cw// disaster
Merokok adalah kebiasaan yang mungkin tidak pernah Winza bayangkan akan dia lakukan di masa depan. Masih membekas mengenai sakit yang dia derita sampai harus masuk rumah sakit, nyaris meninggal dan banyaknya syarat yang harus dia lakukan di kemudian hari.
Namun itu semua hanya dia lakukan sekadarnya. Toh Winza tidak lagi memiliki semangat hidup sejak Keira meninggalkannya dan memutus semua kontak kepadanya.
Memang masih ada Kevin, adik Keira itu masih bekerja di Blanc Eclare, bahkan di divisi yang Winza menjadi manajer. Namun menghormati Keputusan Keira, Winza tidak berusaha lagi untuk mencari Keira. Karena Winza tahu, jika Bundanya mengetahui dia berusaha mencari informasi mengenai Keira, maka Keira bisa disembunyikan oleh Bundanya.
Sesuai dengan saran Joshua, Winza lebih memilih menyibukkan diri dengan beberapa aktivitas. Terkadang camping sendiri, bermain gitar, atau hash. Walaupun sekarang dia menjadi perokok berat, tidak menghalangi aktivitas outdoor yang dia lakukan.
Seperti yang sedang Winza lakukan sekarang, menikmati udara pegunungan di daerah selatan Jawa Tengah. Lahan camping ini cukup luas, walaupun hanya beberapa orang yang sedang membangun tendanya. Ada yang sedang bersama keluarga, ada juga yang solo seperti Winza. Kebetulan memang sedang musim hujan, sehingga tidak banyak yang sedang berkemah di tempat ini.
Winza menghisap batang kedua sore ini. Sembari duduk di kursi lipat, air putih di dekat kakinya, serta pemandangan yang indah di depan sana, setidaknya membuat suasana hati Winza tenang.
“Udah tiga tahun ya, ga denger kabar Keira,” gumam Winza pada dirinya sendiri, “Semoga dia sehat, dimanapun dan sama siapapun.”
“Permisi,” suara lelaki paruh baya mengejutkan Winza yang asyik melamun.
“Ya?”
“Maaf, Kak. Boleh saya pinjam korek? Saya mau nyalain api ternyata koreknya agak susah.”
Winza mengangsurkan korek dari kantongnya, “Ambil aja, Mas. Saya masih punya.”
“Makasi, Kak.”
Winza mengekori langkah lelaki itu dengan matanya. Ternyata pasangan lelaki bersama dengan anak kecil lelaki juga. Mereka sepertinya keluarga baru.
“Dulu sempet punya mimpi kaya gitu,” Winza kembali bergumam, “Kemana ya mimpinya itu.”
Winza kembali tersenyum miris. Perginya Keira dari hidupnya membuat dia seperti kehilangan arah dan tujuan. Memang dia tidak lagi mencari wanita untuk ditiduri sana-sini. Dia lebih memilih merokok dan mabuk, katanya kalaupun mati tidak akan merugikan orang lain.
Ketika malam tiba, seperti biasa di lahan perkemahan biasanya saling menawarkan makan malam mereka. Namun Winza menolak, dia bilang dia ingin tidur saja. Suara keramaian masih bisa didengar oleh Winza, sepertinya yang lain berkumpul bersama dan menikmati makan malam mereka. Winza memilih memakan cold-sandwich yang dia beli di perjalanan sebelum berbaring di bawah selimutnya, menikmati udara dingin yang melewati celah tenda. Perasaan Winza baru tidur sejenak ketika dia mendengar teriakan dari luar.
“Longsor longsor!!!!” teriakan itu dibarengi dengan teriakan-teriakan dan tangisan lainnya. Winza langsung menarik jaket dan tasnya, beruntung tida selalu meletakkan barang-barang pentingnya dalam satu tas. Dengan cepat, dia berlari keluar. Suasana di luar sangat mengerikan karena semua orang berhamburan dan berteriak. Winza merasa dia mendengar suara Keira di tengah keributan itu, tetapi dengan cepat dia mengabaikannya dan berlari ke arah yang berlawanan dengan longsor. Winza melompat ke sebuah pondok kecil yang terlihat kokoh, ternyata sudah ada beberapa orang di sana. Suara dentuman keras mulai berhenti, Winza dan beberapa orang menyalakan senter mereka dan melihat bahwa lahan perkemahan serta jalan menuju parkir kendaraan dan kantor perkemahan tertutup oleh tanah longsor.
“Adakah orang?” tiba-tiba terdengar suara dari arah longsoran, seseorang berusaha berjalan walaupun sepatu dan celananya terkena lumpur.
“Di sini!” sahut Winza, bersama dengan lelaki di sebelahnya membantu orang tersebut. Mereka berdua membawanya ke depan pondok dan membantunya duduk. Winza bisa melihat rompi bumi perkemahan ini dipakai oleh lelaki yang barusan dia tolong.
“Saya Ndaru,” kata laki-laki tersebut, “Tadi kami mendapatkan peringatan mengenai longsor. Ketika kami berjalan ke arah sini, tiba-tiba longsornya datang dan sangat besar, membuat kami semua berhamburan.”
“Teman-teman kamu, mana?” tanya laki-laki yang daritadi bersama Winza
“Saya ndatau,” Ndaru mengembuskan nafasnya, “Saya tadi langsung lari aja menjauhi longsor. Apakah ada orang di pondok?”
“Sepertinya ada beberapa, tadi kami belum ngecek, aku dan mbak… sori aku Mike, kamu?” lelaki bernama Mike itu menjulurkan tangannya
“Winza,” Winza menjabat tangan Mike singkat, “Ayo kita cek pondok. Dan bisa menjadi tempat perlindungan kita.”
Ndaru menyalakan lampu daruratnya, sedikit bersyukur karena lampu kotak itu tidak mati terkena lumpur. Dengan sigap, dia mencari gantungan di dalam pondok dan memasangkan lampu itu, sembari mengecek isi pondok. Sekilas, Winza bisa mendengar beberapa tangisan anak kecil di dalam.
“Malam, saya Ndaru dari bumi perkemahan. Mohon maaf atas ketidaksigapan kami, kami sendiri tidak menyangka akan terjadi longsor yang sangat besar. Akses keluar tertutup total, dan tim saya juga masih belum ada kabar. Untuk itu, mungkin kita akan bertahan sejenak di tempat ini.”
“Apakah tidak bisa menghubungi polisi?” salah satu dari mereka beritanya
“Akan saya usahakan. Sebelum itu, saya izin menghitung dan mengecek yang ada di sini ya.
Selagi Ndaru menghitung orang yang ada di dalam pondok, mata Winza tidak sengaja menatap seorang wanita yang duduk terkulai bersama dengan yang lain. Ya, wanita itu sangat Winza kenal. Keira Agatha.
“Keira…” Winza tidak bisa menahan mulutnya untuk sekedar mengucapkan nama yang selalu dia rindukan itu.
“Oh, kenal, Mbak?” Ndaru beritanya ketika sedang mencatat
“Iya… Dulu temen sekantorku,” jawab Winza cepat. Tidak mungkin dia akan mengatakan bahwa wanita di depannya itu adalah kekasih hatinya yang pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata apapun.
Ndaru sudah selesai melakukan pencatatan. Ada dua keluarga kecil dengan satu anak, salah satunya adalah pasangan lelaki yang menawari Winza makan bersama tadi, lalu ada tiga laki-laki dan dua perempuan solo travelling termasuk Winza dan Keira. Total ada 12 orang termasuk Ndaru.
“Kapankah kita akan diselamatkan,” tanya Mike khawatir, karena hujan mulai turun dan ditakutkan ada longsor lanjutan
“Ini saya masih berusaha menghubungi,” Ndaru beberapa kali memencet radionya, berharap ada balasan lain selain suara buzz yang dari tadi terdengar
“Halo, halo!” suara teriakan terdengar dari radio, yang disambut dengan cepat oleh Ndaru.
“Ndaru di sini!”
“Ndaru, apakah kamu selamat? Bersama siapa sekarang? Posisi dimana? Ganti.”
“Sementara iya, namun saya ndatau yang lain. Sekarang saya bersama 11 orang yang berteduh di pondok kecil. Posisi saya ada di Tenggara arah longsor. Ganti.”
“Damkar dan Polisi sedang berusaha membuka longsor. Helikopter tidak bisa diterbangkan karena jarak pandang yang sangat terbatas. Apakah perbekalan cukup? Ganti.”
“Kami tidak bisa memastikan. Hanya saja kami bisa bertahan sebentar asalkan tidak ada longsor susulan. Ganti.”
“Baik Ndaru, harap ditunggu. Tetap bersama dan saling menjaga. Ganti.”
“Baik,” Ndaru menutup komunikasinya, “Semua tenang ya. Kita diharapkan sabar dan terus menjaga.”
“Kamu terluka,” kata Keira pelan ketika melihat Ndaru kesusahan untuk duduk
“Saya ada kotak P3K,” sahut ibu muda yang sedari tadi menenangkan anaknya. Perlahan dia mengangsurkan kotaknya ke Keira
“Kamu juga luka,” Winza menghentikan Keira yang barusan meringis, tangannya berdarah, “Ibu, bisakah membantu Mas Ndaru? Saya obati Mbak Keira dulu.”
Ibu itu hanya mengangguk dan mengambil alih kotak P3K, sembari Winza juga membersihkan luka di lengan bawah Keira. Keduanya hanya terdiam, walaupun sebenarnya banyak yang ingin disampaikan.
****
Malam sudah mulai beranjak. Winza melirik jam tangannya, sudah pukul 3 pagi. Terlihat kabut mulai turun dan beberapa orang sepertinya merasa kedinginan. Terlihat Ndaru tidur terduduk sambil memegang radionya.
Mike izin untuk masuk ke dalam pondok setelah menemani Winza merokok.
“Kok ga tidur,” terdengar suara Keira menyapa pendengaran Winza, membuat wanita yang akan mengambil batang selanjutnya, menghentikan aktivitasnya.
“Eh, kamu juga ga tidur,” Winza salah tingkah
“Barusan aja tidur. Trus kebangun, anginnya dingin,” jawab Keira pelan, “Sejak kapan?”
“Oh,” Winza memainkan korek di tangannya, “Dua bulan abis kamu pergi, ngeblok semua kontakku.”
“Maaf,” bisik Keira pelan
“Sepertinya gausah ngomongin yang udah-udah,” Winza terkekeh, “Kamu gimana kabar? Sekarang ngapain?”
“Aku di Solo, sama Yangti,” jawab Keira, “Sekarang buka toko kelontong aja di rumah. Lumayan uang pesangon bisa buat modal usaha.”
“Are you happy, now?” tanya Winza getir, suaranya sedikit bergetar
“I'm trying,” Keira menjawab dengan pelan, dia tahu dia bisa runtuh begitu saja, “Kamu?”
“Bahagiaku kan kamu,” kata Winza, matanya tidak lagi menatap langit, melainkan Keira yang duduk di sampingnya
“Lucu kalo diinget aku pernah bilang kalo jodoh, kita pasti bertemu lagi,” tawa Keira terdengar getir, “Tapi aku tetep ga yakin, Winza.”
“Gapapa. Mungkin emang akhirnya demikian,” tukas Winza, “Let's trying to be happy. But I need to tell you that's there would be no one after you.”
“What if I.... found someone after you?” tanya Keira ragu
“Do you?” Winza mulai merasa bahwa dunianya mulai runtuh
“Uda banyak yang nanyain aku... Lewat aku sendiri maupun Yangtiku.”
“Adakah yang menarik perhatianmu?”
Keira dengan ragu mengangguk, “Masih dalam tahap pendekatan aja. Belum tahu mau dibawa kemana.”
Winza menunduk, menahan air matanya untuk jatuh, “Good for you,”
“Makasih. You should find someone after me.”
“Enggak. Walaupun aku mati, aku ga akan cari orang lain selain kamu.”
“Kenapa, Winza? Kenapa kamu harus kaya gini?”
“Aku pengen egois, Keira!” Winza sedikit menaikkan suaranya, “Seumur hidupku aku pengen dapet apa yang aku pengen sendiri. Dan itu kamu.”
Keira baru akan menjawab ketika suara buzz dari radio milik Ndaru terdengar lagi.
“Ndaru, masuk Ndaru. Regu penyelamat sudah hampir berhasil membuka jalan. Infokan posisi, ganti.”
“Kami tidak punya suar komandan. Ganti.”
“Gunakan senter, sorotkan ke arah langit Tenggara. Ganti.”
“Baik, kami sediakan empat senter untuk menyorotkan. Willco.”
Ndaru berdiri dan memanggil Winza, Keira, Mike dan satu lelaki lagi yang masih terjaga. Setelah memberikan instruksi, mereka berjalan bersama mencari titik yang aman untuk menyorotkan senter. Baru beberapa langkah, tiba-tiba Mike terperosok dan Keira dengan sigap menariknya. Namun justru itu membuat dirinya terjatuh. Keira sudah pasrah jika memang ini adalah akhir hidupnya karena dia bisa melihat lubang di bawah. Suara benturan terdengar, tapi Keira tidak begitu merasa sakit. Begitu dia membuka mata, ternyata dia jatuh di pelukan seseorang. Tangan yang familiar itu merengkuhnya dari belakang.
“Mbak Keira! Mbak Winza!” suara Mike terdengar, bersama dengan lampu senternya, “Mbak Winza kepalanya luka, Mas Ndaru. Lubangnya sekitar 1.5 meter ini kayaknya.”
“Ada korban jatuh, paramedis disegerakan. Ganti,” kata Ndaru
“Roger that,” balas di radio
“Mbak Keira, tahan dulu ya. Ini segera datang, kami sorotkan senter dulu,” kata Ndaru
“Winza, sakit ya?” tanya Keira pelan, mengusap tangan Winza yang memeluknya
“Pusing, Kei,” keluh Winza, “Tapi gapapa bisa meluk kamu.”
Keira tersenyum. Pelukan Winza terasa sangat hangat.
“Tahan ya, Winza. Regu penyelamat akan segera datang. Kamu jangan merem ya.”
“Keira aku boleh cium kening kamu ga?”
“Boleh,” Keira merasakan kecupan kecil di keningnya. Membawanya ke memori tiga tahun yang lalu. Membawanya ke semua kehangatan dari Winza.
“Keira. Apapun yang terjadi, aku sayang kamu. Kalaupun akhirnya kamu jadi milik orang lain, aku gapapa. Asalkan kamu bahagia ya, kalo sampe orang itu bikin kamu sedih, aku yang bakal maju.”
“Kamu beneran ngomong kaya gini?”
Winza terkekeh pelan, “Sebenernya aku pengen minta kesempatan sekali lagi. Aku janji aku bakalan usaha lebih keras buat dapetin kamu. Kalopun Bundaku masih bersikeras, aku bakalan cari cara buat dapetin restu. Aku maunya cuma kamu, Keira. Jangan pergi dari aku ya?”
Keira sedikit trenyuh mendengar pernyataan Winza. Memang benar jika sulit melupakan Winza. Memang benar mereka bahkan belum mencoba untuk berjuang.
“Menurut kamu, apakah kita bisa coba itu bareng?”
Pertanyaan Keira tidak segera dijawab, membuat Keira melirik khawatir kepada Winza yang meletakkan kepalanya di atas kepala Keira.
“Winza... Winza bangun Winza....”