wqwqwq12

“Teh sereh aja, Pak,” pesan Joshua kepada penjaga kantin langganannya. Winza sudah menyantap nasi opor ayam ketika dirinya tiba di kantin.

“Ga patah kan tu idung?” tanya Joshua setelah melihat lebam di hidung sepupunya itu.

“Ga kok,” jawab Winza setelah menelan satu suap nasi, “Cuma tadi tu darahnya banyak banget sampe kemeja gue penuh darah.”

“Pantes Keira panik,” Joshua menyesap tehnya pelan, “Lo coba pikirin dia juga deh.”

“Maksudnya?”

“Kepikirannya dia. Kondisi dia tu secara fisik mungkin baik-baik aja, tapi mentalnya lagi down. Belum lagi soal hormon.”

Winza menyesap teh hangatnya pelan, “Gue kadang kepikiran, hidupnya Keira sekarang selain ngurusin gue apa sih?”

“Nah itu lo sadar,” Joshua menggeleng pelan, “Gue gatau ya pastinya karena gue belum nikah. Tapi kata gue jangan sampe pasangan lo kehilangan jati dirinya hanya karena kalian uda nikah.”

“Gue juga berharap demikian.”

****

Winza kembali ke kamar inap Keira dan mendapati istrinya itu barusan membetulkan posisinya untuk kembali tidur.

“Kebangun, Sayang?” Winza sedikit berlari dari pintu untuk mendekati ranjang

“Iya, mimpi buruk lagi,” jawab Keira pelan ketika Winza mulai mengelus kepalanya.

“Maaf ya.”

“Ih bukan salah kamu,” Keira tersenyum, “Kan hanya bunga tidur.”

“Iya tapi kan pas aku ga ada,” keluh Winza

“Udah Sayang, gausa dibahas lagi ya? Kamu sikat gigi gih sana sebelum tidur.”

“Tidurnya mau dipeluk lagi?”

“Enggak usah,” Keira tersenyum, “Kamu nanti malah sakit.”

“Aku duduk aja ya di sebelah ranjang. Aku maunya pegang tangan kamu.”

“Iya deh,” Keira akhirnya menyerah dengan permintaan istrinya, berharap Winza tidak jatuh sakit karena posisi tidurnya yang tidak enak.

Keira hanya menggerakkan telunjuknya pelan, menyusuri alis Winza, turun ke tulang pipinya, perlahan ke bawah, ke sudut bibir wanita yang terluka, dan berakhir mengusap pelan dagunya.

Helaan nafas panjang terdengar dari Keira maupun Winza

“Sakit?” tanya Keira pelan, mendapat anggukan dari Winza

“Tapi semuanya beres kok,” kata Winza pelan

“Aku kaget,” Keira meletakkan tangannya di ranjang, langsung digenggam oleh Winza erat, “Berita soal kamu dan Juwita. Bener-bener kaget.”

“Maafin aku, aku juga kaget. Ga nyangka ada yang segitunya sama aku,” keluh Winza sambil memainkan jemari Keira, “Gila aku difitnah sama pacar sahabat aku sendiri.”

“Ga semua orang tahu itu pacar sahabat kamu, Sayang,” kata Keira lembut

“Iya sih.”

Keira mengangkat tangan kanannya dan mengusap pelan kepala Winza, “Kamu makan gih sana, tadi perutnya kan bunyi pas masih ada Gisella sama Mikha.”

“Abis kamu bobo aja,” tolak Winza

“Abis ini aku kan juga bobo, lagian efek obatnya uda kerasa.”

“Gapapa, pengen kiss you goodnight aja.”

“Alesan,” Keira terkekeh. Winza membetulkan selimut Keira dan menepuk pelan perut istrinya itu.

“Tidur yang nyenyak ya, Sayangnya Winza,” bisik Winza sebelum mengecup kening Keira, membiarkan wanita itu tidur dengan tenang.

“Uda ketemu? Gamau ngaku emang?” Winza berkata cepat di telepon sembari Ningtyas mengekor di belakang dengan cepat. Gisella tadi mengirimkan titipan pesan dari Keira, untuk mengawasi Winza agar tidak nekat. Mikha dan Gisella memang sedang menemani Keira karena Winza akan pulang agak terlambat.

Sesampainya di ruangan divisi humas, Winza sudah mendapati ada tiga orang yang dihadapi oleh Jackson dan Juwita. Ketiga karyawan tersebut, kebetulan semuanya laki-laki, adalah karyawan yang duduk di kubikel C seperti dugaan Winza.

“Kenapa ga digeledah aja hapenya?” dengus Winza kepada Jackson

“Ibu tidak bisa melakukan penggeledahan kepada kami tanpa surat dari kepolisian!” salah satu karyawan, Winza ingat namanya adalah Aldo, menolak dengan keras. Dan entah mengapa dua lainnya hanya menunduk; kebetulan dua yang lain lebih junior dari Aldo.

“Memangnya kenapa?” Winza berjalan mendekat ke arah Aldo, seolah akan menerkamnya.

“Winza, sudah,” Jackson menahan lengan Winza, tidak ingin keponakannya itu bertindak nekat.

“Sebaiknya kamu mengaku saja,” tiba-tiba Kevin mendekati kerumunan. Sebenarnya semua karyawan sedang melihat keributan itu, hanya saja mereka diam.

“Apa-apaan lo?” Aldo mendorong bahu Kevin yang berjalan mendekatinya, “Jangan mentang-mentang lo iparnya bos ya?”

Kevin hanya terkekeh pelan, “Lo gausah sok deh, gue bisa kok ngehack hp lo.”

“Kurang ajar lo bangsat!” entah kenapa tiba-tiba Aldo emosi dan bergerak memukul Kevin. Sayangnya, Kevin jauh lebih cepat untuk menghindari pukulan Aldo. Karena terlanjur emosi, Aldo tidak memperhatikan bahwa Winza juga bergerak ke arahnya, sehingga dua pukulan justru Aldo layangkan kepada Winza.

“Winza!” Juwita terkejut melihat Winza sudah terkapar di lantai. Kevin menahan kedua lengan Aldo, karena dia pun terduduk lemas melihat atasannya terkapar.

“Memang benar Mas Aldo yang menyebarkan informasi mengenai Bu Winza dan Bu Juwita,” salah satu karyawan junior yang tadi diam saja mulai angkat suara, “Dia mengirimkan chat ke saya. Jika Mas Aldo tidak bersedia menyerahkan handphonenya untuk diperiksa, silakan lihat dari chat saya.”

Jackson menghampiri karyawan yang sedikit bergetar itu. Dia mengecek kartu pegawai yang menggantung di lehernya sebelum menepuk bahunya pelan, “Terimakasih, Dimas. Kevin, bawa Aldo ke ruangan saya. Kamu gausah macem-macem, Aldo. Saya sudah hubungi satpam untuk menemani saya. Juwita, Ningtyas, tolong obati Winza.”

“Baik, Pak,” jawab Juwita dan Ningtyas bersamaan.

Winza tiba sekitar pukul 7 malam di rumah sakit; sudah terlihat Mama, Bunda dan juga Kath yang sedang asyik mengobrol bersama Keira.

“Cuci tangan dulu sebelum pegang-pegang istrinya,” tegur Mama ketika melihat Winza berjalan ke sebelah ranjang Keira. Yang ditegur hanya memutar bola matanya malas dan berjalan ke kamar mandi. Keira hanya tertawa kecil melihat kelakuan istrinya.

“Kata Mama, kuret itu ga lama kok prosesnya. Cuma pemulihannya aja mungkin takes time,” kata Bunda ketika mereka sedang menunggu operasi Keira.

“Iya, Bunda,” jawab Winza singkat, melihat Katherine yang masih setia berdiri untuk menunggu selesainya operasi

“Winza, it would be hard. Bunda berharap kamu benar-benar menjaga Keira, ya Sayang?”

Winza menoleh ke wanita paruh baya yang duduk di sampingnya. Matanya terlihat teduh; sejak pernikahannya dengan Keira, Winza selalu merasa bahwa Bundanya mulai berubah. Bukan ke arah yang negatif, tapi justru ke arah harapan-harapan yang dulu pernah Winza miliki terhadap Bundanya.

Winza memegang kedua tangan Bundanya yang berada di atas pahanya.

“Winza ngerti kok, Bunda. Bunda jangan khawatir ya, doakan Winza bisa menjalaninya.”

****

“Ugh...” Keira kembali mengaduh, membuat Winza terjaga dari tidur duduknya.

“Kram ya, Sayang?” Winza mengusap pelan perut Keira, tangan satunya dia gunakan untuk menyelipkan poni Keira ke belakang telinganya.

“Aku mimpi buruk,” lirih Keira, wajahnya pucat, “Ada anak kecil nangis manggilin aku.”

“It's just a dream, Baby,” Winza berusaha menghibur Keira, walaupun dia sendiri juga terkejut

“Tapi kerasa nyata banget.”

“Gapapa, Sayang. Efek obat bius tadi,” Winza masih berusaha menenangkan istrinya, “Mau dipeluk tidurnya?”

“Emang cukup kasurnya?”

“Cukup kalo aku tidurnya miring kan?” Winza terkekeh, “Geser dikit, Sayang.”

Keira menurut, membiarkan Winza memosisikan dirinya di pinggiran kasur. Begitu Winza sudah berada di posisinya, Keira langsung menghamburkan diri ke pelukan sang istri.

Sejujurnya Winza sangat sebal dengan besi di pinggiran ranjang ini, cukup dingin dan pastinya akan mengganggu tidurnya.

Namun dia tidak masalah. Asalkan Keira bisa beristirahat, Winza tidak masalah.

“Sayang, aku ke kamar mandi dulu ya,” kata Keira cepat. Winza yang baru saja memakai jaketnya mengangguk dan masih sempat meneriakkan hati-hati karena Keira setengah berlari ke kamar mandi.

Keira baru berada di kamar mandi sekitar 5 menit ketika teriakannya mengejutkan Winza yang masih mencari kunci mobilnya. Teriakan itu lantas membuat Winza berlari dan memaksa membuka pintu kamar mandi.

Betapa terkejutnya wajah Winza melihat sesuatu di lantai kamar mandinya, ditambah dengan wajah pucat Keira yang bersandar lemas di dinding kamar mandi mereka.

“Kita ke rumah sakit sekarang,” kata Winza dengan suaranya yang bergetar.

****

“Istri kamu sudah hamil 6 minggu,” kata Dokter yang dipanggil Dokter Salma, Obgyn di rumah sakit ini

“Lalu tadi...” Winza terdiam, masih berusaha mencerna kejadian yang dialami mereka berdua

“Ya, Keira mengalami keguguran di usia 6 minggu janinnya. Memang belum memiliki nyawa dan belum berbentuk seperti embrio.”

“Lalu... Bagaimana, Dok?”

“Saya menyarankan kuret agar tidak ada yang tertinggal,” Dokter Salma menuliskan beberapa catatan, “Kami akan observasi selama satu hari dulu, jika memang harus dikuret, kami akan melakukannya minimal besok malam.”

Winza mengangguk. Sejujurnya pikirannya kosong, lidahnya kelu. Ini adalah kejadian yang benar-benar di luar dugaannya.

****

Winza masuk ke kamar inap Keira dan mendapati Mamanya sudah di dalam, terlihat berbicara dengan Keira.

“Dokter Salma temen angkatan koas Mama,” kata Tara menjawab rasa penasaran di wajah Winza

“Oh. Makasi, Ma, uda nemenin Keira.”

“Santai aja, lagi ada jeda sebelum OP,” Tara mengecek jam tangannya, “Mama beliin makan, tadi kata Keira kalian belum sempat makan. Pak Yos sudah Mama bilangi untuk standby, kamu perlu ambil barang kan buat nginep.”

Winza kembali menangguk. Tara menepuk pelan pundak Keira sebelum berjalan dan mengelus kepala Winza pelan

“Bunda uda tau?” tanya Winza pelan ketika Tara sudah akan membuka pintu kamar.

“Nanti Mama kasi tau. Kamu fokus dulu sama Keira aja.”

Winza mendengar isakan tangis dari Keira setelah Tara menutup pintu di depannya.

“Sayang...” Winza langsung membawa istrinya ke dalam pelukannya, mengusap kepalanya lembut sambil menenangkan wanita yang menangis itu.

“Maafin aku.... Maafin aku...” isak Keira

“Sayang, bukan salah kamu,” Winza mengeratkan pelukannya, berharap bisa meredakan tangisan pilu istrinya.

Keira hanya bisa menarik nafas panjang ketika mengisi berkas mengenai rawat inap Winza. Tangan kanannya retak di bagian tulang hasta kanannha; tadi Keira sempat mendengarkan penjelasan dari dokter bahwa Winza membutuhkan sekitar 6-8 minggu untuk pulih.

“Udah berapa kali coba dari aku kenal sampai jadi istrinya ini, nemenin Winza di rumah sakit,” Keira bergumam pada dirinya, terkadang heran dengan nasib yang membawanya seperti ini.

“Kei,” Mario menghampiri Keira yang baru saja menyelesaikan urusan administratif Winza, “Ini yang nabrak gimana?”

“Memangnya posisinya dimana?” tanya Keira

“Di kantor polisi. Tadi langsung dibawa sama satpam.”

Keira menghela nafas panjang lagi. Jika dia mengurusi ini, Winza pasti akan mencarinya di kamar. Cukup ribet memang jika harus meninggalkan Winza sendirian ketika rawat inap seperti ini.

“Kami aja yang ngurus,” suara dari Jesselyn mengagetkan Keira dan Mario. Di sebelah mereka, Tara juga berjalan mendekat sambil mengecek isi tas slempangnya, “Keira di sini aja. Nanti pasti Winza nyariin.”

“Iya, Bunda,” kata Keira pelan, “Makasi ya, Bunda. Semoga Mama dan Bunda urusannya lancar mengenai hal ini.”

***

“Nanti tangannya digendong selama dua bulanan ya, Sayang,” kata Keira lembut sembari mengelus kepala Winza pelan. Keira sedikit terkejut melihat tidak hanya lengan Winza yang terbalut perban, tapi juga wajahnya sedikit lebam. Wajahnya sempat membentur trotoar katanya tadi.

“Hu'um, Sayang. Maaf ya...” gumam Winza

“Kok minta maaf sih, Sayang? Kan bukan kamu yang salah,” Keira kembali mengusap pelipis Winza lembut.

“Kamu jadi ngurusin aku kaya gini,” Winza memejamkan matanya sambil menghela nafas, “Padahal kamu lagi ga enak badan.”

“Gaboleh gitu,” Keira menggenggam tangan Winza yang sehat, “Kita kan uda jadi pasangan. Udah jadi tanggung jawabku untuk ngurusin kamu kan?”

Winza menganggukkan kepala, menggerakkan tangannya agar Keira mendekat padanya. Keira paham, Winza meminta ciuman selamat malam.

“Selamat tidur dan istirahat ya, Sayang,” kata Keira setelah menyudahi sesi ciuman mereka dengan kecupan hangat di kening Winza.

“Masuk,” kata Winza tanpa melihat siapa yang mengetuk pintu ruangannya. Setelah bertemu dengan Bundanya dan beberapa anggota BoD, ada beberapa hal yang harus diperbaiki untuk acara puncak ulang tahun Blanc Eclare. Sehingga dari tadi, Winza tidak lepas dari dokumen-dokumen yang ada di hadapannya.

“Serius banget, Sayang,” suara lembut Keira menyapa pendengaran Winza, membuat wanita yang daritadi menunduk langsung mengangkat kepalanya.

Winza tersenyum cerah, menyambut istrinya yang menundukkan dirinya untuk memeluknya.

“Cantikku abis dari mana tadi?” bisik Winza lembut, mengecup pipi Keira sebelum melepaskan pelukannya

“Cikarang,” Keira mengenggam jari jemari panjang milik Winza, “Udah ready untuk dua minggu lagi produknya.”

“Luar biasa banget sih, Sayangku ini. Nanti berarti sekalian peluncuran produknya ya besok itu.”

“Iyaa,” Keira kembali tersenyum, “Semoga semua sesuai rencana ya?”

“Iya, Sayang. Satu-satu ya.”

“Iya, satu-satu.”

*****

Perayaan Anniversary ke-15 dari Blanc Eclare tentu sangat meriah. Winza menyiapkan sedemikian rupa setiap detil acaranya sehingga bisa melibatkan banyak pihak.

Beberapa orang menghampiri pasangan muda itu dengan senyuman, investor juga semakin bahagia dengan kemajuan publikasi yang dimiliki oleh tim Humas bersama Winza.

“Semua orang gada yang ga muji, btw,” tegur Joshua yang datang bersama Naren di malam puncak ini.

“Iya lah, gue gitu,” Winza mengibaskan tangannya cuek, gaya Winza seperti biasanya. Naren dan Keira hanya bisa tertawa melihat interaksi kedua sepupu itu

“Rencana nikah kapan?” tanya Winza santai sambil meraih tangan Keira yang berdiri di sampingnya.

“Sabar, masih mau ambil spesialis ini kita,” Joshua menunjuk dirinya dan Naren, “Biar bisa nyaingin kalian. Masa yang powerful couple kalian doang.”

“Apaan sih, Jo,” Keira tertawa lagi sambil mendorong bahu Joshua pelan

“Gatau nih, katanya gamau banget kalah sama Winza Keira kalo ngomong sama gue,” Naren ikut menambahkan dalam obrolan mereka

“Emang gapernah mau kalah dia dari jaman SD,” Winza memutar bola matanya malas, “Untungnya nih ya waktu SMA dan kuliah kita pisah. Kalo ga kayaknya suruh saingan mulu sama si Jo ini.”

“Loh itu motivasi tau,” Joshua tidak mau kalah menanggapi sepupunya itu

Obrolan mereka berempat terhenti dengan panggilan oleh MC di panggung, untuk mempersilakan Winza menyampaikan sepatah dua patah kata untuk memeriahkan acara pada malam hari ini. Wanita itu sempat menolak; karena tidak ada di dalam susunan acara yang dia sendiri yang susun. Namun dengan sedikit paksaan dari Keira, Winza akhirnya mau melangkah ke depan untuk memberikan pidato singkat.

“Selamat malam,” sapa Winza membuka pidatonya, “Sebenarnya ini sebuah kejutan, saya yang mengatur susunan acaranya namun tiba-tiba diselipkan satu acara yang tidak diduga.”

Seluruh tamu undangan tertawa, bahkan Winza bisa melihat Bundanya tersenyum lebar, sepertinya memang arahan dari Chairman sendiri sehingga membuat MC pun tidak bisa menolak.

“Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut menyukseskan acara pada malam hari ini. Seluruh anggota Board, termasuk juga Chairman, yang saya yakin sudah berhasil memaksa MC untuk memanggil saya maju ke depan sekarang. Tentu saja untuk seluruh karyawan Blanc Eclare terutama tim panitia pelaksana yang menyukseskan acara ini. Spesial tentu kepada istri saya,” Winza membuat seluruh hadirin melihat kepada Keira yang berdiri bersama dengan Jesselyn dan Tara

“Selamat atas peluncuran produk barunya. Saya sebagai istri, dan juga kolega tentu saja sangat bangga melihat bagaimana teman-teman dari tim produksi bekerja dengan sangat keras dalam menyiapkan produk baru dari Blanc Eclare yang pada malam ini juga diluncurkan. Selamat sekali lagi untuk Keira Agatha sebagai Manajer Produksi berserta tim.”

Keira tidak bisa mengalihkan pandangannya pada istrinya yang turun dari podium, menyapa beberapa orang yang berpapasan di jalannya menuju dirinya.

Suara-suara di sekitarnya masih sama; betapa beruntungnya Winza mendapatkan dirinya. Namun yang kadang orang lain tidak mengira, bahwa Keira juga selalu merasa beruntung bisa menjadi pasangan dari Winza Kusumajati.

Ketika memutuskan menikah, Keira selalu membayangkan hubungan pernikahannya akan lebih “kalem” dari dugaan orang-orang. Terlebih banyak yang mengatakan bahwa karena usia Winza lebih muda, maka pasti kehidupan awal pernikahan mereka akan penuh “gelora”

Sepertinya orang lain terlalu awam untuk mengenal Winza sendiri.

Wanitanya itu lempeng, tidak salah bahwa memang dia adalah womanizer, tapi bukan tipe wanita yang ramah ataupun suka mencari target, sepertinya Keira paham mengapa banyak yang menggilai Winza ketika dia tidak di kantor. Istrinya itu terlihat misterius, tidak terlalu banyak bicara, tidak terlalu banyak menunjukkan ketertarikan terhadap orang lain, bahkan lebih ke arah jutek.

Walaupun demikian, Keira tetap menyanyangi Winza sebagaimana yang dia rasakan dari dulu. Winza adalah Winza yang sama ketika bersama Keira. Yang manja, mudah rewel, gampang tidak cocok dengan sesuatu baru, dan yang terpenting, Winza memiliki caranya untuk mencintai Keira. Mungkin seperti yang terjadi sekarang ketika Keira dengan sengaja mendiamkan Winza karena masih kesal dengan masalah Jordan kemarin, Winza menunjukkan usahanya untuk bisa meminta maaf kepada Keira. Dan Keira sendiri sadar bahwa usaha Winza jelas berhasil untuk melunakkan hatinya.

“Udah bangun?” Winza terkejut ketika melihat Keira sudah berada di dapur pada Sabtu pagi ini. Biasanya Istrinya itu memilih untuk tidur lebih lama karena biasanya dia yang bangun pagi dibandingkan Winza di hari-hari biasa.

“Memang kenapa?” Keira menahan tawanya ketika melihat wajah bingung Winza

“Enggak… aku…” Winza menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat Keira tidak lagi bisa menahan senyumnya. Dia mematikan kompor di depannya dan mengangkat pancake terakhir yang ada di Teflon sebelum meletakkannya ke atas piring.

“Sini,” Keira meluruskan tangannya ke depan, sebuah gestur yang membuat Winza juga tersenyum lebar dan menghambur untuk memeluk Keira.

“Ooftt, pelan-pelan, Sayang,” bisik Keira ketika Winza memeluknya dengan sangat erat.

“Maafin aku,” Winza berbisik dengan suara yang terbenam. Wanita itu sibuk menenggelamkan wajahnya di rambut Keira, menghirup aroma shampoo yang selalu dia rindukan.

“Iya, kan aku udah maafin,” Keira mengurai pelukan mereka, namun membiarkan lengan Winza masih melingkari pinggangnya dengan protektif

“Tapi aku ga diajak ngomong,” Winza mengerucutkan bibirnya ke depan

“Karena aku masih sebel?” Keira tertawa untuk menggoda istrinya itu

“Kalo sekarang?”

“Gimana yaaa…”

“Ish.”

“Bercanda, Sayang,” Keira kembali tersenyum dan memangkas jarak antara mereka, bibir mereka bertemu, kecupan-kecupan malas berubah menjadi ciuman yang panas dengan lidah mereka saling berebut dominasi. Ketika tangan Winza mulai bergerak ke bawah dan meremas pantat Keira, wanita yang lebih tua menghentikannya.

“Aku masih mens,” kata Keira di Tengah nafasnya yang terengah

“Ih, kok gitu!”

“Lho memang jadwalnya, Sayang,” Keira mengecup ujung hidung Winza. Istrinya tersebut hanya merengut, kesal terlihat jelas di wajahnya.

“Uda ga tahan ya kamu?” Keira terkekeh dan menggandeng Winza untuk duduk di meja makan

“Ya gimana tidur gabisa pegang-pegang.”

“Sabar ya, sarapan dulu. Kalo kamu ngambek aku diemin lagi lo,” ancam Keira

“Tapi abis gini kamu milikku ya.”

“Kan emang.”

“Bukan gitu,” Winza menggelengkan kepalanya dan membuat gestur tangannya menunjuk Keira dari atas sampai bawah, “Kamu, milikku.”

Ah, Keira tahu maksudnya. Salah rasanya dia pernah mengatakan bahwa Winza itu “lempeng”

“Tumben loh,” kata Giselle yang membuat Winter mengangkat kepalanya. Gadis yang lebih muda itu sibuk mengaduk mie cupnya. Giselle sedang bermain dengan gawainya sambil memakan makanan kecil ketika Winter datang ke dapur da menyeduh mie.

“Apaan, Kak?” gadis bermarga Kim itu menyipitkan matanya karena Giselle hanya memutar bola matanya malas.

“Ya itu, tumben initiate skinship duluan ke Karina.”

“Ohh, ya biasa toh. Kan pacar gue,” sahut Winter cuek.

“Emang kulkas ini,” Giselle melempar kulit kacang yang barusan dia makan isinya, “Lo tuh emang dingin apa gimana sih, Sis? Bisa-bisanya Karina demen sama lo.”

“Gue kan emang charming,” Winter hanya mengibaskan rambut merahnya, “Lagian kan emang kita biasanya gandengan toh di panggung.”

“Iya tapi kan Karina yang mulai. Elo mah sampe bikin dia gemes sendiri.”

Winter menghentikan seruputan mienya, sebelum membuka kaleng soda yang berada di meja. Dengan cepat, dia menengguk minuman ringan tersebut.

“Gara-gara lo juga sih,” dengus Winter

“Lah kok gue.”

“Iya lo sama Ning tuh bacot banget tau, Kak. Soal gue yang cuek sama dia.”

“Lah sorry?” Giselle mengangkat satu alisnya heran, “Kan emang lo tu ga suka PDA dan Karina aslinya demen pegang-pegang elo.”

“Dia kemarin lusa cerita pas sebelum tidur kalo kepikiran apa gue selama ini ga nyaman dia pegang-pegang waktu on-cam. Karena gue cuma diem aja, ga komen apa-apa.”

“Ya kan elo.”

“Ya tapi kan elo sama Ning ngomongin itu, jadinya dia kepikiran.”

“Jadi lo aslinya demen ga digituin?”

“Demen lah, gue ngalahin berapa juta orang buat dapetin Karina coba?”

“Lebay,” Giselle kembali melempar kulit kacang kepada Winter.j

“Gue bilang sama dia, Kak. Gue ga masalah dia suka pegang gue, nunjukkin sayangnya ke gue dengan kaya gitu, gue seneng. Trus ya kemarin lusa itu dia juga bilang bakalan lebih seneng kalo gue bisa bales juga.”

Desperate” tau ga sih dengernya. Emang lo nih, kulkas. Dia tuh sering kepikiran kalo lo lagi kerja sendiri, kepikiran lo digimanain orang nyaman apa enggak.”

“Hmm.”

“Kebiasaan overthinking kan. Ya lo setidaknya ngomong aja, ga semua yang lo lakuin dia paham maksudnya. Apalagi show kemarin kan dia agak ga enak badan.”

“Iya, agak demam sama pusing dia,” Winter mengangguk pelan, mengingat kekasihnya yang tidur lebih awal hari ini, “Makanya sebenernya gue ngelakuin itu sebagai gestur buat bikin dia nyaman.”

****

Winter masih memainkan gawainya ketika dia merasakan seseorang memeluknya dari belakang.

“Kok bangun, Sayang?” tanya Winter sembari mengelus lengan Karina yang memeluknya

“Kamu ga ada.”

Winter tersenyum. Dia memang tidak ada niatan meninggalkan Karina di kamar. Hanya sekedar lapar yang berakhir mengobrol sejenak bersama Giselle; gadis Jepang itu baru saja masuk kamarnya untuk tidur.

Winter melepaskan rengkuhan Karina dan mendorong gadisnya untuk duduk di pangkuannya secara miring. Karina menurut, mengalungkan kedua lengannya di leher Winter. Winter mengecup bibir Karina sejenak sebelum memberikan tambahan lumatan kepada bibir ranum gadisnya itu. Ciuman yang cukup panas terhenti sejenak karena keperluan untuk menarik nafas diantara keduanya.

Winter menangkup kedua pipi Karina, merasakan hangat di wajah gadis cantik itu.

“Masih agak demam ya?” tanya Winter pelan

“Iya, tapi uda ga pusing.”

“Yauda yuk bobok lagi. Aku sikat gigi dulu ya, Sayang.”

Karina membalas dengan anggukan sebelum turun dari pangkuan Winter. Winter mengecup kening Karina sebelum melesat ke arah kamar mandi, meninggalkan senyuman tipis di bibir Karina.

Karina merasakan Winter masuk ke dalam selimutnya. Menyelipkan lengannya ke bawah bahu Karina dan menariknya pelan ke dalam rengkuhannya yang kuat.

Bagian yang paling Karina suka tentu saja adalah kecupan kecil di puncak kepalanya. Terasa sangat hangat, assuring, dan juga menghapus banyak pikiran berat di kepalanya.

“Sayang...” panggil Karina pelan

“Hmm?” gumam Winter dengan suaranya yang sedikit tinggi; seperti suara puppy menurut Karina.

“Kamu sebenarnya nyaman ga sih untuk ya.... skinship? Maksudku kaya show semalem yang kamu tiba-tiba genggam tangan aku, biasanya kan aku...”

Racauan Karina terhenti karena Winter menarik dirinya dari pelukan dan memandang Karina. Dia hanya tersenyum tapi itu membuat Karina sedikit salah tingkah.

“I don't mind,” kata Winter pelan, “Kamu gausah pikirin kata orang atau pikiran jelek kamu. Aku sayang kamu. Kamu pegang aku di depan umum, aku diem bukan berarti aku ga nyaman. Aku suka kok, walaupun aku ga kasi respons yang sama, bukan berarti aku ga suka.”

“Aku takut,” kata Karina lirih, “Aku takut kamu ga nyaman.”

“Kalo aku ga nyaman, aku bakalan ngomong kok, Sayang.”

“Makasih ya...”

“Lho?” Winter mengangkat alisnya bingung

“Uda mau ngertiin maunya aku. Uda mau nurutin semua maunya aku, termasuk mau aku gandeng atau pegang on-cam.”

“Ya sebenernya kalo liat kamu tu bawaannya pengen cium kok, apa aku gitu aja?”

“Sembarangan!” Karina mencubit perut Winter, membuat gadis yang lebih muda tertawa dan kembali menarik Karina ke dalam pelukannya.

“Aku sayang kamu banget, jadi gausah khawatir ya, Sayangku,” kata Winter sebelum mengecup puncak kepala Karina

“Aku juga sayang kamu,” balas Karina lembut, bersiap untuk tidur yang nyaman di dalam rengkuhan kasihnya.

Keira baru saja berdiskusi dengan Bu Prita dan Pak Agus mengenai kemajuan produk yang akan mereka launch bulan depan, bersamaan dengan perayaan 15 tahun BnE berdiri. Semuanya sejauh ini lancar; produk yang sedang digarap divisi produksi dan juga persiapan perayaan ulang tahun.

Keira masuk ke kamar mandi di dekat lift, terlalu jauh sepertinya jika menuju kamar mandi yang terletak dekat dengan ruangannya.

“Eh lemburan lo? Tumben humas lemburan,” kata seseorang di depan wastafel, membuat Keira yang mau keluar dari biliknya menahan diri.

“Iya nih, sebenernya karena nunggu konfirmasi dua vendor. Dari tim gue ga masalah kalo misal Sabtu aja kerjainnya, walaupun mungkin pagian gitu. Biasanya Bu Winza juga gitu, daripada kita lemburan sampe malem malah capek,” jawab orang di sebelahnya.

“Iya tuh, Bu Winza kan agak grumpy ya kalo soal lemburan? Tapi emang beliau satset banget kan makanya kalian jarang lemburan.”

“Haha iya, dia cepet emang cari solusinya. Tadi yda ditanyain juga sama Pak Hayden waktu gue menghadap, katanya gapapa istri saya juga lemburan malem ini.”

“Anjir sweet banget ga sih berdua ituu.”

“Iya looo, ga sabar gue liat mereka kalo punya anak. Paduan cantik keduanya tu sip banget lah.”

“Haha iya gue juga,” sahut temannya sambil mereka berjalan keluar dari kamar mandi.

“Anak ya...” Keira bergumam pada dirinya sendiri, “Kayaknya kita butuh ngobrol banyak berdua, ngobrolin banyak hal. Suka banget bertengkar masalah sepele.”

Keira keluar dari kamar mandi sambil mencatat di dalam pikirannya, dia dan Winza butuh waktu untuk berbicara secara santai namun benar-benar hanya fokus pada mereka berdua.