wqwqwq12

Keira mengecek suhu kamar, kemudian menyalakan diffuser sebelum mematikan lampu utama kamar tidur mereka.

Winza sedikit terbatuk, membuat Keira duduk di pinggir kasur dan mengoleskan obat gosok ke leher dan sekitar tulang selangka Winza.

“Kamu kemarin ga pake selimut ya, tidurnya?” tanya Keira pelan sambil menutup kemasan obat gosok yang barusan dia oleskan ke Winza.

Gelengan kepala Winza membuat Keira menghela nafas. Mereka semalam kenapa sebenarnya? Pagi ini juga.

“Aku emang butuh ruang. Namun bukan berarti selalu tanpa kamu, Winza,” Keira memandang Winza teduh, “Maaf. Harusnya aku lebih terbuka. Harusnya memang kita ini banyak berdiskusi, bukannya membiarkan pikiran liar kita yang mendominasi dan malah membuat kita salah langkah.”

“Aku juga minta maaf,” kata Winza sebelum terbatuk lagi.

“Nanti kita obrolin lagi, kalo kamu uda sembuh,” Keira menunduk dan mengecup bibir Winza sekilas, “Selamat tidur.”

“Aku tidur sendiri?”

“Iya, kan sakit. Nanti nular,” Keira sedikit terkekeh, “Aku di kamar tamu ya.”

****

Keira terbangun. Suara batuk yang keras dan terus-terusan dari Winza membuatnya terjaga di jam 3 pagi ini. Memang waktu menjelang pagi ketika suhu menurun, membuat batuk akan semakin sering terjadi. Keira segera mengambil air hangat di gelas sebelum setengah berlari ke kamar tidur utama, melihat Winza yang masih terbatuk dengan posisi tubuh yang sudah menekuk.

Keira mengusap punggung Winza menenangkan tunangannya yang masih terengah karena batuk barusan. Keira kembali mengoleskan obat gosok agar leher Winza kembali hangat sebelum memberikan air putih kepada Winza.

“Tenggorokanku gatel banget,” keluh Winza setelah meminum air putih yang diberikan Keira

“Kamu mau minum jahe sama madu?” Keira menawarkan sesuatu

“Emang ada?”

“Jahe kan ada, bumbu dapur biasanya aku beli. Kalo madu emang aku nyetok, Sayang. Mau ya minum? Aku bikinin bentar.”

“Boleh,” Winza mengangguk, membuat Keira tersenyum.

“Tunggu ya,” Keira mengecup pipi Winza sebelum melangkah ke arah dapur, di jam setengah 4 pagi ini.

“Ya emang gitu kayaknya,” Katherine sedikit tergelak mendengarkan Keira menceritakan kenapa dia sangat sebal dengan calon istrinya hari ini, “Menjelang nikah, kaya semua hal yang ga pernah kita tunjukkin tiba-tiba muncul dan pasangan kita bisa kaget gara-gara itu.”

“Emang lo sama Kak Windy dulu gitu?” tanya Keira sambil memutar sedotan di es tehnya malas

“Mantannya Windy tiba-tiba dateng sebulan sebelum kita nikah,” kata Katherine setelah menyeruput minumannya

“Ngapain?”

“Minta balikan soalnya dia uda jatuh miskin.”

“Nah loh,” Keira hanya bisa memasang wajah bingung, kok bisa ada orang seperti itu.

“Jadi dulu ceritanya Windy sering diutangin sama dia. Itu mantan dia waktu kuliah awal, Windy ketemu gue kan waktu mau lulus kuliah. Nah trus kaya Windy ngerasa diporotin gitu dulu, makanya minta putus.”

“Trus gimana ngadepinnya?” tanya Keira penasaran, kakaknya terlihat santai.

“Windy sih males nanggepin soalnya bakalan jadi drama kan. Sampe dikejer lo, Kei. Diikutin sampe ke kosan dia dulu. Windy jengah, akhirnya dia minta gue ngadepin mantannya itu.”

“Pasti elo labrak dia.”

“Tentu,” Katherine tergelak, membuat Keira memutar bola matanya malas, “Tapi emang ni mantan kekeuh banget. Dia bilang cuma Windy yang bisa nyelametin dia dari kejaran debt collector. Lah dikata istri gue donatur dia apa gimana?”

“Kayaknya juga gue harus teges sama kondisi-kondisi Winza,” Keira menghela nafas

“Kaya pesennya Yangti, Winza itu uda keliatan banget nyesuain kamu. Kamu juga pastinya bakalan nyesuain dia. Mau gamau, kamu itu bakalan jadi keluarga konglomerat, Kei. Bakalan banyak musuh-musuh ga jelas yang ngincer hubungan kalian.”

Keira menghela nafas lagi

“Kalo memang harus dikeluarkan semua,” Katherine menepuk punggung tangan Keira, “Keluarin semua. Atau sekalian kalian konsul pernikahan. Mungkin memang perlu ada nasihat-nasihat lebih.”

“Nanti gue cari infonya. Thanks ya, Kak.”

“Anytime,” Katherine kembali tersenyum, “Semangat ya, calon pengantin.”

klontang

“Aduh!”

Suara Keira membangunkan Winza, membuat wanita itu melompat dari sofa dan berlari ke sumber suara.

“Kamu kenapa?” tanya Winza. Nafasnya memburu karena langsung berlari menuju Keira

“Kena pisau,” jawab Keira pelan sebelum menyalakan keran dan mengaliri lukanya dengan air. Tidak terlalu dalam, namun pastinya perih.

Winza segera bergerak mengambil kotak p3k sembari Keira berjalan ke arah sofa. Winza dengan telaten membersihkan bekas darah sebelum membalutnya dengan plester.

Wajah Winza yang sangat serius membuat Keira gemas sendiri. Dia dengan cepat mengecup bibir Winza yang mengerucut seperti bebek, membuat wanita di depannya kaget.

“Gausah bikin sarapan ya,” kata Winza sambil melihat mata Keira, “Nanti beli di perjalanan. Aku uda telepon Pak Ardi buat jemput kita.”

Keira mengangguk, membiarkan Winza mencium ujung hidungnya.

“Baju kamu uda aku siapin. Sana gih mandi,” kata Keira

“Iya.”

****

Sepertinya keputusan untuk meminta sopir adalah keputusan tepat. Begitu mobil Winza mulai meninggalkan gedung apartemennya, Winza sudah tertidur dengan menyandarkan kepalanya di bahu Keira.

“Bu Keira, jadi mampir beli sarapan?” tanya Pak Ardi ketika mereka sudah setengah perjalanan

“Iya, Pak. Nanti Bapak yang beli ya, sekalian sama bapak.”

Pak Ardi paham maksud Keira, terlebih setelah melihat spion tengah.

Winza tertidur pulas di bahu Keira.

Suara ketukan di pintu menghentikan diskusi di ruang rapat. Winza mengatakan masuk sebelum pintu ruangan dibuka, menunjukkan Keira datang dengan kurir yang terlihat membawa kopi dan makanan kecil.

“Tadi bareng naik liftnya,” kata Keira ketika Winza mengangkat alisnya heran.

“Sini, duduk,” Winza menggeser kursi di sebelah kirinya, mempersilakan Keira duduk di sampingnya. Lengannya langsung memeluk pinggang Keira dan senyuman kecil terlepas dari bibirnya.

“Uhuk,” Ningtyas terbatuk di seberang mereka, membuat Juwita yang sedang membagikan minum ikut tertawa

“Apa perlu saya panggil Gisella sekalian?” tanya Winza sambil tersenyum, membuat Ningtyas salah tingkah. Tentu saja, Winza hampir tidak pernah bercanda ketika sedang bekerja.

“Uda udah, jangan digodain Ningnya,” kata Keira sambil menepuk paha Winza, “Udah sampai mana?”

“Rangkuman berita,” Winza mengetuk layar tabnya dengan pen, “The medias are going wild because apparently someone gave them a tip-off about our last tender.

“Soal sponsor di pekan olahraga provinsi bulan lalu?”

“Yep,” Winza mengangguk, “Beritanya berputar dari yang awalnya aku dituduh selingkuh, ke rencana pembatalan pernikahan kita dan aku bakalan bareng sama Stella for a business marriage.”

Winza menjelaskan dengan tenang kepada Keira, bahkan meminta Hayden untuk menunjukkan di layar mengenai pemberitaan itu.

Sebuah tindakan yang tidak Winza sadari justru membuat Keira merasa hatinya seperti diremas. Dia tadi menangis, menangisi apa? Tentu hubungannya dengan Winza. Tapi sepertinya calon istrinya itu tidak melihat ini sebagai sesuatu yang besar, terbukti dengan ketenangan yang dia tunjukkan sekarang.

“Joshua sudah datang,” kata Juwita, membuyarkan lamunan Keira.

“Arahkan dia ke ruangan ini,” kata Winza yang direspons dengan anggukan dari Juwita

“Sayang, nanti temani aku ya?” bisik Winza, melihat Keira yang sepertinya melamun, “Kamu kecapekan kah?”

“Eh, enggak,” Keira menggelengkan kepalanya, menoleh sedikit dan melihat Winza melihatnya dengan penuh kekhawatiran.

“Semuanya terkendali kok, kamu jangan khawatir.”

Keira mengangguk. Dia yakin tim humas dan Winza bisa mengatasi ini semua dengan baik.

Tapi mungkin yang tidak teratasi adalah perasaan kacau dan pikiran berisik milih Keira. Sungguh, Keira merasa ingin berlari pulang dan menghempaskan tubuhnya ke kasur. Dia tidak lelah fisik, tapi batinnya seperti sedang disiksa.

*****

“Saya, Winza Kusumajati, Manajer Humas dari Blanc Eclare akan menyampaikan klarifikasi yang berkaitan dengan kejadian siang ini. Kejadian siang ini merupakan sebuah kejadian yang tidak diduga, terutama berkaitan dengan rencana saya yang akan melangsungkan pernikahan bulan depan.”

Kamera dan keyboard terus ditekan. Wartawan yang hadir di ruang konferensi pers tentu tidak ingin melewatkan apapun.

“Melalui konferensi pers ini, saya menyatakan bahwa pemberitaan saya berselingkuh dengan Stella Pradipto adalah berita yang tidak benar. Saya dan saudari Stella hanyalah teman semasa SD, bahkan di saat foto itu diambil, Saya sedang menunggu Joshua, yang merupakan sepupu saya dan teman SD dari saudari Stella juga. Semua pemberitaan yang tidak benar terkait Saya, Blanc and Eclare serta pernikahan saya dengan Keira Agatha, akan kami tindak lanjuti secara hukum.”

Winza menutup klarifikasinya dengan menganggukkan kepala, memberikan arahan kepada Juwita untuk menunjuk wartawan yang akan bertanya.

“Baik, silakan 3 orang yang saya tunjuk untuk menyampaikan pertanyaannya,” kata Juwita

“Terimakasih kesempatannya,” penanya pertama berbicara melalui mic yang disodorkan, “Saya ingin memastikan apakah benar tidak ada hubungan apapun antara Blanc Group dengan Xavier Group?”

“Benar. Tidak ada,” jawab Winza lugas, “Jika hubungan yang dimaksud adalah interaksi, maka Xavier Group pernah menjadi lawan tender dari Blanc Group, dimana itu tentu saja bukan ranah saya sebagai Manajer Humas dari Blanc and Eclare. Pertanyaan selanjutnya?”

“Apakah ada indikasi bahwa dari pribadi Stella Pradipto, ingin merusak hubungan anda dengan Keira Agatha?” wartawan kedua bertanya

“Itu bukan ranah kami dari Humas untuk menyelidiki dan menjawab,” Winza menjawab dengan cepat, “Kasus ini sudah kami bahas bersama dengan tim legal, dan tentu saja akan kami bahas lebih lanjut dengan board dari Blanc Group. Tim humas hanya melakukan klarifikasi berdasarkan pemberitaan yang tidak benar siang ini. Silakan ditunggu mengenai update selanjutnya berkaitan dengan kasus ini. Pertanyaan terakhir?”

“Mengapa tetap memilih bertahan, Ibu Winza? Bukankah sudah jelas lebih menguntungkan memiliki hubungan dengan Stella Pradipto dibandingkan dengan Keira Agatha?”

Pertanyaan itu membuat suasana ruang konferensi yang awalnya ramai menjadi hening. Semua mata tertuju kepada wartawan terakhir sembari saling berbisik, merasa heran dengan pertanyaan aneh ini.

“Silakan dijawab Ibu Winza. Apakah anda tidak mau menjawab karena ada calon istri anda yang hadir di sini?”

Tubuh Keira bergetar, entah kenapa dia merasa semua mata melihat kepadanya.

“Keira, jangan khawatir. Jangan panik,” bisik Joshua yang berdiri di sebelahnya. Sepupu Winza tersebut menepuk kedua bahu Keira untuk menenangkannya.

“Saya rasa sedari awal saya sudah menyampaikan bahwa konferensi ini merupakan tempat untuk klarifikasi sesuatu yang terjadi tadi siang,” Winza memandang tajam wartawan yang terlihat salah tingkah itu, “Pertanyaan anda jelas tidak sesuai dengan apa yang seharusnya ada di ruangan ini. Dan perlu saya ingatkan lagi, calon istri saya adalah Keira Agatha.”

Winza menutup sesi konferensi pers dengan anggukan pelan. Seluruh wartawan yang hadir di ruangan memberikan tepuk tangan sembari melihat Winza meninggalkan podium dan keluar ruangan.

“Cari dia siapa dan pastikan dia tidak pernah bisa lagi menjadi wartawan,” desis Winza kepada Juwita yang berjalan di sampingnya.

Winza sedikit kehilangan fokus karena Keira berjalan pergi tanpa menunggunya.

Shit,” Winza sedikit mengumpat melihat Keira hanya duduk terdiam di ruang tunggu. Wajahnya pucat.

“Sepertinya dia panik,” Joshua menghampiri Winza dan berbisik, “Ada baiknya kamu segera pulang.”

“Okey,” Winza mengangguk, “Ju, tolong panggilkan Pak Ardi untuk mengantarkan saya dan Keira pulang.”

Tegang

Itulah yang Keira rasakan ketika masuk ke ruang rapat besar di kantor ini. Semua mata tertuju padanya; oh tentu saja karena bulan depan dia akan melangsungkan pernikahan dengan pewaris tunggal dari Blanc Group – praktis posisi sebagai pasangan dari pewaris akan berdampak pada pandangan orang lain terhadapnya.

Keira mengedarkan pandangan, mencari sosok Winza yang mungkin sudah hadir terlebih dulu.

Memang benar, Winza memandangnya dan memanggilnya, sebelum menggeser kursi di sampingnya.

Tangan Winza dingin, sangat berbeda dengan biasanya suhu badannya yang cenderung hangat.

“Gapapa, gapapa,” bisik Winza pada Keira, padahal Keira yakin harusnya Winza yang ditenangkan, bukan sebaliknya.

“Akun Twitter yang menjadi sumber berita ini masih menjadi misteri karena tidak terdaftar sebagai kantor berita resmi,” Ningtyas menunjukkan dengan pointernya ke arah layar, “Sepertinya memang akun yang dibuat untuk menyebarkan berita. Jika kita cek cuitan yang lain, dia hanya melakukan post ulang pemberitaan-pemberitaan terkait dunia bisnis.”

Winza melihat presentasi Ningtyas dengan seksama sebelum menyalakan microphone meja untuk menyampaikan idenya.

“Tim IT tolong cek histori dari akun itu. Saya rasa itu adalah akun yang dibeli karena tidak memiliki tujuan.”

“Baik, Bu,” Manajer Operasional memberikan catatan sebelum mengirimkan instruksi

“Perlu juga bekerja sama dengan humas untuk mencari informasi mengenai Stella Pradipto,” tambah Winza, “Wanita yang bersama saya.”

“Baik, Bu,” Ningtyas mencatat sesuatu, “Kami butuh satu orang tim IT untuk mendalami ini, selain yang ditugaskan untuk mencari tahu mengenai akun Twitter.”

“Noted,” Manajer Operasional sekali lagi menuliskan instruksi sebelum mengirimkan ke timnya.

“Menurut saya, malam ini kita konfirmasi,” ungkap Winza lagi, “Sudah terlalu banyak damage yang kita dapatkan, terutama mengenai saham kita.”

“Dan juga menurut saya yang menyampaikan klarifikasi dari kita adalah Winza sendiri,” sahut Jackson, “Dan ditemani Keira tentunya.”

Pak Agus mengangguk, “Baik, setelah ini tim humas akan menyiapkan materi untuk konferensi press. Tim operasional akan memberikan data dukung terkait dengan sumber berita yang pertama. Silakan gunakan ruang rapat di lantai 7 untuk persiapan ini. Untuk bagian lain, silakan kembali ke unit masing-masing.”

Semua peserta rapat berdiri dan mengucapkan salam sebelum meninggalkan ruangan, meninggalkan Winza dan Keira berdua di ruang rapat yang besar itu.

“Maaf,” kata Winza sambil menghela nafas, “Aku juga gatau kaya gini jadinya.”

Keira tidak menjawab, pikirannya terlalu berisik untuk menjawab permintaan maaf Winza. Keira takut dia akan meledak, terlebih ini masih di kantor. Keira mengelus pipi Winza, sebelum mengecupnya pelan – sebagai ganti dari jawaban untuk Winza.

“Aku sebenernya pengen ditemenin buat nyiapin nanti. Tapi kayaknya malah bikin kamu kepikiran ya?” kata Winza lagi, retoris, tidak terlalu membutuhkan jawaban dari Keira.

“Gapapa, Sayang,” bisik Keira lirih, “Nanti aku bolak-balik buat ngecek kamu kok. Sekarang yuk balik, udah ditungguin.”

Winza mengangguk dan mengajak Keira berdiri. Dia menggenggam tangan kasihnya erat sebelum berbisik

“I love you.”

Walaupun Keira hanya membalasnya dengan senyuman; Winza harap itu cukup untuknya.

Keira mengusap kepala belakang Winza. Kekasihnya itu sedikit terkejut dan terbangun mendadak.

“Lho, Keira..”

Suaranya parau. Keira tahu itu adalah tanda-tanda Winza akan pilek dan radang tenggorokan; mengingat banyaknya es yang dikonsumsi beberapa hari terakhir, wajar jika tenggorakan Winza meradang.

Keira hanya tersenyum dan mengecek suhu badan Winza dengan punggung tangannya, sedikit terasa hangat.

“Ga pusing kok,” Winza menggelengkan kepala tapi matanya sayu, jelas dia berbohong.

“Kamu tu gabisa boongin aku, Sayang,” Keira terkekeh, membiarkan Winza melingkari pinggangnya dan membenamkan wajahnya di perut Keira.

“Hmm, nanti pulangnya panggil sopir aja ya?” gumam Winza

“Ngapain? Aku kan bisa nyetir mobil kamu.”

Winza menarik kepalanya dan memandang ke atas, memasang wajah memelas dan mengerucutkan bibirnya tanda tidak setuju.

Demi Tuhan Keira ingin mencium bibir Winza saat itu juga.

“Sayang, aku juga bisa nyetir mobil. Inget kamu waktu kita diminta Pak Agus ke lapangan pertama kali, kamu nyuruh aku nyetirin mobil kamu kan?” kata Keira lembut sembari mengusap dahi Winza

“Ya kan beda.”

“Bedanya apa, Sayang?”

“Dulu aku kan ga suka sama kamu, sekarang kamu kan punyaku. Aku maunya apa yang jadi punyaku selalu aman.”

“Dan nyaman,” Keira tersenyum lagi sambil menatap dalam mata Winza, “Winza, kita ini pasangan. Saling ngelengkapin. Oke lah you are the one who wear the pants in this relationship, tapi bukan berarti aku tu wanita yang lemah kan? Kata kamu, kamu suka karena aku tu kuat dan bisa nunjukkin kapan aku lemah. Ini cuma soal nyetir mobil pulang, Sayang. I let you drive me everyday soalnya kamu bilang aku lebih sering lelah dibanding kamu. Okelah kita anggap bener, tapi kamu kan manusia biasa juga, Sayang. Kamu juga bisa sakit dan jadi lemah di hadapanku. That's very fine with me, ga ngubah apapun kok.”

Penjelasan Keira membuat mata Winza berkaca-kaca, sungguh Keira Agatha memang selalu benar dengan paduan kalimat-kalimatnya.

“Tapi aku masih jagoan kan buat kamu?” tanya Winza lirih, suaranya terbenam karena dia kembali membenamkan wajahnya di perut Keira.

“Tentu, sampai kapanpun Winza Kusumajati bakalan jadi jagoan.”

tw // cancer survivor, divorcement, explicit words. ps: this might be only happened in “what ifs” thingy – bisa tidak terjadi lagi di universe ini.

Winza muak. Ini adalah kali keberapa dalam minggu ini ketika istrinya bahkan menolak untuk melihat wajahnya.

Apa kesalahannya?

Dari awal ketika Keira divonis kanker payudara stadium 4 dan harus dioperasi, Winza tidak pernah sekalipun meninggalkan istrinya. Bahkan dia mengambil cuti 5 hari untuk menemani dari proses sebelum operasi sampai pemulihan di rumah sakit.

Dan sedari Keira masuk ruang persiapan operasi, wanita itu tidak pernah sekalipun berbicara kepada Winza. Winza yang pada dasarnya tidak banyak bicara hanya membiarkan; mungkin efek akan operasi.

Winza mengantongi gawainya kasar sebelum berjalan ke arah kamar tidurnya. Dengan cepat, dia membuka pintu kamarnya dan mendapati istrinya berdiri di depan cermin yang memiliki ukuran setinggi dirinya.

“Sayang...” panggil Winza pelan

Selangkah, dua langkah, Winza berjalan mendekati Keira yang masih memunggunginya

Stop,” bisik Keira, suaranya mulai bergetar.

Winza menurut, dia hanya berdiri tegak.

Sebuah sunyi yang mencekam, Winza tidak tahan.

“Keira please tell me, what happened?

Keira masih diam, perlahan dia membuka kancing atas baju tidurnya. Terus dia buka sampai kancing terakhir, memperlihatkan bagian depan tubuhnya.

“Aku ga lagi sempurna, Winza,” kata Keira sambil terisak

Winza seperti terkena sambaran petir. Dia paham apa yang membuat Keira menjadi seperti ini. Dia paham apa yang membuat istrinya sedih.

Those things that you like it the most, are gone cuma nyisain bekas luka yang bakalan jadi mimpi buruk bagiku, Winza.”

Winza diam. Dia mengambil langkah yang lebar dan memeluk istrinya pelan dari belakang. Perlahan, dia mengancingkan baju Keira dari atas sampai bawah.

“Nanti masuk angin, ACnya dingin,” bisik Winza setelah mengancingkan kancing terakhir. Di pelukan Winza, Keira hanya bisa menangis sesenggukan.

“Kenapa kamu mikir aku serendah itu?” lanjut Winza, tangannya melingkari pinggang Keira dan meletakkan dahunya di bahu kiri istrinya itu, “Dalam sakit atau sehat, dalam kondisi di paling bawah. Aku uda janji itu di pernikahan kita.”

Keira masih menangis, membuat Winza mengecup pelan bahu istrinya itu.

“Aku gagal sebagai wanita, Winza. Aku gagal...”

No one could say that, not even you. Gada yang bilang kamu gagal sebagai wanita, sebagai istriku. Gada, Keira. We are in this boat together, tergantung mau dibawa kemana ini kapalnya. Kalaupun tenggelam, aku maunya sama kamu.”

Pecah, tangisan Keira pecah. Raungan maaf meluncur dari mulut wanita itu. Winza memutar tubuh Keira pelan sebelum menarik wanitanya ke dalam sebuah pelukan yang erat.

“Kita jalani semuanya bareng-bareng ya? Maaf aku kurang peka. Jangan pernah nyuruh aku cari orang lain karena aku gamau,” ucap Winza sebelum mengecup kening istrinya, “I love you.”

“I love you even more, Winza,” akhirnya Keira tersenyum. Senyuman pertama sejak seminggu yang lalu. Sudah cukup bagi Winza untuk mengatakan pada dunia bahwa dia siap melakukan apapun.

Keira terbangun karena rasa lapar yang mendera. Setelah mengerjapkan matanya sesaat, dia merasa sudah tidak sepusing sebelumnya. Ketika dia menoleh ke samping, sosok Winza yang tertidur sambil memegang pergelangan tangannya menyapanya.

Cukup unik mengingat biasanya Winza akan menariknya ke dalam pelukannya, atau mungkin ndusel ke Keira; wanita yang lebih muda itu memang sedikit rewel mengenai tidur jika Keira tidak ada di sekitarnya.

“Sayang,” panggil Keira pelan sambil menepuk pipi Winza.

Winza mengerang pelan, membuat Keira tersenyum kecil. Erangan itu berarti posisi tidur Winza tidak nyaman, Keira paham itu.

“Kamu dah ga pusing lagi?” Winza langsung mengambil posisi duduk setelah melihat Keira tidak lagi berbaring di sampingnya.

“Udah enggak kok. Malahan laper sekarang,” Keira beringsut ke arah Winza dan mengusap pipi Winza, “Kamu uda makan?”

Winza menggeleng, Keira baru saja akan mengajak kekasihnya itu makan tiba-tiba terkejut karena Winza menangis.

“Sayang, kenapa?” Keira bertanya dengan khawatir. Perlahan dia menarik Winza untuk dipeluk dan mengelus punggungnya pelan, “Sshh, sshh, Sayang.”

“Aku takut,” kata Winza di tengah tangisnya, “Takut banget kamu kaya tadi.”

Keira tersenyum, “Aku gapapa, Sayang. Emang kadang kumat vertigoku kalo kecapekan banget.”

“Tetep aja. Liat kamu mimisan kaya gitu terus terbaring lemah, aku panik banget. Mama uda jelasin kamu gapapa, tapi tetep aja aku takut.”

Keira menepuk-nepuk punggung Winza pelan, menenangkan wanitanya itu. Memang jika dibandingkan dengan Winza, Keira hampir tidak pernah sakit parah atau kecelakaan yang membutuhkan perawatan intensif. Berbeda dengan Winza yang beberapa kali harus masuk rumah sakit. Bulan lalu bahkan Winza sempat menginap di rumah sakit karena terkilir cukup parah karena tertabrak sepeda yang sedang melintas.

Keira mendorong bahu Winza, membuat pelukan mereka berdua terlepas. Perlahan, Keira mengusap air mata yang masih terlihat jelas di pipi Winza dengan kedua jempolnya.

“Kamu kalo uda kerasa ada yang sakit bilang ya. Aku gamau panik kaya tadi,” gumam Winza

“Iya, Sayang,” Keira mengangguk, “Sekarang makan, yuk. Kamu juga belum makan kan?”

“Pizza boleh? Sama soda ya,” pinta Winza dengan muka memelasnya. Sejak Keira resmi bertunangan dengan Winza, Keira mulai sedikit cerewet membatasi makanan Winza, mengingat hipertensi yang dimilikinya.

Namun melihat wajah memelas kasihnya itu, Keira tentu tidak ingin menolaknya. Begitu Keira mengangguk, Winza langsung menghujaninya dengan ciuman di pipi, hidung, kening dan bibir Keira. Tentu saja Keira hanya bisa tertawa merasakan ciuman-ciuman itu.

“Udah, udah. Keburu malem,” Keira mendorong bahu Winza untuk menghentikan hujan ciuman itu, “Buruan pesen.”

“Okee,” Winza melompat dari tempat tidur dan mengambil gawainya, “Pepperoni yaa.”

“Iya bebas, Sayang.”

“Thank you, Romi” Tara mengucapkan terimakasih kepada salah satu perawat di RSBM yang memang biasa diminta untuk mengantarkan obat kepada dokter yang sedang bertugas di luar rumah sakit.

Kali ini Romi mengantarkan ke apartemen milik Winza.

“Baik, Bu. Berarti ini infusnya gajadi ya? Saya bawa balik ke rs dulu,” tanya Romi sambil membereskan tas yang berisi beberapa obat dan peralatan medis.

“Iya, Rom. Cukup kok, soalnya Keira ga muntah, cuma mual aja.”

“Baik, Bu. Saya pamit,” lelaki tersebut membungkukkan badan sebelum berjalan keluar, meninggalkan Tara dan Keira yang menahan tawa.

“Sebuah aktivitas yang menyenangkan dari dokter anestesi untuk memberikan obat pada penderita vertigo ringan,” Tara terkekeh sambil menarik kursi dan duduk di dekat kasur, “Keira kalo misal mual dan sampai muntah-muntah, nanti kabari ya biar diinfus. Obatnya juga harus sedia, tadi saya stok beberapa. Kalo kebanyakan nanti kena kadaluarsa.”

“Iya, Ma,” Keira tersenyum tipis, “Uda agak mendingan abis minum obat dan tiduran. Cuma mimisan ini emang suka bikin kaget.”

“Iya sampai anak saya kaya mau nangis tuh,” Tara tergelak sambil menunjuk Winza yang berdiri dan mengembungkan pipinya.

Gemas, begitu batin Keira melihat tunangannya yang terlihat sedikit bete karena Tara sempat tertawa tadi.

Suara bel mengejutkan mereka. Sepertinya ada tamu lagi.

“Mungkin Bunda,” gumam Winza, “Tadi aku chat Bunda juga.”

“Yauda biar Mama aja yang bukain pintu,” Tara bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu masuk, meninggalkan pasangan muda itu di kamar utama.

“Sini, Sayang. Duduk. Jangan berdiri terus,” Keira melambaikan tangannya, meminta Winza duduk di dekatnya. Wanita berambut pendek itu berjalan dan duduk di samping Keira yang tengah terbaring.

Sebenarnya Keira ingin bangkit dan mengusap-usap wajah Winza, seperti yang biasa dia lakukan ketika wanita yang lebih muda darinya itu ngambek atau bete. Namun karena dirinya masih pusing dan lemas, Keira hanya meraih tangan Winza dan mengelus punggung tangannya. Keira tahu Winza sudah tidak se-bete sebelumnya, terlihat dari pipinya yang tidak lagi menggembung dan bibirnya tidak lagi mengerucut.

“Gimana, Kei?” suara dari Bunda Jesselyn membuat keduanya menoleh ke arah pintu masuk. Terlihat Jesselyn dan Tara yang berdiri di pintu sambil melihat ke arah Keira dan Winza.

“Puji Tuhan, Bunda,” Keira tersenyum tipis.

“Dibuat tidur aja, tadi uda makan?”

“Uda, Bun. Tadi dibawakan bubur sama Mama. Winza ini yang belum makan.”

“Yauda ini Bunda pesen makan ya,” Jesselyn mengambil gawainya, “Winza makan dulu, Nak.”

“Iya, Bunda,” Winza menepuk pelan tangan dan membetulkan posisi selimut Keira, “Aku makan dulu ya.”

Keira menjawab dengan senyuman. Gestur hangat tersebut tidak lepas dari pandangan Tara dan Jesselyn, dan tentu, memberikan kehangatan lain bagi mereka berdua.

“Hei, Gis!” Karina menyapa membernya yang barusan membuka kulkas untuk mengambil minum

“Lah, uda nyampe aja,” sahut Giselle sebelum menenggak air putih dingin dari botolnya, “Sama manajer oppa ya?”

“Iya, langsung balik dia,” Karina mendorong kopernya, “Winter uda tidur?”

“Udah. Agak pilek anaknya. Tadi uda gue suruh minum obat sih, kayaknya efek obat makanya udah tidur.”

Karina mengangguk, sedikit paham mengapa Winter terasa sedikit manja di chat beberapa saat yang lalu.

Gadisnya sedang sakit.

“Jokes soal Papah Mamah lucu ya sebenarnya,” Karina mendengar Giselle berbicara dengannya setelah dia selesai membersihkan diri dan berjalan ke dapur, “Tapi kayaknya si bocil kepikiran.”

Karina menghela nafas, tumben memang pacarnya itu kepikiran hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Maksudnya... mereka bekerja untuk fans kan? Dan jokes itu menurut Karina cukup harmless.

“Tidur, Gi. Besok Ning balik lo kena omel lagi nanti gegara suka begadang,” kata Karina sambil beranjak

“Iya iya ini tidur,” Giselle mengunci gawainya, “Met kelonan yah.”

Karina hanya menggelengkan kepalanya.

****

Mulai awal bulan ini, semua member mendapatkan kamar pribadi; walaupun Karina sangat suka menghabiskan waktunya berkeliling dari kamar ke kamar, terutama kamar milik kasihnya, Winter.

Gadis berambut pendek itu sudah terlihat pulas di balik selimutnya. Wangi yang cukup woody – pewangi ruangan kesukaan Winter – menyapa hidungnya begitu Karina menutup pelan pintu di belakangnya.

Besar keinginan Karina untuk melompat ke pelukan Winter; namun dirinya teringat laporan Giselle yang mengatakan bahwa Winter sedang sedikit pilek.

Karina menarik pelan selimut bernuansa abu-abu milik Winter sebelum menyelipkan dirinya ke bawah selimut – harapannya Winter tidak terbangun dengan aktivitasnya.

Namun Karina salah. Winter bukan heavy sleeper sepertinya, gerakan sekecil apapun cenderung membangunkannya.

“Kamu bisa bangunin aku, Bunny,” Winter berdehem sambil menyebutkan salah satu panggilan kesayangan untuk Karina. Karina sedikit meringis, rencananya gagal.

“Maaf.”

“No problem,” jawab Winter, masih dengan mata tertutup, “At least, you are home now.”

Karina tersenyum, memutar badannya pelan agar Winter bisa memeluknya dari belakang. Lengan kokoh kekasihnya itu memeluknya erat, tidak lupa kecupan pelan dia rasakan di kepalanya.

Sepertinya Karina baru teringat bahwa Winter sedang menyukai work-out di bagian lengannya – thanks to Giselle – sehingga Karina merasa sangat nyaman di pelukan Winter sekarang.

“You know why I answered that you have a nice back and spine?” bisik Winter, kantuk masih tebal di suaranya.

“Enggak, Sayang.”

“Soalnya orang cuma bisa ngeliat kan, tapi aku yang bisa ngerasain,” Winter sedikit terkekeh, “Kamu punyaku.”

“Iya aku punyamu,” Karina menjawab dalam senyuman

“Maaf ya gabisa ngusir merpati di acara kemarin. Harusnya aku dibawa, kan yang ngusir merpati buat kamu, cuma aku.”

“Iya nih, manager oppa aja gabisa.”

“Emang ga boleh. Soalnya yang boleh cuma aku,” suara Winter mulai memelan, “Kan kamu punyaku.”

Karina terkekeh pelan sebelum memutar kepalanya, melirik ke arah gadis yang sedang memeluknya. Perlahan, suara dengkuran khas dari Winter terdengar. Gadis itu sudah tertidur lagi.

“Iya, aku punyamu. Cuma kamu, Winter,” Karina mengecup ujung hidung Winter sebelum memosisikan diri di dalam rengkuhan gadisnya itu. Menikmati waktu istirahat yang dia rindukan beberapa waktu belakangan ini.