Hive Bar, 9.30 PM Tag: podd-khao
Khao mengisi gelasnya yang sudah kosong dengan bir dari botol ketiganya malam itu, bersiap untuk meneguk kembali minumannya, ketika seseorang tiba-tiba muncul menahan tangannya. Khao menggeram marah.
“Lepasin tangan gue, gue mau minum.”
“Lo udah minum 2 botol.”
“Gue masih mau minum...” Mendadak ekspresi Khao berubah sedih.
“Lo siapa???” Khao mengerjap-erjapkan matanya yang mulai berkabut, menatap sosok orang yang baru saja datang ke hadapannya ini.
“Gue Podd.”
“Haaah Podd??? Oiya lo Podd... cowok yang mau gue sewa. Hehehe mau gue bayar berapa lo ayo sebut....tas gue??? Mana tas gue....?” Khao celingukan mencari tasnya yang sejak tadi ada di meja bar, di sebelahnya.
“Ayo pulang, gue anterin.”
“Haaah pulang??? Gue nggak mau pulang, gue mau minum.” Khao meraih kembali gelas bir yang tidak jadi ia minum tadi.
Tapi tangan Podd bergerak lebih cepat, ia meraih gelas itu lebih dulu dan menenggak habis isinya.
“Minuman gue!!!” Khao menatap Podd dengan marah.
“Khao denger gue, lo udah mabok, ayo kita pulang aja.” Podd memapah tubuh Khao yang sudah kehilangan keseimbangan itu.
“NGGAK!! NGGAK MAU PULANG.”
Tidak peduli dengan ocehan Khao, Podd memapah tubuh lelaki itu sampai ke mobilnya. Khao terus meracau tentang kisah cintanya dengan kekasihnya yang kandas di tengah jalan.
Podd hanya diam di balik kemudi setir usai menghidupkan mesin mobilnya, sementara Khao yang mabuk di sebelahnya kini tak lagi berusaha menyembunyikan tangisnya.
“Gue nggak mau putus... tapi gue capek, selama ini kayak cuma gue yang berjuang buat hubungan itu, selalu gue yang disuruh sabar, sedangkan dia?? Gue nggak tau apa yang dia kerjain selama ini.....” Kalimat-kalimat yang bisa Podd tangkap di sela-sela isak tangis Khao.
Podd melemparkan pandangannya ke arah luar, area sekitar mobilnya terparkir, mencoba tidak menatap ke arah Khao yang masih melanjutkan tangisnya itu. Tangannya mengulurkan berlembar-lembar tissue yang langsung ia taruh begitu saja ke pangkuan Khao.
Podd paling tidak bisa melihat orang menangis. Suara tangisan seringkali membangkitkan kenangan-kenangan lama yang selama ini ia simpan rapat-rapat dalam suatu kotak terkunci dalam benaknya. Itulah salah satu alasan kenapa dia selalu bersikap baik kepada siapa saja, termasuk orang-orang yang menyukainya selama ini. Sikapnya itulah yang seringkali disalahartikan sebagai pemberi harapan palsu. Ia hanya takut melukai orang-orang itu dan akhirnya membuat mereka menangis.
Demi Khao, dia menahannya dan berusaha mengatasi suara dengungan bak ribuan lebah yang berkumpul di lubang telinganya.
“Pulang ya???” Podd menawarkan kepada Khao untuk kesekian kalinya.
“Nggak!!! Bawa gue pergi yang jauhhhh... yang jauhhh jauhhhh nggak mau pulang lagi ke sini.”
“Ke mana?”
“Ke Amerika.”
“Jauh amat.” Gerutu Podd.
“Ayo cepet jalan... kita ke Amerika.”
Podd geleng-geleng kepala melihat tingkah lelaki mabuk satu ini.
“Oke, gue ajak lo ke tempat yang jauhhhhh tapi lo diem, jangan nangis lagi.”
“Siapa yang nangis?? Gak ada yang nangis. Gue nggak nangis. Ngapain gue nangis.”
“Nambah ngeselin lo ya kalo mabok.”
“Iya, emang ngeselin tuh orang.”
“Elooooo....”
“Hoeek.....” Khao menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“JANGAN. JANGAN MUNTAH SEKARANG, AYOK TURUN.”
“HOEEEEK......”
Sedikit beruntung, Podd berhasil menyeret Khao keluar dari mobilnya sebelum lelaki itu memuntahkan isi perutnya di sana. ㅤ
— ㅤ
Tanjung Lesung 6 AM
Khao merentangkan tangannya lebar-lebar dan mengeliat, dilanjut dengan menguap satu kali sebelum ia benar-benar membuka matanya dan melihat apa yang ada di hadapannya.
“HAAAAAH... INI DI MANA??”
Ia terlonjak dari tempat duduknya ketika melihat hamparan laut lepas di depan sana.
“Podd... kita di mana??? Lo bawa gue ke mana???” Khao mencoba membangunkan Podd yang tertidur sambil mengenakan sunglasses di kursi kemudi.
Lelaki itu terbangun.
“Jawab gue, kita di mana?”
“Tanjung Lesung.”
“KENAPA LO BAWA GUE PERGI SEJAUH INI???”
“Lah nggak inget ya semalem lo malah minta bawa ke Amerika.”
“Jangan ngarang!!”
“Yaelah buat apa juga gue ngarang. Gue nyetirin lo jauh-jauh ke sini juga karena lo ngelindur bilang pengen ke pantai.”
Khao menatap Podd dengan tatapan tidak percaya.
“Lo pasti ngarang.”
“Tau ah, mendingan ayo kita liat sunrise.”
“BENTAAAR.....” Khao tiba-tiba mencekal lengan Podd yang sudah bersiap-siap keluar dari mobil.
“Kenapa lagi?”
“BAJU GUE?!?!?! KENAPA GUE PAKE BAJU INI?? KEMANA BAJU GUE?? LO APAIN GUE???” Khao histeris mendapati dirinya sudah tidak memakai pakaian yang ia kenakan tadi malam.
“Ssst... sst... sst.” Podd meletakkan telunjuknya di bibir Khao, membuat lelaki itu terdiam.
“Masih pagi kenapa sih udah bikin polusi suara?? Santai aja ngomongnya.” Ujar Podd.
“Gimana gue bisa santai sekarang?? Kenapa gue tiba-tiba ganti baju?? Lo gak ngapa-ngapain gue kan pas gue tidur???”
“Apa enaknya ngapa-ngapain orang pas orangnya gak sadar sih???”
“Mana gue tau. Kembaliin baju gue!”
“Noh baju lo.” Podd menunjuk kantong plastik hitam yang terbungkus rapat di dekat kaki Khao.
Dengan santainya, Khao membuka buntalan plastik hitam itu.
“INI APAAN?”
“Baju lo lah.”
“Kenapa kaya gini??? Ini apaan sih.... duh bau.”
Podd memilih diam saja, tidak menjawab. Sampai Khao menyadari sesuatu.
“Gue... muntah?”
“Banyak......”
Khao buru-buru membungkus kembali kantong plastik hitam itu rapat-rapat dan melemparkannya ke kursi belakang mobil.
“Terus... lo gantiin baju gue?”
“Iyalah, lo mau semaleman pake baju kena muntah? Untung gue selalu ada spare baju di mobil.”
“M-Makasih...” Ucap Khao beberapa saat kemudian setelah berhasil menyembuhkan shock.
“Hah apa? Nggak denger?”
“Makasih, budeg!!!”
Khao buru-buru turun dari mobil dan belari menyambut pantai di hadapannya. Podd yang menyaksikan bocah itu berlari-lari kegirangan ke arah pantai hanya tersenyum memandangi punggung itu, tak lama Podd menyusulnya. ㅤ
— ㅤ
Kurang lebih dua jam dua anak manusia ini bermain-main di sekitar pantai, sejak fajar baru saja menyingsing hingga kini mulai bergerak naik. Khao sudah berenang, bermain air, bermain pasir, bersama Podd pagi itu hingga kelelahan. Mereka merebahkan diri di hamparan pasir di tepian pantai, ombak kecil-kecil mencapai kaki mereka dan terasa menggelitik di sana. Podd masih memakai sunglassesnya sementara Khao meringis menahan silau cahaya matahari menusuk matanya. Ia tengah berusaha menutupi wajah dengan tangannya ketika telapak tangan besar lain, milik Podd mengambil alih pekerjaan itu untuknya.
Podd mengulurkan tangan dan memempatkannya tepat di atas wajah Khao, ia menjadikan tangannya sebagai tameng untuk menghalau sinar matahari dari wajah lelaki yang lebih kecil. Khao hanya tersenyum samar menyaksikan tingkah manis ini.
“Kenapa lo sampe ngigo pengen ke pantai?”
“Nggak tau ya, kayaknya karena terakhir kali gue ke pantai tuh pas SMA kelas 1 deh. Gue suka pantai, tapi nggak pernah punya temen buat diajak ke pantai.”
“Cowok lo?”
“Dia lebih suka gunung. Jadi gue lebih sering ikut dia naik gunung.”
Podd mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
“Makasih ya Podd, udah ngajak gue ke sini. Gue happy dan ngerasa fresh banget abis nyebur.” Khao terdengar sangat tulus ketika mengatakan itu, membuat hati Podd menghangat.
“It's okay, gue juga butuh piknik.”
“Maaf juga kalo selama ini gue jahat dan jutek sama lo, padahal mungkin lo nggak seburuk yang gue pikirin.”
“Belum tentu ya, siapa tau abis ini gue ngapa-ngapain lo.”
“PODD...!!!!”
“Laper nggak? Gue laper nih, yuk cari makan.”
“Basah-basah kaya gini?”
“Ya mandi dulu lah. Sama ganti baju.”
“Di mana?”
“Resort.” Podd menunjuk deretan cottage dan bangunan, juga area berumput tempat Podd memarkir mobilnya yang sejak tadi luput dari perhatian Khao.
“Mandi doang ke resort? Ngga ada kamar mandi umum?” ㅤ
— ㅤ
Podd berjalan memasuki resort dengan santai, diikuti Khao yang jauh ketinggalan di belakangnya karena asik melihat-lihat kesana kemari. Beberapa karyawan resort yang lewat menyapa mereka dengan ramah, menganggukan kepala dan tersenyum. Khao sedikit heran, apakah biasanya karyawan resort memang seramah ini pada pengunjung?
Khao akhirnya berhasil menyusul Podd di meja resepsionis. Pemuda tinggi besar itu tampak bicara sebentar dengan resepsionis dan kemudian mendapatkan kunci kamar untuk mereka.
“Ayo.” Ujar Podd pada Khao yang masih bingung.
Sepanjang perjalanan menuju kamar, Khao semakin keheranan. Beberapa karyawan yang pagi itu tengah bekerja seketika tampak kaget melihat kehadirannya dan Podd. Mereka menghentikan pekerjaanya hanya untuk menyapa dengan sopan, tapi Podd acuh tak acuh saja.
Seorang pria yang tampak seperti manajer hotel menghampiri mereka berdua dengan panik.
“Mas Podd, kenapa tidak telepon dulu kalau mau datang? Biar saya minta room boy bersihkan cottagenya dan mengganti seprai dengan yang baru.”
“Oh nggak perlu repot-repot Pak, ini juga mendadak cuma mau mandi aja, mungkin nggak menginap.”
“Mari saya antar Mas.”
“Nggak usah Pak, bapak lanjutin aja kerjaan Bapak, saya bisa sendiri kok.”
“Baik Mas, kalau butuh apa-apa bisa langsung hubungi saya atau resepsionis ya Mas.”
“Makasih Pak.”
Sepeninggal manajer resort itu, Khao mencibir ke arah Podd.
“Lo sering ke sini ya?”
“Hmm lumayan.”
“Pantesan...”
“Pantesan....?? Apa?”
“Gaya lo kaya yang punya resort.”
“Emang ini resort punya keluarga gue...”
“Hah?!?!?!!!”
Pantas saja, Khao merasa aneh kenapa semua karyawan di sini super ramah menyapa mereka. Ternyata...
“Gue baru ngeh lo tajir.”
“Padahal lo bolak-balik naik bmw.”
Khao diam, dalam hati berkata, iya juga ya. Selama ini Khao tidak pernah menaruh perhatian pada lelaki yang belakangan ini mondar-mandir mengganggu hidupnya, sehingga hal teramat jelas seperti fakta bahwa selama ini Podd mengendarai mobil seharga satu miliar itu pun luput dari perhatiannya.
“Terus lo ngapain kerja di bfr?”
“Gue nggak kerja di sana.”
“Terus???”
“Gue bantuin Off aja.”
Khao menatap Podd curiga.
“Udah sana mandi duluan, apa mau barengan?” Ujar Podd, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“MIMPI AJA SANA LO.” Jawab Khao galak, buru-buru angkat kaki dari hadapan Podd. ㅤ
— ㅤ
Makan siang mereka disiapkan oleh pihak resort dengan view pantai dan birunya laut dengan ombaknya yang berdebur jauh di lepas pantai sana. Senyuman terus-menerus terulas di wajah Khao hari ini, hal langka yang tidak pernah Podd lihat dalam diri lelaki itu sebelumnya. Khao yang selama ini Podd tahu adalah Khao yang selalu membangun jarak sejauh-jauhnya darinya, tapi Khao yang sekarang ini ada di depannya berbeda. Jangan tanya bagaimana pendapat Podd, dia sangat menyukai Khao dengan versi yang ini. Khao dengan senyuman menghiasi wajahnya.
Podd mengupas kulit lobster bakar- menu utama mereka siang ini- lalu meletakkanya di piring Khao.
“Thank you.” Khao langsung semangat melahapnya.
“Lo lagi good mood ya? Senyum mulu.” Podd penasaran.
“Good place makes good mood. Ya nggak sih?”
“Good person with too.”
“Maybe...” Khao tidak semudah itu mengiyakan.
“Lo beneran se-suka itu ya sama pantai?”
“SE-SUKA ITUUUUU.”
Khao memejamkan matanya sejenak dan menghirup aroma laut. Seketika segala beban dan permasalahan dalam hidupnya terasa lebih ringan dan ia memiliki kepercayaan diri untuk mengatasi dan melawannya.
“Kalo lo?” Khao balik bertanya.
“Gue...?”
“Heem, lo bilang lumayan sering ke sini? Lo suka pantai juga?”
Podd menggeleng.
“Gue ke sini kalo gue kesepian.”
Khao mencibir.
“Oh... berapa banyak orang yang udah lo bawa ke sini buat nemenin lo yang kesepian???”
Podd mengangkat sebelah alisnya, mendengar pertanyaan itu.
“Lo yang pertama dan gue nemenin lo yang kesepian, bukan sebaliknya.”
“Gue nggak kesepian!!”
Podd melemparkan pandangannya ke laut lepas.
“Nyokap gue yang suka banget pantai, makanya bokap bikin resort ini. Waktu gue kecil, kita bertiga sering banget ngabisin weekend dan liburan di sini.”
“Sekarang nggak pernah lagi?”
“Nyokap gue meninggal, udah lama waktu gue kelas 2 SMP dan abunya di buang di laut ini... makanya gue selalu ke sini tiap gue kesepian dan kangen nyokap.”
Podd terlihat santai menceritakannya. Sebaliknya, wajah Khao yang terlihat ingin menangis mendengarnya. Tidak menyangka, lelaki seperti Podd memiliki sisi melankolis juga.
“Kenapa muka lo kaya gitu???” Podd heran menatap wajah simpati Khao untuknya.
“Semangat ya Podd. Ini lobster buat lo.” Khao memberikan setengah potongan lobster di piringnya ke piring Podd.
Podd tersenyum ke arah lelaki yang lebih muda itu.
“Kayaknya setelah ini gue bakalan jarang ke sini.” Ujar Podd tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Karena kalo gue kesepian, gue bakal nyari lo aja... nggak perlu jauh-jauh ke sini liat laut.”
Lagi-lagi, Podd mengucapkannya dengan santai sambil menyantap lobsternya, tanpa tahu bahwa sosok yang diajaknya bicara kini tengah tersipu dan merona.
“Khao??”
“Ah- iya???”
“Lo alergi seafood? Kok pipi lo merah?” Podd tersenyum mengejek.
“DIEM DEH LO. Makan aja tuh lobster!!”