggelamkan wajahnya di dada bidang Earth Pirapat dan menangis di sana.

“Earth... gue takut...”

“Udah aman sekarang Mix, ada gue... lo nggak perlu takut lagi ya...”

“Maaf gue ngerepotin lo...” Mix masih saja merasa tidak enak hati karena sudah mengganggu acara Earth.

“Nggak apa-apa Mix, keselamatan lo lebih penting.”

Mix menangis lebih keras lagi mendengar jawaban Earth.

“Makasih udah nolongin gue...” Earth menghapus air mata Mix dengan jarinya dan memeriksa luka di bibir Mix.

“Ini sakit??” Tanya Earth.

Mix hanya mengangguk sambil mengelap air matanya.

“Lo luka juga...” Mix menyentuh pelan wajah Earth yang terluka karena gagal menghindar dari serangan tinju balasan.

“Nggak apa-apa luka segini doang. Ayo gue anter pulang.” Earth membantu Mix berdiri.

“Udah jam 10, dorm gue udah tutup.”

“Ya udah ke rumah gue aja dulu ya sementara.”


Kamar Earth 10.30 PM

“Earth... gue udah nggak apa-apa kok kalo lo mau pergi. Pacar lo pasti masih nungguin.” Ucap Mix setelah selesai membersihkan diri dan mengganti bajunya dengan milik Earth.

“Beneran, gue takut lo masih shock.”

“Nggak apa-apa serius... udah sana pergi aja... gue tidur ya di sini.”

“Yaudah gue tinggal ya, anggep aja di rumah sendiri. Kalau butuh apa-apa keluar aja ada adek gue.” Earth mengusap kepala Mix lembut, masih setengah khawatir akan keadaan pemuda itu.

“Iya siappp...”

Earth akhirnya beranjak dari kamar. Walaupun ia sudah sangat-sangat terlambat, Earth masih mencoba untuk mendatangi Kina Cafe dan menemukan Khao di sana.

Woof! Store, Plaza Indonesia 1 PM

“Bumbum kok diem aja?”

Siang itu Mix sengaja mengajak Earth dalam wujud manusianya ke Plaza Indonesia, mencari hadiah ulang tahun untuk anjing Win, Charlotte. Tapi yang diajak untuk membantunya memberi pertimbangan mengenai hadiah apa yang cocok untuk chihuahua betina itu seperti sibuk dengan pikirannya sendiri dan lebih banyak diam sejak tadi.

“Hah? Enggak kok Mik... hehe.”

Mix bukannya tidak tahu tentang apa yang mengganggu benak animagus itu. Earth pasti tengah memikirkan ajakannya untuk berpacaran yang ia sampaikan secara terbuka dan terang-terangan saat sarapan, pagi tadi. Mix ingat bagaimana ekspresi polos dan lucunya Earth saat menjawab kalau ia belum pernah punya pacar sebelumnya dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan ketika punya pacar.

Bukan, Mix bukan ditolak, Earth hanya minta waktu untuk menambah wawasannya terkait gaya pacaran kaum manusia.

“Udah, jangan dipikirin masalah ajakan pacaran tadi pagi.”

“Ngga kok, gue ngga mikirin itu.” Jawab Earth, ngeles.

“Boong.”

“Mik nggak marah kan?”

*“Nggak, palingan Mik cari calon pacar lain aja.”

“EH NGGAK BOLEH!”

“Loh kenapa?”

“Mik kan manusia punya gue.” Ujar Earth posesif, padahal bukan siapa-siapa.

“Dih apa-apaan?? Mik nggak mau jomblo, mau punya pacar. Wle.” Terakhir, Mix menjulurkan lidahnya ke arah Earth, meledek lelaki itu.

Earth terdiam di tempatnya, sampai Mix perlu menarik lengannya untuk berpindah ke bagian aksesoris hewan.

“Ini bagus nggak buat Charlotte?” Mix menunjukkan satu set pakaian anjing betina dengan topi dan tali renda berwarna coklat muda dengan kombinasi hitam.

Earth hanya bisa mengangguk lemas.

“Jangan lemes gitu dong Bumbum. Senyum coba... ayo senyum...”

Earth menyunggingkan senyum tidak ikhlasnya.

“Kayak lagi sakit gigi gitu senyumnya, yang ikhlas.”

Kali ini, Earth tersenyum begitu lebarnya untuk memuaskan hati manusianya itu.

“Udah puas?”

“Jelek banget tau senyum yang barusan itu.”

Earth kembali merengut mendengar ucapan Mix, membuat manusia itu justru tergelak.

“Bercanda ihhh Bumbum mah baperan!!! Karena Bumbum udah senyum barusan, jadi Mik mau kasih hadiah ini...” Mix menunjukkan satu set baju kamuflase Shaun The Sheep ukuran XL yang dirasa muat untuk anjing besar seukuran Bumbum.

“Nggak mau nggak mau nggak mau... nggak bakal mau pake itu, jelek.”

“Nggak boleh milih-milih hadiah. Bumbum mau Mik buang di jalanan depan Mall?”

“Gue mau pulang ke markas animagus.” Bumbum ngeluyur pergi meninggalkan Mix.

“HEEEEEHHHHHH.......!!!!” Mix memekik kaget, tidak menyangka manusia setengah samoyed itu bisa balas mengancamnya.

“Bumbum.... tungguin... ini belom dibayar...”


Mereka berjalan bersisian sepanjang pusat perbelanjaan itu dalam keheningan, Earth masih kekeuh dengan sikap ngambek-ngambek gemesnya. Dua buah totebag belanja berisi hadiah untuk Charlotte dan kostum Shaun the Sheep untuk Bumbum sudah aman di tangan Mix. Tidak ada lagi yang Mix tuju di Mall itu, semata-mata hanya ingin mengajak Earth jalan-jalan, ia khawatir kalau lelaki itu bosan karena selalu berdiam di apartmentnya.

Selain itu, sebenarnya ada hal lain yang mengganggu pikiran Mix belakangan ini, yang sedang ia coba ungkapkan kepada Earth, mencari saat yang tepat.

“Earth...” Panggil Mix kepada lelaki jangkung yang berjalan mendahuluinya itu.

Si pemilik nama menghentikan langkahnya mendengar namanya disebut. Ya, namanya, bukan nama bentuk animagusnya ketika ia tengah mewujud dalam tampilan anjing samoyed jantan.

Earth menoleh menatap Mix.

“Kenapa?”

“Tungguin...” Ucap Mix, walaupun sebenarnya bukan itu hal yang ingin dikatakan olehnya.

Earth membawa kaki jejanjangnya melangkah mendekati Mix, mengamit tangan lelaki yang lebih kecil itu dan mengambil alih tas belanja yang tengah dibawanya.

“Lo lama jalannya.”

Mix memandangi tangan Earth dan tangannya sendiri yang kini saling bertaut.

“Kenapa tiba-tiba gandengan tangan gini?” Mix iseng bertanya.

“Kata lo mau pacaran, biasanya orang pacaran begini kan?”

Mix tersenyum kecil, mendengar jawaban itu.

“Siapa yang ngajarin kaya gitu?”

“Bang Off......”

“Earth maaf ya....”

“Kenapa tiba-tiba minta maaf? Terus kenapa tiba-tiba manggil nama gue?”

“Maaf, kalo lo merasa gue selama ini nggak nganggep lo sebagai diri lo yang sebenernya, tapi cuma sebagai Bumbum. Lo capek nggak sih sama sikap gue yang kaya gitu? Kaya tadi pas di toko aksesoris hewan...” Ternyata Mix merasa bersalah akan sikapnya tadi.

Earth terdiam sejenak, seperti berpikir.

“Gue minta lo jadi pacar gue, tapi sikap gue ke lo kaya pemilik sama hewan peliharaannya. Aneh banget gue.”

“Mik, gue ngerti kok. Gue nggak keberatan sama sikap lo. Mungkin emang lo belum terbiasa sama wujud gue yang ini dan itu nggak apa-apa, kita masih punya banyak waktu, kita nggak buru-buru juga ngejalanin semuanya kan...”

“Tadi waktu lo bilang mau balik ke markas animagus, gue beneran takut lo bakalan pergi.”

Earth merasakan rematan kuat di jari-jemarinya ketika Mix mengatakan kalimatnya yang terakhir, Mix benar-benar takut Earth akan melepaskan genggaman tangan mereka sehingga tanpa sadar ia mempereratnya.

“Lo kira gue nggak beneran takut ditinggal pas lo bilang mau buang gue di jalanan depan Mall??” Ucap Earth terdengar kesal, tapi lucu juga, membuat Mix terkekeh geli.

“Mana mungkin gue buang calon pacar gemes ini...”

Earth hanya mencebikkan bibirnya mendengar ucapan Mix.

“Mik mau kemana lagi abis ini?”

“Nggak ada lagi sih, cuma nggak mau pulang.”

“Lah kenapa?”

“Masih mau pegangan tangan kaya gini.” Mix mengayun-ayunkan genggaman tangan mereka berdua, girang.

“Pegangan tangan mah di mana aja kan bisa, nggak harus di sini, di rumah juga bisa.”

“Beneran ya di rumah???”

“Tapi ngapain ya di rumah pegangan tangan?” Earth bingung sendiri.

“Namanya juga pacaran, pokoknya mau pegangan tangan.... sama peluk...sama....”

“Sama apa.....?”

“Ehehehe nggak jadi ah, malu.” Mix tiba-tiba merona akibat pikirannya sendiri.

“Mikirin apaan hayo?”

“Nggaaaak, yaudah ayo pulang tapi beli mochi dulu.”

“Mik...... mau es krim ya.”

“Es krim mulu nanti pilek.”

“Jadi nggak boleh?” Earth menatap manusianya dengan tatapan sedih.

“Boleh kok boleeeeeehhhh, nanti Mik beliin es krim sebakul yaaaa.”


Apartment Mix 7.30 PM

“Mik aaaaa...” Earth memberikan suapan es krim vanilla ke mulut Mix yang sedang sibuk di depan laptopnya, mengerjakan tugas.

Sudah tiga jam yang lalu mereka tiba di apartment sekembalinya dari Plaza Indonesia, tapi bukannya berlovey-dovey sesuai rencana, Mix harus dihadapkan pada fakta deadline tugasnya yang mendadak dipercepat. Di sinilah mereka sekarang, Earth si penyihir setengah samoyed yang hidup tanpa beban asik berleha-leha di sofa panjang sambil menyantap es krim favoritnya, sedangkan si pemilik rumah duduk di karpet dan matanya fokus hanya kepada layar laptop sementara jari-jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Sekali-kali terdengar suara memerintah yang tidak bisa Earth bantah karena dia tahu manusianya sedang fokus.

“Earth tolong dong gelas aku pengen minum.”

“Earth kecilin suara tvnya dikit.”

“Earth tolong angkatin telefon aku, itu Win telefon, loudspeaker aja.”

“Earth tolong garukin, punggung aku gatel.”

Hingga akhirnya Earth berinisiatif untuk menyuapinya es krim karena kedua tangan Mix sudah tidak bisa diganggu gugat ketika ia sedang sibuk mengejar deadline.

“Aaaa dingin...” Mix protes ketika hawa dingin itu memenuhi mulutnya.

“Ya kan es krim...” Earth menatap Mix dengan tatapan yang apabila diartikan dapat berbunyi dasar manusia aneh.

“Lagi nggak?”

“Lagi, tapi tiupin dulu.” Ujar Mix ngaco.

“Kan ini makanan dingin, bukan panas Mik.”

“Pokoknya tiupin.”

Manusia bisa begini nggak jelasnya ternyata.

Earth menurut, meniupi es krimnya asal-asalan sebelum menyuapinya satu suapan lagi ke mulut Mix.

“Nggak dingin?”

“Masih dingin sih...”

“Lagian Mik ngaco, kalo nggak mau dingin itu mochi aja dimakan.”

“Pengen es krim, tapi nggak mau kalo dingin.”

Earth pikir, mungkin otak Mix sudah korslet akibat pusing mengerjakan tugas.

“Aaaaa lagi ngga?”

“Ngga mau kalo dingin.” Ujar Mix tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

“Cobain dulu yang ini...”

Mix menoleh, sesuatu yang kenyal dan hangat terasa menyentuh bibirnya alih-alih suapan es krim dingin seperti yang sebelumnya Earth berikan untuknya. Kecupan manis rasa vanilla dan hangat dari bibir lelaki animagus itu mendarat dengan sukses di bibir manusia kesayangannya.

Manusia Mix membelalakan mata bulatnya, tidak menyangka akan menerima perlakuan semacam ini.

“Mik, ayo pacaran.” Ucap Earth setelah pertemuan kedua belah bibir mereka malam itu.

Seluruh wajah Mix terasa panas, ia tidak tahu sudah semerah apa wajahnya saat ini, juga telinganya.

Earth menarik lepas kacamata yang Mix gunakan selama ia bergelut di depan laptopnya sejak tadi, tanpa menunggu kesediaan lelaki itu untuk menjadi pacarnya, Earth meraih kedua sisi wajah Mix dan menciumnya sekali lagi. Ciuman kedua yang lebih menuntut dibandingkan yang pertama. Mix membuka mulutnya memberikan akses untuk Earth melesakkan lidah ke dalam, menjelajah dan mencari lidah miliknya untuk ditautkan dengan kepunyaannya. Mix yang sudah sadar penuh mengenai apa yang tengah mereka lakukan tidak mau kalah, ia menyesap, mengigit dan menghisap belah bibir milik Earth hingga puas.

Ciuman pertama milik mereka itu berakhir ketika keduanya sama-sama sudah kehabisan oksigen untuk bernapas. Sepasang sejoli itu saling menatap awkward setelahnya. Mix berpura-pura kembali fokus menatap tugasnya, sementara Earth, entah apa yang sangat menarik di langit-langit atap sehingga ia mengarahkan padangannya ke sana. Tak lama, mereka berdua tertawa geli dan kembali saling menatap dengan malu-malu.

“Diajarin siapa yang barusan? Bang Off juga?”

Earth menggaruk-garuk kepalanya.

“Nggak sih, gimana pun gue kan tetep laki-laki Mik. Masa ciuman aja harus diajarin.”

“HEH.......”

Earth mendaratkan sebuah kecup lagi di puncak kepala Mix.

“Jadi kita pacaran kan?” Earth memastikan sekali lagi.

“Tergantung Bumbum mau apa ngga pake kostum Shaun the Sheepnya.”

“Kenapa jadi Bumbum sih...”

“Mau nggak? Demi Mik...” Mix menatap Earth lekat-lekat sambil menaik-turunkan alis sebelah kirinya, menggoda Earth.

“Hadehhhh..... nasib....”

-wjmmmy

Room 402 tag: earth-mix

Mix menoleh kaget ke arah pintu ketika ia mendengar suara gagang pintu yang dibuka dari luar, seorang lelaki tinggi dengan tubuh tegap muncul di sana, tersenyum ke arahnya.

Tunggu, kok mukanya familiar ya?

Lelaki itu mendekat dan duduk di sebelahnya dengan santai.

“Mix ya? Gue Earth. Hari ini kita mau ngapain?” Pria bernama Earth itu mendekatkan wajahnya ke arah Mix, sontak membuat pemuda kutu buku itu seketika panik.

“Tunggu... tunggu... emang kita harus langsung ngapa-ngapain??? Nggak bisa ngobrol aja dulu?”

“Bisa, cuma hari ini udah terhitung hari pertama, emangnya lo nggak merasa rugi kalo ngobrol doang? Nggak mau yang laen?”

“Yang laen???MAKSUDNYA???”

“Ya... belajar.... di sini ditulis lo mau belajar.” Earth membawa fotokopi lembar registrasi milik Mix di tangannya.

“Tunggu deh... kita pernah ketemu sebelumnya. Kita satu kampus.”

“Oh ya???” Earth mengamati wajah Mix sesaat.

“Nggak inget.” Lanjutnya.

“Coba perhatiin lagi deh, lo nggak inget muka gue?”

“Gue ketemu banyak orang dalam sehari, memori otak gue kayaknya udah menipis.”

“Gue... yang di teater.”

“OH.... LO YANG SALAH KURSI.”

“Iya hehehe, kebetulan lo yang jadi partner boy for rent gue.”

“Dunia sempit ya...” Earth tertawa kecil.

“EH LO BUKANNYA PUNYA PACAR??? EMANG PACAR LO GAK MARAH LO KERJA KAYA GINIAN????” Mix tiba-tiba menyadari suatu hal dan ia panik.

“Ya pasti marah, kalo dia tau.” Wajah Earth tiba-tiba berubah suram.

“Gue jadi gak enak sama lo...”

“Udah, ini konsekuensi dari kerjaan yang harus gue tanggung, sekarang nggak usah mikirin gue, harusnya kita mikirin dalam sepuluh hari gimana caranya ngajarin lo semua ini.”

“S-Semua ini??? A-Apa??”

“Ya ini... lo kira gampang bikin cowok yang lo suka itu balik suka sama lo?”

“Perasaan gue nggak nulis apa-apa tentang gue lagi naksir cowok.” Mix menggerutu pelan.

“Terus untuk apa lo nyewa gue??? Mau bikin hati siapa berdebar? Satpam kampus?”

Mix mengerucutkan bibirnya, merasa tertangkap basah.

“Siapa cowok itu?” Lanjut Earth.

“Gue harus kasih tau lo?”

“Ya harus lah, gue bakal ngajarin langkah pendekatan yang sesuai dengan si cowok yg lo taksir.”

“Gue malu bilangnya.” Mix menunduk sambil bermain-main dengan ujung kaosnya sendiri.

“Bilang aja siapa... anak kampus kita?”

“Iya....”

“Podd?”

“KOK LO TAU?????” Mix kaget setengah mati ketika Earth berhasil menebak lelaki yang dia sukai hanya dalam sekali coba.

“ANJIR GUE CUMA ASAL NEBAK.”

“Kenapa bisa pas??”

“Hal biasa sih anak-anak kampus kita pada naksir dia.”

Mix seketika lemas lagi, memikirkan peluangnya memenangkan hati Podd.

“Gue kayak ngga ada harapan ya??”

“Tenang, ada gue. Gue bakal bantuin dengan cara apapun.” Earth menepuk-nepuk bahu Mix.

“Thanks Earth, makasih udah jadi partner gue dan bikin suasananya jadi gak canggung di antara kita, jujur tadi gue takut banget bakalan awkward.”

“It's okay Mix, gue juga seneng karena partner gue bukan tante-tante atau om-om hehehe.”

“Lo pernah dapet partner kaya gitu?”

“Pernah, tapi cuma nemenin doang, nggak aneh-aneh ya. Rules di BFR kan no sexual service kecuali kalo sama-sama mau aja. Jadi jangan mikir kalo gue melayani jasa begituan ya...”

“Ehehehehe.” Mix meringis.

“Yaudah, berarti malem ini kita bahas mengenai Podd dan seberapa deketnya lo sama dia di tahap yang sekarang ini.”

“E-Earth... kalo besok aja bahasnya bisa ngga? Udah jam setengah sepuluh, bentar lagi dorm gue gerbangnya dikunci ehehehe...”

“Oh??? Oke deh kalo gitu, nanti gue kirim jadwal kosong gue jam berapa aja buat waktu mulai belajar kita. Anak baik jam segini emang udah waktunya pulang sih. Ayo...” Earth meraih telapak tangan Mix dan menggandengnya.

“Ayo?”

“Katanya mau pulang, gue anter.”

“Eh? Kayaknya lo nggak perlu anter deh.”

“Lo klien gue, gue akan menjamin keselamatan lo sampe dorm.”

“Ehehhe...oke deh, tapi...”

“Tapi apa?”

“Ini... harus gandengan juga?”

Earth menatap tangannya sendiri yang sedang menggandeng tangan kliennya.

“Nggak apa-apa kalo lo nggak mau.”

Earth melepaskan gandengannya pada tangan Mix. Mix meraih jaket Earth, menjadikannya pegangan sebagai gantinya. Takut ketinggalan langkah Earth yang lebar-lebar didukung oleh kaki jenjangnya.

“Earth... tungguin....”


Room 403 tag: podd-khao

“Lo lagi???” Ucap Khao ketika melihat Podd muncul di ruangan tempat ia menunggu partner Boy for Rentnya.

“Ngaku deh... lo tuh stalking gue ya?” Lanjutnya.

“Huh kepedean.”

Podd menyulut sebatang rokok yang sudah terselip di bibirnya, lalu menghembuskan kepulan asap pertamanya ke wajah Khao. Membuat Khao perlu mengibaskan tangannya kesana kemari di depan wajahnya dalam upaya menyingkirkan kepulan asap tidak sopan itu.

“Terus lo ngapain ke sini? Sekarang gue lagi nunggu orang, jadi lo mendingan pergi.”

“Orang mana lagi yang lo tunggu? Ini orangnya udah dateng.”

“Nggak usah ngaco. Sana pergi....” Khao menyeret Podd untuk keluar dari ruangan itu.

“Yaelah, nggak percaya? Telfon aja nih Off... tanya sendiri.”

Khao terhenyak mendengar nama Off disebut.

“Lo? Partner yang gue sewa...?”

“Heem...” Podd menganggukan kepalanya dengan yakin.

“Nggak-nggak... gue nggak mau... gue mau ganti partner.”

Podd meraih lengan Khao sebelum ia sempat meraih pegangan pintu.

“Lepasin tangan gue...”

“Gue pilihan terbaik yang lo punya, yang bisa bikin lo pengen selingkuh dari pacar lo.”

“Nggak, gue nggak mau, gue mau ganti partner lain.”

“Lo kira ganti partner segampang itu? Ada pinaltinya.” Podd melepaskan lengan Khao dan melanjutkan menyesap puntung rokoknya.

“Biar gue ngomong sama Off dulu.” Khao berkeras pada keputusannya.

“Gini deh, gue kasih penawaran menarik. Kalau dalam tiga hari gue nggak bisa bikin lo selingkuh dari pacar lo, gue refund seratus persen. Gimana?”

Khao terdiam, kali ini berfikir.

“Oke! Gue tunggu refundnya tiga hari lagi.” Khao tersenyum manis ke arah Podd, lalu bergerak meninggalkan ruangan itu.

“Hey...” Podd berhasil menyusulnya.

“Kita enaknya ngapain nih untuk membangkitkan jiwa pengen selingkuh lo?” Podd mengalungkan lengannya ke bahu lelaki yang lebih kecil itu.

“Nggak usah repot-repot, cukup refund uang gue aja tiga hari lagi ya.” Khao menyingkirkan lengan itu dari bahunya dalam sekali hentakan.

“Lo yang udah repot-repot ke sini, paling nggak biarin gue kerja lah.”

“Nggak perlu. Karena setelah gue tau orang-orang BFR tuh kaya lo, kayaknya keputusan bodoh buat gue make jasa kalian.”

“Off bakalan sedih denger omongan lo ini.....”

“Lagian gue pikir, gue cuma emosi sesaat aja. Gue nggak pengen-pengen amat selingkuh dari pacar gue. Jadi, siapin aja uang refund gue, okey?” Khao membuat gerakan seperti membersihkan kotoran di bahu Podd sambil menyunggingkan senyumnya.

Podd tertawa mengejek.

“Kita terikat kontrak tiga hari, gue gak akan semudah itu pergi dari hidup lo, manis.”

“Itu sih terserah lo, gue nggak peduli. Gue mau pulang, bye!”

Khao baru saja melangkahkan kakinya keluar dari lift di lantai satu bersama Podd yang terus mengekorinya, ketika dia seperti melihat sosok Earth di depan pintu lobby dengan motornya.

“Earth....???”

Khao yang tiba-tiba berlari ke arah pintu utama mengagetkan Podd dan juga orang-orang yang tidak tahu apa-apa yang tengah berlalu lalang di sana.

Khao yakin itu pacarnya, bahkan motor yang biasa ia kendarai pun sama. Sayang sekali dia tidak bisa menangkap basah Earth yang ternyata juga berada di tempat yang sama dengannya.

“Cowok lo?” Tanya Podd, kepo seperti biasanya.

Khao hanya melemparkan tatapan kesal ke arah Podd, membuat lelaki itu harus menahan tawanya karena walaupun Khao terlihat seperti lelaki mungil namun bocah ini siap untuk meninju kapan saja.

Segala macam pikiran buruk berkecamuk di benak Khao, mengenai apa yang tengah Earth lakukan di tempat hiburan malam sampai dia harus membohonginya seperti tadi sore. Terlebih lagi, Earth tidak sendirian. Dia bersama orang lain yang entah siapa.

“Masih nggak pengen-pengen amat selingkuh nih???” Podd meledek.

“Tugas pertama lo hari ini, anterin gue pulang sekarang.” Ucap Khao kemudian, sambil mengatur emosinya.

“Yakin mau pulang? Nggak mau mampir ke mana dulu gitu?”

“Cepetan, sebelum gue berubah pikiran.”

“Oke oke, gue ambil mobil, lo tunggu di lobby ya.”

Khao tidak tahu apa keputusannya membiarkan Podd mengantarnya pulang malam ini adalah keputusan yang tepat, tapi ia tidak peduli. Saat ini yang dia inginkan hanya buru-buru pulang dan meninju bantalnya, melampiaskan segala kemarahannya.

Boy for Rent part (2) Khao's POV

Khao berdiri terpaku di depan pintu utama sebuah bangunan yang terlihat seperti tempat hiburan malam khas kota Jakarta, gemerlapan dengan suara alunan jedag-jedug musik lamat-lamat terdengar dari dalam. Cukup ramai pengunjung berlalu-lalang mengunjungi Skies Blue Bar & Karaoke Lounge, begitulah nama yang terpampang besar-besar di salah satu sisi bangunan itu.

Tapi bukan Skies Blue Bar & Karaoke Lounge tempat yang Khao tuju saat ini, melainkan Boy for Rent Studio di lantai empat.

“Ini bukan ide bagus sih Khao, lo yakin mau coba?” Ucapan First satu jam yang lalu di Hive Bar seusai mereka manggung kembali membayangi ingatannya.

“Gue gak peduli itu ide bagus atau nggak, yang penting sekarang gue pengen ngasih pelajaran ke Earth, dikira dia doang yang bisa main-main.”

First menunjukkan flyer Boy for Rent di layar handphonenya.

“Lo kan gak tau mau selingkuh sama siapa, nah di situ nyewain cowok buat dipake apa aja, bebas.” Ujar First.

Ucapan First itu menghantuinya, apa perlu ia bertindak sejauh ini untuk membalas Earth?

Sejenak Khao ragu untuk melangkah masuk ke dalam dan hanya memandangi flyer itu dari layar handphone, tapi mengingat betapa kesalnya dia akan kebohongan pacarnya sore tadi, dia memantapkan hatinya.

“Boy for Rent...??? Untuk apa lo perlu itu? Kan lo punya pacar?” Suara seorang laki-laki mengagetkan Khao, membuat dia gelagapan menyimpan handphonenya ke saku celana.

“Lo.....??? Yang di teater?? Ngapain lo di sini??”

“Kan ini tempat umum, bebas dong gue mau ngapain di sini. Kalo lo?”

“Bukan urusan lo.” Ujar Khao, ia bergerak memasuki bangunan itu.

“Lo serius perlu jasa Boy for Rent?”

“Gue bilang bukan urusan lo.” Khao meninggalkan lelaki yang beberapa hari lalu tidak sengaja ia temui saat insiden salah kursi di teater.

Khao masuk ke lift dan segera menuju ke lantai empat, meninggalkan lelaki jangkung berkulit putih yang menatap ke arah pintu liftnya yang perlahan menutup itu, dengan penuh arti. ㅤ


“Kriteria laki-laki yang kamu inginkan cuma satu, lelaki paling mempesona di Boy for Rent yang bisa membuat seseorang ingin selingkuh dari pacarnya.” Off kembali dibuat keheranan ketika membaca lembar registrasi klien yang lagi-lagi ajaib hari ini.

Khao duduk dengan kalem di sofa di hadapan founder BFR itu.

“Nggak ada laki-laki koleksi kalian yang punya kriteria kaya gitu?” Tembak Khao.

“Eyyyy... jangan menganggap remeh BFR. Cuma heran kenapa kriteria klien hari ini unik-unik. Dengan tarif segini, mau sewa berapa hari?”

“Tiga hari.”

“Tiga hari doang?”

“Kenapa? Gak yakin ya bisa bikin gue pengen selingkuh dari pacar gue dalam tiga hari???”

Founder Boy for Rent itu menatap Khao sinis, tidak suka perusahaannya diremehkan.

“Oke...oke... tiga hari. Mike, tolong antar anak ini ke ruang sebelah sementara saya fokus memilihkan laki-laki mana yang bisa membuat dia selingkuh dari pacarnya dalam tiga hari.” Off memberikan penekanan di tiap katanya, menyindir Khao.

Khao diantar oleh lelaki bernama Mike menuju ruang sebelah untuk menunggu siapakah partner yang akan dipilihkan Off untuknya.

Boy for Rent part (I) Mix's POV

Boy for Rent Studio terletak di lantai empat sebuah bangunan bertingkat di bilangan Jakarta Selatan, tiga lantai di bawahnya difungsikan sebagai pusat hiburan seperti bar dan karaoke, serta klub malam. Berkamuflase diantara gemerlapnya tempat hiburan malam, di sanalah kantor utama jasa penyewaan lelaki itu bersarang.

Resepsionis BFR di lantai empat menatap Mix dari ujung kepala hingga ujung kaki ketika pemuda itu menyampaikan maksud kedatangannya ke sana untuk menggunakan jasa mereka.

“S-Saya punya uang kok...” Self defense yang Mix gunakan agar resepsionis ini tidak memandangnya sebelah mata.

“Mari saya antar ke ruangan.” Ucap resepsionis itu akhirnya.

Mix mengikuti si resepsionis berjalan melewati lorong demi lorong menuju ruangan yang dia maksud. Kantor ini terlihat mewah dan gemerlap, entah berapa omset yang dihasilkan oleh BFR per bulannya sehingga bisa membangun kantor semewah ini.

“SELAMAT DATANG DI BOY FOR RENT STUDIO.” Suara menggelegar seorang lelaki mengagetkan Mix ketika sebuah pintu besar di hadapannya mendadak terbuka.

Lelaki dengan setelan kemeja bermotif cerah yang dipadukan dengan jas hitam dan celana katun hitam merentangkan tangannya lebar-lebar menyambut kedatangan Mix.

“Saya Off Jumpol, founder sekaligus direktur utama Boy for Rent Studio. Silahkan duduk, ada yang bisa kami bantu?”

Mix duduk di sofa empuk di hadapan lelaki yang menyebut diri founder dan direktur utama ini.

“Saya mau menggunakan jasa Boy for Rent, Pak.”

“JANGAN PANGGIL BAPAK!”

“Eh- iya maksud saya Kak, Kak Off.”

“Silahkan isi form ini sesuai instruksi ya, BFR akan mempertemukan kamu dengan lelaki yang tepat sesuai dengan kriteria yang kamu mau.”

“Jadi saya nggak bisa milih sendiri ya Kak?”

“No...no...no.... karena kami yang paling tau karakter dari tiap laki-laki yang ada di BFR, tentu kamilah yang bisa memilihkan partner yang tepat untuk klien, silahkan diisi saja formnya, maka kami akan pilihkan orang yang sesuai dengan keinginan kamu.”

Mix menganggukan kepalanya dua kali, tanda mengerti. Sesaat kemudian dia sudah sibuk mengisi form yang Off maksud. Setelah selesai, ia mengembalikan lembaran itu pada Off.

“Tujuan menggunakan jasa Boy for Rent, untuk mengajari cara berpacaran. Oke... jangan khawatir, ini gampang.” Off membaca tulisan yang tertera pada lembaran kertas.

“Kriteria laki-laki yang diinginkan, yang mampu mengajari bagaimana cara membuat pasangan berdebar????” Off membaca salah satu poin dalam lembaran kertas yang paling menarik perhatiannya, lalu dia menatap Mix seolah bertanya serius nih?? yang direspon Mix dengan senyuman lebar di wajahnya, tanda kalau ia benar-benar serius.

“Kriteria nomor dua, harus memiliki pengalaman dalam hubungan percintaan paling sedikit dua tahun?” Off menatap Mix lagi, baru kali ini menemukan klien yang menuliskan kriteria ajaib seperti ini.

“Untuk apa ya?” Off keheranan usai membaca kriteria nomor dua yang ditulis Mix.

“Saya nggak percaya aja sama yang nggak punya pengalaman pacaran tapi mau ngajarin saya pacaran.”

“Kriteria yang unik.” Off berguman pelan.

“Tapi bisa kan dicarikan untuk saya?”

“Oh bisa dong. Sudah ada satu nama di otak saya yang cocok untuk memenuhi kriteria kamu. Segini tarifnya, mau kontrak dengan waktu berapa lama? Kami beri diskon tiga puluh persen khusus klien yang berulang tahun.” Off mengarahkan layar tabletnya ke hadapan Mix, menunjukkan angka nominal tarif Boy for Rent.

Mata Mix terbelalak melihat angka di layar tablet milik Off.

“Ini tarif per-hari khusus pelajar.” Ucap Off mantap sambil terus tersenyum sejak tadi hingga Mix khawatir kalau-kalau giginya akan mengering.

Mix sibuk mengkalkulasikan berapa budget yang ia punya.

“Saya sewa sepuluh hari.”

“Nice... waktu yang cukup lumayan untuk mengajari kamu bagaimana caranya membuat pasangan berdebar...” Off tiba-tiba bertepuk tangan meriah padahal tidak ada sesuatu yang perlu diberi tepuk.

“Setelah ini asisten saya akan mengantar kamu ke room sebelah, di sanalah kamu akan di pertemukan dengan lelaki yang tepat itu. Terima kasih sudah menggunakan jasa Boy for Rent, jangan lupa bayar tagihan kamu di pintu keluar.” Off menyudahi obrolan mereka, dengan gerakan berterima kasih setengah membungkuk.

Setelah itu, Mix diantar ke ruang sebelah dan dipersilakan untuk menunggu lelakinya di sana dengan perasaan dag dig dug yang tak menentu.

𝘾𝙚𝙧𝙞𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙏𝙚𝙧𝙩𝙪𝙠𝙖𝙧

Sebuah pertemuan itu selalu memiliki alasan, tidak akan pernah salah tempat, salah waktu, apalagi salah orang. Karena takdir tidak pernah tertukar, hanya ceritanya saja yang terkadang sukar.

Takdir terkadang memang lucu, ketika dua buah takdir sudah digariskan dengan demikian apiknya oleh yang maha mencipta, maka yang bisa dilakukan oleh manusia yang hanyalah seorang perencana ini, tentu saja menjalaninya tanpa curiga.

Pernah-kah kita berpikir tentang permainan macam apa yang sedang sang takdir otak-atik dalam sirkuit perjalanan hidup ini? Tidak. Sama halnya dengan Mix dan Khao sore itu, pukul empat sore lebihnya sepuluh menit, di depan lift hall teater Satya Ganesa.

Sebuah pertemuan singkat tak lebih dari lima menit yang telah membuat sang takdir iseng menukar salah satu bagian cerita dalam hidup mereka. Tanpa mereka sadari, ada tangan tak kasat mata yang sore itu memilih untuk sedikit bermain-main dengan mereka. ㅤ


ㅤ ㅤ

Lift Hall Teater 4.10 PM ㅤ

“Tunggu... tunggu... tunggu...” Sosok Mix Sahaphap dengan beberapa buku dalam gendongannya berlari tergesa-gesa ke arah lift sebelum pintunya menutup dengan sempurna.

Pintu lift yang sudah hampir sepenuhnya menutup itu terbuka kembali, seorang lelaki dengan setelan jeans dipadukan dengan kemeja putih dan paras imut itu berbaik hati menekan tombol open door untuknya.

“Lantai berapa?”

“Lantai 2 sama kaya lo....” Ucap Mix ketika melihat tanda merah sudah menyala di indikator lantai nomor dua.

“Makasih...!!!” Imbuh Mix sesudahnya.

Mix berterima kasih dengan sungguh-sungguh dan hanya dibalas dengan seyuman sekilas si lelaki imut.

Sore ini ia terlambat. Sesuai janjinya dengan Podd hari ini, pukul empat sore mereka sepakat untuk menonton pertunjukan teater bertajuk Beauty and The Beast karya klub teater kampus mereka. Sialnya, kelas linguistik yang harusnya berakhir pukul tiga sore molor sampai setengah empat, membuat Mix kerepotan ketika harus terburu-buru menuju hall teater usai kuliah. Padahal seharusnya ia bisa pulang dulu ke dormnya dan merapikan diri sebelum bertemu dengan Podd, crushnya.

Mix sedang kerepotan mengetik pesan untuk Podd di handphonenya sementara tangan kirinya menggendong modul dan kamus, ketika bunyi ting berbunyi, tanda mereka sudah tiba di lantai tujuan. Mix segera melangkah ke luar lift, menuju ke arah kanan dengan mata yang masih fokus mengetik pesan di handphone, tubuhnya seketika menabrak tubuh lain di hadapannya. Si imut berkemeja putih yang ternyata hendak menuju ke arah kiri lift.

“Aduh maaf... maaf gue ceroboh banget.” Mix tidak enak hati.

“Iya iya gak apa-apa.” Dia tidak terdengar kesal, tapi sangat jelas kalau ia sedang terburu-buru.

Si kemeja putih memungut sebuah buku dan tiket pertunjukan teater miliknya yang terjatuh dan buru-buru berlalu pergi.

Mix memukul kepalanya sendiri, kesal dengan hari ini. Kemudian ia memunguti buku-bukunya yang terjatuh, juga sebuah tiket pertunjukan teater miliknya. ㅤ


ㅤ ㅤ

Tag: earthmix Teater Hall, 4.20 PM ㅤ

Mix mengendap-endap menuju deretan kursi penonton dengan nomor sesuai yang tertera pada tiket pertunjukkan teater yang ia pegang. Ia bergerak sepelan mungkin karena takut menganggu penonton lain yang sedang menyimak pertunjukkan yang sudah berjalan dua puluh menit itu.

Dapat, sebuah kursi kosong di ujung sana pasti miliknya. Di sebelah pria tinggi tegap yang di tengah kegelapan lampu teater yang sudah padam terlihat samar-samar seperti Podd.

Mix berhasil mendudukkan bokongnya di sana dan bernafas lega.

“Kak Podd maaf banget tadi kelas aku molor selesainya, jadi nggak enak nih... aku yang ngajak malah aku yang telat.” Bisik Mix pada lelaki di sebelahnya.

Lelaki itu menoleh dengan paras bingung.

Mix terperanjat.

Siapa orang ini??? Dia bukan Kak Podd.

“Kayaknya lo salah kursi deh...” Bisik lelaki itu.

Mix memberikan tiketnya pada lelaki itu dengan raut 'kalo lo gak percaya cek aja tiketnya sendiri'

“Kayaknya lo deh yang salah kursi, yang di sebelah gue harusnya Kak Podd.” Mix tidak mau kalah.

Lelaki itu menatap kedua lembar tiket di tangannya.

“Tapi tiketnya bener, sesuai dengan tempat duduk kita sekarang. Harusnya yang duduk di sini juga pacar gue.”

“Hahhhh.......” Mix bingung, tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi.

Sssttt....” Lelaki di sebelah Mix meletakkan telunjuk di bibirnya, mengisyaratkan Mix untuk tenang.

Orang-orang di sekitar mereka mulai sinis memandangi dua orang yang membuat keributan di tengah pertunjukkan teater. Mix menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru hall, berharap dapat menangkap sosok Podd di tengah cahaya yang minim itu. Tentu saja hasilnya nihil.

Sementara lelaki di asing itu sudah tidak peduli tentang siapakah orang yang duduk di sebelahnya, apakah kekasihnya atau bukan. Mix dapat melihat manik kelam lelaki itu menatap lurus ke depan, menikmati tiap detail pertunjukkan yang sedang ditampilkan di depan sana, sembari menopangkan satu tangannya di dagu. Sesekali ia tertawa dengan humor yang disajikan dalam dialognya.

Pertunjukkannya di depan...” Lelaki itu kembali menatap Mix sambil menunjuk panggung.

Mix tersadar kalau sejak tadi ia sibuk menonton lelaki itu, bukan menonton teater.

Ah... iya...”

Akhirnya Mix memutuskan untuk fokus saja menonton karena tidak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang. Ia sudah mencoba mengirim pesan untuk Podd tapi tidak ada respon darinya.

Beberapa menit kemudian Mix sudah terhanyut dalam pertunjukkan teater yang sedang dipentaskan. Bahkan ia mengobrol asik dengan orang di sebelahnya mengenai plot cerita, tertawa bersama ketika ada adegan lucu, bahkan mata mereka berkaca-kaca bersama ketika tiba adegan mengharukan.

Mix tengah mengusap matanya yang mulai basah karena adegan sedih yang tengah di perankan dengan luwesnya oleh si pemeran utama ketika sebuah sapu tangan berwarna biru muda diulurkan ke arahnya.

“Sedih ya?”

Mix menatap si pemilik suara yang juga tampak berkaca-kaca sembari menganggukan kepala.

“Eh itu ingus lo...”

Mix buru-buru mengelap air mata dan ingusnya sekaligus dengan sapu tangan biru muda itu.

“Yah sapu tangan lo jadi kena ingus...” Mix baru sadar.

“Nggak apa-apa, simpen aja sapu tangannya buat lo.”

“M-Makasih...”

Mix dan lelaki asing yang bahkan ia tidak tahu siapa namany itu kembali larut menikmati setiap detik pentas pertunjukkan teater.

Lucu bukan?

Yang Mix rencanakan adalah menonton teater romantis bersama Podd, kakak tingkat yang selama ini ia sukai, tapi kesialannya hari ini datang bertubi-tubi, entah bagaimana ia berakhir menonton teater dengan sesosok lelaki yang entah siapa ini.

Herannya, Mix merasa hari ini tidak buruk-buruk amat. Paling tidak ia bertemu seseorang yang asik untuk diajak bertukar tangis dan tawa selama seratus dua puluh menit pertunjukkan dan Mix menikmatinya, walau lelaki itu bukan Podd.


tag: poddkhao Teater Hall, 4.20 PM ㅤ

“Lo siapa?”

Kalimat pertama yang lolos dari belah bibir Khao ketika mendapati lelaki asing duduk di kursi yang seharusnya milik Earth, di sebelah kursi miliknya.

Lelaki itu menoleh.

Dalam keremangan Khao dapat melihat jelas lelaki jangkung berkulit putih ini bukan pacarnya.

“Maksud lo, gue?” Lelaki itu balik bertanya.

“Iyalah lo, gue ngomong sama lo.”

“Gue... Podd...”

Khao menghela nafas, lelah.

“Maksud gue lo siapa itu bukan gue pengen tau nama lo.”

“Ya terus maksudnya apa? Gue gak ngerti.”

“Lo duduk di kursi pacar gue.”

“Hah???” Podd semakin bingung.

“SSSTTTTTT.....” Beberapa pasang mata menatap mereka dengan galak.

“Maaf mas bisa tolong duduk? Yang sebelah sini nggak keliatan...” Tegur seseorang di dekat mereka.

Khao dengan kesal terpaksa berjalan melewati Podd untuk mencapai kursi kosong di sebelah lelaki itu, sialnya kakinya tersandung benda yang entah apa itu di bawah sana dan membuatnya jatuh terduduk di pangkuan Podd. Khao bisa mendengar Podd menahan tawanya. Wajah Khao memerah mendapati posisi duduk mereka saat ini, untungnya minimnya pencahayaan membantunya menyembunyikan fakta bawah pipinya merona.

“Duduknya di kursi, jangan di pangkuan gue.” Bisik Podd di telinga Khao, membuat bulu-bulu halus di sekitar lehernya meremang.

Khao mencoba berdiri, tapi lengan kokoh Podd menlingkari pinggangnya.

“Lepasin atau gue teriak...” Khao melotot ke arah Podd.

Lelaki itu tertawa kecil dan mengengendurkan lengan dari pinggang ramping miliknya yang ia respon dengan aksi buru-buru untuk segera duduk di kursinya sendiri.

Khao mencoba menghubungi Earth, tapi tidak ada jawaban. Ia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi sembari memejamkan matanya. Memutuskan untuk tidur saja di sini. Ia kesal.

“Pacar lo nggak bales?” Tanya Podd dari sebelahnya.

Khao diam. Tidak mood untuk menjawab.

“Kok lo malah tidur bukannya nonton?” Podd kepo.

“Lo bisa diem nggak? Lo mau nonton teater apa mau ngomentarin hidup gue?”

Podd tertawa, terbahak. Baru kali ini dia diperlakukan seperti ini, biasanya orang-orang selalu memujanya, bahkan berlomba-lomba untuk dekat dengannya.

Podd pikir, ini lucu.

“Jangan nanya-nanya gue lagi, gue mau tidur.”

Podd mengangguk-anggukan kepalanya, mengerti.

Tak lama suara dengkur halus terdengar dari sisi sebelah kirinya, Khao sudah terlelap. Podd tertawa sendiri ketika akhirnya ia menoleh lagi, menatap sosok manusia yang presensinya sejak tadi terasa mengganggu fokusnya. Ia menatap wajah yang tengah terlelap itu, hawa mengantuk mulai turut merayapinya dan membuatnya menguap satu kali.

Teater hall, tempat yang sepertinya nyaman untuk tidur ya?

Matanya mulai berat, ia memejamkan mata dan tak berapa lama berselang, ikut terlelap.

Seratus dua puluh menit mereka berdua habiskan dengan terlelap saling bersisian di salah satu sudut teater hall, dalam redup dan minimnya cahaya temaram yang memayungi kedua sosok anak manusia ini. ㅤ


ㅤ ㅤ

Teater hall, pintu utama. 6.15 PM ㅤ

Podd terbangun ketika cahaya lampu-lampu kuning mulai terasa menyoroti wajahnya. Pertunjukkan sudah selesai. Sebagian besar penonton sudah meninggalkan kursi mereka, menyisakan beberapa gelintir orang yang masih di tempatnya, sekedar untuk berfoto atau karena malas berdesak-desakkan di pintu keluar.

Kursi sebelahnya sudah kosong.

Podd buru-buru beranjak dari kursinya dan bergerak ke luar hall sambil matanya mencari-cari sosok lelaki yang tadi duduk di sebelahnya. Hingga sampai di pintu utama hall teater, seseorang menepuk pundaknya.

Eh Mix...”

Ternyata Mix.

“Kak Podd maaf banget tadi aku nggak tau gimana ceritanya tiketnya bisa ketuker sama orang.” Mix memasang mimik penuh penyesalan.

“Pantes aja tadi orang lain yang duduk di sebelah gue.”

“Maaf banget kak.”

“Nggak perlu minta maaf, nggak apa-apa kok.”

“Ini kakak lagi nyari siapa?”

“Nyari siapa....??? Ehh nyari kamu lah hehe. Kirain kamu ilang ke mana.”

Mix lemas memikirkan dirinya yang kehilangan kesempatan untuk menikmati suasana romantis teater date dengan pujaan hatinya.

“Udah jangan sedih, mau ke mana sekarang? Laper nggak?” Podd mengusak kepala Mix, membuat energi dan semangatnya kembali bangkit.

“Mau mau mau, ayo makan Kak...”


ㅤ ㅤ

Mix's dorm 8. 30 PM ㅤ

“Makasih udah nganterin pulang Kak.” Ucap Mix sopan ketika malam itu mobil Podd berhenti di depan dormnya, mengantarnya pulang usai menonton teater dan makan malam.

“Sama-sama, makasih juga udah ngajak gue nonton dan makasih buat catatan untuk liputan beritanya.” Podd menunjuk notebook milik Mix yang berisi liputan berita mengenai pertunjukkan teater yang baru saja mereka tonton.

“Nanti kalo udah selesai aku e-mail ke kakak ya liputannya.”

Podd tersenyum dan mengangguk.

“Umm Kak.... sebenernya ada hal yang pengen aku omongin.” Ujar Mix hati-hati.

“Iya? Ngomong aja Mix.”

“Sebenernya..... e... sebenernya...” Mix menunduk, tidak berani menatap Podd.

“Sebenernya apa?”

Dengan mengerahkan seluruh keberanian, Mix mendekatkan wajahnya ke arah Podd dan mengecup bibirnya, membuat Podd membeku di balik kemudi setir. Ciuman itu ringan dan plain. Tidak seperti kebanyakan ciuman yang pernah Podd rasakan sebelumnya. Podd berani jamin bahwa yang barusan ini pasti ciuman pertama milik Mix.

“Sebenernya selama ini aku suka sama Kak Podd, kakak mau nggak kalo pacaran sama aku?” Ucap Mix penuh harap.

Podd menatap Mix.

“Mix, i don't see you in that way, sorry.”

“Ini bukan karena lo nggak menarik atau karena lo bukan tipe gue ya Mix, jangan berfikiran kaya gitu.” Imbuh Podd kemudian.

“Nggak apa-apa kak, aku ngerti, paling nggak aku udah ngasih tau kakak gimana perasaanku.”

Podd meraih tangan Mix dan meletakkannya di dadanya.

“Gue nggak ngerasain itu dari lo Mix, jantung gue gak berdebar sebagaimana orang jatuh cinta bahkan saat lo cium gue tadi. Beda kan sama punya lo...” Podd mengarahkan telapak tangan Mix untuk merasakan degup jantungnya sendiri yang tidak karuan di dalam sana.

Betul, Podd tidak merasakan hal yang sama dengannya.

“Kalau suatu saat aku bisa bikin kakak berdebar, kakak mau jadi pacarku?”

Podd tersenyum mendengar penuturan polos dari adik tingkatnya ini.

“Boleh.” Ucap Podd mantap.

“Oke!!! Aku bakalan berusaha biar Kak Podd bisa suka sama aku.” Mix kembali bersemangat, matanya berapi-api penuh tekad.

Tekadnya yang baru, untuk meluluhkan hati Podd.