rymafein

place to reveal myself

bermuda (bbangmil;jumil) with girl!mil🔞

Nasib punya Ibu Kos berstatus MILF, Juyeon dan Younghoon berkesempatan mencicipi tubuh istri pemilik kosan yang ditinggal sendirian

Warning : girl!mil; tidak bermoral; noname kena wb karena first time bikin bermuda; apakah ini bisa dikatakan hot n spicy?; non baku; just... read it

.

.

.

Akhir-akhir ini Juyeon merasa ibu kosnya yang tinggal di bawah sering melakukan hal-hal aneh semenjak suaminya pergi dinas. Seperti sekarang, ia menangkap basah beliau sedang menyiram bunga sambil mengenakan lingerie, dimana pentil kecokelatan tersebut menyembul untuk mengalahkan eksistensi sang pemilik sendiri.

“Mau berangkat, Juy?” tanya wanita itu mengulas senyum manis, Juyeon mengerjap-ngerjapkan mata sembari mengangguk kikuk. Tak lupa mengarahkan pandangan tepat di manik rusa nan bulat tersebut. Supaya nggak kelihatan sedang menatapi pameran gratis.

“I-iya Bu,”

“Hati-hati yaa..”

Pesan singkat yang tidak berarti bagi Hyunjae namun sangat membekas di sepanjang perjalanan Juyeon menuju kampus. Jangan lupakan juga bayangan-bayangan dua puting mencuat bergerak kecil-kecilan saat empunya berbicara.

What a skill she has.

Shit. Nggak lucu dia sange pas di kelas cuman gara-gara salah fokus sama ibu kos tadi pagi.

“Bang, lu ketemu Bu Hyunjae nggak?”

Teman seperjuangan, kakak tingkat beda jurusan, helat sebelah kamar, Kim Younghoon menolehkan kepala begitu adik sejangkung dirinya muncul di balik ambang pintu kamar terbuka.

“Hm?”

Juyeon celingak-celinguk sebentar, barangkali ada penghuni kosan lain yang nggak sengaja mendengar pertanyaan absurd tersebut. Memastikan aman barulah ia melanjutkan, “Tadi pagi lu ketemu Bu Hyunjae nggak?”

“Kagak, mang napa?”

Cowok rambut cepak itu berdecak kecewa karena tidak senasib, “Masa gue pas turun ke bawah lihat dia pake baju dinas malam sambil nyiram bunga,” jawabnya setengah berbisik, supaya tidak ada yang berburuk sangka. Alis Younghoon naik satu.

“Baju dinas?”

“Iya, lingerie.”

“Oalah, gue kira baju apa, ya terus?”

“Pentilnya keliatan, Bang!” desis Juyeon tertahan, wajah memerah bak kepiting rebus, pada akhirnya menyusup ke kamar seraya menutup pintu. “gue salpok anjir!”

“Bini orang, Ju,” sahut Younghoon kembali berkonsentrasi membaca modul perkuliahan kembali, seakan kepanikan sang adik tingkat tidak begitu penting dibanding kuis dadakan nanti, “lagian lu mau ngapain kalo pentilnya keliatan? Anggap aja rezeki,”

“Rezeki apanya kalau nggak bisa diapa-apain,” gerutu Juyeon kemudian menyerah sebab tampak sekali tidak diacuhkan, Younghoon hanya membalasnya dengan tawa kecil begitu pemuda lain angkat kaki ke kamar seorang.

Ada-ada aja si Juyeon.

***

Keesokan harinya, Juyeon diterpa kejadian serupa, kali ini ibu kosnya ditemukan memotong sesuatu pada tangkai tanaman yang dipelihara dengan sebatang rokok tipis di antara belahan bibir nan tipis namun sayang sekali menggoda iman, termasuk dia. Jangan lupakan baju mandi sepaha berbahan satin warna putih tulang, kontras sama kulit beliau.

Juyeon sebisa mungkin mengabaikan, takut banget salpok kayak kemarin. Akan tetapi Dewi Fortuna menguji keberuntungannya, secara tak kasat mata menyuruh Hyunjae mengetahui keberadaan yang tengah berdiri di samping motor sembari memasang earphone.

“Eh? Berangkat pagi, Ju?”

Mau tidak mau, suka tidak suka, lelaki rambut hitam lebat tersebut menoleh ke belakang, terkesiap sejenak tanpa sadar menegak saliva begitu pandangan tak sengaja mendarat ke belahan dada wanita yang menegur.

“Juyeon??”

“Ha? Oh! Oh iya Bu, dapet kelas pagi,” sialan si Hyunjae, memangnya nggak dingin apa, pakai baju begituan keluar rumah? Kalau diserang orang gimana coba? Terlebih suaminya belum pulang dan anak-anak kos cowok selalu berlalu-lalang.

Hyunjae tersenyum kecil, “Oyasudah kalau gitu hati-hati ya!” Juyeon belum sempat menjawab lantaran menggigit bibir menahan napas saat ibu kosnya menjatuhkan sesuatu ke belakang tepatnya di lantai yang mengharuskannya menungging untuk mengambil. Jika tadi dia mendapat belahan dada, maka sekarang dia ketiban paha dalam mulus bagai tak pernah dijamah.

Aaaahhhh! Younghoon pasti tidak akan percaya apa yang sudah dia lihat selama dua hari berturut-turut. Tergesa-gesa mahasiswa Teknik Sipil tersebut menaiki kendaraan roda dua dan segera tancap gas daripada ketangkapan ngaceng sesudah diberi persembahan gratis dari ibu kosnya.

“Bang, bang!”

“Opo?”

“Bu Hyunjae berulah lagi, Bang.”

Younghoon tuh sebenarnya nggak peduli ya, karena dia tipikal cowok-cowok cuek sama lingkungan sekitar, dia tidak terlalu mengenal Hyunjae, bahkan meminimalisir interaksi dengan wanita cantik itu. Namun semenjak Juyeon ngomongin hal menggelikan yang dialaminya sepekan terakhir, Younghoon jadi aneh sendiri setiap berpapasan sama Hyunjae.

“Ngapain lagi beliau?”

Juyeon terlihat ragu-ragu, dapat dilihat sekilas dari pergerakan jakun penanda penelanan, “Motongin tangkai bunga sambil ngerokok,”

“Ohhh..”

“Ish Bang, dia pakai baju mandi tau!”

“Juyeon, sekali lagi gue kasih tau, lu nggak bisa berbuat apa-apa selain dinikmatin,” jawab Younghoon sembari geleng-geleng kepala, prihatin sama efek samping dari pakaian ibu Kos yang menimpa akal sehat adiknya sekarang.

“Tapi gue nggak mau sange, Bang!”

Then don't do it,”

“Gue doain lo kena batunya biar ngerasain sendiri,” sahut Juyeon keki gara-gara tidak dikasihani. Younghoon hanya mencebik, tak begitu ambil pusing.

Trust me, beliau cuman bosen karena suaminya nggak ada di rumah, mungkin cari perhatian sama lo, soalnya gue sendiri pun nggak pernah ketemu beliau semi telanjang, selalu rapi kayak mau kondangan.”

Ralat. Younghoon musti menarik ucapan tadi malam.

Wanita yang dia bicarakan bersama Juyeon kini tengah menjemur pakaian di halaman teras, bertepatan di sebelah garasi yang selalu dipakai penghuni rumah dan kosan. Hyunjae bersenandung riang sesekali menggoyangkan pinggul saat menarik kain basah di ember, merentangkan di atas tali.

Sialan. Juyeon benar. Dan Younghoon tergagu di pijakan kaki sesudah manik menangkap celana pendek -too short sampai dia bisa lihat pipi pantat seputih susu yang montok- bergoyang-goyang mengikuti irama pemiliknya.

Oke, Kim Younghoon cepat pergi sebelum si wanita sadar. Buru-buru kaki panjang segera digerakkan menuju motor kesayangan, mungkin seretan langkahnya terdengar di telinga Hyunjae sehingga wanita rambut cokelat tergelung itu menoleh ke arahnya.

“Hai Younghoon!”

Woaaahh double kill. Sudah dipamerin pantat, kini Younghoon disuguhi belahan yang terlalu turun serta dua puting cokelat di balik tanktop tipis berwarna putih. Material penopang gunung kembar seakan berteriak minta tolong kepadanya karena tidak sanggup menumpu kelenjar lemak yang cukup besar tersebut.

“Hai.. Bu..” untung masih bisa jawab walau terbata-bata, Hyunjae terlihat berseri-seri, melompat kecil-kecilan pertanda bersemangat sehingga menghasilkan dadanya bergabung naik turun. Younghoon mengerjap-ngerjapkan mata sebelum mengalihkan pandang. “saya pamit dulu, Bu,”

“Hati-hati yaaa! Matanya ke jalan~”

Kampret. Ketahuan kan.

Sepanjang jalan yang Younghoon ingat cuman si pentil sialan yang muncul di balik kaos berbahan katun serta belahan dada minta dihirup. Nyaris saja motor roda dua nan super macho menabrak trotoar kanan lantaran terus terbuai pesona istri orang.

Ya Younghoon, beliau ibu kosmu, untuk apa memikirkan sejauh itu.

Sebenarnya lelaki rambut hitam agak gondrong itu segan mengungkit kejadian beberapa hari lalu, di saat Juyeon hanya mendoakan diiringi cibiran, eh malah terjadi betulan. Entah sebuah keberuntungan atau sebaliknya.

Selalu Lee Juyeon yang mengutarakan duluan, bagaimana dia berpapasan dengan Hyunjae yang memakai daster sepaha tanpa bra, senyam-senyum menggoda menyapa saat berangkat kuliah, bagaimana dada seputih susu bak kanvas termahal di toko lukisan dipamerkan secara cuma-cuma, ya gimana Juyeon mau konsen ikut mata kuliah?

Younghoon tugasnya mendengarkan, menertawakan, tapi begitu Juyeon hilang ke kamar seorang, ia melorotkan celana santai kemudian mengocok adik yang menegang di larut malam. Membayangkan Hyunjae menunggangi benda kebanggaan diikuti harga susu naik turun, merintih nikmat akan terpenuhi organ besar miliknya, sampai muncrat kemana-mana.

That night Younghoon tidur dalam perasaan menyesal. Tapi Juyeon nggak perlu tahu, terkecuali bila lelaki itu juga melakukan hal yang sama di balik dinding kamar.

“Bang, kayaknya Ibu ada maksud deh,” suatu hari setelah seminggu lebih, jalan dua minggu deh, heran banget bapak kos mereka kok nggak pulang-pulang, nggak rindu istri apa? Apa beliau tahu istrinya suka godain anak-anak kosan? Juyeon kembali menyerbu ke kamar, untung Younghoon tidak sedang melakukan apa-apa selain membaca komik mengusir kebosanan.

“Hm?”

“Kayaknya Ibu ada maksud gitu sama kita,”

“Nggak usah gede rasa,” timpal pemuda tertua tak mengindahkan sembari membalik ke halaman selanjutnya, dih, padahal dia sudah hilang fokus sedetik Juyeon menyemburkan berita. Bagus sekali aktingmu, Kim. Besok-besok jadi pemain sinetron bisa nih. “jangan-jangan nggak cuman kita yang dikasih jajan,”

“Suwer Bang, gue pelan-pelan tanya sama Changmin terus Changmin malah bilangin gue halu dong,”

Younghoon menipiskan bibir, berniat menahan tawa tapi tetap saja bunyi psshhh seperti knalpot racing kesumbat kerikil meluncur di sela-sela garis bibir. Juyeon mengerucutkan wajah, tidak suka terhadap reaksi.

“Ya mungkin dia ada benernya,”

“Gue nggak halu, anjing. Demi Allah!”

“Heh, masa Tuhan bersampingan sama kata kasar,” sang kakak menegur, dan Juyeon refleks meminta ampun pada Penciptanya. “gue udah bilang berkali-kali Juyeon, beliau cuman caper, dan kalaupun begitu lu bisa apa, hm? Nggak mungkin lo datangin dia langsung main mepetin ke dinding, atau dia tiba-tiba ngajakin ke suatu tempat yang cuman berduaan-” sejenak ia terdiam, memikirkan kalimat yang baru saja dia ucapkan.

Lah, napa dia beberin fantasi dia sih? Semoga Juyeon nggak nangkep maksud terselubung.

“Eniwei, cuekin aja lah, makin lu cengo makin seneng dia godain, anggap aja ujian,” Younghoon mengakhiri pidato dari sudut pandangnya sambil melanjutkan pembacaan komik kembali, mengabaikan eksistensi adik tingkat sebelah ruangan yang tengah berpikir keras.

“Masalahnya gue capek mandi air dingin mulu, Bang..” keluh pemuda lain agak pelan namun sempat ditangkap pendengaran tajam. Younghoon buru-buru menetralisirkan detak jantung yang berderap sebab tidak menyangka kalau dugaannya benar tentang adiknya yang bisa main sendiri akibat efek samping tingkah laku ibu kos mereka.

Chill, no need to know.

“Biasa kita juga mandi air dingin,” sahut Younghoon cuek.

“Yaelah Bang! Lu datar amat,”

“Lu-nya yang kurang belaian, ngadepin bangunan mulu sih,”

Juyeon memutuskan untuk angkat kaki lagi daripada diejekin Younghoon sedari tadi, mengatakan bahwa si kakak tak bisa diajakin curhat masalah cowok sementara dia sendiri tidak tahu kalau masalah Younghoon juga serupa dengan dirinya.

Sepeninggal pemuda rambut cepak, Younghoon menghela napas panjang. Betul yang dia katakan tadi, tidak ada yang bisa dia lakukan selain menghindar atau menikmati diam-diam.

***

.

.

.

Apakah ini sebuah kemujuran? Because the next move he had today was..

“Hoon, kamu udah makan?”

Mungkin Hyunjae punya indra keenam buat mengetahui keberadaan dirinya saat meluncurkan kendaraan ke dalam garasi, wanita, yang alhamdulillah mengenakan pakaian kasual tanpa ada tanda-tanda keseksian muncul tergopoh-gopoh bertanya.

“Belum, Bu, niatnya mau cari habis ini,” sekilas ia melirik ke jam tangan, menunjukkan pukul setengah 6 sebelum beralih ke Hyunjae yang tersenyum.

“Nggak usah, Ibu masak banyak habis acara arisan tadi siang, kamu makan di rumah aja ya,” Sebetulnya Younghoon ingin menolak dengan alasan rasional kan ya, tapi burung bejat di balik celana malah memberikan respon yang salah pada otak sehingga ia tak sadar mengangguk pelan.

“Oke, Bu. Saya mandi dulu,”

Hyunjae nampak sumringah, mengeratkan genggaman pada mangkok yang ternyata sedari tadi sudah dipegang semenjak keluar menggapai Younghoon. “Oke..” jawab beliau kemudian berlalu ke dalam rumah. Pemuda di luar termangu-mangu, cukup heran pada tawaran serta persetujuan tersebut.

Apakah fantasi liar dia mulai terwujud?

Akan tetapi, saat ia telah siap memenuhi ajakan makan malam pemilik kosan, mengenakan setelan santai yaitu kaos dan jeans robek di lutut, Younghoon musti terperanjat sewaktu Juyeon memunculkan diri dari balik kamarnya seorang, berpakaian serupa, khas anak Teknik kalau mau jalan.

“Lu..” ucapnya mengerjap-ngerjapkan mata.

“Bu Hyunjae ngajak gue makan di rumahnya,”

“Asu. Kok sama?”

Juyeon terbelalak, baru memicingkan mata, “Apa yang lo sembunyiin dari gue, Bang?”

Younghoon otomatis menggeleng, “Nggak ada,”

“Nggak mungkin secara kebetulan kita ada di nasib yang sama,” Juyeon masih menatap penuh selidik, sementara Younghoon memandang ke sana kemari. “lu beneran diajak atau mengajak diri?”

“Anjing, gue nggak sedesperate itu ya!”

Cowo termuda di antara keduanya mengendikkan bahu, “Yaudah, let's find out what she wanted from us,” kedua mahasiswa Teknik tersebut akhirnya menyerah terlalu banyak menerka-nerka kemungkinan. Berderap macam kuda menuruni tangga di kala hari sudah malam, jam dinding tadi menunjukkan pukul 7 lewat, pas di waktu makan.

Sesampai di pintu rumah berwarna putih, Younghoon mengetuk perlahan sebagai perwakilan. Cukup beberapa kali saja, tiba-tiba kuncian berbunyi nyaring disertai decitan, mereka sama-sama menahan napas, berantisipasi pada seseorang di balik benda kayu di hadapan.

“Oh, sudah datang..” suara Hyunjae terdengar riang sembari melebarkan akses masuk ke rumah, pura-pura mengabaikan tatapan keterkejutan setelah mereka melihat dirinya. “masuk, masuk, kebetulan Ibu baru selesai manasin,” ia membalikkan badan, sementara diekori dua lelaki di belakang. Juyeon sempat menutup pintu secara impuls sebelum melangkah tak jauh dari Younghoon, memandangi seluruh interior rumah pemilik kos yang ditempatinya.

“Maaf yaa Ibu cuman masak ini tadi,”

Berbagai macam hidangan tersaji di meja makan yang lumayan besar untuk dua penghuni rumah. Juyeon dan Younghoon saling berpandangan dan bersenggol-senggolan lalu akhirnya duduk ragu-ragu di kursi yang telah disediakan. Hyunjae setia mematri senyum ramah, seolah mengatakan dia tidak akan menggigit siapapun.

“Santai aja Juyeon-a, Younghoon-a, Ibu nggak makan orang,” Wanita rambut cokelat tersebut tertawa geli sembari menutup mulut, mempersilakan dua mahasiswa beda jurusan segera menyantap makan malam mereka daripada dilihatin sampai dingin.

Ketiga orang dewasa terlibat percakapan sederhana, tentang keseharian Hyunjae selaku ibu rumah tangga, keseharian Younghoon maupun Juyeon dalam kegiatan kampus, atau menggosipi penghuni kosan lain yang suka diam-diam menyusupkan perempuan di kamar.

“Dua hari lalu Ibu dengar suara gedebuk di kamar Sunwoo,” Younghoon nyaris tersedak, tiba-tiba terbatuk sehingga Hyunjae refleks menggeser gelas berisi air putih ke arah lelaki itu, sementara Juyeon menganga, tidak percaya.

“Jatuh dari kasur kali, Bu,”

Hyunjae mendengus, “Iya bisa jadi kalau nggak ada bunyi gesekan kaki ranjang,” jawab si Manis menyuapkan nasi kembali. Manik rusa menatap mereka bergantian. “kalian nggak ada bawa perempuan kan ke kamar?”

“Eehhh nggak ada Bu!”

“Nggak, Bu..”

Mata sipit memicing penuh kecurigaan, “Yakin?”

“Iya Bu.” jawab mereka serempak, lalu berpandangan.

Good Boy, then.”

Jantung Younghoon serasa ingin terjun bebas setelah mendengar pujian, mendadak adik dalam celana merespon suara setengah berbisik tersebut. Nggak tahu deh Juyeon nangkap apa nggak, tapi dilihat dari kekakuan sang adik menyuap makanan sambil mendengarkan lanjutan celotehan, pasti dia juga memikirkan.

“Ibu nggak kepingin liburan gitu karena Bapak dinas luar?” Juyeon iseng-iseng bertanya. Membuahkan kesedakan bagian dua dari Kim Younghoon serta mengembangnya senyuman cantik dari yang ditanya. There's nothing wrong with his question, kenapa kakak tingkatnya seperti tersumpal sesuatu?

“Dan ninggalin kosan sama kalian? Yang ada rumah Ibu kena badai kalau nggak ada yang jagain,” Hyunjae meregangkan leher seraya menyicip air di gelas sendiri, sesekali melirik ke arah Younghoon yang diam seribu bahasa tak hendak bersuara, “lagian Bapak besok sore baru pulang, jadi santai aja sendirian di rumah, enak lagi nggak ada yang berantakin,”

Juyeon hanya mengangguk-ngangguk paham sambil menggumam kecil, kembali fokus menandaskan sisa makanan tanpa membalas lebih. Tidak tahu saja kalau Hyunjae sedari tadi macam tengah merencanakan sesuatu kepada dua anak Adam di hadapan.

“Kalian mau minum?” tawar wanita paruh baya tersebut bangkit dari kursi, menyebabkan dua pasang mata langsung mendarat ke paha putih yang tersingkap kain.

“Ini minum, Bu..” tunjuk Juyeon ke gelas tak jauh dari piring seorang, Hyunjae tertawa, memamerkan geligi mungil nan sangat menggemaskan dan mampu menaikkan intensitas detak jantung lelaki-lelaki hormonal di sana.

“Kamu polos banget sih, Ju. Bukan minum itu yang Ibu maksud,” ia berbalik lalu berjalan ke lemari penyimpanan, meninggalkan dua sekawan cengok tidak tahu hendak melakukan apa selain memandangi. “kalian kalau udah selesai taroh aja piringnya di wastafel, baru kita minum di ruang tamu,” sayup-sayup terdengar suara Hyunjae memberi perintah, langsung saja otak menangkap sinyal ambigu itu. Juyeon tergopoh-gopoh berdiri membereskan piring kosong sementara Younghoon tidak mengucapkan sepatah kata. Dia malah mengambil langkah menuju tempat lain.

Menyamankan pantat di sofa empuk, Younghoon berusaha tetap tenang sembari menatapi sekeliling ruangan, dimana ada figura besar foto pernikahan ibu kosnya tertempel di dinding, foto-foto pasutri di negara-negara asing dalam bingkai kecil, serta ornamen-ornamen autentik sebagai penambah hiasan di ruang ini.

Padahal bapak kos ganteng loh, apa masih nggak cukup buat Hyunjae?

Oke, Younghoon kamu mulai melantur. Dia nggak tahu aja Juyeon di dapur sudah dibelai secara diam-diam. Menyebabkan lelaki rambut cepak tersebut menyeret kaki ke tempat sang kakak tingkat berada dengan raut tak percaya.

“Bang.”

“Hmm?”

Brace yourself.”

Younghoon tidak mengerti maksud ucapan, Juyeon terduduk di samping kanan dan mereka menoleh berbarengan begitu menangkap suara-suara dentingan kaca.

Fuck.

The nerve of this MILF.

Kalau tadi sih Younghoon masih kasih ampun sama gaya berpakaian Hyunjae saat menyambut mereka. Namun yang sekarang ini, entah bagaimana si Ibu berhasil meloloskan diri dari gaun longgar setengah paha menjadi baju mandi seperti yang pernah dilihat Juyeon, sambil membawa tiga gelas kaca dan sebotol gin di tangan.

Gin, gaes. Gin! Isn't it very drunk? And very common to be after-meal drink?

“Kalian bisa minum kan?”

“Bisa Bu,” jawab Younghoon masih terpana, dan Juyeon buru-buru melanjutkan.

“Cuman nggak sering,”

Hyunjae mengulas senyum merekah, sampai tulang pipi nan tembam miliknya naik saking lebarnya. Dia menyusupkan diri di tengah-tengah lelaki jangkung dambaan lalu membagikan gelas satu persatu. Juyeon dan Younghoon sudah jelas menggeser pantat agar lebih leluasa, hanya saja Hyunjae nampak enggan bila mereka duduk berjauhan.

“Eh kalian kenapa kayak takut gitu sih? Ibu kan nggak gigit,” Waduh, daripada si Cantik merajuk gegara mereka ngasih jarak mending ngalah deh dan langsung mepetin badan montok di antara badan sendiri, bahu tegap dan landai saling bersentuhan membuat Hyunjae jadi lega sedikit.

Cheers!”

Manik rusa melirik ke kanan-kiri, memastikan bahwa anak-anak tampan yang mengukungnya meminum cairan bening yang telah ia tuang ke gelas masing-masing. Juyeon nampak antusias menghabiskan, seolah terbiasa sedangkan Younghoon terlihat hati-hati seperti pelan-pelan menikmati sensasi terbakar di kerongkongan sendiri.

Hyunjae seorang minum secara anggun, menegak seteguk-teguk tanpa tergesa-gesa macam dua pemuda di sebelahnya. Belum ada percakapan mengalir, sibuk pada benda kaca di tangan.

Do you have any idea why I invited you to the dinner?” tanya Si Manis menyilangkan kaki kanan di atas paha kiri, memandang raut cengok bergantian, membuahkan kelucuan tersendiri bagi dirinya.

Younghoon dan Juyeon sama-sama menggeleng, tetap tenang seolah tidak terpengaruh terhadap perubahan nada bicara wanita tertua, padahal jantung mereka sedari tadi berdisko ria.

Hyunjae menahan seringaian kemudian bangkit, menaruh gelas di meja dan membalikkan badan. Dua mahasiswa itu musti mendongak saat menaruh perhatian ke netra cantik menggoda, akhirnya cengiran terpampang sebab tertarik akan air muka yang dibawakan. Terpesona setengah mampus, tapi tak berani melakukan apapun.

Satu tarikan, ikatan tali baju mandi yang melingkari pinggang ramping terlepas, dua kain menggantung, membebaskan pameran menyebabkan rahang tegas terjatuh bersamaan mata terbelalak. Younghoon bahkan tidak segan menelan ludah bulat-bulat, betul nggak bisa berkata selain menginspeksi dari netra rusa ke seluruh celah kulit putih.

Shit. Shitttt they're so doomed. Terus kalau sudah disuguhin kayak gini ya masa mereka cuman diam dan melihat, nggak mungkin kan?

What are you waiting, Boys?” nada suara Hyunjae bagaikan racun memabukkan, slurred at every words she said, secara tak kasat mata menawarkan segalanya, her curvy body, her milky boobs, her perky nipples and.. and.. her.. fat pussy.. Younghoon maupun Juyeon tak dapat merangkai kalimat. Mendengar pertanyaan bersifat penawaran macam di pasar, langsung saja mereka menarik Hyunjae kembali ke sofa. Tak sabar ingin melakukan hal menyenangkan setelah mendapat izin.

“Jadi ini maksud Ibu tiap pagi, hm?” bisik Juyeon di telinga sebelah kanan, tangan lebar melepaskan Hyunjae dari kukungan material satin, menghasilkan lenguhan dari yang bersangkutan. Bibir kenyal lelaki paling muda mendarat tepat di belakang cuping, mengulum perlahan. Belum lagi Younghoon tak ketinggalan, mengecupi sisi lain, membiarkan Hyunjae menggeliat terhadap sentuhan.

You both are my types, sayang kalau nggak dirasain nghh..” ungkap si Cantik sesekali meregangkan leher. Younghoon menggumam tanpa menghentikan kecupan, telapak tangan besar meremas salah satu gunung kembar. “fuck!”

“Tanggung jawab, Bu,” lelaki rambut hitam lain di samping kiri akhirnya bersuara, memainkan si kelenjar lemak, sesekali memainkan pentil yang selalu muncul di pikiran. “kita berdua jadi sering mandi air dingin setiap ketemu Ibu,”

Juyeon beralih dari telinga menuju pipi, menangkup pipi tembam wanita tersebut lalu mempertemukan bibir mereka dalam ciuman menuntut. Hyunjae mengerang tertahan, membuka mulut menerima lesakkan lidah di rongga.

Fuck..” umpat Younghoon saat mendapati Hyunjae sudah basah di bawah sana, jari-jemari bergerilya di balik labia, menyebabkan badan si Manis menggeliat ke sana kemari. “so wet, Mommy..”

Panggilan berintonasi rendah, with hint of lust in there seperti menyiramkan bensin kepada api. Kalau bisa ada petasan meledak di kepala Hyunjae. Digit panjang nan tebal mengusap-ngusap sesekali menepuk perlahan, melumuri permukaan menggunakan pelumas alami, so juicy and sticky.

Mommy loves that?” Juyeon tak kalah mengompori setelah tautan bibir mereka terlepas tapi tak menjauhkan jarak, melihat betapa terangsangnya Hyunjae ketika mereka bergantian menggoda zona erotis yang dimilikinya. “Does Mommy like when her boys touched her all over?”

Please please..” pinta Hyunjae menggerakkan pinggul supaya tangan Younghoon tetap menempel di organ, sementara bibir tipisnya menghembuskan napas ingin dicium kembali. “Boys please give Mommy what she wanted,”

Then what do you want, Mommy?” tanya Younghoon menjilat si leher, tega mengitari pintu liang becek dengan dua jari.

Fuck Mommy.. mmh..”

“Eum? Cuman itu?”

“&Eat me, like you starve for it, fuck me till I can't feel my pussy*,” erang wanita cantik tersebut tidak kuat berlama-lama menahan desiran nafsu di dada, “Hoon.. ngh.. Hoon fuckk– mau keluar..” hanya kekuatan jemari yang sedari tadi mengelus klitoris maupun liang, menghantarkan Hyunjae pada pencapaian pertama. Memancur tinggi bak air terjun, membasahi meja tamu beserta gelas-gelas. Dua berondong terkesiap, sebelum meluncurkan tawa, Younghoon mengusap kasar lubang kemih yang masih memancur deras, hingga belepotan kemana-mana.

“Ohh poor Mommy she's gushing already,” Hyunjae tersengal-sengal mengambil napas, punggung tersandar lemas sampai dia punya kekuatan untuk bangun lalu duduk bertumpu lutut menghadap mereka.

“Buka celana kalian sekarang!”

Juyeon dan Younghoon tergesa-gesa melorotkan jeans beserta boxer ketat, mulut Hyunjae mendadak berliur lantaran menangkap dua kejantanan tegak membebaskan diri dari balutan. “Nghh..” ia mengapitkan kaki demi menggesekkan kelamin. “fuck so bigg..”

Tanpa banyak cincong, Hyunjae menggenggam kedua batang, membuahkan desisan serta jengitan pinggul. Juyeon menyisipkan kaki panjang di antara paha montok supaya bebas menggrayangi organ tembam dengan jempol kakinya.

Damn, it's too wet, Juyeon can see the creamy substance landed on his toe. “Bang lihat Bang,” Hyunjae terhentak ke atas begitu Juyeon menyusupkan jari kakinya, tubuh macam diterpa gempa lalu bergerak menunggangi digit tebal tersebut. “Mommy kita nggak tahan lagi, Bang,”

“Kalau gitu mending hisap punya kita sekarang, Mommy Jae, daripada dikocokin mulu,” Younghoon mengambil helaian rambut cokelat tersebut dan mengarahkan wajah keenakan Ibu Kosnya agar segera mengulum milik mereka. Setegak tiang, berat di indra peraba, menguarkan hawa panas saat Hyunjae menaik-turunkan genggaman seirama bagian bawah.

Hyunjae menerima tantangan, menjilat bibir bawah lalu menghampiri penis Younghoon dulu, mungkin karena lebih tebal kali ya? Panjangnya sama aja sih kayak punya Juyeon.

Ukuran bongsor jadinya burung pun menyesuaikan.

“Oh shit,” Younghoon tak melepaskan helaian di tangan, menarik lebih saat Hyunjae mendaratkan jilatan coba-coba di sekujur permukaan. Si adik menggeliat, terutama di puncak. “cepetin Mom, tunggu apa lagi hm?”

Seandainya Hyunjae nggak suka diperintah kayak gini, bakal habis kepala Younghoon jadi pajangan di ruang tamu. Wanita cantik itu mengadu tatap, makin memusingkan isi pikiran kedua lelaki di sofa. Yang satu nggak sabar buat dikulum, yang satu setia menusukkan jempol di liang senggama sampai menitik terus-terusan bagai kran bocor.

“J-Juyo nghh.. deeper..” erang Hyunjae sebelum melesakkan puncak jamur ke dalam rongga makan. Mata sontak terbelalak pada peregangan, menambah lendir di bibir lain membaluri digit yang menyumpal. Di mulut aja terasa lebar, apa kabar di meki hah?! Because her husband's girth also thick like this one. “mmhh!”

Now Mommy take mine deeper too..” Younghoon melempar cengiran tanpa dosa, mendorong kepala Hyunjae supaya melahap sampai pangkal, hidung mancung si perempuan menabrak rambut kemaluan, menghirup aroma khasnya di sana. “fuck.. Ju mulutnya enak banget,”

“Gue malah nggak sabar genjot yang ini,” Juyeon ikut menyeringai, mempercepat gerakan jempol kaki, terkadang memutar pergelangannya, Hyunjae tertandak-tandak sambil menikmati santapan di mulut, perut mendadak menguat pertanda ingin keluar lagi. Jadilah ia melepaskan genggaman demi menampar-nampar paha Juyeon. “hmm? what is it Mommy?”

“Kkhh-ookkhh- ohok!”

Cowok yang diberi peringatan menghentikan tusukan, menggeser ke atas sedikit buat menyapa labia, ya sekalian godain klitorisnya juga, alhasil Hyunjae kembali mengucur deras di lantai, tak sadar mengunci jalan udara dengan penis Younghoon yang sedang dihisap. “Okhh!!”

“Woah, dia sensitif, Bang!”

“Biarin, kita bikin dia nangis malam ini,” Younghoon menarik keluar kejantanan dari secara paksa lantaran melihat air mata, Hyunjae menarik ingus perlahan, bibir tipis memerah terbuka langsung saja Younghoon melumatnya ganas, menyebabkan wanita itu tidak berdaya padahal belum masuk ke permainan inti. Saliva belepotan kemana-mana, Younghoon sangat menyukai raut keenakan sang Ibu Kos.

Fuck, he can do this all day and he won't regret it at all.

Give it to mee..” walaupun pita suara tersiksa akan tingkahnya mengulum punya Younghoon dalam-dalam, Hyunjae masih dapat merengek meminta. Giliran Juyeon mengarahkan penisnya, agak nggak terima kalau Younghoon doang yang dihisap.

“Punya Juyo jangan lupa, Mom!”

Hyunjae mengangguk cepat, tentu saja tidak mengabaikan eksistensi burung lain di ruangan. Sama seperti yang diterima Younghoon, ia memberi jilatan kucing di sekujur urat-urat berseliweran kemudian mengulum di puncak sebentar.

“Ohh Mom..” ini tetangga kalau dengar nggak bakal syok kan? Dimana ada dua mahasiswa sedang dioral pemilik kos-kosan hingga melontarkan sebutan 'Mommy' setiap listrik nafsu menyetrum persendian. Bola kembar dimainkan begitupula si gunung yang menggantung bebas. Younghoon daritadi gemes mengunyel-ngunyel kelenjar, sampai putingnya dipelintir-pelintir gregetan.

“Keluar susu nggak, Mom?”

Kurang ajar. Hyunjae mendesah mendengar pertanyaannya, menggelinjang kegelian pada bayangan bila seandainya Younghoon beneran ada kesempatan menyusu sampai keluar cairan. Untuk saat ini sih belum ada, Hoon. Kecuali dia lagi hamil.

Isn't it exciting if she got knocked up by one of his boys?

The thought itself bringing Hyunjae to another orgasm, beruntung hanya berujung pinggul menggigil diiringi liang berkedut parah tanpa mengucur seperti dua orgasme sebelumnya.

“Sensitif banget Mommy malam ini,” goda Juyeon menyengir ketika Hyunjae mulai menaik-turunkan kepala, pipi tembam menirus menandakan hisapan bak vakum cleaner, bibir tipis bergetar saking menikmati sensasi menggelitik di bagian liang. “don't make come early, Mom, I still have a hole to go,”

Younghoon akhirnya beranjak bangun, “Kita ke kamarnya aja, let us ruin the bed tonight,” Juyeon menyelesaikan kuluman dengan beberapa kali sodokan sebagai bantuan lalu mengeluarkan kejantanan. Lelaki surai gondrong mengangkat Hyunjae dari posisi berlutut dan melangkahkan kaki menuju kamar utama, meninggalkan tempat kejadian perkara.

“Uwah!” pekik wanita cantik setelah memantul pelan di atas kasur king size, pikiran dia sudah tidak terbentuk lagi lantaran terlalu banyak aroma Younghoon dan Juyeon mengelilingi panca indra. Yang dia inginkan saat ini adalah dua organ panjang tadi memenuhi seluruh lubang di dirinya.

That's why she opened her legs, presented her fully to her boys. Dripping with juice, white and creamy.

C'mon...” lenguhnya memegangi paha dalam. Juyeon dan Younghoon tidak ada pemanasan, sigap meloloskan badan dari pakaian santai. Ketiganya berakhir telanjang dan dua lelaki itu berebutan hendak memakan. “aahh! aaahh!”

Tolong jangan tanya Hyunjae atau menyuruh dia menjelaskan bagaimana lidah-lidah lihai menggrayangi selangkangan. Dia tidak tahu siapa-siapa selain mereka mengecupi, menggigiti, menjilat atau menghisap nyawanya dari sana.

“Aah! Fuckk! Your tongue.. aahh Hoonie!”

“Ih itu lidah Juyo, Mom!” protes Juyeon karena salah sangka. Hyunjae mencengkram seprai di tangan, buru-buru meminta maaf.

“Ma-maaf Sayang, it feels good Mommy nggak tau siapa yang- aahhnn!” Kini bunyi hisapan nyaring mendesing sebagai bentuk hukuman Juyeon, Younghoon sebenarnya ada aja menjamah bagian lain, membuat bercak kemerahan di sekitar vulva.

“Punya Mommy enak banget,” puji Juyeon selesai menyantap, mengusap bibir sendiri menggunakan punggung tangan sehabis disemai lendir berlebihan, “Juyo bisa makan Mommy tiap hari,”

Hyunjae meleleh mendengarnya, menarik Juyeon untuk menautkan bibir mereka seraya mencicipi rasanya seorang. Karena Juyeon udah ke atas, berarti giliran Younghoon sekarang. Kedua tangan mencengkram paha montok sembari menekukkan lutut, Si Ibu Kos terkejut nyaris menggigit bibir Juyeon.

And her pussy is very chubby,” gumam pria itu menyunggingkan senyum, telah menenggelamkan separuh wajah bagaikan hidupnya bergantung pada organ di depan. Bibir menapaki belahan, menyapa daging rentan, menemukan tubuh menggelinjang dan liang berdenyut hampa. “just how I like it,” lanjut Younghoon akhirnya menyantap seperti Juyeon tadi.

Hyunjae mengerang di mulut Juyeon, memegangi lengan kekar demi menompa diri sebentar sementara Younghoon memakannya. Klimaks kembali terbentuk di rongga perut, ia melepaskan tautan sebentar buat memberitahu.

“Juyo.. nghh Juyoo Mommy..”

Mommy, mau keluar?” Hyunjae mengangguk cepat, “then come Mommy, soak him wet with your cum,” ucap Juyeon mengizinkan, Younghoon yang merasa Ibu Kosnya hendak sampai tidak menjauhkan muka, malah dia membuka ranum biar si air langsung menerobos masuk ke mulutnya.

“Ah! AHHH!” There, she's showering the other man with her water, nggak usah dihitung berapa kali Hyunjae keluar, ini bentuk dari pertahanan dia selama sang suami dinas luar, meninggalkannya seorang diri bersama cowok-cowok muda di atas sana, yang dapat memberikannya kenikmatan seperti Juyeon dan Younghoon sekarang. “Hooniee.. maaffff..”

“Tenang Mom, I won't waste a single drop,” sahut Si Jangkung cengengesan, jakun menelan sisa yang menempel sebelum bangkit mengatur posisi. “Ju, gue dulu atau lo?”

“Tanya Mommy.”

Hyunjae menimang-nimang sejenak, memandangi organ keras tersebut secara bergantian, “Hmm, kalau.. langsung dua, kalian keberatan nggak?”

Tentu saja tidak dong, Hyunjae. Lihatlah reaksi penis mereka yang menggeliat penuh semangat, pastinya sudah pernah terbayangkan oleh keduanya.

Not at all,”

With pleasure, Mom.”

Si Cantik tampak sumringah, meloncat-loncat kesenangan, “Okey, siapa yang mau di bawah atau di belakang?”

Juyeon memandang Younghoon berniat meminta pendapat tapi sang kakak tingkat malah mengulurkan tangan, “Gunting batu kertas,”

“Yang kalah di belakang,”

Call. Gunting batu ker..tas,”

Sungguh sangat unfaedah sekali. Penulis pun geleng-geleng kepala sewaktu mendeskripsikan malam panas mereka bertiga. Juyeon berhasil memenangkan posisi di bawah dimana Hyunjae akan berada di atas sementara Younghoon di belakang perempuan itu.

No problem, as long as he has that thick cunt.

“Kondom, Juy.” peringat Younghoon mengacak lemari nakas, sementara dua orang di ranjang sudah sibuk tindih-tindihan saking menyerahkan urusan berpikir kepada kelamin. Bibir bertautan, geligi bertabrakan, organ digesek-gesek kayak besok nggak bakal ketemu lagi.

Lah iya bisa jadi sih.

Younghoon menarik dua bungkus, being a considerate man he is, walaupun sisi bejat meronta-ronta ingin memberikan creampie pada sang Mommy, tapi sisi baik berhasil mendiamkan.

Si Manis yang melihat pemuda bongsor memasangkan lateks persediaan di laci kasur mendadak merengek, “Noo take it offf I wanna feel you bare!!”

“Dan Mommy berakhir bunting? Better be safe than sorry, Sweetheart,” Hyunjae merona mendengarnya, menegakkan badan seraya mengawai Younghoon agar mendekat.

I don't mind.. hamil anak kalian..”

Younghoon menaikkan satu alis sedangkan Juyeon ditemukan mengeras dirasa Hyunjae. Manik rusa mengerjap-ngerjap, ranum tipis merah muda menjulur ke bawah, “Hoonie pleaseee?”

Ah bodo! Ingat Younghoon, this is sex-talk only. Apapun bisa terjadi ketika pikiranmu dikabuti nafsu. Dan Ini permintaan Hyunjae sendiri ya.. Younghoon tidak jadi menjadi pemuda rasional lantaran menemukan raut menggemaskan si Ibu Kos saat memohon. Dia melepaskan bungkus karet tersebut lalu membuangnya ke tong sampah terdekat.

Fine. Jangan protes kalau Mommy kita penuhin sampai gembung,”

“Nghh shitt pleasepleaseplease–”

Sungguh malam yang sangat liar. Permainan inti baru akan dimulai setelah melewati serangkaian pemanasan. Younghoon menaiki ranjang dan bertumpu lutut di antara kaki Juyeon maupun punggung Hyunjae. Menunggu si Cantik melesakkan penis di bawahnya dalam sekali hentakan.

Hyunjae memegangi pangkal kemaluan begitu dia menurunkan pinggul, mendesis nikmat padahal baru ujung kepala yang menggesek liang, perlahan-lahan ia memasukkan si batang, mengerang tertahan pada diameter yang meregangkan lubang. Bergerak turun.. turun.. diselingi napas berat, akhirnya mendaratkan pantat di paha kokoh lelaki termuda di kamar.

“Ngh punya Juyo..”

“Apa? Punya Juyo kenapa Mommy?”

“E-enaakk, mmhh..” Juyeon berkesempatan menampar bantalan empuk di belakang, mendapati Hyunjae terjengit ke atas hampir melepaskan penyatuan. “ngh!”

“Tunggu sampai Bang Younghoon penuhin Mommy juga, bet your pussy will be shape of our dicks,” erangan nyaring kembali terdengar sambil menunggang kecil-kecilan, Younghoon musti menahan gerakan halus itu supaya dirinya dapat menyusupkan kejantanan.

“Woah, she's tight..”

Right? Padahal perawan juga enggak,” timpal lelaki termuda setia memainkan pipi pantatnya, Hyunjae mengerucutkan bibir, nggak terima bila disangka lober.

“Selalu ada cara buat rapet tiap hari, Juyo.”

Juyeon tersenyum miring, “Yaiya dong, always be the best pussy supaya kami nggak jera kan Mom?” balasnya kini merayapkan tangan ke perut gembul di hadapan, mencubit salah satu kulit karena gemas. “fuck Bang Younghoon cepetin woy gue nggak sabar nih,”

Kalau saja Younghoon mikir pake akal dipastikan burung Juyeon kena sunat dua kali. Dikira masukkan lubang sempit yang sudah disumpal benda semudah menggoyang apa? Susah anjir! Belum lagi daritadi kepala penisnya meleset terus akibat licin.

“Hoonie ngh Hoonie..”

Behave, Mom.” Tuhkan, pasalnya setiap dia menegur atau memerintah Hyunjae, wanita cantik itu menggigil keenakan, dan liangnya sigap membasahi organ milik adik tingkatnya. Juyeon tentu saja sudah menggeram terhadap sensasi basah tercampur lengket tersebut.

Pada akhirnya, usaha tidak mengkhianati hasil, asalkan si puncak gendut berhasil menyelinap, Younghoon tinggal menggenjot ke atas. Setuju sama apa yang dikatakan Juyeon kalau punya Hyunjae sempit melebihi cewek perawan.

He had fucked virgins before but no ones tight like her. It feels like.. he's thrusting into a butthole, a natural wet one.

Oh fuck gimana kalau seandainya Hyunjae mau dianal? Hahaha. He's so up for it.

Tapi nggak apa buat malam pertama, kasihan nanti ditemukan lemas tak berdaya apabila Younghoon mewujudkan. Juyeon juga kelihatan nggak sabar lagi mau menggoyang, even though the place right now is hard to move freely.

“Gantian apa bareng-bareng?”

“Ya Allah Bang, gue genjot sendiri nih ya,”

Heran. Younghoon ngajak berantem di saat pelepasan udah di ujung kencing. Hyunjae seorang gemetaran luar biasa, nikmat dipenuhi dua benda.

Mommy, you good?” tanya si Jangkung di belakang, menempelkan dada bidang pada punggung berpeluh, mendapati anggukan tanpa kata yang terucap, Younghoon menghirup aroma vanila di ceruk leher Hyunjae, menggenjot perlahan sebagai uji coba.

“Mmh..” lenguh Hyunjae terengah-engah, ingin sekali limbung meski lelaki bongsor tengah menahani dirinya. Juyeon langsung saja bergabung mengikuti irama, memantul-lah desahan binal ke penjuru ruangan.

“Oh godd! Aaahh godd! Fuck yess yesss– cepetcepetcepetcepet- aah!” wanita tertua ikut meloncat-loncat menyelingi pergerakan dia pemida yang menghujam bersamaan. Juyeon merayapkan tangan di kemaluan sekalian memainkan si klitoris. “uwaaahh!”

Mommy why so noisy, hm? Does it feel good?” geram Younghoon juga tak mau kalah menangkup susu sebelah kanan. Merematnya acak sangat pas di telapak. Menghasilkan jeritan tertahan lantaran tidak boleh sampai kucing tetangga dengar ditakutkan malah saling bersahut-sahutan.

Hyunjae tidak kuat menopang badan, ambruk di atas badan Juyeon seraya merengek manja. Lelaki surai cepak tertawa kecil, mengelus punggungnya sayang tanpa menghentikan genjotan.

“Aww, Mommy capek yaa..”

“Penuh.. banget.. nggh.. Ah! Hoonie!” Tubuh montok tertandak-tandak akibat hujaman dua kejantanan, erangan menjadi patah-patah serta mata merem melek pertanda keenakan. Juyeon mendesah jua, agak susah payah menggoyang akan kesempitan ruang.

Fuck.. Mommy..”

Boys.. mmh wanna come wanna come!” Mohon ampun kepada seluruh jajaran anak kosan di tingkat dua kalau kalian sayup-sayup menangkap teriakan high-pitched di bawah lantai. Dinding beton ditabrak terus-terusan oleh kasur yang ikut bergoyang sesuai tempo Younghoon. Pemuda jangkung itu mencengkram pinggang wanita di hadapan, membiarkan ia gemetar meluncurkan cairan.

Now it's our turn.”

Hyunjae tidak ingat lagi bagaimana dia bisa melewati malam sambil digagahi dalam berbagai macam posisi. Benar kata mereka tadi kalau mereka akan menyemai benih sampai perutnya menggembung atau bahkan sampai ia lupa sama kenyataan di pagi hari.

Younghoon dan Juyeon pun melepaskan hasrat sebanyak mungkin, berhasil membuat Ibu Kos mereka menangis kecapean dan keluar berkali-kali membasahi tubuh mereka sendiri. And the creampie that his evil side wanted, granted perfectly ketika Hyunjae memancur sperma tertampung bersama klimaks terakhir.

Hanya Tuhan yang tahu sampai kapan ketiga insan tersebut berhenti memuaskan nafsu satu sama lain yang terpendam selama dua pekan terakhir.

.

.

.

KLIK

KRIEEEEEKKKK

Seorang wanita terkesiap dari tidur nyenyak, kepala menoleh ke sana kemari sesudah gendang telinga menangkap kuncian pintu rumah terbuka diseling decitan benda penghubung.

“Sayaangg?”

Anjing.

Suaminya pulang.

Hyunjae tergesa-gesa bangkit dengan jantung berdetak kencang, mata mendelik ke dua pemuda di samping, sama pulasnya sehabis bermain.

“Heh! Younghoon! Juyeon!”

“Hmmm..”

Dia mulai memukul-mukul bagian tubuh yang bisa dijangkau sambil terus memanggil setengah berbisik, “Woy! Suami Ibu pulang!” tepat setelahnya, Juyeon yang pertama kali refleks membuka mata lalu bergulir ke sebelah kanan, alhasil dia jatuh terjerembab seraya menahan ringisan. “sssshh! Kamu sembunyi dulu di kolong!”

Younghoon masih cengok beberapa detik, sebelum Hyunjae mengguncang-guncang badan bongsornya, “Cepat sembunyi, Younghoon! Bapak bentar lagi ke sini!!” Dengan sisa tenaga yang ada, si Jangkung menyeret diri ke tempat sang adik tingkat berada. Meringkuk bersama sampai mereka dapat kembali ke habitat tanpa sepengetahuan suami wanita di ranjang.

“Bang! Baju kita!” tunjuk Juyeon ke pakaian yang berserakan, langsung saja Younghoon merampas bertepatan pintu kamar utama dibuka keras.

“Hai Babe!”

Sangyeon menyeringitkan dahi, mendapati kasur yang ditempati bini sangat berantakan bagi seorang yang ditinggal pergi. “Kamu baru bangun?”

Hyunjae mengangguk, “Iya,” dia pura-pura menguap, menahani selimut untuk menutupi ketelanjangan semalam. “kok nggak ngasih kabar kalau pulang cepet?”

Suaminya masih sangsi, tapi melihat betapa cantiknya sang istri walau habis bangun tidur, malah membangkitkan birahi sendiri, hendak melayangkan sentuhan sekali, menyebabkan ia menjatuhkan tas di lantai kemudian berjalan menghampiri.

“Biar jadi kejutan.”

'Surprise indeed, Pak' celetuk kedua mahasiswa dalam hati sambil diam-diam mendengarkan. Hyunjae tertawa geli, menerima kecupan-kecupan mesra mendarat di pipi tembam termasuk ranum tipis.

“Kamu abis ngapain sih jadi kasur berantakan gini?”

“Main sendiri, nungguin Mas..” jawab Si Istri tanpa merasa berdosa, berlutut melepaskan cengkraman kain di badan, lalu melingkarkan lengan di leher jenjang, “*make it up to me, Massss..”

Sangyeon menggumam, kedua tangan menjalar ke bantalan empuk sembari meremas acak bokong kesayangan, “Of course, Baby Girl. Mas mandi dulu,”

“Mau sarapan nggak?”

I rather eat you,” jawab pria surai cokelat melempar seringaian, Hyunjae tampak bersemangat terhadap penawaran, meloncat-loncat kesenangan di atas ranjang.

Please please I can't wait no more,” Sangyeon mendaratkan kecupan di bibirnya berulang kali kemudian berlalu ke kamar mandi mereka. Begitu kuncian pintu terdengar, Younghoon dan Juyeon sontak berdiri berbarengan. Hyunjae yang menyadari masih ada anak-anaknya di ruangan, langsung menempelkan telunjuk di bibir, mengisyaratkan mereka berjingkit-jingkit keluar kamar utama.

“Dah dah pake baju di atas aja kelamaan kalian di sini,” sahutnya melihat kedua pemuda susah payah memasang celana jeans. “kalian nggak mau kan ketahuan Bapak terus dikebiri sama-sama?”

“Ibu duluan yang ngundang kita,”

“Ya kan Ibu nggak tau kalo dia pulang secepat ini,” Hyunjae sedikit mendorong badan-badan bongsor tersebut ke pintu keluar, tak lupa berjinjit melayangkan ciuman di bibir mereka masing-masing sebelum mereka benar-benar lenyap.

“Jangan khawatir! There will be next time. Bye Boyss~ Thanks for the treaf!” Sesudah figur-figur tinggi berhasil keluar, Hyunjae membanting pintu kayu tersebut lumayan keras sehingga Juyeon terjengit kaget.

“Payah.” keluhnya memandangi kondisi diri setengah telanjang dengan boxer menempel di selangkangan. Memamerkan gundukan kebanggaan yang terbiasa bangun di pagi hari.

Younghoon di sebelah sudah menghela napas, kepingin segera menenggelamkan muka di bantal untul melanjutkan mimpi ngenak yang tertunda, “Seenggaknya kita udah ngerasain dia, Juy,”

“Kalo hamil beneran gimana, Bang?”

“Urusan dia, kita pura-pura gak tahu aja,” akhirnya kedua lelaki hormonal itu berhenti mengambil pusing setelah mengalami kejadian nyeleneh di malam tadi. Beruntung saat menaiki tangga, tiada satupun makhluk hidup melihat kondisi mereka sekarang. Bisa-bisa dikira habis ngapain berdua, mana sama-sama masih pake celana dalam pula. Tsk, no homo ya!

*So that's a wrap from our boys?, eh salah maksudnya Mommy's boys. Apakah bakal ada kelanjutannya? Hah. Pikir aja ndiri, penulisnya sudah lelah didera writer block cuman buat threesome beginian.

Like.. how in the hell Finn can make till 5 people whilst I can't?????? Kalian bisa jawab?

Then Adios~

©️Noname

jumil lokal

Joel and Jerry has returned🤪 kink apa lagi yang akan mereka eksplor kali ini?

Warning : public sex; car sex; cross dressing; cross au mad halloween x help me doctor (sekilas doang sih);

.

.

.

Acara tahunan Fakultas Teknik di Kampus ITB(usan) menjadi salah satu ajang orientasi anak-anak muda dari berbagai jurusan saling mengenal satu sama lain. Apalagi kalau punya Ketua BEM yang nyeleneh seperti Anandra Putra pastinya tidak ada yang tertinggal walau satu makhluk pun.

Tahun ini mereka hendak mengadakan pesta Halloween. Tepatnya di auditorium kampus, akan dihadiri oleh seluruh mahasiswa angkatan 2016 jurusan manapun asalkan masih satu fakultas. Termasuk teknik sipil tempat tokoh utama kita mengabdi serta teknik informatika tempat kekasihnya menimba ilmu.

But this event would be different than other usual party. Karena tema kostum akan diundi dan tidak boleh ada penukaran. Bersifat rahasia, ditampilkan saat acara mendatang.

“Ini yang nulis kuntilanak bener-bener sinting,” komentar Icha setelah mereka berhasil berdesak-desakkan mengambil kupon bak mengantri sembako. Jerry di samping menahan tawa, belum mengecek kertas dia sama sekali. “gue pake baju apa, anjing.”

“Masih mending kuntilanak, gue dengar ada anak Geologi cosplay jadi tuyul,”

Pada akhirnya tawa membahana meraung tak jauh dari ruangan BEM, sambil berjalan santai, kedua sekawan melepaskan rasa geli yang mendera pori-pori.

“Lo dah cek punya lo belum?”

“Ntaran aja ah, masih dua minggu lagi,”

“Gue nggak mau bantuin kalo lo dapet yang susah ya,” Jerry menonjok bahu mungil gadis di kiri secara main-main tetapi sukses membuat keseimbangan Icha menjadi miring. “bangke!”

“Lo pikirin ndiri tuh kostum lo,”

Watch me, gue bakal jadi kuntilanak terseksi di acara nanti,”

Jerry mendengus kecil tanpa merespon karena sebenarnya dia sendiri juga penasaran apa yang akan ia dapatkan untuk tema kostum pesta halloween miliknya.

Semoga nggak aneh-aneh ya!

***

“BANGSAAAT!!!!!”

Teriakan berupa umpatan kasar menggema di penjuru ruang tamu, bersyukur hunian besar tersebut seperti biasa hanya ada Jerry yang menempati lantaran kedua orangtuanya sering dinas luar, meninggalkan anak semata wayang bebas membawa siapa saja ke rumah mereka, termasuk teman kecilnya, Anastasia Estella.

“Napa lu?”

Boyfriend-look?” pemuda cantik tersebut menganga tak percaya seraya memperlihatkan kertas putih di tangan kepada gadis satu-satunya, Icha memajukan wajah demi melihat lebih jelas gambar yang dimaksud, kemudian terbahak-bahak.

“HUAHAHA KINKNYA JOEL!!”

Jerry sontak merah padam begitu mengingat betapa terangsangnya sang kekasih bila ia mengenakan setelan kemeja putih tanpa sehelai benang menutupi paha sintal. Kalian masih ingat cerita dimana dia menjadi model uni-sex buat membantu Andra? Ya, that's what he got now.

“Bangke ini pasti ulah Andra!” gerutunya refleks meremas-remas kertas tersebut hingga tak terbentuk, merengut dongkol sebab Icha sedari tadi tidak berhenti mengeluarkan tawa. “CHA APAAN SIH?!”

“Woahh semesta mendukung lo pakai baju itu lagi, Jer,” Icha sempat mengusap air mata di pelupuk, pertanda ia kebanyakan menertawakan kenistaan kostum milik sahabatnya, “gue berani bertaruh lo nggak akan sampai 15 menit di pesta habis Joel liat lo,”

Jerry menggembungkan pipi, membuka remasan kertas untuk melihat kembali isinya walau dalam hati berharap tiba-tiba berganti ke yang lain. Namun, benar kata Icha, semesta sangat menyetujui Jerry mengenakan pakaian simple itu.

“Gue harus cari dimanaaaa?”

“Emang Joel nggak pakai gituan?”

Si Cantik hendak menonjok teman seperjuangan kalau tidak punya hati, ia hanya memberikan tatapan sinis pada gadis di seberang sofa, sibuk mengemil isi toples di meja tamu. “Badan gue sama badan Joel itu beda ya, Maemunah! Gue nggak mungkin pakai baju Joel yang notabene ukurannya lebih kecil dari gue!”

“Pfftt, jatuhnya kayak dress ketat sih buat lo,”

“ICHA!”

“Rileks, kita cabut ke Big Size siapa tahu ada ukuran yang lebih BESAR supaya lo keliatan MUNGIL pas dipakai,”

“Cha lo ngolok gue tarik bibir lo ya!”

Icha menjulurkan lidah, mana pernah takut sama ancaman lelaki rambut cokelat itu. Joel kok bisa ya sabar pacaran sama toa mahasiswa demo kayak Jerry? Tsk, cinta emang buta ya gaes.

“Nggak boleh apa gue jadi pocong aja?”

“Hush! Jadi doa baru tau,”

“Lah, gue kan pakai jas kalo mati,” Icha nyaris melempar toples di tangan akibat sahutan acak Jerry, ini sudah diluar candaan, sementara si Manis malah tertawa geli, lucu pada guyonan sendiri, “yaudah ayo sekarang temanin gue ke Mall,”

“Jangan lupa beli something, Jer.”

Something apa?”

Icha menyunggungkan senyum miring, seraya menaik-turunkan alis, mengatakan sesuatu tak kasat mata sehingga Jerry membulatkan manik seakan mengetahui apa yang dimaksud gadis mesum itu.

“Lo mau bikin gue nggak bisa jalan seminggu?”

Worth to try it for Joel, Jer.”

Bayangan wajah cengok Joel ketika melihat penampilannya di pesta nanti entah kenapa membuat Jerry sedikit antusias. Berniat hendak memberikan pameran terbaik buat pacarnya, dan memberitahukan ke semua orang yang mendamba bahwa hanya pemuda Andrean itu saja yang dapat menikmatinya.

Hihi. Jerry jadi tak sabar.

.

.

.

Hiruk pikuk kendaraan roda empat berjenis sedan melaju dalam kecepatan di atas 40 pada sebuah jalan tol yang tidak sepi-sepi amat. Mobil warna hitam mengkilap tersebut sudah terisi beberapa orang di dalam, lebih tepatnya satu lelaki dan tiga wanita. Alunan musik mengetuk-ngetuk gendang mungkin bisa terdengar sampai ke pengendara lain. Akan tetapi siapa yang peduli kalau mereka tengah bersemangat ingin tiba di kampus tempat acara dilangsungkan.

“Joel bener-bener lucky bastard,” sahut Mina berdecak kagum saat menangkap setelah yang dikenakan Jerry, pemuda manis itu hendak melayangkan pukulan namun diurungkan lantaran takut mengganggu konsentrasinya menyetir mobil Icha. “I bet he loves to take a bite of that milky thighs, Jer.”

Tell me about it,” Jerry terlihat menyeringai bila dilihat dari pantulan wajahnya di cermin rear-view, “dia malahan lebih suka yang di bawah,”

The fuck– ewwww!”

“Hush! Don't be such a pussy, girls,” sahut Icha menyeringitkan kening, “apa lagi yang Jerry kasih selain di sana, huh?”

Yeah, it's not like I have two holes like you,”

“Tiga Jer!” protes Rissa menambahkan, menyebabkan alis Jerry terancam miring layaknya tebing.

“Gue pikir kalian pakai lubang yang sama buat pipis sama begituan,” Icha tergelak receh terhadap cara pemikiran sahabatnya yang menyetir sedangkan para gadis di belakang tidak berhenti menyuarakan aspirasi tentang kebodohan pemuda tersebut.

No way salurannya beda oon!”

That's why I'm not interested with woman cause I can't understand you,” gumam si Manis bak mendapat jawaban yang selama ini ia cari mengapa tidak pernah sama sekali tertarik dengan lawan jenis. Sebaliknya dia malah kecantol sama cowok tampan berbadan tinggi nan ramping, berkacamata dan ekor mata macam kucing. (Maksudnya Joel hedeh).

“Lah iya bener kok bisa lo jadi pacaran sama Joel?”

“Ya bisa dong namanya juga suka sama suka gimana sih?”

“Heleh, pining lebih tepatnya sampe 3 semester terlewat baru tiba-tiba nggak ada angin ujan udah diajakin maksi bareng, right in front of our salad,” timpal Icha mencebik, ingat banget pertama kalinya Joel tanpa malu muncul saat kelas Jerry bubar dengan senyuman manis mengajak kekasih barunya makan siang bersama. Betul, di depan teman sekelas Si Manis.

“Cha, kalau iri bilang, biar enak gue buka pintu supaya lo terbang,” canda Jerry menyengir lebar seraya memamerkan geligi mungil, mereka sebentar lagi akan tiba di tempat tujuan dan rasa antusiasme mereka pun sudah di ujung jari.

Auditorium tampak ramai diakibatkan mahasiswa Teknik angkatan 16 berlalu lalang. Berpuluh-puluh pasang mata mengarah ke Jerry begitu lelaki cantik membuka pintu mobil. Seharusnya dia sudah terbiasa dengan segala atensi, tapi entah kenapa malam ini, dia rada kikuk sendiri sebelum bertemu sama sang kekasih.

Bisik-bisik tetangga mulai terdengar, termasuk tatapan-tatapan iri melihat bagaimana ia berjalan penuh percaya diri, mengenakan kemeja putih kedodoran yang dimana ujungnya jatuh menutupi seperempat paha montok. Dia belum pernah memamerkan daging sebanyak ini, namun sekali seumur hidup Jerry mau dijulidin, hihi.

Empat sekawan dipersilakan masuk, Jerry yang notabene tertinggi di grup hendak sekali mengecilkan diri saat dentuman musik EDM menggedor gendang telinga masing-masing. Rissa dan Mina mulai merasakan adrenalin terpacu di nadi, meninggalkan dua sahabat kecil yang masih berdiri tak jauh dari meja registrasi.

“Lo nungguin Joel?”

Jerry menggigit bibir bawah, melepaskan perlahan, “Nggak deh, langsung minum aja,”

“Yaudah ayo!” Akhirnya Icha menarik lengan kekar terbalut kain satin tersebut menuju bar di samping kanan, beberapa kursi sudah tampak penuh tapi saat mereka melihat siluet Jerry mendekat, buru-buru lelaki-lelaki itu berteriak memesankan minum.

Fuck Jerry you look hot,”

Si Manis sebetulnya agak risih walau berusaha tidak ditampakkan. “You too,”

“Apa yang keliatan hot dari Wewe Gombel hah?” Jerry tak kuasa menahan tawa sesudah salah satu teman sekelas yang menegur terdengar menggerutu tentang kostumnya, lucu melihat dirinya dalam jubah hitam dan wig abu-abu nan berantakan.

“Undiannya nggak pandang jenis kelamin,”

But the shirt suits you, Jerry,” Dimas tanpa sadar menjilat bibir bawah sembari menginspeksi lelaki cantik di samping dari kepala sampai kaki, agak lama mendaratkan tatapan di paha tebal seputih susu. Jerry, mengetahui gelagat mata jelalatan tersebut buru-buru menarik ujung kain untuk menutupi, sayang oh disayang, tidak berhasil.

“Jauh-jauh Dim kalo lo gak mau dihack Andrean,” sahut Icha menggeser gelas cocktail ke hadapan Jerry, si Manis mengisyaratkan ucapan terima kasih karena telah dilindungi dari lelaki hidung belang. Dimas mendengus.

“Dikira gue komputer apa,”

“Paling engga dikasih virus lah,” jawab Icha lagi sembari tertawa mengejek, Jerry menipiskan bibir lalu membawa gelas ke ranum sendiri buat dihirup pelan-pelan. Dinikmati sampai habis, sebelum diisi kembali. Aliran pahit tapi anehnya sangat segar di kerongkongan menghangatkan seluruh badan. Sudah lama dia nggak minum alkohol lantaran Joel jarang sekali membeli. Paling juga acara-acara tertentu.

Keberadaan Dimas telah lenyap tanpa disadari oleh Jerry sebab ia dan Icha sudah sibuk berteriak-teriakan berdiskusi hal-hal lain. Mereka memutuskan memanaskan otak dan saluran perut terlebih dahulu barulah pergi ke lantai dansa buat melepas penat.

Jerry terjengit kaget begitu sebuah tangan mengalung di pinggang, aroma parfum familiar menyuntik indra penciuman sehingga ia dapat mengetahui siapa pelaku di belakang.

Hi Gorgeous.”

“Huek.”

Jerry refleks mencubit pentil Icha di balik gaun putih ketat, menyebabkan gadis surai cokelat tersebut memekik kaget, “Hey!”

“Iri bilang! Sana pergi!”

“Asu guenya diusir dong, dasar nggak setia kawan!” Akan tetapi pengusiran Jerry ada benarnya karena Icha nggak mau mengotori penglihatan dengan tontonan pornoaksi gratis. Huft, coba tau gini dia ngajak Shea, pacarnya.

Sepeninggal si teman kecil, Jerry berfokus ke Joel di kiri, mengulas senyum riang lantaran akhirnya mereka bertemu setelah beberapa hari merindu. “Hai Pak Dokter..”

“Perkenalkan, nama saya Dokter Joel Andrean, Sp.OG,” ucap Joel cengengesan tanpa melepaskan kalungan di pinggang kesayangan, memerangkap kekasihnya di dekapan, dimana ia berdiri menyusupkan badan di tengah-tengah paha montok yang terbuka.

Whaaattt?” mata Jerry membulat tak percaya, kedua tangan otomatis melayang tepat di dada bidang terbalut jas putih, belum lagi kacamata yang bertengger di hidung mancung bagai perosotan waterbom semakin meneriakkan kesan dokter kutu buku favorit pasien kandungan. “kamu jadi dokter?”

“He eum, cita-citaku waktu kecil, nggak spesialis kandungan juga sih,” tutur si Tampan meloloskan tawa geli. Jerry pun ikut merefleksikan ekspresi, sesekali bergerak menggrayangi.

“Kalau kamu jadi dokter kandungan beneran, aku rela oplas kelamin biar bisa diperiksa sama kamu,”

“Ouch, sayang sekali aku suka titit,” Jerry tergesa-gesa membekap mulut besar tersebut, melototkan mata akan omongan tak difilter pacar sendiri. “and I love Jerry's dick instead of his pussy, if he has one,”

Jerry menyamankan posisi duduk, hawa panas entah dari alkohol di nadi atau kehadiran Joel di sini menyebabkan ia mendadak terangsang dan pingin didamba di setiap inchi kulit. “Oh, doc..” bisiknya pelan, “I have a problem with my pussy, care to check it?”

Joel mengumpat dalam hati meskipun ia harus mempertahankan ekspresi. Pemudanya kini menggeliat-geliat kecil seakan hendak menggesekkan kelamin seorang supaya mendapat friksi. Di tengah-tengah keramaian mahasiswa, mereka tidak memikirkan konsekuensi selain ingin mencicipi tubuh satu sama lain.

Then, would you mind to come with me? I left my belongings in my car,” jawab pemuda surai cepak tak kalah candu membuahkan Jerry berusaha menahan diri agar tidak limbung. Woy lah dia lemah banget kalau Joel udah ngomong pakai suara berat, kalau boleh aja bertumpu lutut di sini, bakal dilakuin Jerry sedari tadi.

Maybe his bestfriend was right, Jerry wouldn't last fifteen minutes in the party after he met Joel here.

.

.

.

“Aahh.. Doc..”

Relax, saya cuman mau lihat apa yang bermasalah sama organmu, Nona,”

Jerry gemetaran hebat sesaat Joel membuka kakinya lebar-lebar, berhasil menyusupkan diri di lantai tepat sekali berhadapan dengan lubangnya. Dia seorang terduduk di kursi penumpang belakang, tungkai setinggi langit, menampakkan tali g-string yang hanya membaluti penis. Itupun nggak semuanya tertutupi.

Joel menenangkan diri sejenak begitu retina disuguhi pemandangan menguji batin. Pacarnya kalau sudah disuruh berdandan seperti sekarang memang totalitas tanpa batas. Entah siapa yang patut diucapkan terima kasih, mungkin tangan Jerry sendiri beraroma wangi saat mencabut undian sehingga mendapat kesenangan Joel.

“Nona, mungkin saya tahu masalahnya dimana,” Jerry melenguh tertahan, bernapas tidak teratur saat mereka beradu pandang. Penis terperangkap kain sutra hitam menggoda, sedikit menampilkan becek di sana. Tentu saja adik Joel langsung berdiri, tidak sabar ingin bertemu teman main serta bertamu ke saluran fantastik.

Please.. do anything for my pussy, Doctor Joel..” erang si Cantik kini memegangi kedua paha sintal di genggaman, sengaja mengedutkan liang demi melihat respon kekasih seorang.

You need something to wet it, Miss,” Joel mengambil ancang-ancang mendekatkan wajah, ohh how he missed this hole. Sudah lama dia nggak makan Jerry, terakhir seminggu lalu sewaktu dia belum berangkat ke luar kota buat turnamen kampus. Aroma memabukkan, sedikit stroberi di sekitaran menggelitik hidung mancung Joel. Tiada babibu ia melesakkan ujung seraya menghirup perlahan.

“Aahh Dok..” sialan. Joel kalau lagi mode liar kayak gini benar-benar menaikkan nafsu Jerry. Padahal jika dipikir menggunakan akal sehat, kendaraan roda empat milik sang kasih tidak etis dipakai untuk berhubungan intim. Apalagi Joel tak segan-segan menyantap terlebih dahulu.

Lidah panjang terjulur menapak langsung mengenai kerutan, Jerry sontak membusungkan dada sekaligus mengetatkan pintu saat benda lunak nan basah mengitari maupun menusuk-nusuk lubang. Shit, the tongue feels sticky yet his dick stood greatly.

Alunan bunyi campuran liur di sana berdesing melambai indra pendengar, Joel memanfaatkan situasi senyaman mungkin walau badan bongsor tersebut harus rela berdesakkan di antara ruang kosong dan kursi depan. If he wants it, especially the sight before him, he'll get it no matter what.

You really want to make me snap, don't you?” selagi ia menyantap, satu digit panjang menyusup di belakang tali tipis, menarik menghasilkan keterkejutan kemudian melepaskan hingga memekakkan bunyi 'SNAP' nyaring.

“Aahh.. Daddy pleaseee..” Jerry memohon-mohon supaya panty laknat diturunkan, kejantanan benar-benar tersiksa akibat kesempitan yang membungkus, “off please pleasee..”

Joel meludah sekali menyebabkan liang kekasihnya makin berkilau, sebenarnya nggak kelihatan sih karena di luar gelap dan penerangan mobil memang sengaja tidak dinyalakan. Tapi dia sangat yakin kalau sarang kesayangan senang diperlakukan seperti tadi. Lihat saja reaksi pemiliknya, haha. A mess padahal baru dimakan beberapa menit.

“Aku nggak tahan lagi,” ujar pemuda tampan itu seraya membuka kaitan kancing celana kain, jas dokter dilempar ke sembarang arah, menyisakan kemeja kasual serta boxer yang mendarat di setengah paha agar si adik bebas menghirup udara dingin dari AC kendaraan.

“Yel.. nggh ciumm..”

“Bentar aku cari pelumas dulu,”

Jerry menetralkan detakan jantung sendiri sesaat memperhatikan gerak-gerik kekasih ke sana kemari mencari botol simpanan yang mereka sengaja taruh di dashboard just in case they want to do something fun di negeri antah berantah (?). Contohlah sekarang. Dimana mobil Honda HR-V hitam itu terparkir sedikit menjorok ke pojokan, kayak ditakdirkan menjauhi mata-mata penasaran.

Tidak ada waktu untuk pulang ke rumah disaat nafsu sudah di ubun-ubun seperti ini. Jerry membuang segala macam bentuk pemikiran negatif lantaran seluruh penghuni kampus sibuk berpesta di dalam sana.

“Heh malah melamun,”

Jerry agak mendongak sebab postur tinggi Joel tampak memerangkapnya. Kepala sang pacar sedikit lagi menghantam atap mobil apabila ia bergerak ke atas secara tiba-tiba.

“Hati-hati kepalamu,” gumam si Manis mendapat cengiran kekanakan, ada rasa gembira membuncah di hati Joel dikarenakan peringatan kecil dari kekasih. “benjol nggak tanggung jawab,”

Can kiss it better, can't you?”

“Aku mau hisap tapi lubangku dah gatel,”

Joel menyumpah pelan, “Hun please kasih ampun dong sama adek,” Jerry menahan tawa terhadap kesengsaraan, resiko mau ngenak di tempat tidak etis akhirnya nggak bisa lama-lama menyiapkan diri. Dia mengulurkan tangan buat membantu melumasi batang, sekali lagi hanya ada cahaya rembulan malam yang memantul di kaca jendela sehingga ia sekilas melihat milik Joel menggeliat di telapak.

“Goyang aja dulu di sini, udah keluar sekali baru kita lanjutin di rumah,”

Si Tampan mengangguk setuju, menyosorkan wajah untuk mempertemukan bibir. Kedua ranum mencari celah satu sama lain, bak kepingan teka-teki yang menyatu. Dua tangan bergenggaman mengocok kejantanan besar, mendesah di antara tautan.

“Yel.. mhh celanaku please–”

“Kemarin aku nggak goyang kamu pakai ini, please please gausah dibuka yaaa..” pinta Joel menjulurkan bibir bawah, Jerry melongo sebentar, nyaris memukuli pacarnya karena ingkar janji, akhirnya tidak jadi dilakukan sebab raut pemuda lain minta dikasihani. Minta dikabulkan fantasi kemarin.

Kedua sejoli kembali menautkan bibir bak tidak hidup keesokan hari. Tangan-tangan bergerilya melepaskan genggaman menuju lekukan tubuh masing-masing. Tiga kancing teratas mengekspos kulit bersamaan deru napas hangat dan kecupan-kecupan mengembangkan bercak merah.

“Oh.. mmh Oyeell..” erang Jerry meregangkan leher, merasakan kepala jamur menyodok-nyodok pintu liang, tak sabar ingin menembus ke dalam. “fuck you smell good..”

Joel tega mengulum kulit seputih susu tersebut hingga membekas, membalikkan posisi biar lebih leluasa menggoyang. Jerry terpekik kaget saat mendudukkan pantat di pangkuan kokoh.

Move those ass for me, Hun.”

Jerry menangkup rahang tegas seraya melumat bibir kenyal pacarnya lagi, menaikkan pantat supaya Joel dapat memasukkan kejantanan berbulir anak mani ke liang milik sendiri. “Mmmhh! Mmhh!” Puncak tebal berhasil menyangkut dan dinding saluran berbondong-bondong membuka jalan. They missed him too, terasa dari bagaimana mereka mencoba berkontraksi melahap si batang.

Fuck so tight..” Joel mendesah berat, hidung saling bersentuhan, terutama karbondioksida menginvasi ruang bernapas. “I never get tired of this,” telapak besar mendarat di bantalan hingga berbunyi keras. Jerry merengek, menggeliat tidak sabar. “I want more.. I always craving for more of you, Jerry,”

Lelaki surai cokelat berusaha melepaskan wig yang mulai gatal akibat peluh, belum lagi celana dalam tipis tampak meleber lantaran tak dapat menampung anak mani sang pemilik. “J-Joel nghh Joel please..”

C'mon Baby, ride me.” titah pemuda lain menepuk-nepuk si pantat, menyebabkan Jerry bergerak naik turun diselingi desahan patah-patah.

“Ah- aah! Ah! O-Oyell..” ia mencoba mengarahkan ke sudut lain, makin mengeraskan jeritan pada tumbukan kepala gendut di bundelan saraf. “fuck! fuckk! Aku nggak bisa-”

Joel bergabung menggenjot ke atas lebih cepat, berlawanan arah dengan Jerry yang meloncat-loncat sambil tak kuasa meneriakkan namanya, mengakibatkan kendaraan roda empat itu bergoyang mengikuti irama, dan kabut samar menutupi kaca jendela belakang.

“Oyel! Oyel!” Si Manis terus menerus mendesah tanpa menghentikan gerakan meski kedua pahanya menjadi kebas, liang terasa pedas dari gesekan keluar-masuk batang yang melonggarkan, tapi terasa puas untuk dia yang seminggu tak didamba.

Wanna come?”

Kepala Jerry mengangguk cepat, menggigit bibir kuat-kuat ketika isi perutnya menguat, bunyi pancuran tertahan material terdengar di indra sekaligus basahnya permukaan yang tercetak. Lelaki itu tersengal-sengal mengambil napas, bahkan ada tarikan ingus saking terlalu rentan.

Payah. Sempak sialan! Kalau bukan karena permintaan Joel, nggak sudi Jerry makai sampai dikotorin kayak gini! Lihat betapa tidak puasnya adik kecil terperangkap dalam kubangan lengket, belum sepenuhnya melepaskan hasrat.

“A-aku ngh nggak mau tau! Aku nggak puas keluar kayak gini!” teriaknya frustasi menemukan kekehan receh dari sang kekasih. Bangke malah diketawain, organ tebal di dalam badan bergerak ke atas lagi, menggenjot secara sepihak lantaran dia capek bila tetap dipaksa melompat-lompat kembali. “Yeeell pleasee pulaangg,”

“Sabar Cintaa, aku belum ughh.. keluar.. dikit lagi.. fuck!enak bangett..” racau Joel kini mencengkram pinggang yang tersingkap kemeja satin, menciptakan kemerahan penuh semangat menghentak brutal. “oh.. shit.. oh Hun fuckkk..”

“Ngahh! Aah! O-oyel..” Jerry dibikin nggak bisa bernapas sebab berulang kali Joel menusuk cepat nan tepat bahkan terasa menembus ke saluran perutnya. Diaduk-aduk tapi nikmat tiada tara. Penampilan pemuda rambut cepak pun sudah tidak utuh lagi, kacamata dilepas paksa karena mengganggu pandangan ia menontoni raut lelaki kesayangan di pangkuan.

“Luar dalam?”

“Masih sempat tanya kamu?” Sebelum Jerry mengomeli lebih lanjut, Joel sudah melepaskan benih duluan, mengundang lenguhan panjang serta getaran menghantam seluruh persendian, si Manis bak disuntik lava panas, memenuhi seluruh rongga belakang dengan untaian putih. Hangat, sangat-sangat basah bahkan lengket tak ketolongan. Joel masih menggenjot pelan, upaya memasukkan mani sejauh mata memandang. “Yel.. mmh..”

“Oke, oke kita pulang sekarang,” Joel tergesa-gesa menaikkan pinggul si Manis hingga berbunyi 'plop' usai kepala jamur selesai menyumpal lubang. Menempatkan Jerry di kursi dengan posisi mengangkang lantaran masih kecapean. Dia nyaris saja menyerang Jerry kembali ketika pemuda cantik itu tak tahu menahu melemaskan otot liang yang memerah dan terbuka lumayan lebar. “aaahhh!! Jangan begitu Hun aku nanti sange!”

“Ssshh cepetin sana nyetir, aku mau ngumpulin nyawa dulu,” sahut Jerry menghembuskan napas panjang sesekali membiarkan si sarang mengotori alas kursi maupun lantai, siapa suruh keluar di dalam, itulah resikonya kalau nggak pakai pengaman.

Entah bagaimana caranya Joel menyusup ke kursi pengemudi tanpa keluar mobil terlebih dahulu, berbekal penis setengah tegang, ia berhasil menancap gas untuk segera pulang ke rumah. Jerry setia duduk di kursi belakang, sempat melihat kilatan cahaya kamera dari balik kaca kendaraan.

Aw. Apa nih?

.

.

.

Ahh- aahh O..yell..”

Nghh! Aaahh- aku nggak bisa..”

Jerry membanting ponsel tepat di atas meja setelah mendapat pesan singkat berupa video 10 detik dari Icha. Pipi tembam memerah hebat, telinga memanas mengeluarkan asap, tidak tahu antara malu atau marah karena sudah ketangkapan basah melakukan hal tak senonoh di parkiran oleh seseorang.

Bajingan. Siapa orang gila yang merekam kegiatan mereka di pesta halloween kemarin hah? Bukankah seharusnya mereka tidak ketahuan jika diingat posisi mobil Joel terparkir?

Grup kelas nampak ribut mengomentari video tersebut. Mengatakan sesuatu tentang mahasiswa Fakultas Teknik memiliki exhibitionist kink dan berani berbuat sesuatu di keramaian.

Jerry mendecih, ramai apanya? Ramai akan kendaraan sih iya.

'Enak banget keknya sampe mobilnya goyang-goyang gitu'

'Siapa ya Oyel? Kayak nggak asing'

'Iya!! Pernah dengar sekilas tapi lupa eh'

'Yang cewek nyaring banget mungkin burungnya enak kali ya?'

Sekali lagi tokoh utama kita ditemukan mendengus keras, mengutuk respon teman-teman sekelas akan tayangan berdurasi pendek. Bersyukur dia dikatain cewek karena setidaknya takkan terlalu mencolok kalau ternyata lakon video berisi suara-suara berintonasi tinggi itu adalah dirinya dan Joel.

'Tapi kata anak sebelah itu mobilnya Joel Andrean tau'

“PFFFTTTTT!”

“Hun, kenapa?”

Si Cantik membelalakkan mata, cepat-cepat membaca isi chat di grup secara teliti sebab ada nama Joel menyangkut di sana. Mengabaikan panggilan keheranan dari sang kekasih yang bermain game ponsel di kasurnya.

Mampus. Matilah.

'Ah masa? Joel jarang pakai mobil ke kampus, lagian itu suara cewek coba deh kalian dengerin, unless dia selingkuh sama cewek'

“Huuuuunnnn...”

“Huh? Apa?” Jerry berhenti memusatkan perhatian ke ponsel lalu menolehkan kepala didengar rengekan, Joel mengerucutkan wajah tak suka karena tidak diacuhkan.

“Kenapaaaaa?”

“Kamu dikasih video nggak?”

Tambahlah kerucut muka Joel terhadap pertanyaan ambigu tersebut, “Video apa?” Jerry bangkit dari kursi belajar, menyeret langkah ke tempat pembaringan si pacar kemudian beringsut menyusup di bawah ketiak.

“Nih.”

Kembali dengan suara-suara melengking, menyebut panggilan disertai bunyi napas yang nyaring, belum lagi mobil bergoyang bagai diterpa gempa bumi meskipun disorot dari jauh, tapi terlihat jelas sekali di bawah remangnya sinar rembulan. Joel hanya diam tak bergeming, entah apa yang beliau pikirkan sampai rekaman itu selesai.

“Yel..” Jerry mencoba menyenggol, nggak lucu jika pacarnya beku mendadak.

“Itu kita?”

“Yaiya siapa lagi, Oneng. Kan cuman aku yang manggil kamu Oyel,” balas Jerry menggembungkan pipi, memandang gurat-gurat kebingungan tersampir membuatnya gemas mencubit sang kasih. “ughhh lemot amat sih kamuuu!”

“Aduh! Aduuhh!”

“Ini tu kita Yel kitaaaaa Joel dan Jerry!! Lagi ngasoy di mobilllll!!”

“Iya iya aku ngerti aku ngerti aduhhh Hun sakittt!”

Jerry pun akhirnya mau melepaskan, menemukan bibir kenyal kesukaan mengerucut menjadi satu membuat gerutuan. “Terus gimana ini?”

“Lah mau gimana? Namanya dunia maya cepet aja nyebarnya,” jawab Joel mengambil kesempatan mengusapkan pipi yang memerah ke pipi tembam Jerry. Kan, sempat-sempatnya dia manja kayak kucing. Sebenarnya Jerry melihara dua ekor di kamar, yang asli, sama yang siluman macam lelaki di sebelahnya.

“Ya Allah semoga nggak ada yang kepo,” pinta Jerry menangkupkan tangan, Joel menaikkan satu alis.

“Beda Tuhan, Hun.”

“Hush diem! Sama Beliau lebih cepet dikabulin,”

Joel hanya mencubit hidung mungil tersebut sebagai balasan telah mencubit dirinya sehingga kedua sejoli akhirnya terlibat pertengkaran konyol seakan tidak mempedulikan video yang sudah mereka lihat.

“Kamu nggak usah khawatir, kamu pacaran sama anak komputer, palingan nanti malem udah hilang dari peradaban,” ucap si Tampan menaik-turunkan alis seraya menyeringai lebar kemudian menyosor minta dimanja kembali.

Jerry membuang segala pemikiran tentang rekaman kecil tadi lantaran malas juga mengurusi hal-hal tak penting meski dia dan Joel yang menjadi tokoh utamanya.

Tenang. Kalaupun satu kampus tahu itu mereka, what are they gonna do about it?😉

.

.

.

FINALEEEEEEE JOEL JERRY COMEBACKKK!!!! Padahal aku mau bikin jukyu tapi karena aku gak dapet ide buat mereka yaudah buat jumil lokal dulu hehe. Hope u enjoy it🫶🏻.

jukev

.

.

.

Screw it.

Cursed you, Youtube.

Kevin nyaris membakar ponsel di tangan setelah berlama-lama menatapi layar yang tidak tahu menahu tentang pengaruh terhadapnya. Hanya menayangkan beberapa video as the finger of the owner asked and it didn't know something snapped from him like a cut string.

Berawal dari keisengan dia menemukan editan potongan-potongan adegan menjadi satu video full yang dinamai 'moments', entah dia bersama Jacob, atau bersama New, atau bersama Hyunjae, atau anggota lain, tapi paling banyak sama Jacob, sumpah! Kevin nggak habis pikir but decided not to think too much cause he's been banned by his boyfriend to do that.

Namun, keisengan bertambah menjadi kebiasaan, Kevin menjadikannya seperti hobi yang candu, mencari video dia dengan anggota, ingin menelisik lebih jauh tentang kedekatan mereka. Ohh, jadi ini yang dilihat penggemar ketika ia bersama Sangyeon, ohh jadi ini yang disukai ketika ia bersampingan dengan Jacob. Satu hal yang tak diketahuinya bahwasanya ia tidak pernah menemukan potongan momen bersama Juyeon.

Apa nih? Kan mereka pacaran, kenapa jadi mereka yang tampak tidak dekat sama sekali? Di larut malam saat semua penghuni rumah sedang terlelap termasuk sang kekasih di samping kamar, Kevin memberanikan diri mengetik sesuatu di kolom pencarian.

'juyeon kevin'

Nihil.

Hanya ada satu, itupun yang diupload oleh agensi sendiri ketika Juyeon membuat konten tentang dirinya. A walking with Juyeon. Episode 6, bertajuk 'We need to talk about KEVIN' menyebabkan ia terhenyak sebentar menatapi layar. Perasaan tercampur aduk, sejenak pikiran negatif menyerbu.

And that video was so strictly professional for them cause it's impossible to show off some PDA around the camera, isn't it? Yang ada malah kena omel dan tidak diperbolehkan dekat sampai batas waktu yang ditentukan.

Sebuah jeritan pintu mengejutkan lamunan, sontak ibu jari menekan tombol penguncian kemudian memejamkan mata hendak terlihat pura-pura nyenyak, mengabaikan langkah terseret menghampiri serta beban seseorang mendarat di alas empuk.

“Hey, belum tidur?” Kevin diam merasakan kehangatan dari telapak tangan besar, mengelus paha yang tertutup selimut setelah suara bariton khas orang mengantuk mendentum indra pendengaran. “kena insom, By?”

Nggak Juyeon, more like he's gotten into his personal space again. Tapi dia nggak perlu tahu kan? Kevin mencengkram ponsel di tangan, gagu untuk membalas selain menikmati elusan. Juyeon terdengar menghela napas ringan, bergerak menyusup ke dalam material tebal lalu memeluk dirinya dari belakang.

Tiada kata terucap, hanya deru napas berat Juyeon di belakang kepala Kevin disertai lingkaran lengan di perut kurus, menepuk-nepuk lembut pada permukaan terbentuk bak tengah menenangkan kegelisahan bayi.

“Night, Baby.”

Kevin setia mengunci mulut setelah Juyeon berucap mesra dan jatuh tertidur sambil mendekapnya. Meninggalkan pemuda lain dilanda ketidaksukaan terhadap perasaan baru yang hinggap di kala malam. Apa lagi yang dia resahkan ketika sang kasih sudah berada di jangkauan? Nothing to be worry about, right? Tetapi, kenapa Kevin masih memikirkan ketiadaan momen yang dibuat penggemar di youtube?

.

.

. ***

Iya, Kevin benar-benar gelisah.

Pasalnya, ia tidak menyangka kalau pencarian kemarin menghasilkan ia mengetik nama lain di samping nama pacarnya.

'juyeon hyunjae'

'juyeon q'

'juyeon younghoon'

Jadi gila beneran dia mah setelah mengetahui hasil ketikan seorang. Menemukan banyak editan, bahkan satu halaman pencaharian pun masih belum cukup menggambarkan betapa banyaknya orang menyukai momen Juyeon bersama anggota lain. Kevin otomatis berpikir hanya dia saja yang jarang disorot. Apa ini konsekuensi pacaran diam-diam? Hanya menampakkan kemesraan di dalam kamar, tanpa sepengetahuan siapapun, kecuali Tuhan.

Well, he's not that religious like Chanhee and his boyfriend also doesn't faith to anything so fair enough for this 'taboo' relationship.

Apa.. penggemar tidak terlalu suka kedekatan mereka?

Oh shit here we go again. Kevin menegak ludah saat pertanyaan itu terlintas. Mengingat kembali alasan mereka berkencan dua tahun lalu dimana Juyeon tiba-tiba mengurungnya dalam studio pribadi lalu mengutarakan perasaan yang sudah lama dipendam sejak Kevin datang menjadi trainee di agensi. Membuahkan si Manis menganga, mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian terbelalak ketika tanpa angin hujan badai meteor garden dicium pada detik selesai Juyeon berpidato. That moment was so real for him and the biggest reason he falls harder.

Sialan. Baru juga dua tahun jadian sudah diterpa masalah tidak jelas. Kevin menyalahkan kebiasaan dia menontoni fanedit di platform youtube, sudah ke tahap dimana ia ikut mengobservasi kedekatan Juyeon dan Hyunjae.

'Goblok Kevin kenapa kamu mikir kayak gini?'

Sekian banyak video yang dilihat menyebabkan Kevin dikuasai pikiran negatif tentang hubungan keduanya. Begitu ia mendapati siluet Juyeon menghampiri, buru-buru melempar ponsel ke arah kiri, beruntung mendarat di sofa tempat ia mendudukkan diri.

“Hey.” Kevin melempar senyum seraya membulatkan mata, menatapi gerak-gerik pacarnya yang kini ikut menempatkan pantat di samping kanan. Juyeon membalas dengan senyuman jenaka, telapak berhasil meremas lutut pemuda kesayangan meski banyak manusia berlalu lalang.

“Bosen?”

What a ridiculous conversation. Nggak biasanya Juyeon secanggung ini. Apa yang dipikirkan Kevin benar? Lelaki surai cokelat mulai tidak menyukainya lagi. Si Manis menggeleng pelan, tiba-tiba menyingkirkan telapak di posisi begitu Sangyeon melewati mereka.

Kevin tak melihat sirat kekecewaan di manik pemuda sebelah. Dia sibuk menimang-nimang di pikiran sendiri sampai akhirnya berdiri pergi.

“Kev mau kemana?”

“Toilet.”

Juyeon termangu, mendapat tatapan penuh tanda tanya dari pemimpin mereka perihal apa yang telah ia perbuat hingga Kevin macam orang dilanda sembelit berbulan-bulan. Dia pun juga tidak tahu, being an airhead he is. Selagi kekasihnya tidak mau bercerita, dia tidak berhak mengorek paksa.

Si Manis memandang pantulan di cermin, berhasil melarikan kaki ke salah satu kamar kecil terjauh dari ruang tunggu mereka. Bibir tipis itu tergigit, manik mulai nanar dihinggapi air mata, dia bingung, dia resah, apa sebenarnya dia tidak cocok bersanding dengan Juyeon? Lantas, mengapa mereka memutuskan untuk berpacaran? Memanggil sebutan mesra satu sama lain, terkadang memadu kasih di ranjang. Even they already took that step, physically and mentally love each other.

Dia memberikan segalanya buat Juyeon selama mereka bersama, dan berhenti berpikir berlebihan setelah berkencan. Yet, why is it feels heavy when you didn't see any closeness between them? Apakah betul ini bentuk konsekuensi pacaran diam-diam? Menahan diri tidak melayangkan sentuhan, takut dianggap macam-macam, dianggap mengotori grup or worst.. image yang diciptakan Juyeon?

Kevin seorang sudah sering termakan omongan jahat. Sampai dia ingin keluar pun, Juyeon orang nomor satu yang menentang keras, sewaktu itu mereka baru saja jadian, banyaknya tekanan manusia-manusia laknat di luar sana mengakibatkan Kevin mengalami anorexia dan mendekam diri di kamar. Penggemar terus memberikannya semangat, selain anggota dan Juyeon. Also his boyfriend is the greatest supporter at that time.

Gimana dia nggak jatuh lebih dalam sama orang paling nggak peka sedunia?

Tapi mengingat betapa seringnya penggemar memasangkan Juyeon dengan Hyunjae atau Juyeon dengan Younghoon atau Juyeon dengan Changmin membuat dirinya sedih sebab tak dapat melakukan apapun untuk menampilkan kedekatan mereka.

Bukan berarti Kevin tidak menyukai kedekatan dia dengan Jacob. Hanya saja, mereka benar-benar sebatas sahabat dan teman curhat, terutama karena mereka memiliki tipe MBTI yang sama. But, believe me his heart belongs to Juyeon only.

Tidak tahu isi hatinya Juyeon ya.

“By aku ada salah ya?”

Sesudah mereka menyelesaikan jadwal dari pagi sampai malam, Juyeon memberanikan diri menyuarakan pertanyaan saat mereka tiba di asrama. Kevin melengos mengabaikan eksistensi kekasihnya yang satu mobil, tidak mengacuhkan tatapan aneh dari Jacob. Dia tersentak mendengar suara si pacar, tetap saja memberikan gelengan.

“You look constipated since morning, ada masalah sama perutmu?” tanya Juyeon kembali sangat khawatir, si Tampan mendekati figur langsing, duduk di samping refleks menempelkan telapak besar di pipi. Jantung Kevin rasanya mau pecah, hendak menangis di situ-situ juga melihat kecemasan yang mendera. Dia tak bersuara, melainkan memandang balik, sulit menjelaskan isi perasaan sebenarnya.

“Kalau kamu nggak ngomong, aku nggak bakal tahu kamu kenapa,”

“I'm fine, aku cuman capek..”

Juyeon menghela napas lega, selama seharian dia tak mendengar ocehan Kevin, sepatah dua patah kata meluncur itupun kalau ada yang memperhatikan. Si Manis tidak pendiam seperti dirinya, meskipun pemalu dan jarang memberi respon lewat obrolan, tapi tidak semurung sekarang. Dia tersenyum lembut, kini ibu jari mengusap tulang pipi tak tembam, sangat-sangat pelan, menuju ke bibir tipis kesukaan. Juyeon mendekatkan wajah, rindu tidak mencium Kevin-nya, pemuda lain terlihat tegang, walau tak melawan. Menerima sentuhan halus di atas bibirnya, slotted perfectly like their first time.

Lama kelamaan ciuman polos dengan niat menenangkan malah berubah ganas usai Juyeon mengaitkan bibir keduanya. Tangan kiri nan bebas merengkuh pinggang sambil terus memagut mesra. Kevin mengalungkan lengan di tengkuk kokoh, berpegangan erat seolah hidupnya bergantung pada kekasihnya. Membuka belah bibir demi mengawai indra pengecap saling bertautan.

'Might be your last kiss anyway.'

Kevin mendorong Juyeon sekuat tenaga agar menjauh sebentar. Mata terbelalak, napas terengah-engah. Tidak mempercayai apa yang baru saja pikiran jahatnya katakan. Juyeon memandang tidak paham, begitu ia ingin memajukan wajah, pemuda manis malah menahan.

“Not tonight.”

Gemuruh petir menerpa luar jendela bersamaan remuknya hati Juyeon mendengar penolakan. Biasanya Kevin selalu senang, bersemangat membalas bahkan diselingi tawa kegelian di antara keduanya. Namun, yang ia temukan sekarang adalah ketakutan dan kepanikan si Manis tanpa sebab.

“By..”

“Pergi, Juyeon. Aku.. aku mau sendiri..”

Guntur di langit seperti menghantam bilik jantung Juyeon sendiri. Manik membulat tidak menyangka diusir sang kekasih. Kevin kekeuh pada pendirian, beringsut menjauhi bersembunyi di kamar mandi pribadi.

What is going on? Juyeon tidak mengerti. Seseorang tolong jelaskan kenapa Kevinnya berlari menghindari dirinya akhir-akhir ini.

.

.

.

***

.

.

.

“Tapi aku kurang suka scene yang itu,”

Sebuah pengakuan mengejutkan Kevin di kala grup sedang melakukan fanmeeting dalam promosi lagu Jepang mereka 'She's The Boss' di Tokyo, Juyeon dengan wajah berseri-seri isyarat bercanda mengatakan tentang adegan yang ia tidak suka selagi mereka membicarakan bagian-bagian MV yang telah dirilis di bulan Mei lalu.

But not with Kevin. Sebut dia baperan karena the second Juyeon said his words, muka Kevin hampir saja pecah berkeping-keping.

Tenang. Kamu dilatih untuk ini, Hyungseo. Dia cuman bercanda, sebab sebetulnya sesudah mereka selesai syuting, Juyeon menghadiahinya kecupan tersembunyi sambil mengucapkan, “You deserves that throne, Baby. And you looked so hot in that blonde,”

Bukan mendengar kayak gini, Juyeon!

“Itu berarti Kevin jadi raja kan?”

“Bos lebih tepatnya,” Si Tampan sempat melayangkan cengiran di akhir kalimat ke arah Kevin yang berusaha menetralkan air muka.

“Yeah.” oh shit jawaban macam apa ini Moon Hyungseo? Kevin tidak tahu harus membalas bagaimana disaat ia selama beberapa hari tengah menjauhi Juyeon, walau satu rumah. Ada saja alasan yang dikemukakan apabila pemuda itu mendekat. Para anggota tidak tahu gelagat canggungnya, tidak perlu tahu malahan. Mereka tak memusingkan Juyeon dan Kevin lantaran maklum pada kekakuan yang sering mereka ciptakan apabila sedang bersampingan.

Deketan saja dicuekin apalagi jauhan.

“Aku kesakitan karena tajam,” ia buru-buru melontarkan sahutan, takut dianggap tak menanggapi guyonan anggota sendiri. Semoga mereka tidak menangkap maksud terselubung dari jawaban itu, Hyunjae bergabung menanyakan kondisi pantatnya dan ia mengangguk mengiyakan, berharap mereka berhenti melanjutkan obrolan dan pindah ke topik selanjutnya.

Sewaktu dia kembali beristirahat di kamar, di situlah pikiran jahat mengeloni memori. Seakan mengatakan padanya sudah tiba saatnya mereka hinggap lagi, tiada yang dapat menghentikan selain Kevin sendiri.

“Kev, kamu nggak makan?”

“Nggak Hyung,”

Hyunjae memiringkan kepala, “Perutmu kambuh?” tanya kakaknya kini menduduki ruang kosong di kasur Kevin, menatap cemas, sama seperti ketika Juyeon menatapnya. Rongga dada Kevin menyesak, menggeleng-geleng cepat kemudian berupaya menarik selimut demi menutup wajah. Sayang sekali pemuda rambut cokelat tidak bergeming pada usaha tersebut.

“Aku ngantuk,”

“Kamu harus makan dulu,”

“Besok aja pas sarapan,”

“Kevin..”

“Hyung..” rengeknya menjulurkan bibir bawah, biasanya Hyunjae luluh kalau dia sudah memasang wajah-wajah imut minta dikasihani, benar saja lelaki cantik itu menghembuskan napas kasar, menjepit hidung Kevin gemas hingga ia mengerang kesakitan.

“Awas kalau nggak sarapan besok,”

“Iya iyaaaa..”

“Yaudah aku keluar dulu mau olahraga sama Juyeon,”

Mendengar nama kekasihnya, Kevin terpaku. Membayangkan hal yang tidak-tidak akan terjadi pada mereka berdua jika berada di satu ruangan. Ah, bukankah ini yang penggemar inginkan? Pasangan nomor satu di The Boyz akan melakukan work out bareng, dimana Hyunjae selalu tertawa terhadap apa yang Juyeon lakukan, sementara lelaki tinggi itu cengengesan seolah tak pernah menghibur kakaknya.

“Kev? You okay?”

Si Manis tersentak sebentar, menggumam saat beradu tatap dengan Hyunjae. Simbol tanda tanya besar menempel di wajah pemuda lebih tua, cukup keheranan usai ia menyebut nama Juyeon.

“Kamu yakin nggak mau ikut nge-gym?”

“Hyung, aku ngantuk kan?” Hyunjae tergelak geli, beranjak berdiri tak lupa mengusak rambut hitam hingga berantakan, Kevin mengerucutkan bibir, malah dicubit saking gregetan.

“Okay, selamat tidur Kevin Baby,”

“Ciumannya mana?” goda lelaki di kasur tak sadar telah meloloskan cekikikan, dia tidak berharap akan diberi namun kenyataannya Hyunjae tidak segan saat mendaratkan bibir di pipi tak tembam, sepersekian detik, namun sangat terasa menghangatkan parasan. Kevin membeku kedua kali, tak menduga sama sekali.

Hyunjae tersenyum lembut tanpa menjauhkan wajah, mereka saling bertatapan, menyelami maksud dari kecupan halus tersebut.

“Makanya jangan minta, panik kan?”

Kevin menonjok bahu tegap itu main-main membuahkan tawa membahana Lee Hyunjae sebelum ia masuk kembali ke selimut tebal sementara lelaki lebih tua keluar dari kamar. Meninggalkan kesunyian menemani sosok di alas empuk, tenggelam di pikiran negatif.

'What if they did something?'

'Then you're not worth for Juyeon, haha'

'Hari gini mana ada backstreet bertahan selama beberapa tahun, Hyungseo, you're idiot for kneeling before him.'

'Oh, atau dia yang bodoh karena sudah suka sama kamu?'

Kevin meremat ujung kain yang menutupi hidung erat-erat, tak kuasa menahan pedasnya air mata menutupi pandangan, menunggu aba-aba otak untuk melanjutkan misi peluncuran. Namanya juga pikiran jahat, kalau bukan menjelekkan, ya menyalahkan dirinya.

'The fans know the better one for Juyeon, Hyungseo.'

'Kamu nggak lihat tatapan Juyeon ke Hyunjae exactly the same when he's staring at you. Bayangkan kalau selama ini kamu gede rasa.'

Oh god rasanya- Kevin tidak dapat menahan lebih lama lagi dengan semua kalimat-kalimat penghancur harapan yang bersemayam di benak. Malam itu, dia menangis terisak di balik kubangan selimut. Tidak berani memutar kilas balik kenangan memori yang baik akibat perkataan yang ia ciptakan sendiri.

If.. hanya berandai-andai. Jika ia memutuskan Juyeon, apa semua akan kembali seperti semula?

.

.

.

***

.

.

.

'Let's break up'

Baru kali ini Juyeon merasa kehidupan lambannya berganti menjadi cepat setelah menemukan sebuah pesan singkat, padat, semoga saja tertidak jelas muncul ketika ia bersantai di kamar hotel. Pelaku pengiriman tidak lain tidaklah bukan adalah Moon Kevin, yang sudah seminggu menghindar dan selalu menolak kehadirannya bila bersebelahan.

Dan dia berani mengirimkan kalimat itu lewat aplikasi sosial media?! Dasar pecundang!

Teriakan Jacob tidak diubris lantaran ia berderap macam kuda perang keluar ruangan. Pintu hotel yang tak bersalah terbanting kencang mengagetkan petugas kebersihan di kamar seberang. Hidung kembang-kempis menahan amarah, berjalan tanpa alas kaki ke tempat tak jauh dari milik seorang.

“KEVIN! BUKA PINTU!” serunya menggelegar disertai gedoran keras, kepalan tangan besar tersebut mendarat tak etis di material kayu hingga bunyinya memekakkan telinga siapapun yang mendengar. Hasilnya tentu saja nihil, berulang kali ia berteriak menghabiskan pita suara, penghuni di kamar tidak ada yang menjawab.

“Sir, do not smash the door, please.”

Juyeon menoleh, pelototan mata memerah menaikkan intensitas degupan jantung si petugas yang gemetaran. Dia cuman ingin menghentikan pemuda itu menghancurkan properti hotel, bukan untuk ikut campur.

“Do you have a spare key to this room?” Juyeon bertanya dingin, menggunakan bahasa jepang nan lugas menyebabkan petugas itu mengangguk, demi kemaslahatan nyawa, ia merogoh kantong kemudian memberikan sebuah kartu identitas untuk ditempelkan. Juyeon meminjam sebentar sampai bunyi pintu terbuka mendesing di gendang. “thank you.” ucapnya tak lupa membungkuk, sang petugas mundur teratur selesai mendapat kunci di tangan. Sedangkan Lee Juyeon telah membuka si benda penghubung secara tiba-tiba demi menuntut penjelasan.

“KEVIN!”

Pemuda yang dipanggil melepaskan tautan sembari menolehkan kepala seperti tidak pernah berbuat apa-apa bersama Hyunjae. Manik kucing memandang kosong kemudian menatap ke sang kakak di hadapan.

Sekarang giliran Juyeon yang terhenyak di pijakan ketika disuguhi pemandangan, dimana kekasihnya duduk di pangkuan Hyunjae yang memandang mereka horror dan panik akibat tertangkap basah. Lain dari Kevin, ia justru nampak santai seolah menantikan hal ini terjadi. Berani mengalungkan lengan di tengkuk lelaki lebih tua kemudian ingin memajukan wajah kembali.

“Keluar Hyung.”

Kevin menggelengkan kepala ke Hyunjae, supaya tidak mendengarkan perintah Juyeon, tega mendaratkan beban di atas paha kokoh agar tidak meninggalkannya berdua dengan orang ketiga.

“AKU BILANG KELUAR HYUNG!” teriak Juyeon lebih keras dengan kilatan api amarah terlintas di mata yang biasanya penuh kelembutan. Kini hanya ada luka dan kekecewaan menyertai amukan. Pertama kali Hyunjae menemukan Juyeon seemosi sekarang membuat ia sekuat tenaga mendorong Kevin ke kasur agar dapat melesat kabur sebelum memperkeruh keadaan.

Kevin nampak bergerak, sudah siap berdiri namun Juyeon keburu berseru sembari menunjuk ke arahnya. “Kamu diam di situ, kalau gerak sedikit aku nggak segan buat nyakitin kamu.”

Hyunjae bergidik ngeri saat samar-samar mendengar ancaman tersebut, tanpa mempedulikan apapun ia melarikan diri ke tempat teraman daripada ikut campur dalam rumah tangga anggota sendiri. Walau sebenarnya terbersit banyak pertanyaan apa yang sebetulnya terjadi di antara mereka jadi Juyeon sampai semarah itu dan Kevin tanpa gamblang mencium bibirnya.

Senyap ruangan terasa berat buat mengambil napas usai pintu tertutup rapat. Juyeon menenangkan diri sejenak, tak sekalipun melepas tatapan, mengunci pandangan si Manis, agar dia tahu kalau Juyeon tidak sedang bermain-main.

“Sekarang kamu kasih tau aku di sini, kenapa kamu jauhin aku selama seminggu terakhir.”

Kevin mengalihkan pandangan, kemanapun asal jangan ke Juyeon. Otak mendadak blank, tak bisa mengukit satu huruf sekalipun.

“Moon Hyungseo.”

Hening.

“Aku hitung sampai tiga, if you still shut your mouth, I won't hesitate to force it out from you.”

Ancaman Juyeon mungkin dianggap belaka sama Kevin karena dia tetap teguh membungkam mulutnya rapat-rapat.

“Satu..” Juyeon mendekat, dan Kevin terkesiap. “dua..” dia melangkah lebih cepat, menaikkan lutut di atas kasur tanpa meruntuhkan keseriusan. Pemuda yang bersandar di kepala ranjang mencari celah buat kabur, namun tatapan tajam nan dingin tersebut memaku dirinya di tempat.

“Dua setengah..”

“Nothing.”

Juyeon berhenti sejenak, menyeringitkan kening sesaat Kevin berbicara. “What..”

“I said nothing.”

“Kamu kirim pesan dua menit lalu masih dibilang nothing?”

Kevin menggigit bibir, kuat-kuat supaya menenangkan gejolak hati, oh, dia salah fokus sama muka Juyeon, kenapa sih dia pacaran sama orang ganteng? Dan apa yang sebenarnya Juyeon lihat dari dia sampai menyatakan perasaan kepadanya dua tahun lalu? Bukankah Juyeon normal? Lah terus kenapa dia juga nerima ajakan kencannya?

Air mata tak sengaja menetes begitu pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di otak. Juyeon membelalakkan mata tak percaya, sekejap meruntuhkan amarah tergantikan oleh kekhawatiran.

“Eh.. hey Kevin.. kenapa nangis?”

“Nggak-hiks apa-,”

“Kev, serius, just tell me, did I do something wrong?”

“No, aku yang salah di sini, I just think too much and-hiks-” dia tak melanjutkan lantaran isakan bermunculan seiring derai air mata di wajah. Juyeon langsung saja mendekap erat, membawa pemuda kesayangan menemui dada bidang, menyalurkan kehangatan yang ditahan seminggu akibat perang dingin di antara mereka. Tangisan Kevin makin keras, bahunya bergetar hebat, tidak sanggup memeluk balik karena takut. Takut berharap banyak terhadap afeksi yang ditunjukkan malam ini kepadanya.

“By, what did I tell you about that hm? Kalau kamu ada masalah, kan bisa cerita sama aku, apa gunanya aku jadi pacar kalau nggak bisa jadi teman curhat? Lee Juyeon bisa merangkap jadi apapun yang Moon Kevin mau, jadi teman bisa, jadi sahabat bisa, jadi Teddy Bear bisa, jadi Daddy di ranjang pun bisa,” ocehan random tersebut membuat Kevin diam-diam terhibur walau masih menangis, Juyeon mengusap-ngusap punggung terbalut kaos seolah hendak menyalurkan keyakinan. Tidak ada yang boleh menyakiti Kevinnya termasuk pikiran dia sendiri. Untuk itu Juyeon sudah siap dengan segala bentuk dari Kevin seorang.

“I'm seeing things..” bisik pemuda itu agak teredam, Juyeon menggumam, meminta Kevin melanjutkan. “those videos I watched on youtube, nggak ada yang bikin aku sama kamu, padahal yang pacaran kita kenapa kamu sama Hyunjae Hyung yang dipasangkan?”

Oke, ketawa boleh nggak? Kayaknya nggak tepat ya? Tapi sumpah Juyeon gemas banget sama pengakuan pacarnya. Jadi mereka diam-diaman karena insekyur menyerang? Ditambah pikiran berlebihan hinggap di kepala lelaki rambut hitam dan Juyeon sama sekali tidak tahu apapun ternyata menambah kerenggangan dalam hubungan mereka.

“Kamu lucu, By..”

Kevin mendongak, melototkan mata marah, “This is why I wanted to break up with you! You're the one who not taking this seriously! Kamu nggak tahu apa aku nangis setiap malam gara-gara mikirin ini?!”

“Kamu nggak cerita, ya gimana aku mau tahu,”

“LEE JUYEON!”

Cukup satu kecupan mendarat di bibir tipis yang bergetar akibat jeritan berhasil melunakkan hati Kevin seorang. Dirasa kekasihnya berhenti tegang, Juyeon melepaskan, menempelkan kening mereka seraya menatap manik kesayangan lamat-lamat.

“Kamu mau dengarin aku?” tanya dia lembut. Mendapati Kevin mengangguk tanpa memutuskan pandangan. Juyeon menarik sudut bibir, tidak mau menjauhkan tubuh barang sedetikpun.

“Hyungseo, aku udah pernah bilang dari awal kita pacaran, mohon-mohon malah, kalau kamu ada sesuatu yang mengganjal, tolong kasih tau aku, ceritain semua dari awal sampai akhir, dari huruf A sampai Z, mungkin aku nggak bisa ngasih respon yang kamu harapin, tapi seenggaknya kamu lega sudah melampiaskannya ke aku,” Juyeon menarik napas sebelum melanjutkan, “kamu juga nggak tahu kan rasanya dijauhin orang yang kamu sayang meskipun kita helat satu kamar dan punya jadwal sama-sama? Anggota lihatnya aku santai padahal sebenarnya aku galau waktu kamu cuekin aku dari kemarin-kemarin,”

“And those videos you talked about, they're just videos, By. Itu cuman pandangan penggemar, bukan berarti kita nggak dekat meskipun video kita nggak ada. Kemesraan kita itu limited kalau perlu berbayar, khusus dinikmatin kita berdua doang, aku nggak peduli mau mereka pasangin aku sama Hyunjae Hyung atau Eric atau Younghoon Hyung, mereka nggak tahu isi hati kita yang sebenarnya, they just like to assume about ourselves without knowing the truth.”

Kevin tiba-tiba merasa bersalah sesudah mendengar penjelasan Juyeon, tidak tahu kalau ternyata pemuda irit kata di hadapannya mengutarakan perasaan tentang apa yang mereka lalui sepekan terakhir, ia pun akhirnya mau membalas pelukan yang selama ini sepihak untuk meyakinkan bahwa ia juga menyesal telah membuat pemuda rambut hitam menderita dalam diam.

“Maaf By..”

Juyeon menggumam, mengecup ujung hidung Kevin perlahan, “Aku yang harusnya minta maaf karena udah nggak peka,”

“You were born for that,”

“Ya tapi kan kamu bisa cerita kalau kamu dapat sesuatu kemarin,”

“Aku nggak bisa cerita karena takut kamu bakal bilang, 'it's not a big deal,'”

“Big deal kalau berujung diam-diaman kayak gini,” balas Juyeon cepat membuahkan tawa geli meluncur dari mulut kekasihnya. God, he's so beautiful, Juyeon benar-benar diuji setengah mati. Dia tak kuasa menahan diri tidak menciumi setiap inchi kulit wajah Kevin sampai sang empunya mengerang protes. “aku kangen tau!”

“Bukannya kita putus ya?”

“Apaan sih?! Ya enggak! Coba kamu bilang kayak gitu sekarang di depanku sambil tatap mataku.” Juyeon membulatkan mata sungguh-sungguh saat menantang, sementara Kevin hanya mengulas senyum lebar.

“Nggak bisa, soalnya aku nggak tahu lagi mau pacaran sama siapa selain sama kamu,”

“Hoho, you're stuck with me forever.” kata Juyeon bangga kemudian menautkan bibir mereka lagi. Kevin membalas tak kalah antusias, langsung saja bergerak luwes macam ular ke pangkuan Juyeon sembari melingkarkan lengan di tengkuk.

“Bentar, By.”

Kevin menaikkan satu alis, bingung tiba-tiba Juyeon melepaskan sambungan ludah di tengah-tengah. “Hmm?”

“I demand the explanation the reason you kissed Hyunjae Hyung.”

“Oh.” Si Manis mengganyang bibir bawah, merasa kikuk usai diungkit kejadian setengah jam lalu. “habis aku kirim pesan, aku tahu kalau kamu bakal ke sini buat minta penjelasan, jadi aku minta Hyunjae Hyung buat cium aku sambil nunggu kamu ngedobrak pintu, hehe..”

“Nggak ada hehe hehe ya!” Juyeon memagut bibir di hadapan sekali, dua kali, tiga kali sampai entah ke berapa kali sehingga mengakibatkan bantalan kenyal tersebut membengkak tanpa mengubris protesan. “aku cium kamu sampai bekas bibir Hyunjae Hyung hilang!”

Kevin tergelak, menyentil ujung hidung mancung kesukaan sebab gregetan, “Aku juga butuh penjelasan kenapa kamu ngatain aku di fanmeeting kemarin?”

“Aku cuman bercanda!” kilah si Tinggi membela diri, mendapati manik sipit memicing ia menghela napas, “okay, aku minta maaf kalau candaanku kemarin bikin kamu kebawa perasaan, tapi sumpah By! Aku cuman pingin godain kamu doang, aku nggak tahu kalau kamu lagi kambuh, because I missed your smile when I told a joke about you,”

Kedua sejoli pada akhirnya mengakui kesalahan masing-masing. Tentang Kevin yang masih suka overthinking dan memendam sendiri, tentang Juyeon yang tidak memaksa Kevin buat cerita sehingga malah memperkeruh suasana hati sang kekasih, tentang mereka yang musti tetap bersembunyi di kamar satu sama lain untuk memadu kasih.

Bila itu yang membuat mereka terus bersama, kenapa tidak dinikmati saja? The world doesn't need to know their love each other cause the rules are still out there, making a judgmental note for lovers like them.

Now, mari kita tinggalkan mereka di kamar yang seharusnya ditempati Hyunjae untuk melanjutkan kemesraan yang sempat tertunda seminggu akibat video editan penggemar yang ditonton Kevin setiap waktu.

.

.

.

apa nih

junew lokal au

Dean x Nesya

.

.

.

Dean got a crush on Nesya even though they're both males and from a religious family.

Warning : one of my alternative universe in local way; pure imagination; please jgn baper; ANGSTTTT!!!!! (menurutku); un-betaed; un-italic; resiko tanggung sendiri

***

.

.

.

Dean adalah first Nesya.

First peck.

First kiss.

First kissmark.

First handjob

But not to that extend.

Sama seperti Nesya, he's first for Dean. First love malahan. Awalnya dia kira hanya sebatas rasa sayang kepada adik pada umumnya, ya seperti dia kepada Dion. Tapi lama kelamaan, dia melihat Nesya menjadi sosok yang lain. Sosok yang sering Disa utarakan pada tiga sekawan tentang perasaan lebihnya terhadap Anson.

Bagaimana dengan Nesya? Padahal dia sudah memiliki dua kakak laki-laki. Yang menyayangi dia lebih dari apapun, selalu menjaga bagai pengawal kerajaan, selalu memanjakan memberi seluruh perhatian. Mungkin karena dia anak bungsu, dan dikira anak perempuan maka diambung-ambung layaknya seorang bintang. Dia juga memiliki rasa yang berbeda pada Dean. Menganggap kakak sepupunya itu sangat kalem dan menenangkan. Membuat dia senang bermanja meskipun sering terhalang oleh Dion. Tapi Dean selalu ada kesempatan mencurahkan kasih sayang ke dirinya seorang.

Waktu itu Nesya baru naik kelas dua SMA. Dimana kakak-kakak sepupunya sudah beranjak dewasa, bahkan sepantaran Ditto maupun Anan telah bekerja. Membuat dia beserta angkatan 28-line lain menjadi pembungsu walau masih ada Alex, Zara, dan si kembar. Dean sendiri tengah melanjutkan pendidikan dokter, semester 5 lebih tepatnya. Mengambil perkuliahan di Universitas Indonesia karena katanya malas masuk Dawn University. Padahal sebenarnya dia hanya ingin lebih dekat dengan Nesya.

For the first time in years they liked each other, the first kiss happened that night.

Nesya bilang dia mau main ke apartemen Dean, which is Andra or Shea didn't take a fuss about it karena Andra sibuk mengurus buah hati sambil kuliah sementara Shea juga begitu. Dan ini adalah Dean, salah satu anggota terkalem sepanjang mereka kenal sejak dalam kandungan. Candra dan Shafa pun tidak mengatakan apa-apa, sekali lagi karena ini adalah Dean Winata. Anak sahabat mereka yang jarang sekali bersuara. Hanya membuahkan senyum manis sebagai respon berhasil meluluhkan hati mamak-mamak GOTCLX.

“Kamu nginap, Dek?”

Nesya mengangguk saat Shafa masuk ke kamar, memperhatikan si Bungsu mengemas beberapa pakaian santai serta buku-buku pelajaran. “Besok kan minggu, Mah, Adek minta diajarin matematika sama Kak Dean,” Shafa menggumam paham, jujur dia nggak ngerti sama pelajaran anak jaman sekarang. “Kenapa nggak Yayan yang ke sini?”

“Katanya sih sibuk, Mah,”

Pertanyaan sang Ibu terhenti usai mendengar Candra memanggil dari bawah, mengatakan kalau si Sulung Winata sudah datang menjemput putra kesayangan.

“Jangan nyusahin Kak Yayan, ya..”

Nesya menyalimi tangan kedua orangtua sekaligus salah satu kakaknya yang bercengkrama dengan Dean. Tak lupa membubuhkan kecupan di pipi kemudian melambaikan tangan. “Bye bye..” ujarnya sangat menggemaskan. Andra tega sekali mencubit pipi tembam hingga ia menjerit kesal. Candra hanya geleng-geleng kepala sementara Dean menahan tawa.

“Siapa suruh imut.” itu saja belaan dari sang kakak pertama. Diam-diam Dean menyetujui pernyataan tersebut.

“Mas Dion nggak di rumah Kak?”

“Ada, tapi habis itu mau ke kampus lagi,”

“Sampai malam?”

Dean mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari jalanan, genggaman di stir kemudi sangat handal dan menambah kegagahan tersendiri bagi Nesya. “Iya, kenapa Nes?”

“Nggak apa,” jawab si adik santai, ya emang nggak apa-apa sih, itu berarti mereka punya waktu berduaan seperti yang biasa mereka lakukan tanpa sepengetahuan orang kan? Dean tersenyum tipis, meraih jemari lentik di pangkuan lalu bersama menautkan. “Heumm?”

“Pasti seneng kan karena cuman berduaan aja?”

“Ish, kok tahu sih? Mind reader ya?”

Pemuda tampan itu tergelak, meremas lembut dan mengusap punggung tangan pelan-pelan menggunakan ibu jari, “Kelihatan banget tuh dari ekspresi mukanya,”

Nesya bersemu merah, tega melayangkan pukulan manja di pundak tegap sang kakak, “Hmph, habisnya kalau ada Mas Dion, Nesya ditelantarin mulu sama Kakak!”

Ada keberanian terselip di sanubari, menghasilkan Dean membawa si tangan cantik bak bidadari ke belahan bibir, mengecup halus namun berhasil mengguncang jantung Nesya, “Maaf, Sayang..”

Mereka tahu mereka tidak boleh menyimpan rasa satu sama lain, mereka tahu cepat atau lambat mereka harus menyudahi. Tetapi Nesya masih ingin bermain-main terlebih dahulu, mengetahui sejauh mana hubungan rumit bak benang kusut dilewati oleh kedua bukan sejoli. Begitu pula dengan Dean yang sudah terlanjur jatuh hati pada si Bungsu Nuswantoro.

“Make it up to me,”

Dean mengangguk, menatap manik sayu yang bersinar seperti sabit di tengah malam kota berisik. “I will.”

***

Hunian terasa kosong melompong saat dua sepupu memasukinya. Tiada tanda-tanda kehidupan manusia, itu berarti Dion sudah berangkat beberapa waktu lalu. Dean mempersilakan Nesya untuk berganti baju, sementara ia menyiapkan makan malam. Atau lebih tepatnya memesan makanan via aplikasi karena putra pertama pasangan dokter tersebut mana tahu caranya memasak selain indomie goreng maupun berkuah.

“Dih, nggak sehat tahu Kak kalau pesen makanan terus,” komentar si Cantik ketika melihat kefokusan Dean mengutak-atik ponsel. Dia telah mengganti baju jalan menjadi baju santai lalu beringsut menipiskan jarak antara keduanya di sofa keluarga. Aroma khas Dean menyerbu rongga hidung, tak sadar ia bersandar di pundak kokoh.

“Kakak nggak bisa masak, Sayang,”

“Belajar dong, Kak.. calon dokter masa makan instan mulu,” gerutunya mengerucutkan bibir, Dean berhenti menatap layar demi melihat kegemasan, menikmati pahatan yang terukir di wajah bulat tersebut, berupaya menghipnotis agar saling merapatkan muka. Nesya bersemu merah, tapi tidak menolak, sebaliknya dia sangat menyukai sentuhan hidung bangir pada hidung pesek miliknya.

Ya. Dia nggak mancung ya kayak kakak-kakaknya, Nesya tahu itu.

“How about you?” Dean menumpu lengan di sisi kanan Nesya, menenggelamkan telapak pada alas sofa tanpa memutus tatapan, “udah bisa masak belum?”

Nesya tertawa geli, menggelengkan kepala, “Belum, soalnya nggak dibolehin Mama pegang pisau, takut luka katanya,” mereka sama-sama tergelak, menerpa ruang bernapas dengan udara masing-masing sambil terus saling menatap. Nesya tidak mengerti kenapa dia menyukai pantulan dirinya di mata Dean, dia tidak dapat melepaskan barang sedetik pun.

Dean menghela napas kecil, mengarahkan netra ke bibir tebal impian. Bagaimana rasanya? Apakah manis? Apakah kenyal? And the important part is.. apakah Nesya mengizinkan?

“Kak Yayan?” bisik sang adik sangat pelan. Membuahkan gumaman dari pita suara terdalam. He found him gulping, really soundly but cute at the same time. The lips open slowly, suddenly tongue landed on the lower lip, wetting it. Dean found himself gulping too.

“Nes, Kakak boleh.. cium?”

Nesya tertegun sebentar, menimang-nimang pertanyaan, mengusir sekelebat bayangan. Dia benar-benar terbuai oleh pesona Dean, doesn't matter if he's his cousin or worst, a man like himself. Dia mengangguk, menyamankan diri yang sudah setengah berbaring dengan Dean berada di atasnya, mengukung posesif tapi tiada unsur paksaan. Semua terjadi begitu natural, as if they're meant to be.

Everything became clear at once when Dean went forward. Menyatukan bibir secara hati-hati, takut menyakiti maupun menjadi traumatis. Aliran darah di kepala mendadak pecah begitu dua belahan bertemu, simple yet it escalated very quickly.

Hanya sekali 'cup' pada awalnya. Berhasil menggunjang-ganjing isi hati keduanya. Menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar kecupan, tidak puas walau hanya menyentuh parasan.

Lengan panjang menemukan jalan untuk bertengger di tengkuk, bibir saling bertabrakan, kali ini tekanan jadi menuntut. Dua laki-laki melumat satu sama lain, menikmati rasa yang teracap di atas bibir.

Nesya tidak sadar tentang lingkungan sekitar, dan Dean juga bagai menghilangkan dahaga setelah bertahun-tahun menahan diri. Pemuda lebih tua mengulum bibir bawah, menarik-narik menggunakan geligi tanpa berniat menggigit. Seperti yang ia bayangkan, bibir Nesya sangat kenyal nan manis, tidak akan pernah puas jika menyicip sekali.

“Haah.. hah.. Kak Yayan..” erang si Cantik di sela-sela tautan, Dean tidak menjawab, melainkan menyisipkan benda lunak, menyebabkan Nesya membulatkan mata. Ikut mengenalkan lidahnya, pasrah saat Dean mengubrak-abrik isi mulut.

“Nes, kamu..” laki-laki itu mengecup tak henti, bagai mencoba obat adiksi pertama kali, kecanduannya berulang kali, “kamu cantik banget,” Nesya mengangguk, telapak merayap ke rahang tegas, selalu menarik Dean agar terus mendekat dan tidak berhenti mencium. Rasanya menyenangkan, dan nikmat. Apa karena ada rasa cinta tumbuh di keduanya?

“Aku nggak pernah lelah ciumin kamu, Sayang,” bisik Dean menatap sungguh-sungguh. Tersilap kesetujuan di manik sang adik membuatnya lega kalau perasaannya tidak berujung sepihak. “your lips taste like sin, Nesya..”

“Nesya juga suka bibir Kakak,” aku lelaki manis tersebut malu-malu, merona merah seperti anak remaja pada umumnya. Dean tergelak, menubrukkan hidung mereka, mengecup bibir tebal kesayangan.

“But remember, it only happens when we're together by ourselves, okay?” Sebuah rahasia. Antara dia dan pujaan. Bermain kucing-kucingan di belakang, entah sampai kapan. Nesya tidak memikirkan bagaimana air muka keluarganya apabila mengetahui kesenangan semata miliknya dan Dean Winata. Saat ini, pikirannya terfokus pada pemuda yang mengurungnya, menatap penuh cinta, menyalurkan kasih sayang bukan seperti kakak kebanyakan.

That night, Nesya tidak belajar matematika. Bergelung satu selimut bersama Dean sesekali menautkan ranum dua-duanya. Hanya ada dia dan Dean, di ruangan temaram beraroma khas sang pujaan.

***

First kissmark.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, Shafa mengizinkan Nesya menginap di apartemen Dean tanpa mengetahui maksud terselubung sang anak. Meski sejujurnya dia tidak mengerti kenapa bukan Dean yang ke rumah tapi mengingat menantunya juga tinggal serumah dengannya, mungkin akan mengganggu konsentrasi belajar si Bungsu. Kali ini Andra dan Shea yang bertugas mengantar adik semata wayang, karena katanya ada perkumpulan di hunian Winata Bersaudara melibatkan beberapa kakak sepupu laki-laki lain. Entah mereka akan melakukan apa yang jelas Shafa sudah percaya seratus persen pada anak-anak sahabatnya.

“Padahal Kakak juga pinter matematika, Dek,” di kendaraan roda empat kesayangan, Andra bersuara, mengejutkan Nesya dari lamunan karena hati tak sabar hendak menemui seseorang.

“Kakak kan sibuk nguli sambil ngelon Dara, nggak enak ah Adek repotin,” jawab si Bungsu. Andra tertawa kecil, maklum terhadap sikap menurun Ibu mereka kepada si adik.

“Cuman Shea yang nggak bisa diharap,”

“Enak aja.” sahut Shea di sebelah Andra, tidak terima dinilai bodoh dalam perhitungan. Nesya menahan tawa, senang melihat perang mulut kecil-kecilan dua kakak tertua. Walau hati masih mendamba kakak yang lain. “kalo gue nggak bisa diharap, gue nggak bakal diterima Teknik Industri kali,”

“Keberuntungan aja lo mah.”

“Sialan, babi lo Kak!”

“Heeehh mulut Mas Shea!!”

Sulung Nuswantoro bagian yang menertawakan, sebagai mahasiswa tahap skripsi sementara adiknya sudah beranjak semester 3, dia geli setengah mati dengan argumen absurd seperti sekarang. Mematri senyum kecil sekaligus melirik Nesya, ia betul-betul putih pada maksud menginapnya sang adik di rumah Winata.

Ketiga bersaudara disambut wajah cemberut Dion, dimana Andra langsung sigap mengganyang pipi tembam sebelas dua belas dengan Nesya. Dion mengeluarkan serempetan protes tapi tidak melawan sama sekali, malah mengesot ke samping Dean kembali.

“Disuruh bawa makanan malah bawa diri,” celetuk Ditto setelah tahu siapa yang datang. Rambut Nesya diusak lembut lantaran memang menggemaskan, sedangkan lelaki cantik itu menyengir kesenangan. Tidak menyadari tatapan cemburu mengarah ke interaksi mereka berdua.

“Loh nggak bilang,”

“Aku dah ngomong di grup ya, kontol.”

Andra cengengesan, senang sekali kalau salah satu anggota tiba-tiba menyumpah meski masih ada yang di bawah umur. “Udahlah, take out aja napa sih, this is Jakarta, Mas, nggak zaman bawa makan,”

“Gue mau masak tapi kulkas Dean sakaratul maut, huft,”

“Mohon maaf Kak Anan yang baik hati dan tidak sombong, si tukang makan yang ngabisin isinya,” balas tuan rumah sembari melirik adik semata wayang. Dion tambah cemberut dan Anson memanfaatkan hal ini untuk mengganyang wajah imutnya lagi.

“Yaudah-yaudah, kita take out aja, mau apa nih mumpung gue gajian..”

Sorai-sorai keramaian mengisi apartemen tiga kamar tersebut. Nesya selaku anak bawang kerjaannya cuman diam memperhatikan seluruh obrolan. Entah soal kerjaan Ditto maupun Anan, perkembangan Dara selaku keponakan pertama mereka, kabar Bara dan Dafa yang tidak pernah pulang sejak kejadian empat tahun lalu, serta beberapa kabar dari sekawanan Dean sendiri, Randi dan Ray.

“Wyatt kok nggak ikut, Ray?”

“Anak Mami nggak bisa pergi tanpa emak,”

Anan menahan tawa, “Beda banget sama si Arfan, kemaren dia baru pulang dari Mesir gara-gara kangen sama Dafa,”

“Adek lo kan nekat, Kak,” sahut Andra seraya meneguk soda hingga setengah. Anan tiba-tiba menatapnya serius, menghasilkan atmosfer ruangan menjadi tebal.

“Ranya gimana?”

Mendengar nama sang istri, Andra tersenyum manis. “She's in good hands,”

“She better be.”

“Nan, stop.” peringat Ditto perlahan, “that was four years ago and they're happier now,”

Nesya mendadak mengulas balik kisah rumit yang menimpa keluarga besar mereka. Saat itu dia masih sekolah menengah pertama, tidak tahu apa-apa soal kejadian. Ranya hamil anak kakaknya, dan berujung menjadi kakak iparnya sekarang. Dan ya, selama empat tahun tinggal serumah, Ranya terlihat bahagia pakai sangat, bahkan menjadi figur kakak perempuan idaman sejuta umat. Bila Anan menyangsikan keadaan adiknya, Nesya dapat maju memberi pembelaan.

“Nes? Gimana sekolahmu, Sayang?” Uh oh matilah dia melamun. Seluruh atensi mengarah padanya setelah Ditto bertanya. Manik berkedip-kedip lucu sebab sedang mencari jawaban, ia menemukan Dean menipiskan bibir sambil mengalihkan pandang.

“Baik, Kak.”

“Baik doang? Ada yang ganggu, nggak?”

Nasib punya kakak sepupu rasa kakak sendiri, jadilah pengawalnya bertambah banyak.

Nesya menggeleng, “Nggak sih, cuman kadang dibilangin kayak cewek aja,”

Sontak pemuda-pemuda di sana terkesiap, parahnya Andra menyingsingkan lengan, kecuali Dion yang biasa aja pada Nesya, tidak main favorit kepada siapapun. Nesya malah tertawa geli, lucu melihat betapa protektif kakak-kakaknya sekarang.

“Selow aja lah, Nesya bisa ngatasin kok,”

“Kalau ada yang ganggu bilang ya.”

“Lebay amat dah Bapak Dara, Nesya udah gede ih,”

“Biar kamu udah gede, tetep kecil di mata kami, Sayang,” jawab Anan nampak khawatir. Karena dia sudah pernah diwanti-wanti ibunya soal Nesya yang termasuk anak spesial. Spesial di sini bukan punya kekurangan atau apa, tapi punya pesona yang memincut orang-orang asing mendekatinya, entah laki-laki atau perempuan.

Wajar sih mereka protektif. Namun Nesya tak bergeming, hanya menyengir lebar supaya mereka tidak perlu cemas tentang kehidupan dia di sekolah. Terutama ketika iris matanya menangkap tatapan tidak asing tak jauh dari tempat duduk sekarang.

Dean's gaze.

Malam itu mereka semua menikmati canda tawa dan kelakar satu sama lain. Seperti biasa, Randi dan Dean adalah tim senyam-senyum, sementara Andra sudah heboh bersama Ray, Anson, Anan serta Ditto. Dion berulang kali digoda hingga merengut terus menerus sedangkan Nesya sibuk menertawakan sampai bersandar di lengan Shea yang ikut beradu argumen.

Ia tampak melupakan sesuatu, tetapi menyadari tatapan halus yang selalu diarahkan Dean.

They need each other.

“Wah sudah jam 1 malam,”

Kerumunan berniat menginap daripada pulang. Kota Jakarta memang ramai mau sampai subuh, tidak menutup kemungkinan begal terjadi di perjalanan. Dean menyuruh mereka mengambil tempat atau posisi tidur terenak, meski hanya berbekal lantai di ruang tamu.

“Yan, titip Nesya di kamar lo.”

Dean memasang wajah sekalem mungkin walau jantung berdetak kencang, “Laksanakan.” ujarnya kemudian menggendong adik bungsu Andra ke kamar sendiri. Nesya mendengkur pelan, tak terusik sama sekali. Malah semakin menenggelamkan diri dalam kubangan aroma badan si kasih. Dean menahan mati-matian untuk tidak memberi kecupan, lantaran takut ketahuan oleh orang-orang di luar.

“Hmm.. Kak Yayan?”

Saat ingin keluar ruangan, Dean terpaku sebentar mendengar nama didendangkan. Nesya membuka kelopak pelan-pelan dengan rasa kantuk masih menyerang, “Kak Yayan nggak tidur sama Nesya?”

“Maaf Sayang, tapi kakakmu ada di luar,”

Nesya mengerucutkan bibir, “Bilang aja kalau Nesya melukin Kak Yayan sepanjang malam,” Dean mengumpat dalam hati pada kegemasan, kenapa sih pemuda ini imut banget? Hampir saja akal sehat Dean hilang setengah. “please.. kita nggak ada waktu berduaan dari tadi, heung..”

Mau tak mau Dean mengalah, menimang-nimang apakah pintu kamar perlu dikunci tapi ia tepis pemikiran itu. Tidak ada yang akan curiga jika ia satu kamar sama Nesya. Sebab kepercayaan yang kuat antara satu sama lain.

Menyusup di balik selimut, Dean dapat melihat siluet senyum manis yang terkembang di wajah cantik. Dia menangkup pipi bulat tersebut lalu mempertemukan bibir, dibalas dengan keterkejutan lalu lumatan tak kalah antusias.

“Missed you.”

Nesya gemetaran mendengar dua kata berintonasi berat nan sungguh-sungguh. Kepala terangguk tanpa melepaskan tautan barang sedetik pun. “Missed you too, Kakak..”

“Siapa yang ngatain kamu kayak cewe, heum?”

Benar kan. Nesya sudah menduga kalau Dean akan menanyakan di kala waktu berduaan. Dia menggeleng, mengusap rahang tegas pemuda di hadapan. “Cuman beberapa cowok di sekolah, bukan teman sekelas sih, mereka bilang aku harusnya pakai jilbab sama rok, bukan celana kayak mereka,”

Dean menghela napas gusar, melingkarkan lengan panjang di sekujur tubuh kurus seraya mendekatkan jarak keduanya. Hanya tersisa kehangatan menyeruak bercampur tebalnya material selimut. “Mereka caper,”

Jawaban itu membuncahkan tawa kecil, keluarnya berbisik-bisik agar tidak ketangkapan orang lain. “Caper kenapa?”

“Mereka cari perhatian sama kamu soalnya kamu lebih cantik dari cewek sekalipun,” ujar Dean menatap dalam. Pantulan lampu gedung-gedung pencakar langit menyinari wajah ayu Nesya, menambah kilauan bak kristal termahal di dunia. “they want you, Sayang,”

“How? Kan aku cowok,”

“Aku mau kamu, dan aku cowok,”

Nesya terdiam, Dean tidak melanjutkan. Mereka sama-sama tahu bila perasaan ini terus dipegang akan menimbulkan masalah besar seperti empat tahun lalu.

Lantas, mengapa mereka tidak mengalah? Mengapa mereka malah menikmati kehadiran masing-masing? Menautkan bibir seolah tidak hidup esok hari, mengaitkan kaki saling tertawa geli.

“Jangan dipikirkan.”

“Aku nggak mikir kok,”

“Kalau mau mundur, Nesya boleh duluan,”

Si Cantik menggeleng, mengusap anak surai hitam milik Dean lembut sembari mematri senyum, “Let's enjoy till it lasts,” bisiknya meyakinkan. Dean akhirnya mengangguk setuju, memagut bibirnya lagi lantaran candu tak dapat diobati.

Indra pengecap saling bergelung, liur menetes berlebihan tapi tidak dihiraukan. Nesya makin larut dalam permainan, tak sadar bergerak menindihi tanpa melepaskan tautan.

“Mau coba sesuatu?”

“Coba apa?”

Dean bangkit setengah badan, menyandarkan punggung ke dinding kamar, mata melirik bagian leher nan terbuka, lalu mendekat perlahan. “Kakak kasih kissmark ya?”

“Is it hurt?” tanya Nesya lagi. Dean menggeleng, sejauh yang dia tahu sih enak-enak aja.

“Nanti habis kakak selesai, giliran Nesya, oke?”

Pemuda cantik memberi anggukan, meregangkan leher begitu hidung bangir menabrak lembut. Dia menghembuskan napas, berusaha bersikap tenang, berharap tidak sesakit yang ia pikirkan. Dimulai dari kecupan, hati-hati sekali, bagai memperlakukan barang rapuh. Sapuan dingin di leher menghangat menyetrum saraf-saraf bawah kulit, tak sengaja ia meremat surai cepak sang kakak, memejamkan mata menikmati sentuhan. Dean mengulum sedikit, mencoba menarik secenti menggunakan bibir, mengemut bak permen sebelum menancapkan geligi. Nesya terjengit di pangkuan, remasan rambut makin erat. Dia melepaskan sebentar, mendongak penuh tanya. “Sakit ya Sayang?”

“Ng.. nggak Kak, cuman kaget,” Dean tersenyum seraya menyingkirkan helaian poni kecokelatan, mengeksekusi kembali, menyecap rasa asin di pori-pori. Nesya menggigit bibir sendiri, mendesis di sela-selanya. Napas mulai tak teratur, kepala mendadak berputar. “ngh.. Kak..”

Lelaki lain melepaskan, menatap nanar pada bercak kemerahan di atas tulang selangka, kontras dengan kulit putih pucat tak ternoda milik kesayangan. Perasaan posesif hinggap, tamak hendak menguasai pikiran. They must know.

Nesya is his for awhile.

“Nes..” gumamnya halus, menghirup aroma badan sang adik lamat-lamat, ingin membekas di benak supaya terus-menerus ingat. “Nes, I love you.” Si Cantik kaku lagi. Pasti begitu setiap Dean mengatakan hal sakral. That's too much for him maybe, dan ia tak berharap lebih. Mereka punya keyakinan kuat, lahir dari keluarga taat.

Namun Nesya bukan mundur, dia memang terkejut, karena tidak menyangka kalau secepat itu Dean menyatakan perasaan. Dimana mereka sedang berpangkuan di kamar, helat satu dinding dari sepupu-sepupunya, bahkan ada dua kakak Nesya di sana. Dia menganggap Dean begitu berani, sementara dia masih tampak menutup diri. Pemberian cupang di bawah balik piyama seperti bukti kepemilikan seorang Dean Winata.

“I love you too Kak..” balas Nesya berbisik di bibir pemuda lebih tua. Netra sipit membulat, syok karena tak bertepuk sebelah tangan. Hati Nesya menjadi sedih, sebab tahu mereka saling mencintai tapi takkan pernah bisa bersama sampai nanti.

“Nes..”

“Jangan dipikirin,” Nesya membalik kata-katanya beberapa menit lalu sambil tersenyum jenaka, “kita jalanin aja dulu Kak,”

Dean sigap memeluk erat, tak ingin lepas hingga Nesya meredam jeritan di dada sebab sesak. Adrenalin mereka terpacu karena perasaan yang sama. Saling mencintai, walau terhalang tembok tertinggi. Malam itu Nesya membuat tanda kepemilikan di rusuk Dean sebelah kiri, berdekatan dengan jantung yang memompa cepat, diselingi kecupan di bibir, satu bercak bertambah banyak seiring berjalannya waktu mereka bersama.

***

First hand job.

Sejauh ini sih perjalanan hubungan Dean dan Nesya tidak ada kendala apa-apa. Mereka masih sering ketemu di kala waktu senggang, entah yang lebih tua ke rumah Nuswantoro, atau Nesya sering menginap di hunian Winata Brothers. Sudah Nesya bilang, keluarganya terlalu sibuk sehingga tidak pernah bertanya apa-apa soal frekuensi ia menemui Dean. Dan apa yang mau diusik jikalau yang bersangkutan telah mendapat kepercayaan seutuhnya.

“Hey Yayan nginap sini?” Candra begitu terkejut sewaktu anak sulung sahabatnya menampakkan diri, tersenyum manis hingga manik menyipit sembari mengangguk. “Papa kira kamu sibuk,”

“Sibuk sih Pah, cuman kasihan Nesya kalau ke tempat Yayan terus buat minta ajarin matematika,”

Selalu matematika jadi alasan pertemuan rahasia mereka. Seolah menjadi kode yang hanya diketahui oleh kedua sejoli.

Candra menghela napas lelah, “Papa heran juga kenapa Nesya nggak mau usaha sendiri, dari dulu dia lemah banget hitung-hitungan,”

“Kalo soal duit dia laju, Pah,” sahut Shea cengengesan, mumpung adik semata wayang nggak ada, Dean terkekeh menyetujui, masih bertahan bertukar cerita dengan sahabat orangtuanya.

Setengah jam kemudian barulah ia dapat menaiki tangga, berjalan menuju kamar tidak asing karena serba merah muda dimulai dari pintu maupun kusen. Dia juga menyapa Ranya yang terkejut melihat kehadirannya, bertanya-tanya tumben sekali ia muncul ketimbang Nesya yang pergi ke sana.

“Kasihan Dedek kalo ke rumah gue terus,”

“Bener juga sih, eh Kak Yayan ada catatan matkul semester 3 nggak?” Mereka terlibat dalam diskusi lain di depan kamar Andra dan Ranya, sebisa mungkin Dean membantu si adik sepupu sekaligus adik tingkat di jurusan, bahkan mengeloni Dara juga.

Dua puluh menit kemudian ia sudah berdiri di pintu Nesya. Mempersiapkan mental entah untuk apa lalu mengetuk menggunakan buku jari. Lirihan 'masuk' terdengar membuatnya menurunkan ganggang, mengintip di antara celah dan sedikit tertegun.

Nesya oh Nesya. Pantas aja teman-teman sekolahmu menyuruh pakai rok ketimbang celana. Lihatlah penampilannya sekarang. Tengkurap di kasur empuk dengan celana pendek setengah paha, memamerkan kulit putih mulus turunan Candra bak tidak pernah dikotori sekalipun. Dean merasa jantungnya berdetak dua kali lipat, dan sesuatu mendesir di peredaran darah, menuju titik di selatan.

Oh.

Tidak tidak.

Nesya menoleh dirasa pintu terbuka tapi tak menimbulkan suara, manik membulat dan senyum terukir lebar. “Kak Yayan!” teriaknya setengah berbisik. Dean tersadar kemudian memberanikan diri masuk seraya menutup benda penghubung. Tangan tak sadar mengunci sekali sebelum bergerak menerjang sang kekasih di ranjang. Menyebabkan tawa geli lolos di pita suara si Manis.

“Why are you half naked hm?”

“I'm nooottt..” sanggah adik beda 4 tahun itu mengerucutkan bibir, sigap mengalungkan lengan di tengkuk kokoh, berupaya menarik agar dapat menyatukan ranum. “Kan Adek sering pakai gini di kamar,”

“Di kamar aja kan?”

“Umm..” Nesya menggumam dengan senyuman miring terpatri, “di rumah sih lebih tepatnya,” Dean mengerang tidak suka, membawa telapak tangan besar ke permukaan paha yang terekspos sembari meremat pelan.

“That's not fair,”

“Kenapa?” tanya Nesya memiringkan kepala, mendapati semburat merah muda serta pupil melebar tidak terkendali, “Kakak nggak suka?”

“Bukan nggak suka, Sayang,” Dean bernapas di telinga, pinggul berusaha tidak ditabrakkan agar tidak menciptakan gesekan. Nesya menggelinjang kegelian, senang pada jarak mereka yang terlalu dekat. “It turns me on,”

“Terus kenapa?”

“It will be bad if I do something nasty to you,”

“What nasty huh?” Si Cantik mendengus kecil, “we've kissed, bit each other's neck dan Nesya hampir terangsang setiap kali kita begitu,” mendengar pengakuan santai tersebut menyebabkan geraman lolos kembali. Mau tak mau, Dean melepaskan diri, berbaring di samping demi tidak membangkitkan sisi liar. Terlebih mereka sedang berada di rumah kekasihnya.

“We can't.”

Nesya mengendikkan bahu, “Sure, keep lying to yourself,” jawabnya meremehkan sebelum berbalik untuk berkutat pada iPad yang terbuang, posisi tengkurap lagi, menaikkan material di paha belakang. Dean mengumpat pelan, mata selalu tertuju ke celah kain yang dipakai.

Dean, iman kamu kuat. Tolong jangan rusak anak orang. Tapi gimana dia mau tahan kalau Nesya sendiri bertingkah seolah tidak apa bila menjamah lebih, mengikis kekuatan di dalam dirinya, menandai setiap jengkal kulit yang didamba.

Beruntung ketika makan malam tiba dia masih punya perlindungan mental. Menyuap dengan tenang, mendengarkan celotehan Ranya dan Shea, ataupun kerandoman Andra di meja. Candra dan Shafa hanya mendengarkan, sesekali memberikan jawaban apabila pembahasan mereka membutuhkan suara dari orang dewasa.

Namun, sang pujaan tidak membantu. Duduk di samping kanannya membuahkan tangan lentik mengusap pangkuan secara tiba-tiba. Dean nyaris tersedak, melirik ke sebelah mendapati Nesya makan tak tahu menahu. Bahkan sibuk menimpali bila diperlukan. Dia berusaha kalem, walau digit-digit gemulai bergerilya mendekati selangkangan.

Sialan.

Sialan dua kali.

“Yan, makan yang banyak! Mama nggak mau ya dapat laporan dari Papamu kalo anaknya kurus kerempeng di Jakarta,”

“I-iya Ma..” jawabnya terbata-bata, pertama karena dia kaget dikasih perhatian, kedua karena Nesya masih menenggerkan telapak di paha dalam, hampir mendekati kejantanan. Ya Allah Nesya, berilah kelonggaran sedikit. Si adik dalam celana merespon nih.

“Kamu kenapa keringetan, Yan? Kepedasan?”

Dean meringis, “Eng.. enggak Mah, Yayan baik kok,”

“Yayan kalem mulu heran, padahal bapaknya hebohnya nauzubillah,” celetuk Candra melihat kesalahtingkahan keponakan, dimana yang ia tahu Adi adalah anggota paling berisik di grup mereka.

“Mamanya kalem, Yang, wajar lah Yayan kayak gitu,”

Pembahasan berlanjut meski bulir keringat sebesar biji jagung terasa menetes di pelipis pemuda tampan. Tiada yang mengindahkan, hanya Nesya yang sedari tadi mengelus permukaan sambil menyuap makanan sesekali membalas argumen. Sungguh lelaki multitasking, Dean tidak dapat relate.

Mereka baru mendapat waktu berdua setelah acara makan malam selesai dan Dean langsung menggendong sang kekasih ke ranjang. Nesya menertawakan betapa kocaknya ekspresi si Kakak, tak lupa melingkarkan lengan di bahu kokoh tanpa merasa bersalah.

“Kamu yang mulai ya, Nes,”

“Can't help it, I just love your expression so much,” jawab si Manis tersenyum lebar kemudian mencium bibir Dean berulang-ulang, jari-jemari meremat anak surai, berani mengadu selatan. Dean membelalakkan mata, hampir meloloskan erangan. Adiknya sudah menimbul saat makan malam tadi ditambah ulah Nesya sekarang, apa tidak mengeras.

“Nes.. Ya Allah..”

“Hehe,” pemuda cantik tersebut menyengir, memagut bantalan ranum lelaki di atasnya, mempersempit jarak mereka agar lebih dekat. Lama kelamaan suhu ruangan menjadi panas, terutama pakaian yang melekat di badan. Namun, Dean berulang kali mencegah, menguatkan diri agar tidak mencemari Nesya.

“Ngh kenapa Kak..”

Dean menggeleng, “Kakak nggak mau ngotorin kamu,”

“Tapi Nesya mau kok,”

“Kita nggak boleh ngulang kejadian 4 tahun lalu, Nes,” Bibir mengerucut kembali, pandangan berubah tidak suka, dahi berkerut-kerut. Dean menumpu badan dengan siku, jemari bebas mengusap parasan kenyal hingga ke tulang pipi, menatap serius. “Kamu sayang sama Kakak bukan karena seks kan?”

Nesya menggumam, mengatakan bukan secara berbisik. Senyuman Dean mengembang, menubrukkan hidung bersamaan sekalian mengecup pipi tembam. “Kakak juga sayang kamu bukan karena nafsu, jadi kamu nggak perlu repot-repot godain Kakak kayak tadi,”

“Um.. kalau misalnya kita nuntasin bareng gimana?”

Sebuah saran yang luar biasa mindblowing bagi Dean Winata. Bayangkan anak umur 16 tahun, kelas dua SMA mengusulkan hal kotor seakan sedang membicarakan cuaca. Dia mengerjap-ngerjapkan mata sebab tertegun, sedangkan pemuda cantik itu memainkan kulit bibir gugup.

“Aneh ya Kak?”

“Engga..” balas Dean secepat kilat dan terengah-engah, pasukan oksigen seperti dipotong di tengah perjalanan, sirkuit otak mendadak kosong, membayangkan tangan lentik itu menggenggam kejantanannya. “maksud Nesya.. handjob?”

“Apa tuh?”

Dean baru ingat kalau kekasihnya masih di bawah umur. Mana paham soal istilah begituan. Dia juga bingung mau menjelaskan gimana bila bukan lewat aksi.

“Kakak pegang punya Nesya..” ujarnya halus setengah berbisik, “Nesya pegang punya Kakak..”

Semburat merah muda membuncah menambah kegemasan di permukaan wajah masing-masing.

“Oh..” si Cantik bersuara juga, membisik pula. “oh gitu..”

Dean hanya menganggukkan kepala, selain dia deg-degan, ia juga malu setengah mampus. Melihat gelagat Nesya yang bodo amat, ia jadi bingung mau melakukan apa sehabis itu.

“Caranya gimana?” Terdengar adiknya bertanya lagi, ia gelagapan sebentar sebelum mengontrol diri, berpikir cepat menatap sekeliling ruangan termasuk sang kekasih.

“Sini duduk di pangkuan Kakak,”

Kedua sejoli bergegas membetulkan posisi, pemuda lebih tua bersandar di kepala kasur dan Nesya mendudukkan bokong di paha tebal. Begitu mereka beradu tatap, di situlah nafsu mengikat. Bibir kembali menyatu dalam tautan basah, takkan pernah puas. Kepala miring ke sana kemari, ditemani selangkangan menabrak satu sama lain.

Dean memberanikan diri memegangi karet celana pendek si Cantik, menatap sebentar siapa tahu ada penolakan, yang ternyata tidak terlihat apapun selain deru napas Nesya. Gundukan menggembung menjadi pertanda bahwa sang adik menikmati perlakuan, ia mengelus di balik kain, mendapat respon berupa geliatan dan lenguhan.

“K-Kak..”

“It's okay Nes, pelan-pelan aja,”

Nesya menaruh telapak di punggung tangan Dean, mengikuti gerakan naik turun sesekali menekan lembut. Dia sudah tak sabar ingin segera berkontakan langsung, melorotkan celana, membebaskan kejantanan.

“Cute fella,” goda Dean tersenyum lebar, membuai Nesya bersemu merah serta mendaratnya tamparan main-main di lengan. “cute kayak kamu, Sayang,”

“Iih jangan ngolok..”

“Nggak ngolok kok,” gumam si Pemuda seraya mengulum cuping telinga, mendapati kekasihnya gemetaran di atas pangkuan, “buktinya Kakak terangsang lihatnya,” lanjutnya kembali mulai menggenggam batang. Menarik-turunkan secara hati-hati lantaran permukaan masih kasar. Nesya mengerang manja, merasa di ambang surga dunia padahal baru dipegang. Dan penisnya tenggelam di telapak tangan Dean, menambah libido menyeruak dari badan. “Ah.. Kak..” pandangan menanar, napas tercekat bak dicekik sesuatu tak kasat mata. Kondisinya menyebabkan celana pendek Dean ikut menyempit, meminta perhatian.

“Nes, ini bakal menjijikkan ya..” sebelum sang adik bertanya, Dean mengumpulkan saliva di mulut lalu meludah di atas puncak yang menimbul, Nesya langsung menahan suara supaya tidak berteriak, menghentakkan pinggul merasakan licin.

“Kak.. ngh.. nggak- jijik..”

Dean tertawa kecil, mengurut batang mengeras tersebut agak menuntut. Punya Nesya sangat kontras dengan kulit putih pucat yang dimilikinya, kepala hampir merah muda, urat-urat bermunculan sekitarnya. Dia berulang kali menegak ludah, membayangkan rasanya bila ia tiba-tiba menghisap.

Tidak Dean, jangan terlalu cepat. Masih untung Nesya mengizinkan kamu menjamah organ intimnya.

“Kak Yayan jugaa..”

“Yakin Nes?”

Nesya mengangguk, menarik-narik karet pinggang celana Dean tidak sabar. Pemuda rambut hitam ikut membantu membebaskan milik sendiri. Mendengarkan erangan keluar dari kerongkongan sang kekasih.

“Punya.. Kakak besar..”

Si sulung menyengir, menyatukan mereka dalam ciuman panas nan belepotan sekaligus sama-sama menggenggam dua kejantanan. Panjang mereka hampir sama hanya saja Dean lebih tebal, terutama di puncak. Nesya nyaris menitikkan liur, ada niatan ingin mengulum.

Calm down, Nesya. There's still plenty of time to explore.

“Kalo Adek ikut ngeludah?” Napas Dean berubah tajam saat ditarik, terkesiap mendengar pertanyaan mendadak tersebut. Nesya dengan kepolosan nan menggemaskan berhasil menggunjang-ganjing isi perut. Nyaris saja dia keluar cepat.

“B-boleh.. kalo Nesya nggak keberatan,”

Mulut Nesya bergerak mengumpulkan cairan, dirasa cukup banyak, he spat on their dicks. Menambah ketegangan di bagian selatan serta cepatnya kocokan. Dean mengeluarkan geraman, sangat sensual di pendengarannya, dua tangan saling memuaskan sesekali memagut mesra.

“Kak.. aah.. pengen pipis..”

“Pipis yang mana nih?” goda Dean tidak kunjung berhenti, Nesya mengerang putus-putus sebab selingan udara ikut bergabung, menggeleng-gelengkan kepala lantaran tidak mengerti yang dimaksud.

“Something.. want come out..”

Si Tampan mengecup sekitar rahang tembam, memberi anggukan setuju sebab ia juga sebentar lagi menyusul dirasa dari simpulan pada otot perut. “Nggak papa, Sayang, keluarin aja..”

Titahan tersebut membuahkan semburan hangat melukis dua tangan berbeda diameter, Nesya tampak mengejang di pangkuan seraya menyandarkan kening di pundak. Dia tersengal-sengal sehabis klimaks, mencari pasokan udara sebanyak yang ia bisa.

Kelicinan dua cairan menambah keinginan Dean untuk keluar, tatapan Nesya yang penuh harap juga menjadi salah satu pemicu. Tenggorokan menciptakan suara-suara dalam saat untaian putih mengucur ke atas, membasahi digit-digit mereka. Kedua sejoli sama-sama mengatur pernapasan, mengaitkan bibir kembali dalam ciuman lembut.

“Can we do this again?” bisik Nesya pelan. Dean mematri senyum lembut.

“Now?”

“When you feel wanna do it,”

Dean memberi anggukan setuju tanpa menipiskan jarak antarwajah, karena Nesya terlalu cantik buat dilewatkan sepersekian detik. “Sure, Baby.” panggilan itu menghasilkan erangan manja, semburat merah terpampang nyata di muka, menaikkan level kegemasan di tatapan Dean Winata.

He's too in love with him and he thinks he cannot stop.

***

Waktu berlalu cepat. Tiba-tiba Dean sudah memasuki tahap skripsi dan Nesya menduduki kelas tiga. Dimana kesibukan menjadi dua kali lipat dari pertama mereka menjalin hubungan. Akan tetapi, keduanya tetap bertemu di waktu senggang. Entah si Nesya menangkir di apartemen dengan tugas sekolah seabrek sambil menemani Dean atau si Sulung keluarga Winata menyempatkan diri menongkrong di rumah pacarnya. Aku sudah pernah bilang bukan kalau Dean diakui sebagai tutor terbaik dalam pelajaran matematika, jadi kehadirannya di rumah sangat membantu kemaslahatan Nesya.

But the math is just an excuse, isn't it?

Di balik pintu kamar, buku-buku memang berserakan, begitupula dua insan. Memadu kasih di ranjang, tidak mau melepaskan tautan. Bibir menyatu sangat sempurna, menyalurkan rasa rindu setelah tiga minggu tidak bertemu.

Dean sih yang sibuk di rumah sakit, sementara Nesya hanya bisa berkontakan lewat video call. Nasib.

“Missed you nghh missed you..” racau si Manis menggapai kancing kemeja santai milik sang kekasih, perlahan membuka satu persatu merayapkan telapak di celah kulit. Dean tidak menghentikan, melainkan meraba balik, mengingat setiap lekukan hingga menangkup pipi tembam, menyebabkan bibir tebal mengerucut imut.

“Missed you too, Baby..” bisik Dean serak, Nesya mengerang kecil, mendengking-dengking macam anak anjing. “maaf Kakak sibuk banget, Sayang..”

Si Cantik menganggukkan kepala, sangat memahami aktivitas lelaki surai hitam yang sebentar lagi lulus sarjana kedokteran. Belum lagi kalau dia koas, pasti akan lebih sibuk dibanding sekarang.

But who is he to make a fuss? Selain menikmati waktu yang disuguhkan, entah seberapa lama mereka dapat bermesraan dengan embel-embel 'belajar'.

“Nggak papa Kak, Nesya sabar kok,”

“Kamu baik-baik aja kan selama Kakak sibuk?”

“Ngh.. iyaaa..” jawab si adik sekenanya, karena rasa sempit menjalari celana, terus bertubrukan dengan gundukan lain. “Kak nanti aja deh ngobrolnya, Nesya mau kulum,”

“Haaa?”

Dean terperanjat mendengar kata yang terucap. Sejak kapan pacarnya yang baru beranjak 17 tahun sudah berani mengatakan hal kotor? Apa dia bilang? Kulum? Maksudnya Nesya mau menghisapnya? Sirkuit otak konslet bersamaan lidah menjadi kelu. Sedangkan yang bersangkutan memasang wajah tidak tahan.

“Sayang, maksudnya apa?”

“Itu.. Adek pengen.. kulum..”

“Kulum apa, hmm?”

Nesya memerah hebat, tapi tak menghentikan dirinya untuk berbicara lebih, “Pas kita main pertama kali, Nesya kepikiran mau ngisap punya Kak Yayan,”

“Tapi itu kotor, Sayang..”

“It.. it's okay..” ucap pemuda surai cokelat sangat pelan, antara percaya diri sama gugup beda-beda tipis. “kalo Adek nggak suka, Adek lepas kok,”

Pemuda di hadapan masih sangsi, tapi Nesya tetep kekeuh, memberanikan diri meremas bagian yang menyembul di balik jeans, mengakibatkan Dean terpekik tertahan. “Please..”

Mau tak mau akhirnya Dean mengalah. Membuka kaitan kancing diikuti resleting, Nesya menunggu harap-harap cemas, merasa rongga makan basah akibat liur, ia bahkan menegak sedikit agar tak menetes. Melihat bagaimana kepala mirip jamur keluar di balik kain, ia mengapitkan kaki, berupaya menggesek milik sendiri.

“Janji sama Kakak, Nesya harus berhenti kalo dirasa nggak enak,”

Dia mengangguk, memposisikan diri di antara kedua kaki Dean, badan menggunakan dua siku menghadap kejantanan yang mengacung gagah tepat di muka. Dean sebenarnya masih ragu, tapi Nesya menggenggam jemari-jemarinya. “Adek yakin, Kak..”

“You have to stop immediately, okay?”

“Ya Allah Sayang, iyaaa..” jawabnya membungkam segala bentuk pertanyaan, menyeringai lebar ketika Dean bersemu merah setelah mendengar panggilan. Dia menatap lekat-lekat lalu beradu pandang. Bergantian membuahkan geliatan pada batang. Lidah terjulur perlahan menapaki permukaan, di situlah Dean mendesis keenakan. Haha, sudah mulai menipis kesadaran kakaknya. Kesempatan Nesya untuk berbuat lebih. Memberi jilatan bak anak kucing, dimulai dari pangkal sampai ke mahkota. Berupaya membasahi terlebih dahulu sebelum perlahan menyusupkan puncak ke rongga hangat. Desisan Dean berusaha ditahan, seprai merah muda yang menjadi alas duduk dicengkram erat. Nesya mencoba memasukkan sampai mana ia mampu. But, the girth was too big for his small mouth. “Ngh..”

“Nes, hey, kamu bisa berhenti-ngh..”

Nesya menggeleng, menaikkan kepala demi memberi jawaban, “It's good though?”

“Nggak, Sayang..”

“Kakak diam dan nikmatin aja, oke?” balasnya mengulum lebih cepat, pipi menggembung kayak tupai makan kacang. Cengkraman Dean makin kuat, benar-benar isi otaknya diubrak-abrik sama si pacar. Dan mulut hangat nan basah. Dia takut, kalau di kemudian hari, Nesya meminta lebih dari ini. Dia masih belum bisa menyanggupi apabila Nesya mengeksplor tanpa sepengetahuan dia.

“Fuck.. Nes..”

Umpatan bagai menyiram kobaran api menggunakan bensin. Nesya merasa sang kekasih menjadi seksi berkali-kali setelah berucap kata kasar. Dia bersemangat mengulum macam permen, menyesap tetesan di lubang kencing sesekali mendongak.

Dean meringis, sebentar lagi menggapai klimaks dan kekasihnya tak membantu sama sekali, malah menaik-turunkan kepala, memainkan lidah di sekujur batang keras. “Nes.. fuck.. your mouth, Baby..” Nesya menyengir, full of cock inside the canal. Rambut lebat cokelat kini menjadi sasaran empuk jemari Dean, menarik sedikit hingga ubun-ubun terasa pedas. “Sayang, hhh.. Kakak keluar..”

Nesya mengangguk cepat tampak bersemangat, menghisap kuat-kuat, melantunkan slurping sound macam makan mie. Dean menggoyang kecil saat orgasme memanggil, membasuh kerongkongan dengan cairan putih. Hebatnya Nesya tidak tersedak, merilekskan rahang maupun kontraksi tenggorokan.

“Fuck.. Sayang..”

Jakun Nesya bergerak naik turun, pertanda menelan apa yang disuguhkan. Melepaskan kejantanan dari mulut, ia menjulurkan lidah sambil cengengesan.

“See? It was good,”

Pemuda lebih tua menepuk dahi, membawa kekasihnya dalam pelukan, hendak memaki-maki tingkah liarnya. “Kamu tuh ya, belajar darimana sih?”

Nesya mengendikkan bahu, “It all happened very naturally,” jawabnya memagut bibir lelaki di hadapan. Kedua sejoli terlibat dalam pagutan mesra nan lembut, tongues involved, mengecap rasa di indra yang bergelung. Dean suka menciumnya, entah kenapa, apa bibirnya mengandung nikotin? Atau obat-obat terlarang yang mengakibatkan kecanduan?

“My Baby is so naughty right now,” bisik Dean mengecup si ranum tiada henti membuat Nesya tersenyum lebar lalu mendusel hidung bangir itu gemas.

“Guess what, Kak..”

“Hmm?”

Lelaki termuda menyeringai, mengarahkan telapak tangan Dean ke celana sendiri, merasakan basah menempel di permukaan. “I came,” ujarnya setengah berbisik. Dean melongo. Meraba-raba bagian lengket tersebut mendengarkan sang pacar merengek manja.

“Kamu keluar cuman karena..”

Anggukan kepala menjadi jawaban, serta rona merah di parasan. Dean tidak tahu lagi harus merespon bagaimana selain melumat bibir candu itu kembali. Berulang-ulang hingga membengkak dan saling mendekap satu sama lain. Tidak peduli siapa yang bakalan lewat di depan kamar si Cantik.

“Naughty indeed.”

“But you like it, right?”

Dean tersenyum lembut, “Yeah I do.”

.

.

.

***

.

.

.

A step back.

“Maaf Kak.”

Oh. Sudah saatnya ya? Dia tidak menduga kalau secepat ini Nesya mundur dari hubungan. Melihat ketidakyakinan, kepahitan, kesedihan, kegalauan serta kebimbangan yang mendera di gurat-gurat wajah cantik tersebut, membuat dia merasa kalau selama perjalanan cinta mereka tiga tahun, tidak ada yang sepihak.

“Kakak udah pernah bilang kalau Nesya boleh mundur,” Dean tersenyum manis, tetap duduk di posisi tanpa mengubah apapun. Nesya sendiri bergerak tidak seimbang. Bertumpu ke satu kaki ke kaki lain.

Tiba-tiba pemuda usia 19 tahun itu menerobos masuk ke apartemen setelah mengetahui sang kekasih berada di sana. Bersyukur batang hidung Dion tidak nampak lantaran pembungsu Winata sedang tugas di luar, membiarkan Nesya seenak jidat membawa kabar buruk.

Sialan. Senyuman Dean itu terlalu manis dan Nesya mau nangis karena tega meloloskan kata maaf. Dia ingin menarik, tapi rasa takutnya pada sesuatu yang lebih besar menahan secara kasat mata.

“Sini duduk dulu, daripada kamu berdiri gitu,”

Aneh. Kenapa Dean tidak marah? Kenapa Dean tidak mencegah dan memohon sambil berlutut di depannya agar mereka tetap bersama? Kenapa Dean bersikap seolah-olah mereka tak punya hubungan apa-apa?

Nesya mau menuruti, menempatkan pantat di sofa berjarak dua meter dari mantan kekasih, yang setia mematri senyum lembut nan meyakinkan. Seakan mereka bakal baik-baik saja. Berbanding terbalik dengannya yang menahan tangis di dada.

“Kak, maaf..” hanya itu yang dapat ia ucapkan lantaran tidak tahu lagi hendak melontarkan apa.

“Kakak tahu, cepat atau lambat kita harus berhenti,” senyuman manis berganti pahit, menombak jantung Nesya melihat betapa tegarnya pemuda di samping, sorot mata mengatakan banyak arti. “satu hal yang Nesya harus tahu, kalau Kakak memang sayang banget sama Nesya,”

Bantalan ranum bergetar sedikit, buru-buru ia menancapkan geligi, tangan terkepal di atas pangkuan, tidak kuat jika disuruh menahan isakan. “Nesya juga Kak, Nesya juga sayang sama Kakak, tapi-”

“Tapi kita punya Tuhan,” lanjut Dean tak meruntuhkan senyuman. Kini buku jari tergerak menyentuh permukaan pipi nan basah akibat air mata, “that's a great decision of you, Baby,”

“Tapi.. tapi..” Nesya menangis dulu, berniat melepaskan seluruh kesesakan di rongga dada, ia berharap Dean peka dan membawa ke dekapan, namun ia tahu sangat jika mereka saling mendekat maka segala keputusan tidak bisa ditarik ulang.

“Ssh.. it's okay you can cry,”

“Kenapa sih Nesya nggak terlahir jadi cewek seperti yang Papa sama Mama harapin?”

Dean mengerutkan kening, menandakan ketidaksukaan terhadap protesan Nesya tentang apa yang sudah diberi Tuhan. “Nggak boleh ngomong gitu, Nes,”

“Kalau Nesya cewek, kita bisa sama-sama Kak,” mata si Cantik memerah hebat, air mata terus menerus mengalir tanpa ada keinginan diseka. Dean menghembuskan napas pelan sembari menggelengkan kepala.

“Kakak sayang sama kamu bukan karena kamu cowok atau cewek, tapi karena kamu adalah Nesya Putra,”

Nesya merasa dada menjadi hangat setelah mendengar pengakuan tersebut, ia memang tahu jikalau Dean tergila-gila padanya sejak dulu, sama seperti ia pada pemuda ini.

Hanya saja, siapa dia yang berani menentang aturan Tuhan? Mereka sama-sama punya keyakinan kuat, memahami setiap detail larangan agama yang dianut.

Mungkin tiga tahun sudah cukup menurut Sang Pencipta. Membebaskan perasaan terlarang mengembang di antara mereka sampai mereka menyadarinya sendiri.

“Kita tetap bakal dekat kan, Kak?”

Lelaki lebih tua menatap lekat-lekat, berdesir aneh saat melihat pantulan wajah di netra sayu, berusaha tabah agar tak terlalu terbawa suasana. “Kalau Nesya masih mau,”

“Kita putus bukan berarti kita musuhan kan, Kak?” tanya Nesya memastikan, harap-harap cemas menunggu kepastian. Dean mengangguk halus, mengusak surai pirang si Cantik gemas.

“Even if you're not my lover anymore, you're still my Baby Brother, Nesya,”

“Nesya boleh peluk sekali?”

Dean merentangkan lengan, langsung direspon oleh lelaki termuda, seperti melempar dirinya ke dalam dekapan ternyaman selama mereka bersama. Menghirup lamat-lamat aroma cokelat pahit yang menjadi parfum Dean sehari-sehari, mengukirnya di benak agar terus-menerus ingat. Dia pasti akan merindukan ini. Dia akan selalu merindukan momen mereka berdua.

“Kamu masih boleh peluk Kakak sepuasnya, Sayang,” bisik Dean terdengar sedih. Nesya menitikkan air mata lagi, mengeratkan kalungan di punggung tegap, menenggelamkan muka tepat di dada bidang, menyebabkan kaos santai Dean agak basah.

“We can't do anything we want,”

“Yeah, we need to get rid of these feelings,” ucap sang Kakak menaruh dagu di puncak kepala, memandang lurus pada dinding beton sambil menimang-nimang sesuatu.

“Sejujurnya, Nesya masih nggak sanggup ninggalin Kakak, apalagi ngilangin rasa sayang ini,”

Manik mereka sama-sama beradu, memancarkan sinar kesedihan karena harus menghentikan semua perasaan terhadap satu sama lain. Berupaya tegar dan kokoh meski menyakitkan sekali.

“Pelan-pelan aja Nes, lama kelamaan bakal terbiasa kok,”

Dean sebenarnya benci berbicara seolah-olah ia tak terpengaruh, padahal dia sendiri tidak tahu apakah bisa melakukannya.

Karena Nesya adalah firstnya begitupula dengan dia yang menjadi first pemuda cantik itu.

Semua akan buyar dan kembali ke tempat semula bila kamu memegang teguh keyakinan pada Sang Pencipta.

Seperti yang mereka lakukan sekarang.

.

.

.

***

A father's concern.

“Hey Van, aku nggak tahu harus ngomong darimana, but is it weird if your son has so many men around him?”

Evan tertegun beberapa detik, there's hint of confusing lingers in his bestfriend's voice. “What's wrong?”

“Nesya, Van.” Candra menghela napas, “I think his male friends has eyes on him lately,”

“Who told you to make a beautiful son huh?”

“I don't know if this is miracle or disaster,”

“Having a child indeed a miracle, bro. But it became disaster if men chasing after him,” Evan tidak langsung mendapat respon, oleh karena itu ia melanjutkan, “how about Nesya himself? Did he feel uncomfortable?”

“Surprisingly not, he's so fine about it,”

“Can, I think you should ask him about his sexuality, I know we're not an open minded parents but please do tell him we have Faith to God and religions really against it.”

Candra baru menyadari tingkah anak bungsu kesayangan akhir-akhir ini setelah memasuki ranah perkuliahan. Dimana tak satupun ia menemukan Nesya berteman dengan perempuan melainkan manusia-manusia berbatang yang selalu duduk terlalu dekat dengannya. Saat belajar kelompok, tidak hanya satu atau dua orang laki-laki membantunya, hampir separuh dari kawanan begitu mendamba sang anak.

Dan anehnya, Nesya hanya tertawa kecil, tidak membalas lebih, tidak juga risih. Baik-baik saja, seperti telah terbiasa terhadap atensi pemujaan itu.

“Sayang?”

Nesya mendongak dari tugas, mata membulat lucu mengingatkan Candra akan sang istri. Si Bungsu memang turunan Shafa seorang, bonus kejantanan dan jakun menimbul di leher.

“Papa boleh ngomong sesuatu?”

Si Cantik mengangguk, mempersilakan si Papa duduk di hadapan atau di samping ia yang bekerja di kasur. Candra menyamankan posisi, meneliti pekerjaan sang anak.

Teknik sipil. Nesya sangat menyukai konstruksi seperti dirinya, tapi lemah di matematika. Tidak menyangka kalau ia bakal keterima satu fakultas dengan Andra, alumni di sana.

“Tanya apa, Pah?”

Mulai dari mana ya. Candra menggaruk tengkuk, canggung sekali walau gatal hendak mengutarakan. Tapi kapan lagi ia harus menyimpan kekhawatiran ini? Sampai Nesya membawa pulang pacar berjenis kelamin laki-laki?

“Maaf kalau Papa ikut campur urusan pribadi Adek,” Nesya nampak berhenti menulis, memusatkan seluruh perhatian kepada sang Papa, cukup terkejut mendengar pengutaraan tersebut. Candra menarik napas panjang, siap menjabarkan. “akhir-akhir ini, Papa sering lihat teman-teman Adek berlebihan dalam ngasih perhatian,” ia memperhatikan air muka si anak, tiada perubahan, “apa mereka punya maksud sama Nesya?”

“Maksud Papa.. mereka kelihatan godain Adek?”

Candra mengangguk patah-patah, bagai robot sebab tak tahu harus mengatakan apa lagi. Nesya berpikir sejenak, mencari jawaban lebih tepatnya.

“Adek pikir mereka memang begitu, Pah,” Nesya tersenyum tipis, “Papa nggak usah khawatir, mereka baik kok, cuman rada.. freak?”

“Papa sebenarnya takut kamu suka.. cowok..”

There. He said it.

Si Bungsu terhenyak, mata menyiratkan sesuatu yang tak bisa dibaca Candra begitu saja sebelum ia merespon kikuk. “Don't worry, Adek nggak gitu,”

“Maafin Papa, Sayang..”

“Kenapa minta maaf? Adek nggak keberatan sama sekali kalau Papa tanya gini,” Nesya melepaskan pulpen berbalik memeluk Candra erat, “Adek malah senang diperhatikan,”

Candra mengusap surai kepirangan itu penuh kasih sayang, memberikan kecupan kecil di puncaknya, “Papa cuman takut anak Papa melanggar larangan Allah,”

Si Cantik diam saja, bimbang ingin mengatakan yang sejujurnya. “Papa marah nggak kalau Nesya kasih tau sesuatu?”

Jantung Candra berdetak cepat, ia berhasil menahan ekspresi agar tetap biasa saja. “Kasih tau apa?”

“Sebenarnya, Nesya pernah pacaran sekali,”

“Oh ya?” batin Candra menjerit kaget, tidak percaya pada pengakuan ini, ia mendadak pusing walau masih bisa bertahan menatap kepanikan mendera di wajah sang anak. Dia harus tegar, dia harus menahan emosi.

“He eum, 2 tahun lalu sih, tapi sekarang Nesya sudah nggak punya rasa lagi,”

“Hm, sama siapa?”

Nesya tidak langsung menjawab, takut setengah mati. Candra makin penasaran.

“Papa pasti bakal kaget,”

“Of course, I will,”

“Kak Dean, Pah.”

Tiba-tiba peredaran darah berhenti beberapa detik bersamaan degupan jantung usai mendengar nama familiar. Mata Candra membulat tak percaya, dan Nesya sudah siap bila diusir atau lebih parahnya dicoret dari kartu keluarga seperti ancaman ke Andra saat ia menghamili Ranya 9 tahun lalu.

“Dean?”

Nesya menggumam, memejamkan netra kuat-kuat.

“Dean Winata?”

“Iya, Kak Dean anak Papa Adi,”

“Kamu..” Candra merasa persendian melemas, dia sangat bingung menghadapi kabar dadakan seperti sekarang, “kamu pacaran sama dia?”

“Pernah,” koreksi Nesya cepat, “tiga tahun, dan kami sama-sama mundur karena masih takut sama Allah,”

“I'm not a good father, aren't I?” tiba-tiba Candra meneteskan air mata, gagal menjadi sosok ayah usai mengetahui fakta mengejutkan dari si Bungsu. Nesya spontan panik melihatnya, tergesa-gesa memberi sanggahan. “Maafin Papa Nes,”

“Noo, ini bukan salah Papa,” ia berusaha memeluk erat, pundak pria di hadapan berguncang hebat, benar-benar terpukul oleh keadaan. “Nesya nggak mau bilang kemarin adalah kesalahan karena Nesya sendiri memang sayang sama Kak Dean sebagai pasangan, tapi kami tahu kalau kami nggak bisa bersama sampai kapanpun, jadi kami berhenti setelah tiga tahun,”

Candra terisak, jari-jemari gemetaran saat bergenggaman dengan digit lentik si Bungsu, “Apa Papa salah mendidik kamu, Nak?”

“Pah, stop blaming yourself okay, it was me who wanted that, you're a great father for me, best daddy ever! Papa nggak pernah salah didik ke Nesya, Nesya nggak pernah merasa kurang kasih sayang dari Papa atau Mama,” pemuda manis itu menyunggingkan senyum sedih, “cuman.. Nesya juga punya perasaan Pah, Nesya juga punya rasa sama orang, dan orang itu adalah Kak Dean,”

“So the math thing?”

Nesya meringis, “Just an excuse to have a date within ourselves,”

Candra ingin menangis lagi, bayangkan dia telah dibohongi selama tiga tahun oleh anak kesayangan, baru mendapat kabar kalau kenyataan berhasil menampar harapan.

“Nesya minta maaf, Pah. Nesya nggak akan melawan atau membantah kalau Papa mau keluarin Nesya dari kartu keluarga,”

“Nggak. Papa syok iya, tapi untuk membuang kamu yang notabene darah daging Papa sendiri, it's not going to happen,”

“Tapi aku sudah bohongin Papa sama Mama, pacaran sama Kak Dean, bersikap seolah aku anak polos di rumah,”

Candra menggelengkan kepala, memotong seluruh kesalahan yang diungkit si anak. “Setidaknya kamu ngasih tau Papa tentang kebenarannya, dan jujur soal alasan dibalik kamu mengencani dia,”

“I'm sorry Pah,” Nesya berkaca-kaca, siap memohon ampun atau sujud di kaki sang Papa, “he's my first love so I'm not gonna say it was a mistake,”

Akhirnya, pria paruh baya memeluk anaknya kembali, membiarkan kaus menjadi basah akan air mata penyesalan yang sepanjang ini dikubur selama 5 tahun.

“Lalu, sekarang Dean gimana?”

Perlahan menarik ingus, lelaki termuda baru dapat menjawab, “Dia punya pacar, cewek pastinya, cantik banget dan cocok sama dia. I wish him the best, because he deserves it,”

Poor Nesya, Candra ikutan sedih mendengarnya. Seakan anaknya masih menyimpan rasa dan harapan pada kakak kesayangan. Namun karena terhalang tembok paling tinggi nan kokoh, ia hanya bisa mengubur dalam-dalam sambil disembuhkan oleh waktu.

“Lama-lama perasaan itu akan hilang, Sayang,” ujarnya pelan seraya mengelus punggung langsing, Nesya mengangguk, tak lupa mengukir senyum manis, “kamu juga akan dapat seseorang yang bakal bahagiain kamu sama seperti yang dilakukan Dean dulu,”

“Oh please deh Pah, cewek-cewek pada benci sama Adek karena selalu ditempelin cowok, gimana bisa Adek dapat cewek?” keluh si Bungsu mengerucutkan bibir.

Kekhawatiran Candra malah makin bertambah setelah mengetahui bahwa makhluk berjenis kelamin perempuan tak satupun tertarik kepada Nesya lantaran dianya malah menarik laki-laki di sekitar.

“Papa... nggak bisa berpikir,” jawaban tersebut hanya mendapat gelak tawa menggemaskan dari sang anak karena ia memang tidak tahu harus merespon apa selain berdoa dalam hati agar Nesya diberikan yang terbaik.

Dia juga bertanya-tanya, apa sebenarnya ini bentuk balasan dia sewaktu muda dulu?

***

“Hah?”

Tuhkan.

He can already tell what kind of face his wife has when he told her the truth.

“Kamu bilang Nesya pernah..”

“Kalo kamu bikin dramatis kayak gitu aku berasa punya anak aneh tau,” balas Candra menghela napas panjang. Rasanya kepala mendadak pecah sehabis berkunjung ke kamar putra bungsu mereka, menerima informasi cuma-cuma seakan Nesya sedang membicarakan hujan badai.

“Eh enggak, Yang..” Shafa berkelak, “he's still my baby even though he's gay,”

“He's not.. gay.”

Shafa mengendikkan bahu, “But you said he dated Dean two years ago, what makes you think he's not gay?”

Candra menggigiti kulit bibir, menolak mengakui orientasi seksual anak sendiri, “A pansex?” Shafa tampak mendengus, membuatnya mengadu pandang netra mereka. “they dated once, and it doesn't count as 'gay', kecuali mereka pacaran sama cowok setelah mereka putus, baru kamu bisa bilang kayak gitu,”

Shafa menggumam seraya mengangguk-ngangguk, jujur dia tidak begitu kaget saat mendengar curahan hati sang suami, mungkin terkejut sedikit, habis itu tiada rasa lagi. Mungkin karena ia terkadang dapat melihat perhatian 'lebih' dari beberapa lelaki yang mengelilingi Nesya, makanya dia biasa saja.

But, Dean Winata? Their best friend's son? One of her favorite nephews?

“Apa seharusnya kita sidang mereka, Yang?”

Shafa mengalihkan pandang ke suaminya, menemukan pria sebaya dengan dirinya dilanda kekhawatiran secara mendalam. “Untuk apa?”

“I don't know, to make sure they don't have feelings each other?'

“You're being a party pooper, Candra,”

“I can't help it, Nesya is my son!” intonasinya berubah tinggi menyebabkan Shafa terjengit kecil, dia sudah pernah menghadapi sifat emosional Candra yang ini, pada saat Andra diketahui menghamili Ranya di umur belia. “Dan aku bukan orangtua open minded kayak zaman sekarang, okay? Aku nggak mau anakku menyimpang dari apa yang agama ajarkan ke kita, sudah cukup aku dihantui rasa bersalah sejak kejadian Andra, aku nggak mau ini terjadi lagi ke Nesya,”

Wanita tiga anak tersebut akhirnya mengusap parasan pipi sang kasih secara lembut, sekaligus membuai memberikan ketenangan maupun kehangatan. Candra menutup kelopak, merasa lega sehabis mengutarakan kegundahan ditemani sosok kesayangan. They've been together for so long and he still can't get over the love he has for her.

“Aku takut, Shaf..”

“Sayang,” Shafa memanggil menggunakan intonasi halus, bak tengah berhadapan dengan anak kecil, “aku tahu kamu khawatir, jangankan kamu, aku juga nggak mau Nesya salah arah, tapi kamu percaya nggak sama dia? Kalau dia berani memutuskan hubungan terlarangnya sama Dean, karena dia takut sama Tuhan, bukannya kita harus percaya dan mendukungnya?” Candra diam saja selain menikmati elusan, mencermati lamat-lamat setiap kata yang terucap. “Dia sudah baik mau jujur sama kamu, tentang dia dan rahasia terbesarnya selama 5 tahun, atau mungkin lebih lama dari itu, dan dia baru bisa ngomong sekarang karena sudah yakin kalau dia nggak punya perasaan lagi sama Dean,”

“Tapi di sorot matanya-”

“He's still hoping but he can do nothing about it, I know,” Shafa tersenyum lebar, beringsut mendaratkan kecupan di sudut bibir Candra, “I'm a mother of three, I know my sons better than anyone,”

“Do you think they still get a chance?”

Istrinya menggeleng pelan, helaan napas terdengar dalam, “Trust them, okay? Kita arahin perlahan-lahan kalau dirasa mereka mulai menyimpang kayak yang kamu takutkan,”

“Did I fail as father?” erang Candra berkaca-kaca, membuahkan Shafa membulatkan manik ketika melihat tingkah sang suami yang menggemaskan.

“Siapa yang bilang kamu gagal? Kalau kamu gagal, anak kita mati semua, Can,”

“Not funny,”

“Aku serius, Sayang. Kamu kan tahu aku pernah broken home sekali dan takut berkomitmen karena selalu mikir gimana kalau pernikahanku berujung sama dengan pernikahan Mama? Gimana kalau aku nggak bisa didik anak dengan baik dan benar? But the fear never come once after we got married, starts from Andra till Nesya now, itu karena apa? Karena kamu yang menuntun jalan kita sama-sama,”

Berbagai macam emosi tergambar di muka Candra, yang paling terlihat adalah rasa syukurnya telah memiliki istri seperti Shafa meski mereka punya kekurangan satu sama lain.

“You're the best Mom, Shafa.”

Wanita rambut hitam itu tersipu malu, memukul pundak suaminya main-main, semerbak kemerahan membuncah di pipi kanan kiri, “Don't say that, you deserves that title,”

“Oh maksudnya aku gitu yang best mom?”

“Apasih nggak jelas..”

Setidaknya Candra agak lega usai berkeluh kesah. Benar kata istrinya, kalau dia harus lebih memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Nesya tentang hal tabu seperti ini.

Akan tetapi, dia masih ingin sekali mendudukkan Nesya dan Dean di hadapan, entah untuk apa.

.

.

.

***

A big promise.

Semua berlangsung begitu cepat saat Candra merealisasikan keinginan terpendam. Di sinilah dia, helat satu meja ruang tamu, menghadap figur tinggi bersurai cepak serta figur langsing bak perempuan. Ada jarak sekitar setengah meter di antara mereka berdua, tidak menyuarakan pertanyaan, murni bersikap biasa.

“Kamu kan sudah janji, Candra,”

“Aku cuman pengen dengar langsung dari dua-duanya,” kilah pria rambut cokelat itu cepat. Shafa memutar mata malas.

“Tapi bukan berarti kamu bawa orangtuanya juga ke sini,”

“Kesannya kayak Dean mau ngelamar Nesya,” celetuk Andra sambil cengengesan, padahal niatnya bercanda doang, tetapi melihat si adik bungsu setengah panik, membuat ia mendadak sadar pada guyonannya. “what..”

“Kita transparan aja lah,” ujar Candra memulai pembicaraan, mengabaikan tatapan bingung yang melayang dari Adi atau Clara. Manik serius memandang kedua bukan sejoli lekat-lekat. “Papa yakin kalian berhutang penjelasan sama keluarga,”

Dean melirik Nesya, dia yang paling jantan, mengakui perbuatan hina yang telah ia lakukan dan menyesali sebab menyeret Nesya ke jurang maksiat. “Pertama Yayan minta maaf sama Papa dan Mama kalau kelakuan Yayan udah menyimpang,”

Clara menatap sang anak tidak mengerti, sementara Adi langsung dapat menghubungkan koneksi-koneksi antara dua insan di sofa seberang.

They've done something terrible.

“Yayan juga minta maaf sama Papa Candra dan Mama Shafa karena udah nyeret Nesya ke masalah ini,”

Nesya menggeleng pelan, “Kak, Adek udah bilang..”

“Kita pernah pacaran dua tahun lalu,”

Berita mengejutkan berhasil menampar pendengar bolak-balik, termasuk Clara. Her gasp was the loudest one, and tried to block it with her palm. Dia kaget, dia syok, dia tidak menyangka anak laki-lakinya sudah melakukan hal yang bertentangan di dalam tuntunan.

“Pacaran?” Adi bersuara, “pacaran gimana, Kak?”

Dean menghembuskan napas panjang, “Kita punya rasa satu sama lain, Pa, dan kita pacaran sehabis itu,”

“Berapa lama?”

“Tiga tahun, waktu Nesya kelas dua SMA,”

Sebelum pukulan atau tamparan mendarat, Nesya sudah berdiri di hadapan Dean seraya merentangkan tangan, menjaga penuh apabila ada yang main tangan. Akan tetapi, mereka semua tetap duduk tenang, meski keterkejutan tergambar jelas. Dean menyingkirkan figurnya lembut, memberi senyuman meyakinkan agar ia kembali duduk.

“Kelas dua SMA..” Adi tidak dapat berpikir, ia memandang istrinya yang ikut tercekat tak bisa merangkai kalimat. “that long?”

“Yan, kamu tahu kan kalau itu salah?”

Dean mengangguk mantap, “Yayan tahu, Pah, dan Yayan juga sudah ngomong sama Nesya kalau perasaan kita nggak bakal nyatu sampai kapanpun,”

“Tapi Nesya yang bilang jalani aja dulu sampai mana,” lanjut si Cantik melirik ke orangtua sendiri, kakak-kakaknya tertegun semua, tidak dapat mengira jikalau sang adik menyimpan sebuah rahasia besar di keluarga. “dan Nesya juga yang mundur duluan,” cicitnya pelan. Dean menolehkan kepala seraya menyunggingkan senyum kecil, membuat dia benci pada semesta yang melarang kebersamaan mereka.

“Terus perasaan kalian sekarang?”

“We can get over it,” balas Dean cepat, Shafa spontan mengetahui sedikit ketidakyakinan terselip di kalimatnya, ia berusaha mempercayakan seutuhnya kepada mantan pasangan itu. “aku yakin waktu bisa menyembuhkan,”

Nesya terlihat ragu, berulang kali kepalan tangan menguat dan melonggar seolah masih tidak rela melepaskan rasa, “Lama-lama bakal terbiasa kok,” imbuhnya mengadu tatap dengan Dean, sebentar saja, takut jantungnya berdetak tidak keruan.

“Selama ini kalian nggak ada yang sadar?” Kini Adi menyuarakan pertanyaan ke Candra dan Shafa. Pasutri itu kompak menggeleng. “tapi gimana caranya kalian pacaran?”

“Nesya sering minta ajarin matematika ke Yayan, dan di waktu itulah kami bisa bermesraan,” jawab si Sulung pelan. Nesya merona merah, menatap sekeliling ruangan asalkan tidak mendarat ke salah satu tetua.

“Can, aku minta maaf atas nama Dean,”

Candra hanya melambaikan tangan seakan tak mengubris, “Yang lalu biarlah berlalu, yang penting mereka sudah mengaku dan nggak ada lagi menyembunyikan sesuatu,” ia beralih ke Dean, “Papa sebenarnya kecewa sama kamu, Yan, tapi Papa juga nggak mau Nesya tambah sakit karena perasaan sendiri, Papa harap kalian berdua nggak mengulangi lagi,”

Keduanya sontak mengangguk, berjanji di hadapan kedua orangtua termasuk saudara. Nesya dapat melihat sekilas ada kebencian terpancar di manik Dion. Seolah merasa dikhianati oleh mereka.

“Cukup keluarga kita yang tahu soal ini.” ungkap Candra terakhir kali menutup diskusi.

.

.

.

***

.

.

.

Final ending.

Tidak semua cerita mengandung akhir yang baik, dan tak semua cerita yang berakhiran sedih, tidak mendapat kebahagiaan. Semua tergantung dari masing-masing pribadi yang menjalani.

Dean dan Nesya, sejoli yang pernah memadu kasih, melakukan hal-hal intim selayaknya pasangan harus terpisahkan oleh aturan keyakinan. Cinta mereka begitu besar untuk satu sama lain. Menyelimuti batin hingga tidak sanggup pergi.

Mungkin cerita mereka tidak membahagiakan, jika dilihat dari tegarnya Nesya saat tampil di pesta pernikahan Dean. Keduanya diberi waktu beberapa menit dalam satu ruangan. Entah apa maksud Clara.

“Kakak ganteng,” puji si Cantik tersipu malu, Dean tidak merespon, sebab terpana pada penampilan sang adik, jas hitam membaluti badan atas, celana kain membungkus pinggang ramping sampai ke kaki jenjang. Tinggi mereka tidak terlalu jauh, jadi Nesya tak perlu capek-capek mendongak.

Dia mendekat, dan Dean tetap diam memandangi pergerakan. Nesya tersenyum sangat manis, tergerak merapikan helaian material maupun simpulan dasi.

“You don't need to do this, Sayang.”

Lelaki cantik tersebut memejamkan mata demi meresapi panggilan yang sudah lama tak ia dengar. Empat tahun setelah mereka putus, baru ini dia mendengar sebutan mesra lolos dari mulut Dean. Dia membuka kelopak perlahan, selalu menyukai pantulan netra di manik sang kakak. “I'm fine,” ucapnya lembut.

“Nes, you're not okay,”

“Nesya baik, Kak..” dia memberanikan diri mengusap rahang tegas pria lebih tua, merasakan setiap inchi sentuhan di parasan tangan. “Nesya bakal baik-baik aja, seperti yang Kakak bilang, waktu yang menyembuhkan,”

Dean sigap mendekap erat-erat karena ini akan menjadi hal terakhir untuknya. Untuk mereka. Nesya tertawa kecil, membalas tak kalah kuat seraya menyandarkan pipi di bahu kokoh terbalut jas.

“Duh jangan nangis dong, Kak.”

Pria itu diam saja, menahan isakan maupun air mata. Menikmati jari-jemari lentik mengelus helaian surai hitam pekat miliknya. Aroma tubuh Nesya masih sama kayak dulu, membuatnya jatuh berulang-ulang.

Nesya menangkup pipinya, mengusap jejak kristal di permukaan sembari tersenyum tipis, “You'll always be my first love, okay?”

Dean mengangguk setuju, tidak ingin menghilangkan kenangan mereka begitu saja. Dia menatap dalam-dalam tanpa menjauhkan jarak. “Kakak boleh cium kamu sekali lagi, Nes?”

Si adik mengangguk pelan, menunggu Dean memajukan wajah. Ketika bibir bersentuhan, di situlah mereka nyaris terbuai. Dada sama-sama menyesak begitu memori menghantam saraf-saraf, semakin kuat seperti diterjang ombak.

Keduanya melepaskan bersamaan, menikmati deru napas menerpa muka satu sama lain dengan kesedihan memancar di manik kelam. Aroma familiar menyeruak di rongga hidung sesekali menautkan ranum kembali.

Screw them. Dean menyesal sepersekian detik seperti selingkuh di belakang Bianca. Menikmati bibir manis di parasan bibir sendiri mengembalikan rasa cinta lagi. Nesya memberi senyum terakhir sewaktu Dean mengecup keningnya pelan. Netra beradu memantulkan rona masing-masing. Sayang sekali momen mereka harus terinterupsi oleh dehaman Dion di ambang pintu.

“Kak, it's time.”

Dean mengangguk. Lalu menatap Nesya.

“Time will heal.”

Nesya menyengir sambil memberi anggukan yakin. “Good luck, Kak.” Dia mundur perlahan kemudian berbalik hendak angkat kaki. Melewati Dion di tempat semula, ia hanya mematri senyum tipis. Melangkahkan kaki mantap meski hati teriris perih.

Yuk bisa yuk, Nes. Kamu bakal baik-baik saja. Remember first love never dies. Mungkin di akhirat nanti, kalian akan hidup bersama, tidak berpisah seperti saat ini.

Mungkin di kenyataan Dean sekarang milik Bianca, memiliki keturunan berdua, dan menghabiskan waktu sampai ajal tiba.

Air mata bertengger di pipi dan ia sigap mengusap kasar.

He's perfectly okay.

Seperti yang mereka sepakati, time will heal.

.

.

.

***

“Saya terima nikah dan kawinnya Bianca Alifia Putri DawnLight-“ Shafa melirik ke arah pemuda di samping, tidak ada raut, tidak ada ekspresi, murni ketenangan seolah tidak berpengaruh apa-apa. Padahal dia sedang menyaksikan cinta pertamanya mengikat janji suci dengan wanita lain, yang sangat mereka kenal.

“Adek?” bisiknya menyenggol perlahan, Nesya menoleh sembari menggumam. Sangat anggun sekali senada dengan kefeminiman yang menguak.

“Iya Mah?”

“You can cry,”

Nesya diam sebentar, sebelum senyuman banyak arti tersungging di bibir, “What for? Adek senang Kak Dean udah nemuin kebahagiaannya,” hebat sekali dia berbicara tanpa getaran, sudah terlalu sering ia menghabiskan tangisan di kamar dalam beberapa malam lalu. “now it’s my turn to be happy without him,”

Sang ibu menariknya ke dalam pelukan bertepatan dengan teriakan ‘sah’ menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nesya masih sempat melihat sekilas raut berseri-seri terpancar dari wajah Dean yang kini menatap istri tercinta.

Cinta? Apakah iya?

Pemuda cantik itu hanya menikmati dekapan hangat, menyembunyikan seluruh emosi yang menjalari nadi sambil terus mengingat bahwa waktu akan menyembuhkan penyakit luka selama enam tahun terakhir.

Entah bagaimana caranya, dia sangat-sangat berharap sekali.

.

.

.

-Fatal Pleasure (An Irony) : end

Ji Changmin adalah lelaki paling keras kepala sedunia dan ambisius tidak tertolong. Jika dia menginginkan sesuatu, dia musti mendapatkannya, bagaimanapun cara yang ditempuh, terutama tentang Choi Chanhee.

Awal mula hanya sekedar crush kecil-kecilan. Sering berpapasan di kafetaria di kala jam makan siang, dimana ia tampak kikuk berjalan sendirian mendekap buku tebal sementara Chanhee sendiri melangkah percaya diri bersama sekawanan, to tell everyone she's pretty and she knows about it.

Pada umumnya kisah ini selalu sama. Kutu buku yang eksistensinya tidak pernah diketahui angkatan menaruh hati pada gadis elok primadona mahasiswa. So far his crush was tiny, dan berujung menjadi lebih besar ketika ia tak sengaja menangkap senyum kecil Chanhee meski jarak keduanya lumayan jauh untuk dikatakan sedang beramah-tamah.

Ji Changmin ingin gede rasa, mengatakan pada dunia kalau pujaan hati menyadari keberadaannya selama kuliah. Tapi kepada siapa dia curhat kalau bukan boneka kesayangan di rumah? He told about his crush, about the smile she threw at him, even though they never talked. Dan ada perasaan aneh bergejolak di sanubari, something that he wanted her to know how much he falls in love with the said lady.

Sesuatu yang memenuhi rongga dada, melakukan hal lebih bersama wanita yang dimaksud. Jika awal mula Changmin menyukai senyum dan pendaran mata yang menawan, kini ia beralih ke bentuk tubuhnya, langsing, ditemani kaki jenjang dan pinggang mungil nyaman dicengkram, tak lupa dada tak kalah besar, membusung secara halus dikarenakan sang pemilik berjalan anggun bak model kelas dunia. They intrigued him, calling him to touch, to grope, to milking the nipples between his squirrel teeth till the Blondie cries in pleasure. Pada malam itu, Ji Changmin menghabiskan berlembar-lembar tisu mengocok adiknya sambil membayangkan nikmatnya mengenyot susu.

Dan dia tidak merasa menyesal atau ketakutan sama sekali. Sebaliknya, dia bersemangat, menginginkan lebih dari sekadar pemandangan gunung, dia menginginkan lekuk tubuh lain, the pussy for instance. Does it get wet easily? Does it open up if Changmin thrusts him in? Will it bleed if he got rough with her? Will it squirt if he pound her deeply? Dia belum pernah melihat barang perempuan selain di film porno, tapi mungkin punya Chanhee 10 kali lebih menawan dibanding artis-artis produksi.

Seperti malam ini. Changmin tidak menyangka seorang Choi Chanhee berhasil masuk dalam perangkap berkedok toilet umum yang terniat dia buat sepanjang menunggu gadisnya berjalan pulang. Membuka kaki lebar-lebar, presenting her fully for him only to see. Changmin menegak ludah, dari awal Chanhee masuk dan menurunkan celana sebatas lutut, jeans pun mengikuti pantulan di balik lapisan lain, bukan untuk melepaskan kencing melainkan elemen mani.

Pemuda rambut perak tersebut tidak menyia-nyiakan kesempatan saat menangkap siluet Chanhee membersihkan permukaan kaca selesai memuaskan dirinya, tersenyum sangat lebar dengan manik kelam berkilat-kilat menyeramkan begitu gadis cantik memperbaiki riasan di sana. Oh ho, it's the show time.

Chanhee cukup kuat meronta-ronta ketika ia menyeret paksa tubuh langsing yang didekapnya, berusaha meloloskan teriakan meski sudah dibekap kencang. Kandungan senyawa kimia terserap di kain penutup mulut baru terlihat bekerja setelah beberapa detik kemudian Chanhee ditemukan lemas dalam pelukan.

“Welcome home, Baby.”

***

“Ughh..” sebuah geraman kesakitan memantul di segala penjuru ruangan. Chanhee mengerjap-ngerjapkan mata, merasa asing pada kekakuan yang melanda sendi. Seingatnya dia keluar dari toilet untuk buang air kecil.. ehm sekalian onani juga sih. Akan tetapi dia tidak begitu ingat telah tiba di tempat seperti ini.

Dia mencoba memandang ke sana kemari, hendak menemukan petunjuk, tidak ada apa-apa selain kasur dengan seprai acak-acakan dan meja belajar, sebuah pendingin di sudut kamar, serta buku-buku tebal berserakan. Where the hell is she, huh?

“Oh, kamu sudah bangun?” suara bariton dalam mengejutkan isi perut, Chanhee tidak merasakan banyak pergerakan lantaran menyadari kalau tubuhnya terikat di kursi yang sedang ditempati sekarang. Mata bulat membelalak horror terutama saat ia beradu pandang dengan manik polos nan menyeramkan tengah menyengir lebar. The fuck who is this?!

“Mmmhh! Mmphh!” ah sial pantas saja dia tidak berteriak lantaran sebuah kain terikat di sela-sela bibir, menahan laju jeritan ketakutan apalagi ketika sosok itu mendekat. “mmmphhh!”

“Sshh Baby, nggak usah takut, you're in good hands,” Changmin mengelus permukaan kulit wajah berwarna putih pucat sangat-sangat pelan, menemukan keinginan untuk menghindar dari sentuhan. Dia menangkup rahang tembam tersebut kuat-kuat, “I finally have you in my arms, Baby Chanhee..”

Chanhee tidak mengenali siapa pria di hadapannya, pernah bertemu saja tidak, dan darimana dia tahu kalau Chanhee pulang larut malam hari ini. Apakah dia punya penguntit? That worst??

“Kamu nggak kenal aku?” alis Changmin naik satu, tidak begitu percaya lantaran seingatnya dua tahun lalu Chanhee pernah melempar senyum tipis pas mata mereka bertamu beberapa detik. Kepala Chanhee menggeleng pelan, meringis ketika cengkraman dikuatkan. “two years ago you smiled at me, Bitch.”

What a year. Chanhee mana ingat lagi siapa-siapa yang pernah dia senyumin. Termasuk pemuda berpipi tembam yang sebenarnya bila tidak menyeramkan saja pasti tampak manis. Terutama kilat-kilat netra hitam tersebut seakan menghipnotisnya untuk patuh.

“What a waste time to liking you,” pemuda rambut perak melepaskan cengkraman, sedikit menyenggol kepala Chanhee menyebabkan ia nyaris tersungkur ke kanan. Si Cantik gemetaran lagi, memandang ke pangkuan telanjang tanpa sehelai benang apapun.

What? Jadi dari tadi dia polosan gini? Chanhee memandang Changmin seraya memiringkan kepala, kepala dipenuhi banyak pertanyaan. Hendak menyuarakan suara tapi terhalang kain yang disumpal di rongga makan. Sehingga ia hanya mengeluarkan beberapa patah kata.

Changmin berdiri tak jauh dari figurnya, menyunggingkan senyum miring, “Guess what, Baby.”

Gadis rambut pirang bernapas tidak teratur saking kepanikan mendera di setiap aliran darah, dia berusaha melonggarkan ikatan di badan namun nihil terlepas. Pemuda di sana tertawa kencang, tertarik pada reaksi yang ditunjukkan.

“MMMPHHHH!!”

“Why no? I've seen you naked hours ago, Baby Girl. Kamu nggak sadar sewaktu ke toilet umum tadi bukan?” mendengar nama tempat yang barusan dikunjungi menyebabkan Chanhee membeku sejenak di posisi.

Oh. God. Someone's been watching her.

And it is from her college.

Manik Chanhee nampak berkaca-kaca, lama-kelamaan air mata terjun bebas karena tak sanggup bertahan di tempatnya. Changmin membuat suara-suara bayi, terkesan mengejek jika kalian dapat melihat seringaian terpampang di wajah manisnya. “Ogu.. ogu.. you didn't think that far, did you? Toilet umum di pinggir jalan sepi, cuman punya dua bilik laki-laki dan perempuan, and it was very small even your pussy can be shown over the mirror, Darling.”

Chanhee terisak antara takut dan malu, tidak bisa berbuat apa-apa selain berupaya melonggarkan ikatan di seluruh tubuh, memandang penuh kebencian pada pelaku penyergapan sekaligus penguntit cabul yang menyebabkanny terperangkap dalam jebakan jitu. Bibir gemetar akibat tangis pilu, akan tetapi tidak membuat Ji Changmin mundur.

“Now that you're mine, I can do anything to you, right Baby?”

Si Cantik menggeleng-geleng, cepat tak hendak dieksekusi secara cuma-cuma. Dia ingin mengerahkan anggota gerak namun sayang beribu sayang, semua terbelenggu di kursi tempat duduknya sekarang. Ji Changmin melempar senyum manis lagi, pipi menciptakan lesung dalam sehingga Chanhee tak sadar terpesona diam-diam. Wow, kalau saja orang ini tidak sakit jiwa, dia mau bersimpuh menjadi kekasihnya.

No. Not today Choi Chanhee. He's your perpetrator right now. You have to scream so loud when he unleashed the cloth around your mouth.

Ji Changmin has another idea though. Untuk membuat Chanhee tidak melawan, ia hanya menyeret kursi kayu tersebut mendekati ranjang. Chanhee menggeram-geram marah tapi tidak sekalipun diacuhkan. Sebaliknya, pemuda manis tersebut mendaratkan kecupan di pipi kanan maupun kiri, sesekali membungkus leher jenjang menggunakan tangan.

“Jangan pernah berpikir buat teriak karena aku nggak akan segan-segan mencekikmu, Chanhee.” suara Changmin sangat halus nan tajam bak menggores mata pisau di gendang telinga. Penuh ancaman menyebabkan Chanhee gemetar ketakutan, melupakan seluruh skenario sebab ia tahu bahwa Ji Changmin dapat melakukan hal sekecil apapun termasuk membunuh dirinya. “be a good girl for me, and I won't torture you hard, understand? Nod for me.” Chanhee mengangguk lamban, mengunci pita suara setelah tatapan menusuk seakan mengoyak retina seorang. Dia menjadi pasrah, tidak memberontak seperti di awal penangkapan, membiarkan Changmin menggunakan tubuhnya sebagaimana mestinya.

Melihat reaksi yang disukai, pemuda berlesung pipi mengecup pipi tembam lagi, kini menjilat garis bibir yang sedang terbuka menahan kain, sesekali menyesap atas bawah secara bergantian sembari mengerang nikmat. “Fuck, I've been wanting to do this since I met you, Chanhee-ya,” ia mengulum si ranum menggunakan geligi, menikmati sari-sari yang tertempel di parasan bengkak tersebut. “I wonder how's your bottom lips, Baby.”

Bottom lips.. mendengar sebutan agak mengejutkan Chanhee maupun kelaminnya. Organ intim terutama klitoris berdenyut pada perkataan, diam-diam penasaran apa yang hendak dilakukan si lelaki kepada mereka.

“Oh..hoo kamu suka?” Chanhee mencoba menggeleng, meski basah di kemaluan mengatakan sebaliknya, “kamu suka membayangkan Daddy makan kamu? Eat you like a five star meal, sucking your juice out from your tiny cunt, how about I play the clit with my teeth, Sweetie? Will it tickle you? Hmm?” Tolong siapapun Chanhee lemah jika disuruh berhadapan dengan lelaki penuh omongan kotor bersifat sensual. Apalagi rupa manis Ji Changmin seakan tengah membuainya untuk patuh, padahal situasi saat ini tidak memungkinkan bagi dia menyukai perlakuan sang penculik terhadapnya. Oh god Chanhee is just a fine lady who's weak at everything including cute face and dominant behavior. She almost got keen over her kidnapper.

No. No, Choi Chanhee, stay strong!

But how??? When the said person here was untying the rope around her but the wrists. Dia belum dapat bebas sepenuhnya meskipun rongga dada yang semula sesak menjadi lega bisa bernapas banyak. Changmin mencengkram dagu mungilnya sekali lagi, menggoyang-goyangkan ke kanan, ke kiri, lalu tertawa kecil.

“Kamu cantik banget, Chanhee-ya, I'll make sure people won't see it cause it's all mine.” Mata bulat entah sudah beberapa kali terbelalak dengan kedua tangan hendak melayangkan pukulan. Mudah sekali Changmin mengelak, membawa sang gadis ke atas pundak dan melemparnya ke ranjang.

Chanhee mendesis kesakitan, belum menyadari belenggu di kaki kini terkait di salah satu tiang kasur. How did he done it so fast? She barely noticed the restraint. Menyebabkan kaki-kaki jenjang melebar dan menahan dirinya agar tak kemana-mana.

“Okay, let's begin the play, shall we?” manik yang menjeritkan kepolosan seorang anak berkilat-kilat aneh nan menyeramkan. Chanhee hanya memiliki satu opsi, yaitu pergelangan di atas perut. Dia dapat mengayunkan ke arah Changmin bila pemuda yang dimaksud hendak macam-macam. Si gadis melirik arah pergerakan Changmin, dimana lelaki itu mulai melucuti pakaian santai yang terlekat hingga membuahkan ketelanjangan sama seperti dirinya. Sekilas, ia menegak ludah, mata tak sengaja mendarat agak lama di kejantanan standar.

Shit. What a pointy cock. It will rammed inside her, and abuse her womb lips repeatedly on point. Aku sudah memberitahumu bukan? Kalau Chanhee hanyalah seorang gadis normal yang menyukai seks pada umumnya.

“Someone's been eyeing this guy,” Changmin menyengir lebar, agak menggoyang-goyangkan pinggul membuat kejantanan setengah tegang berayun layaknya mainan di taman kanak-kanak. Chanhee tidak dapat melenyapkan keterkejutannya, kalau saja mulutnya tak terikat mungkin rahangnya akan terjatuh tidak etis melihat pemandangan aneh ini.

“Do you like it?” pemuda itu mulai menghampiri sosok ramping terbelenggu di kasur, Chanhee hendak bangkit, berniat menghindari sepak terjang tetapi sayang sekali rantai di pergelangan kaki mengatakan 'not tonight, Sweetie.' Menghasilkan seringaian menyebalkan, oh jangan lupa menyeramkan baginya jua.

“Mmmphhh! Mmphhh!” Kepala si gadis menggeleng-geleng begitu Changmin melompat tepat di tengah-tengah selangkangan. Jantung Chanhee terasa menggedor keluar, dan ia mengayunkan ikatan tangan agar mengenai bagian manapun dari lelaki itu. Sialan, meskipun Changmin lebih pendek beberapa centi darinya, tidak menutup kemungkinan tenaga sebesar kuda yang dimiliki si pemuda.

“Hoho, kamu mau mukul aku?” Tawa riang membahana sekaligus kekangan di pergelangan tangan, “do you want me to kill and fuck your corpse here? If you want it, then I'll torture you slowly then,” mendengar ancaman bernada gembira, tak kontras sama sekali dengan kalimat, membuahkan rambut-rambut Chanhee bergidik ngeri, benar-benar pemuda sakit jiwa! Ya kali ada manusia berhubungan intim sama mayat?!

Pada akhirnya gadis surai pirang tersebut ditemukan pasrah tidak ingin melawan karena masih sayang nyawa. Changmin tampak senang sekali tidak melihat adanya perlawanan, itu berarti dia bisa menyantap dengan tenang. Pemuda surai perak tidak meruntuhkan cengiran, menaikkan intensitas degupan jantung gadis di kukungan. Dia bergerak menindih, luwes macam binatang melata, menumpu menggunakan satu tangan, sementara tangan bebas dibiarkan bergerilya di wajah.

“Oh.. sweet beautiful Chanhee..” pujinya menelusuri struktur muka si gadis dengan buku hari, pelipis mata serta hidung bangir tak luput dari sentuhan, terutama bibir kenyal merah muda nan tebal menggoda iman. Chanhee tampak menelan ludah, tak sengaja bernapas di sela-sela sumbatan. Changmin menjulurkan lidah, membelai mesra garis ranum terbuka, mengikuti bentuk mulai sudut kiri ke sudut kanan. The lips are stunning, just like its owner. Quivering as quick as the heartbeat inside her. Just like Changmin loves it.

“Do you want Daddy to uncover your mouth, Chanhee?” kepala berambut pirang tak sengaja mengangguk lamban, pergelangan tangan tak dapat bergerak kemana-kaman lantaran beban tubuh pemuda lain menahannya. “do you want to scream Daddy's name when Daddy do you piece by piece, Baby?”

“Mmhhh.. mmhhh..”

Changmin menggumam, hanya mengecupi seluruh permukaan wajah yang dapat ia jangkau sebelum beralih ke bagian leher. Mengabaikan permintaan, sibuk melumat parasan putih pucat bagaikan kanvas lukis terbaru di toko.

Oh. Here we go, kita telah sampai di pemberhentian pertama. Dada nan agung di mata Ji Changmin seorang. Manik menggemaskan berkilat-kilat antusias, bagaikan bayi menemukan sumber kehidupan utama. Hidung terlesak di belahan, ah karena Chanhee polosan, belahannya tak terlalu sempit untuk dijuluki begitu. Masih ada ruang sekitar dua centi antara gunung kembar. Tapi tak apa, Changmin bersyukur, menghirup aroma khas yang sangat harum nan memabukkan, mengacungkan adik di selangkangan.

“Hmm.. do you have any idea my first mastubation of you is thinking about sniffing these tits?” Chanhee gemetaran mendengarnya, terbayang sangat jelas pemuda di atas melakukan onani sambil memikirkan dirinya yang tak tahu apa-apa. Entah dia takut, atau diam-diam menyukai pengakuan. “Mind's right, Baby, kamu harum seperti yang Daddy pikirkan, look at this plump thing,” sembari ia berkata, Changmin mendaratkan lidah, menjilat sisi dada perlahan, melihat bagaimana Chanhee merintih kegelian. Tanpa basa-basi, ia langsung saja mengeksekusi. Menjilat membasahi, mengecup-ngecup sedikit, lalu mengulum gemas seraya membunyikan suara-suara puas. Oh, he loves it so much that he can sucking it hard till it blooms with red.

Then he did. Bibir bergerak mengenyot kelenjar lemak, merasakan gadisnya bergerak tak keruan, geligi mencoba menggores kerutan pentil, menyebabkan adanya keterkejutan, Changmin menyeringai senang, bahkan tega mengulum si benda mencuat tanpa memikirkan kegelisahan gadis bawah kukungan.

“Shit, Daddy nggak sabar mau makan kamu, Chanhee, oh more like I can't wait to buried myself inside you, maybe my cock don't bulged your belly but I'll make sure you're pregnant with my babies,”

Chanhee menggeleng cepat, the last thing she wanted from sex is having a human inside him, and yet this rapist just made a word of it. No, she can't be pregnant, dia nggak mau hamil anak siapapun!

“Your wish is not my command,” seringaian jahat itu kembali tersampir sehingga Chanhee hanya dapat terisak pilu sebab tak diberi kebebasan apapun. Kram mendera seluruh sendi, namun tidak diacuhkan sama sekali. Malah kini Changmin melepaskan hasrat terpendam ingin menyusu meski tahu tidak akan ada yang muncul dari situ.

“Mmmhh.. mmmhhh!” Geligi tupai dipermainkan, pentil kecokelatan ditarik-tarik sesekali dihisap rakus. Chanhee tidak tahu musti merasakan apa, nano-nano yang bisa ia jelaskan. Belum lagi klitoris berkhianat, atau pelumas alami membasahi kemaluan.

“Hoho, someone's enjoying this too much, isn't it?” Selagi mengenyot bak empeng, jari-jemari Changmin bergerilya menuruni setiap inchi, tiba di pemberhentian lain, mengusap organ yang mulai terasa berair. Chanhee menegang seketika, tidak kuat bila disentuh secara samar tanpa benar-benar ditekan.

“Mmmphh!” Gadisnya mengerang tertahan, membusungkan dada makin tinggi sehingga Changmin mengikuti pergerakan. Atmosfer nafsu semata membutakan segala hal di sekitar, Changmin tergila-gila pada keadaan Chanhee sekarang. Dia melepaskan tautan pada geligi tupainya, mengecup dagu mungil bergantung kemudian mendaratkan kecupan lain di kulit yang dapat digapai. Sampai ia tiba di gundukan pengundang birahi, menabrakkan vulva menggunakan hidung.

“Hmmm..” Changmin menarik napas, sangat menyukai aroma khas area yang ditumbuhi rambut-rambut halus, ini aroma gadisnya, aroma yang selalu dinantikan semenjak ia berfantasi menggagahi perempuan malang.

Chanhee sendiri tidak

kyunyu with girl!chanhee🔞

Chanhee is drunk and horny on the way home, she found a public restroom to pee but she didn't know it was a trap

Warning : public masturbation; what a creep; girl!chanhee; beware of anywhere's mirror fellas

***

.

.

.

“Hati-hati di jalan, Chanhee!”

“Chanhee kamu yakin bisa pulang?”

Chanhee tertawa geli sembari mengangguk-ngangguk mengiyakan pertanyaan berkedok kekhawatiran, ujung hidung bangir memerah hebat pertanda dirinya masih dikuasai kandungan alkohol tinggi meski dapat melangkahkan kaki. Dia melambaikan tangan penuh semangat, merasakan adrenalin terpacu di nadi membuat ia tak sabar hendak tiba di rumah untuk membersihkan diri atau bersantai di kamar mandi sejenak.

Acara ulang tahun salah satu sahabatnya digelar di sebuah klub malam. And she, being a light drinker, mulai meracau tidak jelas setelah menghabiskan lima shot cocktail berisi gin dan tonic. Cairan se-ringan air membakar tenggorokan maupun lambung, but who the hell cares when you can be this free after spending all day in college?

Chanhee meringis memegangi kandung kemih yang berguncang akibat tekanan langkah, halte masih kurang lebih lima menit baru nampak tapi saluran kencing mengancam hendak segera keluar bila ia tidak singgah ke salah satu toilet terdekat.

Where's the nearest cubicle huh? Mana ada toilet umum di sekitar jalanan sepi begini, kalaupun iya, pasti kondisinya jorok nan memprihatinkan. Membayangkan ia harus menduduki kloset berkerak dengan sumber air yang tidak diketahui membasuh area kewanitaan, no fucking way, she's gonna get rash after that, or worst a fucking unknown STD.

Tapi mau gimana lagi? Uretra benar-benar melaju setiap Chanhee tidak menghentikan kaki, sedikit lagi ingin mengotori celana dalam sebagai bentuk protes sebab ditahan tanpa berpikir. Pada akhirnya, si gadis mengalah, celingak-celinguk sebentar, kemudian bersorak dalam hati saat menangkap siluet bangunan kecil bertanda kamar mandi umum jika dilihat dari tempelan bergambar simbol laki-laki dan perempuan.

Merasa tidak ada yang menempati, Chanhee menerobos ke salah satu bilik, oh wow, lumayan bersih meskipun kecil banget. Hanya ada satu kloset duduk, menghadap ke wastafel dimana sebuah cermin menjadi penghias tertempel di dinding. Chanhee dapat melihat pantulan ketika ia mendudukkan diri, sesekali berkaca sedikit sambil menurunkan celana jeans beserta dalaman renda berwarna putih.

Gadis cantik itu melemaskan otot perut, sekaligus menyantaikan kandung kemih diikuti pancuran deras menerpa celah dinding kloset, kemih berlomba-lomba mengucur mendarat di kubangan air, dengan ia menghela napas lega sesekali mengerang kecil. Cukup lama ia menghabiskan sisa-sisa, ia mengambil tisu di samping kiri, menarik berlembar-lembar lalu mengusap untuk membersihkan si kelamin.

“Oh fuck.. that feels goodd..” erangnya ketika tekstur kasar berlembab menyapa kemaluan. Tiba-tiba otaknya berkabut, terangsang akibat ulah elusan tisu di liang, menyebabkan klitoris terbangun terhadap rangsangan tidak disengaja tersebut. Chanhee buru-buru melepaskan jeans maupun celana dalam di lutut, menendang agak terpojok sebelum menaikkan kedua kaki hingga bisa melihat jelas pantulan liang sendiri di cermin.

Shit.. why so pretty Chanhee-yaa..” puji si Cantik menyengir sembari memainkan dua jari di belahan labia, digit bergerak naik turun seraya memejamkan mata menikmati sentuhan sendiri. Permukaan kasar membuahkan kuluman di rongga makan, membaluri saliva sesaat, dan dibawa kembali ke bibir bawah. “fuck.. fuckk aahhnn..”

Sudah larut malam seperti ini tidak mungkin ada makhluk hidup berkeliaran kecuali kalong. Seandainya saja ia memperhatikan secara detil, cermin yang memantulkan posisi erotis sekarang memiliki rahasia kelam di baliknya.

Yes the mirror is two-way dimana seseorang di seberang lain tengah menikmati pemandangan yang disuguhkan saat ini. Pelaku kita sebut saja namanya Ji Changmin. Yang memang dari awal sudah menguntit Chanhee sejak si Cantik berangkat ke klub berjarak 30 meter dari toilet umum ini. Pemuda itu mendapat kesempatan mengganti cermin dengan lapisan lain, memudahkan ia memperhatikan gerak-gerik Chanhee di dalam toilet.

Like when she take off her jeans, her cute lace white underwear, showing off his also adorable tiny pussy, oh shit!Ji Changmin telah melorotkan celana sebatas lutut demi mengocok kejantanan sembari menatap bagaimana Chanhee meloloskan kemih. What a waste, kenapa tidak di dirinya saja huh? Changmin would be so happy if she did that to him.

Oh. Oh, sekarang Chanhee memainkan liangnya, dimulai dari klitoris, mengusap-ngusap acak, temponya tidak menentu, mungkin si gadis suka hal-hal baru, didn't into steady pace this much. Ji Changmin pun melakukan hal yang sama, menjilat bibir seraya menggenggam penis di tangan, memijat teratur mengikuti tempo Chanhee pada organnya.

“Ohhh..” Chanhee samar-samar mengerang, mengapitkan kaki tanpa melambatkan usapan, bibir tebal semerah darah digigit kuat-kuat, terkadang membuka meloloskan desahan. Dua digit basah mengitari pintu masuk berbentuk lingkaran, gadisnya tertawa geli, memberanikan diri menyusup ke dalam.

So wet for Daddy, Chanhee-yaa..” bisik Changmin bersuara dalam, tangan kanan mengocok terus, membayangkan ia sedang menggempur lubang sempit kemerahan. What a pretty cunt, lihatlah bagaimana ia melahap digit-digit lentik, macam tidak pernah puas bila hanya diberi sedikit. Changmin bisa memenuhinya, dipastikan Chanhee bagai orang kehausan di gurun, meminta lebih pada apa yang pemuda itu sajikan.

Di sisi lain, Chanhee tidak memikirkan apapun selain berusaha menggapai klimaksnya. Ada perasaan tidak nyaman harus masturbasi di toilet umum, tapi memacu adrenalin seorang bila ditangkap basah. Tangan bebas membuka kaitan kancing kemeja yang telah dikenakan seharian, mengeluarkan salah satu dada untuk dimainkan. Menambah rasa terangsangnya menjadi-jadi, terutama sewaktu pentil merah muda itu dipelintir bagai tombol remote.

“Aaahngghh..”

Changmin merespon desahan menggunakan geraman berat di kerongkongan, ia melirik sekilas anak mani di puncak, ibu jari menyapu sedikit sesekali mengais lubang kencing sendiri, mengundang desisan nikmat. Manik tajam menatapi gadis di seberang pantulan secara lekat-lekat. Nafsu membara di pupil mata, benar-benar menginginkan si gadis dalam kukungan. Entah apa yang akan dia lakukan, sudah jelas mereka pasti bersenang-senang di suatu tempat dimana Chanhee diprediksa memohon-mohon distimulasi lebih banyak.

Deru napas menerpa jendela tempat ia menontoni Chanhee bermain sendiri, menciptakan embun tapi tak diindahkan sebab ia bagai mengetahui gadisnya nyaris tiba jika dilihat dari cepatnya ia memompa digit dan buah dada yang menggantung. Shit, Changmin bisa mengulum pentilnya tiap detik, membenamkan wajah di belahan montok, menghirup aroma khas sampai otaknya mengingat setiap senyawa kimia parfum atau lotion!yang diusapkan di kulit putih pucat.

Can't wait to do that, huh?

“Aahh- aahh- FUCKKK!” Chanhee mengejang melepaskan tautan jari ketika orgasme membasuh peredaran nadi mengakibatkan lubang kemih memancur kuat mengenai parasan cermin. Changmin ikut menyumpah dan menembakkan beruntai-untai benih kental di lapisan sendiri. Sama-sama mengotori meskipun Chanhee tidak menyadari adanya penghuni di bilik lain, asyik menyaksikan ia membuai dirinya secara erotis.

Chanhee menghembuskan napas panjang, perlahan-lahan menurunkan kedua kaki karena terasa kram berlama-lama menekuk, meski masih gemetaran setidaknya dia harus bergegas pulang sebelum malam terlalu uzur. Lagian, siapa yang mau berlarut-larut di tempat sepi huh? Minta diculik? Gadis rambut pirang tersebut mengusap liang hati-hati menggunakan tisu kering, takut terangsang kembali dan membuang sampah ke tempat tak jauh dari kloset. Dia buru-buru memasang dalaman dan jeans, sekalian memperbaiki riasan wajah atau mengelap permukaan kaca akibat pancuran orgasme tadi.

Hihi. Semoga tidak ada yang sadar ya.

Suasana di luar toilet tampak sangat sepi, wow, seberapa lama ia mendekam di bilik jadi tiada satupun manusia lalu-lalang di sekitar sini. Namun, memang pada dadarnya ia gadis pemberani, cuek bebek melanjutkan perjalanan.

Di tengah-tengah langkah ringan, Chanhee terkesiap mendadak begitu sebuah telapak lebar membekap mulut beserta indra penciuman.

“HMMPHHH!!”

Congrats Chanhee, your wish is Ji Changmin's command.

.

.

.

©️Noname Saputri Ayangnya Mas Changmin🫶🏻

Good Girl Gone Bad

ePiLoGuE

jumil🔞 with girl!Hyunjae

Warning : resiko tanggung sendiri; epilogue macam apa ini haha

.

.

.

“Jadi kamu yang ngehamilin Hyunjae?”

“KAKAK!”

“Iya Kak.” jawab Juyeon mantap. Tidak ada rasa takut, cemas, atau panik saat berhadapan dengan kakak semata wayang sang kekasih yang sering digadang-gadangkan terganteng sedunia. And here he is, meeting the said handsome brother which is also the fact.

“Ih jangan panggil Kak, kamu lebih tua, Mas!”

“Iya Mas.” Juyeon mengoreksi sebutan, panggilannya kan universal, tapi tetap saja membuat Hyunjae menciptakan geli-geli di perutnya. “saya harusnya bertanggung jawab,”

“Aku nggak tahu sih kalian ini punya hubungan apa selain kata Hyunjae kamu adalah bosnya, dan si Maemunah satu ini memang dari kecil nggak suka curhat soal cowo-cowoan, last time she told us about Sang-”

“EHM!”

Hyunjae melototkan mata sementara yang dipelototin malah cengengesan, tahu sekali letak tombol amukan adik kesayangan. Chamin hanya geleng-geleng kepala, meminta pemakluman pada Juyeon. Dan pria tampan itu mengangguk paham. Ya iya paham, selain manik rusa mereka yang sama, dua bersaudara beda jenis kelamin tersebut ternyata satu frekuensi soal kerandoman.

It's okay, Juyeon signed up for that.

“Eniwei, speaking of responsible, kapan rencananya mau nikahin Hyunjae?”

“KAKAK IH!”

“Heh, anak kalian itu butuh pengakuan negara, dan itu berasal dari pernikahan orangtuanya, kamu mau Juyeon nggak diakuin sebagai ayah Yeon-ae?”

Sebelum Juyeon dapat melontarkan jawaban, Hyunjae menyambar pertanyaan sang kakak, “Ya kami pikirin dulu lah matang-matang habis pulang dari sini, emangnya nikah semudah membalik telapak kaki Yeon-ae?” sambil bertanya balik si Manis membolak-balik telapak kaki terbungkus kaos hangat milik sang buah hati macam mempraktekkan jawaban yang dimaksud.

“Saya mau secepatnya, Mas, tapi semua saya kasihkan ke Hyunjae,” akhirnya gaes Bapak Juyeon dapat menyelipkan sahutan, sudah terlalu maklum sama keganasan Lee Siblings meski baru satu jam berkunjung.

“Tiga bulan.”

Astagfirullah Kak Younghoon!”

“Dua bulan, Mas.”

“Bapak!”

Dua orang pria di sana tidak mengacuhkan kehebohan Hyunjae, melainkan saling bertatapan menyalurkan keseriusan dalam meminang gadis termuda di antara mereka. Chamin berusaha menahan diri untuk tidak tetawa karena situasi kali ini sangat lucu di matanya. Oh my, lihatlah ketulusan yang Juyeon berikan, bukan semerta-merta karena Hyunjae melahirkan hasil semaian sperma, tetapi rasa sayangnya kepada adik ipar semata wayang.

I like him.” Younghoon tersenyum lebar, tidak tahu berbicara kepada siapa, mungkin ke istrinya kali ya. Pria jangkung itu menyandarkan punggung, bersikap lebih santai sedangkan adiknya menganga.

“Kak, udah gila kali ya?!”

“Loh lebih cepat lebih bagus dong,” celetuk sang kakak mencoba membela diri, “iya kan Yang?”

“Maksud Hyunjae, apa nggak kecepetan dalam dua bulan harus nikah? Kan mereka juga baru jadian,” jawab Chamin sabar pakai banget, Hyunjae mengangguk setuju, menggunakan tameng kakak ipar sebagai pembalasan argumen.

“Tsk, they fucked each other for almost two years and Hyunjae got knocked up after that, cepat darimana kalau mereka udah kenal badan masing-masing,”

Sebelum Hyunjae menyambar kembali, Younghoon langsung melanjutkan, “Besides Juyeon sudah paham sama kepribadian Hyunjae yang suka gonta-ganti kayak bunglon dan Hyunjae pun juga begitu ke Juyeon, tinggal meresmikan hubungan mereka ke jenjang yang lebih tinggi bagiku bukan suatu hal yang buru-buru,”

“Tapi statusku masih asisten, Kak!”

“Terus?”

“Kalau karyawan lain tahu dan merasa nggak adil gimana?” tanya Hyunjae sangaaatt pelan, kedua pundaknya mendadak lesu ketika disuruh memikirkan kemungkinan adanya demo massa tentang ketidakadilan di kantor mereka.

Macam.. “Oh wajar aja sih mereka nikah,” “Oh ternyata Kak Hyunjae side jobnya begitu?“, “Pantes aja jadi asisten terus wong ternyata di belakang main bareng–” gadis itu menoleh saat telapak tangan mendarat di bahu sebelah kiri, terdapat usapan pelan, berupaya menenangkan, netra rusa bertemu manik kucing yang memandang penuh tanya terhadap apa yang membuatnya melamun dengan wajah berkerut-kerut.

“Nggak usah khawatir, kamu bisa jadi dua-duanya kalau mau,”

“Huh? Kok dua?”

“Iya.. di kantor jadi asisten Mas, kalau di rumah jadi istri Mas,” Juyeon tertawa begitu rona merah menyerbak manis di permukaan pipi tembam, seandainya mencium Hyunjae di depan kakak-kakaknya tidak membuahkan lemparan sandal, sudah ditelanjangin mungkin di atas sofa. Hyunjae semenjak jatuh cinta nggak bisa menangkis kalimat godaan tersebut selain diam seribu bahasa dan merona merah. Padahal dalam hati sudah jejeritan mau meleleh di tempat.

“Berarti aku bisa punya sugar baby lagi?”

“Anak dulu digedein, mikir sugar baby terus, si Erica nggak cukup apa?” Younghoon menyahuti permintaan acak sang adik dan nyaris baku hantam kalau Hyunjae tidak menggendong Yeon-ae sedari tadi. Gelak tawa terbahak-bahak melihat reaksi gadis surai cokelat dari Younghoon seorang menggema di penjuru ruangan.

“Kak Younghoon ini mulutnya minta disambit ya?!”

“Dek, hayo nggak boleh gitu depan Yeon-ae, kalem dikit dong,” tegur Chamin geleng-geleng kepala, Juyeon senyam-senyum melirik kelakuan kekasihnya, entah kenapa Hyunjae kalau barbar kayak sekarang jatuhnya sangat menggemaskan.

Oy Juyeon jangan macam-macam di rumah orang.

“Yaudah daripada kita berbelit-belit ngomongin hal rumit mending kita makan malam aja, Jae, bantu Chamin di dapur, sekalian belajar jadi istri yang baik,”

“Ugh!!!!” Pasangan suami istri itu hanya tertawa geli sembari berlalu meninggalkan dua sejoli, dengan Hyunjae mengerucutkan bibir serta Juyeon mengambil alih si Yeon-ae ke dekapan sendiri. “nyebelin banget!”

Juyeon tersenyum, menyentil pipi gadisnya main-main, “Kamu emang suka kelahian gitu kalau ketemu?”

“Iya, aku nggak pernah nggak perang mulut sama dia, ada aja bahan,” sembari bercerita, Hyunjae menyamankan kepala di bahu tegap pria di sebelah, memandangi anak mereka yang terlelap, “Yeon-ae anteng banget tumben, sebelum Mas datang ke sini, dia tuh nangis terus, nggak bisa lepas dari aku, pas Mas telepon dan bilang kangen, dia langsung tidur pulas,”

Si Tampan terdiam mendengarkan, melingkarkan lengan yang tidak digunakan sebagai alas pembaringan Yeon-ae untuk merangkul si gadis agar lebih erat, “Mungkin dia ada link batin sama Mas,”

And the reason why I can't deny my feelings anymore,” jawab Hyunjae menumpukan dagu, Juyeon menolehkan kepala lalu menunduk mencium bantalan empuk yang sedang manyun, “apasihh..”

“Mas nahan diri daritadi buat nyium baru kesampaian sekarang,”

“Nggak bisa apa nunggu sampai kita di kamar?”

Hoho, Juyeon suka arah pembicaraan mereka kali ini. Senyuman miring terpampang eh malah mendapat cubitan di hidung mancungnya. “Aww! Awww!”

“Mesum ya otaknya, aku nggak mikir sampai situ,”

“Ya mau gimana, Mas puasa lima bulan demi nungguin kamu pulang, and here you are in my arm looking hot with that night gown,” bisik Juyeon sengaja merendahkan suara supaya Hyunjae terpengaruh, benar dugaannya, si Manis mengubah posisi duduk sedikit rapat meski rautnya cemberut.

Later di kamar.”

“Asyik~ love you Sayang..” ucap Juyeon kemudian menautkan bibir mereka lagi tanpa mendengarkan balasan dari sang kasih, mereka cekikikan bersamaan tapi tak terlalu nyaring agar tidak membangunkan buah hati dalam pelukan.

.

.

.

***

*Warning : (lil spicy in the middle late night talk)*

“Kapan kamu tahu kamu hamil?”

Sesudah makan malam selesai digelar, kedua sejoli dipersilakan beristirahat di kamar masa kecil Hyunjae. Juyeon dapat merasakan aroma familiar saat pertama kali masuk, benar-benar menghangatkan rongga dan tak sabar ingin memeluk gadisnya. Yeon-Ae hanya bangun sebentar karena lapar sewaktu mereka masih menyantap makan, yang mana Hyunjae buru-buru menghilang sebab masih ada rasa malu bila disuruh menyusui di depan Juyeon.

Dih, padahal benar kata Younghoon tadi, they've known their bodies too well to get embarrassed.

Mereka merebahkan diri di atas kasur, sama-sama memandangi langit kamar, ditempeli stiker-stiker bintang yang dapat menyala ketika lampu dimatikan. Juyeon tertawa melihat bagaimana Hyunjae mencontohkan, geli pada tingkah kekanakan.

Kaki-kaki saling mengait, menyusup dalam material tebal penghangat suhu badan. Hyunjae secara alami melingkarkan lengan di pinggang Juyeon, menempelkan kuping tepat di rusuk sebelah kanan kekasihnya, mendengar desingan paru-paru secara seksama.

“Jae, kamu tidur?”

“Engga.”

“Jawab dong pertanyaan Mas..” Hyunjae menyengir, mendongakkan kepala demi melihat raut merajuk yang ditampakkan, membuat dia bergerak sedikit buat menggigit hidung mancung bak perosotan waterbom, “eh kok gigit-gigit?”

“Heleh, biasanya Mas gigit balik,”

“Ini suasananya lagi ringan, Sayang, nanti kalau Mas balas kamu ngambek,”

Gadis rambut cokelat tersebur hanya menjulurkan lidah kemudian menyamankan diri di dada bidang, mencerna pertanyaan yang terlontar. “Enam bulan lalu, pas Mas pergi dinas sama Yokyung, aku sakit kepala nggak berhenti-berhenti, bahkan minum obat pun nggak mempan, terus ada mual juga, kayak eneg gitu lihat kerjaan,”

“Hooo pantes aja Mas dimuntahin- heh! Kamu eneg ya sama Mas?” tuduh Juyeon setelah mengetahui alasan kenapa dia selalu dimuntahin Hyunjae selama beberapa minggu. Hyunjae cengengesan, memeluk erat-erat supaya bosnya tak mengamuk pada hal sepele seperti itu.

“Yeon-ae yang bikin aku muntah setiap lihat muka Mas,”

“Tsk, anak kita nggak salah, kamunya aja yang suka bikin ulah,”

Si Manis mengerucutkan bibir sehingga Juyeon tak kuasa menahan senyuman lebar dan melayangkan kecupan di permukaan wajah cantik tersebut. Gila, semakin dia menerima kenyataan, semakin pula dia terpesona pada wanita yang tengah dipeluknya. Doesn't matter what color her skin was, doesn't matter how thin or thick her form is, if it's Lee Hyunjae he falls in love with, then he's not going to regret that.

“Tapi karena dia, aku jatuh cinta sama Mas,”

Pria itu hening sesaat, diselingi napas panjang terhembuskan dan tarikan sudut bibir nan tampan mengoyak jantung Hyunjae ke sana kemari. “Mas juga baru sadar habis kamu tinggalin Mas, ternyata bukan cuman kehilangan asisten aja selama lima bulan tapi sayangnya Mas,”

“Gombal. Cubit nih ginjalnya,”

“Aw.. kayak bisa,”

Semburat merah dari pipi menjalar ke telinga tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan tentang perasaan mereka yang sesungguhnya. Saling melempar senyum penuh cinta terganti cengiran geli lantaran baru pertama kali mengalaminya bersama.

“Jadi kamu ambil cuti buat melahirkan doang?”

“Ralat, Mas. Liburan, melepas penat, melahirkan, menghilangkan perasaanku sama Mas,” Hyunjae menghela napas sembari jari-jemari memainkan serat-serat kain kaos pinjaman dari Younghoon untuk Juyeon.

“Apa yang bikin kamu kasih tau keberadaanmu sama Mas?”

“Mas nangis dan bilang kalau Mas kangen aku, awalnya aku nggak mau terima, tapi lama-kelamaan aku capek juga kalau menghindar terus, either I face it or I'd be gone,”

Juyeon mengusap punggung gadisnya perlahan, menyalurkan kelembutan serta meyakinkan bahwa mereka memiliki perasaan yang sama. “Belum pernah kan lihat Mas nangis?”

“Idih ini Bapak, lagi serius malah becanda,” Pria rambut hitam tertawa mendengar sahutan, senang saat gadisnya berceletuk. Oh how he missed her babbling about something he said, kayak setiap Juyeon ngomong A, Hyunjae pasti punya B sebagai ekornya. Itu yang membuat gadis itu menawan, elok di mata seorang.

“Beneran, Mas loh nggak pernah nangis,”

“Cuih, pas sama Mbak Karina?”

“Mas nggak nangis, cuman sembab,”

“Jelas-jelas ada ingusnya, nempel tau kayak becek di bajuku,”

“Hmm nggak ingat,”

“Tapi ingat pernah onani kan?”

“Jaeeee!!”

“Shhh, Yeon-ae tidur!”

Juyeon malu tidak tertolong ketika Hyunjae mengingatkannya pada memori terlaknat sepanjang mereka menjadi rekan kerja. Gadis cantik itu meredam tawa di dadanya supaya tidak membangunkan anak mereka.

“Mas mikirin apa sih jadi sampai gitu?”

“Mas mikirin kamu lah,”

“Iya maksudnya mikirin aku lagi ngapain..”

Lelaki lebih tua memicingkan mata, sorotannya penuh selidik, “Kamu mau mancing ya?”

“Dih, mancing apa? Adek Mas? Aku loh cuman tanya,” balas Hyunjae tak mau kalah, ya iya dia murni pingin tahu apa yang ada di pikiran Juyeon saat melakukan zina sepihak tersebut. Karena kok bisa tanpa angin dan hujan tiba-tiba dia sudah jadi objek masturbasi bosnya? Seingatnya, Hyunjae lelap pulas sekali, nggak mungkin si atasan terangsang pas dia mengorok kan? Atau.. pas ileran? AAAAAHHHH!!

Juyeon menipiskan bibir, berusaha mengingat-ngingat. “Apa ya? Mas mikir gimana rasanya mulutmu hisap punya Mas, apalagi bibirmu kan tipis tuh, punya Mas gede, bakal muat nggak kalau kamu masukin semua,”

Hyunjae menatap sangsi, “Nggak muat sih,”

“Jaeeeee..” Juyeon manyun karena dipotong, dan Hyunjae mengendikkan bahu, agak lega lantaran tidak menemukan hal aneh dari alasan yang dikemukakan, “serius Mas mikir gitu, terus Mas juga mikir gimana kalau Mas goyang kamu, kamu desah di bawah Mas sambil megangin seprai, hold on for your dear life while I fucked you hard, deep, wet all ove-mmph!”

Tuhkan. Ada yang sange.

Hyunjae sudah berhenti berpikir panjang setelah monolog Juyeon tentang ia mendesah di bawah kukungan tertangkap gendang. Menyalurkan listrik ke selatan, menyebabkan klitoris di balik labia berkedut aktif sesudah enam bulan tidak dipegang. Juyeon seperti biasa belum konek, hanya mendaratkan telapak jumbo di pinggang si Manis begitu figur montok terbalut daster selutut sudah di atas perut tanpa melepaskan tautan, malah lebih kasar menuntut, ganas mengajak lidah bergelud.

“Mmhh.. mmhh fuck Massss nghh..”

“Sshh lower your voice, Baby,” bisik Juyeon walau separuh akal sehar mencair seiring saliva berlepotan di bibir masing-masing. Hyunjae membungkam lenguhan tapi tidak dengan pinggul yang bergerak menggesekkan organ intim keduanya. “mmmhh J-Jae..”

Shit.. shit I missed this, I missed your dick inside me, I missed your tongue, kadang kalau aku lagi horny banget aku ngerasa lidah Mas suka main-main di liang, nghh~” What a confession, Juyeon suka, Juyeon tidak munafik. Membayangkan gadisnya bermain sendiri sambil memikirkan dirinya tentu saja menyebabkan celana pendek menggembung lebih besar dari ukuran normal.

I missed your pussy too, Baby, apalagi pas kamu mau haid rasanya sempit dua kali lipat dan Mas sukaaa banget..” balas Juyeon tak mau kalah, Hyunjae benar-benar dibutakan nafsu tidak tertahankan sehingga buru-buru melucuti pakaian malam mereka. Kulit sesama kulit bersentuhan, memicu api birahi di atas indra peraba masing-masing.

“Mas.. kalau Mas nggak masukin aku sekarang, aku anggurin Mas sebulan,” ancam Hyunjae karena mereka masih saling berpagutan serta mengesekkan kemaluan, lendir yang tercipta melumuri batang keras di belahan labia. Juyeon mengangguk buru-buru menuntun pangkal lalu menepuk-nepuk puncak di liang sebelum menaikkan pinggul demi menyusupkan. “FFFFF—”

Remember where we are, Sweetie” ucap Juyeon mengingatkan seraya mengulum bagian kulit apapun yang disuguhkan. Hyunjae gemetaran menerima invasi seraya menurunkan pinggul agar melesak lebih dalam, “ohh so wet for Mas, Jae Baby,”

Please please fuck me fuck me!!”

Ah sudah, mereka sama-sama kehilangan akal ketika tubuh bawah mulai menyatu. Juyeon tidak lagi menegur teriakan maupun desahan yang diloloskan kekasihnya lantaran dia sendiri merasa keenakan setelah sekian lama tidak menggempur liang kesayangan.

“Aahh.. aahh.. Mas.. mmh-” pinggul Juyeon menghentak bersamaan Hyunjae menurunkan dirinya juga. Bergerak berlawanan arah, berusaha mencapai titik puncak yang tersimpan cukup lama.

“Oh shit, Mas deket Sayang..”

“Jae juga ngh Jae juga aah-”

“HUAAAAAAA!!!!”

Mampus.

Sebuah tangisan membahana berhasil menghentikan senggama. Kedua sejoli sontak melepaskan tautan dan orgasme mereka mendadak hilang sesaat kasur bayi Yeon-ae bergetar akibat gelombang suara di dekatnya.

Naluri seorang Ibu ketika anaknya menangis tentu saja langsung melesat kabur menghampiri, buru-buru menggendong, mendekap ke dada telanjang sembari menenangkan. “Ssshh sshh Mommy's here, Sweetie, Mommy's here..”

Yeon-ae masih menangis, seakan mencari perhatian, bibir mungilnya bergetar membuat siapapun yang melihat pasti iba.

“Lapar mungkin, Sayang..”

“Baru juga nyusu,”

“Mana tau pikiran anak bayi,” jawab Juyeon mengendikkan pundak, totally fine with it. Hyunjae sebenarnya sangsi mau menyusui di depan bosnya, tapi mau dimana lagi coba selain di kasur empuk nan nyaman, ada kehangatan tak asing pula, cuman.. gimana kalo Juyeon ilfiel? Bukannya rata-rata cowok nggak suka ya lihat ceweknya nyusuin bayi? “kamu malu sama Mas?”

Si gadis tersentak dari lamunan, buru-buru menggeleng, “Enggaaakk..”

“Mas kan udah liat semua..”

“Mas nggak jijik?”

“Mas jilat punyamu, lebih jijik mana dari air susu, hm?” Hyunjae melempar guling ke arah sang kekasih karena ngomong jorok di depan anak, sementara Juyeon hanya cengengesan dan menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya. “kamu nggak bisa lari terus setiap mau nyusuin Yeon-ae kalau kita udah nikah nanti,”

Sialan. Benar juga sih. Hyunjae membuang rasa malu yang bersemayam kemudian duduk di samping kiri pria bersurai cepak. Juyeon being a gentleman he is, menarik selimut di ujung ranjang demi menutupi ketelanjangan calon istri.

“Jangan dilihatin gitu kayak orang mesum!”

Juyeon mencebik kecil dan merebahkan kepala di paha montok terbalut kain, memberikan privasi kepada Hyunjae yang mungkin masih risih. “Sudah Mas bilang, Mas nggak demen tete,”

“Cowok normal suka tete,” kilah Hyunjae mulai menyusui, mengintip sedikit apakah pacarnya mencuri-curi pandang, ternyata tidak gaes, Juyeon is a man with words.

“Ya berarti Mas nggak normal,”

“Kenapa kok nggak suka tete?”

Pembahasan macam apa ini.

“Bosan, stigma semua cewek pasti mikir cowoknya suka tete, pentil, padahal nggak semuanya kayak gitu, Mas bukan benci, tapi Mas lebih demen yang di bawah, apalagi kalau kamu habis-”

“Mas nggak usah terlalu detail deh, kira Yeon-ae budek apa..”

“Kamu tanya duluan ya Mas jawablah!”

Iyain iyain daripada merajuk Direktur Utama EL-Corp.

Speaking of EL-Corp.

“Mas yakin mau nikahin aku?”

Juyeon mengerutkan kening, berbalik ingin mengadu tatap akan tetapi terhalang buntelan berselimut sedang sibuk mengenyot pentil sang ibu. Alhasil dia cuman menatapi motif kain lampin si anak. “Yakin.”

“Rekan-rekan di kantor gimana?”

“Dua tahun kita berhubungan badan ada yang berubah nggak sama cara kerja kita?”

“Ada.” Juyeon memandang bingung, “Mas tiba-tiba suka nyerang aku di ruangan,”

“Kan nggak setiap hari,”

“Iya, setiap kesempatan.”

Bersyukur Hyunjae lagi dilindungi Yeon-ae, kalau tidak sudah habis badan montoknya digigit sampai merah-merah. “But, did it make our professionalism disappear?” kepala si Manis terlihat menggeleng, Juyeon memberikan statement yang cukup meyakinkan Hyunjae kalau mau bagaimanapun status mereka, asisten atau istri, bila menyangkut pekerjaan, semua akan terfokus pada yang dimaksud.

“Selagi perusahaan kita masih berjalan kayak biasa, dimana kamu nggak sendirian berdampingan sama Mas, nggak masalah kalau Mas nikahin kamu, Sayang..”

“Siapa ya yang nyangka kita dua bulan lagi jadi suami istri?”

“Yeon-ae.” Juyeon mengusap badan mungil di lengan gadisnya secara hati-hati, merasakan rongga dada menghangat setiap melayangkan tatapan ke Hyunjae maupun bayi mereka. “Yeon-ae disuruh Tuhan buat bikin Daddy sama Mommynya berhenti maksiat and make it officially instead,”

“Mungkin kita bakal kayak gitu terus kalau Yeon-ae nggak muncul di perutku,” Hyunjae mengulas senyum lembut lalu memainkan helaian rambut hitam tebal milik calon suaminya, Juyeon ikut merefleksikan ekspresi sekaligus menikmati kehadiran masing-masing, seperti menyelimuti malaikat kecil mereka sebagai perlindungan sampai akhir hayat nanti.

tamat.

nggak deng hehe

***

So for the final ending, cukup kita tarik kesimpulan aja yaa. Benar kata Hyunjae tempo lalu, siapa sih yang akan menduga mereka berakhir bersama? Karyawan kantor yang mendapat desas-desus pernikahan, ada yang tidak percaya, ada yang menyangsikan, ada yang bodo amat, ada yang diam-diam membuat teori tentang kedekatan mereka, ada juga yang patah hati. Yang terakhir diabaikan aja karena mereka kira mereka punya kesempatan selain memuja dalam hati hihihi.

Keva maupun Chanhee pun tidak tahu kalau Juyeon dan Hyunjae punya sesuatu yang disembunyikan selama lima tahun kakak tingkat mereka menjadi asisten utama. Apalagi Homin dan Yokyung yang cuek bebek, lebih mengutamakan pekerjaan dibanding menggosipi atasan.

“Kalian pacaran?” suatu hari ketika Hyunjae sudah pulang bertapa di sebuah gunung (?), baru keluar dari ruangan bosnya sehabis membuat laporan, eh malah memergoki dua anak buahnya bermesraan di dapur. Keva tampak memutar mata sementara Chanhee menjaga jarak halal.

“Nggak suaminya, nggak istrinya, selalu nangkap basah,”

“Heh Maemunah! Makanya kalau mau ciuman pintu ditutup, lagian di rumah kurang apa?”

“Tau nih Keva sangean banget!”

Ouch. Hyunjae jadi ingat seseorang tapi dia berusaha untuk tak menjatuhkan wibawa sang atasan di depan asisten lain. “Dari kapan anjir kok aku nggak tahu?”

“Ya sama kayak Kakak, kita juga nggak tahu Bapak sama Kakak pacaran,”

Bibir Hyunjae menipis membentuk garis, bingung ingin mengutarakan hal yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Kasih tahu nggak yaa.. “Pacarannya sih baru aja, dua bulan lalu, tapiiii TTN nya udah jalan dua tahun,”

Pengakuan mendadak membuahkan rahang tembam terjatuh, pertama mereka nggak ngerti TTN itu apa, kedua karena wow seoblivious itu kah mereka terhadap kedekatan sekretaris utama dan Pak Dirut terhormat?

“TTN apa, Kev?”

“Teman Tapi Ngebo mungkin,”

Nyaris gelas kertas melayang ke kepala Keva. “Teman tapi ngasur, anjing.”

“Oh gitu..” kedua gadis termuda mengangguk-ngangguk paham sebelum sadar atas jawaban. “WHAT?”

Hyunjae ditemukan cengar-cengir sempak (?) setelah mendapat respon kehebohan adik-adik tingkatnya. Beruntung mereka tidak suka mengepoi urusan orang lain sehingga interaksi antara Juyeon dan Hyunjae mau sedekat apapun tidak membawa kecurigaan pada mereka semua.

Ya bisa jadi juga Juyeon menerapkan kedisiplinan dalam bekerja membuat seluruh karyawan tidak diperbolehkan menggunjing sesama rekan.

Setelah berita pernikahan mereka tersebar, Keva dan Chanhee disuruh jadi pengiring pengantin lantaran Hyunjae tidak memiliki teman terdekat selain mereka berdua, bersama Erica tentu saja. Kata Younghoon, semasa remaja, anak-anak perempuan seusia Hyunjae membenci adiknya lantaran memiliki sifat aneh tapi disukai banyak lelaki di sekolah. Hebatnya, she doesn't budge a thing, didn't care about her surroundings.

Juyeon pun mengerti kenapa selama ini Hyunjae tidak pernah kelihatan bersama orang lain selain dirinya atau Erica. Ternyata si Manis lebih suka menghabiskan waktu sendirian, tenggelam dalam dunianya seorang. Bless Lee Juyeon who's gonna take a part of her world.

Pesta pernikahan mereka dilangsungkan sederhana tapi di sebuah hotel mewah. Kolega, rekan bisnis, keluarga yang mana Hyunjae takut dia nggak diterima dari sisi Juyeon, ikut memeriahkan acara. Cuman satu hal yang ada di benak mereka saat itu, nggak masalah mau seperti apa yang penting hubungan kita sudah resmi, nggak ngalor-ngidul menyebar zina di tempat-tempat sembarangan.

Dan begitulah kita sudah di penghujung cerita. Gadis cantik alias kembang desa seperti Hyunjae sampai sekarang masih tidak menyangka dia akan hidup satu rumah sama atasannya. Nggak di kantor, nggak di rumah, ketemu mulu, bedanya cuman sikap profesional saja sih, meskipun memang tidak ada yang berubah dari bubungan mereka selain status saja naik tingkat. Lee Juyeon tetap mesum kok, dan Lee Hyunjae tetap luluh dipojokin di sudut-sudut tertentu.

Salah satu pihak yang harus mereka ucapkan terima kasih karena telah mendekatkan mereka adalah Karina. So, the credit of this whole relationship goes to the woman. Kalau saja si Maemunah tidak berselingkuh, sudah pasti mereka tetap stay sebagai adik-kakak dalam pekerjaan. Bahkan mungkin Hyunjae yang akan menjadi pengiring wanita bila posisi dibalik seperti semula.

Tidak. Tidak. Membicarakan Karina bikin hati dia panas dan berapi-api walaupun suaminya sudah tidak punya hubungan apa-apa lantaran bucin setengah mati. Jadi, dalang di balik pernikahan ini kita kasihkan ke Yeon-ae, putri semata wayang keluarga kecil Lee. Yang mengerti kegelisahan Ibunya saat di kandung, yang menjauhkan Ibunya dari perasaan semu, dan yang menyadarkan Ibunya kalau dia juga menginginkan Juyeon sebagai Ayahnya. Untuk melengkapi kepingan kebahagiaan agar menjadi lebih sempurna.

Tamat.

Udah tamat ah.

Nggak bosen apa.

Good Girl Gone Bad

Chapter Finale

jumil🔞 with girl!Hyunjae

Warning : resiko tanggung sendiri; ending tidak sesuai harapan :( masih ga mampu bikin sinetron haha

.

.

.

Sshhh. Jangan tanya keadaan Juyeon sesudah bertemu Karina. Moon Keva dan Choi Chanhee memberikan kuasa sepenuhnya pada Homin dan Yokyung untuk berurusan dengan Juyeon bila menyangkut pekerjaan. Karena semenjak kejadian tiga hari lalu, direktur utama mereka memasang wajah dingin dan tatapan mata sinis yang bisa membuat seseorang mengompol di tempat.

Juyeon mengalami sakit kepala luar biasa di hari itu sehingga ia memerintahkan Yokyung untuk menggantikan kehadirannya pada rapat nanti sore. Bahkan berpesan kepada seluruh asistennya untuk tidak mengganggunya terlebih dahulu. Tentu saja mereka menyanggupi, mana mau membantah kalau masih kepingin punya nyawa :)

Sembari merebahkan diri di atas sofa, ia memejamkan mata sejenak, tak sengaja mengulas balik kejadian-kejadian tidak terduga, tingkah aneh Hyujae sampai pertemuan dengan Karina kemarin. Yang dimana wanita itu mengatakan sesuatu kepada Hyunjae untuk mengatur meeting bersama Juyeon, dan sampai detik ini pun Hyunjae tidak mengungkapkan apapun soal Karina.

Apakah Hyunjae sengaja menyembunyikan itu semua? Untuk apa? Takut Juyeon menolak mentah-mentah? Ya nggak salah sih tapi setidaknya Hyunjae tidak memendam sendirian, menyimpan pertemuan itu entah sampai kapan, tiba-tiba mengajukan cuti berbulan-bulan.

Tuhan, kalau memang Juyeon anak baik, bolehkah dia mengunjungi Hyunjae di manapun gadis itu berada? Tidak apa jika harus mengarungi samudera atau lautan luas, Juyeon rela menggulirkan uang demi bertemu gadisnya.

Juyeon baru menyadari bahwa ia sering mendeklarasikan kepemilikan terhadap Hyunjae di cerita ini. Sebutan asisten kesayangan, sekretarisnya, gadisnya, bahkan terakhir ia memanggil 'Sayangnya Mas' di pesan singkat pada hari pertama Hyunjae cuti.

Bodoh. Lee Juyeon memang pantas digelari lelaki paling goblok sealam semesta. Perasaan kangen, rindu, galau, gundah gulana tanpa kehadiran Hyunjae merupakan gejala orang jatuh cinta. Bagaimana rupanya, tingkah laku acaknya, atau bentuk badannya sekalipun, hanya gadis itu yang selama ini melekat di relung hatinya. Menjelaskan pula kenapa dia sangat menentang keinginan Hyunjae memiliki sugar baby sebab takut perhatian si Manis teralihkan darinya, dan juga alasan kenapa ia tak menjadikan Hyunjae pemimpin perusahaan cabang lantaran tidak ingin melepaskan begitu saja.

Hah! Stupid Lee Juyeon. Percuma IPK angka 4 bila soal beginian pria itu idiot tidak ketolongan.

Selagi meratapi nasib, ia tak sengaja membuka pesan terakhir kepada sang asisten, ibu jari meleset ke tombol hijau, berniat menelepon walau tahu tidak akan diangkat.

Satu dering..

Dua dering..

Tiga dering..

Juyeon mulai putus asa, tak sadar pula meneteskan air mata.

Lima dering terdengar kemudian terjadi keajaiban.

Halo?”

“Jae?”

Keheningan melanda beberapa detik sebelum Hyunjae bersuara halus, “Iya Pak?”

“Jaeeeeee..” Juyeon tak kuasa menahan tangis yang selama ini tertahan semenjak Hyunjae tidak berada di sisi. Persetan dikatain cengeng tapi begitu telinga mendengar suara yang dirindukan, rongga dada langsung menyesak disertai kristal di pelupuk mata. Di seberang sana, Hyunjae panik, pelan-pelan menenangkan bagai memperlakukan seorang bayi.

“Sshh.. sssh.. kenapa hmm? Kok nangis?”

“Mas kangen!”

“Ya ampun baru juga lima bulan, kalau aku resign gimana?”

“HEH!” teriak Juyeon heboh spontan bangkit dari pembaringan, seakan melupakan sakit kepala yang mendera beberapa menit sebelum acara teleponan. “nggak ada nggak ada, kontrak kamu Mas panjangin jadi selama-selamanya,”

Hyunjae meluncurkan tawa geli, menambah rasa rindu Juyeon semakin menjadi-jadi, “Ada-ada aja loh Mas ini, kenapa nelepon?”

“Aku kangen, Jae.” ucap Juyeon lemah, tersandar pasrah di punggung sofa sesekali terisak kecil-kecilan, “I missed you so much that if you still insist to stay away from me, I honestly gonna die,”

Aku juga kangen,” balas Hyunjae tak kalah pelan, ada nada kesedihan tersirat di setiap kata yang diutarakan, “tapi aku nggak mau terlalu berharap sama ucapan kangen Mas,”

“Jae, tell me where you are, aku mau ketemu dan ngungkapin perasaanku ke kamu,” Hyunjae membeku di tempat usai Juyeon bersungguh-sungguh memohon, sekelebat perasaan cemas menggrogoti sanubari, apakah cintanya akan berbalik?

Mas, maybe you're confused.”

Just tell me, okay? If you're not telling me, I'll die.”

Hyunjae memang terbiasa menghadapi kekeraskepalaan Juyeon, tapi untuk mengatakan keberadaannya sekarang, apakah dia siap? Terutama memberitahu hal yang ia sembunyikan rapat-rapat dari pria tersebut. Bagaimana kalau Juyeon marah? Bagaimana kalau Juyeon kecewa? Hyunjae nggak minta tanggung jawab kok, dia murni bisa mengurus sendirian, meskipun berujung berhenti dari pekerjaan.

But they're in their 30, nggak bosan apa sembunyi-sembunyi atau menolak perasaan masing-masing? Sudah cukup main kucing-kucingan kayak anak baru puber. Hyunjae harus menghadapi konsekuensi seperti yang dikatakan Younghoon tempo hari, bukannya berlari menghindari. Dia dan Juyeon memang harus membicarakan tentang kelakuannya di tujuh bulan terakhir.

Merasa Hyunjae terdiam membisu, Juyeon terdengar memanggil, setengah berbisik, “Jae, you still there?”

Aku di Incheon, tepatnya..” Si Manis mendiktekan sebuah alamat tempat kampung halamannya berada, Juyeon dengan hati menggebu-gebu, mengingat setiap huruf yang diucapkan gadisnya sambil bergegas bangkit lalu merampas kunci mobil.

“Tungguin Mas ya Sayang..” itulah kalimat terakhir Juyeon saat sambungan telepon hendak terputus. Dia mengabaikan atensi-atensi pemberian anak buah ketika kakinya melangkah secepat mungkin untuk mengemudi ke tempat yang dimaksud.

The adults need to talk, I fucking know. This is Lee Juyeon and Lee Hyunjae we talked about. Insan berbatang yang tidak memiliki kepekaan, serta Insan bergunung kembar yang menutup hati setelah digantung oleh seorang pria bajingan.

Seharusnya Juyeon mengendarai mobil sport supaya cepat tiba di hunian, dia menggigiti kuku jari ketika kendaraan Tesla yang disetir sekarang terjebak kemacetan parah karena pengaruh lalu lintas ibukota. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 3, masih ada waktu sekitar 1 jam untuk sampai di tempat Hyunjae berada.

Ketidaksabaran mengelubungi suasana hati, rasanya semua pengendara baik motor maupun mobil, bahkan supir bus sekalipun mau dimaki sama lelaki yang mengemudi. Beruntungnya, tidak sampai 35 menit, Juyeon berhasil menginjak pedal gas dalam-dalam menuju kampung halaman gadisnya.

Seperti yang aku deskripsikan di awal kepulangan Hyunjae, desa tempat si Manis dilahirkan tidak terlihat mundur atau terbelakang banget. Sebaliknya, sektor pertanian maupun peternakan besar-besar menyita perhatian Juyeon sehingga membuat si lelaki gagah itu terkagum-kagum.

Sebuah rumah sesuai petunjuk Hyunjae saat berteleponan tadi terpampang di balik kaca mobil. Jantung Juyeon langsung berdegub kencang, gugup serta gusar secara bersamaan. Takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan, or the worst, Hyunjae got mad at him.

Akan tetapi, bukankah si Manis bilang dia juga rindu? Bahkan mendiktekan alamat selengkap-lengkapnya buat Juyeon supaya menyusul.

Kepalan tangan jumbo mengetuk papan pintu, menarik napas panjang, menghela perlahan sembari menanti harap-harap cemas. Dia tidak sabar, dia begitu rindu segala hal tentang Hyunjae, bagaimana reaksinya ketika ia membuka pintu dan melihat Juyeon berdiri di sini huh?

Kuncian pintu terdengar bergeser ke samping, Juyeon menahan udara di indra penciuman sewaktu benda penghubung dibuka ke dalam, menampakkan seorang wanita berambut cokelat sedang menahan sesuatu saat manik mereka bertemu.

Thank god.” Juyeon tidak tahu kenapa bisikan itu lolos dari bibir seorang, tanpa tahu menahu sontak memeluk Hyunjae erat-erat saking tidak mau melepaskan, menangis kecil begitu hidung bangir menangkap aroma familiar yang samar-samar mengangkat memori di benak setelah lima bulan tidak bertemu.

Hyunjae membalas pelukan, tersenyum tipis seraya membenamkan wajah di pundak tegap kesukaan. Ah, dia sangat merindukan dekapan pria ini, berjauhan dengannya selama kurang lebih 20 pekan terakhir demi mengubur perasaan lebih, akhirnya terkuak saat mereka saling berhadapan tanpa ingin melonggarkan pelukan.

“Jae.. hiks..”

“Kenapa nangis sih?” Hyunjae tak kuasa menahan tawa terhadap wajah sedih Juyeon nan menggemaskan, jarak antarwajah mereka tipis sebab masih mau tenggelam dalam kehadiran masing-masing.

“Aku sudah bilang aku kangen!”

Hyunjae menggumam, memejamkan mata sejenak lalu menganggukkan kepala pelan-pelan, “Aku juga,”

“Jae, I think it's too soon to tell you this but shit I'm in love with you.”

Okay. OKE SEBENTAR! Hyunjae ditemukan panik ketika Juyeon mengoceh terburu-buru bak merapalkan mantra santet diiringi isakan pilu. And he said what? Too soon? Memangnya setahun mereka tunggang-tunggangan nggak menumbuhkan rasa cinta apa?

But, better late than never sih.

“Aku nggak mau kamu pergi, aku nggak mau kamu sama orang lain, please jangan tinggalin aku lagi, aku baru sadar kalau selama ini aku cuman mau sama kamu, Hyunjae,” Ini beneran Juyeon yang ngomong? Bosnya? Pak Lee Juyeon terhormat yang berwibawa dan sedingin udara Kutub Selatan? Memohon-mohon kepada Hyunjae, kedengaran seperti anak SMA yang sedang mengakui perasaan.

“Pak? Kejedot ya?”

“Hyunjae astaga Mas serius ini!”

Si Manis mengulas senyum, mengusap derai air mata yang membasahi pipi tirus bahkan mendaratkan kecupan sayang, manik rusanya berpendar tulus, semakin membuat Juyeon terpesona akan sinarnya. “Can't help it, aku nggak nyangka Mas bisa ngomong kayak gini, padahal biasanya kita perang mulut atau adu desahan,”

“Lima bulan hidup tanpa kamu di sisi Mas benar-benar jadi gila tahu nggak?”

“Aku pikir Mas cari yang lain,” perkataan tersebut membuahkan lumatan bibir secara kasar nan menuntut, seakan hendak membungkam Hyunjae berpikiran jahat seperti itu.

“Mas cuman mau sama kamu.” bisik pria itu memandang lekat-lekat, Hyunjae ditemukan meleleh, pipi tembam menyemburkan rona merah menyebabkan Juyeon menciumnya terus-terusan saking rindu menggrogoti rongga dada. Ketika pasokan udara menipis, Juyeon melepaskan tanpa menjauhkan jarak wajah, hidung mancung saling bersentuhan dimana deru napas juga beradu bersamaan.

Do you feel the same?” Lelaki rambut hitam bertanya kembali. Melihat bagaimana Hyunjae menggigit bibir, terkesan ragu untuk menjawab, “please tell me you feel the same cause if you don't I'll kill myself here,”

“Lepas dulu, aku mau ngasih lihat sesuatu.”

Juyeon menyangsikan perbuatan, namun Hyunjae kekeuh ingin dilepaskan sebentar. Mau tak mau ia menurunkan kalungan di pinggang, membiarkan gadisnya mundur lalu membalikkan badan untuk masuk ke rumah lebih dalam. Juyeon berdiri tidak seimbang, kaki menapak-napak di lantai sangat cepat menandakan kecemasan mendera persendian. Seluruh pikiran negatif menghantam saraf-saraf di kepala sehingga rasa sakit yang sebelumnya kembali menghantui area.

Ini kenapa Hyunjae lama banget sih?!

Selagi Juyeon dilanda kegusaran, dimana ia masih berjarak satu meter dari pintu rumah, akhirnya sosok yang ditunggu-tunggu pun datang dengan membawa buntelan berselimut di lengannya.

Heh.

HEH.

Hyunjae tampak ragu mau mendekat, apalagi mata Juyen membulat kehorroran. Reaksi apa yang ditunjukkan atasannya? Marah kah? Seram kah? Kecewa kah? Atau.. hendak kabur tidak mau kembali lagi?

Akan tetapi, semua ketakutan Hyunjae tidak terjadi ketika Juyeon menyadari raut yang telah ia berikan, ia membenarkan postur badan, berdeham kecil-kecilan kemudian melangkah maju untuk mendekati si Manis.

I'm sorry.” gadisnya bersuara.

Pria rambut cepak tersebut memandangi mereka secara bergantian, otak berpikir keras dan baru terkoneksi akan semua tingkah laku Hyunjae dengan manusia mungil di dalam dekapan si gadis. Dia selama ini hamil, Ju. DAN KAMU NGGAK SADAR SAMA SEKALI???!! BENAR-BENAR MANUSIA GOBLOK.

“Seharusnya aku yang minta maaf,” suara Juyeon terdengar bergetar, mengulurkan tangan demi menyentuh pipi si bayi yang tak kalah tembam dari ibunya. Berjuta-juta kupu-kupu memenuhi perut Juyeon sehingga ia meneteskan air mata entah sudah ke berapa kali, “kenapa.. kamu nggak bilang..”

Hyunjae menancapkan geligi di bibir bawah kuat-kuat, ikut merasakan kesedihan yang sama saat Juyeon bertanya, terutama kini pria itu tampak mengelus permukaan wajah anak di gendongan yang terlelap pulas tanpa mengetahui gejolak emosi orangtuanya.

“Kita belum punya perasaan yang sama dan aku jatuh cinta duluan sama Mas maka dari itu aku menjauh untuk sementara waktu buat menata hatiku,” mendengar jawaban ini membuat Juyeon menangkap dagu mungil Hyunjae kemudian mencium bibirnya kembali. Merasai asin air mata menjajak saking tidak kuat menahan perasaan emosional mengalir di peredaran darah.

So you feel the same, right?”

Si Manis mengangguk pelan, mengulas senyum lembut penuh keyakinan membuahkan kecupan manis tepat di kening seorang. “Mas nggak marah sama aku?”

“Lebih tepatnya kecewa tapi aku mengerti keadaanmu, you should tell me sooner so I'll take the responsibility for you,” Hyunjae menggeleng kecil pada pernyataan tersebut.

“Kalau aku cerita, Mas cuman bakal bertanggung jawab dan masih belum sadar sama perasaan Mas ke aku, tapi kalau kita jauh-jauhan kayak gini, Mas jadi tahu rasanya kehilanganku wau cuman sebentar,”

Duh, punya cewek pintar banget, kenapa dia bodoh dan nggak pekaan sih?

“Boleh Mas tau namanya?”

“Belum kukasih nama, aku nunggu Mas dulu, supaya kita bisa kasih nama bareng-bareng,”

AAAHHHH Juyeon mau teriak lagi lebih lantang tapi kali ini berkedok kebahagiaan. Melihat betapa menggemaskan kekasihnya sekarang sambil menggendong anak mereka berdua menyebabkan jantung Juyeon mendadak sesak akibat kegembiraan.

“Then what do you suggest?”

“Hhmm..” Hyunjae nampak berpikir, “이연애?”

이연애? Cinta?”

Gadis cantik itu mengangguk antusias, “Iya, sebagai bukti kalau dia hasil cinta kita berdua,” Juyeon tergelak mendengarnya, gemas pakai banget karena KENAPA SIH LEE HYUNJAE DICIPTAKAN MENGGUNJANG-GANJING HATINYA? Dan kenapa juga dia baru sadar sekarang hah?

“Baiklah, Yeon-ae it is,” ucap Juyeon mencium bibir Hyunjae lagi, mengundang tawa geli dari si gadis menyebabkan simpulan kupu-kupu di rongga perutnya terlepas melanglang buana setelah mengutarakan perasaan sebenarnya. Dia juga menunduk supaya dapat mendaratkan kecupan lembut tepat di pipi sang anak perempuannya.

Welcome to the world, Cintanya Daddy dan Mommy.”

INSULIN MANA INSULIN WOY PENULISNYA KENA DIABETES NIH MANIS BANGET MASYA ALLAH!!!

.

.

.

end or epilogue?

hehehe talanghae <3

Good Girl Gone Bad

Chapter 7

jumil🔞 with girl!Hyunjae

Warning : resiko tanggung sendiri; gak sad suwer

.

.

.

Juyeon's POV

Seperti apa sih perasaan Juyeon yang sebenarnya? Kan kita selalu mendengarkan (membaca) dari sudut pandang Hyunjae tentang pria itu. Apakah pendapatnya seratus persen benar? Tentang ketraumaan komitmen, tentang penutupan hati secara sepihak sehingga rasa yang dimiliki Hyunjae terhadapnya berujung tak terbalas.

Yuk mari kita hinggap di kepala Juyeon sebentar.

Satu jam setelah ia melengos pergi dari hadapan Karina dan khalayak publik di restoran, isi kepala Juyeon mendadak kosong, hanya ingin tenggelam dalam selimut tebal. Dia nggak nangis, cuman matanya sembab aja selama tidur-tiduran ayam, selama Hyunjae belum datang. And when the girl came abruptly that night, whispering encouraging words while she caressed him softly. Juyeon secara gamblang menghilangkan sosok Karina di pikiran, malah terganti menjadi seluruh momen yang pernah dia lalui bersama asistennya dari awal. Yang sebenarnya tidak disadari tapi ternyata menyimpan rona sendiri setelah Hyunjae memeluknya malam itu.

That explained why he behaved like a pervert when he woke up in her arms.

Masturbasi maksiat yang dia lakukan menciptakan ketakutan luar biasa. Takut pada reaksi si gadis, takut dicap macam-macam, takut dilaporkan tentang pasal pemerkosaan (mentally) atau nama perusahaannya tercoreng hanya karena ulah bejatnya dalam satu malam.

Dia mencoba berpikir positif, menghindari sang asisten sebisa yang ia mampu supaya Hyunjae tidak dapat membaca gerak-gerik kegelisahannya. Namun, memang pada dasarnya Juyeon punya kaki tangan setengah waras, alhasil berujung dengan seks bebas di antara keduanya.

And it escalated very quickly and naturally.

Juyeon hanya menganggap Hyunjae sebagai adik bila kita mengenyampingkan hubungan pekerjaan mereka. From the first time dia hanya melihat betapa cepatnya si Manis bekerja sebagai karyawan sampai memasuki tahun ketiga, ia menawarkan Hyunjae menjadi asistennya. Yang dimana asisten terakhir mengundurkan diri karena tidak tahan pada tekanan yang dia berikan.

Surprisingly, they somehow clicked for each other. Juyeon yang notabene cuek bebek, nggak pekaan, dan serius dimanapun kapanpun, sementara Hyunjae bisa mengatur image dan sikap untuk menyesuaikan cara bekerja Juyeon. Setahun mengurus kantor bersama, barulah Juyeon mau meruntuhkan sifat dinginnya, terkadang suka melempar candaan atau menggoda si asisten yang hatinya terbuat dari baja.

Asisten dia bukan cuman Hyunjae, si Cantik itu punya anak buah lain, Moon Keva, Choi Chanhee, Lee Homin, Kim Yokyung, adalah asisten-asisten lain. Namun, Hyunjae tetap memegang gelar utama dan kesayangan karena memang memiliki cara bekerja yang bagus serta cocok di hati Juyeon, eak.

Oke, berarti dari awal hubungan mereka adalah bos-anak buah, lama kelamaan kakak-adik in professional way, lama kelamaan... kakak-adik ngasur.

Kenapa juga bisa merembet sejauh ini hah? Jalan dua tahun pula, alami kayak dunia cuman milik keduanya. Juyeon berpikir pakai kelamin sih jadinya dia tak pernah memikirkan apapun selain urusan di ranjang. Dan melihat tingkah Hyunjae yang masih sama, from the first meeting till this moment, sekiranya ia tidak perlu membicarakan tentang perasaan yang sebenarnya.

Hari pertama tanpa asistensi Hyunjae. Juyeon sudah kewalahan, biasanya ada berkas-berkas yang tersusun rapi di meja kerja untuk dievaluasi atau diperiksa. Akan tetapi, yang ia lihat sekarang hanyalah tumpukan map pekerjaan kemarin.

“Kevaaa?”

Tidak ada sahutan, meski ia memanggil lewat intercom lantaran jarak antara pintu ruangan dan bilik kerja sekretaris keduanya lumayan terbatas buat pendengaran manusia.

Walah, kemana pula ini anak satu.

Juyeon berusaha sabar, tenang, tenang, cuman lima bulan tanpa kehadiran Hyunjae, dia bisa kok jadi anak baik-baik dan sabar sembari menunggu kepulangan Ibunya.

Ketika ia celingak-celinguk mencari keberadaan Keva, nihil ditemukan batang hidung perempuan yang bersangkutan. Dewi Fortuna mengatakan sesuatu pada Juyeon, menyuruhnya melangkah ke arah pantry tempat biasa mereka yang bekerja di lantai itu mencari minum atau menyemil di jam istirahat.

“Kev kalau Bapak lihat gimana?”

“Bapak di ruangan, beliau mana peduli,”

Juyeon menyeringitkan dahi, pelan-pelan bagai hewan melata ia bergerak mengintip di ambang pintu dapur, agak terkejut menemukan dua asisten perempuannya sedang asyik berpelukan sesekali Keva mencium bibir Chanhee berulang-ulang.

Kurang ajar, Juyeon jadi kangen Hyunjae kan.

“K-Kev.. mmh.”

“Ehm.”

Kedua anak Hawa tersebut sontak menjaga jarak. Juyeon menipiskan bibir saat mereka dilanda ketakutan akan kehadiran sang atasan secara tiba-tiba. Chanhee menundukkan kepala, mungkin mau mengheningkan cipta sementara Keva berdiri tidak seimbang seakan tidak pernah berbuat macam-macam.

“Hyunjae ada kasih berkas rapat besok, Kev?”

“A..da Pak,”

Juyeon memandangi mereka bergantian kemudian mengisyaratkan Keva untuk mengikutinya, Chanhee tampak melotot ke arah gadis rambut sepinggang, terlihat mengancam-ngancam sampai mereka menghilang.

“Saya nggak masalah kamu pacaran sama siapa, tapi lain kali ditutup pintunya,”

“M-maaf Pak..” ucap Keva menggaruk tengkuk canggung, sesampai di mejanya, ia mengambil berkas yang kemarin sudah dipindahtangankan kakak tingkatnya, masih kikuk karena ketangkapan basah menggoda salah satu asisten Juyeon.

“Hmm, kamu bagi tugas sama Chanhee ya buat rapat-rapat selanjutnya,”

“Kata Kak Hyunjae, Bapak ada dinas luar minggu depan, siapa yang ikut Pak?”

“Homin masih di Dallas?”

“Masih Pak,”

“Kamu nggak ada apa-apa kan?”

Keva menggeleng, seumur-umur belum pernah ikut dinas luar karena selalu Hyunjae atau asisten pria yang mendapat kesempatan. Dia dan Chanhee sering kebagian menjaga kemaslahatan perusahaan menyebabkan keduanya bisa bebas di saat atasan tidak ada. “Kalau begitu, kamu sama Chanhee aja yang urus buat minggu depan, biar Homin sama Yokyung jaga kantor,”

“Baik Pak..”

Juyeon menghembuskan napas panjang sesudah memasuki ruangannya sendirian, sepi, senyap, biasanya ada aja perang mulut atau omelan Hyunjae mengisi kekosongan. Ah shit, he started to miss her already, bagaimana bisa dia melewati lima bulan tanpa kehadiran si gadis kalau sehari tidak nampak saja Juyeon berasa kehilangan berhari-hari.

Urusan apa sih yang bikin gadisnya pergi?

.

.

.

***

.

.

.

Mari kita ucapkan selamat menempuh kesendirian tanpa Lee Hyunjae kepada Bapak Lee Juyeon terhormat. Dia masih hidup teman-teman dan ini sudah memasuki bulan kelima semenjak Hyunjae cuti. Sebetulnya Juyeon nggak ingin terbiasa, tapi dia mau tak mau musti mengakui kelincahan Keva dan Chanhee sebagai asisten pendukung menggantikan tugas Hyunjae.

Ya walaupun Juyeon harus menjadi obat nyamuk selama dia dinas luar bersama dua perempuan itu, kayaknya mereka punya exhibitionist kink deh. Karena dia selalu memergoki mereka sedang bermesraan.

“Kalian tanggung jawab kalau mata saya besok berdarah, ya..”

Keva hanya melempar cengiran tanpa dosa sementara Chanhee sudah merah padam layaknya tomat masak. Para asisten perempuan pamit undur diri setelah dipanggil ke dalam perihal kelakuan mereka kemarin. Bukannya apa sih, Lee Juyeon lagi puasa seks dari awal Hyunjae liburan dan melampiaskan ketegangan tersebut dengan olahraga di gym sekaligus melakukan hal positif, ya masa hari-harinya tak luput disuguhi pemandangan romantis, belum lagi si Keva yang suka menggoda Chanhee diam-diam, membuah rona serta tamparan pelan di paha gadis lain.

Rasa pingin Juyeon berteriak, 'AKU KANGEN HYUNJAE HUAAAAAAA!!!'

Oke nanti mereka dikira punya hubungan spesial.

Tunggu.

Tunggu dulu.

Hubungan spesial?

Pria berusia kepala 3 tersebut tersandar di kursi kerja sembari menatap langit-langit ruangan, memikirkan hal yang terlintas di benak, tentang hubungan 'spesial' yang ia miliki bersama sekretaris kesayangan. Mereka termasuk friends with benefit kan? No relationship, no emotions, just sex, whatever happenes they stay the way they are -Juyeon ngutip omongan Jamie Rilles di film Friend With Benefits yang ditontonnya bersama Keva dan Chanhee saat mereka dinas luar kemarin.

Surprisingly, mengejutkan kepala dingin Juyeon, alur ceritanya sedikit persis sama hubungan dia dan Hyunjae.

“AAAAHHHHH!!!” udahlah teriak aja daripada ditahan-tahan mulu, bersyukur pondasi ruang kerja dia kedap suara sehingga tidak mengagetkan insan-insan di balik pintu baja akan keputus-asaannya. Juyeon membuang napas kasar, tidak memahami apa yang diinginkan, selain kembalinya Hyunjae dalam pelukan.

Dia. Rindu. Berat. Sama. Ocehan. Manusia. Paling. Random. Yang. Pernah. Dia. Temui. Dia rindu sama ketawa keras yang bisa memecahkan gendang telinga seseorang. Dia rindu cengiran khas ketika sedang diajak bercanda, dia rindu omelan bak kereta, dia rindu- INTINYA DIA KANGEN HYUNJAE OKE?

Tega banget dah gadisnya main angkat kaki dan nggak pernah balas pesannya lagi. Juyeon sebetulnya frustasi pingin tahu urusan yang dimaksud, tapi nomor Hyunjae seakan-akan didesain mati supaya tidak dapat dihubungi.

Di tengah-tengah kegalauan macam anak remaja baru puber, Juyeon memutuskan pergi ke salah satu coffee shop di seberang kantor. Tempat biasa Hyunjae beliin dia es Americano pakai sirup hazelnut, dimana si Manis sendiri lebih memilih latte stroberi dibanding yang pahit-pahit.

“Kemana, Pak?”

“Ke seberang bentar, santai dong Kev,” ujar Juyeon sedikit sewot menyebabkan Keva mengatupkan mulut seketika tak mengomentari apapun, padahal asistennya numpang tanya tapi dia udah kayak kebakaran jenggot. INI TUH EFEK KAMU YA LEE HYUNJAE?!' batin Juyeon agak berapi-api sambil berjalan memasang wajah dingin. Nggak usah ditanya respon pekerja lain, bergerak mengikuti arahan tukang parkir, mundur.. mundur.. daripada terjadi pemotongan gaji.

Suasana kafe tampak lengang, pas sekali dengan suasana hati Juyeon yang sedang membutuhkan ketenangan. Memesan segelas americano dingin ditambah sirup hazelnut, ia duduk di salah satu bangku dekat jendela berniat memandangi pejalan kaki lalu lalang.

Seandainya Juyeon tahu Hyunjae tinggal dimana pasti mobil sport di rumah sudah melaju kencang ke arah sana. Siapa sih teman Hyunjae? Atau karena dia menjadi asisten Juyeon, jadi 24/7 kehidupan dia berputar sekitaran bosnya? Erica tahu nggak ya?

Juyeon mengutuk diri sebab tidak meminta kontak Erica, mana tahu kalau berujung kayak gini.

Segelas minuman dingin itu mulai tandas setengah bagian, Juyeon terlalu sibuk meresapi kegundahan sehingga tidak menyadari kehadiran seseorang sangat familiar.

“Juyeon?”

Manik kucing bertemu manik lain, membulat tak percaya, “Karina?”

Karina tersenyum sangat lebar, bahkan tidak tahu malu langsung main duduk di hadapan mantan tunangannya yang belum merespon selain memanggil namanya. Oh my! Setahun lebih berlalu, Juyeon makin ganteng dan kekar secara bersamaan.

“Kamu apa kabar?”

Si Tampan diam dulu mencerna pertanyaan, sama sekali tidak tertarik pada senyuman wanita cantik helat satu meja. “Never been better.”

Thank god,” Karina tampak lega, sedangkan Juyeon mengerutkan kening, ini dia boleh kabur nggak sih bawa minumannya ke tempat lain? Tiba-tiba ketemu mantan di sini membuat hati kecil Juyeon menjerit mengatakan sesuatu yang tidak dipahami isi kepala sendiri.

Something like... don't talk to her, you'll hurt Hyunjae.

Apasih. Untuk manusia tidak peka sepertinya, hal-hal semacam itu tidak dapat ia tangkap maksud dan tujuannya.

“Karena kita ketemu nggak sengaja di sini, sebelum kamu maki-maki aku, aku mau jelasin kejadian di Norwegia kemarin,”

Mampus. Juyeon jadi semangat mau angkat pantat setelah mendengar ungkapan gadis rambut hitam tersebut. Namun, dia berusaha tetap tenang, tangan mengepal membuka di samping badan, perlahan-lahan mengembalikan memori di benak.

“Aku khilap waktu itu, dan aku cuman pingin lihat kamu sayang sama aku atau enggak, karena.. Juyeon you're not yourself when you're with me, aku sangsi kalau kamu setuju sama perjodohan kita, aku selalu mikir kalau bunga, perhatian, ajakan kencan dari kamu cuman sebatas formalitas buat menghargai aku. I know you went to Norway, even when you called me that night, I was a floor away above you, mau tahu perasaanmu disaat kita berpisah jauh, and the restaurant? That's just a coincidence, aku perhatiin gerak-gerikmu sama Hyunjae, why can't you be like that when you're with me hmm?”

Si Maemun ini ngomong apa sih– Juyeon sampai speechless setelah mendengar penjelasan rumit. Kenapa nggak mengaku selingkuh dan mau mengakhiri pertunangan mereka? Kan nggak perlu repot-repot cari alasan belaka.

Dan Juyeon bukan dirinya saat bersama Karina? Jalan pikiran wanita memang sulit ditebak logika pria. Jelas-jelas Juyeon menikmati kemesraan mereka, walau tak menampakkan secara gamblang, bukan berarti dia membencinya.

“Ju?”

“Pada akhirnya kita memang nggak bisa bersama kan Rin?”

Karina terperanjat, membulatkan mata sembari mencerna pertanyaan. Heh. Kok malah ditangkap begitu?! “Aku jelasin panjang lebar kamu ngambil kesimpulan secepat itu?”

“Ya. Kamu kecewa sama sikapku, dan aku nggak perlu membela diri soal itu, hubungan kita memang belum sampai ke tahap yang lebih serius kalau kamu sendiri masih nggak mengenaliku,” Karina tidak dapat membalas, hanya melayangkan tatapan tak percaya pada jawaban pria lebih tua. Posturnya sangat dingin dan susah dijangkau, seolah mengisyaratkannya untuk pergi dari hadapan.

Is it Hyunjae?”

What about her?”

I told her to arrange a meeting just you and me but she did me dirty, right?”

“Dia nggak ada sangkut pautnya sama hubungan kita so stop bringing her to the table, kamu yang mulai curiga duluan sama aku, kamu juga yang akhirnya merusak pertunangan kita!”

Wow. Wow. Tenang Bapak, kita sedang di keramaian, wouldn't want to make a scene, would you?' Even her tiny voice sounding so loud in his head, making the world spinning from longing. Juyeon tidak tahan lagi, dia langsung melesat meninggalkan tempat dan menulikan panggilan Karina berulang-ulang.

Fuck Lee Hyunjae, sebenarnya kamu ini kenapa?!

.

.

.

nggak kenapa-kenapa kok Pak —Hyunjae di rumah tiba-tiba bersin

Good Girl Gone Bad

Chapter 6

jumil🔞 with girl!Hyunjae

Warning : resiko tanggung sendiri; gak sad suwer

.

.

.

Udara di perdesaan memang top markotop dibanding perkotaan. Hyunjae sengaja menurunkan kaca mobil miliknya ketika kendaraan roda empat jenis sedan tersebut memasuki kawasan paling terpencil di salah satu daerah Incheon. Dikatakan desa mundur juga tidak, sebaliknya, seluruh pertanian maupun peternakan yang diimpor ke kota rata-rata berasal dari kampung halamannya.

Well, maybe the people here is very modest.

Menghentikan mobil di depan sebuah rumah sederhana, Hyunjae mematikan mesin kemudian menatap pantulan di kaca spion. Dia mencoba bernapas tenang, mengusap perut berusia enam bulan agar tidak gugup saat bertemu Om dan Tantenya nanti.

Hampir tujuh tahun Hyunjae pergi, dia benar-benar asing pas kembali.

Pintu rumah diketuk, tidak ada perubahan mencolok dari terakhir ia meninggalkan hunian orangtua mereka, palingan juga warna cat yang diperbaharui ulang, atau pagar rumah diganti menjadi lebh tinggi dari sebelumnya.

Bunyi decit pintu terbuka menampilkan sosok jangkung berambut hitam. Manik rusa mereka saling bertemu seketika Hyunjae menghambur pelukan.

“KAKAKKKK!”

“Astaga Hyunjae! Makin berat kamu?!” komentar pertama kali sejak kurang lebih 7 tahun merantau ke kota dihadiahi jitakan gratis tepat di kepala. Younghoon mengaduh kesakitan seraya memegangi bagian yang disiksa.

“Kakak ngomong suka sembarangan, mau kupukul?”

“Tsk, kayak kuat aja, ayo sini masuk! Kamu lapar nggak?” seraya mengikuti langkah kakak semata wayang, Hyunjae terus memeluk pinggang lelaki lebih tua karena rindu pakai sangat. Memasuki area lebih dalam, ia menjerit kesenangan.

“Kak Chamin!!!” sosok wanita yang membelakangi sontak menoleh dan berseri-seri melihat siapa yang berkunjung, spatula diletakkan cepat-cepat sebelum memeluk adik ipar yang sudah lama tak bertemu. “oh my godddd I missed you so much!!”

I missed you too My Baby,” meskipun tinggi mereka agak jauh, Hyunjae dapat mengecilkan diri sesaat agar muat dalam pelukan Chamin, menghirup aroma tubuh kakak perempuan satu-satunya, mengingatkannya pada mending Ibu mereka. “kamu gendutan apa gimana? Jadi tambah cantikkk banget,”

“Ah- Kakak bisa ajaaaahh~”

“Giliran Chamin yang ngatain he eh aja kenapa giliranku malah dijitak?” gerutu Younghoon seraya berdecak terhadap aksi kedua wanita di hadapan. Hyunjae menjulurkan lidah.

“Soalnya Kakak itu bawaannya ngolok! Kalau Kak Chamin kan muji..”

“Sama aja konteksnya, Maemunah.”

“HEH!”

“Udah.. udah.. Hyunjae baru datang kok udah diajak berantem sih, Yang, mending kamu bantu angkatin barang-barangnya ke kamar baru kita makan malam bareng,” sebagai manusia netral di hunian Lee, Ji Chamin buru-buru menenangkan dua bersaudara dari perang mulut kecil-kecilan. Younghoon sebenarnya rada nggak ikhlas tapi mengingat kegalakan sang istri yang menggemaskan, ia pun berlalu menuruti saran. Sedangkan Hyunjae bersorak gembira seraya memeluk Chamin kembali, tak mau melepaskan barang sedetik pun.

Ada aura positif yang menguar di tubuh kakak iparnya sehingga membuat dia sangat nyaman saat menyandarkan kepala di bahu landai tersebut.

“Youngmi mana?”

“Masih tidur siang, kamu mau bangunin?” Hyunjae mengangguk antusias, walau dia tak rela melepaskan pelukan namun demi bertemu keponakan satu-satunya, ia melangkah setengah berlari menuju kamar kakaknya.

“Youngmi-ya?”

Ralat gaes. Youngmi bukan keponakan satu-satunya, melainkan ada batita lain yang tertidur di samping kakak perempuannya. Nyenyak banget sampai Hyunjae tidak tega membangunkan.

“Kak Chamin kok jadi dua?”

Chamin tergelak, geli mendengar pertanyaan, “Iya, aku kan bunting dua tahun lalu, Younghoon nggak kasih kabar apa?”

Hyunjae menggeleng, “Atau akunya yang lupa? Hiks, kenapa aku baru pulang sih?” keluhnya menyesali kesibukan bekerja selama hampir 7 tahun sehingga tak mau balik menemui keluarga meskipun sudah ditawari oleh Juyeon.

“Kan katanya kamu mau kerja menghasilkan banyak uang biar bisa punya Sugar Baby,” goda wanita lebih tua menyenggol-nyenggol perlahan, diselingi cekikikan tentu saja. Hyunjae mengerucutkan bibir.

“Iya baru kesampaian sekarang, hebat kan?”

“Kamu serius, Jae?” Chamin membulatkan mata tak percaya, melongok sebab terkejut kalau ternyata sang adik tidak main-main soal ucapan. Kepala si Manis mengangguk, tampak santai dalam hal tersebut. “Jae, aku pikir kamu cuman random doang cerita ke kami,”

“Oh nggak Kak, sekali aku bermimpi aku harus mewujudkan mimpi itu,”

Chamin tak dapat mengutarakan sepatah kalimat sehingga sewaktu Younghoon selesai menaruh tas sang adik, pria itu bertanya. “Kenapa Yang?”

“Adekmu beneran punya Sugar Baby, Hoon.”

“Sumpah? How is it feel?” Hyunjae menyeringitkan dahi, tidak paham akan maksud pertanyaan kakak tertua.

“Biasa aja?”

Then good, dia baik-baik aja Sayang,” Younghoon menaik-turukan alis sembari melempar senyum jenaka kemudian membantu Chamin menyiapkan makan malam mereka sekeluarga.

Jadi kalian paham kan kerandoman Hyunjae menurun dari siapa? Chamin sendiri kadang bingung sama tingkah suaminya. Yakali punya bayi gula kok dibilang baik? Kakak beradik sama-sama kurang skrup.

Youngmi bangun tidur terbengong-bengong begitu melihat Hyunjae di kursi ruang makan, melambaikan tangan penuh semangat ditambah cengiran khas yang samar-samar dikenali anak umur 6 tahun. Di sebelahnya, batita yang dimaksud Hyunjae malah berlari ke arah si gadis dan meminta duduk di pangkuan montok.

“Chaeyoung padahal belum kenal Hyunjae langsung main duduk aja di pahanya,”

“Dia tahu tempat empuk buat didudukin,” Hyunjae hampir melempar kepalan tangan kalau tidak ada Chaeyong menginvasi pangkuan. Acara makan malam dimulai sekaligus merayakan kepulangan Hyunjae pertama kali sejak tujuh tahun, menikmati masakan ala rumahan buatan tangan Chamin yang sudah lama tidak dirasai gadis itu.

“Aku mau ngomong serius, tapi jangan dipukul ya..”

“Jae, kamu udah 29 tahun, ngapain kita pukul sih?” sahut Younghoon geleng-geleng kepala sembari menyuap nasi tanpa peduli air muka yang dibawakan sang adik semata wayang. Hyunjae menarik napas dalam-dalam, kemudian berucap pelan.

“Aku hamil, Kak.

DING DING DING

Kayaknya jam gadang di hunian Lee nggak jauh beda sama jam gadang di apartemen si Manis. Sama-sama mengejutkan jantung seseorang sebagai latar suara kabar utama diberitakan.

Younghoon dan Chamin saling berpandangan, menaruh tatap ke arah adik semata wayang yang kini menunduk sembari memainkan kulit mulut dalam. Tiada kata terlontar, tiada jua makian amarah, Hyunjae sudah menanti tamparan atau omelan, mengumpati perbuatan hina yang telah ia lakukan selama tujuh tahun tidak pulang ke rumah.

“Dek?” Younghoon bersuara hati-hati sekali, tidak berniat mengagetkan walau Hyunjae terperanjat sedikit dari posisi duduk. “hey, Baby? Kamu baik-baik aja?”

Sebuah air mata terjatuh di pangkuan terbalut celana jeans. Dua bahu yang dipandang orang kokoh dan terbuat dari baja bergoyang bagaikan bangunan diterpa badai besar. Chamin bangkit menghampiri, membawa gadis cantik itu ke dalam pelukan.

“Ssshh it's okay.. it's okay..”

I'm sorry I'm such a disappointment.”

No, don't say that! Kamu tetep Hyunjae yang Kakak sayang,” si gadis masih terisak, kata-katanya tersendat sampai akhirnya tak bisa melanjutkan. Younghoon setia memaku diri di kursi, menemukan pelototan ancaman di mata sang istri. Seolah mengisyaratkan sesuatu di siratnya.

“Dek, Kakak nggak marah kok,”

Hyunjae menarik ingus, dibantu oleh Chamin menggunakan punggung tangannya tanpa rasa jijik. Mata rusa itu memerah, diselingi isakan pedih. Sudah berapa kali Hyunjae menangis selama hamil huh? Lama-lama dia lepas bola matanya lalu mencucinya sesekali supaya kembali normal.

I decided to keep the baby,”

Pria rambut hitam di hadapan mengangguk, raut wajah sangat serius memberikan jawaban berkedok restu, “Good. Cause I'll hit you if you didn't,”

“Kakak nggak marah?” Chamin terasa mengelus kepalanya sayang, memperbaiki helaian-helaian yang tampak mengganggu penglihatan adik kesayangan.

“Kalau semuanya sudah terjadi, kenapa kita harus marah? Kan nggak akan mengembalikan kamu seperti semula,”

“Seperti yang aku bilang,” Younghoon menimpal sesekali berdeham membersihkan tenggorokan, biar nada bicaranya terdengar serius nan berwibawa layaknya kakak laki-laki pada umumnya, “kamu udah beranjak 29 tahun yang nggak perlu diarahkan lagi untuk nentuin mana baik dan buruk, kamu cuman butuh support dan nasehat kalau menurut kami pilihanmu nggak bagus, tapi kalau kamu punya rasa tanggung jawab dan bisa menghadapi konsekuensi yang diterima di masa depan, who are we to get mad, hm?”

Hyunjae mencoba menarik napas dan menghembuskan perlahan, mau mengulas senyum tipis setelah mendapat keyakinan dari kedua kakaknya. Chamin sendiri refleks mendaratkan telapak di perutnya, merasakan adanya benturan kecil sebagai tanda perkenalan.

“Wow, he just bump me,”

“Gimana Kakak tahu kalau anakku cowok?”

Chamin tersenyum, “Can tell from your body shape, if your waist and hip still the same as before it's a boy, but if it's got bigger at the front and the back, it means a girl,” Hyunjae membulatkan mata terhadap penjelasan, baru tahu kalau bentuk badan seseorang dapat memperkirakan jenis kelamin bayi di kandungan, tapi nggak bisa dipercaya sepenuhnya sih karena belum tentu seratus persen benar.

But it works for her, dia kelihatan kayak nggak hamil waktu mengandung Chaeyoung, even people in the village was surprised when we invited them to the celebration,”

“Kok Kakak nggak cerita kalau Kak Chamin bunting lagi?”

Younghoon memutar mata malas, “Aku sudah cerita ya Maemunah, kamunya aja yang terlalu sibuk sama kerjaan jadi lupa sama ponakan kedua,” akhirnya daripada mereka perang mulut kedua kali, Chamin menitah menghabiskan santapan yang keburu dingin. Youngmi berulang kali memandangi Hyunjae dan orangtuanya, masih kebingungan akan sosok wanita rambut pirang di antara mereka.

“Jahat ih lupa sama Auntie,”

“Gimana mau ingat kalau Auntienya aja pergi pas dia masih orok,” sahut pria lebih tua setengah mengejek sehingga mendapat jitakan gratis dari kepalan mungil sang adik. Sudahlah Chamin capek, biarkan aja dua bersaudara saling adu bacot karena ia tahu mereka sebenarnya menyimpan rasa rindu yang tidak tertahankan selama tidak bertemu.

Karena Hyunjae sudah di rumah, dia tak mau mengaktifkan ponsel, hanya saja ingatan tentang permintaan Sangyeon beberapa minggu lalu mengilas balik di memori pikiran. Mengabaikan belasan pesan masuk, ia memilih nomor yang belum tersimpan

Me Kak, aku besok free, boleh ke rumah.

*010-432-xxxx Hei maaf baru balas, oke Jae besok Kakak berkunjung ya😊

Gadis itu tidak membalas, langsung mengeluarkan diri dari obrolan kemudian menatap salah satu pinned message yang tidak lain tidak bukan adalah bosnya.

Mas J Baru sehari Mas sudah kangen, kamu udah sampe belum? 16.12

Kamu sudah kasih tau Keva bahan rapat besok kan? 16.18

Kalau udah sampe kasih tau Jae 16.27

Jaeeeeeeeee 17.02

Halooooo sayangnyaa Masss 17.10

Mungkin kamu lagi kecapean kali ya, kalau lihat pesan Mas tolong dibalas ya biar Mas nggak khawatir :( 17.12

Selamat berlibur, Hyunjae😊 17.30

Pesan terakhir menyebabkan jantung Hyunjae melakukan salto sebanyak 10 kali bolak-balik. Tidak sengaja ia meneteskan air mata untuk kesekian kali sesudah membaca isi pesan dari sang atasan. Ah, dia tidak boleh menolak terus, dia mengaku dia mulai jatuh hati sama Juyeon, dia cemburu ketika Karina dengan tidak tahu diri ingin mengajak Juyeon balikan, apalagi disuruh menjadi pengiring pengantin buat wanita itu, cuih, pingin diludahin rasanya! Di sisi lain, dia harus menghentikan perasaan berlebihnya ini, karena sudah pasti Juyeon nggak punya rasa sama dia. Mengingat pria itu pernah dikhianati sekali, maka dari itu ada rasa traumatis bersemayam di hatinya sehingga tak ingin terbawa perasaan pada siapapun termasuk Hyunjae, yang berstatus asistennya.

Hyunjae tidak punya teman dekat buat diajakin curhat, dia selalu menyimpan sendiri, memendam kemudian mengeluarkan lewat hal-hal lain, seperti berhubungan badan sama Juyeon, orgasme yang diraihnya dianggap sebagai pelepasan stress, that's why she never get attached to him, baru sekarang, setelah menumbuhkan benih yang disemai pria rambut hitam itu dalam tubuhnya.

Maybe she was right about the connection from the baby. Sebuah jembatan emosional antara dia dan Juyeon, menyadarkan perasaan yang selalu ditolak hingga berjalan setahun lebih tanpa memikirkan resiko yang akan muncul.

Tapi Hyunjae yakin dia bakal kembali seperti semula ketika si bayi lahir. Mungkin di kemudian hari dia tidak bisa terlalu bebas bermain-main dengan Juyeon, tapi setidaknya dia berhasil menyingkirkan perasaan semu ini.

And the worst case is this Sangyeon thing.

Pria yang dimaksud menampakkan batang hidung ketika hari menjelang sore, dimana Younghoon dan Chamin masih di peternakan mengurus usaha keluarga mereka sementara Hyunjae ditinggal menemani sekaligus mengasuh Youngmi dan Chaeyoung.

Kata kakaknya, hitung-hitung sebagai pengalaman sebelum punya anak beneran.

Sangyeon datang mengenakan setelan santai, kharisma menguar di aura pria rambut cokelat, senyumannya masih sama, berlesung pipi dan mata menyipit, suara pun terdengar berat nan dalam, namun tak berhasil menggetarkan hati Hyunjae untuk berpaling dari Juyeon seorang.

“Baru datang, Jae?”

Hyunjae mengangguk mengiyakan, menyuguhkan secangkir teh panas di atas meja, duduk menjaga jarak sembari memeluk nampan, demi menutupi gundukan perut yang mulai membesar di balik pakaian. “Udah lama ya Kak,”

Anjir. Basa-basi macam apa ini?

“Sebelumnya aku minta maaf udah ninggalin kamu tanpa alasan 8 tahun lalu,” Sangyeon membuka pembicaraan daripada dilanda kecanggungan setebal kabut malam. Hyunjae menggenggam sisi material nampan, tetap memasang raut senetral mungkin. Padahal rongga dadanya digedor-gedor degupan jantung secara cepat.

“Sesuatu darurat menimpa keluargaku dan aku harus pergi untuk menyelesaikannya,”

“Selama 8 tahun?”

Sangyeon terkesiap kecil, lalu perlahan kepalanya mengangguk, “Aku baru bisa ketemu kamu sekarang Jae,”

“Buat apa?” tanya Hyunjae agak menantang. Sangyeon sedikit terkejut mendengar nada bicaranya, seperti tidak suka pada pembahasan tentang masa lalu mereka.

“Seperti yang aku bilang, aku mau minta maaf karena nggak bilang sama kamu dan malah tinggalin kamu di apartemen kita,”

“Secarik kertas aja nihil aku temukan, Kak-” oh no, Jae please don't cry at least not in front of him. Hyunjae menegak gumpalan ludah bulat-bulat, mencekik tenggorokan beruntung dia dapat melanjutkan, “aku kayak orang goblok, Kak, nyari petunjuk sana-sini karena Kakak tiba-tiba lenyap dimakan asap, padahal apa susahnya sih nulis memo yang sering kita tempel di kulkas?”

“Situasinya lagi sulit waktu itu Jae, dan aku nggak bisa berpikir buat nulis apapun selain ngambil barang-barangku dan pergi dari situ,” jawab Sangyeon agak memelas. Ya begitulah laki-laki, meminta maaf tapi merasa menjadi korban supaya minta dikasihani. Sayangnya, Hyunjae bukan cewek gampangan, sekali seseorang pergi maka akan terus pergi dari hidupnya.

Then you shouldn't see me then to apologize, cause you do know the answer, don't you?” balas Hyunjae dingin, geligi menancap di kulit mulut sebagai upaya menahan diri tidak terisak. Air mata siap mengancam turun saking banyak emosi berkumpul menyesakkan dada. Manik rusa yang biasanya penuh semangat, berkilauan bak bintang malam kini berubah gelap terselimuti kebencian.

I just want to explain why did I leave,” Sangyeon akhrinya bangkit dari kursi, merasa bahwa kedatangannya tidak dihargai oleh mantan kekasih, oh, bahkan tiada kata putus terucap di bibir masing-masing setelah ia minggat ke tempat lain. “and give you this–”

Sebuah kertas berhias terulur di hadapan Hyunjae, gadis itu merampas lumayan kasar untuk membaca keterangan yang tertera di sana.

Wedding Invitation Lee Sangyeon & Bae Joonyoung

Tell Younghoon and Chamin to come, he will be my groomsman though, kamu juga boleh datang kalau mau,”

Bangke.

Screw keinginan dia balikan sama Sangyeon! Screw the worst case she had in her mind because this bastard is getting married to another woman after leaving Hyunjae hanging on their past relationship! Dia pikir dia lebih ganteng dari Juyeon? Even her boss was treating her better than this ungrateful human!

Congrats.” ucap Hyunjae dengan lidah kelu, nyaris saja dia merobek-robek si undangan di hadapan yang bersangkutan, karena di sana bukan tertera namanya melainkan Younghoon dan Chamin. Dia hanya menjadi perantara dikarenakan kakak-kakaknya sedang bekerja.

Sangyeon menggumam, tidak merasa berdosa atau menyesal karena sudah melontarkan permintaan maaf walau tahu tidak bakal dimaafkan. Sepertinya Hyunjae lagi dikelilingi orang-orang muka tembok. Lihat betapa tidak malunya pria itu datang seolah tidak melakukan kesalahan besar, atau buruknya, menggunjang-ganjing hati seorang perempuan selama 8 tahun lamanya.

“Kalau begitu aku pamit, terima kasih atas waktumu, Jae, sampai ketemu di acara nanti,”

Cuih, kayak sudi aja Hyunjae menampakkan muka cantiknya di sana. Penting banget gitu? Like hell she's gonna come, yang ada acara orang diacak-acak kali sama dia. Perempuan itu sedari tadi menahan diri untuk tidak menamparkan nampan di permukaan wajah Sangyeon, takut kelakuan bar-barnya mengejutkan bayi dalam kandungan.

Sepeninggal pria bajingan dari pandangan, Hyunjae berbalik memeriksa dua ponakannya yang tengah terlelap pulas sebelum masuk ke kamarnya di lantai dua lalu berteriak lantang.

“LEE SANGYEON ANJIIINGGGGGGGGG! SEMOGA NGGAK EREKSI AAAAMIIINNNN!!!!!!”

Maaf ya Nak, itu cobaanmu yang kedua, punya Mommy yang suka ngomong kasar😊 please bear with those personalities in the future.

.

.

.

kasian amat abah dikatain nggak ereksi :“”“”“”“”“”