wqwqwq12

Winza melihat sosok istrinya berjalan keluar dari ruang kerja mereka. Wanita itu terlihat mengucek matanya dan menguap, menambahkan kesan gemas yang sangat disukai Winza.

“Uda selesai, Honey?” tanya Winza tanpa melihat ke istrinya. Matanya fokus ke konsol di depannya dan sedang bermain permainan favoritnya, Mario Kart.

“Uda, Sayang,” Keira sedikit menggeleng kepada istrinya. Kadang dia iri dengan kejeniusan istrinya yang membuat dirinya jarang lembur di kantor, kalaupun lembur, itu pasti melibatkan orang lain. Tapi Winza tetaplah Winza, walaupun sangat jenius, dia akan berubah menjadi bayi jika bersama Keira.

Tapi untuk malam ini, Keira ingin bermanja-manja kepada istrinya.

Perlahan, dia menekuk punggungnya dan menyelipkan tubuh rampingnya di antara kedua lengan Winza yang terangkat dan memegang konsol. Tidak perlu menghabiskan waktu lama, Keira sudah berada di posisi favoritnya, di dalam rengkuhan Winza.

“Bentar ya, Sayang,” Winza mengecup puncak kepala Keira sebelum matanya kembali berkonsentrasi ke gamenya.

Keira hanya terkekeh, sudah tidak kaget melihat kelakuan istrinya yang ini. Dia hanya melingkarkan lengan kanannya di perut Winza dan membenamkan wajahnya di ceruk leher jenjangnya.

“Sayang jangan ketiduran loh,” tegur Winza pelan

“Hmm, makanya jangan kelamaan,” gumam Keira usil.

Tetapi memang tidak bisa dipungkiri, Keira selalu merasa nyaman jika berada di pelukan Winza. Pasti dia akan mengantuk karena merasa aman dan nyaman.

Tidak terasa Keira benar-benar tertidur. Winza menyadari dengkuran kecil dari istrinya hanya bisa terkekeh pelan. Perlahan, dia meletakkan konsolnya di nakas dan melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Keira.

“Sayang, ayo pindah ke kamar,” bisik Winza lembut. Wanita dalam rengkuhannya sedikit menggeram sebelum berusaha bangkit dari posisinya, dibantu oleh Winza.

Keira masih mengucek matanya dalam posisi duduk ketika Winza tersenyum di depannya. Perlahan, dia menangkup wajah Keira dan membawanya mendekat. Bibir mereka bertemu, saling bertukar kecupan-kecupan malas yang membuat Keira tersenyum.

“Aku cinta kamu, Keira.”

Keira tersenyum lagi, dia mengecup kedua pipi gembul Winza sebelum mengucapkan kalimat yang sangat disukai Winza.

“Aku juga mencintaimu, Winza.”

“Gimana kehidupan abis punya istri?” tanya Reta sambil terkekeh. Dia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, sembari memperhatikan sahabatnya yang memperhatikan permainan catur Mario dan Eugene.

“Kayaknya ga banyak berubah,” jawab Winza, matanya masih memperhatikan bidak yang dijalankan oleh Mario, “Kan gue uda lama tinggal bareng sama Keira.”

Malam ini, Winza dan ketiga sahabatnya berkumpul di Bar sambil mengobrol seperti biasanya. Keira juha sedang berkumpul bersama teman-temannya.

“Kaya gini lo gapapa nih?” tunjuk Reta ke mereka semua

“Keira kan lagi main sama temen-temennya. Gue sih prinsipnya sama dia ga perlu terlalu ngatur-ngatur. Asalkan izin aja dan ntar waktu gue mau tidur kan dia ada sama gue.”

“Checkmate!” seru Eugene membuat Mario menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang Eugene ini sangat ahli bermain catur, tidak terkalahkan sama sekali. Reta mendengus, berarti dia kalah taruhan dari Winza. Tidak seberapa sih jumlahnya, hanya seru saja melihat Mario dan Eugene bermain catur

“Asik mantap bos,” Eugene mengibaskan beberapa lembar uang yang dibagi oleh Reta, “Eh btw, lo semanja itu sama Keira? Kayaknya gue sering banget denger lo susah tidur kalo gada Keira.”

“Kita berdua sih,” jawab Winza, “Kaya kita tu sama-sama bakalan sadar kalo ditinggal pas tidur. Pernah gue lupa kirim email tuh, gue ke ruang kerja bentar, Keira kebangun juga dan nyusulin gue. Pernah juga gue kebangun dan ternyata Keira lagi di dapur karena laper. Gatau kenapa.”

“Kepikiran gak kalo udah ada anak, kalian berdua bakalan gimana ngatasinnya?” Mario ikut bertanya, penasaran terhadap rencana temannya itu.

“Gue keinget dulu suka ngejokes ke Keira soal anak,” Winza mengusap wajahnya, “Tapi kok lama-lama gue kepikiran kalo sekarang belum siap. Maksud gue, bayangin deh gue harus rela ngebagi perhatian Keira sama anak gue, kan?”

Mario sedikit tergelak sebelum menenggak minumannya, “Emang kita nih beneran punya issue soal perhatian orang ke kita.”

“Ya gimana lagi?” Eugene mengendikkan bahunya sambil tertawa, “Karena emang dari kecil kita udah kebiasaan gitu.”

Winza menghembuskan nafasnya panjang. Setelah menikah, terkadang dia memikirkan mengenai rencana memiliki anak sesegera mungkin. Namun di sisi lain, dia ingin menikmati momen-momen berdua hanya dengan Keira. Terlebih, keduanya memang sibuk.

“Gue keinget gue dulu kalo ditanya mau punya adek apa enggak, gue selalu bilang enggak karena anaknya cuma gue aja, ortu gue uda sibuk,” lanjut Winza sambil mengetuk kentang goreng di depannya, bermaksud mengurangi konsumsi garam untuknya.

“Lo coba deh tanya yang serius sama Keira, Win,” kata Reta, “Gue rasa, dia pengen bahas itu serius. Lo inget kan waktu dia ngadepin bayinya Marsya? Dia sebimbang itu dan bahkan kepikiran buat adopsi. Jadi gue rasa dia udah ada pikiran buat ke sana.”

“Ntar gue coba,” Winza melirik ke jam pintarnya, mendapati pesan dari Keira untuk menjemputnya pulang, “Gue duluan ya, nyonya dah minta dijemput.”

“Iye iye sana pergi,” usir Mario sambil memutar bola matanya malas.

Keira tahu cepat atau lambat, Winza pasti akan menemuinya. Tidak peduli bahkan ketika wanita itu sedang masa penyembuhan, Keira yakin Winza pasti akan mencarinya.

Dan keyakinan Keira terbukti hari ini. Hari terakhir sebelum besok dia secara resmi tidak lagi menjadi bagian dari Blanc Eclare.

Wanita yang selalu memenuhi hatinya selama beberapa bulan terakhir itu berdiri tegak di ruang tengahnya. Wajahnya keras, pandangannya lurus. Keira tidak tahu pasti sejak kapan Winza sudah masuk ke apartemennya. Tapi satu hal yang membuat Keira yakin, Winza sudah melihat beberapa kardus yang terisi dan siap untuk diangkut pergi olehnya.

“Kenapa?” pertanyaan dengan suara bergetar itu keluar dari mulut Winza. Sungguh, Keira ingin menangis saat itu juga. Malam-malam kemarin, Keira tidur dalam tangisnya, teriakannya teredam bantal yang setengah basah karena air matanya, tidurnya terganggu di tengah malam karena dia memimpikan Winza. Hari-harinya tidak pernah lagi sama karena dia harus pergi meninggalkan Winza.

“Kamu sudah tahu alasannya,” Keira berusaha menutupi getaran di suaranya. Dia beranikan diri menatap balik Winza yang sudah siap runtuh kapan saja.

“Aku pikir, bahagiamu adalah aku?”

Keira menggeleng pelan, “Ternyata bukan.”

“Kamu janji kamu ga bakal pergi lagi setelah kemarin. Ternyata aku salah ya.”

“Maaf, Winza,” Keira berjalan mendekat, meraih leher Winza dan membiarkan dahi mereka bersentuhan, “Maafin aku.”

“Kamu cinta aku ga sih?” tanya Winza pelan, hembusan nafasnya menyapa hidung Keira

“Aku cinta kamu, that’s why I should let you go.”

“Kamu egois.”

“Kamu pernah ga, mikirin posisiku?” Keira memejamkan matanya, air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi, “Aku bisa saja bertahan di sini, tapi apa benar kamu bisa?”

“Aku bisa nyesuain kamu, itu kan yang aku lakuin, Keira?”

“Kamu ga bakal bisa,” Keira menggeser kepalanya dan meletakkannya di bahu Winza. Lengannya melingkari leher Winza, membiarkan wanita yang lebih muda memeluk pinggangnya, “Aku gamau kamu nurunin kehidupanmu hanya untuk aku.”

Winza terdiam. Suara tangisan Keira mulai menggema di ruang kecil itu. Tangisan yang membuat hati Winza seperti teriris, sampai sinikah kisah mereka? Apakah tidak bisa berlanjut lagi?

Lamunan Winza terpotong dengan pergerakan Keira yang kembali menangkup kedua pipinya, perlahan memangkas jarak di antara mereka. Winza bisa merasakan hangatnya bibir Keira menyapa miliknya. Perlahan memberikan lumatan yang selalu Winza rindukan. Winza menyambut ciuman itu dengan miliknya yang dalam dan panas; perlahan dia menjelajahi leher jenjang Keira dengan bibirnya yang basah.

Lenguhan Keira membangkitkan gelora di dalam diri Winza, membuatnya meminta lebih kepada wanita di dalam rengkuhannya. Dengan satu anggukan, Winza membawa Keira untuk ke kamar tidur dan menjamah seluruh bagian tubuh Keira dengan bibir maupun tangannya.

Winza terbangun di pagi hari, mendapati kasur sebelahnya kosong. Tapi bau shampoo Keira masih tertinggal. Senyuman Keira sebelum mereka tertidur masih terekam jelas di ingatannya. Bisikan Keira yang mengatakan bahwa dia mencintai Winza, bahwa jika mereka memang jodoh pasti akan bertemu lagi, terputar ulang di telinga Winza.

Tapi baik mata maupun telinganya pun sadar, itu semua hanya rekaman yang terputar. Winza meraih bantal di sampingnya yang rasanya masih hangat, dipeluknya erat bantal yang menurutnya memiliki bau shampoo dari Keira. Erat pelukan Winza, bersamaan dengan teriakannya memanggil nama Keira. Nama yang tidak pernah lagi menjawab panggilannya.

Winza tidak bisa menahan rasa penasarannya. Sudah seminggu ini Keira sangat aneh; wanita kesayangannya itu bahkan hanya menemuinya dua kali, itu saja menolak untuk menginap di rumahnya. Memang sekarang Winza tidak tinggal di apartememennya, sementara dia tinggal di rumah utama untuk pemulihan.

Selain itu, ada keanehan ketika Keira tidak sengaja berpapasan dengan Bundanya. Wanitanya terlihat kaget, begitu juga dengan Bundanya. Kenapa harus kaget ketika Bundanya sudah tahu jika Keira terus bersamanya sampai dia sadar.

Selain itu juga, gerak gerik Mamanya terlihat aneh. Seperti ingin menyampaikan sesuatu namun tertahan beberapa kali. Joshua sempat mengirimkan pesan yang menceritakan bahwa Keira sempat berremu dengan Mamanya di Rumah Sakit. Pasti ada sesuatu lain.

Di saat dirinya masih kalut, pesan dari sekretarisnya membuatnya terkejut. Sekretarisnya mengatakan bahwa ada rumor Keira akan resign dalam waktu dekat. Alasannya belum jelas, namun banyak yang mengira ada hubungannya dengan dirinya.

Dengan cepat, Winza meminta sopirnya untuk mengantarkannya ke butik tempat Bundanya sedang berada sekarang.

***

“Maksud Bunda apa?” Winza tidak berbasa-basi sedikitpun ketika bertemu dengan Bundanya di kantor butik yang cukup besar itu.

“Kamu sudah dengar?” suara Bundanya sama sekali tidak berubah, justru malah terlihat tegas.

“Jangan sentuh Keira. Dia milikku,” desis Winza

“Ceroboh kamu,” Jesselyn mendengus kasar, “ Punya apa kamu buat ngelindungin Keira?”

“Keira gada urusannya dengan keluarga besar kita!”

“Justru salah besar. Bunda sudah banyak menutupi kemungkinan kasus kamu menggunakan obat terlarang keluar ke media, sekarang kamu mau menambahkan masalah dengan ini? Memiliki hubungan dengan karyawan?”

“Apa masalahnya sih?”

“Kamu kapan mau ngerti posisi kamu sebagai keluarga konglomerat? Kamu ga bisa ceroboh terus, Winza! Keira sudah setuju dengan pilihan yang Bunda berikan. Jangan memaksanya memilihmu karena kamu tidak pernah ada di dalam pilihan itu.”

Winza mengepalkan tangannya. Wajahnya mulai memanas karena emosi. Kenyataan bahwa dia jauh lebih lemah daripada Bundanya dalam hal kehidupannya, membuatnya ingin meledak saat ini juga.

“Kamu gapernah mau belajar soal kehidupan kamu sendiri, gimana bisa kamu mengajak orang baru? Apa kamu pikir semuanya akan lancar? Apa kamu pikir semuanya akan baik-baik saja? Pikirkan Keira juga, Winza.”

Sydney memang menyenangkan. Keira menghabiskan dua hari setelah pesta pernikahannya untuk berkeliling ke hampir seluruh kota itu.

Dan tentu saja bersama wanita yang sekarang resmi menjadi istrinya itu.

“Hari ini kita ke Canberra, jam berapa?” tanya Keira kepada Winza yang sibuk mengunyah roti untuk sarapan. Seperti biasa, Winza malas untuk sekedar turun dan sarapan di restoran, sehingga dia memilih untuk memesan room service

“Jam 1 siang,” jawab Winza setelah menelan roti selai cokelatnya, “Naik kereta ya, Sayang.”

Keira mengangguk antusias, tumben istrinya itu tidak meminta mengendarai kendaraan pribadi.

“Di Canberra, ada apa aja?”

Winza menggaruk kepalanya bingung. Selama dia bersekolah, untuk main dia lebih suka ke Sydney ataupun Melbourne. Canberra menurutnya sedikit membosankan; karena pusat pemerintahan Australia itu tidak terlalu banyak menyediakan tempat wisata.

“Hmm, ada aquarium. Kamu pasti suka,” Winza tersenyum, “Terus juga kayaknya ini lagi festival bunga.”

Keira mengangguk antusias, maklum dia tidak pernah menginjakkan kaki di Australia.

“Di sana sewa mobil atau gimana, Sayang?”

“Aku sewa mobil sama sopirnya. Itu dulu kaya bisnis keluarga kenalanku gitu.”

“Sip! Yuk segera siap-siap!”

***

Winza benar, Canberra mungkin tidak seramai Sydney dengan orang-orang yang di sana. Namun bagi Winza, kota ini memiliki cerita tersendiri mengenai perjalanan hidupnya.

“Itu dulu aku suka makan malam di situ,” Winza menunjuk sekumpulan warung tenda yang terletak di sebuah tanah lapang. Terlihat seperti pasar malam, namun itu adalah tempat permanen untuk berjualan.

“Banyak makanan Indonesia?” tanya Keira ketika Winza mengajaknya berjalan ke arah sana

“Dulu sih cuma dua. Tapi makanan di sini enak-enak dan harganya ramah kantong,” Winza terkekeh pelan, “Kamu mau jajan?”

“Es krim?”

“Boleh,” Winza mengangguk dan mengedarkan pandangannya sebelum menemukan kedai es krim.

Mereka melanjutkan perjalanannya ke Floriade, festival bunga di Canberra yang diadakan pada setiap Musim Semi.

“Bagus-bagus banget,” Keira tidak bisa menutupi rasa kagumnya melihat sekumpulan bunga di depannya.

“Bisa liat Tulip walaupun ga di Belanda,” kata Winza sambil memegang satu bunga, “Ditatanya indah banget, kan?”

“Iyaa, ini luar biasa Sayang! Cantik-cantik semua.”

“Masa sih? Kalo menurutku kamu paling cantik di taman bunga ini,” goda Winza yang membuat Keira mencubit lengannya. Wajahnya sudah mendadak menjadi merah padam.

***

Sebenarnya dibanding semua aktivitasnya, Keira sangat suka waktu istirahat bersama Winza. Maklum, kesibukan mereka berdua di Jakarta sering memberikan waktu terbatas bagi keduanya. Sangat sering Keira langsung jatuh tertidur ketika Winza memeluknya hangat; kombinasi capek dan rasa nyaman dari kasihnya.

Setelah seharian berkeliling dan ditutup dengan makan malam, keduanya kini sudah berbaring di kasur untuk bersiap tidur.

I'm so happy,” bisik Keira ketika Winza mengelus pipinya lembut. Menyandarkan kepalanya di dada Winza dan membiarkan wanita yang lebih tua merengkuhnya, adalah posisi favorit Keira ketika mereka sedang beristirahat.

“Syukurlah.”

“Makasi ya, aku ngerasa seneng banget kamu mau ngajakin keliling kota, I feel like knowing closer about you.”

Winza mengecup kening Keira, “Kamu kan istriku, wajar dong aku pengen kamu tau soal aku.”

“Ada satu sih, kamu belum nunjukkin biasa nongkrong dimana,” Keira terkekeh

“Ada bar yang sering dikunjungin manca negara, cuma aku gamau lagi ke situ.”

“Kenapa?”

“Semua nightmareku berawal dari situ,” Winza mengubah posisinya sedikit untuk mencium rambut Keira, “Dulu waktu awal kuliah, sebenernya aku bertiga sama anaknya temen-temen Bunda. Yang cewek tu kutu buku banget, nah aku deketnya sama yang cowok, namanya Ari. Dia yang ngajakin aku ngebar, mabok, main cewek, sampai akhirnya aku ngobat itu.”

“Trus sekarang Ari dimana?”

“Meninggal, OD.”

“Buset,” Keira terkejut, “Astaga...”

“Untung aku udah ga gitu yaa,” Winza meringis, “Yah tapi reputasiku kan jelek dulu di kantor.”

“Emang,” Keira tertawa pelan, “Womanizer.”

“Tapi aku gapernah sama orang kantor loh.”

“Kamu yakin? Tapi banyak banget yang penasaran sama kamu, makanya sering diomongin kan.”

“Kamu lupa kalo daya ingatku luar biasa,” Winza kembali terkekeh, “Aku inget mana yang orang kantor atau bukan. Sekalinya sama orang kantor ya.... Kamu, hehe.”

“Nyengir mulu,” Keira membenamkan wajahnya ke pelukan Winza

“Aku seneng ketemu kamu dan kamu jadi milikku.”

“Aku juga kok. Kamu ga pernah jatuh cinta sendirian, Winza.”

“Gila gue bener ga nyangka kalo momen ini bakalan datang buat Keira,” Gisella tidak bisa menutupi kebahagiannya sedari dirinya tiba di Australia kemarin. Bahkan Ningtyas sendiri mengatakan bahwa Gisella seperti sedang kebanyakan gula, sugar rush sepertinya memang.

Keira memandang ketiga sahabatnya yang akan menjadi bridesmaid untuk dirinya di acara pernikahan ini. Sebenarnya tidak terlalu banyak yang harus disiapkan, toh tamu undangan sangat terbatas dan tugas ketiga temannya itu hanya mungkin akan berpose cantik bersama pengantin dan membantu mengatur jalannya foto bersama.

Namun walaupun demikian, Keira tetap tidak bisa menutupi kebahagiaan yang ada di wajahnya dengan kehadiran ketiga sahabatnya itu.

“Lo abis ini jadi istri orang,” kekeh Mikha ketika mereka berdua sedang melihat Gisella dan Ningtyas yang saling berdiskusi mengenai pilihan gaun mereka pagi ini.

“Thanks for reminding me?” Keira bales terkekeh, “Gue juga setengah ga percaya bisa nyampe ke sini akhirnya jalan hidup gue.”

“Lo gapernah bayangin sedikitpun ya?” Keira menggeleng, “Lo tau gue dulu pernah merencanakan sesuatu dan gapernah punya rencana lagi.”

“Dan rencana Tuhan yang paling baik,” Mikha tersenyum kepada sahabatnya itu, “Sejauh apapun lo berusaha lari, kalo itu emang takdirmu, lo bakalan dapet itu.”

“Lo bener,” Keira membalas senyuman sahabatnya itu, “Dan sekarang, gue siap bakalan kaya gimana ke depannya. Asalkan sama Winza. Uda ga sabar gue liat dia di altar.”

“Baru juga ga ketemu semaleman,” Keira mendorong pelan bahu Keira, “Kak Kath mana?” “Lagi ngurusin si Noah mungkin, semaleman kan Kak Kath sama gue. Nyariin emaknya kali.”

“Diwejangi apa aja lo sama Kak Kath?” tanya Gisella yang ternyata sudah selesai berdiskusi dengan pacarnya barusan

“Suruh banyak sabar,” Keira ketawa, “Dan terbuka. Sekarang gue sama Winza itu jadi satu, gabisa kalo nyembunyiin hal yang penting.”

“Wejangan yang menarik,” Ningtyas menanggapi, “Tapi Kak Kei, serius. Gue takut Winza pingsan liat lo secantik ini.”

“Apa sih ngasal,” Keira tergelak, “Kan gue uda nyoba gaun ini di depan dia.”

“Tapi kan belum make up dan pake mahkotanya,” Gisella menunjuk hiasan di atas kepala Keira, “Gue juga kepikiran Winza bakalan pingsan apa enggak.”

Obrolan mereka terkait dengan gaun pernikahan dan kemungkinan Winza akan pingsan atau tidak terpotong dengan ketukan di pintu oleh Kevin. Adik Keira itu akan menggantikan peran almarhum ayah Keira untuk membawanya ke altar. Sudah tampak lelaki muda itu selesai berdandan dengan jas putih dengan paduan kemeja hitam dan dasi kupu-kupu berwarna putih juga.

“Yuk,” Keira berdiri dibantu oleh Ningtyas dan menyambut tangan Kevin yang sudah diangsurkan.

“Kita tunggu di bawah,” kata Gisella sebelum menepuk pelan bahu Kevin, memberikan semangat kepada anak bungsu itu. Sebuah tanggung jawab yang besar.

Nervous?” tanya Keira kepada Kevin yang terlihat sedikit kaku sekarang

“Dikit. Tapi kayaknya lebih nervous elo deh,” Kevin menggenggam tangan Keira, “Yuk turun, pasangan lo bakalan bahagia banget buat liat lo kaya gini.” Sebuah pujian yang biasa, namun entah kenapa terdengar sangat tulus di telinga Keira.

“Makasih ya, Vin.”

“Untuk?” Kevin mengangkat alisnya bingung

“Semuanya. Gue tau lo juga struggle buat nerima kenyataan kalo Winza bakalan jadi kakak ipar lo, bakalan jadi bagian dari keluarga kita.”

“Ga sebanding sama lo yang nyesuain kehidupan Kak Winza dan sebaliknya,” sela Kevin, “Gue sadar perbedaan kalian yang sangat jauh bikin semuanya agak sulit, tapi lo berdua berhasil untuk saling ngalah, saling cari tau mana yang bisa disesuain. Buat gue, itu udah usaha yang luar biasa.”

Keira tanpa sadar menitikkan air mata. Adik bungsunya sudah dewasa, benar-benar dewasa.

“Jangan nangis dong Kak, ntar maskaranya luntur loh,” Kevin menarik tisu yang ada di meja dan memberikan kepada Keira, “Gue bakalan bikin almarhum ayah bangga karena gue bisa gandeng lo dengan tenang buat jalan di altar.”

“Beliau pasti bangga kok, Vin.”

Dibandingkan takut dengan Winza yang pingsan karena apapun, Keira lebih takut jika gaunnya nyrimpet ketika dia turun dari tangga. Memang ide yang cukup sederhana dalam pernikahan ini. Diadakan di gedung pertemuan yang terdiri dari dua lantai, dan disusun seperti altar dimana pendeta sudah menunggu mereka untuk mengucapkan janji pernikahan.

“Awas, Kak. Pelan-pelan,” bisik Kevin ketika Keira nyaris menginjak lidah gaunnya.

Namun kehawatiran terkait lidah gaun sirna sudah ketika mata Keira bertemu dengan mata milik Winza yang memandangnya lekat. Wanita yang lebih muda itu juga menggunakan gaun, walaupun jauh lebih simpel dari milik Keira. Awalnya Winza ingin menggunakan jas saja, namun Keira ingin melihat Winza menggunakan gaun pada saat upcara pernikahan dan jas ketika pesta pernikahan mala mini. Tentu saja Winza menurut; wanita itu hampir tidak pernah protes jika Keira meminta sesuatu.

Senyuman lebar menghiasi wajah Winza, pandangannya terus melekat pada setiap langkah yang dilakukan oleh Kevin dan Keira.

Keira sejujurnya malu jika terus mengunci pandangannya kepada Winza, maka dari itu dia mengedarkan pandangannya ke seluruh tamu undangan. Keira bisa melihat Yangtinya tersenyum haru; air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya dan Keira yakin siap dikeluarkan kapan aja. Keluarga Om dan Tantenya, Johan sepupu favoritnya juga melihatnya dengan raut yang sangat bahagia. Di sebelahnya, Katherine dan Windy sedang menggandeng anak tunggal mereka, keponakan kesayangan Keira dan Kevin, Noah, yang terlihat masih mengantuk. Di depan sendiri, ada Ningtyas yang sedang dipeluk dari samping oleh Gisella dan di sebelahnya ada Mikha. Mario, Reta, Juwita, Eugene, Joshua dan Narendra berdiri sederet dengan mereka, memandang dengan penuh kebahagiaan. Senyuman bahkan tidak pernah lepas dari wajah Joshua sejak mereka tiba di sini.

Dan yang paling depan, Keira hampir saja tercekat di langkahnya. Jesselyn dan Tara, dengan balutan gaun yang sangat elegan. Mereka berdua tersenyum kepada Keira, senyuman yang penuh arti. Senyuman yang menjelaskan semuanya, bahwa hubungan mereka akan segera diresmikan menjadi sepasang istri.

Hi, pretty,” bisik Winza ketika Kevin memberikan tangan Keira untuk digandeng oleh Winza

“Gausah aneh-aneh,” Keira sudah mulai salah tingkah

“Baik, mari kita ucapkan janji suci pernikahan untuk Winza Kusumajati dan Keira Agatha,” Pendeta di depan mereka memulai untuk mengucapkan janji suci pernikahan untuk diucapkan ulang oleh Winza.

“Jadi, Keira, do you?” tanya Winza setelah membacakan janji pernikahan mereka

I do, Winza,” jawab Keira sambil meloloskan air matanya, sebuah tangisan kebahagiaan. Sorak sorai keluarga dan teman terdekat mereka di belakang seakan menjadi latar belakang yang sangat membahagiakan bagi keduanya.

Now you may kiss the bride,” ucap pendeta kepada Winza yang langsung diteruskan dengan rengkuhannya kepada wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu. Perlahan, Winza mencium bibir Keira. Kecupan yang singkat namun penuh makna bagi keduanya.

“Hai, istriku,” bisik Winza setelah mencium bibir Keira.

I like that,” balas Keira sambil tersenyum lagi sebelum mereka menghadap ke tamu undangan yang datang.

“Tidur ya, gausah aneh-aneh,” Manajer Unnie tersenyum miring kepada empat anaknya. Yang diingatkan tentu saja, hanya tertawa terbahak-bahak.

“Dapet connecting room semua kan?” Karina memastikan, matanya terlihat lelah karena mereka tiba di Meksiko cukup larut.

“Gausah khawatir,” wanita tertua diantara mereka sedikit tergelak, “Karina-Winter, Giselle-Ning, aman semua kamarnya.”

Giselle dan Winter mengacungkan jempol mereka, setuju dengan tindakan manager kesayangan mereka yang selalu memperhatikan “kebutuhan” member.

Dengan bantuan porter, semua barang mereka sudah tertata dengan rapi di kamar masing-masing, memberikan kesempatan untuk membersihkan diri dan bersiap untuk beristirahat.

Tak terkecuali leader ae yang sudah berganti baju dan bersiap berpindah kamar; dia tahu kekasihnya pasti masih bermalas-malasan.

“Aku kan bilang mau ke kamar kamu, Sayang,” kata Winter ketika membuka pintu penghubung kamar mereka.

“Kamu lama kalo ditinggal sendirian,” tukas Karina sambil berjalan ke arah kasur, “Aku uda ngantuk.”

Winter hanya tersenyum melihat kekasihnya. Memang ketika lelah mendera, dia akan sangat manja. Seperti sekarang ini.

“Aku mandi bentar ya,” Winter menghampiri kekasihnya yang berbaring tengkurap, memberikan kecupan kecil di kening gadis yang lebih tua itu sebelum mengambil baju ganti untuk tidur.

“Capek banget ya?” suara Winter mengagetkan Karina yang nyaris tertidur. Suasana nyaman selalu diberikan jika Winter di sekitarnya – selalu membuat Karina mudah mengantuk.

“He'em,” gumam gadis yang lebih tua, membiarkan Winter membetulkan posisi selimut yang tadinya hanya menutup tubuhnya sampai pinggang.

“Kamu ga kedinginan?” tanya Winter setelah mengecup bahu Karina. Wanitanya itu memakai baju tidur terusan yang tidak berlengan; kata Karina dia sangat nyaman menggunakan baju itu.

“Enggak kok,” jawab Karina cepat sambil menarik tubuh Winter untuk memeluknya. Winter melingkarkan lengannya untuk memeluk Karina, mencium lembut puncak kepala wanitanya itu.

“Shampo kamu baru?” tanya Winter, merasakan bay yang tidak familiar.

“Sebelum kita tur Amerika, Yeji ngasih shampo ke aku. Kamu ga suka?”

“Suka yang biasanya aja,” Winter membenamkan wajahnya di rambut Karina, membuat gadis di dalam pelukannya tertawa.

Winter mengira Karina sudah tertidur; tadi dia menggerakkan jarinya untuk menggambar pola random di tulang selangkanya dan sekarang gerakan tersebut sudah berhenti.

“Sayang...” panggil Karina pelan, mengagetkan Winter yang akan terlelap.

“Iya?”

“Kamu pernah bayangin ga, kalo ga jadi idol kaya sekarang, what would you do?

Winter tersenyum, Karina memang suka mengajaknya berbicara apapun. Pada beberapa waktu, Winter biasanya membiarkan Karina menceritakan apapun dan dia akan dengan senang hati mendengarkannya.

“Aku uda sering bilang kalo aku mau jadi tentara?” gurau Winter

“Bukan itu,” Karina menggelengkan kepalanya, “Kalo kamu ga ketemu aku.”

“Mungkin aku tidak akan pernah menjadi sebahagia ini,” jawab Winter pelan, “Being an idol, together with you, doing some tours like these. Aku ngerasa seneng banget, Sayang. Kenapa?”

Karina menghembuskan nafas panjang dan bergeser sedikit dari pelukan Winter, membuat jarak di antara mereka sehingga bisa saling melihat wajah satu dengan yang lain.

“Gatau. Aku kaya ngerasa akhir-akhir ini capek aja. Nanya ke diri sendiri aku pengen beneran ga sih kaya gini? Aku baca beberapa komentar di sosmed ae, ada yang ngatain tubuhku. Aku tau kamu selalu bilang buat ga peduliin itu semua, tapi aku tetep kepikiran.”

Winter menggeser tangannya untuk menangkup kedua pipi Karina. Perlahan dia mengusap air mata yang menetes di pipi gadis kesayangannya itu.

“Maaf. Aku masih sering colong-colong waktu buat baca komentar orang ke sosmed,” Karina sedikit terisak lagi.

“Mereka emang gada otak, Sayang. Biarin aja, hiburan orang-orang bodoh,” kata Winter pelan, “Kalo aku bisa punya kekuatan super, beneran itu yang komen kamu jelek-jelek, bakalan aku kejar sampe dapet. Gila apa, kamu kan cantiknya uda kaya bidadari gini.”

“Apasih kok ngawur,” Karina memukul bahu Winter sambil sedikit tertawa, ada-ada aja kelakuan Winter memang.

Winter ikut tertawa mendengar Karina yang sudah mulai tersenyum. Perlahan Winter mendekatkan wajahnya dan menyapa bibir Karina dengan miliknya, bertukar kecupan-kecupan malas yang menenangkan.

“Kamu kenapa pake kaos gini,” keluh Karina, keluhan aneh yang membuat Winter justru tergelak.

“Yauda aku copot nih?”

“Ga gitu,” Karina memanyunkan bibirnya ke depan, “Aku kan pengen pegang-pegang lengan kamu.”

“Dih mesum,” Winter menyentil ujung hidung Karina gemas

“Gapapa mesum sama pacar sendiri.”

“Iya boleh,” Winter menarik tubuh Karina untuk masuk ke dalam pelukannya, menepuk-nepuk bahu Karina untuk membuatnya tertidur.

Karina menduselkan hidungnya ke leher Winter, menghirup bau parfum yang selalu menenangkannya.

“Jimin Unnie...” panggil Winter ketika Karina baru akan terlelap. Panggilan yang kadang Karina rindukan karena gadis itu sudah jarang memanggilnya demikian.

“Hmm,” Karina hanya menggumam, karena dirinya sudah sangat mengantuk.

“Liat kamu senyum ke MYs, liat kamu perform dengan bahagia sama kita, denger kamu bilang di wawancara kalo kamu merasa beruntung buat jadi bagian dari ae, menurutku itu sudah jadi tanda bahwa kamu seneng kok di sini. Memang cobaan bakalan terus dateng, tapi kamu harus inget, Karina leader ae punya Aeri Unnie, punya Ning, punya MYs, dan selalu ada aku yang bakalan sayang sama kamu.”

Karina tersenyum dan mengeratkan pelukannya.

“Jadi, bahagia terus ya, Sayangnya Winter? because happiness suits you very well.”

Winza beberapa kali menguap, membuat Keira terkekeh pelan. Penerbangan ke Sydney akan memakan waktu sekitar 7 jam perjalanan dan Keira memang meminta penerbangan pagi agar mereka bisa banyak beristirahat begitu tiba di sana.

“Kamu kemarin memang tidurnya ga enak?” Keira membetulkan poni Winza yang sedikit menusuk matanya.

“Enak sih, tapi kayaknya terlalu pagi ini,” Winza merengut, “Tadi minum kopinya terburu-buru, Sayang.”

Keira kembali terkekeh. Winza Kusumajati, calon istrinya, Manajer Humas Blanc Eclare yang terkenal tegas dan jenius, bisa berubah menjadi bayi jika bersamanya.

“Nanti pesen kopi lagi ya, tadi aku cek in flight meals aku ga pesen kopi,” Keira menggeser duduknya, “Segelas aja ya, jangan kebanyakan.”

“Iya, Sayang,” Winza mengangguk patuh. Lampu tanda sabuk pengaman sudah dimatikan, membuat Winza mengubah posisi duduknya.

“Aku masih ngantuk,” Winza memejamkan matanya, tangannya mengulur melewati pembatas kursi first class yang mereka pesan untuk penerbangan ini. Keira tersenyum dan menyambut tangan Winza, wanitanya itu ingin tetap memegang tangannya walaupun akan tertidur.

Walaupun ditinggal tidur oleh Winza, Keira tidak merasa bosan sama sekali. Dirinya bisa dengan leluasa menikmati film yang disediakan, sambil sesekali melihat Winza yang tertidur pulas.

Beberapa waktu kemarin Keira mengaku bahwa dia sangat suka bangun mendahului Winza di pagi hari. Alasannya simpel, Keira ingin menikmati wajah damai Winza di pagi hari.

“Makanannya belum dateng?” Winza mengerang dan meluruskan tangannya, sudah dua jam dia tertidur.

“Harusnya abis gini,” Keira melirik ke arah pintu, “Mungkin masih disiapin.”

“Laper,” keluh Winza. Keira dengan cepat mengangsurkan botol minum dan snack yang memang sudah ada di kursi mereka.

“Sabar ya, Sayang.”

Winza hanya mengangguk sambil mengunyah kacang goreng yang selalu menjadi snack andalan maskapai ini.

“Eh, Sayang. Jo sama Naren uda di sana ya?” tanya Winza, teringat sesuatu.

“Uda, Sayang. Mereka dari kemarin lusa tuh. Uda keliling-keliling katanya.

“Mau survey kali,” Winza sedikit tergelak, “Kemarin pas aku ketemu sama orang WO, si Jo ngintil aja.”

“Biar sekalian ada bayangan,” Keira tersenyum, membuat Winza juga balas tersenyum sambil melihat jemari Keira. Sebuah cincin terpasang indah di jari manis kirinya, pertanda bahwa Keira mau menjadi istri Winza.

“Akhirnya kita udah di fase ini ya,” kata Winza, masih memandangi cincin di jari Keira, “Naik turunnya kehidupan kita akhir-akhir ini uda kita lewati bersama. Kaya yang aku pernah bilang dulu, aku seneng ngelewatinnya sama kamu.”

Keira menangkup tangan Winza yang masih menggenggam jarinya

“Aku juga seneng, bisa jadi pendamping hidupmu, Winza.”

“Together, and forever” Winza kembali mengulas senyuman manisnya

“Sama kamu,” tambah Keira, menghadirkan perasaan hangat bagi keduanya. Dia mengambil minuman untuk dirinya dan Winza, mengangsurkan ke depan wajah Winza yang membuatnya bingung.

“Cheers, for our future,” Keira menyentuh botol Winza sampai terdengar clink, membuat Winza tertawa dan mengikuti gestur dari calon istrinya itu.

“Cheers, Honey!”

Keira menarik nafas panjang sebelum membuka unitnya. Pesan dari Winza untuk tetap memasang wajah yang tenang, terus terngiang di kepala Keira.

Benar seperti kata Winza, ada orang lain di dalam unit mereka. Stella, nama orang yang sempat membuat Keira berpikir bahwa dirinya tidak berharga, duduk termenung di ruang tengah. Wanita itu sedikit terjingkat ketika menyadari Keira masuk dan meletakkan makanan di meja dapur, seolah tidak terganggu dengan kehadirannya.

Bahkan Keira dengan santai mengambil langkah panjang menuju kamar tidur utama dan membuka pintunya dengan sidik jari. Stella bisa mendengar Keira memanggil Winza lembut sebelum berjalan bersama ke arah dapur.

“Please, tolong gue,” Stella membuka pembicaraan ketika pasangan di depannya sama sekali tidak memperdulikannya, bahkan beberapa kali Winza memegang tangan Keira dan meletakkannya di pipinya.

“Gue ga mau interaksi sama orang yang gatau diri,” jawab Winza pedas, sempat membuat Keira terkejut karena sudah lama dia tidak melihat Winza seperti ini.

“Gue mohon,” Stella beranjak dari duduknya dan berlutut di depan Winza dan Keira yang masih duduk di meja makan sambil menyantap sandwich yang tadi dibeli Keira. Gestur itu membuat Keira sedikit trenyuh, namun justru kebalikannya, Winza sama sekali tidak mengubah air mukanya.

“Gue tau Xavier Group di ambang kehancuran,” kata Winza, memandang lurus wanita yang berlutut di depannya, “Gue yang bikin. Lo salah langkah dengan cara nyerang hubungan gue sama Keira. Lo harusnya sadar, sumber masalah di Xavier Group itu ada di bokap lo dan adiknya. Lo ngapain cari pertolongan ke gue dan Blanc Group?”

“Karena dengan Blanc mau merger, gue bisa selamat. Keluarga gue bisa selamat. Gue ga masalah Win, di mata hukum gue jadi yang kedua buat elo.”

“Halu,” Winza berdecak, “Gada dalam kamus gue, keluarga gue mau bantu orang yang bikin calon istri gue sedih. Sebelumnya gue sama Xavier gapernah ada masalah. Lo dihubungin media kan? Tunggu aja. Lo jatuhin gue lewat media, gue jatuhin seluruh Xavier Group lewat media.”

“Sayang, udah,” Keira menggenggam tangan Winza, memberikan pertanda bahwa apa yang Winza lakukan sudah cukup.

Winza menoleh ke arah Keira, menghembuskan nafas pasrah sebelum menoleh lagi ke arah Stella.

“Lo tu harusnya malu ya, orang yang lo sakitin malah jadi yang nahan gue buat ga ngatain lo terus-terusan. Gausa berharap sekalipun jadi bagian dari Keluarga Kusuma. Kita gapernah kenal lebih dari temen SD dan dengan perbuatan lo kemaren, gausah sekalipun ngerasa pantes buat nunjukkin muka lo di hadapan gue, Keira, atau siapapun di keluarga gue. Sekarang lo pergi, gue ga segan panggil polisi sekarang buat nyeret elo keluar dari sini.”

Stella bangkit dari posisinya. Mengambil tasnya dan beranjak pergi.

“Tunggu aja, lo abis ini juga bakalan kena sesuatu,” ancam Stella sebelum menutup pintu unit Winza dengan kasar.

Keira menarik nafas panjang sebelum membuka unitnya. Pesan dari Winza untuk tetap memasang wajah yang tenang, terus terngiang di kepala Keira.

Benar seperti kata Winza, ada orang lain di dalam unit mereka. Stella, nama orang yang sempat membuat Keira berpikir bahwa dirinya tidak berharga, duduk termenung di ruang tengah. Wanita itu sedikit terjingkat ketika menyadari Keira masuk dan meletakkan makanan di meja dapur, seolah tidak terganggu dengan kehadirannya.

Bahkan Keira dengan santai mengambil langkah panjang menuju kamar tidur utama dan membuka pintunya dengan sidik jari. Stella bisa mendengar Keira memanggil Winza lembut sebelum berjalan bersama ke arah dapur.

“Please, tolong gue,” Stella membuka pembicaraan ketika pasangan di depannya sama sekali tidak memperdulikannya, bahkan beberapa kali Winza memegang tangan Keira dan meletakkannya di pipinya.

“Gue ga mau interaksi sama orang yang gatau diri,” jawab Winza pedas, sempat membuat Keira terkejut karena sudah lama dia tidak melihat Winza seperti ini.

“Gue mohon,” Stella beranjak dari duduknya dan berlutut di depan Winza dan Keira yang masih duduk di meja makan sambil menyantap sandwich yang tadi dibeli Keira. Gestur itu membuat Keira sedikit trenyuh, namun justru kebalikannya, Winza sama sekali tidak mengubah air mukanya.

“Gue tau Xavier Group di ambang kehancuran,” kata Winza, memandang lurus wanita yang berlutut di depannya, “Gue yang bikin. Lo salah langkah dengan cara nyerang hubungan gue sama Keira. Lo harusnya sadar, sumber masalah di Xavier Group itu ada di bokap lo dan adiknya. Lo ngapain cari pertolongan ke gue dan Blanc Group?”

“Karena dengan Blanc mau merger, gue bisa selamat. Keluarga gue bisa selamat. Gue ga masalah Win, di mata hukum gue jadi yang kedua buat elo.”

“Halu,” Winza berdecak, “Gada dalam kamus gue, keluarga gue mau bantu orang yang bikin calon istri gue sedih. Sebelumnya gue sama Xavier gapernah ada masalah. Lo dihubungin media kan? Tunggu aja. Lo jatuhin gue lewat media, gue jatuhin seluruh Xavier Group lewat media.”

“Sayang, udah,” Keira menggenggam tangan Winza, memberikan pertanda bahwa apa yang Winza lakukan sudah cukup.

Winza menoleh ke arah Keira, menghembuskan nafas pasrah sebelum menoleh lagi ke arah Stella.

“Lo tu harusnya malu ya, orang yang lo sakitin malah jadi yang nahan gue buat ga ngatain lo terus-terusan. Gausa berharap sekalipun jadi bagian dari Keluarga Kusuma. Kita gapernah kenal lebih dari temen SD dan dengan perbuatan lo kemaren, gausah sekalipun ngerasa pantes buat nunjukkin muka lo di hadapan gue, Keira, atau siapapun di keluarga gue. Sekarang lo pergi, gue ga segan panggil polisi sekarang buat nyeret elo keluar dari sini.”

Stella bangkit dari posisinya. Mengambil tasnya dan beranjak pergi.

“Tunggu aja, lo abis ini juga bakalan kena sesuatu,” ancam Stella sebelum menutup pintu unit Einza dengan kasar.