spin-off from Mad Halloween
jukev for lyfe🔞 no actually i love kyunyu this is for my fellow jukevist
Ketika Changmin mengatakan tentang pengkhinatan Hyungseo yang meninggalkannya demi bergelayutan manja dengan seorang pria, well, ada maksud dan tujuan yang sebenarnya
Warning : apa ya? Light angst aja deh, karena intinya sama, ini pwp, aku tidak mendetail menceritakan latarnya i'm not that kind of writer; enemy to loverz; analllllllllllll; spit as lube; harsh words?; barebacking (please use protection, kiddos)
.
.
.
The highlight of the party that changes Hyungseo's life is when he showed up with a cat woman suit just like what Chanhee bet him to do.
Kayak.. bangsat gitu mulut besar Choi Chanhee. Berhasil meyakinkan kawan kutu buku mereka untuk ikut mereka ke pesta dan berhasil memaksanya mengenakan pakaian super duper ketat berbahan kulit sebagai taruhan kalau dia akan menekukkan lutut Lee Juyeon si bintang playboy kelas kakap.
“He's straight, he'll make fun of me,”
“Nope, trust me. Aku dikasih bocoran sama Mas Jaehyun kalau Juyeon diam-diam suka nonton porno gay,” not the best excuse Chanhee has, hanya membuahkan kerutan tidak suka dari Hyungseo.
“Dia brengsek, Chanhee-yaaa..”
“Yak! Kamu mau bikin dia sweep off his feet atau enggak?! Bukankah itu tujuannya supaya dia kalah dari kamu?” Pemuda rambut abu-abu menggembungkan pipi terhadap pertanyaan, masih menyangsikan tentang rencana sahabatnya apakah dapat dilaksanakan atau tidak.
“Not with this cat woman suit, Dumbass.”
Chanhee menarik satu setelan seksi lain, menaruh tepat di depan badan langsingnya, “Kamu pikir cuman kamu doang yang kayak jalang di sini?” ucapnya retoris, Hyungseo mengganyang bibir tipis miliknya, mengulum-ngulum sambil berpikir keras. “percaya sama aku, Baby, you can seduce him to get him down on his knees, sekarang bantu aku meyakinkan Changmin buat datang ke pesta Kak Younghoon malam ini,”
This might be ended up so bad but Hyungseo's willing to take a risk.
***
Pretty uncomfortable, itu yang dirasakan si Manis sekarang saat mereka telah menginjakkan kaki di hubian mewah tempat pesta diadakan. Berpuluh-puluh pasang mata mengarah ke tiga sekawan, penuh kekaguman, ada pula kedengkian. Bukan itu yang dia resahkan sejak tiba di pintu masuk, melainkan kehadiran sosok jangkung berambut cepak. Hyungseo celingak-celinguk mencari keberadaan musuh bebuyutan, melupakan buntelan berseragam perawat seksi di antara figur mereka ternyata sedang didera rasa malu.
There he is! Lelaki tinggi menjulang dengan pakaian yang Hyungseo tangkap seperti pilot pesawat jaman baheula. Dimana kacamata besar bertengger di kepala, tengah tertawa lepas mendengarkan lelucon temannya. Ada sekitar 3 orang menghadapi, gelas cocktail yang terhirup sedikit berada di tangan masing-masing.
Okay, okay! You got this Hyungseo! Make him awe with your appearance tonight.
“Hai Juyeon..”
Manusia yang dipanggil menoleh sesaat mengetahui sebuah lengan mengalung mesra di lengan sendiri, mata kucing dambaan umat membulat tak percaya, kerongkongan mendadak tercekik tak dapat bersuara. Hyungseo ingin sekali mundur namun ekspresi Juyeon sekarang worth to try harder.
“Wow Hyungseo..” bukan Juyeon yang memuji tapi tidak apa-apa bila mendengar lontaran dari orang lain, mereka begitu takjub sampai-sampai berani menginspeksi tubuh terbalut bahan kulit serta telinga kucing palsu di puncak surai abu-abu.
“Ceritanya jadi kucing nih?”
Hyungseo melempar senyum manis, tak lupa geligi mungil diperlihatkan sekalian mata menyipit bermakna kesenangan. “Yap, a cat woman exactly,”
“Indeed with a hot curve like that, Hyungseo-ah..”
Si Manis menyengir, kembali mengadu pandang ke sosok di sebelah kiri yang terus menatap lekat-lekat.
Masih cengok, masih melongok.
Sepersekian detik netra kucing bertamu, Juyeon tersadar telah terpesona akan penampilan si musuh bebuyutan, terutama manik hitam berkilau bagai sinar rembulan, senyum tipis di ujung bibir berwarna merah membara, dan figur berlekuk bak gitar.
Juyeon melirik ke sana kemari, secara impuls menarik lelaki manis ke tempat lebih sepi.
“What are you doing?!” desis pemuda itu. Hyungseo melepaskan cengkraman, runtuhlah sudah senyuman yang tersampir sesaat setelah mereka agak menjauhi keramaian. Raut kecut kini terpampang nyata ditemani kerutan penuh kebencian.
“Make you lose?” balasnya balik, meraih gelas cocktail di tangan Juyeon dan menegak sisanya. Mengabaikan air muka pemuda di samping sebab tak menduga kalau dirinya bisa melakukan hal seperti sekarang. “Cat Hyungseo got your tongue?” ia bersuara lagi lantaran tidak mendapat jawaban. Selebihnya ia malah ditatapin lamat-lamat.
“You're this close to make me snap, Moon.”
Hyungseo tersenyum miring, jantung berdebar akan euphoria keberhasilan, “Then it works,” si Manis hendak membalikkan badan untuk kembali berpesta akan tetapi Lee Juyeon mencegat pergelangan tangannya lumayan kuat. “aw?”
“Kamu yang mulai, kamu yang harus akhirin, Sayang.”
Malam itu, Hyungseo raib duluan sesudah sukses muncul di hadapan Juyeon dengan pakaian seksi hanya untuk menjatuhkan harga diri si pemuda normal. He knows Juyeon has so many pride that he wants to ruin it for a night.
***
“Fuck kamu terlalu kasar!”
“You asked for this, Moon.”
Hyungseo menarik rambut hitam yang sedari tadi menggelitik hidung mancungnya, dimana wajah sang pemilik tenggelam di leher, melumat permukaan kulit berbekas merah keunguan, too much force for his liking. “Ju sakit anjing!”
“Hoo, gantian memohon sekarang?” Si Manis makin menjambak helaian yang tergenggam usai mendengar ejekan, tidak menutup kemungkinan kejantanan mereka layu akibat perkelahian, sebaliknya, kekasaran seperti ini malah membangkitkan nafsu di peredaran darah. “dimana Hyungseo yang kepedean tadi, hm?”
“Just fuck me and shut your fucking mouth, Bitch.”
Juyeon menjilat panjang bekas yang telah ia ciptakan sebelum bertumpu demi mengadu pandang. Hyungseo tampak awut-awutan meski pakaian ketat hitam masih membalut tubuhnya. Peluh mengepul di pori-pori, membasahi surai abu-abu, jepitan kuping kucing mulai merosot seiring helaan napas berulang kali menerpa wajahnya.
“Fine.” gumam lelaki tersebut bangkit sebentar, membuahkan banyak pertanyaan namun Hyungseo menelan semuanya begitu Juyeon menanggalkan setelan seorang. Dia pun ikut bangun, menggapai resleting di bagian leher, terburu-buru menurunkan sampai ia tidak terperangkap dalam material. Tatapan Juyeon menggelap ketika mereka polosan, sementara Hyungseo mendadak kikuk seraya menutup selangkangan.
“Kenapa ditutup?”
“Malu, bangsat.”
“Hmm, what's the point of our session here?”
Hyungseo menghela napas keki, mau tak mau melepaskan penutup dengan membawa kedua tangan di sisi kanan-kiri. Jakun bergerak menandakan penelanan udara lantaran Juyeon tak kunjung bergerak. Hanya memandangi dari manik sipit sampai ke penisnya sendiri.
“Maybe you're not bad either,”
Kurang ajar. Selalu kalimat itu yang muncul ketika ia berhubungan badan sama cowok normal. Mengatakan dia sama cantiknya seperti perempuan kebanyakan, ditambah 'klitoris' yang lebih panjang daripada umumnya. Kalau saja ini bukan karena ingin menjebak Juyeon dalam permainan belakang, sudah pasti Hyungseo telah pergi bersenang-senang.
“What did I say about shut your fucking mouth?” desis Hyungseo melotot tajam, Juyeon hanya melempar cengiran, mulai menggrayangi setiap celah tubuh putih yang berkilau, terlalu mulus dibanding telapak kasarnya, warna merah spontan mengembang bagai merespon sentuhan, Hyungseo sendiri menggigit bibir menahan diri tidak menggelinjang, perlahan-lahan mencengkram alas kasur, memalingkan muka demi menyembunyikan reaksi.
“Keluarkan suaramu, Moon.”
“Stop with the-mmh name..”
Juyeon mengecupi bagian perutnya, ada roti sobek terbentuk meskipun cuman garis-garis yang kelihatan, dagu sengaja ditabrakkan ke puncak kemaluan, merah menggeliat akibat kesengajaan tersebut. Lidah menjulur menjilat sepanjangan ke atas, tiba di dada menemui pentil tentu saja. Hyungseo terkesiap mengambil napas, refleks menggenggam helaian surai lebat bersamaan Juyeon menamukan bibir di benda mungil dan gesekan dua kejantanan.
Hyungseo memegangi Juyeon bak hidupnya bergantung pada lelaki di atas, menikmati bagaimana hangatnya mulut yang meraup puting, sesekali geligi bermain di kerutan, menambah ketegangan di sana maupun di selatan.
“Fuck, don't tease..”
“Terus kamu mau langsung to the main course?” Juyeon sempat menjawab walau bibirnya tersumpal, Hyungseo tidak dapat membalas lantaran aliran listrik dari sensasi buaian lidah Juyeon di pentil menekan kalimat makian yang ingin dilontarkan.
“Just do it..”
Juyeon menulikan pendengaran, luwes bergerak mensejajarkan pandangan untuk mempertemukan bibir yang baru disambar pada saat mereka memasuki ruangan. Nuansa kamarnya remang-remang, berhasil mendarat di kasur tanpa melepaskan tautan. Kini kedua rival polos seutuhnya, kulit sesama kulit, organ sesama organ, keras main pedang-pedangan.
Hyungseo melenguh di sela-sela sambungan, berdebar kencang akan perlakuan karena tidak mau mengakui kehebatan Juyeon dalam memuaskan. He's straight so he might be thinking he is one of his woman. Oleh karena itu, ia berusaha membuat Juyeon segera memasuki tanpa persiapan.
“Juyeon faster..”
“Aku belum siapin kamu, Hyungseo.”
Si Manis gemetaran ketika bibir kenyal itu meraba parasan leher, tengah-tengah dada, perut kotak-kotak, akhirnya memberikan perhatian di kemaluan. Penis berukuran standar tersebut menggeliat atas tatapan terpesona, mulai dikecupi sepanjang batang maupun puncak sebelum dilahap perlahan. “Mmhh!”
Juyeon mungkin baru pertama kali memuaskan seorang pria, terutama manusia tercantik yang pernah ia temui. People said he's a homophobic that's why he picked on Hyungseo but deep down in heart he feels something he can't describe. Sambil menaik-turunkan kepala, meniruskan pipi guna menghisap, ia menatap Hyungseo, a mess beneath him, dengan pipi merah merona, menambah kecantikan, mengeraskan penis di antara selangkangan. Shit, cursed him for being whipped at his rival. Selama ini, ia mengatai Hyungseo demi mencari perhatian primadona angkatan, ada kepuasan tersendiri melihat bagaimana lelaki cantik itu mencak-mencak setelah ia berulah. Call him masochist once.
Bunyi campuran saliva di rongga makan terdengar sangat jelas mendentum-dentum gendang telinga. Kepala Hyungseo berkabut ketika Juyeon tampak tak amatir dalam mengulum organ lelaki. Seperti pernah melakukan hal ini sebelumnya, menyebabkan Hyungseo merasakan antisipasi yang tak dapat dijelaskan.
“Juyeon..” erangnya memanggil, deg-degan begitu manik kucing mereka bertemu, menemukan pancaran keinginan yang sangat besar di sana, melelehkan separuh isi otak. Juyeon melepaskan kuluman, menyuarakan 'pop' serta memutuskan untaian liur dengan mahkota kemerahan, ia menjilat bibir sekali, sigap memagut Hyungseo lebih menuntut dibanding tautan sebelumnya. “mmhh!”
“Fuck, I'm going insane,” gumam Juyeon menggesekkan kejantanan mereka lagi, ia berlutut sebentar di antara kedua kaki yang dilebarkan, memandang si liang berkedut di bawah bola kembar, nampak sempit, mengundang Juyeon untuk mencicipi, menjangkau sejauh kemampuan. “aku nggak punya pelumas,”
Hyungseo mengatur napas, “Pakai ludah,” jawabnya mempertahankan ekspresi, seakan tidak peduli Juyeon akan mengasari atau melembuti, dia cuman pingin ini segera berakhir dengan lelaki itu keluar karena lubangnya seorang.
Si Tampan diam sejenak, menimang-nimang sesuatu di pikiran membuahkan ketidaksabaran. Hyungseo hendak menegur namun menelan semua teguran kala Juyeon melesatkan ludah ke liang. “Ahhh!”
The playful tongue circling the rim, Juyeon terkenal dengan keahlian memakan seseorang, pussy lebih tepatnya. Bersumber dari beberapa perempuan yang pernah berhubungan. Dia seperti tahu bagaimana menyantap bak sajian mewah, mengecap rasa di luar nalar dari saluran. Lidahnya panjang, tebal, meliuk-liuk bagai ular, menggores dinding ketat. Tadi Hyungseo meleleh akibat kuluman sekarang dia ditemukan lemas pada santapan.
“Aahh.. aahh... J-Juyeon..” punggung tersebut membusur sangat indah selayaknya panah, lentur nan menawan di pandangan Juyeon yang melihat. Dia semakin lahap memakan, menggerakkan bibir dipergunakan untuk menghisap, lidah terasa dipijat lembut, serta saliva menetes mengotori dagu. Tangan pun tidak tinggal diam, sontak mencari peraduan di samping indra pengecap, berniat melonggarkan, agar adik di selangakangan dapat masuk lebih mudah.
Hanya ada desahan Hyungseo, sangat merdu, meletupkan nafsu, hanya ada bunyi kecipak liur karena Juyeon setia menyantap, rela membenamkan wajah, menghisap sekaligus menghirup aroma memabukkan. There's a hint of chocolate in there, perhaps the other man had prepared himself good before he went.
“Ahhh mhh please please fuck mee Juyeon..” pinta Hyungseo berulang kali memohon lantaran perutnya membuat simpulan minta dilepaskan. Anak mani berkumpul membentuk kubangan di lubang kemih, sekejap Juyeon berhenti namun tidak dengan irama jemari. Sembari memompa maju-mundur, lidah sehabis bergerilya di terowongan basah kini bertengger di puncak kejantanan. “u-uwaaahh!”
“Kamu udah prepare ya?”
Hyungseo ditemukan mengangguk patah-patah, merintih di atas seprai berantakan dengan rambut abu-abu menempel erat di kening. “I'm so close Juyeon please just fuck me already..”
Juyeon sebenarnya tidak apa-apa bila Hyungseo ingin klimaks dulu, akan tetapi sepertinya lebih baik si Manis dibiarkan menahan sampai kedua-duanya sampai di waktu bersamaan.
“Blow me.”
“Huh??”
Pemuda rambut cepak melepaskan tautan digit, duduk agak mengangkang seraya mengocok sang adik, give him a show, with the massive cock he has. “Blow me, Moon. Kamu nggak mau lubangmu robek karena punyaku belum dilumasi kan?” senyum miring berkedok menantang tersungging di bibir kenyal, hati Hyungseo memanas, buru-buru bangkit demi membuktikan kalau dia juga bisa melakukan hal serupa.
“Kecil aja kok!”
Juyeon menaikkan satu alis, memandang bibir tipis Hyungseo dan miliknya secara bergantian, “You sure, Sweetie? I bet your mouth will be stuffed and can't blow it properly,” senyuman tanpa dosa tersungging mengakibatkan darah Hyungseo mendidih. Dalam sekali hentakan ia menggenggam si batang, kemudian langsung mengarahkan ke rongga makan. Susah payah.
Sialan. Juyeon benar banget. Mulut Hyungseo mendadak terlalu penuh dan merenggang terlalu lebar. The way a red crown head looking for its place to stay for a while, causing his throat pulsing around it. Menahan pasokan udara untuk tidak bertamu terlebih dahulu selagi ada sesuatu menyumpal saluran pernapasan. Hyungseo nyaris tercekik jikalau ia tidak memutar otak untuk mengulum Juyeon.
Bodoh! Cengiran bodoh tapi tampan itu ditemukan Hyungseo ketika mereka mengadu pandang. Pipi tirus menjadi tembam sesaat ia menjauh sedikit, mempertemukan dinding mukosa pada puncak gendut, membasahi sekujur batang, sesekali memainkan lidah mengikuti bentuknya.
“Not bad, Moon Baby,”
The slurping sound has been the answer for his praising. Kepala Hyungseo bergerak naik turun, tangan kanan memegangi pangkal, menggelitiki permukaan tempat rambut kemaluan berkumpul, sementara tangan lain memainkan bola yang menggantung, wah, berat sekali macam dipenuhi paket yang tak sabar ingin meluncur. Juyeon menggeram, tega mencengkram surai abu-abu sambil menggoyangkan pinggul, menyamakan tempo bersamaan kecepatan Hyungseo. Alhasil, puncak serupa jamur menyodok sisi tenggorokan, membuahkan kesedakan.
“Fuck.. fuckk, so good for me, Moon,”
Hyungseo memukul paha di hadapan, air mata memenuhi pelupuk akibat hilangnya oksigen yang hendak ia tarik di tengah-tengah aktivitas. Juyeon mendorong sekali lagi, agak lama, sebelum mengeluarkan secara mendadak. Membiarkan Hyungseo terbatuk hebat mengambil napas sebanyak yang bronkus minta.
“You're so– uggghhhhh!!!!”
Si Tampan tidak mengacuhkan protesan menggemaskan, instead he cupped his rival's small face with his big hands and kissed him with all tongue. Hyungseo yang baru saja pulih, kini harus terenggut lagi akibat keganasan pemuda lain. Meronta-ronta memukuli bagian tubuh terjangkau namun Juyeon terlalu kuat untuk dirinya yang lemah.
“Can't wait to see you moaning mess, Hyungseo-ah,” bisik Juyeon seolah dia tidak keberatan apabila ia mulai memasuki Hyungseo, padahal rencana lelaki manis itu adalah ingin menghancurkan reputasi Juyeon sebagai cowok normal yang homophobic, mengatakan pada dunia kalau Juyeon ternyata munafik dan menyukai pantat dibanding pussy.
But, why's he so eager huh? Berbanding terbalik dengan reaksi Moon Hyungseo saat ini.
Penetrasi dilakukan sesudah Hyungseo terbaring kembali di alas berantakan. Gurat-gurat keseriusan tersampir di wajah tampan, membuat jantung Hyungseo berdetak kencang. Juyeon tidak menerobos langsung, too careful for his own good, membuai kepala jamur menyusup liang sampai dinding terasa memijat kuat.
“Shitt.. mmh.. SHIT JUYEONNN!”
“Haven't got your tiny hole wrecked yet?” Juyeon balas dengan sarkas disertai geraman, this is indeed too much for himself too. Better than any pussy he had on the platter. Hyungseo meremas kain di bawah punggung, buku jarinya memutih saking terlalu kencang ia berpegangan. Dia merasa sudah penuh meski yang masuk baru setengah batang.
“I can..t breathe..”
“Breathe, Hyungseo.” Si Tampan bergerak menumpu badan di atas figur mungil, memperhatikan lelaki manis itu terengah-engah mengambil napas, menyebabkan ia berhenti sejenak supaya Hyungseo dapat rileks. “you're the one who starting this shit,”
“I want to ruin your image!”
Juyeon memutar mata malas, “You already did, from the first time you showed up with this cat ears.” Geligi tajam menancap di kuping palsu kemudian menyambar hingga terlepas dari rambut. Hyungseo memekik kaget, melihat bagaimana benda mainan tersebut meluncur ke lantai.
“Then how's my cunt, Playboy?”
Sebuah sinar ketidaksukaan terlintas di manik Juyeon sesudah Hyungseo menyuarakan pertanyaan, tak menyangka bahwa selama ini lelaki cantik dalam kukungan mengambil kesimpulan berdasarkan rumor yang tersebar di angkatan. Giliran Juyeon yang mendidih akan label di akhir kalimat, menangkap kedua pergelangan tangan kemudian menahannya tepat di atas kepala. Hyungseo membulatkan mata, takut pada perubahan mendadak.
“I'll make sure to wreck your tiny CUNT, Moon Hyungseo.” Setelah itu Juyeon tidak memperlakukan lembut maupun hati-hati. Batang yang awalnya menyusup setengah sudah digerakkan sekasar mungkin. Tidak memberikan waktu Hyungseo untuk terbiasa, sebaliknya ia menggila terhadap kesempitan yang memijat kemaluan.
“Aahh! Aah!! Juyeon!”
Kali ini Lee Juyeon benar-benar menulikan pendengaran. Gendang telinga hanya merespon bunyi penyatuan mereka, dimana saluran Hyungseo menjadi becek akibat saliva sehabis dia makan. Pupil mata menggelap, menatap si Manis yang meronta-ronta, entah kesakitan atau nikmat. Tidak dapat bergerak kemanapun lantaran Juyeon menguncinya.
Ada kepuasaan tersendiri melihat air mata mengaliri pipi tak tembam. Isakan halus meluncur dan namanya disebut berulang-ulang bak merapal doa. Tubuh Hyungseo gemetaran hebat, bak memercik bensin ke api nafsu Juyeon. Puncak gendut berhasil mengarah ke buntelan, sekali, dua kali, tiga kali colekan, Juyeon mengerang akan sempitnya ruang.
Untaian putih meluncur bebas, oh, Hyungseo came untouched that night. And Juyeon fucked him through his orgasm. Setiap ia menghentak maju, seuntai keluar lagi, begitu terus sampai tidak terhitung berapa jumlahnya. Yang jelas, abdomen mungil itu membentuk sebuah genangan, serta sang pemilik menangis dilanda kerentanan.
“Fuck, so pretty, Moon.” Kedua tungkai jenjang bertengger di pundak tegap selagi ia masih menggagahi lawan main. Niat untuk menghancurkan lubang Hyungseo sudah meresap ke pori-pori sebagai pemantik naiknya tempo menjadi lebih keras nan menuntut. Pikiran mereka sama-sama berkabut, hanya menghirup aroma satu sama lain, memabukkan kesadaran, memikirkan keberadaan dalam satu ruangan.
Hyungseo pasrah, mungkin lebih tepatnya kena karma setelah merencanakan taruhan konyol hanya karena hendak menjatuhkan Juyeon. Kalau begini caranya, dia yang habis dimakan, dan tetap masuk dalam jurang kekalahan.
“Juyeonn..” erangnya pelan mendapat perhatian, Juyeon tidak menjawab, melainkan menyosor si bibir kemerahan yang mulai bengkak akibat lumatan. Mereka berpagutan sedikit kasar, merasakan efek kemarahan Juyeon. Hyungseo tersedak kecil begitu Juyeon menghujam dalam-dalam, menggelinjang ketika tanpa aba-aba ia dihujani cairan. “fuck so full..”
Juyeon melepaskan cengkraman, berbuah memar di sekujur pergelangan sembari menggoyang memasukkan benih di saluran. Dia memandang Hyungseo sekali lagi, masih kecewa pada apa yang si Manis pikirkan tentang dirinya. Kalau saja dari awal dia tidak berbuat ulah untuk mencari atensi, sudah dipastikan Hyungseo akan menjadi miliknya.
Raut kelelahan Hyungseo menyapa pandangan, diafragma dada naik turun mengambil napas buat mengisi rongga. Juyeon tidak mencabut kejantanan, masih ingin menggoyang sampai dia puas.
What the hell is this feeling huh?' Hyungseo memejamkan mata demi mengusir sekelebat perasaan tak kasat mata. He did it right? Tapi kenapa rasanya tidak sesuai sama yang dia harapkan?
.
.
.
The morning came, he wake up early than his thought.
Hyungseo membiasakan kelopak untuk melihat sekeliling ruangan, tampak asing tapi tidak membuat keterkejutan. Lengan panjang mengalung di pinggang, berat tak tertahankan. He felt something stuffed inside, menyadari kalau mereka masih menyatu sampai sekarang. Helaan napas kecil lolos seiring ia bergerak perlahan memutuskan penyatuan. Si Manis terengah-engah sebentar, menyingkirkan kurungan sebelum melesat berpakaian tanpa meninggalkan jejak.
Dia melenyapkan segala pemikiran, penyesalan? Kenapa malah dia yang kecewa terhadap kegiatan semalam? Bukankah dia sudah melakukan hal yang benar? Menekukkan lutut Juyeon, mendamba setiap inchi tubuhnya hingga mengembangkan kelopak bunga semerah darah, menikmati dirinya sama seperti pemuda itu menyentuh perempuan. Begitu banyak kalimat-kalimat asing yang diucapkan Juyeon, seakan dia tidak ingin digambarkan sama seperti gosip yang beredar.
Hyungseo tidak peduli. He did what he must did. No need to see the untold truth because he will mind his own business from now. Call it truce, unexpected one.
Berulang kali supir taksi melirik ke arahnya, ia otomatis mengabaikan. Bersyukur kostum cat woman tadi malam tidak robek dan masih muat saat dikenakan, walau resleting tak naik sempurna lantaran hendak bergegas pergi tanpa sepengetahuan pemuda lain, setidaknya menutupi kulit yang lengket akibat permainan panas kemarin.
Hyungseo merogoh kantong, memberikan kartu elektronik untuk membayar, supir berusaha tak bertanya-tanya meskipun tatapannya sangat penasaran tentang apa yang telah ia lalui sampai di kondisi sekacau sekarang. Selesai menerima kembali, ia melempar senyum tipis lalu melesat menuju apartemen.
“Hyungseo?” Suara Chanhee menggelegar kala ia berhasil membuka pintu, ia menghela napas panjang begitu mendapati figur teman serumah bersama Jaehyun sedang menyantap sarapan. “hey..”
“Worst night?” tanya Jaehyun saat Hyungseo mendudukkan diri kursi sebelahnya, menyambar roti panggang kemudian mengunyah rakus. Kedua sejoli saling berpandangan sebab ia belum menjawab, menunggu respon terhadap pertanyaan.
“Ever.”
“Did your plan work?” Kali ini gantian Chanhee bertanya hati-hati, takut menyinggung perasaan sahabatnya. Sebenarnya bila dilihat dari penampilan berantakan Hyungseo, tidak usah ditanyakan lagi. Surai abu-abu membentuk sarang burung, terdapat kantong mata, bibir tipis membengkak sedikit, dan bercak merah bersliweran macam seseorang mencoret-coret kanvas seputih tahu tersebut, bahkan resleting pakaian kulit itu tidak tertutup sepenuhnya, makin memamerkan gigitan-gigitan merah keunguan.
Mungkin itu yang membuat supir taksi tadi kepo.
“Yes.” Hyungseo menggumam, mata tidak menatap siapapun, hanya gigi mungil menghancurkan roti, serta jakun bergerak pertanda penelanan. Jaehyun dan Chanhee berpandangan lagi, mengatakan sesuatu lewat tatapan, namun tiada satupun dari keduanya hendak merongrong lebih lanjut sampai Hyungseo cerita sendiri.
Pada akhirnya, mereka melanjutkan sarapan, hanya terdengar bisik-bisik sepasang kekasih dan tak mengganggu keheningan Hyungseo. Entah apa yang si Manis pikirkan sehingga mengunci mulut rapat-rapat kecuali saat tengah melahap santapan.
Bunyi bell berdering keras mengagetkan penghuni. Hebatnya pemuda yang baru saja pulang tidak terkejut sama sekali, sewaktu Chanhee tergesa-gesa menghampiri benda penghubung, ia menyudahi eksistensi di ruang makan dan ingin berlalu ke kamar.
Tidak sampai pemuda cantik lain memanggil namanya.
“Hyungseo ada yang nyari kamu!”
Dia beradu pandang dengan Jaehyun, dimana pria lebih tua mengangguk pelan agar ia menyahuti panggilan. Hyungseo memasang raut mau menangis, menyebabkan Jaehyun sedikit panik lalu tergesa-gesa merangkulnya menghampiri sang kekasih.
Shit.
Benar kan.
Hyungseo selalu punya indra keenam kalau menyangkut keberadaan Lee Juyeon. Pria yang dimaksud berdiri tak jauh dari pintu, sama kacaunya seperti dia, bahkan kancing kemeja terlihat timpang saking bergegas menyusul ke rumah.
“I think you both need to talk,” ucap Chanhee memperhatikan bahasa tubuh kedua insan yang saling berhadapan. “apapun yang kalian alami tadi malam,” setelahnya, si Cantik main mata ke Jaehyun, isyarat untuk meninggalkan mereka. Jaehyun meremas bahu Hyungseo sebelum mengikuti langkah pacarnya. Pintu apartemen tertutup, bunyinya memekakkan telinga sehingga Hyungseo tak sadar terjengit, ia berdiri kikuk, menundukkan kepala dalam-dalam.
“Moon.”
“Hm.”
Juyeon menggigit bibir, “Why did you leave?”
Hyungseo terhenyak beberapa detik, tidak tahu harus menjawab bagaimana, kata-kata di otak seolah terhambur, tak memberikan kesempatan buat menjelaskan.
“Kenapa kamu tinggalin aku?”
“I'm done with my plan,”
“What plan?” tanya Juyeon agak memaksa. Hyungseo memainkan jemari, kepercayaan diri runtuh bersamaan rasa puas. Meninggalkan rasa penyesalan dan kekecewaan terhadap diri sendiri.
“Aku sudah bilang,” Hyungseo memberanikan menatap Juyeon selurus mata memandang, menemukan sirat kesedihan akibat kepergian dia tanpa alasan. “aku mau bikin kamu bertekuk lutut supaya reputasimu hancur,”
“Dan aku juga bilang kalau kamu berhasil melakukannya dari awal kamu datang pakai baju itu,” Juyeon menghela napas gusar, “what reputation you're talking about? The rumour about me picking you up cause I'm a homophobe?”
Hyungseo mengangguk pelan, sangat pelan, menyetujui perkataan pemuda di depan, ia sendiri menggigit bibir bawah kuat-kuat, menahan gejolak emosi yang mengalir di peredaran nadi.
“Aku berulah bukan berarti aku homophobic, Moon,” Juyeon maju selangkah, Hyungseo refleks mundur teratur. Namun, si Tampan tetap kekeuh, tidak mau Hyungseo kabur ketika ia ingin mendekat. “I was being a jerk to gain your attention,”
Si Manis menaikkan satu alis, kepala malah menggeleng tidak percaya. Lidah kelu membuat balasan, tak mau jatuh menjadi korban.
“Kamu yang mulai kamu juga yang mengakhiri,” lanjut Juyeon kembali, mengundang tanda tanya besar di ambang pikiran Hyungseo sekarang? Apa maksudnya? Hubungan intim tadi malam? Bukankah harusnya sudah selesai pada keesokan harinya?
“You mean the sex right?”
Juyeon menggeleng, maju lebih berani sehingga jarak mereka mulai menipis, Hyungseo dapat merasakan deru napas memburu, tidak sabar hendak menyerbu. “No, I want you to end up with me,”
“Stop.” ia kembali mundur, kalau lelaki ini macam-macam, Hyungseo tak segan-segan melesat ke belakang. Akan tetapi, Juyeon refleks menahan pinggangnya, tidak sekasar tadi malam, sebaliknya lembut penuh kehati-hatian.
“Yeah, let's stop this bickering things and start dating, Moon,” bisik Juyeon sungguh-sungguh. Hyungseo tampak membulatkan mata, tidak memahami maksud bisikan tersebut ditambah tatapan memohon dari sang musuh bak meminta persaingan konyol mereka musti terhenti.
“Date? Kamu gila, Ju?”
“Aku nggak gila.”
“Kamu nggak suka cowok, Juyeon! Kamu bukan gay!” jerit Hyungseo bernada tinggi, berupaya menyembunyikan kepanikan, harapan kosong yang bakal ia terima bila bertindak gegabah, sekaligus meyakinkan Juyeon jikalau dia hanya bingung setelah pertemuan intim mereka semalam.
Oh god, ini termasuk kesalahan Hyungseo juga yang sudah menggunjang-gunjang orientasi seksual anak orang gara-gara berniat menjatuhkan harga diri pemuda yang bersangkutan.
Juyeon menggeleng, memegangi kedua pundak landai lalu mengguncang lembut, supaya menenangkan si Manis, supaya dirinya didengarkan dan dipercaya tidak sembarangan memainkan hati. “Nggak ada sangkut pautnya, Moon, Aku nggak perlu jadi gay buat pacaran sama kamu,”
Sudah pasti jantung Hyungseo melakukan aksi blackflip semenjak Juyeon mengajak kencan, pancaran sinar kesungguhan nan serius seakan mengawai Hyungseo untuk menerimanya, perasaan mulai terbawa tetapi sisi rasional menyangsikan ucapan. Is this his denial-trait that spoke to him?
“You should..” ia menegak ludah tidak percaya diri, “you should be one cause you liked pussy,” oh sialan, air mata terjun bebas setelah sekian lama bersemayam di pelupuk. Pandangan nanar akibat kristal menutupi walau sekilas masih dapat melihat ekspresi keterkejutan Juyeon. No, no, last time he dated a straight guy, he left. Hyungseo nggak mau berakhir seperti itu lagi. Sudah cukup ia tersakiti oleh omong kosong lelaki normal.
“You're Moon Hyungseo, not pussy, and for your information I didn't say to anyone I only like pussy, so stop with that conclusion,” Juyeon tidak kuasa menahan diri, sontak mendekap si Manis erat-erat, Hyungseo menenggelamkan muka di pundak, membasahi material kemeja kostum halloween pemuda lain dengan tangisan. Dia tidak tersedu-sedu namun ada isakan kecil mengiringi aliran kristal bening.
“But you're–”
“Straight?” Lelaki surai hitam menjauhkan Hyungseo demi menamukan tatapan, pancaran bak sinar rembulan yang dia senangi dari awal mereka bertemu terlalu sayang jika dilewatkan. “well, itu cuman pandangan orang tentang aku, aku nggak bener-bener lurus juga sih, buktinya aku tegang lihat kamu tadi malam,”
Lemparan guyonan disaat suasana melankolis sekarang mengundang kepalan Hyungseo mendarat pelan di dada bidang, Juyeon refleks tergelak renyah lalu menggenggam jemari mereka bersamaan. Tatapannya melembut, menyalurkan kehangatan, menggetarkan sanubari Hyungseo, meluruhkan dinding pertahanan, mengikis keegoisan. They stood there doing nothing but stared, looking for uncertainty, or worst, lies. Especially from Hyungseo's view.
“Aku punya trauma,” bisik Hyungseo halus.
“I can get rid of that,“
“Aku benci cowok normal yang suka aku,”
“Like I said, I'm not straight as you thought I am,” balas Juyeon menipiskan jarak antarwajah, menyebabkan sesama hidung mancung saling bersentuhan, di situlah Hyungseo dapat menemukan keseriusan.
“I'm sorry for not staying,”
“I'm sorry for picking you up all these years,”
Hyungseo menganggukkan kepala, terlalu sulit bernapas bila wajah Juyeon sedekat ini, too gorgeous for his health, and his heart. Yakali dia mendadak kena serangan jantung? Kencan beneran aja belum! “Ju, kamu terlalu dekat,”
“Hmm?” Bukannya menjauh, tentu saja Lee Juyeon malah mendusel di pipi tirus yang terdapat jejak air mata di sana, “memang kenapa?”
“Kasih ampun sama jantungku, Juyeon.”
Sebuah kecupan mesra mendarat secara tiba-tiba di bibir merah muda. Sebentar saja sebagai pengujian, tetapi berhasil menjatuhkan jantung Hyungseo ke selangkangan. Boom! Mungkin soundnya seperti itu. Bersamaan persendian lemas akibat perlakuan.
Juyeon menyunggingkan senyum, mengecup kecil ujung hidung milik pemuda yang masih didekap, “Aku butuh jawaban,”
“You still need the answer?”
“Eung, for making sure to call you mine after this,”
Hyungseo menggigit bibir, mengulum lamat-lamat sembari mengadu tatap, ia melepaskan bantalan ranum yang diganyang tidak menyadari bahwa Juyeon dilanda ketidaksabaran. “I.. ye-mmphhh!”
Juyeon sudah tahu kok jawabannya, siapa suruh main-mainkan bibir di depan predator Moon Hyungseo, jadi disambarkan? Ingat, dia juga lelaki kebanyakan hormon, terutama jika menyangkut eksistensi pemuda manis dambaan sejuta umat sekolah. Hyungseo memekik protes ketika Juyeon tidak berhenti menciumnya, meski dalam hati merasa lega kalau penyesalan tadi malam tidak berujung petaka.
Seperti yang aku katakan, call it truce, an unexpected ones.
And now, Hyungseo really got his tongue😝
***
©️Noname