Keira terlihat gelisah, Winza tahu itu. Bahkan ketika Winza sudah memarkirkan mobilnya di kantor polisi, Keira tidak segera turun, walaupun sudah melepas sabuk pengamannya.
“Sayang...” panggil Winza pelan, sembari menggenggam tangan istrinya itu
“Aku takut,” Keira menghembuskan nafasnya, “Aku takut, Win.”
Winza menarik wanitanya ke dalam pelukan. Bahu Keira yang awalnya tegang menjadi lebih rileks, terlebih Winza mengusap-usap bahunya lembut, sembari mengelus kepalanya juga.
“Yuk, tuh Kak Kath udah ada,” kata Winza setelah melepaskan pelukannya, sembari menunjuk Terios Putih yang cukup familiar bagi mereka.
“Kamu... masuk ke dalam kan?” tanya Keira
“Aku tunggu di depan ruangan. Gapapa, Sayang. Ini waktumu dan saudaramu.”
Keira hanya mengangguk. Berdoa di dalam hati agar dia tidak menangis ataupun mengamuk ketika bertemu dengan Ibunya.
***
Bagi Katherine, Keira dan Kevin, Ibunya adalah sosok pengkhianat. Walaupun sebelum perceraian terjadi, ketiganya merasa Ibunya menyayangi keluarga; tidak mungkin mereka bertiga ada di dunia ini jika kedua orang tuanya tidak saling menyayangi.
Namun gambaran keluarga cemara hilang begitu saja. Pada saat Katherine baru saja lulus kuliah, dia mengajak Kevin yang masih SD, pergi ke mall setelah pulang sekolah, bertemu dengan ibu mereka. Sayangnya, lelaki yang sedang digandeng dan berbisik mesra dengan ibunya tersebut bukanlah ayah mereka.
Katherine kaget, Kevin lebih kaget lagi. Keterkejutan mereka berdua berakhir pada pertengkaran yang hebat, dimana Keira hanya bisa diam; dia tidak bisa mengatakan apapun karena dia tidak melihat langsung kejadiannya. Terlebih, sedari kecil memang Keira tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang pendiam itu.
Malam hari di hari yang sama, ayah Keira mengetuk pintu kamar Keira dan mengajak putrinya berbincang kecil. Keira masih ingat percakapan itu.
“Keira mau ikut Mama?” tanya ayah Keira
“Keira gatau,” gadis yang akan menyelesaikan SMA dalam waktu dua bulan itu hanya bisa menggeleng lemah, “Keira sayang Mama sama Papa.”
“Mama kamu, sudah bohongin Papa. Sebenarnya Papa sudah tahu sejak lama, Mama kamu juga sudah berjanji tidak akan mengulanginya. Ternyata Papa salah, Kei.”
Keira hanya bisa terdiam. Memorinya berputar kembali. Sebagai anak tengah, Keira selalu berada di posisi yang tidak menyenangkan. Kevin sangat dimanja Mamanya, dia anak lelaki satu-satunya. Katherine sudah biasa mandiri, secata usia dia berada 4 tahun di atas Keira. Namun setelah dipikir lebih dalam, Keira memang cenderung dekat dengan Papanya. Lelaki pendiam itu selalu berada di dekat Keira. Keira masih ingat ketika lelaki pendiam itu mengantarnya ke toko buku, walaupun hanya membeli majalah. Papa tidak pernah mengeluh. Pulangnya, mereka mampir membeli es campur yang juga dibungkus beberapa untuk orang di rumah. Ataupun ketika Keira mendapat juara kelas; sama dengan Katherine, Papa selalu bertanya apa yang diinginkan anak gadisnya. Dalan diam pun, Papa akan membelikan hadiah. Berbeda dengan Mama yang banyak memberikan arahan, Papa lebih suka membiarkan Keira dan Katherine memilih apa yang mereka inginkan.
Akhirnya pada malam itu, Keira juga memilih ikut Papanya.
“Kak...” Kevin menyenggol lengan Keira, membuyarkan lamunannya.
“Sori,” Keira mengusap wajahnya. Kenangan dia dengan Papanya selalu membuatnya senang dan sedih di saat bersamaan.
Ketiga bersaudara itu duduk di kursi yang sudah disediakan, menunggu petugas membawa ibu mereka untuk masuk ke ruangan. Sedangkan Winza sudah pamit duluan bersama Pak Arya yang tadi sudah menunggu mereka di depan.
“Oh,” suara terkejut keluar dari wanita paruh baya itu. Sepertinya dia terkejut karena melihat ketiga anaknya menemuinya sekarang.
“Pemandangan yang bagus, karena Mama tidak pernah melihat kalian semua secara langsung,” wanita itu duduk di hadapan tiga bersaudara itu.
“Rasanya tidak pantas menyebutkan Mama dari mulutmu, Ibu,” kata Katherine cepat
“Sudah sangat berani ya,” wanita itu kembali terkekeh, “Jadi apa maksud kalian ke sini? Oh, terimakasih sudah membuatku masuk penjara. Padahal sudah lama berhasil menghindarinya.”
“Anda pantas mendapatkannya,” kata Keira datar, “Sudah seharusnya sejak lama.”
Wanita di hadapan mereka kembali memberikan senyuman miring, “Oiya, makasi ya. Mertuamu emang luar biasa. Pinter kamu milih mertua. Pastinya bisa dong ngeluarin Mama dari tempat ini.”
“Justru mertuaku yang paling semangat untuk membuatmu hidup di penjara,” geram Keira
“Ohya? Mudah saja menyebarkan informasi bahwa aku ini besan dari Jesselyn Kusuma.”
“Silakan, karena pasti akan cepat untuk dibantah dan merugikan anda sendiri,” tantang Keira, “Sedari awal, aku uda ngenalin bahwa aku gapunya Ibu, apalagi seperti anda.”
“Berani sekali kamu!” wanita itu berdiri dan menggebrak meja di depannya, memandang lurus ke arah Keira, “Kamu itu lahir dariku, durhaka kamu!”
“Siapa yang durhaka? Anak yang tidak mengakui Ibunya karena ditinggalkan begitu saja, atau Ibu yang tidak pernah sekalipun memberikan perhatian setelah pisah dengan suaminya?”
“Papa kalian yang menghalanginya!”
“Bohong,” Kevin ikut berbicara, “Bahkan ketika Papa meninggal, anda tidak pernah datang. Kami tahu anda pun tidak tahu dimana makam Papa.”
“Kevin, kamu tahu kan Mama bingung...” suara wanita itu mulai melemah.
“Udah cukup, Bu. Kami bertiga hidup baik-baik saja. Sejak kejadian di Solo, aku uda gamau lagi sekedar nganggep anda ada di dunia ini,” Kevin menghela nafas panjang, “Beraninya anda kembali melakukan hal itu di tempatku dan Kak Keira kerja.”
“Asal Ibu tahu, aku ga cuma sekedar bekerja di sana. Mertuaku adalah Chairmannya. Mudah bagi kami untuk sekedar menghilangkan anda,” tambah Keira, “Waktu anda mengatakan hal yang tidak pantas ke Kak Kath dulu, anda tidak pernah minta maaf. Dan sekarang anda mengulanginya lagi? Apa anda pikir kami ini orang bodoh yang terus-terusan menerima apa adanya?”
“Terserah jika mau dianggap kami yang durhaka,” kata Katherine, “Secara hukum, kita sudah tidak ada hubungan. Secafa fisik dan mental pun, kami tidak sudi memiliki hubungan dengan anda.”
“Kalian! Coba kalian bayangin dengan pasangan yang punya penyakit, lalu kalian masih bertahan? Kalian ini belum mengalami pahitnya kehidupan!”
“Kak Kath dan Kak Keira adalah wanita yang setia, aku liat sendiri gimana keluarga kecil mereka,” Kevin menyela, “Silakan keluarkan sumpah serapah anda, kami tidak peduli. Kami datang ke sini untuk memberikan ucapan selamat tinggal kepada Ibu. Jika Ibu kembali lagi ke kami, dengan sikap yang seperti kemarin, jangan harap kami mau melihat Ibu sebagai manusia pada umumnya. Karena selama bertahun-tahun, kami tidak pernah merasa Ibu ada.”
****
Kegiatan malam ini ditutup dengan makan malam di rumah Katherine. Windy sudah menyiapkan makanan untuk mereka berlima; Noah sudah tidur ketika mereka tiba. Walaupun obrolan ketika makan malam cenderung ringan, Winza tahu, istrinya sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Sayang, sini,” kata Winza ketika mereka sudah di apartemen. Winza sudah membersihkan diri dan menyandarkan tubuhnya di headboard kasur mereka.
Keira awalnya hanya tersenyum, namun dia tahu dia tidak akan bisa menyembunyikan perasaanya dari Winza.
Perlahan, Keira naik ke atas kasur dan memeluk Winza erat, menyandarkan kepalanya di dada wanita yang dicintainya itu.
“You did good, Honey,” bisik Winza sembari mengecup puncak kepala Keira. Awalnya Keira hanya diam dan mengeratkan pelukannya. Lama kelamaan, Keira mulai terisak dan Winza tahu, istrinya sedang mencurahkan perasaan yang dia tahan sedari tadi. Untung saja mereka memesan pesawat siang dan sudah packing untuk perjalanan besok, sehingga dengan Keira menangis semalaman, tidak akan menganggu rencana mereka besok.
“Jangan tinggalin aku ya...” kata Keira di tengah isakannya
“Iya, Sayang. Aku di sini terus kok,” jawab Winza sembari memberikan kecupan-kecupan kecil di puncak kepala Keira.