wqwqwq12

Keira tidak berhenti tersenyum semenjak tiba di bandara sore tadi. Winza benar-benar menyiapkan semuanya dengan sempurna. Penginapan yang dipilih Winza adalah sebuah villa kecil dengan dua kamar, satu dapur dan ada kolam renang pribadi. Malam ini, Winza langsung mengajak Keira makan malam di pingir pantai, yang hanya membutuhkan 10 menit dari penginapan mereka.

“Sayang ya kamarnya dua cuma kepake satu,” kata Keira sambil menggenggam tangan Winza. Mereka sedang berjalan ke tempat makan yang Winza katakan sebelumnya.

“Maksudnya tidurnya mau pisah??”

“Ih ya ga gitu, Sayang,” Keira mencubit pinggang Winza gemas

“Habis kamu nanyainnya gituu. Tapi emang ga nemu sih yang cuma satu kamar kalo model villa atau resort gitu, Yang. Kalo satu kamar cuma kamar hotel aja kurang enak dapet cuacanya.”

“Iya sih. Eh, ini uda nyampe?” tanya Keira ketika mereka melihat keramaian di depan mereka, “Rame banget, bisa dapat tempat kita?”

“Kita coba dulu hehe. Infonya kalo rame pun, bisa kok dapet tempat toh cuma berdua,” Winza menggandeng tangan Keira untuk masuk ke dalam. Benar saja, mereka masih mendapatkan tempat di dalam; walaupun konsepnya outdoor, namun dibatasi oleh pagar.

Winza membiarkan Keira memilih seafood yang dia inginkan, mendengarkan pelayan yang memberikan rekomendasi dengan Bahasa Inggris yang lancar. suasana restoran sangat ramai, ditambah dengan adanya panggung kecil, membuat suasana di sini meriah.

“Sayang, aku ke toilet dulu ya,” pamit Winza setelah mengelap mulutnya. Mereka baru saja menghabiskan seekor nila merah yang sangat besar dan kepiting. Baru saja Keira menambah pesanan kerang untuk melengkapi makan malam mereka.

“Iya, Sayang.”

Keira menunggu cukup lama, dia pikir apakah Winza sakit perut? Seingat Keira, Winza tidak punya alergi terhadap seafood

“Hello everybody, we have a special guest tonight who want to express her love for her wife,” tiba-tiba terdengar suara dari penyanyi yang ada di panggung. Keira ikut menoleh, dan hanya bisa melongo melihat Winza yang duduk di kursi sambil memegang gitar

“Thank you, Sam. For letting me sing tonight. Like he said before, I just want to express my love to my wife,” Winza menjeda sejenak, “The one who is prettier than the moon tonight, the one who's wearing the white dress which I like the most. The one and only, Keira Agatha.”

Semua pengunjung, termasuk pelayan yang disana, ikut bertepuk tangan dan melihat ke arah Keira yang tersipu malu.

Suara dentingan gitar yang familiar menyapa telinga Keira, disusul dengan suara merdu dari Winza

Aren't you somethin' to admire? 'Cause your shine is somethin' like a mirror And I can't help but notice You reflect in this heart of mine If you ever feel alone and The glare makes me hard to find Just know that I'm always Parallel on the other side

Winza menyayikan lagu itu dengan senyumannga yang jahil, Keira tahu itu untuk menggodanya. Bersama dengan para pengunjung yang lain, Keira menikmati lagu itu.

'Cause I don't wanna lose you now I'm lookin' right at the other half of me The vacancy that sat in my heart Is a space that now you hold Show me how to fight for now And I'll tell you, baby, it was easy Comin' back here to you once I figured it out You were right here all along

Indah, itulah yang Keira dapat gambarkan. Sesosok wanita yang berhasil menjaga hatinya yang sempat hancur berantakan, seorang wanita yang berhasil meraihnya di saat dia akan menyerah. Winza Kusumajati benar-benar berhasil mengisi seluruh relung hati Keira dengan sempurna

And now it's clear as this promise That we're making Two reflections into one 'Cause it's like you're my mirror (oh-oh) My mirror staring back at me, staring back at me

Keira terlihat gelisah, Winza tahu itu. Bahkan ketika Winza sudah memarkirkan mobilnya di kantor polisi, Keira tidak segera turun, walaupun sudah melepas sabuk pengamannya.

“Sayang...” panggil Winza pelan, sembari menggenggam tangan istrinya itu

“Aku takut,” Keira menghembuskan nafasnya, “Aku takut, Win.”

Winza menarik wanitanya ke dalam pelukan. Bahu Keira yang awalnya tegang menjadi lebih rileks, terlebih Winza mengusap-usap bahunya lembut, sembari mengelus kepalanya juga.

“Yuk, tuh Kak Kath udah ada,” kata Winza setelah melepaskan pelukannya, sembari menunjuk Terios Putih yang cukup familiar bagi mereka.

“Kamu... masuk ke dalam kan?” tanya Keira

“Aku tunggu di depan ruangan. Gapapa, Sayang. Ini waktumu dan saudaramu.”

Keira hanya mengangguk. Berdoa di dalam hati agar dia tidak menangis ataupun mengamuk ketika bertemu dengan Ibunya.

***

Bagi Katherine, Keira dan Kevin, Ibunya adalah sosok pengkhianat. Walaupun sebelum perceraian terjadi, ketiganya merasa Ibunya menyayangi keluarga; tidak mungkin mereka bertiga ada di dunia ini jika kedua orang tuanya tidak saling menyayangi.

Namun gambaran keluarga cemara hilang begitu saja. Pada saat Katherine baru saja lulus kuliah, dia mengajak Kevin yang masih SD, pergi ke mall setelah pulang sekolah, bertemu dengan ibu mereka. Sayangnya, lelaki yang sedang digandeng dan berbisik mesra dengan ibunya tersebut bukanlah ayah mereka.

Katherine kaget, Kevin lebih kaget lagi. Keterkejutan mereka berdua berakhir pada pertengkaran yang hebat, dimana Keira hanya bisa diam; dia tidak bisa mengatakan apapun karena dia tidak melihat langsung kejadiannya. Terlebih, sedari kecil memang Keira tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang pendiam itu.

Malam hari di hari yang sama, ayah Keira mengetuk pintu kamar Keira dan mengajak putrinya berbincang kecil. Keira masih ingat percakapan itu.

“Keira mau ikut Mama?” tanya ayah Keira

“Keira gatau,” gadis yang akan menyelesaikan SMA dalam waktu dua bulan itu hanya bisa menggeleng lemah, “Keira sayang Mama sama Papa.”

“Mama kamu, sudah bohongin Papa. Sebenarnya Papa sudah tahu sejak lama, Mama kamu juga sudah berjanji tidak akan mengulanginya. Ternyata Papa salah, Kei.”

Keira hanya bisa terdiam. Memorinya berputar kembali. Sebagai anak tengah, Keira selalu berada di posisi yang tidak menyenangkan. Kevin sangat dimanja Mamanya, dia anak lelaki satu-satunya. Katherine sudah biasa mandiri, secata usia dia berada 4 tahun di atas Keira. Namun setelah dipikir lebih dalam, Keira memang cenderung dekat dengan Papanya. Lelaki pendiam itu selalu berada di dekat Keira. Keira masih ingat ketika lelaki pendiam itu mengantarnya ke toko buku, walaupun hanya membeli majalah. Papa tidak pernah mengeluh. Pulangnya, mereka mampir membeli es campur yang juga dibungkus beberapa untuk orang di rumah. Ataupun ketika Keira mendapat juara kelas; sama dengan Katherine, Papa selalu bertanya apa yang diinginkan anak gadisnya. Dalan diam pun, Papa akan membelikan hadiah. Berbeda dengan Mama yang banyak memberikan arahan, Papa lebih suka membiarkan Keira dan Katherine memilih apa yang mereka inginkan.

Akhirnya pada malam itu, Keira juga memilih ikut Papanya.

“Kak...” Kevin menyenggol lengan Keira, membuyarkan lamunannya.

“Sori,” Keira mengusap wajahnya. Kenangan dia dengan Papanya selalu membuatnya senang dan sedih di saat bersamaan.

Ketiga bersaudara itu duduk di kursi yang sudah disediakan, menunggu petugas membawa ibu mereka untuk masuk ke ruangan. Sedangkan Winza sudah pamit duluan bersama Pak Arya yang tadi sudah menunggu mereka di depan.

“Oh,” suara terkejut keluar dari wanita paruh baya itu. Sepertinya dia terkejut karena melihat ketiga anaknya menemuinya sekarang.

“Pemandangan yang bagus, karena Mama tidak pernah melihat kalian semua secara langsung,” wanita itu duduk di hadapan tiga bersaudara itu.

“Rasanya tidak pantas menyebutkan Mama dari mulutmu, Ibu,” kata Katherine cepat

“Sudah sangat berani ya,” wanita itu kembali terkekeh, “Jadi apa maksud kalian ke sini? Oh, terimakasih sudah membuatku masuk penjara. Padahal sudah lama berhasil menghindarinya.”

“Anda pantas mendapatkannya,” kata Keira datar, “Sudah seharusnya sejak lama.”

Wanita di hadapan mereka kembali memberikan senyuman miring, “Oiya, makasi ya. Mertuamu emang luar biasa. Pinter kamu milih mertua. Pastinya bisa dong ngeluarin Mama dari tempat ini.”

“Justru mertuaku yang paling semangat untuk membuatmu hidup di penjara,” geram Keira

“Ohya? Mudah saja menyebarkan informasi bahwa aku ini besan dari Jesselyn Kusuma.”

“Silakan, karena pasti akan cepat untuk dibantah dan merugikan anda sendiri,” tantang Keira, “Sedari awal, aku uda ngenalin bahwa aku gapunya Ibu, apalagi seperti anda.”

“Berani sekali kamu!” wanita itu berdiri dan menggebrak meja di depannya, memandang lurus ke arah Keira, “Kamu itu lahir dariku, durhaka kamu!”

“Siapa yang durhaka? Anak yang tidak mengakui Ibunya karena ditinggalkan begitu saja, atau Ibu yang tidak pernah sekalipun memberikan perhatian setelah pisah dengan suaminya?”

“Papa kalian yang menghalanginya!”

“Bohong,” Kevin ikut berbicara, “Bahkan ketika Papa meninggal, anda tidak pernah datang. Kami tahu anda pun tidak tahu dimana makam Papa.”

“Kevin, kamu tahu kan Mama bingung...” suara wanita itu mulai melemah.

“Udah cukup, Bu. Kami bertiga hidup baik-baik saja. Sejak kejadian di Solo, aku uda gamau lagi sekedar nganggep anda ada di dunia ini,” Kevin menghela nafas panjang, “Beraninya anda kembali melakukan hal itu di tempatku dan Kak Keira kerja.”

“Asal Ibu tahu, aku ga cuma sekedar bekerja di sana. Mertuaku adalah Chairmannya. Mudah bagi kami untuk sekedar menghilangkan anda,” tambah Keira, “Waktu anda mengatakan hal yang tidak pantas ke Kak Kath dulu, anda tidak pernah minta maaf. Dan sekarang anda mengulanginya lagi? Apa anda pikir kami ini orang bodoh yang terus-terusan menerima apa adanya?”

“Terserah jika mau dianggap kami yang durhaka,” kata Katherine, “Secara hukum, kita sudah tidak ada hubungan. Secafa fisik dan mental pun, kami tidak sudi memiliki hubungan dengan anda.”

“Kalian! Coba kalian bayangin dengan pasangan yang punya penyakit, lalu kalian masih bertahan? Kalian ini belum mengalami pahitnya kehidupan!”

“Kak Kath dan Kak Keira adalah wanita yang setia, aku liat sendiri gimana keluarga kecil mereka,” Kevin menyela, “Silakan keluarkan sumpah serapah anda, kami tidak peduli. Kami datang ke sini untuk memberikan ucapan selamat tinggal kepada Ibu. Jika Ibu kembali lagi ke kami, dengan sikap yang seperti kemarin, jangan harap kami mau melihat Ibu sebagai manusia pada umumnya. Karena selama bertahun-tahun, kami tidak pernah merasa Ibu ada.”

****

Kegiatan malam ini ditutup dengan makan malam di rumah Katherine. Windy sudah menyiapkan makanan untuk mereka berlima; Noah sudah tidur ketika mereka tiba. Walaupun obrolan ketika makan malam cenderung ringan, Winza tahu, istrinya sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Sayang, sini,” kata Winza ketika mereka sudah di apartemen. Winza sudah membersihkan diri dan menyandarkan tubuhnya di headboard kasur mereka.

Keira awalnya hanya tersenyum, namun dia tahu dia tidak akan bisa menyembunyikan perasaanya dari Winza.

Perlahan, Keira naik ke atas kasur dan memeluk Winza erat, menyandarkan kepalanya di dada wanita yang dicintainya itu.

“You did good, Honey,” bisik Winza sembari mengecup puncak kepala Keira. Awalnya Keira hanya diam dan mengeratkan pelukannya. Lama kelamaan, Keira mulai terisak dan Winza tahu, istrinya sedang mencurahkan perasaan yang dia tahan sedari tadi. Untung saja mereka memesan pesawat siang dan sudah packing untuk perjalanan besok, sehingga dengan Keira menangis semalaman, tidak akan menganggu rencana mereka besok.

“Jangan tinggalin aku ya...” kata Keira di tengah isakannya

“Iya, Sayang. Aku di sini terus kok,” jawab Winza sembari memberikan kecupan-kecupan kecil di puncak kepala Keira.

“Kok senyum-senyum sendiri?” tanya Winza sembari memeluk pinggang Keira dari belakang. Yang dipeluk sedikit terkejut, terlebih Winza memakai kaos tanpa lengan yang semakin membuat Keira tersenyum lebar; dia baru saja membicarakan lengan istrinya itu.

“Ini si Gisella nanyain gym kamu di mana. Dia mau daftar juga,” Keira menyandarkan tubuhnya ke belakang, membuat Winza meletakkan dagunya ke bahu Keira

“Ohh, kasih aja alamatnya, Sayang. Kan kamu tau.”

“Lupa, Sayang, sama namanya. Inget lokasinya aja.”

“Dasar,” Winza mengecup pipi istrinya, “Nanti aku kirim namanya ya.”

“Iya,” Keira melonggarkan pelukannya dan berbalik, mengelus kedua bahu Winza sampai dengan lengan atasnya, membuat wanita yang lebih muda menaikkan alisnya heran.

“Aku penasaran,” bisik Keira, sedikit menggoda, “Jadi makin bulky kamu.”

“Penasaran untuk diapain?” tanya Winza balik menggoda

“Gimana rasanya dipegang-pegang sama tangan yang mulai kekar ini.”

Winza tertawa, menarik tangan Keira untuk ke kamar. Oh memang wanita itu sangat mudah luluh dengan Keira.

Keira mengetukkan jarinya di atas meja. Sebenarnya dia sudah mengira Seno akan mengatakan ingin melamarnya, walaupun sekarang dia masih berputar-putar menjelaskannya.

Satu hal yang masih membuat Keira ragu, masa depannya dengan Seno. Keira tidak pernah membayangkan dirinya harus berada di rumah dan menyambut pasangannya setiap hari setelah pulang kerja.

Masa depan yang pernah ia bayangkan adalah masa depan ketika dia pulang kerja bersama pasangannya. Membahas makan malam apa, membicarakan keseharian di kantor sambil berbaring untuk tidur.

Ya benar, yang dibayangkan Keira dari dulu sampai sekarang adalah masa depannya dengan Winza.

Obrolan Keira dan Seno terhenti karena suara decitan mobil yang masuk ke pekarangan rumah nenek Keira. Keira sendiri bingung, karena sepertinya dia tidak menunggu tamu lain. Belum sempat Keira bertanya siapa tamunya, sopir dari mobil itu keluar dan membuka pintu belakangnya. Keira hafal, itu Pak Jo, sopir keluarga Winza. Betapa terkejutnya Keira ketika melihat Winza berjalan tertatih ke arahnya, dibantu dengan kruk yang menyangga sikunya di sebelah kanan.

“Siang, Keira,” sapa Winza pelan, melirik kepada lelaki yang masih duduk di ruang tamu Keira

“Ada perlu apa ya?” tiba-tiba lelaki bernama Seno itu menyela, membuat Winza memutar bola matanya malas.

“Anda sendiri, ngapain?” balas Winza sengit

“Oh, saya mau ngelamar Keira,” jawab Seno yang membuat Keira kaget. Dari tadi hanya ngobrol sekarang malah melamar. Terlebih, tiba-tiba Seno mengeluarkan kotak cincin dari sakunya.

“Halah,” Winza tertawa, membuat Keira bingung, “Pak Jo, tolong ambilin ya.”

“Oke, Non,” Pak Jo sesuai instruksi dengan sigap membuka bagasi BMW yang dikendarai tadi, mengeluarkan dua kotak besar dan juga buket bunga.

“Winza...” Keira terkejut, “Kamu ngapain?”

“Menuhin janji aku,” jawab Winza, “Jadi Keira, do you want to take the chance, with me?

“Apaan sih, main serobot aja,” Seno mulai naik pitam karena dia merasa Keira sudah mulai menerimanya.

“Anda jangan main-main,” Winza masih berdiri dengan tegak sebelum meraih tangan Keira.

“Mas, maaf ya. Kamu bisa pulang,” kata Keira pelan

“Dia ini yang bikin kamu gabisa move on?” Seno menunjuk Winza dengan jarinya, “Emang bener-bener ya, rugi waktu aku sama kamu!”

“Aku uda bilang masih belum mau mulai hubungan baru, tapi Mas sendiri yang maksa lewat keluargaku. Aku nerima Mas dateng ke sini, ya karena Mas uda bilang ke semua orang. Aku gamau Mas malu ya.”

Seno menghembuskan nafas keras. Dia pikir jalur keluarga bisa menaklukkan wanita yang sudah dia sukai sejak 15 tahun yang lalu itu. Ternyata masih gagal.

“Yasuda kalo begitu. Aku pamit. Anggap aja kita tidak pernah nyaris menikah.”

“Kita emang gapernah ngomongin ke sana?” Keira mulai kesal, “Mas sendiri yang selalu mengira arahnya ke sana, padahal Mas gada usahanya buag aku selain deketin keluargaku.”

Seno mengusap wajahnya lelah, sebelum berbalik badan meninggalkan ruang tamu yang terletak di teras itu.

“Jadi itu, yang sempat membuatmu goyah?” tanya Winza yang sudah duduk di kursi

“Persistensinya patut diacungi jempol,” Keira mengendikkan bahunya cuek, “Daripada ga diusahain?”

Winza tertawa, “Kan kamu yang ngeblok jalannya.”

“Ya usaha dikit?”

“Ini usaha,” Winza menunjuk kakinya yang masih dibalut perban, “Capek sih.”

“Jadi, apa mau kamu? Emang Bu Jess uda ngerestuin?”

“Tentu belum. Makanya aku ke sini. Aku mau ngeyakinin kamu dulu, baru ke Bunda. Aku uda pernah kehilangan kamu sekali, dan kali ini aku mau ambil semua resiko itu.”

“Termasuk resign?”

“Yep. Semua hidupku diatur Bunda. Ini pilihanku, aku gamau keulang tiga tahun lalu.”

Keira tersenyum. Dia bangkit dari duduknya dan memeluk leher Winza.

“Aku seneng kamu ke sini.”

Bagi Winza itu semua terdengar seperti aku masib mencintaimu, Winza

“Keira, jika memang nantinya Bunda masih sulit menerimamu. Maukah kamu terus berjuang bersamaku?”

“Aku mau.”

cw// disaster

Merokok adalah kebiasaan yang mungkin tidak pernah Winza bayangkan akan dia lakukan di masa depan. Masih membekas mengenai sakit yang dia derita sampai harus masuk rumah sakit, nyaris meninggal dan banyaknya syarat yang harus dia lakukan di kemudian hari.

Namun itu semua hanya dia lakukan sekadarnya. Toh Winza tidak lagi memiliki semangat hidup sejak Keira meninggalkannya dan memutus semua kontak kepadanya.

Memang masih ada Kevin, adik Keira itu masih bekerja di Blanc Eclare, bahkan di divisi yang Winza menjadi manajer. Namun menghormati Keputusan Keira, Winza tidak berusaha lagi untuk mencari Keira. Karena Winza tahu, jika Bundanya mengetahui dia berusaha mencari informasi mengenai Keira, maka Keira bisa disembunyikan oleh Bundanya.

Sesuai dengan saran Joshua, Winza lebih memilih menyibukkan diri dengan beberapa aktivitas. Terkadang camping sendiri, bermain gitar, atau hash. Walaupun sekarang dia menjadi perokok berat, tidak menghalangi aktivitas outdoor yang dia lakukan.

Seperti yang sedang Winza lakukan sekarang, menikmati udara pegunungan di daerah selatan Jawa Tengah. Lahan camping ini cukup luas, walaupun hanya beberapa orang yang sedang membangun tendanya. Ada yang sedang bersama keluarga, ada juga yang solo seperti Winza. Kebetulan memang sedang musim hujan, sehingga tidak banyak yang sedang berkemah di tempat ini.

Winza menghisap batang kedua sore ini. Sembari duduk di kursi lipat, air putih di dekat kakinya, serta pemandangan yang indah di depan sana, setidaknya membuat suasana hati Winza tenang.

“Udah tiga tahun ya, ga denger kabar Keira,” gumam Winza pada dirinya sendiri, “Semoga dia sehat, dimanapun dan sama siapapun.”

“Permisi,” suara lelaki paruh baya mengejutkan Winza yang asyik melamun.

“Ya?”

“Maaf, Kak. Boleh saya pinjam korek? Saya mau nyalain api ternyata koreknya agak susah.”

Winza mengangsurkan korek dari kantongnya, “Ambil aja, Mas. Saya masih punya.”

“Makasi, Kak.”

Winza mengekori langkah lelaki itu dengan matanya. Ternyata pasangan lelaki bersama dengan anak kecil lelaki juga. Mereka sepertinya keluarga baru.

“Dulu sempet punya mimpi kaya gitu,” Winza kembali bergumam, “Kemana ya mimpinya itu.”

Winza kembali tersenyum miris. Perginya Keira dari hidupnya membuat dia seperti kehilangan arah dan tujuan. Memang dia tidak lagi mencari wanita untuk ditiduri sana-sini. Dia lebih memilih merokok dan mabuk, katanya kalaupun mati tidak akan merugikan orang lain.

Ketika malam tiba, seperti biasa di lahan perkemahan biasanya saling menawarkan makan malam mereka. Namun Winza menolak, dia bilang dia ingin tidur saja. Suara keramaian masih bisa didengar oleh Winza, sepertinya yang lain berkumpul bersama dan menikmati makan malam mereka. Winza memilih memakan cold-sandwich yang dia beli di perjalanan sebelum berbaring di bawah selimutnya, menikmati udara dingin yang melewati celah tenda. Perasaan Winza baru tidur sejenak ketika dia mendengar teriakan dari luar.

“Longsor longsor!!!!” teriakan itu dibarengi dengan teriakan-teriakan dan tangisan lainnya. Winza langsung menarik jaket dan tasnya, beruntung tida selalu meletakkan barang-barang pentingnya dalam satu tas. Dengan cepat, dia berlari keluar. Suasana di luar sangat mengerikan karena semua orang berhamburan dan berteriak. Winza merasa dia mendengar suara Keira di tengah keributan itu, tetapi dengan cepat dia mengabaikannya dan berlari ke arah yang berlawanan dengan longsor. Winza melompat ke sebuah pondok kecil yang terlihat kokoh, ternyata sudah ada beberapa orang di sana. Suara dentuman keras mulai berhenti, Winza dan beberapa orang menyalakan senter mereka dan melihat bahwa lahan perkemahan serta jalan menuju parkir kendaraan dan kantor perkemahan tertutup oleh tanah longsor.

“Adakah orang?” tiba-tiba terdengar suara dari arah longsoran, seseorang berusaha berjalan walaupun sepatu dan celananya terkena lumpur.

“Di sini!” sahut Winza, bersama dengan lelaki di sebelahnya membantu orang tersebut. Mereka berdua membawanya ke depan pondok dan membantunya duduk. Winza bisa melihat rompi bumi perkemahan ini dipakai oleh lelaki yang barusan dia tolong.

“Saya Ndaru,” kata laki-laki tersebut, “Tadi kami mendapatkan peringatan mengenai longsor. Ketika kami berjalan ke arah sini, tiba-tiba longsornya datang dan sangat besar, membuat kami semua berhamburan.”

“Teman-teman kamu, mana?” tanya laki-laki yang daritadi bersama Winza

“Saya ndatau,” Ndaru mengembuskan nafasnya, “Saya tadi langsung lari aja menjauhi longsor. Apakah ada orang di pondok?”

“Sepertinya ada beberapa, tadi kami belum ngecek, aku dan mbak… sori aku Mike, kamu?” lelaki bernama Mike itu menjulurkan tangannya

“Winza,” Winza menjabat tangan Mike singkat, “Ayo kita cek pondok. Dan bisa menjadi tempat perlindungan kita.”

Ndaru menyalakan lampu daruratnya, sedikit bersyukur karena lampu kotak itu tidak mati terkena lumpur. Dengan sigap, dia mencari gantungan di dalam pondok dan memasangkan lampu itu, sembari mengecek isi pondok. Sekilas, Winza bisa mendengar beberapa tangisan anak kecil di dalam.

“Malam, saya Ndaru dari bumi perkemahan. Mohon maaf atas ketidaksigapan kami, kami sendiri tidak menyangka akan terjadi longsor yang sangat besar. Akses keluar tertutup total, dan tim saya juga masih belum ada kabar. Untuk itu, mungkin kita akan bertahan sejenak di tempat ini.”

“Apakah tidak bisa menghubungi polisi?” salah satu dari mereka beritanya

“Akan saya usahakan. Sebelum itu, saya izin menghitung dan mengecek yang ada di sini ya.

Selagi Ndaru menghitung orang yang ada di dalam pondok, mata Winza tidak sengaja menatap seorang wanita yang duduk terkulai bersama dengan yang lain. Ya, wanita itu sangat Winza kenal. Keira Agatha.

“Keira…” Winza tidak bisa menahan mulutnya untuk sekedar mengucapkan nama yang selalu dia rindukan itu.

“Oh, kenal, Mbak?” Ndaru beritanya ketika sedang mencatat

“Iya… Dulu temen sekantorku,” jawab Winza cepat. Tidak mungkin dia akan mengatakan bahwa wanita di depannya itu adalah kekasih hatinya yang pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata apapun.

Ndaru sudah selesai melakukan pencatatan. Ada dua keluarga kecil dengan satu anak, salah satunya adalah pasangan lelaki yang menawari Winza makan bersama tadi, lalu ada tiga laki-laki dan dua perempuan solo travelling termasuk Winza dan Keira. Total ada 12 orang termasuk Ndaru.

“Kapankah kita akan diselamatkan,” tanya Mike khawatir, karena hujan mulai turun dan ditakutkan ada longsor lanjutan

“Ini saya masih berusaha menghubungi,” Ndaru beberapa kali memencet radionya, berharap ada balasan lain selain suara buzz yang dari tadi terdengar

“Halo, halo!” suara teriakan terdengar dari radio, yang disambut dengan cepat oleh Ndaru.

“Ndaru di sini!”

“Ndaru, apakah kamu selamat? Bersama siapa sekarang? Posisi dimana? Ganti.”

“Sementara iya, namun saya ndatau yang lain. Sekarang saya bersama 11 orang yang berteduh di pondok kecil. Posisi saya ada di Tenggara arah longsor. Ganti.”

“Damkar dan Polisi sedang berusaha membuka longsor. Helikopter tidak bisa diterbangkan karena jarak pandang yang sangat terbatas. Apakah perbekalan cukup? Ganti.”

“Kami tidak bisa memastikan. Hanya saja kami bisa bertahan sebentar asalkan tidak ada longsor susulan. Ganti.”

“Baik Ndaru, harap ditunggu. Tetap bersama dan saling menjaga. Ganti.”

“Baik,” Ndaru menutup komunikasinya, “Semua tenang ya. Kita diharapkan sabar dan terus menjaga.”

“Kamu terluka,” kata Keira pelan ketika melihat Ndaru kesusahan untuk duduk

“Saya ada kotak P3K,” sahut ibu muda yang sedari tadi menenangkan anaknya. Perlahan dia mengangsurkan kotaknya ke Keira

“Kamu juga luka,” Winza menghentikan Keira yang barusan meringis, tangannya berdarah, “Ibu, bisakah membantu Mas Ndaru? Saya obati Mbak Keira dulu.”

Ibu itu hanya mengangguk dan mengambil alih kotak P3K, sembari Winza juga membersihkan luka di lengan bawah Keira. Keduanya hanya terdiam, walaupun sebenarnya banyak yang ingin disampaikan.

****

Malam sudah mulai beranjak. Winza melirik jam tangannya, sudah pukul 3 pagi. Terlihat kabut mulai turun dan beberapa orang sepertinya merasa kedinginan. Terlihat Ndaru tidur terduduk sambil memegang radionya.

Mike izin untuk masuk ke dalam pondok setelah menemani Winza merokok.

“Kok ga tidur,” terdengar suara Keira menyapa pendengaran Winza, membuat wanita yang akan mengambil batang selanjutnya, menghentikan aktivitasnya.

“Eh, kamu juga ga tidur,” Winza salah tingkah

“Barusan aja tidur. Trus kebangun, anginnya dingin,” jawab Keira pelan, “Sejak kapan?”

“Oh,” Winza memainkan korek di tangannya, “Dua bulan abis kamu pergi, ngeblok semua kontakku.”

“Maaf,” bisik Keira pelan

“Sepertinya gausah ngomongin yang udah-udah,” Winza terkekeh, “Kamu gimana kabar? Sekarang ngapain?”

“Aku di Solo, sama Yangti,” jawab Keira, “Sekarang buka toko kelontong aja di rumah. Lumayan uang pesangon bisa buat modal usaha.”

“Are you happy, now?” tanya Winza getir, suaranya sedikit bergetar

“I'm trying,” Keira menjawab dengan pelan, dia tahu dia bisa runtuh begitu saja, “Kamu?”

“Bahagiaku kan kamu,” kata Winza, matanya tidak lagi menatap langit, melainkan Keira yang duduk di sampingnya

“Lucu kalo diinget aku pernah bilang kalo jodoh, kita pasti bertemu lagi,” tawa Keira terdengar getir, “Tapi aku tetep ga yakin, Winza.”

“Gapapa. Mungkin emang akhirnya demikian,” tukas Winza, “Let's trying to be happy. But I need to tell you that's there would be no one after you.”

“What if I.... found someone after you?” tanya Keira ragu

“Do you?” Winza mulai merasa bahwa dunianya mulai runtuh

“Uda banyak yang nanyain aku... Lewat aku sendiri maupun Yangtiku.”

“Adakah yang menarik perhatianmu?”

Keira dengan ragu mengangguk, “Masih dalam tahap pendekatan aja. Belum tahu mau dibawa kemana.”

Winza menunduk, menahan air matanya untuk jatuh, “Good for you,”

“Makasih. You should find someone after me.”

“Enggak. Walaupun aku mati, aku ga akan cari orang lain selain kamu.”

“Kenapa, Winza? Kenapa kamu harus kaya gini?”

“Aku pengen egois, Keira!” Winza sedikit menaikkan suaranya, “Seumur hidupku aku pengen dapet apa yang aku pengen sendiri. Dan itu kamu.”

Keira baru akan menjawab ketika suara buzz dari radio milik Ndaru terdengar lagi.

“Ndaru, masuk Ndaru. Regu penyelamat sudah hampir berhasil membuka jalan. Infokan posisi, ganti.”

“Kami tidak punya suar komandan. Ganti.”

“Gunakan senter, sorotkan ke arah langit Tenggara. Ganti.”

“Baik, kami sediakan empat senter untuk menyorotkan. Willco.”

Ndaru berdiri dan memanggil Winza, Keira, Mike dan satu lelaki lagi yang masih terjaga. Setelah memberikan instruksi, mereka berjalan bersama mencari titik yang aman untuk menyorotkan senter. Baru beberapa langkah, tiba-tiba Mike terperosok dan Keira dengan sigap menariknya. Namun justru itu membuat dirinya terjatuh. Keira sudah pasrah jika memang ini adalah akhir hidupnya karena dia bisa melihat lubang di bawah. Suara benturan terdengar, tapi Keira tidak begitu merasa sakit. Begitu dia membuka mata, ternyata dia jatuh di pelukan seseorang. Tangan yang familiar itu merengkuhnya dari belakang.

“Mbak Keira! Mbak Winza!” suara Mike terdengar, bersama dengan lampu senternya, “Mbak Winza kepalanya luka, Mas Ndaru. Lubangnya sekitar 1.5 meter ini kayaknya.”

“Ada korban jatuh, paramedis disegerakan. Ganti,” kata Ndaru

“Roger that,” balas di radio

“Mbak Keira, tahan dulu ya. Ini segera datang, kami sorotkan senter dulu,” kata Ndaru

“Winza, sakit ya?” tanya Keira pelan, mengusap tangan Winza yang memeluknya

“Pusing, Kei,” keluh Winza, “Tapi gapapa bisa meluk kamu.”

Keira tersenyum. Pelukan Winza terasa sangat hangat.

“Tahan ya, Winza. Regu penyelamat akan segera datang. Kamu jangan merem ya.”

“Keira aku boleh cium kening kamu ga?”

“Boleh,” Keira merasakan kecupan kecil di keningnya. Membawanya ke memori tiga tahun yang lalu. Membawanya ke semua kehangatan dari Winza.

“Keira. Apapun yang terjadi, aku sayang kamu. Kalaupun akhirnya kamu jadi milik orang lain, aku gapapa. Asalkan kamu bahagia ya, kalo sampe orang itu bikin kamu sedih, aku yang bakal maju.”

“Kamu beneran ngomong kaya gini?”

Winza terkekeh pelan, “Sebenernya aku pengen minta kesempatan sekali lagi. Aku janji aku bakalan usaha lebih keras buat dapetin kamu. Kalopun Bundaku masih bersikeras, aku bakalan cari cara buat dapetin restu. Aku maunya cuma kamu, Keira. Jangan pergi dari aku ya?”

Keira sedikit trenyuh mendengar pernyataan Winza. Memang benar jika sulit melupakan Winza. Memang benar mereka bahkan belum mencoba untuk berjuang.

“Menurut kamu, apakah kita bisa coba itu bareng?”

Pertanyaan Keira tidak segera dijawab, membuat Keira melirik khawatir kepada Winza yang meletakkan kepalanya di atas kepala Keira.

“Winza... Winza bangun Winza....”

Menenangkan Keira selalu menjadi pekerjaan berat bagi Winza. Entah kenapa dirinya selalu ikut bersedih jika melihat Keira sedih. Namun seiring waktu berjalan, Winza memiliki beberapa cara untuk memahami dan menemani Keira di saat sedih, salah satunya adalah mengajak makan dan jalan-jalan malam. Tentu semua dilakukan tanpa harus bertanya kenapa sedih dan semacamnya.

“Makan sushi atau steak?” tanya Winza ketika Keira memasang sabuk pengamannya.

“Sushi boleh. Di resto yang arah tol itu kayaknya enak,” jawab Keira

“Okee,” Winza menyalakan mobilnya dan mulai melajukannya. Tanpa harus banyak kata-kata, Winza mulai meraih tangan Keira yang dia letakkan di pahanya. Winza menggenggam tangan kecil itu, mengusapnya pelan sambil tetap konsentrasi menyetir.

Restoran sushi yang mereka datangi tidak terlalu besar, namun makanannya cukup enak, membuat kondisi restoran terlihat cukup penuh. Beruntung bagi keduanya masih mendapatkan meja di pinggir sehingga tidak terlalu terganggu dengan keramaian di restoran.

“Enak, Sayang? Salmonnya?” tanya Keira ketika Winza mulai mengunyah makanan favoritnya.

“Iya hehe, untung masih ada ya,” Winza terus mengunyah.

“Makan yang banyak.”

“Kamu juga,” Winza tersenyum kepada istrinya.

Winza sengaja tidak memesan dessert, dia mengatakan pada Keira untuk memesan di tempat lain sembari menghabiskan waktu.

Dan mereka sekarang sedang menikmati es krim yang dibeli dari sebuah kios dan duduk di kursi taman kota.

“Kamu random banget, Sayang,” Keira terkekeh melihat Winza mengayunkan kakinya ke depan dan ke belakang sembari menikmati eskrim cone yang dia beli tadi, sedangkan Keira menikmati yang di dalam cup.

“Mumpung kita agak longgar kerjaannya,” kata Winza sambil tersenyum, “Gada lemburan juga. Aku dari dulu pengen kaya gini, tapi susah.”

“Keturutan pas sama aku ya?”

“Iya, Sayang. Banyak banget hal pertama kali yang aku lakuin sama kamu,” Winza menoleh ke samping, melihat wanita yang dicintainya membalas senyumannya, “Beruntungnya aku.”

“Apa bener kamu beruntung?” tiba-tiba mood Keira berubah, Winza mengira istrinya akan membahas mengenai kejadian tadi siang.

Winza menghabiskan cone-nya dengan segera, mengelap jari-jarinya dengan tisu basah dan membuangnya di tempat sampah. Semua itu dia lakukan dengan cepat untuk segera menggenggam tangan Keira.

“Sayang, aku selalu merasa beruntung ketemu sama kamu,” Winza mengusap punggung tangan Keira dengan jempolnya

“Tapi aku uda bikin semuanya berantakan. Aku bikin kamu malu gara-gara mantan ibuku. Kamu jijik ya sekarang sama aku?”

“Kenapa aku harus jijik? Baby, tadi bunda chat untuk memastikan bahwa dia mau ngelakuin sesuatu ke ibu kamu. Tapi aku cegah, kamu yang bilang itu ke aku tadi. Walaupun aku pribadi uda marah banget liat kamu digituin, Sayang.”

Keira mulai terisak.

“Sayang, siapapun kamu di masa lalu, siapapun ibu kamu, tidak akan mengubah kenyataan bahwa aku mencintaimu, Keira Agatha. Dan tidak akan berubah begitu saja.”

Ungkapan dari Winza membuat Keira kembali menangis, membiarkan Winza menariknya ke dalam pelukan hangat dan menghiburnya. Yang Keira butuhkan adalah Winza, dan Winza tahu itu.

Firasat buruk terus menghantui Keira, bahkan sejak dia berada di lift turun menuju lobi utama kantornya. Siapa lagi yang akan mencari Kevin dan Keira secara bersamaan, tentu bukan Katherine.

“Kak...” Kevin menyapa Keira yang terburu-buru keluar dari lift. Sepertinya Kevin menggunakan lift lain untuk turun.

“Vin, ini ga kaya yang gue kira kan?” Keira sedikit bergetar

“Takutnya gitu, Kak,” Kevin meraih tangan Keira untuk mempercepat langkah mereka.

Benar saja, di lobi terlihat wanita paruh baya yang berteriak lantang kepada satpam yang mengelilinginya.

“Panggil Keira Agatha dan Kevin Alberto. Sekarang!!” teriak wanita itu lagi.

Kevin dan Keira datang dari arah depan kerumunan, membuat salah satu satpam menggeser badannya dan memberikan laporan.

“Bu Keira, Mas Kevin, ini daritadi ibu ini memaksa untuk menemui kalian. Sudah kami tanya baik-baik namun responsnya seperti ini, kami...”

“Heh!!” teriak wanita itu, membuat satpam yang sedang menjelaskan situasi terkejut.

“Oh, ini. Anak-anakku yang durhaka!” wanita itu menunjuk wajah Keira dan Kevin bergantian. Tatapannya penuh amarah, “Bisa-bisanya kalian tidak pernah sekalipun memperdulikan kondisi mama kalian ini?! Dasar anak tidak tahu diuntung semua!!”

“Ibu ninggalin kami lebih dari 10 tahun yang lalu,” Keira melangkah maju, menolak memanggil wanita di depannya dengan panggilan “mama”

“Lalu itukah alasan kenapa kamu sama sekali ga ngontak mama?! Tiba-tiba sudah menikah, denger-denger kamu barusan keguguran ya? Pantas buat anak durhaka sepertimu!”

“Ibu kalo tidak bisa mengatur omongan, mendingan pergi. Apa yang ibu inginkan setelah nelantarin kami, bu?” Kevin menengahi, karena dia tahu Keira sangat shock dengan ucapan sebelumnya.

“Berani kamu sama ibu?!”

“Apa ini ribut-ribut?” suara yang cukup keras datang dari arah samping. Terlihat Winza berjalan bersama dengan Jackson ke arah kerumunan. Belum saja Jackson maupun Winza mengatakan sesuatu, wanita paruh baya tadi sudah berteriak kembali.

“Oh, kamu menantu saya? Kenal ga sama saya? Pasti kamu dipengaruhi jelek sama anak saya.”

Winza selalu sabar dan pintar mengontrol emosinya, tapi tidak untuk masalah yang berkaitan dengan Keira. Wajahnya memerah, dia mengambil langkah lebar mendekati wanita yang sedari tadi terus berteriak. Namun langkahnya terhenti, Keira memeluknya dari depan.

“Enggak, Sayang. Jangan,” bisik Keira pelan, berusaha menahan tangisnya karena malu melihat ibunya yang seperti ini. Keira perlahan meraih tangan Winza yang mengepal, menguraikannya sebelum menyelipkan jari-jarinya. Dengan begitu, Keira bisa menggenggam tangan Winza.

Melihat situasi Winza yang bisa ditahan Keira, Jackson mendekati wanita paruh baya itu.

“Anda bisa dipolisikan dan tentu akan sulit membantu anda,” Jackson meminta salah satu satpam mengambil kotak kartu yang tersedia di resepsionis; kartu nama perusahaan yang berisi informasi kontak kantor resmi, “Ibu silakan menghubungi kontak yang ada di sini jika ingin bertemu Keira ataupun Kevin, atau bahkan mungkin Winza secara formal. Jika kami mendapati ada keributan seperti ini lagi, ibu bisa saya polisikan. Sekarang, silakan meninggalkan kantor kami. Terimakasih.”

Jackson memberikan kartu nama itu kepada wanita itu dan meminta satpam mengantarkannya keluar. Jackson juga meminta kerumunan untuk bubar.

Let's talk in your room,” ajak Keira, meminta Kevin juga mengikutinya.

****

Winza dan Keira segera masuk ke ruangan Winza, diikuti dengan Kevin dan Juwita.

Who was that woman and why did she call out you and Kevin?” tanya Winza, lebih ke menggeram dibanding bertanya.

Keira memegang kedua tangan Winza agar wanita itu tidak menggaruk kepalanya atau melakukan tindakan lain, sebuah gestur untuk menenangkan istrinya itu.

“Itu mantan ibu kami,” jawab Keira pelan, “Semenjak kami tahu dia selingkuh, nelantarin Papa dan kami semua, kami sudah menganggap dia tidak ada.”

“Terakhir kami bertemu, sebulan setelah Kak Kath menikah,” tambah Kevin, “Waktu itu dia datang ke rumah Solo. Sama kayak tadi, tiba-tiba marah dan ngatain kami. Cuma karena posisinya di rumah keluarga Papa, dia langsung diusir. Mungkin sekarang kasusnya beda.”

“Aku bakalan bikin dia nyesel, aku...” kalimat Winza terpotong ketika Keira memeluknya erat. Istrinya itu meletakkan dagunya di bahu Winza sembari menghela nafas panjang.

“Jangan. Bagaimanapun, dia pernah jadi ibu kami.”

Winza menepuk bagian sampingnya, sudah kosong. Seperti biasa, Keira sudah bangun duluan walaupun akhir pekan seperti ini.

Jam dinding menunjukkan pukul 9 pagi, Keira mungkin sudah berada di dapur.

Winza melangkahkan kakinya ke dapur, dan benar saja, Keira sedang berdiri di dekat kulkas sambil menuangkan air putih ke gelas.

“Minum?” tanya Keira ketika istrinya berdiri di depannya. Winza mengangguk, menunggu Keira menuangkan air ke gelas bekas minumnya; mereka berdua biasa melakukan itu.

Keira baru akan mengangkat gelas dari meja dapur ketika Winza justru memangkas jarak di antara mereka; memeluk pinggang istrinya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya meraih gelas itu. Keira yang mendapatkan gerakan mengejutkan tersebut, terhenyak sesaat sebelum menyelipkan kedua lengannya di bawah milik Winza dan menariknya ke dalam pelukan.

Hangat, setidaknya itu yang dirasakan Keira setelah kemarin merasa istrinya cukup dingin padanya.

Keira bisa mendengar dengan jelas setiap tegukan air yang diminum Winza, karena dirinya meletakkan kepala di bahu kiri istrinya.

Elusan lembut bisa Keira rasakan di kepalanya setelah Winza meletakkan gelas di meja dapur.

“Sarapannya pesen aja ya? Kamu keliatan capek,” kata Winza pelan, masih mengusap lembut rambut panjang Keira.

“Boleh,” jawab Keira pelan, sebelum Winza melepaskan pelukannya dan menarik istrinya ke sofa ruang tengah. Dengan gesturnya yang lembut, Winza merebahkan dirinya di sofa dan menarik Keira untuk merebahkan diri di atasnya. Winza juga dengan cepat merangkul bahu Keira, menyesuaikan posisi agar mereka berdua nyaman, sembari Winza mencari sarapan yang tepat untuk hari ini.

“Makan apa, Baby?” tanya Winza

“Ta Wan udah buka belum, Sayang? Pengen buburnya.”

“Harusnya sih udah, udah jam 10 kok,” Winza mencari nama restoran yang diinginkan istrinya, “Uda buka nih, aku pesen ya.”

Mereka berdua kembali terdiam di ruang tengah. Suara hembusan nafas keduanya, Winza yang masih mengelus pelan kepala istrinya, Keira yang beberapa kali mengubah posisi kepalanya, sesekali memberikan kecupan di leher Winza. Cukup damai untuk Minggu yang mendung ini.

“Kamu jangan kebiasaan obatnya diskip, itu buat tekanan darah kamu stabil,” kata Keira tiba-tiba, membuat Winza tidak jadi tertidur.

“Iya hehe.”

“Rabu kemarin kamu ngeluh pusing kan, itu abis makan bebek goreng. Ga minum obat juga.”

“Itu diajak Pak Agus soalnya, trus ketinggalan obatnya.”

“Pinternya kalo cari alasan yaaa...”

Winza terkekeh sebelum menunduk dan mengecup bibir Keira. Tidak hanya itu, Winza kembali menciumi pipi dan bibir Keira berkali-kali, membuat istrinya tertawa.

“Maaf yaa.”

“Dimaafin,” Keira membalas kecupan di ujung hidung mancung Winza.

Mereka kembali terdiam sembari menunggu pesanan ojek online.

“Sayang, maaf ya kalo aku kadang masih belum bisa jadi istri yang baik buat kamu,” kata Keira ketika membuat pola random di tulang selangka Winza dengan telunjuknya.

Winza bergerak sedikit, tapi terhenti karena Keira meremas kerah kaosnya, membuatnya kembali terdiam.

“Aku harap, kamu ga berpikir bahwa aku bukan pilihan yang tepat buat kamu. Bahwa aku tu cuma penghambat di setiap jalan yang pengen kamu ambil.”

Winza mengecup puncak kepala Keira sejenak sebelum mengucapkan kalimat yang membuat Keira menangis pagi ini.

“Keira, I always feel so lucky for having you as my wife because whenever I took a wrong turn, I still have you as my way back.

“Aku telepon Mario dulu ya? Ini ada yang mau ditanyain soal pengadaan,” kata Winza kepada Keira yang duduk di sebelahnya. Istrinya itu mengangguk pelan, sembari mendengarkan Winza meminta izin kepada yang duduk di meja untuk pergi sebentar ke tempat yang lebih tenang.

“Lo lagi berantem sama Winza?” tanya Mikha tiba-tiba ketika Winza sudah meninggalkan meja.

Pertanyaan tersebut membuat Keira membulatkan kedua matanya, kaget dengan pertanyaan dari Mikha.

“Gue juga ngerasa something off sih,” tambah Ningtyas. Gisella yang memang terkenal tidak terlalu peka mengangguk pelan, berusaha memahami situasi. Begitu juga dengan Yuna, kekasih Mikha yang baru dia kenalkan secara resmi kepada sahabat-sahabatnya.

“Emang keliatan?” tanya Keira pelan setelah meneguk minumannya.

Well,” Mikha menangkupkan kedua tangannya, “Keliatan banget. Kalo lo pesen steak, Winza selalu motongin steak elo sebelum lo makan. Tadi bahkan dia ga ngambil piring lo ketika pesenannya dateng.”

“Trus gesturnya kelihatan,” Ningtyas terkekeh, “Dia kalo duduk sama Kak Keira tu kaya bapak-bapak kalo kakak ga sadar. Biasanya tangannya ditaroh belakang bahu Kak Keira, atau kalo ga di pinggang. Ini tadi kedua tangannya di atas meja semua.”

Keira menghela nafas, memang percuma menutupi dari sahabat-sahabatnya.

“Kita semalem bertengkar, bahkan sampai subuh kita masih belum bisa tidur yang proper,” Keira mengambil gelasnya lagi, membahasi tenggorokannya yang kering, “Tapi kita tetep pengen dateng buat ngehargain undangan Mikha, maafin gue ya Yuna, first impression lo ke kita malah jelek.”

“Santai aja, Kak,” Yuna tersenyum manis, “Kita masih punya banyak kesempatan kok.”

“Jadi ada apa? If you don't mind buat cerita,” kata Gisella

“Winza nolak ide buat program punya anak lagi. Dia bilang dia ga tega liat gue sakit dan sampai masuk rumah sakit kaya kemarin. Dia naikin suaranya, gue juga. Gue bilang ke dia kalo dia ga ngertiin maunya gue,” jelas Keira

Semua yang di meja terkesiap mendengar cerita dari Keira, memang tidak disangka Winza dan Keira bisa memiliki perbedaan mendasar terkait hal seperti ini.

“Lo mending ambil liburan bentar berdua deh. Kalo emang gabisa buat diomongin, at least lo bisa nenangin diri. Lepas bentar kesibukan kalian, gausah lama-lama tapi, bisa sinting di kantor,” kata Gisella yang mendapat anggukan dari Keira.

“Trus ya,” sambung Mikha, “Kayaknya emang Winza ga ngerti mau lo apa. Kenapa ga buat dia ngerti mau lo?”

Keira baru akan menjawab ketika dia sudah mendengar langkah Winza mendekat.

“Maaf lama,” Winza tersenyum dan menepuk bahu Keira pelan. Benar kata Ningtyas, tidak biasanya Winza meletakkan kedua tangannya di atas meja kecuali ketika sedang makan.

“Eh katanya Yuna mau nanyain supplier sirup Vanila?” Ningtyas berusaha mencairkan suasana di meja, takut jika tiba-tiba mereka terdiam dan Winza merasa tidak nyaman.

“Oh iya benar,” Yuna menanggapi, “Punya gue agak susah, kata Kak Mikha, supplier Kak Winza cukup bagus.”

“Memang sih, cukup stabil juga terkait harga walaupun banyak kenaikan. Gue ga nyimpen nomornya, biasanya yang pegang temen gue,” Winza merogoh dompetnya dan mengambil kartu nama, “Ini kontaknya Mario, yang pegang supplier. Ntar langsung hubungin dia aja, gue ntar kabarin dia kalo lo bakalan kontak.”

“Oke makasi ya, Kak.”

Obrolan di meja mulai mencair. Pembahasan mereka beragam dari rencana pernikahan Gisella dan Ningtyas yang sudah mulai dibahas, rencana Mikha dan Yuna ke depannya. Sebisa mungkin, mereka menghindari obrolan terkait dengan rencana ke depan kepada Winza dan Keira.

Terlebih, Keira terus memperhatikan Winza yang seakan berjarak dengannya.

“Udah nyuci piringnya, Sayang?” tanya Keira pada Winza yang barusan mengelap tangannya ke tisu, “Ga gatel lagi kan tangannya?”

“Enggak kok,” Winza menunjukkan tangannya, beberapa waktu yang lalu Winza mengeluhkan tangannya yang kemerahan dan gatal setelah mencuci piring, ternyata ada bahan di salah satu sabun cuci piring yang biasa Keira gunakan. Tentu saja setelah itu Keira langsung mengecek semua kandungan produk pembersih agar tidak menimbulkan reaksi alergi kepada istrinya itu.

moodnya lagi bagus banget nih batin Keira

“Sayang....” panggil Keira kepada Winza yang barusan menyalakan televisi. Biasanya di akhir pekan seperti hari Jumat ini, pasangan muda ini cenderung menghabiskan waktu di ruang tengah sembari menonton televisi atau Winza bermain konsolnya, dan mereka akan mengobrol sampai larut malam.

“Iyaa?”

“Besok Mikha ngajakin kita ke kafe pacarnya, sekalian mau ngenalin pacarnya itu ke kita-kita.”

“Oke, waktu makan siang?”

“Betul sekali,” Keira mengacungkan jempolnya pada Winza, membuat wanita yang lebih muda terkekeh kecil.

“Sayang, aku uda ngobrol sama Dokter Linda lagi,” kata Keira membuat Winza menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah Keira

“Kenapa??”

“Kenapa?” Keira mengangkat alisnya bingung, “Ya untuk program lagi.”

Winza tiba-tiba berdiri dan menatap Keira. Keira pun mengikuti istrinya berdiri dan mereka saling berhadapan.

“Kamu tuh mikirin diri kamu sendiri ga sih? Kamu lupa kondisi kamu kemarin?” cecar Winza yang membuat Keira terhenyak, Winza hampir tidak pernah menaikkan suara padanya.

“Sayang, ini tu buat kita juga,” Keira berusaha menjelaskan

“Aku ga setuju,” kata Winza cepat, seperti menjatuhkan bom kepada Keira, “It hurts me a lot when seeing you suffer like that before, aku gamau kamu tersiksa lagi, Keira.”

“T...tapi kan kita bisa usahain dulu,” Keira terbata

“Enggak, Sayang. Kenapa sih kamu harus maksain diri kamu kalo nantinya malah bakalan nyiksa kamu sendiri?”

“Kamu ga ngerti!” Keira berteriak, membuat Winza sedikit terkejut, “Kamu tu ga ngerti....”

Keira terduduk, menutup wajahnya dan mulai menangis.

Winza yang sempat terpaku, langsung mendekati Keira dan berlutut di hadapannya, memegang kedua pipi istrinya itu dan mengusap air mata yang terus mengalir.

“Maaf, maafin aku. Aku ga maksud bentak kamu, Sayang.”

Keira masih menangis tersedu-sedu, dan Winza tahu ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Perlahan, Winza duduk di sebelah Keira dan mendekap istrinya, membiarkan bajunya basah karena tangisan istrinya.